Upload
arry-eka-setiawan
View
172
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
ANALISIS
“PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA
DALAM PENELITIAN”
Berikut ini akan dijelaskan mengenai, Tiga elemen kerja pembentuk pendekatan
penelitian, pendekatan penelitian, berbagai macam paradigma dalam penelitian kualitatif dan
penelitian kuantitatif, serta serta prinsip-prinsip implementasinya dalam dua macam
penelitian tersebut.
2.1. Tiga Elemen Kerja Pembentuk Pendekatan Penelitian
Berdasarkan paradigma yang dianutnya, seorang peneliti akan menggunakan salah
satu dari tiga pendekatan yang diajukan Creswell, yaitu: kuantitatif, kualitatif, dan metode
gabungan. Menurut Emzir perbedaan perbedaan yang terdapat dalam ketiga pendekatan ini
dapat ditinjau melalui tiga elemen kerangka kerja, yaitu asumsi-asumsi psikologis tentang
pembentuk tuntutan pengetahuan (knowledge claim), prosedur umum penelitian (strategies of
inquiry) dan prosedur penjaringan dan analisis data serta pelaporan (research method).
Creswell menggambarkan bagaimana ketiga elemen tersebut berpadu membentuk ketiga
pendekatan penelitian pada gambar berikut.
2.1.1. Tuntutan Pengetahuan (Knowledge Claim)
Tuntutan pengetahuan meliputi asumsi-asumsi filosofis mengenai ontologi (apa itu
pengetahuan), epistemologi (bagaimana pengetahuan diperoleh), aksiologis (nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya), retorika (bagaimana pengetahuan dituliskan) dan metodologi
(proses pengkajian). Dengan demikian, tuntutan pengetahuan berhubungan dengan asumsi-
asumsi peneliti tentang apa yang akan dipelajari dan bagaimana hal itu dipelajari selama
penelitian berlangsung. Creswell menggambarkan tuntutan atau asumsi-asumsi tersebut pada
tabel berikut.
Tabel 1: Asumsi Paradigma Kuantitatif dan Kualitatif
Asumsi Pertanyaan Kuantitatif Kualitatif
Ontologis Apakah hakikat realitas itu?
Realitas = objektif dan tunggal, terpisah dari peneliti
Realitas = subjektif dan jamak, sebagaimana dilihat oleh partisipan dalam studi
11
12
Epistemologis Apakah hubungan peneliti dengan yang diteliti?
Peneliti bebas dari yang diteliti
Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti
Aksiologis Apakah peran nilai-nilai?
Bebas nilai dan tidak bias Tidak bebas nilai dan bias
Retorik Apakah bahasa peneliti?
Formal, berdasarkan serangkaian definisi, impersonal, menggunakan kata-kata kuantitatif yang berterima
Informal, keputusan berkembang, personal, kata-kata kualitatif yang berterima.
Metodologis Apakah proses pengkajian?
Proses deduktif, sebab akibat, desain statis, kategori disiapkan sebelum studi, bebas konteks, generalisasi mengarahkan prediksi, penjelasan, dan pemahaman, akurat dan reliabel melalui validitas dan reliabilitas
Proses induktif, faktor-faktor yang saling membentuk secara simultan, desain berkembang, kategori diidentifikasi selama proses penelitian, terikat konteks; teori dan pola dikembangkan untuk pemahaman, akurat dan reliabel melalui verifikasi.
Berikut ini adalah uraian tentang tuntutan pengetahuan dalam empat (kelompok) aliran
pemikiran tentang pengetahuan.
2.1.1.1. Tuntutan Pengetahuan Positivisme dan Postpositivisme
Positivisme yang kadang-kadang dirujuk sebagai ‘metode ilmiah’ didasarkan pada
filsafat empirisme yang dipelopori oleh Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, August
Comte, dan Emmanuel Kant. Aliran ini mencerminkan filsafat deterministik yang
memandang suatu penyebab mungkin menentukan efek atau hasil. Aliran ini bertujuan untuk
menguji sebuah teori atau menjelaskan sebuah pengalaman melalui observasi dan pengukuran
dalam rangka meramalkan dan mengontrol kekuatan-kekuatan di sekitar manusia.
