45
LAPORAN KASUS POLIP NASI BILATERAL DAN RINOSINUSITIS KRONIK PEMBIMBING: dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL Oleh : Adi Kurniawan H1A 010 040

Polip Nasi Bilateral

Embed Size (px)

DESCRIPTION

POLIP

Citation preview

LAPORAN KASUS

POLIP NASI BILATERAL DAN RINOSINUSITIS KRONIK

PEMBIMBING:

dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL

Oleh :

Adi Kurniawan

H1A 010 040

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB

2014

BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam

praktek dokter sehari-sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab

gangguan kesehatan tersering seluruh dunia. Penyebab utamanya adalah

selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan

anatomi yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.1

Kata polip berasal dari Yunani (Polypous) yang kemudian dilatinkan

(polyposis) dan yang tumbuh dalam rongga hidung, sering kali multiple dan

bilateral. Massa ini lunak berwarna putih keabu-abuan, agak transparan,

permukaan licin mengkilat, bertangkai dan mudah digerakkan. Berasal dari

epitel dimeatus medius, ethmoid atau sinus maksila. Dapat menjadi besar dan

dapat memenuhi rongga hidung dan sampai keluar dari nares anterior. Ada

polip yang tumbuh ke posterior ke arah nasofaring dan disebut polip koanal,

sering tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Polip koanal paling

sering berasal dari sinus maksila (antrum). Sehingga disebut juga polip

antrokoanal.1

Polip nasi dan rhinosinusitis merupakan salah satu jenis penyakit telinga,

hidung dan tenggorok (THT) yang sudah umum didengar di masyarakat. Angka

kejadian kedua penyakit ini pun masih cukup tinggi dalam masyarakat. Sebagian

orang sering menyebut polip sebagai daging tumbuh dalam hidung, sebagian

orang juga menamainya tumor hidung. Polip nasi sebenarnya adalah suatu

pertumbuhan dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak.1 Sementara Sinusitis

adalah inflamasi mukosa sinus paranasal yang sering ditemukan dalam praktek

dokter sehari–hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan

kesehatan tersering di seluruh dunia.2

Polip hidung dan sinusitis bukan penyakit yang murni berdiri sendiri.

Pembentukannya sangat terkait erat dengan berbagai problem THT lainnya seperti

rinitis alergi, radang kronis pada mukosa hidung, kista fibrosis. Hidung dan sinus

dalam keadaan fisiologis steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat

1

oleh penyebab tertentu maka akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk

perkembangan organisme patogen. 2,5

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa polip nasi dan

sinusitis merupakan penyakit yang penting untuk diketahui oleh praktisi

kesehatan. Oleh karena itu kasus ini dipilih dengan tujuan agar lebih memahami

diagnosis, dan penatalaksanaan polip nasi dan sinusitis.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIDUNG

2.1.1. Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga

hidung dengan perdarahan dan persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar

berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:4,5

1. Pangkal hidung (bridge)

2. Dorsum nasi

3. Puncak hidung (tip)

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:4,5

1. Tulang hidung (os nasalis)

2. Prosesus frontalis os maksila

3. Prosesus nasalis os frontalis

Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang

rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:4,5

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)

3. Kartilago alar minor

4. Tepi anterior kartilago septum

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan

kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi

3

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang

letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan

vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan

rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.4,5

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini

dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina

perpendikularis os ethmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os

palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) &

kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa

hidung.4,5

Bagian depan hidung sisi lateral memiliki permukaan licin, yang disebut

agar nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar

dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka

superior, konka media, konka inferior dan konka suprema. Yang terbesar dan

letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah

konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah

konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. 4,5

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila

dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan

bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung

terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus

yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di anatara

konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada

meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.4,5

Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga

hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus usinatus, hiatus

semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah

4

sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus

etmoid anterior. 4

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan

konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding

inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os

palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh

lamina kribriformis yang memisahkan rongga terngkorak dan rongga hidung.4

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior

dan posterior yg merupakan cabang a. oftalmika (cabang dari a. karotid interna).

