Upload
miasarisetiawan
View
168
Download
17
Embed Size (px)
Teknologi Bioproses, Universitas Indonesia
Review Jurnal “Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu Melalui Kultur In Vitro” Tugas Individu Mata Kuliah Kultur Sel
Mia Sari Setiawan (1006686635)
Depok, 2012
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
1
Daftar Isi
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang………………………………………………………………………………2
1.2. Tujuan………………………………………………………………………………………..3
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1 Vanili (Vanilla planifolia)…..………………………………………………....................... 4
2.2 Syarat Pertumbuhan Vanili…….....………………..…………………………………….......5
2.3 Mutasi Dalam Pemuliaan Tanaman…..………….………………………………………......6
2.4 Media MS + BA…………………….…………………………………………………..........8
2.5 Jamur Fusarium sp.……………………………………………………………......................9
2.6 Penyakit Layu Fusarium........................................................................................................10
2.7 Pengendalian Hayati..............................................................................................................11
Bab III
3.1 Alat dan Bahan……………………………………………………………………………..13
3.2 Metodologi
3.2.1 Keragaman Somaklonal................................................................................................14
3.2.2 Seleksi In Vitro.............................................................................................................15
3.2.3 Penyelamatan Embrio Hasil Persilangan Vanili Budi Daya dan Kerabat Liarnya......16
Bab IV Hasil dan Diskusi
4.1 Keragaman Somaklonal………......………………………………………………………...17
4.2 Seleksi In Vitro…………………………………………………………………..................18
4.3 Penyelamatan Embrio Hasil Persilangan Vanili Budi Daya dan Kerabat Liarnya................20
BAB V Penutup
5.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………….....22
5.2 Saran.......................................................................................................................................22
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………….....23
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir vanili (Vanilla planifolia A.)
terbesar kedua setelah Madagaskar (59%), dengan pangsa sekitar 20-30% dari kebutuhan
dunia. Vanili merupakan salah satu tanaman industri penting sebagai sumber pendapatan
petani dan devisa negara, karena vanili merupakan penyedap rasa termahal kedua di dunia.
Hingga saat ini, tanaman asal Meksiko ini merupakan salah satu komoditas pertanian yang
cukup prospektif untuk dikembangkan. Vanili memiliki harga jual yang relatif lebih tinggi
dibandingkan komoditas lain, khususnya di sub -sektor perkebunan. Berdasarkan harga yang
berlaku saat ini, harga vanili basah bisa mencapai Rp 500 ribu/kg, dan untuk vanili kering
bisa mencapai Rp 1,2 juta hingga Rp 2 juta/kg. Harga vanili mahal, karena budidaya dan
proses pasca panen lebih rumit dari tanaman lain. Produk dari tanaman ini adalah bubuk
vanili yang dapat digunakan sebagai penambah aroma pada industri makanan dan minuman.
Bubuk ini dihasilkan dari buahnya yang berbentuk polong.
Tanaman vanili produksi Indonesia digemari para konsumen karena memiliki kadar
bahan vanilline cukup tinggi, namun dalam pengembangannya menghadapi kendala sulitnya
mendapatkan bibit yang tahan terhadap penyakit serta bermutu tinggi, yaitu ukuran buah
besar dan kadar vanilinnya tinggi (Sukmadjaja et al. 1995). Selain itu, masalah utama dalam
pengembangan tanaman panili adalah belum tersedianya varietas tahan penyakit busuk
pangkal batang atau layu fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum,
padahal serangan penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan hingga 85%.
F. oxysporum menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tomat, kentang, dan
tanaman hias seperti lili, tulip, krisan, gladiol, dan anyelir (Nelson et al.1981). F. oxysporum
menyerang tanaman melalui ujung akar lateral atau ujung akar utama, kemudian bergerak
secara interseluler atau intraseluler dalam jaringan parenkim. Kerentanan terhadap penyakit
ini disebabkan oleh kurangnya keragaman genetik, karena tanaman ini selalu diperbanyak
secara vegetatif (Tombe et al. 2002). Padahal, keragaman genetik yang tinggi merupakan
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
3
salah satu modal untuk mendapatkan varietas unggul (Kumar 1995; Ahloowalia dan
Maluszynski 2001). Perubahan informasi genetik sebagaimana yang dimaksud dapat
didukung dengan teknologi kultur jaringan yang telah dapat diaplikasikan pada vanili.
Teknik yang dapat dikembangkan antara lain adalah melalui induksi keragaman somaklonal,
seleksi in vitro, dan penyelamatan embrio hasil persilangan antara jenis vanili.
1.2 Tujuan
- Meningkatkan produktivitas tanaman vanili.
- Menahan ketahanan tanaman vanili terhadap penyakit layu fusarium.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vanili (Vanilla planifolia)
Vanili (Vanilla planifolia) adalah tanaman penghasil bubuk vanili yang biasa dijadikan
pengharum makanan. Bubuk ini dihasilkan dari buahnya yang berbentuk polong. Tanaman vanili
dikenal pertama kali oleh orang-orang Indian di Meksiko, negara asal tanaman tersebut. Nama
daerah dari vanili adalah panili atau perneli.