Positivisme berasumsi bahwa fenomena sosial dapat diteliti dengan cara yang sama dengan
fenomena alam dengan menggunakan pendekatan yang bebas nilai dan penjelasan sebab-
akibat sebagaimana halnya dalam penelitian fenomena alam.
Setelah Perang Dunia II, positivisme digantikan aliran postpositivisme. Aliran ini
berasumsi bahwa setiap penelitian dipengaruhi oleh hukum-hukum atau teori-teori yang
menguasai dunia. Teori-teori ini perlu diverifikasi sehingga pemahaman terhadap dunia
semakin lengkap. Oleh karena itu, penganut positivisme dan postpositivisme akan memulai
penelitian dengan suatu teori, mengumpulkan data yang mendukung atau menolak teori
13
tersebut, dan membuat revisi yang diperlukan. Dengan demikian, pengetahuan yang
dikembangkan melalui lensa postpositivisme didasarkan pada observasi yang cermat dan
pengukuran realitas yang objektif, sehingga positivisme dan postpositivisme selalu
diasosiasikan dengan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif.
2.1.1.2. Tuntutan Pengetahuan Konstruktivisme/Interpretivisme
Konstruktivisme/interpretivisme berkembang dari filsafat fenomenologi yang digagas
Edmund Husserl and pemahaman intepretatif yang disebut hermeneutiks yang dikemukakan
and Wilhelm Dilthey. Bagi penganut konstruktivisme/interpretivisme penelitian merupakan
upaya untuk memahami realitas pengalaman manusia, dan realitas itu sendiri dibentuk oleh
kehidupan sosial. Penelitian berlensa konstruktivisme/interpretivisme cenderung tergantung
pada pandangan partisipan tentang situasi yang diteliti. Penelitian konstruktivisme pada
umumnya tidak dimulai dengan seperangkat teori (sebagaimana halnya dengan
postpositivisme) namun mengembangkan sebuah teori atau sebuah pola makna secara
induktif selama proses berlangsung. Metode penjaringan dan analisis yang digunakan
penganut konstruktivisme biasanya berbentuk kuantitatif. Akan tetapi, data kuantitatif dapat
digunakan untuk mendukung data kualitatif serta memperdalam analisis secara efektif.
2.1.1.3. Tuntutan Pengetahuan Advokasi/Partisipatori/Transformatif
Aliran advokasi/partisipatori/transformatif muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an
sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada dan kesadaran
bahwa teori-teori sosiologi dan psikologi yang mendasari paradigma-paradigma yang ada
pada dasarnya dikembangkan melalui pandangan ’kulit putih’, didominasi oleh perspektif
kaum pria, dan didasarkan pada penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek. Peneliti
advokasi/partisipatori/transformatif merasa bahwa pendekatan konstruktivisme/
interpretivisme tidak membahas isu-isu keadilan sosial dan kaum yang terpinggirkan secara
memadai. Peneliti advokasi/ partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin dengan
agenda-agenda politik dan politisi agar penelitian tersebut menghasilkan tindakan-tindakan
yang mereformasi kehidupan partisipan, lembaga tempat individu hidup, dan kehidupan
peneliti sendiri. Sehubungan dengan itu, penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial
yang penting sebagai topik, seperti isu kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan,
dan perampasan hak. Peneliti advokasi sering memulai dengan menjadikan salah satu dari isu
ini sebagai fokus penelitian. Kemudian, dia akan berjalan bersama secara kolaboratif dengan
partisipan dengan pengertian partisipan dapat membantu merancang pertanyaan,
mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau menerima penghargaan untuk
partisipasinya dalam penelitian. Sebagaimana halnya dalam penelitian konstruktivisme,
14
peneliti advokasi/partisipatori/transformatif dapat mengkombinasikan metode penjaringan
dan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Namun, penggunaan pendekatan gabungan (mixed
methods) akan memberikan kepada peneliti transformatif sebuah struktur untuk
mengembangkan potret kehidupan sosial yang lebih utuh. Penggunaan berbagai perspektif
dan lensa memungkinkan diperolehnya pemahaman yang lebih beragam tentang nilai-nilai,
pandangan dan keberadaan kehidupan sosial.