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris

interna, yaitu a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang

ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari

cabang-cabang arteri fasialis.4

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina major, yang

disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epitaksis, terutama anak-anak. 4

Vena-vena hidung berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di

vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yg berhubungan

dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai

intrakranial. 4

5

2.1.2. Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :4

1. Fungsi respirasi

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut

lender. Pada musim panas, udara hamper jenuh oleh uap air,

sehingga terjadi sedikit penguapan udara oleh inspirasi oleh palut

lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37o C.

fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh karena banyaknya

pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan

septum yang luas.

2. Fungsi penghidu

Hidung juga berfungsi sebagai indra penghidu dan pengecap

dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka

superior dan sepertiga bagian atas septum.

Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan

palut lender atau bila menarik napas dengan kuat.

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk

membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan,

seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat.

3. Fungsi fonetik

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk

oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan

nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum

mole turun untuk aliran udara.

4. Fungsi static dan mekanik

Berfungsi untuk meringankan beban kepala proteksi terhadap

trauma dan pelindung panas.

6

5. Reflex nasal

Mukosa hidung merpakan reseptor refleks yang berhubungan

dengan saluran cerna, kardiovaskular dan pernapasan. Misalnya,

iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan napas

terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,

lambung, dan pankreas.

2.2. SINUS PARANASAL

2.2.1. Anatomi

Sinus paranasal adalah perluasan bagian respiratorik cavitas nasi yang

berisi udara ke dalam ossa cranii berikut: os frontal, os etmoid, os sfenoid, dan os

maxilla. Sinus paranasal mulai terbentuk pada fetus usia 3 sampai 4 bulan. Nama

sinus-sinus tersebut bersesuaian dengan nama tulang-tulang yang ditempatinya.

Seluruh sinus paranasal memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung.

Drainase yang berasal dari sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid anterior

bermuara di meatus media sementara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid

bermuara di meatus superior. 2,3

a) Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus

maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan

akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila

berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila

yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan

infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,

dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus

alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior

dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infundibulum etmoid.2

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :2

7

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan

gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam

sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan

sinusitis

2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga

drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus

melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus

etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah

ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya

menyebabkan sinusitis.

b) Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat

fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.

Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 6-10 tahun dan akan

mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan

kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan

oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa

hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalisnya

tidak berkembang.2

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya

2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.

Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada

foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh

tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi

dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase

melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan

infundibulum etmoid.2

c) Sinus Etmoid

8

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan dianggap

paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.

Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di

bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tingginya 2,4

cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.2

Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang

tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di

antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus

etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius

dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian

terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut resesus frontal,

yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat

suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium

sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat

menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat

menyebabkan sinusitis maksila.2

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina

kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan

membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan

dengan sinus sfenoid.2

d) Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.

Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.

Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm.

Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-batasnya ialah, sebelah

superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya

atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan

a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya

berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.2

9

Kompleks Ostiomeatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada

muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.

Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM) terdiri

dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus usinatus, resesus

frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium

sinus maksila.2

2.2.2. Fisiologi

Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus

paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai

fungsi apa- apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:2

1) Sebagai Pengatur Kondisi Udara

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur

kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata

tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume

sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk

pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai

vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

2) Sebagai Penahan Suhu (Thermal Insulator)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita

dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah- ubah. Akan tetapi

kenyataannya sinus- sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan

organ-organ yang dilindungi.

3) Membantu Keseimbangan Kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.

Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan

10

memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori

ini dianggap tidak bermakna.

4) Membantu Resonasi Suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat bahwa posisi

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator

yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya

sinus pada hewan- hewan tingkat rendah.

5) Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara

Fungsi ini berjalan bila tidak ada perubahan tekanan yang besar dan

mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

6) Membantu Produksi Mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan mukus yang dihasilkan oleh rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus

ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.3. POLIP HIDUNG

2.3.1. Definisi

Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam

rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi

mukosa. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia

anak-anak sampai usia lanjut. Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi

adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian

yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan

bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.2

2.3.2. Etiologi dan Patogenesis

Sampai sekarang etiologi polip masih belum diketahui dengan pasti

tapi ada 3 faktor yang penting dalam terjadinya polip, yaitu : 1

11

1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan

sinus.

2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor

3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung.

