Anti Histamin Referat Kulkel

Embed Size (px)

Citation preview

ANTIHISTAMIN

DEFINISI

Antihistamin merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan, karena antihistamin adalah obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi penyakit alergi seperti rhinitis, urtikaria, pruritus,dan lain-lain. Walaupun selama ini antihistamin dianggap sebagai obat yang cukup aman, namun efek samping sedasi (rasa mengantuk) menyebabkan penurunan daya tangkap, terutama pada antihistamin generasi pertama, sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Oleh sebab itu, untuk penanganan penyakit alergi gunakan antihistamin yang aman dan efektif.

Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor histamin H1.

Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh. Terdapat beberapa jenis antihistamin, yang dikelompokkan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamin.Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dangan jalan memblokir reseptor histamin (penghambatan saingan).

Histamin adalah suatu amin nabati yang ditemukan oleh Dr.Paul Ehrlich (1878) dan merupakan produk normal dan pertukaran zat histidin. Asama amino ini masuk ke dalam tubuh terutama lewat daging dan di jaringan (juga di usus halus) di ubah secara enzimatis menjadi histamin (dekarboksilasi).

Biasanya dengan istila antihistaminika selalu dimaksud H1-blokers. Selain bersifat antihistamin, obat-obat ini juga memiliki berbagai khasiat lainnya, yakni daya antikolinergis, antiemetis, dan daya menekan SSP (sedatif), sedangkan beberapa di antaranya mempunyai efek antiserotonin dan lokal anestetis (lemah).

PENGGOLONGAN ANTI HISTAMIN

Antihistamin digolongkan menjadi 4 :

1. Antagonis reseptor Histamin H1

2. Antagonis reseptor Histamin H2

3. Antagonis reseptor Histamin H3

4. Antagonis reseptor Histamin H4

A. ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H1 (Antihistaminika Klasik)

Golongan ini dibagi lagi berdasarkan rumus bangun kimianya, yaitu:

a) Senyawa Etanolamin; antara lain Difenhidramin, Dimenhidrinat Karbinoksamin maleat.

b) Senyawa Etilendiamin; antara lain Antazolin, Pirilamin, dan Tripelenamin.

c) Senyawa Alkilamin; antara lain Fenirarnin, Klorfeniramin, Bromfeniramin, dan Deksklorfeniramin.

d) Senyawa Siklizin; antara lain Siklizin, Klorsiklizin, dan Homoklorsiklizin.

e) Senyawa Fenotiazin; antara lain Prometazin, Metdilazin, dan Oksomemazin.

f) Senyawa lainlain; yaitu Dimetinden, Mebhidrolin, dan Astemizol.

1. Diphenhydramine

Chemical name: 2-Benzhydryloxy-NN-dimethylethylamine

Molecular formula: C17H21NO =255.4

2. Chlorpeniramine

Chemical name: N-(4-Chlorobenzyl)-NN-dimethyl-N-(2

pyridyl) ethylenediamine hydrochloride

Molecular formula: C16H20ClN3,HCl =326.3

3. Chlorcyclizine

Chemical name: 1-(4-Chlorobenzhydryl)-4-methylpiperazine hydrochloride

Molecular formula: C18H21ClN2,HCl =337.3

4. Promethazine

Chemical name: Dimethyl (1-methyl-2-phenothiazin-10-ylethyl)amine

Molecular formula: C17H20N2S =284.4

5. Terfenadine

Chemical name: 1-(4-tert-Butylphenyl)-4-[4-( hydroxybenzhydryl) piperidino] butan-1-ol

Molecular formula: C32H41NO2 =471.7

Mekanisme kerja :

Menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin endogen berlebihan.

Farmakokinetik :

Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6jam. Untuk gol. klorsiklizir 8-12 jam, Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2jam berikutnya. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

Farmakodinamik :

yang memblock reseptor H1,dengan efek terhadap penciutan bronchi, usus, dan rahim, terhadap ujung saraf (vasodilatasi, naiknya permeabilitas).

Interaksi :

Diphenhydramine menghalangi CYTOCHROME P450 ISOENZYME CYP2D6 yang bertanggung jawab untuk metabolisme beberapa beta blockers termasuk metoprolol dan antidepressant venlafaxine.

Efek toksik :

Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat persediaan rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.

Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis, kemerahan dimuka dan sering timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada pemulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut. Tabel . Penggolongan anthistamin (AH1), dengan masa kerja, bentuk sediaan dan dosisnya.

B. ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H2 (Penghambat Asma)

Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung, perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan bronkus domba. Beberapa jaringan seperti otot polos, pembuluh darah mempuntai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.

Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial H2 cemitidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidine dan ratidine diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit

-Struktur

Antihistamin H2 secara struktur hampir mirip dengan histamin. Simetidin mengandung komponen imidazole, dan ranitidin mengandung komponen aminomethylfuran moiety.

FarmakodinamikSimetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat.

FarmakokinetikBioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi terjadi pada menit ke 60-90. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin.

