Upload
kingkin-haning-airi
View
139
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN RESMI FARMAKOTERAPI SISTEM SYARAF
PRAKTIKUM I
SKIZOPRENIA DAN DEPRESI
I. Tujuan :
Agar mahasiswa mampu menganalisa suatu kasus mengenai skizoprenia, dan
mampu menyelesaikan kasus tersebut, serta menentukan obat yang tepat untuk
penyakit tersebut.
II. Dasar teori :
Skizoprenia
Skizoprenia merupakan penyakit gangguan otak parah dimana orang
menginterprestasikan realitas secara abnormal. Skizoprenia merupakan gangguan
pikiran berupa kombinasi dari halusinasi, delusi dan berpikir teratur dan perilaku.
Kemampuan orang dengan skizoprenia untuk berfungsi normal dan merawat diri
mereka sendiri cenderung menurun dari waktu ke waktu. Penyakit ini merupakan
kondisi kronis, yang memerlukan pengobatan seumur hidup.
Berbeda dengan yang dipercayai oleh orang pada umumnya, skizoprenia
bukanlah kepribadian yang terbelah atau kepribadian ganda. Kata skizoprenia
berasal dari akar kata yunani, yaitu schizo (terbelah) dan phrene (pikiran), untuk
menggambarkan adanya pemikiran yang terfragmentasi dan mengacu pada
gangguan keseimbangan emosi dan berpikir. Eugen Bleuler adalah psikiater Swiss,
yang menciptakan istilah “skizoprenia” pada tahun 1911. Dia juga orang pertama
yang menggambarkan gejala-gejala skizoprenia sebagai gejala “positif” atau
“negatif”. Sejak masa Bleuler, definisi skizoprenia terus berubah, karena ilmuwan
mencoba untuk lebih akurat melukiskan berbagai jenis penyakit psikiatrik.
1. Epidemiologi
Prevalensi penderita skizoprenia hampir mirip pada satu negara dengan negara
lain, yaitu sekitar 0,2-2% populasi. Onset terjadinya biasanya pada masa akhir
remaja atau awal dewasa, jarang terjadi pada sebelum remaja atau setelah umur 40
tahun. Angka kejadian pada wanita sama dengan pria, tetapi onset pada pria
umumnya lebih awal (pria: 15-24 tahun; wanita; 25-35 tahun) dengan implikasi
lebih banyaknya gangguan kognitif dan outcome yang lebih jelek pada pria
daripada wanita.
Pria lebih banyak mengalami gejala-gejala negatif dan wanita lebih banyak
mengalami gejala afektif walaupun gejala psikotok akut, baik dalam jenis atau
tingkat keparahan, tidak berbeda antara kedua jenis kelamin. Lebih dari 80% dari
pasien skizoprenia memiliki orang tua yang tidak memiliki gangguan, namun risiko
skizoprenia lebih besar pada orang yang orang tuanya memiliki gangguan. Resiko
skizoprenia seumur hidup adalah sebesar 13-40% untuk anak yang kedua
orangtuanya menderita skizoprenia.
2. Etiologi
Penyebab skizoprenia telah menjadi subjek perdebata yang panjang. Studi
menunjukkan bahwa genetika, perkembangan janin dalam kandungan, lingkungan
awal, neurobiologi, dan proses psikologis, an faktor sosial merupakan penyebab
penting. Meskipun tidak ada penyebab umum skizoprenia yang dapat diidentifikasi
pada semua individu yang didiagnosis dengan kondisi tersebut, saat ini sebagian
besar peneliti dan dokter percaya bahwa skizoprenia merupakan dipengaruhi oleh
faktor kerentanan otak (baik yang diwarisi atau diperoleh) dan peristiwa kehidupan.
3. Prognosis
Kurang dari 20% pasien dengan skizoprenia memiliki prognosis yang baik. Itu
berarti bahwa kurang dari 20 dari setiap 100 pasien skizoprenia memiliki
kemungkinan untuk menikah, memiliki anak, dan mempertahankan pekerjaan dan
memiliki kehidupan yang normal produktif.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap prognosis yang lebih baik antara
lain : peremouan, onset gejala yang cepat, usia yang lebih tua dari episode pertama,
gejala positif, dan kondisi medis sebelumnya yang baik. Kekuatan dan sumber daya
internal dari individu yang bersangkutan, seperti ketahanan psikologis juga
berkontribusi terhadap prognosis yang lebih baik. Sikap dan tingkat dukungan dari
orang-orang dalam kehidupan individu tersebut (misalnya dukungan keluarga,
teman-teman, dan lain-lain) dapat memberikan dampak yang signifikan.
Patofisiologi
1. Klasifikasi
DSM-IV-TR berisi 5 sub klasifikasi dari skizoprenia, yaitu :
a. Tipe paranodi : ada delusi dan halusinasi, tetapi tidak ada gangguan pemikiran,
perilaku yang tidak teratur, dan respon yang datar
b. Tipe disorganized : disebut juga skizoprenia hebephrenic pada ICD, dimana
gangguan berpikir dan perasaan yang datar terjadi bersama-sama
c. Tipe katatonik :individu mungkin hampir tidak bergerak atau menunjukkan
kegelisahan, atau gerakan yang tidak ada tujuannya
d. Tipe undifferentiated : ada gejala psikotik namun tidak memenuhi kriteria untuk
jenis paranoid, disorganized, atau katatonik
e. Tipe residual : gejala positif terjadi pada intensitas rendah saja.