Fenomena Bernoli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah

yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan

yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema

mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan penyebab polip

kebanyakan berasal dari area yang sempit di kompleks osteomeatal (KOM) di

meatus medius.1

Pada awal pembentukan polip ditemukan edema mukosa yang

kebanyakan terjadi didaerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi

oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab akan menjadi

polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar

dan kemudian akan turun kedalam rongga hidung sambil membentuk tangkai,

sehingga tebentuk polip.1

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,

disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Barnstein, terjadi

perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi,

terutama didaerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa

yang diikuti oleh reepitealisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi

peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi

air sehingga terbentuk polip.2

Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi

peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang

mengakibatkan dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan

menyebabkan adanya edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus

berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian

akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.2

12

2.3.3. Gambaran Polip

1. Makroskopis

Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan

permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan,

agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitif (bila

ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut

disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke

polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat

berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya

dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di

meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan

endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.

Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring,

disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila

dan disebut juga polip antrokoana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang

berasal dari sinus etmoid.2

2. Mikroskopis

Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa

hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang

sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan

makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet, pembuluh darah, saraf dan

kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia

epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik

atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.

Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2,

yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik. Polip Eosinofilik mempunyai

latar belakang alergi dan Polip Neutrofilik biasanya disebabkan infeksi atau

gabungan keduanya.2

13

2.3.4. Diagnosis Polip Nasi

1. Anamnesis

Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat dari

yang ringan sampai yang berat, rinore dari yang jernih sampai purulen,

hipoosmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri di hidung

disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin

didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul

adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan

penurunan kualitas hidup.

Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk

kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma. Selain itu

harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan

alergi obat lainya serta alergi makanan.

2. Pemeriksaan Fisik

Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung luar

sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada

pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat

yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.

Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund pada tahun 1997

a. Stadium 0: Tidak ada polip

b. Stadium 1: Polip masih terbatas di meatus medius

c. Stadium 2: Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak dirongga

hidung tapi belum memenuhi rongga hidung

d. Stadium 3: Polip yang masif

3. Naso-endoskopi

Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip

yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada

pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan

nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip

yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.

4. Pemeriksaan Radiologi

14

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral)

dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di

dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan

tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di

hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip

atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. CT terutama diindikasikan pada

kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa, jika ada komplikasi

dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah

endoskopi.2

2.3.5. Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan

keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian

kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi

medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik

memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal

dibanding polip tipe neutrofilik.

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip

yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi

polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal,

etmoidektomi intra nasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,

operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik adalah apabila tersedia

fasilitas endoskopi maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi

Fungsional).2

2.3.6. Prognosis

Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga

perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal

pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan

eliminasi.

15

Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa

dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid

atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah

berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan

hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak

memberikan hasil yang memuaskan.

2.4. SINUSITIS

2.4.1. Definisi

Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal, yang umumnya

disertai atau dipicu oleh peradangan pada cavum nasi (rhinitis), sehingga sering

disebut sebagai rhinosinusitis.2

2.4.2. Etiologi

Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis

akut adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Haemophylus influenzae (20-

40%) dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak

ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi

umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif dan

anaerob.2

2.4.3. Faktor Presdiposisi

Faktor predisposisi sinusitis antara lain ISPA akibat virus, bermacam

rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,

kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan

kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia

silia pada sindrom Kartagener, dan fibrosis kistik. Pada anak-anak sering terkait

dengan hipertrofi adenoid.2

Faktor yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi, udara

dingin dan kering serta kebiasaan merokok, yang menyebabkan perubahan

mukosa dan kerusakan silia. Selain itu juga faktor geografis dan sosioekonomi,

terutama terhadap kejadian sinusitis jamur. Rhinosinusitis kronis juga diduga

16

berkaitan dengan gastroesophageal reflux disease (GERD), laryngopharyngeal

reflux (LPR), serta adanya biofilm yang dihasilkan oleh mikroorganisme

penyebab rhinosinusitis.2

Bakteri yang banyak ditemukan sebagai penyebab sinusitis antara lain

Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, bakteri anaerob, Branhamella

catarrhalis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes. Pada sinusitis

kronis, agen infeksi yang cenderung terlibat adalah bakteri anaerob. Tidak jarang

pula terjadi infeksi campuran antara bakteri aerob dan anaerob.1 Bakteri anaerob

juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan

infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab

sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi

invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain

adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella,

Aspergillus, dan Fusarium.6

2.4.4. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosilier di dalam kompleks ostiomeatal (KOM). Mukus juga

mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai

mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara

pernapasan.2

Organ-organ yang membentuk KOM terletak berdekatan dan bila terjadi

edema maka mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak

bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga

sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi yang mula-mula bersifat serosa.

