39
PRESENTASI KASUS F. 32.2 EPISODE DEPRESI BERAT Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa di RSUD Wonosari Disusun Oleh : Muthia Isna Anindita, S.Ked 20090310226 Dokter pembimbing : dr. Ida Rochmawati, M.Sc,Sp.KJ FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 1

Presus Jiwa Muthia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

presentasi kasus depresi berat

Citation preview

Page 1: Presus Jiwa Muthia

PRESENTASI KASUS

F. 32.2 EPISODE DEPRESI BERAT

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa di RSUD Wonosari

Disusun Oleh :

Muthia Isna Anindita, S.Ked

20090310226

Dokter pembimbing : dr. Ida Rochmawati, M.Sc,Sp.KJ

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA RSUD WONOSARI

2014

1

Page 2: Presus Jiwa Muthia

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

F.32.2 EPISODE DEPRESI BERAT

Disusun oleh:

MUTHIA ISNA ANINDITA

20090310226

Mengetahui,

Dosen Pembimbing & Penguji Klinik

dr. Ida Rochmawati, M.Sc,Sp.KJ

2

Page 3: Presus Jiwa Muthia

DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL..........................................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................................4

A. IDENTITAS PASIEN............................................................................................4

B. ANAMNESIS........................................................................................................4

C. Riwayat Perkembangan..........................................................................................7

D. Riwayat Penyakit Keluarga....................................................................................8

E. Persepsi (Tanggapan) Pasien Tentang Dirinya dan Kehidupannya........................8

F. Status Mental..........................................................................................................9

G. Pemeriksaan Fisik................................................................................................11

BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................13

A. DEFINISI.............................................................................................................13

B. EPIDEMIOLOGI.................................................................................................13

C. ETIOLOGI...........................................................................................................13

D. GEJALA KLINIS.................................................................................................15

E. PATOFISIOLOGI................................................................................................15

F. TANDA GANGGUAN DEPRESI BERAT.........................................................17

G. PEDOMAN DIAGNOSTIK.................................................................................18

H. DIAGNOSIS BANDING.....................................................................................19

I. TERAPI................................................................................................................20

BAB. III. PEMBAHASAN..............................................................................................22

A. IKTISAR PENEMUAN BERMAKNA................................................................22

B. FORMULASI DIAGNOSIS................................................................................22

C. DIAGNOSIS........................................................................................................23

D. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL............................................................................23

E. TERAPI................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25

3

Page 4: Presus Jiwa Muthia

4

Page 5: Presus Jiwa Muthia

BAB IPENDAHULUAN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. SW

Umur : 41 tahun

Jenis kelamin : Wanita

Agama : Islam

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Semanu

Pendidikan : SMA

Status : Menikah

Keluarga yang merawat : Suami

Tanggal kontrol : 10 Desember 2014

Tanggal home visit : 10 Desember 2014

Nomor RM : 447305

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Merasa sedih terus menerus.

2. Keluhan Tambahan : Merasa ingin mati.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pada Saat pasien berusia 17 tahun, ayah kandung pasien meninggal dunia.

Ayah pasien merupakan orang terdekat bagi pasien. Pasien anak bungsu dan

dimanja oleh orang tuanya terutama Ayahnya. Pasien merasa sangat terpukul dan

sedih karena Ayahnya yang merupakan pelindung baginya telah meninggal dunia.

5

Page 6: Presus Jiwa Muthia

Pada hari ketika Ayah pasien meninggal dunia, pasien sangat merasa kehilangan,

pasien merasa deg-degan, gemetaran, dan sesak nafas ketika itu. Pada malam

harinya, pasien mengaku bermimpi buruk dan ketika terbangun banyak hal yang

membuatnya takut sehingga pasien sering merasa rumahnya bersuasana

mencekam. Sejak saat itu, deg-degan dan gemertaran tidak berhenti justru pasien

merasa dirinya akan mati, sehingga pasien sering mengalihkannya dengan

berjalan-jalan sendiri mengitari kampung pada malam hari untuk menghilangkan

ketakutan yang ada pada dirinya.