2. Patofisiologi
Teori neurokimia tentang skizoprenia berkembang dengan menganalisis efek
antipsikotik dan propsikotik obat pada manusia dan hewan percobaan. Teori ini
terutama berpusat pada peran dopamin dan glutamat pada patofiologi skizoprenia,
walaupun peranan serotonin juga mendapat perhatin, terutama selama dekade
terakhir.
a. Peranan dopamin
Hipotesis dopamin pada skizoprenia pertama kali diusulkan berdasarkan bukti
farmakologis tidak langsung pada manusia dan hewan percobaan. Pada waktu itu
ditemukan bahwa penggunaan amfetamin pada dosis besar, suatu obat yang
meningkatkan aksi dopamin, ternyata menyebabkan gejala psikotik, yang dapat
diatasi dengan pemberian suatu obat yang memblok reseptor dopamin D2,
apomorfin, juga menghasilkan efek serupa, sementara obat-obat antagonis dopamin
ternyata dapat mencegah gejala psikotik yang disebabkan oleh amfetamin.
Dalam hipotesis dopamin, dinyatakan bahwa skizoprenia dipengaruhi oleh
aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik dan mesokortis syaraf dopamin.
Overaktivitas ayaraf dopamin pada jalur mesolimbik bertanggung jawab
menyebabbkan gejala positif, sedangkan kurangnya aktivitas dopamin pada jalur
mesokortis menyababkan gejala negatif, kognitif, dan afektif.
Diketahui bahwa jalur dopamin syaraf terdiri dari 4 jalur, yaitu :
1. Jalur nigrostriatal : dari substantia nigra ke basal ganglia
2. 2. Jalur mesolimbik : dari substantia nigra menuju ke sistem limbik
3. Jalur mesokortikal : dari substantia nigra menuju ke frontal cortex
4. Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitary
Table Sistem Dopaminergik, fungsi dan efek antagonis Dopamin
Sistem Dopamin Asal Intervasi Fungsi Efek antagonis
Dopamin
Nigrostriatal Substansia
nigra
Nukleus
caudate
Putamen
Sistem
ekstrapiramidal,
gerakan
Gangguan
gerakan
Mesolimbik Midbrain
ventral
tegmentum
Daerah
limbik
(contoh :
amygdala,
alfactory,
tuberde,
septal
nuclei),
cingulate
Ingatan, proses
stimulus,
tingkah laku
yang
bersemangat
Mengurangi
gejala psikosis
gyrus
Mesokortikal Midbrain
ventral
tegmentum
Lobus
korteks
frontal dan
prefrontal
Kognisi,
komunikasi,
fungsi sosial,
respon terhadap
stres
Mengurangi
gejala psikosis,
akatisia
Tuberoninfundibular Hipotalamus Kelenjar
pituitari
Mengatur
pelepasan
prolaktin
Meningkatkan
konsentrasi
prolaktin
Hipotesis dopamin inilah yang menyebabkan bahwa sebelum 1990-an,
pengembangan obat antipsikotik difokuskan secara ekslusif pada agen dengan aktivitas
utama yang berlokasi pada reseptor dopamin-D2, yaitu obat-obat anti psikotik tipikal
yang merupakan antagonis reseptor D2. Namun meskipun blokade reseptor D2 dapat
mengurangi gejala-gejala positif, seperti halusinasi dan delusi, antagonis D2 juga terkait
dengan efek samping neurologis yang tidak menyenangkan, yaitu gejala ekstra
piramidal. Selain itu, agen ini memiliki khasiat yang terbatas untuk gejala dalam
skizoprenia, terutama gejala negatif, dan koknitif.
b. Peranan serotonin
Pelapasan dopamin tidak bisa dilepaskan dari fungsi serotonin yang memiliki
fungsi regulator. Serotonin pertama kali di usulkan untuk terlibat dalam pato fisiologi
skisoprenia pada tahun 1950 karena adanya kesamaan struktural dengan diethylamide
asam lisergat (LSD), kesamaamn antara efek halusinogen LSD dengan gejala positif
Skisofrenia dan fakta bahwa LSD merupakan antagonis serotonin di jaringan perifer.
Pengembangan obat anti psikotik klozapin pada saat itu memperbaharui kajian
tentang peran serotonin dalam skizoprenia dan mendorong penelitian untuk
mendifinisikan lebih lanjut hubungan antara serotonin dengan skizoprenia. Adanya
perubahan transmisi 5-HT pada otak pasien skizoprenia telah dilaporkan dalam study
postmortem 5-HT dan metabolit, transporter, dan reseptor 5HT ; serta studi metabolit
5HT pada cairan serebrospinal. Meskipun bukti tentang perubahan penanda
serotonergik dalam skizoprenia relatif sulit ditafsirkan, namun secara keseluruhan, studi
meninjukkan bahwa ada perubahan yang kompleks dalam sistem 5-HT pada pasien
skizoprenia. Perubahan ini menunjukkan bahwa disfungsi serotonergik adalah penting
dalam patologi penyakit ini.