Vanili bertipe liar (Vanilla planifolia) dapat diklasifikasi secara ilmiah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Orchidales
Famili : Orchidaceae
Genus : Vanilla
Spesies : V. planifolia
Batang tanaman vanili kira-kira sebesar jari, berwarna hijau, agak lunak, beruas, dan
berbuku. Panjang rata-rata 15 cm. Tumbuhan melekat pada pohon atau tonggak yang telah
disediakan. Daun vanili merupakan daun tunggal. Letaknya berselang-seling pada masing-masing
buku. Warnanya hijau terang, dengan kepanjangan 10-25 cm serta lebar 5-7 cm. Bentuk daun
pipih, berdaging, bulat telur, jorong atau lanset dengan ujung lancip. Tulang daun sejajar, tampak
setelah daun tersebut tua atau mengering, sedangkan pada waktu daun masih muda tidak jelas
kelihatan. Rangkaian bunga vanili adalah bunga tandan yang terdiri dari 15-20 bunga. Bunga
keluar dari ketiak daun bagian pucuk batang. Bentuk bunganya duduk, berwarna hijau-biru agak
pucat, panjang 4-8 cm dan berbau agak harum. Bunga vanili terdiri dari 6 daun bunga (3 sepal, 3
petal) yang terletak dalam dua lingkaran. Daun bunga bagian luar (sepal) sedikit lebih besar
daripada bagian dalam petal. Satu dari petalnya berubah bentuk, menggulung seperti corong yang
disebut bibir (rostelum) (Sukmadjaja, D., I. Mariska, A. Husni, E.G. Lestari, S. Fatimah, D.
Surahman, dan Sutrisno. 1995).
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
5
2.2 Syarat Pertumbuhan Vanili
Vanili dapat hidup di iklim tropis dengan curah hujan 1000-3000 mm/tahun. Intensitas
cahaya matahari ± 30%-50%, suhu udara optimum 200C-25
0C, kelembaban udara sekitar 60%-
80%, ketinggian tempat 300-800 m dpl. Tipe tanah yang mendukung untuk pertumbuhan
tanaman vanili adalah tanah gembur, ringan yaitu tipe tanah lempung berpasir (sandy loam) dan
lempung berpasir kerikil (gravelly sandy loam), mudah menyerap air, dengan pH ± 5,7 – 7
(Mauludi, 1994).
Tanaman vanili berbuah melalui penyerbukan. Putik pada bunga vanili tertutup oleh bibir,
sehingga penyerbukan secara alamiah terhalang. Kepala sari (anther) berisi dua butir tepung sari,
letaknya lebih tinggi daripada kepala putik. Keistimewaan dari bunga vanili yaitu kepala putiknya
berisi cairan perekat. Bila tepung sari diletakkan disana akan segera menempel dan terjadilah
pembuahan. Bunga vanili yang telah mekar hanya dapat bertahan satu hari. Jika bunga yang telah
mekar itu tidak segera dikawinkan, akan layu dan kemudian rontok. Oleh sebab itu harus sering
keliling kebun untuk mengontrol perkembangan vanili.
Saat yang baik untuk mengawinkan bunga vanili adalah pada pagi hari. Hari-hari basah dan
kering sekali tidak baik untuk penyerbukan. Berhasil atau tidaknya penyerbukan akan tampak
setelah dua atau tiga hari. Bunga yang berhasil diserbuki akan berubah warnanya menjadi lebih
pucat. Enam buah daun bunganya akan layu tetapi tangkai bunganya tetap menempel pada tandan
bunga. Bunga yang tidak berhasil diserbuki akan gugur. Setelah terjadi pembuahan antara 10-15
buah, bunga pada tandan yang masih kuncup sebaiknya dipangkas, agar zat makanan yang
dihisap oleh tanaman diakumulasikan pada pembentukan dan pembesaran buah.
Pada waktu bunga mekar, panjang bakal buah 2-4 cm dengan garis tengah 5 mm. Satu minggu
setelah penyerbukan bakal buah itu dapat mencapai panjang 8-10 cm. Lima minggu kemudian
buah telah mencapai panjang maksimal 20-25 cm, dengan garis tengah 1,5 cm. Setelah buah
mencapai perkembangan yang maksimal, lima atau enam bulan kemudian buah akan masak.
Warna buah mula-mula hijau muda, kemudian hijau tua disertai dengan garis-garis kuning
menjelang masak. Buah yang telah masak berwarna coklat tua. Jika dibiarkan masak di pohon,
buah akan pecah menjadi dua bagian, dan menyebarkan aroma vanili. Biji buah kecil-kecil,
banyak sekali jumlahnya, berwarna hitam dan berukuran kira-kira 0,2 mm.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
6
2.3 Mutasi dalam Pemuliaan Tanaman
Pemuliaan tanaman merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memperbaiki sifat
tanaman, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemuliaan tanaman bertujuan untuk
menghasilkan varietas tanaman dengan sifat-sifat (morfologi, fisiologi, biokimia, dan agronomi)
yang sesuai dengan sistem budidaya yang ada dan tujuan ekonomi yang diinginkan. Indikasi
keberhasilan pemuliaan tanaman adalah terdapatnya variasi genetik dalam suatu populasi. Variasi
genetik dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu koleksi, introduksi, hibridisasi, dan induksi
mutasi (Crowder, 1986). Pemuliaan tanaman secara konvensional dilakukan dengan hibridisasi,
sedangkan pemuliaan secara mutasi dapat diinduksi dengan iradiasi atau mutagen kimia.