Satu tahun kemudian, keluarga pasien mulai menyadari tingkah aneh

pasien sehingga pasien mulai diajak ke dukun dan mulai berobat hingga 2 kali

namun pasien tidak merasa ada perubahan. Ketakutannya masih sangat

mengganggu disertai dengan gemetaran, deg-degan yang tak kunjung berhenti,

pasien juga masih merasa akan mati dan tidak tenang. Pasien masih terus-terusan

bermimpi buruk seperti jatuh ke jurang, dan lain sebagainya.

Pada saat berumur 21 tahun pasien menikah, dari sebelumnya pasien tidak

pernah bercerita tentang masalahnya, kini pasien agak mulai tenang karena ada

orang yang bisa menjadi tempat bercerita. Pasien mulai berkurang mimpi

buruknya meski terkadang ketakutannya tiba-tiba muncul. Pasien merasa lebih

baik ketika ia pindah dari rumah aslinya. Sejak memiliki rumah seindiri bersama

suaminya, pasien tidak mau lagi pulang ke rumah aslinya karena pasien merasa

tidak tenang dan ketakutan ketika berada di rumah aslinya.

Sekitar 9 tahun yang lalu, ketika anak bungsu pasien lahir, ketakutan mulai

sering muncul kembali. Rasa deg-degan, gemetaran, sesak nafa, mimpi buruk,

gelisah, dan merasa akan mati sering tiba-tiba muncul sehingga membuatnya

menderita. Pasien kemudian dibawa suami ke kyai agar lebih baik dan tenang,

namun pasien tetap merasa kurang baik meskipun ada sedikit ketenangan.

Semenjak itu pasien terus melakukan shalat tahajud dan mengaji setiap hari.

Namun, pasien masih mengaku sering tiba-tiba ketakutan dan merasa akan mati

hingga sering pula berjalan-jalan sendiri untuk menghilangkan kegelisahannya.

2 tahun yang lalu, ketika pasien opname di sebuah Rumah Sakit, pasien

direkomendasikan oleh dokternya untuk kontrol ke dokter jiwa berkaitan dengan

6

Page 7: Presus Jiwa Muthia

keluhannya tentang ketakutannya. Pasien opname karena gastritis yang tak

kunjung sembuh. Pasien terus merasa akan mati dan ketakutan serta hidupnya

tidak tenang. Pada akhirnya, pasien mulai memeriksakan diri ke dokter jiwa dan

diberi obat rutin hingga keluhannya terus berkurang dan pasien merasa lebih baik.

Pasien sempat diturunkan dosis obatnya dan berhenti minum obat selama 6 bulan.

Namun, karena di desanya tiba-tiba ada 7 orang yang meninggal secara

beruntutan, pasien kembali merasa ketakutan dan memiliki gejala yang sama

persis dengan sebelum pasien sembuh dan kembali berobat ke dokter jiwa.

Alloanamnesis :

(Dari keterangan suami pasien)

Nama Suami : Bp. S

Usia : 42 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Semanu

Pasien merupakan ibu rumah tangga yang telah memiliki 2 anak. Pasien

termasuk pendiam dan jarang bercerita kepada orang lain kecuali pada suaminya

sendiri. Sebelum pasien mulai berobat, pasien merupakan orang yang sangat

penakut, untuk ke kamar mandi sendiri pada malam hari tidak berani, dan tidak

pernah mau untuk diajak ke rumah aslinya (rumah orang tuanya). Pasien sangat

ketakutan ketika ada tetangga atau saudara yang meninggal, sehingga suaminya

tidak pernah mengajaknya melayat dan ke kuburan untuk mengantarkan jenazah.

Setelah berobat, suami pasien merasa pasien lebih baik, rasa takut yang biasanya

sangat dominan menjadi berkurang. Tidak lagi mengeluh tidak bisa tidur, walau

sebelumnya sempat terganggu tidurnya dan tidak bisa melanjutkan tidurnya

kembali. Nafsu makan pasien juga membaik, karena sebelumnya tidak pernah bisa

makan kalau sedang dalam keadaan ketakutan. Pasien juga sudah terlihat tenang

dan tidak lagi mengajak jalan-jalan ketika sedang gelisah seperti sebelum berobat.