Serangkaian bukti yang mendukung peran potensial serotonin dalam
memperantarai efek antipsikotik obat datang dari interaksi anatomi dan fungsional
dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan elektrofisiologi menunjukkan bahwa syaraf
serotonergik dari dorsal dan median raphe nuclei terproyeksikan ke badan-badan sel
dopaminergik dalam Ventral Area (VTA) dan Substantia Nigra (SN) dari otak tengah.
Syaraf serotonergik neuron dilaporkan berujung secara langsung pada sel-sel
dopaminergik dan memberikan pegaruh penghambatan pada aktivitas dopamin dijalur
mesolimbik dan nigrostriatal memalui reseptor 5-HT2A.
Secara umum, penurunan aktivitas serotonin terkait dengan peningkatan
aktivitas dopamin. Interaksi antara serotonin dengan dopamin, khususnya pada reseptor
5-HTA, dapat menjelaskan mekanisme obat anti psikotok atipikal dan rendahnya potensi
untuk menyebabkan efek samping ekstra piramidal. Selain itu, stimulasi 5-HT1A juga
meningkatkan fungsi dopaminergik.
c. Peranan Glutamat
Disfungsi sistem glutamatergik dikorteks prefrontal di duga juga terlibat dalam
patofisiologi skizoprenia. Hipotesa peran sistem glutamanergik dalam skizoprenia
datang dari bukti bahwa pemberian antagonis reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA),
seperti phenicyclidine (PCP) dan ketamin, pada orang sehat menghasilkan efek yang
mirip dengan spektrum gejala dan gangguan kognitif yang terkait dengan skizoprenia.
Berbeda dengan gejala psikosis yang disebabkan amfetamin yang hanya
menggambarkan model gejala positif skizoprenia, efek dari antagonis NMDA
menyerupai baik gejala positif dan negatif serta defisit koknitif skizoprenia.
1. Gejala dan Tanda
Gambaran klinis skizoprenia sangat bervariasi antar individu, dan bahkan pada
satu invidu dari waktu kewaktu, tidak ada strereo tipe yang pasti. Pada fase normal,
pasien dalam kontrol yang baik terhadap pikiran, perasaan, dan tindakanya. Episode
psikotik yang pertama kali terjadi mungkin terjadi secara tiba-tiba, atau biasanya
diawali dengan kelakuan yang menarik diri, pencuriga, dan aneh. Pada episode akut,
pasien kehilangan kontak dengan realitas, dalam hal ini otaknya menciptakan realitas
palsu.
Pasien dinyatakan mengalami skizoprenia jika mengalami tanda-tanda dan
gejala karakteristik selama jangka waktu yang signifikan selama periode satu bulan,
dengan beberapa tanda-tanda gangguan yang bertahan selama 6 bulan. Gejalanya
umumnya tidak bersifat tunggal, namun melibatkan beberapa gangguan psikologis,
seperti persepsi halusinasi, delusi, proses berpikir, perasaan datar dan tidak tepat,
perhatian, dan konsentrasi.
Pasien didiagnosa skizoprenia jika memenuhi kriteria diagnosa menurut DSM-
IV sebagai berikut :
a. Gejala karakteristik : dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul dalam
jangka waktu yang signifikan dalam periode 1 bulan.
b. Disfungsi sosial atau pekerjaan : adanya gangguan terhadap fungsi sosial
atau pekerjaan untuk jangka waktu yang signifikan.
c. Durasi : tanda gangguan terjadi secara terus-menerus selama 6 bulan, yang
merupakan gejala karakteristik.
d. Gejala psikotik bukan disebabkan karena gangguan mood seperti pada
bipolar.
e. Gejala bukan karena disebabkan karena penggunaan obat atau kondisi medik
tertentu.
Faktor resiko penyakit ini termasuk :
1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri,
dan/atauimpulsivitas.
3. Stress lingkungan
4. Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang sangat
kecil.
5. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena
dideritanya gangguan ini
Penyakit Skizofrenia Tidak ada jalur etiologi tunggal yang telah diketahui
menjadi penyebab skizofrenia. Penyakit ini mungkin mewakili sekelompok heterogen
gangguan yang mempunyai gejala-gejala serupa. Secara genetik, sekurang-kurangnya
beberapa individu penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetic herediter.
Kemungkinan menderita gangguan ini meningkat dengan adanya kedekatan genetic
dengan, dan beratnya penyakit, probandnya.
Penelitian Computed Tomography (CT) otak dan penelitian post mortem
mengungkapkan perbedaan-perbedaan otak penderita skizofrenia dari otak normal
walau pun belum ditemukan pola yang konsisten. Penelitian aliran darah, glukografi,
dan Brain Electrical Activity Mapping (BEAM) mengungkapkan turunnya aktivitas
lobus frontal pada beberapa individu penderita skizofrenia. Status hiperdopaminergik
yang khas untuk traktus mesolimbik (area tegmentalis ventralis di otak tengah ke
berbagai struktur limbic) menjadi penjelasan patofisiologis yang paling luas diterima
untuk skizofrenia.
Semua tanda dan gejala skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang bukan
penderita skizofrenia akibat lesi system syaraf pusat atau akibat gangguan fisik lainnya.
Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas pada semua penderita skizofrenia. Hal ini
menyebabkan sulitnya menegakkan diagnosis pasti untuk gangguan
skizofrenia.Keputusan klinis diambil berdasarkan sebagian pada
1. Tanda dan gejala yang ada
2. Rriwayat psikiatri
3. Setelah menyingkirkan semua etiologi organic yang nyata seperti keracunan dan
putus obat akut.
Terapi Penyakit Skizofrenia
Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi,
karena 75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat
neuroleptika. Kontraindikasi meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti
klorpromazin, molindone, dan thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate
atau glaucoma sudut tertutup. Antara sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia
dapat membaik dengan lithium. Namun, karena lithium belum terbukti lebih baik dari
neuroleptika, penggunaannya disarankan sebatas obat penopang.
Meskipun terapi elektrokonvulsif (ECT) lebih rendah disbanding dengan
neuroleptika bila dipakai sendirian, penambahan terapi ini pada regimen neuroleptika
menguntungkan beberapa penderita skizofrenia.
Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial. Hal ini dilakukan
dengan menurunkan stressor lingkungan atau mempertinggi kemampuan penderita
untuk mengatasinya, dan adanya dukungan sosial.Intervensi psikososial diyakini
berdampak baik pada angka relaps dan kualitas hidup penderita. Intervensi berpusat
pada keluarga hendaknya tidak diupayakan untuk mendorong eksplorasi atau ekspresi
perasaan-perasaan, atau mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau motivasi bawah
sadar.
Tujuannya adalah :
1. Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia.
2. Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu penderita
memandang bahwa skizofrenia adalah gangguan otak.
3. Mempertinggi toleransi keluarga akanperilaku disfungsional yang tidak berbahaya.
Kecaman dari keluarga dapat berkaitan erat dengan relaps.
4. Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita.
Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps.
5. Mengidentifikasi perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga lainnya
dan memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.
Psikodinamik atau berorientasi insight belum terbukti memberikan keuntungan
bagi individu skizofrenia. Cara ini malahan memperlambat kemajuan.Terapi individual
menguntungkan bila dipusatkan pada penatalaksanaan stress atau mempertinggi
kemampuan social spesifik, serta bila berlangsung dalam konteks hubungan terapeutik
yang ditandai dengan empati, rasa hormat positif, dan ikhlas. Pemahaman yang empatis
terhadap kebingungan penderita, ketakutan-ketakutannya, dan demoralisasinya amat
penting dilakukan.
Obat-obat Skizofrenia
Antipsikosis Generasi Pertama
1.
Indikasi : antipsikosis tipikal dengan mekanisme kerja dalam
menghambat berbagai reseptor α-adrenergik, muskarinik, histamine H1 dan
reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda.
Efek samping : sedasi, gejala ekstrapiramidal ( distonia akut, akatisia,
parkinsonisme dan sindrom neuroleptik maligant ), hiperprolaktinemia, dan
gejala idiosinkrasi (ikterus, dermatitis, dan leucopenia).
Interaksi obat : Chlorpromazine dapat menghambat metabolisme hati
dari asam valproat yang dapat berakibat toksik.
2. Fluphenazin
Indikasi : antipsikosis atipikal
Efek samping : sedasi, hiperprolaktinemia, efek samping
ekstrapiramidal.
Interaksi obat : karbamazepin dapat menginduksi enzim hati cytokrom
P450 yang dapat meningkatkan metabolisme dari obat antipsikotis seperti
haloperidol, clozapin, flupenasin.
3. Haloperidol
Indikasi : antipsikosisn yang kuat dan efektif untuk fase mania
penyakit mania depresif dan skizofrenia.
Farmakokinetik : cepat diserap di saluran pencernaan, Cp max dalam
waktu 2-6 jam, ekskresinya lewat ginjal lambat, kira-kira 40% dikeluarkan
selama 5 hari.
Efek samping : reaksi ektrapiramidal, leucopenia dan agranulositas.
Kontraindikasi : sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil.
Interaksi obat : karbamazepin dapat menginduksi enzim hati cytokrom
P450 yang dapat meningkatkan metabolisme dari obat antipsikosis seperti
haloperidol, klozapin, flupenasin, olanzapin.
4. Loxapin
Indikasi : mengobati skizofrenia dan psikosis lainnya, disamping itu
memiliki efek antiemetik, sedatif, antikolinergik, dan anti adrenergik.
Farmakokinetik : diabsorbsi baik per oral, Cp max 1 jam (IM) dan 2 jam
(oral), t12 nya 3 jam.
Efek samping : insidens reaksi ekstrapiramidal.
Kontraindikasi : harus hati-hati penggunaannya bagi pasien dengan
riwayat kejang.
Antipsikosis Generasi Kedua
1. Klozapin
Indikasi : mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif maupun yang negatif.
Farmakokinetik : diabsorbsi secara cepat dan sempurna.
Efek samping : agrnulositosis, hipertermia, takikardia, sedasi, pusing
kepala, hipersalivasi.
Kontraindikasi : penggunaannya dibatasi hanya pada pasien yang
resisten atau tidak dapat mentoleransi psikosis yang lain.