Mutasi adalah suatu proses dimana suatu gen mengalami perubahan struktur (Crowder,
1986), sedangkan definisi mutasi oleh Poehlman and Sleper (1995) adalah suatu proses
perubahan yang mendadak pada materi genetik dari suatu sel, yang mencakup perubahan pada
tingkat gen, molekuler, atau kromosom. Induksi mutasi merupakan salah satu metode yang efektif
untuk meningkatkan keragaman tanaman (Wulan, 2007). Mutasi gen terjadi sebagai akibat
perubahan dalam gen dan timbul secara spontan. Gen yang berubah karena mutasi disebut mutan.
Mutasi dapat terjadi pada setiap tahap perkembangan dari suatu organisme, dalam sel-sel
dari setiap jaringan baik somatik maupun germinal. Mutasi dalam sel tunggal sering terlihat pada
sel epidermis dari mahkota bunga dan daun (Crowder, 1986).
2.3.1 Aplikasi Mutasi
Mutasi memiliki arti penting bagi pemuliaan tanaman, yaitu (1) Iradiasi
memungkinkan untuk meningkatkan hanya satu karakter yang diinginkan saja, tanpa
mengubah karakter yang lainnya. (2) Tanaman yang secara umum diperbanyak secara
vegetatif pada umumnya bersifat heterozigot yang dapat menimbulkan keragaman yang
tinggi setelah dilakukannya iradiasi. (3) Iradiasi merupakan satu-satunya cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan keragaman pada tanaman yang steril dan apomiksis (Melina,
2008). Mutasi juga dapat menghasilkan karagaman yang lebih cepat dibandingkan pemuliaan
secara konvensional. Selain itu, mutasi juga dapat menghasilkan keragaman yang tidak dapat
diprediksi dan diduga. Hal ini sangat baik dalam perkembangan tanaman hias. Pemuliaan
dengan mutasi, selain mempunyai beberapa keunggulan juga memiliki beberapa kelemahan,
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
7
dimana sifat yang diperoleh tidak dapat diprediksi dan ketidakstabilan sifat-sifat genetik yang
muncul pada generasi berikutnya (Syukur, 2000).
Aplikasi induksi mutasi dengan mutagen fisik dapat dilakukan melalui beberapa teknik,
yaitu (a) iradiasi tunggal (acute iradiation), (b) chronic irradiation, (c) iradiasi terbagi
(frationated irradiation), dan (d) iradiasi berulang (Misniar, 2008). Iradiasi tunggal adalah
iradiasi yang dilakukan hanya dengan satu kali penembakan sekaligus. Chronic irradiation
adalah iradiasi dengan penembakan dosis rendah, namun dilakukan secara terus-menerus
selama beberapa bulan. Iradiasi terbagi adalah radiasi dengan penembakan yang seharusnya
dilakukan hanya satu kali, namun dilakukan dua kali penembakan dengan dosis setengahnya
sedangkan radiasi berulang adalah radiasi dengan memberikan penembakan secara berulang
dalam jarak dan waktu yang tidak terlalu lama.
2.3.2 Induksi Mutasi Radiasi pada Tanaman
Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam bentuk panas,
partikel, atau gelombang elektromagnetik (foton) dari suatu sumber energi (BATAN,
2008). Radiasi energi tinggi adalah bentuk-bentuk energi yang melepaskan tenaga dalam
jumlah yang besar dan kadang-kadang disebut juga radiasi ionisasi (BATAN, 2008) karena
ion-ion dihasilkan dalam bahan yang dapat ditembus oleh energi tersebut (Crowder, 1986).
Radiasi dapat menginduksi terjadinya mutasi karena sel yang teradiasi akan dibebani oleh
tenaga kinetik yang tinggi, sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia sel
tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perubahan susunan kromosom
tanaman (Poespodarsono, 1988).
Radiasi memiliki beberapa tipe, yaitu radiasi sinar X, radiasi sinar gamma, dan radiasi
sinar ultra violet (Crowder, 1986). Radiasi sinar gamma dipancarkan dari isotop radio aktif,
panjang gelombangnya lebih pendek dari sinar X, dan daya tembusnya adalah yang paling
kuat. Hidayat, (2004) mengatakan bahwa sinar gamma merupakan bentuk sinar yang paling
kuat dari bentuk radiasi yang diketahui, kekuatannya hampir 1 miliar kali lebih berenergi
dibandingkan radiasi sinar X.
Induksi mutasi telah dilakukan pada tanaman hias sejak tahun 1930 (Karniasan, 2005)
sedangkan mutasi induksi di Indonesia baru diperkenalkan sejak berdirinya Instalasi Sinar
Co60 di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Pasar Jumat tahun 1967 dan program penelitian
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
8
dengan induksi mutasi secara intensif baru dimulai pada tahun 1972 (Soedjono, 2003).
Kultivar hasil iradiasi yang pertama kali dihasilkan adalah kultivar Faraday pada tahun
1936, pada kultivar tersebut terlihat adanya perubahan warna pada tanaman yang dinduksi
mutasi. Beberapa abad kemudian induksi mutasi telah dikembangkan pada berbagai
tanaman seperti dendranthema, dianthus, dan euphorbia. Pada tahun 1937-1976 telah
dihasilkan 5.819 varietas mawar yang 865 diantaranya adalah hasil dari induksi mutasi.
Pada tanaman azalea dan krisan, sekitar 50% varietas yang ada adalah hasil induksi mutasi.