Autoanamnesis :

7

Page 8: Presus Jiwa Muthia

Pasien merasa telah lebih baik. Hatinya lebih tenang, meskipun masih ada

ketakutan ketika mendengar ada orang yang meninggal. Kini, pasien merasa lebih

bisa menikmati hidup karena sebelumnya pasien mengaku tidak bisa merasa

senang. Pasien merasa hidupnya lebih bahagia. Pola tidur pasien mulai teratur,

pasien mengaku tidak merasa kesulitan dalam memulai tidur dan tidak pernah

bermimpi buruk lagi. Nafsu makan baik. Pasien tidak mengeluh mudah deg-

degan, gemetaran, maupun sesak nafas kecuali ketika mendengar ada orang yang

meninggal. Ketika mendengar orang meninggal, saat ini pasien masih merasa

takut dan khawatir namun tidak seperti dulu, kini pasien merasa mulai bisa

mengelola dirinya dan lebih tenang. Kegiatan di rumah, pasien berdagang di toko

klontong yang ada di rumahnya, selain itu pasien juga mengurus rumah dan satu

anaknya yang masih berusia 9 tahun. Pasien senang berinteraksi dengan

tetangganya meskipun jarang bercerita tentang masalah-masalah yang dialaminya.

4. Riwayat Gangguan Sebelumnya

a. Riwayat Gangguan Mental

Pasien tidak pernah merasa senang berlebihan, bedandan berlebihan,

ataupun tidak bisa tidur karena merasa tidak lelah.

b. Riwayat Kondisi Medik

Riwayat gastritis sejak pasien berusia 20 tahun. Riwayat hipertensi,

trauma kepala, kejang, asma, penyalahgunaan obat dan alkoholisme disangkal.

C. Riwayat Perkembangan

Prenatal dan perinatal: Pasien lahir normal dibantu oleh dukun bayi.

Berat badan lahir tidak diketahui. Pasien menyusu asi eksklusif.

Early childhood: Pada waktu kecil pasien termasuk anak yang mudah

bergaul, perkembangan tidak terlambat, pasien anak bungsu sehingga

sangat dimanja oleh orang tua dan kakaknya, pasien nyaman bercerita

dengan ayah dan kedua saudara perempuannya.

8

Page 9: Presus Jiwa Muthia

45

919

41

Middle childhood : Pasien memiliki prestasi yang cukup baik di

sekolahnya, mudah bergaul, tapi jarang bermain karena lebih nyaman

berada di rumah bersama keluarganya.

Late childhood : Pasien taat beribadah dan selalu menuruti nasihat yang

diberikan orang tua dan kedua kakak kandungnya.

Adulthood : Pasien menikah saat usia 21 tahun dan memiliki suami yang

sangat penyayang dan pengertian. Sehingga masalah apapun selalu

pasien utarakan kepada suaminya tersebut. Pasien memiliki 2 orang anak

laki-laki, anak pertama telah bekerja di Kalimantan dan anak kedua

masih berusia 9 tahun yang menurut pasien agak manja.

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak pernah ada yang berobat/mondok dirumah sakit

jiwa. Riwayat hipertensi, kejang, asma, penyalahgunaan obat dan alkoholisme

juga disangkal.

Genogram

Keluarga Bapak Suyono

E. Persepsi (Tanggapan) Pasien Tentang Dirinya dan Kehidupannya

Pasien memiliki tanggapan bahwa dirinya paling dekat dengan ayahnya,

sehingga kejadian sakit yang dialami dimulai dari rasa kehilangan yang

9

Page 10: Presus Jiwa Muthia

dialaminya. Pasien terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa mati adalah urusan

Tuhan ketika rasa akan mati itu muncul tiba-tiba. Pasien merasa hidupnya kini

lebih bahagia dan berkualitas sejak berobat di dokter jiwa.

F. Status Mental

1. Deskripsi Umum

a. Penampilan

Seorang wanita umur 41 tahun berpenampilan rapi dan sederhana. Terlihat

rawat diri yang baik, dengan wajah yang sumringah dan sangat kooperatif

ketika menjawab berbagai pertanyaan.

b. Kesadaran

Compos mentis GCS E4V5M6.

c. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor

Pasien duduk tenang, gerakan psikomotor normal.

d. Pembicaraan

Relevan dan lancar.

e. Sikap terhadap pemeriksa

Sangat kooperatif.