Interaksi obat : kombinasi klozapin dan karbamazepin tidak
direkomendasikan karena kemungkinan terjadi supresi sumsum tulang
dengan kedua agen tersebut.
2. Risperidon
Indikasi : terapi skizofrenia baik untuk gejala positif maupun negatif,
selain itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar,dan depresi ciri
psikosi.
Farmakokinetik : bioavailabilitas oral 70%, ikatan protein plasma 90%,
dan dieliminasi lewat urin dan sebagian lewat feses.
Efek samping : insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah,
peningkatan berat badan, dan reaksi ekstrapiramidal yaitu tardiv diskinesia.
Interaksi obat : paraoxetin dilaporkan dapat meningkatkan total
risperidon dalam plasma sebanyak 76% kalinya.
3. Olanzapine
Indikasi : terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif maupun positif
dan sebagai antimania.
Farmakokinetik : diabsorpsi baik dalam pemberian oral, ekskresi
lewat urin.
Efek samping : reaksi ekstrapiramidal yaitu tardiv diskinesia,
peningkatan berat badan, intoleransi glukosa, hiperglikemia,
hiperlipidemia.
Interaksi obat : karbamazepin dapat menginduksi enzim hati
sitocrom P450 yang dapat meningkatkan metabolisme dari obat
antipsikosis seperti haloperidol, clozapin, flupenasin, olanzapin
4. Quetiapin
Indikasi : terapi skizofrenia baik untuk gejala positif maupun
negatif
Farmakokinetik : absorpsi cepat, ekskresi sebagian besar lewat urin dan
sebagian kecil lewat feses.
Efek samping : sakit kepala, efek samping ekstrapiramidalnya rendah,
peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia.
Interaksi obat : jika penghambat CYP 3A4 ( seperti cimetidine,
ketoconazole, nefazodone, jus anggur, dan erythromycin) dikombinasikan
dengan quetiapin maka peningkatan efek samping (seperti sedasi, orto
statik) mungkin terjadi.
Depresi
Depresi adalah gangguan yang heterogen. Ada beberapa klasifikasi depresi.
Dalam bab ini akan digunakan klasifikasi DSM IV TR (diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder, 1994, Text Revision) yang dikeluarkan oleh ikatan ahli
psikiatri Amerika.
Menurut klasifikasi tersebut, depresi termasuk dalam gangguan mood; gangguan
mood lainnya adalah gangguan bipolar. Pada klasifikasi ini, depresi terbagi menjadi tiga
yakni gangguan distimia, depresi mayor (depresi klinis) dan depresi yang tidak
terklasifikasikan.
Distimia adalah suatu bentuk gangguan mood depresi yang ditandai dengan
ketiadaan kesenangan atau kenikmatan hidup yang berlangsung terus menerus selama
paling sedikit 2 tahun. Gejala umumnya adalah menghindar dari kehidupan social,
gangguan tidur, dan tidak bisa menikmati hidup, yang paling buruk dapat berupa
keinginan bunuh diri, dan isolasi terhadap kehidupann sosial.
Depresi mayor atau depresi klinis adalah keadaan perasaan sedih, melankolis,
atau murung yang berlanjut hingga mengganggu fungsi sosial dan kehidupan sehari –
hari pasien. Keadaan murung atau perasaan sedih yang dialami seseorang namun tidak
mengganggu fungsi sosial seseorang seringkali juga dianggap depresi. Namun, keadaan
ini depresi klinik adalah suatu diagnosis medis yang mempunyai makna yang berbeda
dengan pengertian depresi atau keadaan tertekan seperti yang dikenal oleh masyarakat
sehari – hari.
Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi
depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya
maka hal itu disebut sebagai suatu Gangguan Depresi. Beberapa gejala Gangguan
Depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang
biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur seperti
insomnia. Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri. Depresi
bisa diartikan sebagai suatu kondisi medis-psikiatris dan bukan sekedar suatu keadaan
sedih atau perasaan yang buruk dalam diri individu, dikatakan sebagai gangguan depresi
bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial
sehari-hari.
Seperti diketahui bahwa Insomnia adalah gangguan dimana penderitanya
memiliki kesulitan untuk memulai tidur atau ketidak-mampuan dalam mempertahankan
tidurnya. Insomnia merupakan keluhan gangguan tidur yang paling sering kita dengar
entah di majalah, televisi, koran atau bahkan dalam obrolan kita sehari-hari. Secara
normal manusia tidur selama 8 jam untuk mengembalikan energi yang telah terkuras
seharian, berarti jika seseorang tidur dengan waktu kurang dari itu maka seseorang
tersebut tidak mengisi kembali tenaganya dengan penuh, sehingga rutinitas yang
dijalani pada siang hari tidak berjalan dengan semestinya.
Insomnia selama ini dipercaya sebagai bentuk gangguan yang menyertai depresi
dan berbagai macam gangguan lain seperti kecemasan dan stres. Selama ini juga kita
percaya bahwa seseorang tidak dapat tertidur pada malam hari disebabkan oleh pikiran
mereka yang melayang jauh menerawang pada kekhawatiran tanpa sebab (kecemasan),
memikirkan kesedihan, kegagalan dan penyesalan secara berlebihan (depresi), dan ini-
itu yang dipikirkan mendalam (stres).
