Upload
yogant3ng
View
21
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Campak
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
CAMPAK (Rubeola)
Pembimbing: dr.
Oleh:
Yudianto Eko Prayogi Tanod (2010730117)
KEPANITERAAN PEDIATRI RSIJ PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat yang tiada terkira besarnya. Atas pertolongan dan kekuasaan-Nya yang
begitu sempurna, penulis dapat menyelesaikan tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di
Rumah Sakit Islam Pondok Kopi. Shalawat serta salam juga penulis haturkan ke junjungan
besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman Jahilliyah
menuju zaman yang penuh cahaya bagi umat yang bertaqwa kepada-Nya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan tugas tinjauan pustaka ini. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan saran, kritik, dan koreksi untuk perbaikan penyajian tinjauan
pustaka ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi khalayak.
Jakarta, November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PEMBAHASAN
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Etiologi
4. Faktor Risiko
5. Patofisiologi
6. Manifestasi Klinis
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Penatalaksanaan
9. Pencegahan
10. Komplikasi
DAFTAR PUSTAKA3
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Campak (Rubeola) atau measles adalah suatu penyakit virus akut yang
disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini sangat infeksius, dapat menular sejak awal
masa prodromal samapai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam. Penyebaran
infeksi terjadi dengan perantara droplet.
2. EPIDEMIOLOGI
Campak adalah endemik pada sebagian besar dunia. Dahulu, epidemi cenderung
terjadi secara irreguler. Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) campak menduduki tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada
bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-
4 tahun (0,77%).
Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi campak di Indonesia timbul secara
tidak teratur. Di daerah perkotaan epidemi campak terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah
terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap campak, yaitu daerah dengan
populasi balita banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah
diketahui bahwa campak menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum,
sehingga mudah terjadi infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai
ialah Bronkopneumonia (75,2%), Gastroenteritis (7,1%), Ensefalitis (6,7%) dan lain-
lain (7,9%).
3. ETIOLOGI
Campak adalah virus RNA dari Famili Paramixoviridae, genus Morbilivirus.
Hanya satu tipe antigen yang diketahui. Selama masa prodromal dan selama waktu
singkat sesudah ruam tampak, virus ditemukan dalam sekret nasofaring, darah dan urin,
minimal selama masa tunas dan dalam waktu singkat sesudah timbulnya ruam. Virus
tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu dalam pengawatan beku,
minimal 4 minggu disimpan dalam temperatur 35˚C. Virus tidak aktif pada pH rendah.
Antibodi dalam sirkulasi dapat didteksi bila ruam muncul.
4. FAKTOR RISIKO
Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak berumur lebih kecil.
Diare dapat diikuti dehidrasi
Otitits media
Laringotrakeobronkitis (croup)
Bronkopneumonia
Ensefalitis akut, terjadi pada 2-10/10.000 kasus dengan angka kematian 10-
15%
Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE): suatu proses degeneratif
sususnan saraf pusat dengan gejala karakteristik terjadi deteriorisasi tingkah
laku dan intelektual yang diikuti dengan kejang. Disebabkan oleh infeksi
virus yang menetap, timbul beberapa tahun setelah infeksi dan merupakan
salah satu komplikasi campak awitan lambat. Terjadi pada 1/25.000 kasus,
menyebabkan kerusakan otak progresifdan fatal.
5. PATOFISIOLOGI
Penularan sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet memalui
udara, sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Di
tempat awal infeksi, penggandaan virus sangat minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya.
Virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuklear,
kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Di sini virus memperbanyak diri dengan
sangat perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel
mononuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel
Warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk T-supressor dan T-helper) yang rentan terhadap
infeksi, turut aktif membelah.
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masi belum diketahui secara lengkap,
tetapi 5-6 hari setalah infeksi awal, terbentuklah fokus infeksi yaitu ketika virus masuk ke
dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran
nafas, kulit, kandung kemih dan usus.
Pada hari ke-9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva,
akan menybabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus
dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis
dari sistem saluran nafas diawali dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva
yang tampak merah. Respons imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada sistem
saluran pernafasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit
berat dan tampak suatu ulsera kecill pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang
dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah
awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak
tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T.
Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara
mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit. Penelitian dengan
imunofluoresens dan histologik menunjukkan adanya antigen campak dan diduga terjadi
suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media dan
lain-lain. Dalam keadaan tertentu pneumonia juga dapat terjadi, selain itu campak dapat
menyebabkan gizi kurang.