Induksi mutasi fisik dengan iradiasi sinar gamma memberikan pengaruh yang berbeda
antar tanaman hias. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh tingkat radiosensitivitas masing-
masing tanaman. Semakin tinggi tingkat radiosensitivitas tanaman, semakin mudah
tanaman tersebut mengalami mutasi. Radiosensitivitas A. Costatum dan A. Dona Carmen
tergolong tinggi, sehingga tidak terdapat LD50 pada dosis penembakan 10 Gy – 50 Gy
(Misniar, 2008).
2.4 Media MS + BA
Media yang digunakan dalam percobaan ini adalah media MS + BA. Media MS + BA
merupakan modifikasi dari media Murashige dan Skoog (MS) yang sering digunakan karena
cukup memenuhi unsur hara makro, mikro, dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman. Perbedaan
pada komposisi media akan memberikan hasil yang berbeda terhadap perkembangan eksplan
yang ditumbuhkan secara in vitro. Pada media MS + BA, media MS ditambahkan 6-
Benzylaminopurin (BAP). Berdasarkan penelitian Wuriyanti dan Priyono (2004) diperoleh hasil
bahwa penambahan BAP dan kinetin dengan konsentrasi 0-1 ppm dalam media MS modifikasi
mampu memacu pertubuhan tunas V. planifolia dari eksplan nodus dan setengah nodus, dimana
penggunaan media MS modifikasi dengan penambahan 0,5 ppm kinetin pada eksplan nodus
menghasilkan pertumbuhan tunas yang baik selama kurun waktu satu bulan.
Perbandingan konsentrasi yang tepat antara sitokinin dan auksin baik untuk pertumbuhan
eksplan kultur in vitro, dimana konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan auksin akan
memacu pertumbuhan tunas dan sebaliknya bila konsentrasi auksin lebih tinggi akan memacu
pertumbuhan akar (Hendaryono, 1994).
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
9
2.5 Jamur Fusarium sp.
Fusarium merupakan jenis jamur yang tersebar luas dalam tanah dan substrat organik,
bersifat patogen pada tanaman dan penyebab mikotoksiskosis pada ternak. Jenis jamur Fusarium,
yaitu F. vertisilliodes, F. sporottrichiodes, F. acuminatum, F. aquaeducatuum, dan F.
penicilliodes. F. verticilliodes, F. aquaeductuum, dan F. penicilliodes (Ellis, 2007). Di alam
jamur Fusarium membentuk konidium. Konidiofor bercabang-cabang dan makro konidium
berbentuk sabit, bertangkai kecil, seringkali berpasangan. Miseliumnya terutama terdapat di
dalam sel khususnya di dalam pembuluh kayu, juga membentuk miselium yang terdapat di antara
sel-sel, yaitu di dalam kulit dan jaringan parenkim di dekat terjadinya infeksi. Jamur Fusarium sp.
terdiri atas makrokonidia, mikrokonidia, klamidospora dan miselia (Ellis, 2007).
Jamur Fusarium dapat bertahan lama di dalam tanah selama beberapa tahun. Patogen
dapat bertahan secara alami di dalam tanah dan pada akar-akar tanaman sakit. Apabila terdapat
tanaman peka, melalui akar yang luka dapat segera menimbulkan infeksi (Ellis, 2007). Adapun
taksonomi Fusarium sp. secara ilmiah menurut Alexopoulus (1979) dalam Onions, et al. (1981:
113) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisio : Deuteromycota
Subdivisio : Deuteromycotina
Classis : Hyphomycetes
Ordo : Moniliales
Familia : Turbeculariaceae
Genus : Fusarium
Species : Fusarium sp.
Jamur berfilamen yang bersifat saproba ini dapat memproduksi mycotoksin. Toksin utama
yang diproduksi adalah Fumonisins dan Trichothecenes (Ellis, 2007). Penampakan koloni
Fusarium sp. pada medium PSA terlihat berbentuk benang putih dan dapat tumbuh ke segala arah
(Gambar 2.1 a). Ciri-ciri umum Fusarium sp. secara mikroskopis (Gambar 2.1 b) menurut
Muchtadi (1980: 209) antara lain:
1. Konidia bersel banyak, berbentuk runcing atau berbentuk bulan sabit.
2. Spora aseksual dihasilkan dari dua atau lebih sel.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
10
3. Hifa terang dan transparan, tidak berwarna atau berwarna cerah.
4. Miselium mempunyai banyak septa.
konidiaGambar 2.1 (a) Biakan jamur Fusarium sp. pada medium PSA umur 5 hari; (b) Jamur
Fusarium sp. secara mikroskopis perbesaran 400x
Sumber: repository.upi.edu
Karakteristik lain dari Fusarium sp. menurut Berkenshow (1975: 218) antara lain adalah:
1. Hifa bersekat dan membentuk percabangan.
2. Awalnya tidak berwarna tetapi kemudian menjadi krem/ kuning muda.
3. Dapat menghasilkan metabolit sekunder sehingga warna koloni jamur menjadi merah muda /
ungu.
4. Spora terbentuk ketika patogen berada dalam pembuluh inangnya.
5. Dalam pembuluh xylem, miselium menghasilkan 3 macam toxin, yaitu asam fusarik, asam
dehidro-fusarik dan likomarasmin.
2.6 Penyakit Layu Fusarium
Layu menurut Agrios (1978: 703) adalah gejala sekunder yang menyeluruh dimana daun
atau tunas kehilangan turgor dan merunduk karena terganggunya sistem vaskular akar dan batang.