Namun kini ternyata ditemukan bukti penelitian bahwa Insomnia bukan hanya
sebagai teman yang muncul bersamaan dengan kecemasan, depresi dan stres, melainkan
dimungkinkan bahwa insomnia merupakan penyebab dari depresi itu sendiri. Hal ini
diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari North Carolina, Eric
Johnson, yang melakukan penelitiannya pada Research Triangle Institute International
pada tahun 2006, Ia menemukan dalam penelitiannya bahwa setengah dari remaja yang
pernah mengalami gangguan Insomnia didapati mengembangkan gangguan psikiatris.
Diantara itu semua, mereka yang mengalami Insomnia dan depresi, ditemukan bahwa
69% dari kasus depresi diawali dengan insomnia sebelumnya.
Michael Perlis, peneliti tentang insomnia dari Universitas Rochester memiliki
pendapat bahwa walau penyebab paling mendasar dari insomnia dan depresi masih
belum jelas, namun suatu teori tentang neurotransmiter dapat menjelaskan mengapa
Insomnia mengawali depresi. Mengacu pada serotonin, sebuah hormon didalam otak
manusia dimana fungsinya membantu dalam pengaturan Mood dan waktu tidur, serta
berhubungan dengan suhu tubuh, nafsu makan dan berbagai macam fungsi lain. Dimana
ketika seseorang berada pada kadar serotonin yang meningkat maka akan merasakan
kantuk, kebalikannya ketika kadarnya menurun pada waktu yang cukup panjang maka
seseorang mengalami gejala Insomnia. Selain itu juga kadar serotonin yang rendah
merupakan pemicu terjadinya depresi.
Penyebab suatu kondisi depresi meliputi:
Faktor organobiologis karena ketidakseimbangan neurotransmiter di otak
terutama serotonin
Faktor psikologis karena tekanan beban psikis, dampak pembelajaran perilaku
terhadap suatu situasi sosial
Faktor sosio-lingkungan misalnya karena kehilangan pasangan hidup,
kehilangan pekerjaan, paska bencana, dampak situasi kehidupan sehari-hari
lainnya
Menurut Diagnostic and Statistical Manual IV - Text Revision (DSM IV-TR)
(American Psychiatric Association, 2000), seseorang menderita gangguan depresi jika:
A. Lima (atau lebih) gejala di bawah telah ada selama periode dua minggu dan
merupakan perubahan dari keadaan biasa seseorang; sekurangnya salah satu gejala
harus (1) emosi depresi atau (2) kehilangan minat atau kemampuan menikmati sesuatu.
1. Keadaan emosi depresi/tertekan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir
setiap hari, yang ditandai oleh laporan subjektif (misal: rasa sedih atau hampa)
atau pengamatan orang lain (misal: terlihat seperti ingin menangis).
2. Kehilangan minat atau rasa nikmat terhadap semua, atau hampir semua kegiatan
sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan
subjektif atau pengamatan orang lain)
3. Hilangnya berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau
bertambahnya berat badan secara signifikan (misal: perubahan berat badan lebih
dari 5% berat badan sebelumnya dalam satu bulan)
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Kegelisahan atau kelambatan psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh
orang lain, bukan hanya perasaan subjektif akan kegelisahan atau merasa
lambat)
6. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak wajar
(bisa merupakan delusi) hampir setiap hari
8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau sulit
membuat keputusan, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau
pengamatan orang lain)
9. Berulang-kali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut mati),
berulang-kali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang jelas, atau
usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk mengakhiri nyawa sendiri
Gejala-gejala tersebut juga harus menyebabkan gangguan jiwa yang cukup besar
dan signifikan sehingga menyebabkan gangguan nyata dalam kehidupan sosial,
pekerjaan atau area penting dalam kehidupan seseorang.
Cara menanggulangi depresi berbeda-beda sesuai dengan keadaan pasien,
namun biasanya merupakan gabungan dari farmakoterapi dan psikoterapi atau
konseling. Dukungan dari orang-orang terdekat serta dukungan spiritual juga sangat
membantu dalam penyembuhan.
Penyelesaian kasus
A. Uraian kasus
Nama : E, 29 tahun. Pendidikan : SMA. Pekerjaan : pernah bekerja di Jakarta
anamnesa : dengan kakak ipar. Ketika mengunjungi pasien, pasien sama sekali
tidak bisa diajak bicara, hanya diam dengan pandangan kosong, tidak
memepunyai emosi, dan tidak bereaksi bila diajak bicara walaupun menurut
kakak ipar masih mau bicara kalau keadaan mendesak saja, misalnya meminta
makan ketika sangat lapar. Keadaan pasien tidak begitu terawat, terlihat jarang
mandi dan bajunyapun kotor. Namun masih mau main dengan keponakannya,
tidak mengamuk. Ketika SMA pasien pernah terlihat narkoba, kurang lebih
selama stahun dan kemudian melanjutkan sekolah dicirebon kembali, setelah
lulus SMA, kembali ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, di Jakarta seperti yang
diceritakan teman pasien keluarga pasien, di Jakarta pasien mencintai seseorang
tapi bertepuk sebelah tangan, sehingga pasien menjadi murung dan menarik diri
dari peragulan. Kuarng lebih setahun kembali ke Cirebon tapi menunjukkan
gejala yang aneh, tiba-tiba pemurung dan bicara melantur, dan mulai mengamuk
dan tidak terkendali, tidak mau pake baju. Kemudian pasien diobati dan
menunjukkan kemajuan, tapi keudian pengobatan terhenti kembali, dan sampai
sekarang keadaan pasien seperti tadi, walaupun tidak lagi mengamuk, tapi
terlihat pasiensam sekali tidak mau bicara dan tidak memperhatikan kebersihan
dirinya, emosinya datang.