6. MANIFESTASI KLINIS
Terjadi setelah masa inkubasi 10-12 hari, terdiri dari tiga stadium:
– Stadium prodromal: ber;angsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang diikuti
dengan batuk, pilek, faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis.
Tanda patognomonik timbulnya enamtema mukosa pipi di depan molar tiga disebut
bercak koplik.
– Stadium erupsi: ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular yang bertahan
selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut di belakang telinga,
kemudian menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekxtremitas.
– Stadium penyembuhan (Konvalesens): setelah 3 hari ruam berangsur-angsur
menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas
yang akan menghilang setelah 1-2 minggu.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah tepi: jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi
infeksi bakteri.
Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan sitologik
8. PENATALAKSANAAN
Terapi pada campak bersifat suportif, terdiri dari:
pemberian cairan yang cukup, misal air putih, jus buah segar, teh, dll untuk
mengembalikan cairan tubuh yang hilang karena panas dan berkeringat karena
demam.
kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran
dan adanya komplikasi.
suplemen nutrisi.
antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder.
anti konvulsi apabila terjadi kejang.
anti piretik bila demam, yaitu non-aspirin misal acetaminophen.
pemberian vitamin A. Terapi vitamin A untuk anak-anak dengan campak di
negara-negara berkembang terbukti berhubungan dengan penurunan angka
kejadian morbiditas dan mortalitas.
Dosis: 6 bulan – 1 tahun : 100.000 IU per oral sebagai dosis tunggal; > 1 tahun :
200.000 IU per oral sebagai dosis tunggal; Ulangi dosis hari berikutnya dan
minggu ke-4 bila didapatkan keluhan oftalmologi sehubungan dengan defisiensi
vitamin A.
Antivirus seperti ribavirin (dosis 20-35 mg/kgBB/hari i.v) telah dibuktikan secara
in vitro terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan penderita campak berat dan
penderita dewasa yang immunocompromissed. Namun penggunaan ribavirin ini
masih dalam tahap penelitian dan belum digunakan untuk penderita anak.
pengobatan komplikasi
9. PENCEGAHAN
– Imunisasi Aktif
Termasuk dalam Program Imunisasi Nasional. Dianjurkan pemberian vaksin
campak dengan dosis 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml secara subkutan pada usia 9
bulan. Imunisasi ulangan diberikan pada usia 6-7 tahun melalui program BIAS.
– Imunisasi Pasif (Imunoglobulin)
Indikasi :
- Anak usia > 12 bulan dengan immunocompromised belum mendapat
imunisasi, kontak dengan pasien campak, dan vaksin MMR merupakan
kontraindikasi.
- Bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak
mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit ini, maka
harus diberikan imunoglobulin sesegera mungkin dalam waktu 7 hari paparan. Setelah
itu vaksin MMR diberikan sesegera mungkin sampai usia 12 bulan, dengan interval 3
bulan setelah pemberian imunoglobulin.
Dosis anak : 0,2 ml/kgBB IM pada anak sehat; 0,5 ml/kgBB untuk pasien
dengan HIV maksimal 15 ml/dose IM.
10. KOMPLIKASI
Pada penyakit campak terdapat resistensi umum yang menurun sehingga
dapat terjadi anergi (uji tuberkulin yang semula positif berubah menjadi negatif).
Keadaan ini mempermudah terjadinya komplikasi sekunder. Campak menjadi
berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak yang lebih kecil. Komplikasi yang
mungkin muncul, antara lain gangguan respirasi (bronkopneumoni, otitis media,
pneumoni, laringotrakeobronkitis), komplikasi neurologis (seperti hemiplegi, paraplegi,
afasia, gangguan mental, neuritis optika dan ensefalitis), juga diare, miokarditis,
trombositopeni, malnutrisi pasca serangan campak, keratitis, hemorragic measles
(morbili yang parah dengan perdarahan multiorgan, demam, dan gejala cerebral) serta
kebutaan.
11. PROGNOSIS
Penyakit campak prognosisnya tergantung dari status gizi dan dehidrasi.
Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita penyakit ini sukar
ditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 5-7%.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Depkes RI. Jakarta :
2008.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1. Cetakan
Pertama : 2010.
Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Cetakan Ketiga. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.