18
BAB I PENDAHULUAN Fungsi fisiologik kelenjar adrenal yang penting dikenal sejak tahun 1855 ketika Addison melihat gejala klinik pasien dengan kerusakan kelenjar tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Addison Disease. Bagian korteks mengeluarkan hormonn-hormon steroid yaitu glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron oleh zona fasikulata) dan mineralokortikoid (aldosteron oleh zona glomerulosa) yang efeknya berlainan. Hormon kortisol dan kortikosteron terutama berpengaruh pada metabolisme karbohidrat, sedangkan aldosteron pada keseimbangan air dan elektrolit yaitu kemampuannya meretensi natrium. 1 Komponen terapeutik kortikosteroid pertama kali didemonstrasikan oleh Edward Kendall dan Philip Hench pada tahun 1948. Selama tahun 1950an telah ditemukan bahwa hidrokortison, hormon glukokortikoid alami, dapat mengurangi inflamasi dan proliferasi pada beberapa kelainan kulit. Modifikasi kimia dari hormon dasar ini kemudian meningkatkan sampai menggandakan kortikosteroid dengan berbagai kekuatan, dan dengan propertinya masing-masing. 2 Saat ini, banyak kegunaan klinis dari steroid yang berkaitan dengan efek antiinflamasi dan imuno-modulasi yang poten. Kortikosteroid digunakan untuk terapi 1

Referat Kulkel Karin

Embed Size (px)

DESCRIPTION

efek samping kortikosteroid sistemik

Citation preview

Page 1: Referat Kulkel Karin

BAB I

PENDAHULUAN

Fungsi fisiologik kelenjar adrenal yang penting dikenal sejak tahun 1855

ketika Addison melihat gejala klinik pasien dengan kerusakan kelenjar tersebut,

yang kemudian dikenal sebagai Addison Disease. Bagian korteks mengeluarkan

hormonn-hormon steroid yaitu glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron oleh

zona fasikulata) dan mineralokortikoid (aldosteron oleh zona glomerulosa) yang

efeknya berlainan. Hormon kortisol dan kortikosteron terutama berpengaruh pada

metabolisme karbohidrat, sedangkan aldosteron pada keseimbangan air dan

elektrolit yaitu kemampuannya meretensi natrium. 1

Komponen terapeutik kortikosteroid pertama kali didemonstrasikan oleh

Edward Kendall dan Philip Hench pada tahun 1948. Selama tahun 1950an telah

ditemukan bahwa hidrokortison, hormon glukokortikoid alami, dapat mengurangi

inflamasi dan proliferasi pada beberapa kelainan kulit. Modifikasi kimia dari

hormon dasar ini kemudian meningkatkan sampai menggandakan kortikosteroid

dengan berbagai kekuatan, dan dengan propertinya masing-masing.2

Saat ini, banyak kegunaan klinis dari steroid yang berkaitan dengan efek

antiinflamasi dan imuno-modulasi yang poten. Kortikosteroid digunakan untuk

terapi pengganti pada insufisiensi adrenal (pada dosis fisiologis) dan pada dosis

suprafisiologis digunakan untuk manajemen berbagai kelainan dermatologi,

oftalmologi, reumatologi, pulmonary, hematologi, dan gastrointestinal. Dalam

lingkup respirologi, kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengobati

eksaserbasi akut pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan asma parah dan

tidak terkontrol, selain itu dapat juga digunakan pada penyakit inflamasi parenkim

paru seperti hypersensitivity pneumonitis dan vaskulitis termediasi imun. 3, 4

Efek samping kortikosteroid yang relevan secara klinis adalah hal biasa

dan masih menjadi masalah, mulai dari kasus minor seperti jerawat sampai

sindrom Cushing yang dapat menyebabkan diabetes mellitus dan penyakit jantung

yang membahayakan nyawa bila tidak ditangani. Efek samping dapat terjadi pada

cakupan yan luas bergantung pada rute pemberiannya. 3

1

Page 2: Referat Kulkel Karin

Terlepas dari efek yang menguntungkan dari kortikosteroid, penggunaan

jangka panjang (oral atau parenteral) dari agen tersebut berkaitan dengan efek

samping yang telah banyak diketahui seperti: osteoporosis dan fraktur; supresi

adrenal; hiperglikemia dan diabetes; penyakit kardiovaskular dan dislipidemia;

kejadian dermatologis dan gastrointestinal; gangguan psikiatri; dan imunosupresi.4

2

Page 3: Referat Kulkel Karin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sintesis

Steroid farmaseutikal biasanya disintesis dari asam kolat yang didapat

dari ternak atau steroid sapogenin yang ditemukan pada tanaman. Modifikasi

steroid ini lebih lanjut telah menyebabkan dipasarkannya sejumlah besar

steroid sintetik dengan sifat khusus yang penting secara farmakologis dan

terapi.5

B. Farmakokinetik

Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi cukup

baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester

kortisol dan hormon sintetiknya diberikan secara intravena (IV). Untuk

mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara

intramuskular (IM).1

Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan

ruang synovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas

dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.1

Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma

yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi

tetapi kapasitasnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas

ikatannya hormon tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal, sebagian

besar kortikosteroid terikat globulin.1

Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya

merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah.1

Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu

72 jam disekresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada.

Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang disekresi mengalami

metabolisme di hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya

3

Page 4: Referat Kulkel Karin

ikatan rangkap C 1-2 atau substitusi fluor memperlambat proses hormon dan

karenanya dapat memperpanjang masa paruh eliminasi.1

C. Farmakodinamik

Kortikosteroid mempengaruhi hormon karbohidrat, protein dan lemak;

dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem

saraf dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting

bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi

perubahan lingkungan.1

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis,

makin besar dosis makin basar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga

ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon lain. Peran kortikosteroid

dalam kerjasama ini disebut permissive effects yaitu kortikosteroid diperlukan

supaya terjadi suaru efek hormon lain, diduga mekanismenya adalah melalui

pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons

jaringan terhadap hormon lain.1

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi 2 golongan

besar yaitu glukokortikoid dan mineralkortikoid. Efek utama glukokortikoid

ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan anti-inflamasi, sedangkan

pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Sebaliknya golongan

mineralkortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan air dan

elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat

kecil. Umumnya golongan mineralkortikoid tidak memiliki efek anti-inflamasi

yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol. Meskipun demikian sediaan ini tidak

pernah dipakai sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan

air dan elektrolit terlalu besar.1

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan

berdasarkan masa kerjanya. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh

biologis kurang dari 12 jam, sediaan kerja lama masa paruhnya lebih dari 36

jam, sedangkan yang kerja sedang mempunyai masa paruh antara 12-36 jam.1

4

Page 5: Referat Kulkel Karin

Sebagian besar efek kortikosteroid terjadi melalui ikatan dengan

reseptor glukokortikoid yang terdapat di dalam sitoplasma, yang kemudian

akan mempengaruhi ekspresi gen pada inti sel. Efek kortikosteroid terhadap

ekspresi gen ini akan mengurangi pembentukan prostaglandin dan leukotrien,

mengurangi sintesis berbagai molekul peradangan, termasuk sitokin,

interleukin, molekul adesi dan protease. Kortikosteroid juga dapat bekerja

langsung tanpa mempengaruhi ekspresi gen, yaitu melalui reseptor pada

membaran sel dan atau interaksi fisikokimia dengan membran sel.6

Efek lain yang dapat ditimbulkan oleh kortikosteroid yaitu: 7

1. Penurunan ukuran dan konten limfoid pada lien dan limfonodus

2. Modifikasi fungsional dari beberapa subset sel T

3. Perubahan distribusi leukosit, menyebabkan limfopenia (penurunan

jumlah limfosit) dan neutrofilia (peningkatan jumlah neutrofil)