B. Penyelesaian kasus
1. Penyelesaian kasus dengaan metode SOAP
a. Subyektif
1) Nama : E
2) Jenis kelamin : perempuan
3) Umur : 29 tahun
4) Keluhan : pasien tidak dapat diajak bicara, pandangan
kosong, tidak mempunyai emosi, tidak beraksi bila diajak bicara,
pasien tidak terawat,
5) Riwayat penyakit : pernah terlibat narkoba, setahun yang lalu
pemurung dan bicara melantur, mengamuk dan tidak terkendali, tidak
mau pakai baju.
b. Obyektif : -
c. Assessment : skizoprenia
d. Plan :
1) Tujuan terapi :
Mengembalikan fungsi normal pasien.
Mencegah kekambuhan.
Mencegah efek skizoprenia lebih lanjut.
Menfasilitasi pasien agar dapat kembali ke fase sebelum pasien
sakit.
2) Terapi non farmakologi :
Pendekatan psikososial :
Intervensi keluarga.
Terapi perilaku kognitif.
Pelatihan ketrampilan social.
3) Terapi farmakologi :
Klozapin 1 x sehari 50 mg pada waktu malam hari.
2. Evaluasi kerasionalan obat terpilih
a. Terapi indikasi
Nama obat Indikasi Mekanisme aksi Ket
Klozapin Antipsikosis Memblokade reseptor
dopamine D2, D4, 5HT2.
TI
b. Terapi obat
Nama obat Alasan dipilihnya obat Ket
Klozapin Clozapin bekerja aktif melawan simtom
negatif. Clozapin mempunyai efek samping
yang lebih ringan
TO
c. Terapi dosis
Nama obat Rekomendasi dosis Dosis yang diberikan Ket
Klozapin 25-50 mg sehari,
beraksi dinaikkan
sampai maks. 600 mg
sehari. Pemeliharaan 1
dd 200 mg malam
hari.
1 x sehari 50 mg,
diminum malam hari
TD
d. Terapi pasien
Nama obat Kontraindikasi Ket
Klozapin Epilepsy tidak terkontrol, depresi SSP berat. TP
e. Waspada efek samping obat
Nama obat Efek samping Ket
Klozapin Gejala ekstrapiramidal, hipertensi, takikardi,
agranulositosis.
WESO
3. Monitoring dan evaluasi
Pemantauan perlu dilakukan terhadap perbaikan gejala, baik
positive, negative, dan kognitif.
Sangat penting untuk memantau efek samping yang terjadi dan
memberikan pengatasan sesuai kebutuhan.
Untuk penggunaan klozapin perlu dilakukan pemantauan ketat
terhadap kemungkinan terjadi agranulositosis.
Memonitoring keberhasilan terapi.
4. Komunikasi, informasi dan edukasi
Edukasi terhadap pasien dan keluarga pasien tentang efek samping
obat yang digunakan, apabila efek samping mengganggu pasien,
dianjurkan untuk kembali berkonsultasi pada dokter.
Menginformasikan kepada pasien dan keluarga pasien untuk tidak
boleh menghentikan pemakaian obat secara mendadak tanpa
berkonsultasi ke dokter terlebih dahulu.
Menginformasikan kepada pasien dan keluarga pasien tentang
pemakain obat yang digunakan kepada pasien :
Klozapin 1 x sehari 50 mg pada malam hari.
Menginformasikan kepada pasien dan keluarga pasien tentang
skizoprenia.
III. Pembahasan
Studi kasus pada E, menyatakan bahwa E dalam kesehariannya sama sekali tidak
bisa diajak bicara, hanya diam dengan pandangan kosong, tidak mempunyai emosi, dan
tidak bereaksi bila diajak bicara. Selain itu E pernah mengalami gejala aneh, yaitu
pemurung dan bicara melantur, mulai mengamuk dan tidak terkendali, serta tidak mau
memakai pakaian. Pasien sudah pernah menjalani pengobatan, tetapi kemudian
pengobatan dihentikan.
Berdasarkan dari gejala-gejala yang ada, pasien disimpulkan menderita
skizofrenia simtom negatif. Hal ini ditujukan dengan adanya gejala kemiskinan
psikomotoris ( berkurangnya bicara dan pergerakan, pemerataan emosional ), pasien
mengelak hubungan sosial, menjadi apatis dan kehilangan enersi serta inisiatif.
Tata laksana terapi yang harus didapatkan oleh E untuk menangani gejala yang
dialaminya adalah :
1. Terapi non farmakologi
Program rehabilitasi psikososial berorientasi pada peningkatan fungsi adaptif
pasien merupakan andalan dari terapi non farmakologi untuk skizofrenia.