2.1.1.4 Tuntutan Pengetahuan Pragmatik
Aliran Pragmatisme tidak terikat pada sistem filosofi atau realitas tertentu. Penganut
pragmatisme pada awalnya menolak asumsi ilmiah yang menyatakan penelitian sosial dapat
mengakses kebenaran tentang dunia nyata hanya dengan mengandalkan sebuah metode
ilmiah tunggal (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Pragmatisme berfokus pada
masalah penelitian dan menggunakan seluruh bentuk pendekatan untuk memahami masalah
itu. Oleh karena itu peneliti pragmatis bebas memilih metode, teknik, dan prosedur penelitian
yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Karakteristik ini menunjukkan bahwa
pragmatisme merupakan paradigma yang menyangga landasan filosofis studi metode
gabungan (mixed-methods research). Meskipun demikian beberapa peneliti yang
menggunakan metode gabungan, secara filosofis, lebih mencondongkan diri mereka kepada
paradigma transformatif paradigm (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Hal ini
mengungkapkan bahwa metode gabungan dapat digunakan dalam berbagai paradigma.
Berbagai posisi tuntutan pengetahuan alternatif sebagaimana diuraikan di atas dapat
dirangkum dalam tabel berikut.
Tabel 2: Posisi Tuntutan Pengetahuan Alternatif
Positivisme/Postpositivisme Konstruktivisme/Interpretivisme
Ÿ DeterminasiŸ ReduksionismeŸ Observasi Empiris dan PengukuranŸ Verifikasi Teori
Ÿ PemahamanŸ Makna Jamak PertisipanŸ Konstruksi Sosial dan HistorisŸ Menghasilkan Teori
Advokasi/Partisipatori/Transformatif Pragmatisme
Ÿ PolitisŸ Berorientasi pada Masalah KekuasaanŸ KolaboratifŸ Berorientasi pada Perubahan
Ÿ Konsekuensi TindakanŸ Berpusat pada Masalah PluralistikŸ Berorientasi pada Praktik Dunia Nyata
2.1.2. Prosedur Penelitian (Strategies of Inquiry)
Menurut Wikipedia (2008) strategi penelitian adalah “a procedure for achieving a
particular intermediary research objective—such as sampling, data collection, or data
analysis. We may therefore speak of sampling strategies or data analysis strategies.”
15
Sedangkan Emzir (2008: 21) menjelaskan: “… strategi inquiri/penelitian … melengkapi arah
spesifik untuk berbagai prosedur dalam suatu rancangan penelitian. Strategi penelitian …
memberikan kontribusi pada semua pendekatan penelitian”. Berdasarkan kedua definisi itu,
dapat dikatakan bahwa strategi/prosedur penelitian (strategies of inquiry) adalah prosedur
yang ditempuh untuk mencapai tujuan penelitian. Berikut ini adalah uraian singkat strategi
penelitian yang lazim digunakan dalam ketiga pendekatan penelitian.
2.1.2.1. Strategi yang Berasosiasi dengan Pendekatan Kuantitatif
Hingga pertengahan abad ke-20, strategi penelitian selalu dihubungkan dengan
penelitian kuantitatif yang didasarkan pada postpositivisme. Penelitian kuantitatif mencakup
penelitian survai, deskriptif causal comparative, retrospektif (ex-post facto), pre-
experimental, quasi-experimental, true experimental, korelasional, dan eksperimen kompleks
dengan banyak variabel dan perlakuan (seperti desain faktorial dan desain pengukuran
berulang).