2. Keadaan Afektif (Mood) Perasaan, Ekspresi Afektif, serta Empati

Afek : normoafek.

Mood : stabil.

Empati : cukup.

3. Fungsi Intelektual

10

Page 11: Presus Jiwa Muthia

Taraf pendidikan, pengetahuan dan kecerdasan sesuai dengan pendidikan

SMA : pengetahuan sesuai dengan pendidikan dan taraf kecerdasan.

Daya konsentrasi : baik, pasien dapat memahami pertanyaan yang

dilontarkan dengan jawaban tepat.

Orientasi : waktu : baik, orang : baik, tempat : baik.

Daya ingat : jangka panjang : baik, jangka pendek : baik, segera : baik.

4. Gangguan Persepsi

Halusinasi dan ilusi : tidak mengalami.

Depresonalisasi : negative.

Derealisasi : negative.

5. Proses Berpikir

a. Arus pikiran

Produktivitas : Dapat dipahami dan kuantitas cukup.

Kontinuitas : Lancar, relevan.

Hendaya berbahasa: Assosiasi cukup.

b. Isi pikiran

Prekokupasi : pada perasaan akan mati dan kesedihan

sepeninggal ayah kandungnya.

Waham : negative.

Obsesi : negative.

Fantasi : negative.

c. Bentuk Pikir : realistik

6. Pengendalian impuls : pasien ingin selalu pemuasan segera (-)

11

Page 12: Presus Jiwa Muthia

7. Daya Nilai

Norma sosial : baik.

Uji daya nilai : pasien mampu membuat kesimpulan atau penilaian

kapabilitas penilaian social.

Daya nilai realita : baik.

8. Tilikan (Insight)

Pasien menyadari penyakitnya dan mengetahui penyebabnya.

9. Taraf Dapat Dipercaya

Dapat dipercaya.

G. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak tenang

Kesadaran : Compos mentis E4V5M6

Vital sign

TD : 110/70 mmHg

Nadi: 88 x/menit

RR : 20 x/menit

T : 36.4 OC

Sistem Kardiovaskular

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC 5 linea midklavicula kiri

Perkusi : Suara redup, tidak ada pembesaran jantung

12

Page 13: Presus Jiwa Muthia

Auskultasi : S1S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Sistem Respirasi

Inspeksi : Simetris (-), ketertinggalan gerak (-)

Palpasi : Ketertinggalan gerak (-), krepitasi (-)

Perkusi : Sonor +/+

Auskultasi : Suara dasar : vesikuler (+), wheezing (-)

Abdomen

Inspeksi : Permukaan cembung, venektasi (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), supel, hepar dan lien tidak teraba

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Timpani, perkusi batas hepar tidak dilakukan

Sistem Urogenital

BAK dbn, BAB dbn

13

Page 14: Presus Jiwa Muthia

BAB. II

EPISODE DEPRESI

A. DEFINISIDepresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang

berkaitan dengan alam perasaaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk

perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan

dan rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

B. EPIDEMIOLOGIGangguan depresi berat merupakan gangguan yang sering terjadi, dengan

prevalensi seumur hidup sekitar 15%, kemungkinan sekitar 25% terjadi pada

wanita.

Terlepas dari kultur atau negara, terdapat prevalensi gangguan depresi

berat yang dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Usia onset

untuk gangguan depresi berat kira-kira usia 40 tahun. 50% dari semua pasien,

mempunyai onset antara usia 20-50 tahun.

Beberapa data epidemilogi baru-baru ini menyatakan bahwa insidensi

gangguan depresi berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia

kurang dari 20 tahun, jika pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan

dengan meningkatnya penggunaan alkohol dan zat -zat lain pada kelompok usia

tersebut.

Angka gangguan depresif berat pada anak-anak pre sekolah diperkirakan

adalah sekitar 0,3% dalam masyarakat, dibandingkan dengan 0,9% dalam

lingkungan klinis. Diantara anak-anak usia sekolah dalam masyarakat, kira-kira

2% memiliki gangguan depresif berat. Depresi lebih sering pada anak laki-laki

dibandingkan anak perempuan pada anak usia sekolah.

