Tonsilitis Kronis

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tonsil terletak dalam fosa tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblast ditempat ini. Selanjutnya cekungan tersebut dibagi menjadi beberapa bagian, yang akan menjadi kripta yang permanen dan tonsil. Jaringan limpoid terkumpul disekitar kripta, dan akan membentuk massa tonsil. Pada permukaan dalam atau permukaan yang terpapar, termasuk cekungan pada kripta dilapisi oleh mukosa. Bakal tonsil timbul pada awal kehidupan fetus, dapat dilihat pada bulan keempat. Mula mula sebagai invaginasi sederhana dari mukosa yang terletak diantara arkus brakial ke II dan ke III pada kantung brankial ke II. Tonsil lidah dan tonsil faring berkembang dengan cara yang sama seperti tonsil fausium. Tampak semua tonsil tumbuh dibelakang membran faring, sehingga semua penonjolan epitel tumbuh ke dalam jaringan ikat yang sudah ada di sekitar saluran cerna primitif. 1

Tonsil dan adenoid merupakan salah satu organ pertahanan tubuh utama yang terdapat pada saluran napas atas. Sistem pertahanan tubuh ini akan berfungsi sebagai imunitas lokal untuk menghasilkan antibodi yang akan melawan infeksi yang terjadi baik akut atau kronik, terbentuknya antigen disebabkan rangsangan bakteri, virus, infeksi serta iritasi lingkungan terhadap tonsil dan adenoid. Jika terjadi infeksi akan menyebabkan terjadinya tonsillitis yaitu radang tonsil palatina yang dapat juga disertai dengan peradangan pada faring. Radang ini dapat disebabkan oleh infeksi grup A streptokokus hemolitikus, pneumokokus, stafilokokus dan hemofilus influenza, biasanya menyerang anak pra sekolah sampai dewasa, dapat mengakibatkan komplikasi seperti peritonsilar abses, parafaring abses, demam rematik dan glomerulonefritis akut . 2,3,4

Salah satu penyakit yang paling sering berulang pada bagian tenggorok adalah tonsillitis kronis terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya Tonsilitis Kronis.5,6

Pola penyakit THT bervariasi pada tiap-tiap Negara. Banyak faktor lingkungan dan sosial diyakini bertanggung jawab terhadap etiologi infeksi penyakit ini. Penelitian yang dilakukan di Departemen THT Islamabad-Pakistan selama 10 tahun (Januari 1998-Desember 2007) dari 68.488 kunjungan pasien didapati penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai yakni sebanyak 15.067 (22%) penderita. Sementara penelitian yang dilakukan di Malaysia pada poli THT Rumah Sakit Sarawak selama 1 tahun dijumpai 8.118 kunjungan pasien dan jumlah penderita penyakit Tonsilitis Kronis menempati urutan keempat yakni sebanyak 657 (8,1%) (Sing, 2007). Dalam analisa tentang kekambuhan penyakit-penyakit kronis pada saluran nafas atas dilakukan penelitian terhadap total populasi lebih dari 3,5 juta jiwa populasi di Amerika Serikat mendapatkan prevalensi penderita Tonsilitis Kronis sebesar 15,9/1.000 penduduk. Menurut penelitian di Rusia mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 (26,3%) dari 307 ibu-ibu usia reproduktif didiagnosa Tonsilitis Kronis. 1,7,8

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%)). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan. Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi, Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada perempuan). 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Dan Fisiologi Tonsil Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal. Tonsila palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pillar anterior dan pillar posterior . Tonsil berbentuk oval dengan panjang 20 25 mm, dengan lebar 15- 20 mm, dimana masing masing tonsil mempunyai 8 20 kripta yang terdiri dari jaringan connective tissue seperti jaringan limpoid dan berisi sel limpoid . Tonsila palatina kaya akan pembuluh darah yang berasal dari cabang arteri karotis eksterna. Pendarahan utama tonsil berakhir pada bagian lateral tonsil, sedangkan arteri karotis interna berada kira kira 2 cm posterolateral tonsil. Pendarahan lain pada bagian anterior tonsil yang merupakan cabang dari arteri lingualis dorsal, sedangkan bagian inferior tonsil merupakan cabang dari arteri fasialis dan bagian superior tonsil berasal dari arteri palatina desenden.Sistem pendarahan vena pada tonsil melalui vena para tonsillar, vena vena ini melalui pleksus faringeal atau vena fasial setelah bercabang pada otot konstriktor superior.9

Gambar 2.1 Anatomi Tonsil 2.1.1 Tonsil Palatina Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masingmasing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: Lateral muskulus konstriktor faring superior Anterior muskulus palatoglosus Posterior muskulus palatofaringeus Superior palatum mole Inferior tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan

tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.