Kondisi ini dapat dianggap sebagai rhinosinusitis non bacterial, dan biasanya

sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.2

Bila kondisi ini menetap, maka sekret yang terkumpul dalam sinus

merupakan media yang baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri. Sekret

menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan

membutuhkan terapi antibiotik.2

17

Jika terapi tidak berhasil dan inflamasi berlanjut, maka akan terjadi

hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini

merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa

menjadi kronik, yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada

keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.2

2.4.5. Gejala dan Tanda

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri

kepala yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian analgetika biasa seperti

aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala

mendadak, seperti sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi

khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret

mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk inisiatif

non-produktif seringkali ada. Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan.2

Keluhan sinusitis kronis tidak khas, dapat berupa salah satu dari sakit

kepala kronis, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan

telinga akibat sumbatan kronik tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti

bronchitis (sino-bronkitis) dan yang paling penting adalah serangan asma yang

sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan

gastroenteritis.2

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan

naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.

Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid

anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan

sfenoid).2

Pada rhinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering

ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.2

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto

polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi

sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat

perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.2

18

2.4.6. Klasifikasi dan Mikrobiologi

Konsensus internasional tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas

sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih

dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan

lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis

kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati sampai tuntas. Pada

sinusitis kronik factor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang

ada lebih condong kea rah bakteri gram negative dan anaerob.2

2.4.7. Tatalaksana

Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah

komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsipnya adalah dengan

membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih

secara alami.2

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut

bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan

penisilin seperti amoksisilin, dan jika diperkirakan kuman telah resisten atau

memproduksi beta laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin – asam

klavulanat atau jenis sefalosporin generasi kedua. Pada sinusitis, antibiotik

diberikan selama 10 – 14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis

kronis diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman gram negative dan anaerob.1

Selain dekongestan oral dan topical terapi lain dapat diberikan jika

diperlukan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral atau topical, pencucian rongga

hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin

diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi lebih

kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua.

Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi

tambahan yang bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan pada kelainan

alergi yang berat.2

19

2.4.8. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah banyak menurun sejak ditemukannya antibiotic.

Komplikasi biasana terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronis eksaserbasi

akut, antara lain:2

a. Kelainan Orbita

Disebabkan oleh sinusitis yang lokasinya berdekatan dengan mata, yang

paling sering adalah sinusitis etmoid dan selanjutnya oleh sinusitis frontal dan

maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui trombflebitis dan

perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema palpebra, selulitis

orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi

thrombosis sinus kavernosus.2

b. Kelainan Intrakranial

Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan

thrombosis sinus kavernosus.2

c. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada

anak-anak. Pada oseteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral

atau fistula di pipi.2

d. Kelainan Paru

Kelainan para yang terjadi antara lain bronchitis kronis dan bronkiektasis.

Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut

sebagai sino-bronkhial. Selain itu sinusitis dapat juga menyebabkan

kambuhnya asma bronkial yang sulit dihilangkan sebelum sinusitisnya

disembuhkan.2

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama pasien : Tn. Z

20

Umur : 36 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Dompu

Tanggal Pemeriksaan : 3 September 2014

3.2. Anamnesis

Keluhan Utama : Hidung kanan dan kiri tersumbat

Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat

pada hidung bagian kiri dan kanan. Keluhan dirasakan sejak + 3 bulan yang lalu.