C. ETIOLOGI

14

Page 15: Presus Jiwa Muthia

Dasar umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga

faktor -faktor dibawah ini berperan.

a. Faktor Biologis

Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan

depresi berat berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin

biogenik ( norepinefrin dan serotonin ). Penurunan serotonin dapat

mencetuskan depresi, dan pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki

konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal yang rendah

serta konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit.

Faktor neurokimia lain seperti adenilate cyclase, phsphotidyl inositol, dan

regulasi kalsium mungkin juga memiliki relevansi penyebab.

Penelitian anak pra pubertas dengan gangguan depresif berat dan remaja-

remaja dengan gangguan mood telah menemukan kelainan biologis.1

Anak pra pubertas dalam suatu episode gangguan depresif berat

mensekresikan hormon pertumbuhan yang secara bermakna lebih banyak

selama tidur dibandingkan dengan anak normal dan anak dengan

gangguan mental nondepresi.

b. Faktor Genetika

Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama

dari pasien gangguan depresi berat kemungkinan 1,5 – 2,5 kali lebih besar

daripada sanak saudara derajat pertama kontrol. Memiliki satu orang tua

yang terdepresi kemungkinan meningkatkan resiko dua kali untuk

keturunan, memiliki kedua orang tua terdepresi kemungkinan

meningkatkan resiko empat kali bagi keturunan untuk terkena gangguan

depresi sebelum usia 18 tahun.

c. Faktor Psikososial

Peristiwa kehidupan dan stess lingkungan, suatu pengalamn klinis

yang telah lama direplikasikan adalah bahwa peristiwa kehidupan yang

menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan

15

Page 16: Presus Jiwa Muthia

mood daripada episode selanjutnya. Hubungan tersebut telah dilaporkan

untuk gangguan depresi berat.

Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa

kehidupan paling berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya

adalah kehilangan orang tua sebelum usia 13 tahun. Stressor lingkungan

yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah

kehilangan pasangan.

Bebeapa artikel teoritik mempermasalakan hubungan antara fungsi

keluarga dan onset serta perjalanan gangguan depresi berat. Selain itu,

derajat psikopatologi di dalam keluarga mungkin mempergaruhi kecepatan

pemulihan, berkurangnya gejala, dan penyesuaian pasien pasca pemulihan.

D. GEJALA KLINISGejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):

Efek depresif,

Kehilangan minat dan kegembiraan, dan

Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa

lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

Gejala lainnya :

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f. Gangguan tidur

g. Nafsu makan berkurang.

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan

masa sekurang – kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi

periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan

berlangsung lama.

16

Page 17: Presus Jiwa Muthia

E. PATOFISIOLOGITimbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter

aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak diteliti  ialah serotonin. Konduksi

impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter

di celah sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter

tersebut di post sinaps sistem saraf pusat.

Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu

reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam

mekanisme biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti

depresan.

Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena

menurunnya pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan

neurotransmisi serotogenik). Beberapa peneliti menemukan bahwa selain

serotonin terdapat pula sejumlah neurotransmiter lain yang berperan pada

timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi

terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau beberapa neurotransmiter aminergik

pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik. Oleh karena itu teori

biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut :

1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya

kemampuan neurotransmisi serotogenik.

2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi

aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor

presinaptik.

3. Menurunnya aktivitas dopamin.

4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.

Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi

akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti

klinis yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat

golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang

menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat MAOI (Mono

17

Page 18: Presus Jiwa Muthia

Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme neurotransmiter oleh

enzim monoamin oksidase.

Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang

menyebutkan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas

neurotransmisi serotogenik yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau

kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan

gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan

pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini

dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin

Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan

menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat

dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki

gejala-gejala depresi.

Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan

dan pengembangan obat-obat anti depresan.

F. TANDA GANGGUAN DEPRESI BERATa. Perasaan yang berubah-ubah

Depresi berat merupakan gangguan mood yang mempengaruhi cara seseorang

merasa tentang kehidupan pada umumnya. Memiliki pandangan putus asa atau tak

berdaya pada kehidupan adalah gejala yang paling sering dikaitkan dengan

depresi. Perasaan lain yang mungkin dirasakan adalah merasa tidak berharga,

membenci diri atau rasa bersalah yang tidak tepat.

b. Kehilangan minat

Depresi dapat merenggut kesenangan atau kenikmatan dari hal yang disukai.