Mekanisme aksiWalaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu menghambat reseptor H2, namun ranitidin lebih poten. Simetidin juga menghambat histamin N-methyl transferase, suatu enzim yang berperan dalam degrasi histamin. Tidak seperti ranitidin, simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen, suatu efek yang diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan menghambat raseptor H2. Simetidin tampak meningkatkan sistem imun dengan menghambat aktivitas sel T supresor. Hal ini disebabkan oleh blokade resptor H2 yang dapat dilihat dari supresor limfosit T. Imunitas humoral dan sel dapat dipengaruhi.

Penggunaan klinisIndikasi :Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Antihistamin H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan antasid untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Antihistamin H2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison.

Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari mastocytosis sistematik, sperti urtikaria dan pruritus. Pada beberapa pasien pengobatan digunakan dosis tinggi.

Efek sampingInsiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan pemhambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain : Nyeri kepala, Pusing, Malaise, Mialgia, Mual, Diare, Konstipasi, Ruam kulit, Pruritus, Kehilangan libido, Impoten

1. Simetidin Dan RanitidinFarmakodinamikSimetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walau tidak lengkap simetidin dan renitidin dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat muskarinik atau gastrin. Semitisin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.

Farmakokinetik Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam.

Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.

Efek Samping Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain : nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.

Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil.

Interaksi Obat Antasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral simetidin sebanyak 20-30%. Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum pemberian simetidin karena absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin. Selain itu ketakonazol membutuhkan pH lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat AH2. Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin adalah arfarin, karbamazepin, diazepam, propranolol, metaprolol dan imipramin.

Ranitidin jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan simetidin akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteaksi dengan ranitidin yaitu nifedifin warfarin, teofilin, dan metaprolol. Ranitidin dapat menghambat absorbsi diazepam dan dapat mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam sama dengan penggunaan ranitidin bersama antasid atau antikolinergik.

Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga akan memperlambat bersihan obat lain. Simetidin dapat menghambat alkohol dehidrigenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar lidokoin serta meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala gangguan slurredspeech, somnolen, letargi, gelisah, bingung, disorentasi, agitasi, halusinasi, dan kejang. Gejala seperti demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan karena sukarnya melewati sawar darah otak.

Efek samping simetidin yang jarang terjadi adalah trombositopenia, granulositopenia, toksisitas terhadap ginajal atau hati. Pemberian simetidin dan ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik lain.

Indikasi Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan 50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800ng/ml atau kadar renitidin plasma 100 ng/ml. Tetapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya selama 24jam. Simetidin ranitidin atau antagonis reseptor H2 mempercepat penyembuhan tungkak duodenum. Pada sebagian besar pasien pemberian obat-obatan tersebut sebelum tidur dapat mencegah kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi pemeliharaan.

AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2 menghilangkan gejalanya tetapi tidak menyembuhkan lesi.

Terhadap tukak peptikem yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya tukak. Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis reseptor H2 dapat mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat untuk tukak lambung.

Simetidin dan ranitidin talah digunakan dalam penelitian untuk stress ulcer dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat untuk profilaksis daripada untuk pengobatan. AH2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison . Dalam hal in i mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk mengurangi kemungkinan timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis simetidin yang diperlukan. Ranitidin juga lebih baik dari simetidin untuk pasien yang mendapat banyak obat, pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang tidak tahan efek samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.

2. FamotidinFarmakodinamikFamotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan akiabt distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.

IndikasiEfektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian selama 6 bula famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang diteliti.

Efek SampingEfek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi kedalam air susu ibu.

Interaksi ObatSampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bial diberikan bersama AH2.

FarmakokinetikFamotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.

IntravenaPada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat diberikan sediaan oral, faotidin diberikan intravena 20 mg tiap 12 jam. Dosis obat untuk pasien harus ditritasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi.

3. NizatidinFarmakodinamikPotensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan ranitidin.

IndikasiEfektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnyan nizatidin siperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan pembuktian lanjut.

Efek SampingNizatidin umumnya jarang menimbulkan efek smaping. Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut belum terlihat pada uji klinik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam serum. Dalam dosis ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat enzim mikrosom hati yang metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nitazidin diberikan bersama feofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorezepam. Ketakonazol yang membutuhkan pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.

FarmakokinetikBiovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar 2 1/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari dosisi yang digunakann ditemukan di urin dalam 16 jam.4. Terfenadin merupakan antihistamin pertama yang tidak mempunyai efek sedasi, namun telah ditarik dari pasaran karena dapat memperpanjang interval QT.

5. Astemizol (Hismanal) merupakan antihistamin kedua yang tidak menyebabkan sedasi. Namun pemakaiannya diberi tanda peringatan dalam kotak hitam karena efek samping aritmia jantung dan kematian mendadak.

6. Loratadin (Claritin) adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis yang direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja yang lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal aktifnya.

Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari dan cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg. Eliminasi waktu paruhnya sekitar 8-11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air susu 0,029%. Loratadin diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik idiopatik pada pasien diatas 6 tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi dari miocardial potassium channel tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung. Loratadin merupakan antihistamin long acting dengan lama kerja 24 jam. Dosis yang direkomendasikan 10 mg dosis oral, pada anak-anak (< 30 kg) adalah 0,5 mg/kg BB dosis tunggal. Meskipun loratadin tidak mempunyai kontraindikasi pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan untuk mengurangi dosis yang diberikan.

Sediaan:

Loratadin sirup (1 mg/ml): 480 ml

Loratadin tablet 10 mg

Loratadin reditabs 10 mg

7. Cetirizin (Ryzen) merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksisin. Obat ini pada manusia hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi bentuk metabolit aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena setirisin cepat diabsorbsi dan sedikit yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin, maka dosis obat ini harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal.

Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar 7 jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%. Setirisin dapat menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta menurunkan prostaglandin D2. Setirisin diindikasikan untuk terapi urtikaria kronik di Amerika Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin untuk kondisi ini dan juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urticaria.

Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg) dosis tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien dengan gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari. Lama kerja dari setirisin adalah 12-24 jam.Sediaan:

Setirisin tablet 5 mg, 10 mg.

Setirisin sirup 5mg/ml: 120 ml.

C. ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H3

Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia.Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin, norastemizole dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah merupakan metabolit antihistamin generasi kedua. Tujuan mengembangkan antihistamin generasi ketiga adalah untuk menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta menghindari efek samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya.1. Feksofenadin (Telfast ). Di Indonesia dipasarkan dengan nama dagang Telfast ( di Amerika : Allegra ) Feksofenadin, metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik. Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma maksimum 1-3 jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada protein plasma sekitar 60-70%, terutama pada albumin dan 1-acid gylcoprotein. Waktu paruh feksofenadin adalah 11-15 jam, diekskresikan sebanyak 80% pada urin dan 12% pada feses. Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis alergi dan urtikaria idiopatik kronis. Pemberian feksofenadin bersama antibiotik golongan makrolid dan obat anti jamur golongan imidazol tidak menunjukkan adanya interaksi obat sehingga tidak terdapat pemanjangan interval QT. Sediaan : Feksofenadin kapsul 30 dan 60 mg

Feksofenadin tablet 60 mg, 120 mg dan 180 mg.2. Norastemizole dibanding dengan astemizole dapat menghambat reseptor H1 13 sampai 16 kali lebih kuat. Mulai kerja norastemizole lebih cepat dibanding astemizole. Norastemizole tidak mengalami metabolisme, diekskresi dalam urin dalam bentuk tidak berubah, waktu paruh plasma sekitar satu minggu, jadi setengah dari pada waktu paruh astemizole. Terhadap jantung, pengaruhnya relatif lebih aman meskipun dalam kombinasi dengan obat lainnya, tidak meningkatkan interval QT setelah pemberian per os dengan dosis tunggal 100 mg.(15) Obat ini belum dipasarkan di Indonesia.3. DCL (diproduksi oleh Schering Plough) lebih kuat dari pada loratadin terhadap reseptor H1. Juga diketahui bahwa obat ini menghambat reseptor muskarinik M1 dan M3 sehingga meningkatkan efek dalam pengobatan asma bronkiale. DCL mula kerjanya sedikit lebih lambat dan mempunyai waktu paruh dalam plasma lebih panjang dibandingkan dengan loratadine.

D. ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H4

Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida. Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin. Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.Antihistamin yang aman digunakan:Pada wanita hamil dan menyusui:Antihistamin yang teraman untuk wanita hamil dan meyusui adalah golongan klorfeniramin maleat, meskipun AH non sedatif sangat sedikit menembus plasenta, namun penggunaannya sebaiknya dihindari karena masih kurangnya penelitian AH non sedatif pada wanita hamil dan menyusui.Pada anak-anak:Bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat, difenhidramin HCL, loratadin, desloratadin, feksofenadin, setirisin.Pada bayi:Penggunaan antihistamin pada bayi sebaiknya dihindari, karena efek samping antikolinergik dari obat-obatan AH yang dapat membahayakan. Pada satu penelitian mengatakan AH yang aman digunakan adalah desloratadin (clarinex), dapat digunakan pada bayi berumur 6 bulan dengan gejala alergi dan urtikaria.DAFTAR PUSTAKA1. Katzung & Trevors. Pharmacology Examination & Board Review 9th Edition

2. Katzung, Bertram. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 8. Salemba Medika:Jakarta.3. Setiawati A. Adrenergik. Dalam : Ganiswarna SG. Farmakologi Dan Terapi. Edisi 4. Jakarta; Bagian Farmakologi FKUI, 1995: 57-76

4. Ganiswarna. S. A. 2005. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal.332

5. Goodman & Gilman. The Pharmacological Basisi of Therapeutics 12th Edition6. Richard A. Harvey. Lippincotts Illustrated Reviews Pharmacology 5th Edition7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3405/1/08E006058. http://digilib.ubaya.ac.id/skripsi/farmasi/F_204_1860028/F_204_Bab%20V

25