Pasien mengeluhkan seperti ada daging yang tumbuh di dalam kedua rongga

hidungnya. Hidung mampet (+) pada rongga kedua hidung, kedua hidung sulit

mencium bau-bauan, sering mencium bau busuk (+), pilek (+) dengan lendir encer

berwarna jernih, pasien sering merasakan seperti lendirnya turun ke tenggorokan

dan tertelan, batuk (+) bersin-bersin (+), suara sengau (+). Nyeri pada dahi (+),

nyeri pada belakang mata dan pangkal hidung (-), nyeri pada bagian atas kepala

(-), nyeri belakang telinga (-), demam (-), nyeri pada pipi kanan dan kiri (+)

kadang kadanglemah lesu (-).

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien mengaku sering mengalami bersin-bersin

disertai pilek yang encer ketika terkena debu atau terpapar suhu dingin. Jika

bersin-bersin muncul, hidung dan mata terasa gatal serta mata juga turut berair,

riwayat sakit gigi (-), gigi berlubang (-) riwayat asthma (-), tekanan darah tinggi

(-), kencing manis (-)

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga pasien yang mengalami

keluhan serupa.

Riwayat Alergi : Pasien mengaku memiliki alergi terhadap debu

dan dingin.

21

Riwayat Pengobatan : Pasien sudah berobat ke RSUD Dompu dan

dirujuk ke RSUP NTB.

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda vital :

o TD : 120/80 mmHg

o Nadi : 86 x/menit

o Respirasi : 19 x/menit

o Temperatur : 36,8 oC

Status Lokalis

Pemeriksaan Telinga

No

.

Area Telinga Kanan Telinga Kiri

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun

telinga

Bentuk dan ukuran dalam

batas normal, hematoma (-),

nyeri tarik aurikula (-)

Bentuk dan ukuran dalam

batas normal, hematoma (-),

nyeri tarik aurikula (-)

3. Liang

telinga

Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-),

sekret (-)

Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-),

sekret(-)

22

4. Membran

timpani

Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-), kolesteatom (-),

cone of light (+)

MT intak

Cone of light

(+)

Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-), kolesteatom (-),

cone of light (+)

MT intak

Cone of light

(+)

Pemeriksaan Hidung

No

.

Pemeriksaan

Hidung

Hidung Kanan Hidung Kiri

1. Hidung luar Bentuk normal, hiperemi

(-), nyeri tekan (-),

Bentuk normal, hiperemi (-),

nyeri tekan (-)

2. Vestibulum

nasi

Terdapat massa berwarna

putih, mengkilat yang

menutup total vestibulum

nasi, permukaan rata,

nyeri tekan (-)

Terdapat massa berwarna

putih, mengkilat yang

menutup total vestibulum

nasi, permukaan rata, nyeri

tekan (-)

3. Cavum nasi Tidak dapat dievaluasi Tidak dapat dievaluasi

4. Meatus nasi

media

Tidak dapat dievaluasi Tidak dapat dievaluasi

5. Konka nasi

inferior

Tidak dapat dievaluasi Tidak dapat dievaluasi

6. Septum nasi Tidak dapat dievaluasi Tidak dapat dievaluasi

7. Transluminasi Maxila dextra tampak

suram

Frontalis dextra jernih

Maxilla sinistra tampak

suram

Frontalis sinintra jernih

23

massa berwarna putih, mengkilat yang menutup total vestibulum nasi, permukaan rata,

Pemeriksaan Tenggorokan

No

.

Area Hasil Pemeriksaan

1. Bibir & mulut Mukosa bibir & mulut basah, berwarna merah muda (N)

2. Geligi Tidak ada lubang atau tanda infeksi pada gigi rahang

atas.

3. Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)

4. Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-),

pseudomembran (-)

5. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)

6. Faring Mukosa hiperemi (-)

7. Tonsila palatina Kanan : T1, Hiperemi (-), detritus (-), kripte melebar (-)

Kiri : T1, Hiperemi (-), detritus (-), kripte melebar (-)