Hilangnya minat dari kegiatan yang pernah dinantikan, seperti olahraga, hobi atau

pergi keluar dengan teman adalah satu lagi tanda-tanda depresi berat.

c. Kelelahan dan tidur

18

Page 19: Presus Jiwa Muthia

Sebagian alasan seseorang berhenti melakukan hal-hal yang dinikmatinya adalah

karena merasa sangat lelah. Depresi sering datang dengan kekurangan energi dan

perasaan yang luar biasa dari kelesuan, yang dapat menjadi gejala paling

melemahkan. Dan bisa mengakibatkan tidur berlebihan atau tidak tidur sama

sekali.

d. Kecemasan dan lekas marah

Orang dengan depresi juga memberikan kontribusi menimbulkan kecemasan dan

mudah tersinggung. Penelitian menunjukkan, pria lebih cenderung menunjukkan

tanda-tanda ini. Karena wanita lebih mungkin menginternalisasi masalah mereka,

sementara pria cenderung mengeksternalisasi perasaan mereka dengan

menyalahkan orang lain.

e. Selera makan dan berat badan meningkat

Nafsu makan dan berat badan dapat berfluktuasi secara berbeda untuk setiap

orang dengan depresi berat. Beberapa akan memiliki nafsu makan dan berat badan

bertambah, sementara yang lain sebaliknya.

f. Emosi tak terkendali

Satu menit dikuasai amarah. Berikutnya, menangis tak terkendali. Emosi yang

naik dan turun dalam waktu singkat ini adalah gejala depresi. Mirip dengan

kelainan suasana hati (gangguan bipolar), yakni suasana hati yang berfluktuasi tak

terkendali dan membuat orang tersebut bingung.

g. Bunuh diri

Realitas paling menakutkan dari depresi adalah hubungannya dengan keinginan

bunuh diri. Emosi yang tak terkendali dan perasaan hampa sering menyebabkan

orang untuk berpikir bahwa bunuh diri adalah solusi permanen. Bahkan, 90 persen

dari lebih dari 34.000 orang yang bunuh diri di AS setiap tahun didiagnosis

memiliki gangguan psikiatrik.

G. PEDOMAN DIAGNOSTIKPedoman diagnostik untuk episode depresi berat tanpa gejala psikotik:

Semua 3 gejala utama depresi harus ada

19

Page 20: Presus Jiwa Muthia

Ditambah sekurang-kurangnya 4 gejala lainnya, dan beberapa diantaranya

harus berintensitas berat

Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang

mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk

melaporkan banyak gejalanya secara rinci

Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,

tetapi jika gejala utama amat berat dan beronset cepat, maka masih

dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2

minggu

Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,

pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

Pedoman diagnostik untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik

Episode depresif berat yang memiliki kriteria tanpa gejala psikotik tersebut

diatas;

Diseratai waham, halusinasi, atau stupor depresif. Waham biasanya

melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam,

dan pasien merasa bertanggungjawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau

alfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau

kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat

menuju stupor.

H. DIAGNOSIS BANDINGDalam menegakkan suatu gangguan depresi, diagnosis lain perlu

dipikirkan, seperti adanya gangguan organik, intoksikasi atau ketergantungan zat

dan abstinensia, distimia, siklotimia, gangguan kepribadian, berkabung dan

gangguan penyesuaian.

Perubahan intrinsik yang berhubungan dengan epilepsi lobus temporalis

dapat menyerupai gangguan depresi, khususnya jika fokus epileptik adalah sisi

kanan.

20

Page 21: Presus Jiwa Muthia

Berkabung merupakan suatu respon normal yang hebat, dan menyakitkan

karena kehilangan, tetapi responsif terhadap dukungan dan empati dapat membuat

berangsur mereda / sembuh seiring berjalanya waktu.