Penyakit layu fusarium disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp. Penyakit ini tersebar luas
menyerang pertanian dan perkebunan di Indonesia (Sahlan, 1996 dalam Darnetty et al., 2003:
116). Penyebab terjadinya layu fusarium dikarenakan lingkungan / situasi yang memungkinkan
bertumbuhnya jamur Fusarium misalkan temperatur yang terlalu lembab.
Berbagai jenis tanaman perkebunan dapat terkena serangan layu fusarium. Sebagai contoh,
pada tanaman pisang patogen ini menyerang jaringan empulur batang melalui akar yang luka atau
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
11
terinfeksi. Batang yang terserang akan kehilangan banyak cairan dan berubah warna menjadi
kecoklatan, tepi bawah daun menjadi kuning tua (layu), merambat ke bagian dalam secara cepat
sehingga seluruh permukaan daun tersebut menguning. Tangkai daun patah pada bagian
pangkalnya yang berbatasan dengan batang palsu. Kadang-kadang lapisan luar batang palsu
terbelah mulai dari permukaan tanah (Sahlan, et al., 1996).
Jika pangkal batang dibelah membujur terlihat garis coklat atau hitam pada jaringan
pembuluh. Apabila bonggol pisang yang sakit dibongkar akan tampak sebagian besar leher akar
membusuk dan berwarna kehitam-hitaman. Tanaman yang terserang tidak akan mampu berbuah
atau buahnya tidak terisi. Lamanya waktu antara saat terjadinya infeksi penyakit sampai
munculnya gejala penyakit berlangsung kurang lebih 2 bulan (Univ. of Toronto, 2008).
Fusarium sp dapat menghasilkan senyawa kimia asam fusarat yang menyebabkan layu pada
tanaman. Asam fusarat atau asam 5-nbutilpiridin-2-karboksilat merupakan racun yang larut dalam
air yang sekaligus juga merupakan antibiotik. Toksin ini mengganggu permeabilitas membran
plasma dari sel tanaman inang sehingga menyebabkan tanaman yang terinfeksi lebih cepat
kehilangan air. Adanya hambatan pergerakan air dalam tubuh tanaman menyebabkan terjadinya
layu patologis yang tidak bisa balik yang berakibat kematian tanaman (Kadir, 2006).
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan pergiliran masa tanam dan menjaga
kondisi lingkungan, menanam pada areal baru yang belum ditanami serta pemberian Natural
GLIO sebelum atau pada saat tanam (Prabowo, 2007).
2.7 Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati menurut Istikorini (2002) adalah pengendalian dengan cara
memanfaatkan musuh alami untuk mengendalikan OPT termasuk memanipulasi inang,
lingkungan atau musuh alami itu sendiri. Pengendalian hayati umumnya beresiko kecil, tidak
mengakibatkan kekebalan atau resurgensi, tidak membahayakan kesehatan manusia maupun
lingkungan.
Pengendalian hayati secara terpadu diharapkan dapat menciptakan kondisi yang tidak
mendukung bagi kehidupan organisme penyebab penyakit atau mengganggu siklus hidupnya
(Cook & Baker, 1974: 38). Suatu pendekatan yang relatif baru dalam pengendalian penyakit
tanaman adalah penggunaan mikroorganisme sebagai pengganti bahan kimia (Sudadi, 2005: 18),
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
12
yaitu dengan memanfaatkan interaksi antar jasad renik. Salah satu mekanisme pengendalian
hayati yaitu antagonisme. Menurut Sudadi (2005: 22), Antagonis adalah mikroorganisme yang
mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan
berasosiasi dengannya. Organisme yang akan dijadikan antagonis hendaknya bersifat saprofit dan
tidak merugikan tanaman.
Pemanfaatan musuh alami dalam mengendalikan OPT dapat menjaga keseimbangan
lingkungan karena sumberdaya tersebut dikembalikan lagi ke alam sehingga kualitas lingkungan
terutama tanah dapat dipertahankan. Di alam musuh alami dapat terus berkembang selama nutrisi
dan faktor-faktor lain (kelembaban, suhu dan lain-lain) sesuai untuk pertumbuhannya. Cook &
Baker (1974: 39) menyatakan bahwa antagonisme antar jasad renik tanah merupakan faktor yang
penting dalam upaya pengendalian hayati penyakit tanaman (PHPT) asal tanah (soil-born
disease). Perhatian yang besar terutama ditujukan pada antagonisme bakteri dan fungi penyebab
penyakit tanaman di dalam tanah.
Antagonisme dan penghambatan antar jasad renik sangat erat kaitannya dengan fisiologis
jasad. Beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan aktivitas agensia pengendalian hayati
(biokontrol) meliputi kompetisi atas senyawa karbon, nitrogen dan hara mikro (Hemming, 1990
dalam Sudadi, 2005: 26). Antagonisme dapat terjadi melalui kontak langsung, melalui aktivitas
antibiotik, karena perubahan lingkungan akibat aktivitas metabolisme atau akibat persaingan atas
hara tertentu yang terbatas jumlahnya (Brock, 1966; Gray & Williams, 1971; Clark, 1979 dalam
Sudadi, 2005: 26). Kebutuhan faktor lingkungan yang berbeda antar jasad renik memudahkan
untuk memacu timbulnya antagonisme (Gray & Williams, 1971 dalam Sudadi, 2005: 27).