4. Inhibisi produksi IL-1 dan peningkatan ketersediaan IL-2

5. Peningkatan kadar IgG darah

D. Efek Samping Penggunaan Jangka Panjang

Pada umumnya, efek samping pada penggunaan kortikosteroid

meningkat sesuai dengan peningkatan dosis, lama pengobatan dan frekuensi

penggunaan. Beberapa efek samping penggunaan kortikosteroid sistemik

jangka panjang pada kulit yaitu striae atrofisme, erupsi akneformis, purpura,

telangiektasis, dan penyembuhan luka yang buruk. 6, 4

1. Striae atrofisme

Striae atrofisme atau striae distensae merupakan kelainan pada

kulit yang ditandai dengan stroma jaringan ikat yang menipis sehingga

membentuk garis, kulit dengan tampakan atrofik, yang muncul pada area

dermal yang rusak akibat penarikan kulit. Striae tampak sebagai goresan

putih atau keunguan pada kulit yang menipis dan mengkilat. 8

5

Page 6: Referat Kulkel Karin

Gambar 1. Striae akibat penggunaan kortikosteroid sistemik

Glukokortikoid dapat menurunkan ukuran dan menekan proliferasi

dari keratinosit. Alasan berkurangnya ukuran keratinosit belum diketahui

secara pasti, tetapi terdapat asumsi bahwa pengurangan biosintesis

makromolekul pada sel tersebut yang memegang peran penting. Efek

antiproliferatif glukokortikoid yang telah diketahui yaitu menurunkan

kecepatan mitosis pada keratinosit. Namun, percepatan maturasi

keratinosit menyebabkan penipisan epidermis yang hidup akibat

pendeknya usia sel. Penurunan ukuran dan penekanan proliferasi

keratinosit menghasilkan defek struktural pada epidermis, penipisan

epidermis, dan khusunya penipisan stratum corneum. Konsekuensinya

yaitu peningkatan permeabilitas dan peningkatan transepidermal water

loss, yang umumnya mengindikasikan rusaknya fungsi barier kulit. 9

Efek antiproliferatif glukokortikoid pada fibroblast yaitu

menurunkan kecepatan mitosis sel. Efek seluler glukokortikoid pada

fibroblast menyebabkan penurunan kekuatan regangan dan elastisitas

kulit.9

6

Page 7: Referat Kulkel Karin

Pada penggunaan kortikosteroid, karakteristik kulit yang

mengalami atrofi yaitu peningkatan pada transparansi kulit, konsistensi

seperti kertas rokok diikuti dengan fragilitas, tearing, kemerahan (“steroid

purpura”), tipis, mengkilap, dan telangiektatik. Secara histopatologi, pada

atrofi kulit yang diinduksi oleh glukokrtikoid didapatkan dermal-

epidermal junction yang tipis, penurunan ketebalan epidermis, penurunan

ukuran keratinosit dan penurunan jumlah fibroblast, penyusunan kembali

geometri jaringan fibrosa dermal, dan penyusutan interseluler lipid lamella

pada stratum corneum. 9

Terapi topikal yang dapat digunakan untuk mengobati striae

atrofisme yaitu tretinoin 1%, retinoid topikal seperti tartrazone dan

adapalene, dan asam trikloroasetat (TCA 10-35%).10

Terapi lainnya yaitu microdermabrasion yang diaplikasikan pada

statum corneum, untuk menginduksi jalur transduksi signal epidermis,

sehingga terjadi pembentukan ulang dan perbaikan. 10

Terapi menggunakan laser atau cahaya, seperti pulsed dye laser

(PDL) 585nm, intense pulse light (IPL) 515-1200nm, long pulse 1064

Nd:YAG, dan non-ablative fractional photothermolysis menggunakan

laser 1550nm. 10

2. Erupsi akneiformis

Erupsi akneiformis adalah reaksi kulit berupa peradangan folikular

akibat adanya iritasi epitel duktus polisebasea yang terjadi karena ekskresi

substansi penyebab (obat) pada kelenjar kulit. Kelainan ini bukan

merupakan reaksi alergi.6

7

Page 8: Referat Kulkel Karin

Gambar 2. Erupsi akneiformis akibat penggunaan kortikosteroid

Lesi pada erupsi akneiformis yang disebabkan oleh penggunaan

kortikosteroid jangka panjang secara histologis terjadi perubahan struktur

kulit yaitu adanya nekrosis dan ruptur pada segmen epithelium folikular,

menyebabkan abses perifolikular yang nampak sebagai papul dan pustul

inflamatori monomorfik. Pada mulanya tanpa komedo. Komedo dapat

terjadi sekunder setelah sistem sebum ikut terganggu. Tempat terjadinya

tidak hanya di tempat predileksi akne saja, namun di seluruh tubuh yang

memiliki kelenjar polisebasea. 6, 11

Penghentian obat yang dipakai penderita dapat menghentikan

bertambahnya erupsi dan secara perlahan akan menghilangkan erupsi yang

ada. Pengobatan topikal dengan menggunakan obat yang bersifat iritan,

misalnya sulfur, resorsinol atau asam vitamin A mempercepat hilangnya

erupsi kulit. Pemberian obat anti-akne sistemik sesuai dengan beratnya

penyakit memberikan hasil yang cukup baik.6

3. Proses penyembuhan luka yang buruk

Pada proses penyembuhan luka, kortikosteroid bekerja dengan

menghambat infiltrasi leukosit dan makrofag, menurunkan sintesis

kolagen dan maturasi luka, dan menurunkan ekspresi keratinocyte growth

factor setelah terjadinya luka pada kulit. 4

Beberapa strategi telah muncul untuk mengurangi efek

kortikosteroid pada penyembuhan luka. Pendekatan tersebut antara lain

8

Page 9: Referat Kulkel Karin

pemberian vitamin A lokal dan modulasi sitokin. Selama beberapa dekade,

vitamin A telah diketahui dapat membalik efek kortikosteroid pada hewan;