3.4. Assessment

Polip Nasi Bilateral dan Rinosinusitis Kronik

3.5. Planning

A. Diagnostik

Pemeriksaan naso endoskopi

Foto polos sinus maxilla posisi waters

24

Pemeriksaan darah lengkap dan rontgen toraks untuk kepentingan pre-

op

B. Terapeutik

Cetirizine tablet: 1 x 10 mg sebagai antihistamin

Ambroxol tablet 3 x 1 tab sebagai mukolitik

Amoksisilin tablet 3 x 500 mg sebagai antibiotik untuk menghilangkan

bakteri penyebab sinusitis

Demacolin 3 x 500 mg sebagai nasal dekongestan untuk

menghilangkan pembengkakan dan membuka sumbatan ostium sinus

serta sebagai analgetik

Metilprednisolon 3 x 4 mg sebagai kortikosteroid untuk mengurangi

proses inflamasi

Pro polipektomi

C. Edukasi

Edukasi mengenai prosedur dan manfaat dari polipektomi

Menunggu hasil rontgen posisi waters untuk menentukan terapi untuk

sinusitis

Pasien disarankan untuk sebisa mungkin menghindari paparan

terhadap debu dan udara yang terlalu dingin yang diketahui

merupakan pemicu alergi

3.6. Prognosis

Dubia ad bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat pada hidung bagian kiri

dan kanan. Keluhan dirasakan sejak + 3 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan

25

seperti ada daging yang tumbuh di dalam kedua rongga hidungnya. Hidung terasa

mampet pada rongga kedua hidung, kedua hidung sulit mencium bau-bauan,

pasien mengalami pilek dengan lendir kental berwarna jernih yang sering turun ke

tenggorokan dan tertelan, selain itu juga pasien mengeluhkan batuk, bersin-bersin,

serta suara sengau. Tidak terdapat nyeri pada dahi, pada belakang mata dan

pangkal hidung, tidak ada keluhan demam yang dirasakan oleh pasien.

Pada pasien ini didapatkan adanya massa yang berwarna putih yang

menutup total vestibulum nasi dengan permukaan yang rata dan tampak

mengkilat. Pada pemeriksaan transluminasi didapatkan adanya bayangan gelap

dengan cahaya yang tidak menembus sinus. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan

fisik, pasien dapat didiagnosis dengan polip nasi bilateral dan rinosinusitis kronik.

Terapi yang diberikan pada pasien adalah terapi untuk meredakan gejala,

mengatasi infeksi, serta polipektomi dan irigasi sinus. Untuk mengurangi keluhan

bersin-bersin dan ingus berair, dapat diberikan Antihistamin yaitu Cetirizine tablet

1 x 10 mg. Mukolitik juga diberikan agar dapat mengencerkan sekret yang kental

pada saluran napas atas dan rongga sinus, diberikan Ambroxol tablet 3 x 1 tablet.

Untuk mengatasi infeksi diberikan antibiotik Amoksisilin selama 14 hari 3 x 500

mg. Nasal Dekongestan dapat diberikan dengan tujuan untuk mengurangi keluhan

hidung tersumbat dan membuka sumbatan ostium sinus, dapat diberikan

demacolin 3 x 500 selain memiliki nasal dekongestan demacolin juga memiliki

paracetamol sebagai analgetik. Selain itu diberikan pula Kortikosteroid yaitu

Dexamethasone tablet sebanyak 3 x 0,5 mg setelah dilakukan tindakan operasi.

Kortikosteroid diberikan dalam jangka waktu singkat selama 5-7 hari untuk

mengurangi proses inflamasi pasca tindakan operasi.

Selain terapi medikamentosa dan operatif, KIE merupakan salah satu

tatalaksana yang penting yang harus diberikan kepada pasien. Pasien disarankan

agar menggunakan masker, serta sebisa mungkin menghindari paparan terhadap

debu dan udara yang terlalu dingin yang diketahui merupakan pemicu alergi.

Selain itu yang lebih penting lagi pasien diingatkan agar kontrol rutin ke Poli THT

pasca operasi agar dapat diperiksa secara rutin untuk melihat perkembangan

pasien post op, perdarahan post op.

26

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiman, B.J. Asyari, A. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis

Dengan Polip Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

(THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. 2014. Available

from: http://repository.unand.ac.id (Accessed on September 14th, 2014)

2. Mangunkusumo, Endang. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi

keenam. Jakarta: FKUI, 2007.

3. Moore, Keith L. Head. Dalam: Clinically Oriented Anatomy. Fifth edition.

Philadelphia, Lippincott William and Wilkins, 2006.

4. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Sumbatan Hidung. Dalam:

Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007.

5. Hilger, Peter A. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : BOIES -

Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC, 1997

6. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory

Tract. Dalam: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York,

NY: McGraw Hill, 2005.

28