I. TERAPIMekanisme terjadinya obat anti depresi adalah :

Menghambat ‘reuptake aminergic neurotransmitter’

Menghambat penghancuran oleh enzim ‘monoamine oxidase’

Sehingga terjadi peningkatan jumlah ‘aminergic transmitter’ pada sinaps

neuron di SSP.

Golongan obat anti depresan antara lain :

Trisiklik: Amitriptylin, Tianeptine, Imipramine, Clomipramine, Opipramol

Tetrasiklik: Maprotiline, Mianserin, Amoxapine

MAOI Reversibel: Moclobemide

Atypical: Trazodone, Mirtazepin

SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): Sertraline, Paroxetine,

Fluvoxamine, Fluoxetine, Citalopram.

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek

klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24 jam, serta

waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali per hari). Ada 5 proses dalam

pengaturan dosis, yaitu:

- Initiating dosage (tes dosage), untuk mencapai dosis anjuran selama 1

minggu, misalnya amitriptylin 25 mg/hari pada hari 1-2,50 mg/hari pada

hari ke 3 dan ke 4, 100 mg/hari pada hari ke 5 dan ke 6.

- Titrating dosage (optimal dose), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis

efektif, kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150

mg/hari selama hari ke 7-15 ( minggu II), kemudian minggu ke III 200

mg/hari dan minggu ke IV 300 mg/hari.

- Stabilizing dosage (Stabilzation dose), dosis optimal dipertahankan

selama 2-3 bulan. Misalnya amitriptylin 300 mg/hari (dosis optimal)

kemudian diturunkan sampai dosis pemeliharaan.

21

Page 22: Presus Jiwa Muthia

- Maintaning dosage (maintanance dose), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis

pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari.

- Tapering dosage (tapering dose), selama 1 bulan, kebalikan dari proses

initialing dose. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari 100 mg/hari selama

1 minggu. 100 mg 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg 50 mg/hari

selama 1 minggu, 50 mg/hari 25 mg/hari selama 1 minggu.

Dengan demikian obat anti depresan dapat dihentikan total. Kalau kemudian

sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya.

Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single dose

one hour before sleep) untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan

SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan.

22

Page 23: Presus Jiwa Muthia

BAB. III

PEMBAHASAN

A. IKTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Seorang wanita datang ke Rumah Sakit karena merasa takut yang tidak wajar,

rasa takut disertai dengan gemetaran, keringat dingin dan detak jantung yang

cepat. Selain itu pasien juga merasa akan mati. Pasien mengalami gangguan tidur

dan mengalami mimpi buruk dalam tiap tidur malamnya. Nafsu makan sangat

berkurang hingga pasien harus dirawat di RS karena gastritis yang diderita sejak

pasien berusia 20 tahun. Pasien merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan ini

hingga sempat pergi ke dukun dan kyai namun tidak berhasil menghilangkan

ketakutannya. Keluhan ini dirasakan sejak pasien berusia 19 tahun tepat ketika

ayahnya, yang merupakan keluarga terdekatnya meninggal dunia. Pasien sempat

merasa lebih baik ketika meninggalkan rumah dan hidup bersama suami yang

sangat mengerti keadaannya. Namun, ketika anak keduanya lahir gejala mulai

muncul tiba-tiba kembali hingga pasien merasa kembali tidak nyaman dengan

hidupnya. Pasien mulai merasa gejalanya semakin parah ketika tetangganya

berturut-turut meninggal dunia, berdebar-debar, keringat dingin, mimpi buruk,

sesak nafas, hingga perasaan akan mati kembali dirasakannya hingga tak jarang

pasien sering berjalan-jalan sendiri untuk menghilangkan kegelisahannya.

Halusinasi auditorik maupun visual disangkal. Pasien tidak berwaham, preokupasi

(+) terhadap ketakutannya. Fungsi peran maupun social masih berjalan meskipun

agak terganggu.

B. FORMULASI DIAGNOSIS

Dari hasil alloanamnesis maupun autoanamnesis pasien pernah mengalami

ketakutan yang berlebihan yang disebabkan oleh kematian ayahnya yang

merupakan keluarga terdekat pasien. Pasien merasa berdebar-debar, gemetaran,

sesak nafas, dan merasa akan mati. Selain itu pasien mengalami gangguan tidur

dan nafsu makan yang turun drastic. Pasien juga mengaku mudah lelah dan

pekerjaannya sangat terganggu.