Program ini meliputi dasar ketrampilan hidup, pelatihan ketrampilan sosial,
pendidikan dasar, program pekerjaan, dan dukungan dari keluarga. Pada
umumnya program yang ditujukan untuk pekerjaan dan perumahan lebih efektif
bagi pasien dengan penyakit syaraf yang serius dan presisten. Program yang
menyertakan keluarga pada perawatan dan kehidupan pasien telah menunjukan
adanya pengurangan dari rehospitalization dan untuk meningkatkan fungsi
dalam masyarakat.
2. Terapi farmakologi
Berdasarkan dari alogaritma terapi farmakologi pada pengobatan
skizofrenia dan kasus ini, penderita diberikan obat antipsikotika golongan atypis
yaitu clozapin. Clozapin bekerja aktif melawan simtom negatif. Clozapin
mempunyai efek samping yang lebih ringan, khususnya gangguan
ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda. Mekanisme kerja dari clozapin adalah
dengan memblokade reseptor dopamine D2, D4, dan 5HT2. Ikatan clozapin pada
reseptor D2 agak ringan dibandingkan obat-obat klasik (60-75%). Namun efek
antipsikotisnya kuat, yang bisa dianggap paradoksal. Juga afinitasnya pada
reseptor lain dengan efek antihistamin, antiserotonin, antikolinergis, dan
antiadrenergis adalah relatif tinggi. Menurut perkiraan efek baiknya dapat
dijelaskan oleh blokade kuat dari reseptor D2, D4, dan 5HT2. Blokade reseptor-
muskarin dan D4 diduga mengurangi GEP, sedangkan blokade 5HT2
meningkatkan sintesa dan pelepasan dopamin di otak. Hal ini meniadakan
sebagian blokade D2, tetapi mengurangi resiko GEP.
Alasan dari pemilihan clozapin yang merupakan obat untuk pengobatan
skizofrenia stage 3, dan tidak menggunakan obat-obatan dari obat skizofrenia stage 1
adalah karena penderita menderita skizofrenia simtom negatif, yang berarti terjadi
penurunan aktivitas dopamin. Mekanisme kerja dari clozapin yaitu memblokade 5HT2
yaitu meningkatkan sintesa dan pelepasan dopamin di otak. Dengan adanya pelepasan
dopamin di otak maka aktivitas dari dopamin akan meningkat.
Setelah dilakukan pengobatan non farmakologi dan farmakologi, selanjutnya
dilakukan monitoring terapi terhadap pasien. Monitoring dilakukan bertujuan untuk
menilai respon pasien terhadap pemberian clozapin. Apabila pada pasien tidak
menunjukan adanya kesembuhan setelah pemberian clozapin atau terjadi kontraindikasi,
maka pengobatan dapat diganti dengan dengan antipsikotik atypis lain yang belum
pernah dipakai sebelumnya.
Monitoring selanjutnya adalah dilakukannya monitoring efek samping obat.
Agranulositosis merupakan efek samping utama yang ditimbulkan pada pengobatan
dengan clozapin. Monitoring dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui jumlah leukosit. Efek samping lain yang dapat terjadi antara lain
hipertermia, takikardia, sedasi, pusing, dan hipersalivasi. Gejala takar lajak meliputi,
kantuk, letargi, koma, disorientasi, delirium, takikardia, depresi napas, aritmia, kejang,
dan hipertermia.
IV. Pertanyaan
1. Bagaimana assessment dari kasus ini ?
2. Bagaimana tatalaksana terapi kasus ini ?
3. Informasi apa yang perlu diberikan mengenai penggunaan obatnya ?
Jawab :
1. Assessment dari kasus ini adalah e menderita skizoprenia simtom
negatif.
2. Tatalaksana terapi :
a.Terapi non farmakologi :
Pendekatan psikososial :
Intervensi keluarga.
Terapi perilaku kognitif.
Pelatihan ketrampilan social.
b.Terapi farmakologi :
Klozapin 1 x sehari 50 mg pada malam hari.
3. Informasi yang diberikan mengenai penggunaan obatnya, efek samping
obat, kontraindikasi obat, frekuensi pemakaian obat, dosis obat, waktu
pemakaian.
V. Kesimpulan
Pasien E menderita skizofrenia simtom negatif. Sebagai terapi farmakologi
pasien diberikan obat psikotik atypikal clozapin dengan dosis 50 mg sehari, dan
diminum pada malam hari. Untuk terapi non farmakologinya berupa pendekatan
psikososial yang meliputi intervensi keluarga, terapi perilaku kognitif, dan pelatihan
ketrampilan sosial.
Daftar Pustaka :
Zullies Ikawati.2011.Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat.Bursa Ilmu
Karangkajen.Yogyakarta.
PHARMACOTHERAPY A Pathophysiologic Approach.Sixth Edition.Dipiro
Anonim.2008.IONI.Badan POM RI. Jakarta
Tan Hoan Tjay dkk.2007.Obat-obat Penting.PT Elex Media Komputindo.Jakarta
Elin Yulinah,dkk.2008.ISO Farmakoterapi.PT. ISFI.Jakarta