Antagonisme menurut Sudadi (2005: 29), meliputi (1) kompetisi nutrisi atau sesuatu yang
lain dalam jumlah terbatas tetapi diperlukan oleh OPT, (2) antibiosis sebagai hasil dari pelepasan
antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh mikroorganisme dan berbahaya bagi OPT dan (3)
predasi, hiperparasitisme, mikroparasitisme atau bentuk yang lain dari eksploitasi langsung
terhadap OPT oleh mikroorganisme yang lain.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
13
BAB III
PERLAKUAN DAN KULTUR EKSPLAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Bahan
Eksplan kalus, biji,dan kecambah struktur globular dan torpil untuk metode
keragaman somaklonal.
Media dasar MS+BA 2,50 mg/l.
Konidia dari F. oxysporum F-117-10 (VG1-02100B1).
Eksplan kecambah struktur globular ukuran 1 cm untuk metode seleksi in
vitro.
Asam fusarat 0, 15, 20, 40, 60, dan 75 mg/l.
Filtrat F. oxysporum.
Media ½ MS+BA 1 mg/l
Suspensi konidia F. oxysporum sp. vanillae F117-101VOC0201B1 dengan
kerapatan 104/ml
3.1.2 Alat
Pisau pemotong
Radiator sinar gamma
Labu erlenmeyer
Pipet steril
Pot
Ruang aklimatisasi (rumah kaca)
Lahan endemis
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
14
3.2. Metodologi
3.2.1. Keragaman Somaklonal
Gambar 3.1 Bagan tahapan metode keragaman somaklonal
Keragaman somaklonal adalah metode untuk mengubah informasi genetik
dengan menginduksi menggunakan radiasi sinar gamma pada eksplan yang telah
disediakan (kalus, biji, serta kecambah gase globular dan torpil). Dosis radiasi untuk
masing-masing antara lain:
0; 0,1; 0,3; 0,4; dan 0,7 Gy untuk kalus.
0, 10, 20, dan 30 Gy untuk biji.
0, 1, 3, dan 5 Gy untuk kecambah struktur globular dan torpil.
Eksplan yang telah terinduksi proses mutasinya dengan diradiasi kemudian
ditanam pada media regenerasi, yaitu media dasar MS+BA 2.50mg/l. Plantet hasil
regenerasi dan biakan yang telah diradiasi ini kemudian diaklimatisasi di dalam
rumah kaca dan diamati pertumbuhannya (panjang ruas, jumlah daun, panjang daun,
lebar daun, dan rasio lebar dan panjang daun, L/B). Selanjutnya, hasil pertumbuhan
akan diseleksi atau diuji ketahanannya dengan menambahkan konidia dari F.
oxysporum F-117-10 (VG1-02100B1). Somaklon yang bertahan dan tidak
menunjukkan gejala pembusukan menghasilkan suatu galur murni yang tahan
terhadap penyakit layu fusarium. Tanaman yang lolos uji resistensi akan ditanamkan
Induksi bahan eksplan
radiasi
Regenerasi di media dasar MS+BA 2,50 mg/l
Aklimatisasi di rumah kaca dan uji resistensi
Pertumbuhan somaklon hasil seleksi di lahan endemis
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
15
di lahan endemis Sukamulya, Sukabumi untuk dibandingkan dengan tanaman vanili
kontrol yang tidak diinduksi dengan radiasi.
3.2.2 Seleksi In Vitro
Gambar 3.2 Bagan tahapan metode Seleksi in vitro
Seleksi in vitro pada eksplan kecambah struktur globular ukuran 1 cm dengan
4 variasi konsentrasi, yaitu 0, 15, 20, 40, 60, dan 75 mg/l. Hasil biakan lalu diseleksi
lagi menggunakan asam fusarat berkonsentrasi lebih tinggi yaitu 75 mg/l. Eksplan-
eksplan ini kemudian diseleksi silang menggunakan filtrat F. oxysporum. Beberapa
galur yang lolos uji adaptasi dalam media seleksi akan memasuki tahap aklimatisasi
dan diuji lagi menggunakan konidia F. oxysporum seperti pada metode sebelumnya,
lalu galur yang dihasilkan (tanaman yang lolos seleksi) akan ditumbuhkan pada lahan
endemis.
Seleksi eksplan kecambah pada struktur torpil pada asam fusarat (tahap 1)
Seleksi kembali dalam asam fusarat (tahap 2)
Seleksi silang dengan filtrat F. oxysporum
Aklimatisasi dan penanaman pada lahan endemis (dibandingkan dengan kontrol)
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
16
3.2.3 Penyelamatan Embrio Hasil Persilangan Vanili Budi Daya dan Kerabat
Liarnya
Gambar 3.3 Bagan tahapan metode penyelamatan embrio hasil persilangan vanili
Metode ini mengambil embrio hasil persilangan antara vanili budi daya dan
vanili liar yang mempunyai informasi genetik tahan terhadap penyakit layu fusarium
lalu dikulturkan secara in vitro pada media ½ MS+BA 1 mg/l (Mariska et al. 1997).
Setelah dikulturkan secara in vitro, kecambah hibrid akan ditumbuhkan pada lahan
endemis.
Pengujian ketahanan penyakit dilakukan menggunakan suspensi konidia F.
oxysporum sp. vanillae F117-101VOC0201B1 dengan kerapatan 104/ml pada
tanaman hasil persilangan menghasilkan galur yang tahan penyakit (Mariska et al.