pendekatan ini kadang digunakan pada manusia tetapi belum pernah

divalidasi dalam studi terkontrol pada komplikasi luka. Sebagai tambahan,

modulasi sitokin, seperti dengan penggunaan TGF-β, mungkin merupakan

mekanisme yang menarik untuk menangkal efek kortikosteroid pada

penyembuhan luka, namun hal ini masih memerlukan penyelidikan lebih

lanjut. 12

4. Purpura

Purpura adalah ekstravasasi sel darah merah (eritrosit) ke kulit dan

selaput lendir (mukosa), dengan manifestasi berupa makula kemerahan

yang tidak hilang pada penekanan.6

Gambar 3. Purpura pada lengan

Pada penggunaan kortikosteroid terjadi atrofi kulit dan hilangnya

substansi interseluler sehingga menyebabkan pembuluh darah kehilangan

matriks dermal di sekitarnya. Hasilnya yaitu terjadi lesi yang menyerupai

kerusakan aktinik pada usia tua. Kerapuhan pembuluh darah dermal

9

Page 10: Referat Kulkel Karin

menimbulkan scar yang bersifat purpura, berbentuk tidak teratur,

hipopigmentasi, dan tertekan. 13

Purpura umumnya terjadi pada kulit yang terkena sinar matahari,

seperti pada dorsum tangan dan lengan bawah, sisi leher, wajah, dan

tungkai bawah dan biasanya tidak diikuti dengan pembengkakan yang

dapat teraba. 4

Pada penggunaan kortikosteroid, purpura biasanya akan menjadi

normal kembali dengan penghentian penggunaan kortikosteroid. 4

5. Telangiektasis

Telangiektasis adalah lesi yang disebabkan oleh dilatasi permanen

pembuluh darah kecil yang bisa terlihat sebagai garis merah kasar atau

halus atau sebuah titik dengan cabang-cabang yang memancar keluar

(laba-laba).13

Gambar 4. Telangiektasis

Sebagai tambahan dari atrofi, kortikosteroid menstimulasi sel-sel

endothelial pada mikrovaskular kulit, menyebabkan telangiektasis.

10

Page 11: Referat Kulkel Karin

Kondisi ini ditandai dengan dilatasi abnormal pada pembuluh kapiler dan

arteriola. 14

Terapi untuk telangiektasis yaitu dengan menggunakan laser. Bila

diameter telangiektasis kecil, laser seperti Potassium Titanyl Phosphate

(KTP) 532nm dapat digunakan untuk jejak pembuluh darah tunggal.

Pembuluh darah yang lebih besar membutuhkan laser dengan panjang

gelombang yang lebih panjang atau pulse-widths yang bervariasi seperti

Pulsed Dye Laser (PDL) atau long-pulsed Neodymium: Yttrium-

Alumunium-Garnet (Nd:YAG) 1064nm untuk destruksi yang adekuat.

Telangiektasis pada lokasi yang spesifik seperti pada lipatan nasolabial

cenderung lebih resisten terhadap terapi, sehingga laser dengan durasi

pulsasi yang lebih besar dan fluence yang lebih tinggi seperti pada diode

940nm atau PDL akan lebih berguna. Terapi pada leher atau dada harus

dilakukan dengan fluence yang dikurangi untuk meminimalisasi scarring.

Jika lesinya difus atau luas, PDL atau Intense Pulse Light (IPL) dengan

ukuran titik yang lebih besar atau KTP dengan alat pemindai kemungkinan

akan lebih efisien. 15

11

Page 12: Referat Kulkel Karin

BAB III

KESIMPULAN

Banyak kegunaan klinis dari steroid yang berkaitan dengan efek

antiinflamasi dan imuno-modulasi yang poten. Kortikosteroid digunakan untuk

terpai pengganti pada insufisiensi adrenal (pada dosis fisiologis) dan pada dosis

suprafisiologis digunakan untuk manajemen berbagai kelainan dermatologi,

oftalmologi, reumatologi, pulmonary, hematologi, dan gastrointestinal. Dalam

lingkup respirologi, kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengobati

aksaserbasi akut pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan asma parah dan

tidak terkontrol, selain itu dapat juga digunakan pada penyakit inflamasi parenkim

paru seperti hypersensitivity pneumonitis dan vaskulitis termediasi imun. 3, 4

Efek samping kortikosteroid yang relevan secara klinis adalah hal biasa

dan masih menjadi masalah, mulai dari kasus minor seperti jerawat sampai

sindrom Cushing yang dapat menyebabkan diabetes mellitus dan penyakit jantung

yang membahayakan nyawa bila tidak ditangani. Efek samping dapat terjadi pada

cakupan yan luas bergantung pada rute pemberiannya. 3

Pada umumnya, efek samping pada penggunaan kortikosteroid meningkat

sesuai dengan peningkatan dosis, lama pengobatan dan frekuensi penggunaan.

Beberapa efek samping penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang pada

kulit yaitu striae atrofisme, erupsi akneformis, purpura, telangiektasis, dan

penyembuhan luka yang buruk. 4, 6

12