23

Page 24: Presus Jiwa Muthia

Berdasarkan anamnesis dan status mental pasien ini memenuhi kriteria

diagnostik PPDGJ-III sebagai F32.2 yaitu episode depresi berat tanpa gejala

psikotik, dimana pedoman diagnostik nya adalah :

Semua 3 gejala utama depresi ada.

Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa

diantaranya harus berintensitas berat.

Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang

mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk

melaporkan gejalanya secara rinci.

Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2

minggu, akan tetapi jika gejalanya amat berat dan beronset sangat cepat,

maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu

kurang dari 2 minggu.

Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan social,

pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali dalam taraf yang sangat

terbatas.

C. DIAGNOSIS

F32.2 Episode Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik.

Diagnosis banding :

F32.0 Episode Depresi Ringan

F32.1 Episode Depresi Sedang

F32.3 Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik

D. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

Axis I : Gangguan Suasana Perasaan

Axis II : Gangguan Kepribadian Cemas

Axis III : Penyakit Sistem Pencernaan

Axis IV : Masalah dengan “primary support group” (keluarga)

24

Page 25: Presus Jiwa Muthia

Axis V : Gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan

dalam social dan pekerjaan.

E. TERAPI

a. Non Farmakologi

Psikoterapi

b. Farmakoterapi

Amitriptilin 25mg 1x1

25

Page 26: Presus Jiwa Muthia

DAFTAR PUSTAKA

Rusdi, M. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK- Unika Atma Jaya

Pramudya.2003. Skizofrenia. Jakarta : Comphrehensive Textbook Psychiatry

Azorin, J. 20011. A double Blind Comparative study Of Clozapine And Risperidone In The Management Of Severe Chronic Schizophrenia

26

Page 27: Presus Jiwa Muthia

REFLEKSI KASUS

Bagaimana pemberian terapi pada pasien ini ?

Pasien diberi obat antidepresan :

Mekanisme terjadinya obat anti depresi adalah :

Menghambat ‘reuptake aminergic neurotransmitter’

Menghambat penghancuran oleh enzim ‘monoamine oxidase’

Sehingga terjadi peningkatan jumlah ‘aminergic transmitter’ pada sinaps

neuron di SSP.

Golongan obat anti depresan antara lain :

Trisiklik: Amitriptylin, Tianeptine, Imipramine, Clomipramine, Opipramol

Tetrasiklik: Maprotiline, Mianserin, Amoxapine

MAOI Reversibel: Moclobemide

Atypical: Trazodone, Mirtazepin

SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): Sertraline, Paroxetine,

Fluvoxamine, Fluoxetine, Citalopram.

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek

klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24 jam, serta

waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali per hari). Ada 5 proses dalam

pengaturan dosis, yaitu:

- Initiating dosage (tes dosage), untuk mencapai dosis anjuran selama 1

minggu, misalnya amitriptylin 25 mg/hari pada hari 1-2,50 mg/hari pada

hari ke 3 dan ke 4, 100 mg/hari pada hari ke 5 dan ke 6.

- Titrating dosage (optimal dose), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis

efektif, kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150

mg/hari selama hari ke 7-15 ( minggu II), kemudian minggu ke III 200

mg/hari dan minggu ke IV 300 mg/hari.

27

Page 28: Presus Jiwa Muthia

- Stabilizing dosage (Stabilzation dose), dosis optimal dipertahankan

selama 2-3 bulan. Misalnya amitriptylin 300 mg/hari (dosis optimal)

kemudian diturunkan sampai dosis pemeliharaan.

- Maintaning dosage (maintanance dose), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis

pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari.

- Tapering dosage (tapering dose), selama 1 bulan, kebalikan dari proses

initialing dose. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari 100 mg/hari selama

1 minggu. 100 mg 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg 50 mg/hari

selama 1 minggu, 50 mg/hari 25 mg/hari selama 1 minggu.

Dengan demikian obat anti depresan dapat dihentikan total. Kalau kemudian

sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya.

Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single dose

one hour before sleep) untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan

SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan.

28