2.1.2 Fossa Tonsilaris Fossa tonsilaris atau sinus tonsilaris terletak diantara 2 buah plika yaitu plika anterior dan posterior. Plika anterior dibentuk oleh otot palatoglosus, sedang plika posterior di bentuk oleh otot palatofaringeus. Bagian luar tonsil dilindungi oleh kapsul yang dibentuk oleh fasia faringobasilaris dan dilateral oleh fasia bukofaringeal Otot palatoglosus mempunyai origo berbentuk kipas dipermukaan otot palatum molle dan berakhir pada sisi lateral lidah. Dimana otot ini merupakan otot yang tersusun vertikal dan diatasnya melekat pada palatum durum, tuba eustachius dan pada dasar tengkorak. Kedua plika ini akan bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum molle, serta kebagian bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Dinding luar fossa tonsil terdiri dari M. konstriktor faringeus superior. sedang M. tonsilofaringeus melekat pada kapsul tonsil pada pertemuan lobus atas dan bawah.10

2.1.3Aliran getah bening Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

2.1.4 Persarafan Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

2.1.5 Imunologi Tonsil Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan

sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 11

2.1.6 Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi. 11

2.1.7 Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

2.2 Definisi Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap . Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejalagejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan (Colman, 2001). Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostic diperlukan untuk menegakkan diagnosa penyakit ini. Pada Tonsilitis Kronis tonsil dapat terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk menentukan diagnosa seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar limfe, dan bertambahnya jumlah kripta pada tonsil.2

2.3 Etiologi Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan). Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Pada pendera Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela. Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli kultur apusan tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli. 12

2.3.1 Determinan pada penderita Tonsilitis Kronis Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit tonsilitis kronis. 13 a. Umur Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 %. Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.14,15 b. Jenis Kelamin

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita .16,1

c. Suku Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14% . 16

2.4 Patofisiologi Patofisiologi tonsillitis yaitu :Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpustonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengandetritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satumaka terjadi tonsillitis lakonaris. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radangberulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada prosespenyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akanmengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi olehdetritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbulperlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.

2.5 Gejala Klinis Gejala klinis Tonsilitis Kronis yaitu: 1) Sangkut menelan. Dalam penelitian mengenai aspek epidemiologi faringitis mendapatkan dari 63 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan utama, bau mulut (halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta tonsil. Pada penelitian tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, mendapatkan keluhan utama halitosis atau bau mulut pada penderita Tonsilitis Kronis didapati terdapat pada 27% penderita. 3) Sulit menelan dan sengau pada malam hari

(bila tonsil membesar dan menyumbat jalan nafas 4) Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5) Butiran putih pada tonsil. 4,2

2.6 Pemeriksaan Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di tengah.Standart untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil, T1: 25%50%75%. Sedangkan menurut Thane dan Cody menbagi pembesaran tonsil atas T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior uvula. T2: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula. T3: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterior-uvula. T4: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih (Cody, 1993). Penelitian yang dilakukan di Denizli Turkey dari 1.784 anak sekolah usia 4-17 tahun didapatkan data ukuran tonsil terbanyak yakni T1: 1.119 (62%), T2: 507 (28,4%), T3: 58 (3,3%), T4: 2 (0,1%). Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju.Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil. 4,2 Dari hasil penelitian yang melihat hubungan antara tanda klinis dengan hasil pemeriksaan histopatologis dilaporkan bahwa tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula. Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan. Untuk menegakkan diagnosa penyakit Tonsilitis Kronis terutama didapatkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik yang didapatkan dari penderita.6

2.2 Ukuran Tonsil

2.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan dibagi menjadi dua bagian yaitu dengan medikamentoda dan operatif

2.7.1 Medikamentosa yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis). 17

2.7.2 Operatif Pada penelitian Khasanov et al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi. 7 Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita dirujuk ke rumah sakit. 14

a. Indikasi Tonsilektomi Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT , tetapi yang diikutkan dalam review hanya 2 studi sedang 3 studi lain tidak memenuhi kriteria. Studi pertama dilakukan pada anak yang dengan infeksi tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang tegas tentang tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya perbedaan kelompok operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat episode infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak dengan penyakit yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan sebagai satu kelompok operasi. Disamping itu, studi ini meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok berat, pada pemantauan, banyak kelompok kontrol yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya ringan. Anak dengan infeksi sedang tidak dapat dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk abstrak) . Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh.

tidaknya dilakukan tonsilektomi Indikasi absolut: Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi. Indikasi Relatif: Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat. Halitosis akibat Tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis.Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten. 18,19

BAB III

KESIMPULAN

1.Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan.

2. Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostic diperlukan untuk menegakkan diagnosa penyakit ini. Pada Tonsilitis Kronis tonsil dapat terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk menentukan diagnosa seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar limfe, dan bertambahnya jumlah kripta pada tonsil.

3. Penatalaksaanaan tonsillitis kronis sendiri dilakukan dengan pemberian dekamentosa yaitu antibiotik, namun jika telah memenuhi indikasi relative dan absolute maka harus dilakukan tindakan tonsilektomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Awan Z, Hussain A, Bashir H. Statistical Analysis of Ear, Nose, and Throat (ENT) Diseases in Paediatric Population at PIMS, Islamabad: 10 Years Experience. Journal Medical Scient. 2009 Vol.17, No.2. p. 92-4.

2. Brodsky L, Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Bailey JB, Johnson JT editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelpia. 2006 p.1183-98.

3. Colman BH. Adenoid and Tonsils. In: Disease of the Nose, Throat, and Ear, and Head and Neck, Oxfort University Press, Oxfort. 2001 p.95-102

4. Dingra PL Acute and Chronic Tonsillitis, In; Disease of Ear, Nose And Throat , Fourth Edition, Elsevier, India .2000. P:239 43

5. Dias EP, Rocha ML, Calvalbo MO, Amorim LM. Detection of Epstein-Barr Virus in Recurrent Tonsilitis. Brazil Journal Otolaryngology. 2009 .75(1); p.30-4.

6. Kurien M, Sheelan S, Fine Needle Aspiration In Chronic Tonsillitis ; Realiable and Valid Diagnostic Test Juornal of Laryngology and Otlogy. 2003 Vol 117,pp 973 975

7. Kasanov SA, Asrorov AA, Vokhidov UN. Prevalence of Chronic Family Tonsilitis and its Prevention. Vestn Otorinolaryngology . 2006 (4); p. 38-40

8. Otvagin IV. The Analysis of the Occurrence of Chronic Disease of the Upper Respiratory Tracts and the Organ Hearing among Population of Three Region of the Central Federal Teritory. Vest Otorinolaryngology . 2007. (6): 38-40

9. Hannaford PC, Simpson JA, Dav, is A, McKerrow W, Mills R. The Prevalence of Ear Nose and Throat Problems in the Community: Result from a National Cross-Sectional Postal Survey in Scotland. Fampra Oxfort Journals . 2005. 22: 227-3

10. Ballenger JJ. Tonsil Dalam Penyakit Telinga Hidung Tenggorok BedahKepala dan Leher, Jilid 2, Edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta . 1994. h. 346 58.

11. Hermani B dkk. Kajian Manfaat Tonsilektomi pada Anal dan Dewasa. Health Technologi Assesment-Indonesia. 2004 hal.1-25.

12. Suyitno S, Sadeli S. Uju Banding Klinik Antara Ofloksacin dengan Amoksisilin Terhadap Penderita Tonsilitis/Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XIV PERHATI Yokyakarta. 1995; 397

13. Kvestad E. Heritability of Recurrent Tonsilitis. Otolaryngology Head and Neck Surgery, 2005; p. 131:383

15. Kisve et all. Ear, Nose and Throat in Paediatric Patients at Rural Hospital in India. Australian Medical Journal.2009 3, 12, 786-90.

16. Sing TT. Pattern of Otorhinolaryngology Head and Neck Diseases in Outpatient Clinic of a Malaysian Hospital. Internet Journal of Head and Neck Surgery. 2007 Vol 2.

17. Lee KJ. Pediatric Otolaryngology, in Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. New York, The McGraw-Hill Companies, ninth edition. 2008p.776-826

18. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs - Lasky M,. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in moderately affected children. Pediatrics.2002;110: p. 7-15

19. Kartika H. Tonsilektomi. Welcome & Joining otolaryngology in Indonesian Language, February 23 . 2008, p.4-36.

20. Kornblut AD, Non Neoplastic Disease of the Tonsil and Adenoid, In, Otolaryngology Head and Neck, Vol III , Chapter 21, Part 4, Saunder Company, Philadelphia. 1991 pp. 2129 45.

.