1999). Saat diaklimatisasi, populasi dipisahkan menjadi 2, yaitu populasi kontrol dan
populasi terikat. Populasi kontrol adalah hasil hibrid antara vanili budi daya dengan
sesamanya, sedangkan populasi terikat adalah hasil hibrid antara vanili budi daya
dengan tipe liarnya. Pada saat aklimatisasi akan dilakukan seleksi lebih lanjut seperti
pada metode selanjutnya. Hasil galur murni inilah yang akan ditanam pada lahan
endemis.
Kultur in vitro embrio hasil persilangan
Seleksi dengan suspensi konidia F. oxysporum. sp. vanillae F117-101VOC0201B1
Aklimatisasi dengan seleksi
Ditanam pada lahan endemis
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keragaman Somaklonal
Radiasi menggunakan berbagai dosis ini menyesuaikan dengan jenis eksplan yang akan
digunakan. Dari yang paling halus yaitu eksplan kalus, lalu biji, dan yang paling tahan
terhadap radiasi adalah kecambah. Jika radiasi yang diberikan terlalu kuat dikhawatirkan
dapat merusak jaringan dan menonfungsikan pertumbuhannya ataupun perubahan yang
diakibatkan melenceng tidak sesuai dengan harapan.
Penanaman eksplan hasil radiasi ini pada media dasar MS+BA 2,50mg/l menghasilkan
pertumbuhan yang sangat lambat dari biakan eksplan kecambah struktur globular yang
telah diradiasi, terutama pada eksplan yang diradiasi dengan dosis 3 dan 5 Gy, sehingga
tunas yang dihasilkan sangat rendah (Sukmadjaja et al. 1995).
Aklimatisasi pada rumah kaca memberikan profil pertumbuhan sebagai berikut.
Tabel 4.1 Pertumbuhan tanaman vanili hasil radiasi pada umur 12 bulan di rumah kaca
Sumber: Sukmadjaja et al. (1996).
Pertumbuhan plantet di rumah kaca menunjukkan karakteristik yang serupa untuk kasus
eksplan kecambah struktur globular, sedangkan pada biji, terdapat peningkatan
pertumbuhan pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Hal ini menyatakan bahwa terdapat
rentang optimum dari jenis eksplan yang perlu disesuaikan besarnya agar mendapatkan
hasil yang baik.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
18
Seleksi menggunakan konidia F. oxysporum F-117-10 (VG1-02100B1) menghasilkan
beberapa somaklon yang tahan, yaitu tidak menunjukkan gejala bau busuk fusarium.
Gejala khas penyakit busuk fusarium umumnya mulai muncul pada minggu ke-1 sampai
ke-3 setelah inokulasi, dimulai dengan membusuknya pangkal batang dan daun menjadi
kekuningan (Sukmadjaja et al. 1997).
Tanaman yang tahan otomatis akan memberikan performa pertumbuhan yang baik saat
ditanam di lahan endemis Sukamulya, Sukabumi. Tanaman ini tetap hidup sampai 3
tahun, menunjukka tingkat ketahanan yang tinggi setelah diuji kembali menggunakan
konidia F. oxysporum (Lestari et al. 2001).
Hasil somaklon yang tidak terserang penyakit berasal dari eksplan biji yang diradiasi
dengan dosis 1 Gy dan eksplan kecambah pada struktur torpil yang diradiasi dengan
dosis 0,30G Gy (dapat dilihat pada Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Tingkat serangan penyakit layu pada tanaman vanili hasil radiasi pada bulan ke-4
setelah tanam
Sumber: Lestari et al. (2001).
4.2 Seleksi In Vitro
Eksplan yang telah melewati 2 tahap seleksi menggunakan asam fusarat, kemudian
diseleksi silang menggunakan filtrat F. Oxysporum menunjukkan pertumbuhan yang
sangat lambat dan regenerasinya memerlukan waktu yang sangat lama yakni sekitar 18
bulan (Kosmiatin et al. 2000). Hal ini disebabkan karena asam fusarat bersifat toksik
sehingga dapat merusak sel.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
19
Profil seleksinya dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Pertumbuhan tunas vanili pada media seleksi silang filtrat Fusarium
oxysporum setelah diseleksi menggunakan asam fusarat
Sumber: Kosmiatin et al. (2000).
Setelah seleksi bertahap, pada seleksi awal menggunakan konsentrasi asam fusarat yang
rendah (15 mg/l dan 45 mg/l), menunjukkan kenaikan persentase biakan hidup.
Sedangkan pada konsentrasi tinggi (60 gr/l dan 75 mg/l) menunjukkan penurunan. Hal ini
karena kerusakan pada jaringan akibat konsentrasi asam fusarat yang terlalu tinggi. Pada
perlakuan tahap pertama tanpa komponen seleksi, menunjukkan hal serupa dengan
perlakuan awal dengan asam fusarat 75 mg/ dimana tidak ada eksplan yang tumbuh pada
media filtrat. Dengan demikian, seleksi perlu dilakukan secara bertahap untuk
meningkatkan kemampuan biakan beradaptasi pada media seleksi. Persentase biakan
hidup yang tinggi pada media seleksi menggunakan filtrat menunjukkan bahwa biakan
tersebut tahan pada media seleksi menggunakan asam fusarat (Mariska et al. 2000).
Pada saat diaklimatisasi di dalam rumah kaca dan diseleksi menggunakan media seleksi
filtrat F. oxysporum, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
20
Tabel 4.4 Persentase hidup bibit panili hasil seleksi menggunakan F. Oxysporum
di rumah kaca dan di lahan endemis
Sumber: Mariska et al. (1999).
Pengujian menggunakan konidia F. oxysporum di rumah kaca pada berbagai galur
menunjukkan bahwa tanaman kontrol (tidak melalui tahap seleksi) tidak ada yang
menunjukkan gejala tahan terhadap penyakit (Mariska et al. 1999).
Tanaman hasil seleksi menggunakan konidia F. oxysporum menunjukkan tingkat
ketahanan yang tinggi pula setelah ditanam di lahan endemis (Tabel 4.4). Satu bulan
setelah penanaman di lahan endemis, sebagian tanaman kontrol (tanpa tahap seleksi) mati,
hanya 9% yang tidak terserang. Sebaliknya pada tanaman yang diseleksi.
4.3 Penyelamatan Embrio Hasil Persilangan Vanili Budi Daya dan Kerabat Liarnya
Pada pembiakan menggunakan media ½ MS+BA 1 mg/l, tingkat perkecambahan
mencapai 100% untuk eksplan biji hibrida umur 12 minggu setelah polinasi. Makin tua
umur biji (lebih dari 16 minggu) makin kecil keberhasilan perkecambahan. Eksplan biji
hibrida umur 8 minggu hanya mampu membentuk kalus. Keberhasilan pembentukan
kecambah menunjukkan bahwa kultur in vitro sangat efektif untuk menyelamatkan
embrio vanili hasil persilangan antarspesies.
Pengujian ketahanan penyakit menggunakan suspensi konidia F. oxysporum sp. vanillae
F117-101VOC0201B1 dengan kerapatan 104/ml pada tanaman hasil persilangan
menunjukkan profil seperti pada Tabel 4.5.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
21
Tabel 4.5 Pengujian ketahanan penyakit pada tanaman vanili hasil persilangan di rumah kaca dan
di lahan endemis
Sumber: Mariska et al. (1999).
Populasi M1 merupakan populasi yang tidak disilangkan dengan tanaman vanili liar,
sedangkan M3 merupakan populasi yang disilangkan dengan tanaman vanili liar. Pada
saat disilangkan, populasi M1 berhasil tumbuh sebanyak 40%, sedangkan pada saat
ditanamkan di lahan endemis, tanaman yang tidak disilangkan tidak ada yang berhasil
tumbuh.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pengendalian terhadap penyakit layu fusarium pada tanaman vanili dapat diantisipasi
dengan melakukan perubahan informasi genetik sehingga menghasilkan tanaman yang tahan
terhadap penyakit layu fusarium. Beberapa teknik yang bisa lakukan adalah menginduksi
mutasi menggunakan sinar gamma dikombinasikan dengan kultur in vitro, seleksi in vitro
menggunakan media seleksi berupa asam fusarat dan filtrat F. oxysporum, dan persilangan
antara vanili budi daya dengan vanili liar yang secara genetis tahan terhadap penyakit layu
fusarium, dikombinasikan dengan kultur in vitro untuk menyelamatkan embrio yang
dihasilkan. Hasil seleksi ini akan menghasilkan galur murni yang selanjutnya akan
diaklimatisasi dan ditanam di lahan endemis.
Secara sederhana metodenya dapat diartikan sebagai membuat tanaman vanili terbiasa
dan terseleksi menghasilkan kumpulan galur murni yang kuat terhadap seleksi media yang
diberikan, misalnya asam fusarat dan filtrat dari F. oxysporum. Dengan metode ini, akan
didapatkan tanaman vanili bernilai ekonomis tinggi karena dapat menekan tingkat serangan
penyakit.
Pada metode induksi mutasi menggunakan radiasi sinar gamma, pertumbuhan
optimum ditunjukkan oleh dosis 1 Gy untuk eksplan kecambah struktur globular dan 30 Gy
untuk eksplan biji. Metode seleksi in vitro akan mendapatkan hasil biakan hidup paling
tinggi pada konsentrasi asam fusarat berkonsentrasi 45 mg/l saat diseleksi pada tahap
pertama, sedangkan pada pemulihan embrio hasil persilangan terbukti bahwa kecambah hasil
dari biji persilangan antara tanaman vanili liar dan vanili budi daya menunjukkan ketahanan
terhadap penyakit layu fusarium saat ditanamkan pada lahan endemis.
5.2. Saran
Pengetahuan serta pengalaman yang luas mengenai teknik kultur jaringan tidak boleh
dilupakan karena akan sangat membantu dalam proses pengembangan ketiga metode ini.
Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vivo
`
Mia Sari S. (1006686635) | Teknologi Bioproses DTK FTUI
23
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Reproduksi tanaman Vanili. http://biologimediacentre.com/reproduksi-generatif-
pada-tumbuhan (diakses tanggal 25 Desember 2012, pukul 19.00).
Crowde, L. V. 1986. Mutagenesis. Hal 322 – 356. Dalam Soetarso (Ed). Genetika Tumbuhan.
Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.
Lestari, Endang G., dkk. 2006. Perbaikan Ketahanan Tanaman Panili Terhadap Penyakit Layu
Melalui Kultur In Vitro. Jurnal Litbang Penelitian, 25(4): Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor.
Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU IPB dan LSI-IPB. Bogor.
168 hal.
Yunasfi, Hutan. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Layu
Fusarium.www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1043/1/hutan-yunasfi.pdf
(diakses tanggal 26 Desember 2012, pukul 22.00)