2.1.2.2. Strategi yang Berasosiasi dengan Pendekatan Kualitatif
Sejak tahun 1990-an, jumlah dan jenis penelitian kualitatif berkembang dengan pesat.
Menurut Merriam, et.al. (2002 ), penelitian kuantitatif mencakup delapan jenis penelitian,
yakni: penelitian kualitatif intepretatif dasar (Basic Interpretive Qualitative Study), naratif,
fenomenologis, etnografis, Critical Qualitative Research, Postmodern Research, Grounded
Theory dan studi kasus.
2.1.2.3. Strategi yang Berasosiasi dengan Pendekatan Metode Gabungan
Strategi pendekatan metode gabungan (mixed methods) timbul karena adanya
kesadaran bahwa semua metode memiliki keterbatasan. Peneliti merasa bahwa bias yang
timbul dari penggunaan satu metode dapat dinetralisir oleh bias yang timbul dari penggunaan
metode lain. Selain itu, penggunaan beberapa jenis data diyakini dapat memperjelas data
analisis yang dilakukan. Penggunaan beberapa strategi untuk meningkatkatkan validitas
konstruk ini kemudian dikenal dengan methodological triangulation (Wikipedia, 2008).
Secara umum, metode gabungan menggunakan tiga strategi berikut: prosedur sequential,
prosedur concurrent, dan prosedur transformatif.
Berbagai strategi sebagaimana diuraikan di atas dapat dirangkum dalam tabel berikut.
Tabel 3: Strategi Alternatif Penelitian
KUANTITATIF KUALITATIF MIXED METHODS
1) Survai2) Deskriptif Causal Comparative
1) Penelitian Kualitatif Intepretatif Dasar2) Naratif
1) Sequential2) Concurrent3) Transformatif
16
3) Retrospektif (Ex-Post Facto)4) Pre-Experimental5) Quasi-Experimental6) True Experimental7) Korelasional8) Eksperimen Kompleks dengan Banyak Variabel dan Perlakuan
3) Fenomenologis4) Etnografis5) Critical Qualitative Research, Postmodern Research, Grounded Theory6) Studi Kasus.
2.1.3. Prosedur (Metode) Penelitian
Mackenzie dan Knipe (2006) menyatakan: “… method refers to systematic modes,
procedures or tools used for collection and analysis of data.” Berdasarkan definisi ini, dapat
dikatakan bahwa metode penelitian merupakan cara, desain, atau media spesifik yang
digunakan untuk menjaring dan menganalisis data dalam tahapan praktik. Pemilihan metode
sangat ditentukan oleh tujuan penelitian. Dalam penelitian tertentu, tujuan dapat dicapai
hanya dengan menggunakan data yang diperoleh melalui observasi. Penelitian lain mungkin
membutuhkan data kuantitatif, sedangkan penelitian lain membutuhkan data yang diperoleh
dari kombinasi penggunaan studi dokumen, angket, atau wawancara. Tabel berikut
merangkum ciri-ciri ketiga prosedur penelitian.
Tabel 4: Prosedur Kuantitatif, Kualitatif dan Mixed methods
KUANTITATIF KUALITATIF MIXED METHODS
1) Ditentukan sebelumnya2) Instrumen Berdasarkan Pertanyaan3) Data performansi, data sikap, data observasi dan data sensus4) Analisis Statistik
1) Emerging Methods2) Pertanyaan Terbuka3) Data Interview, data observasi, data dokumen, dan audiovisual4) Analisis teks dan gambar
(Perpaduan prosedur kualitatif dan kuantitatif)1) Ditentukan sebelumnya dan emerging methods,2) Pertanyaan terbuka dan tertutup3) Dst.
2.2. Kriteria Pemilihan Suatu Pendekatan Penelitian
Menurut Creswell (dalam Emzir, 2008: 9) terdapat tiga faktor yang menentukan
pemilihan pendekatan yang akan digunakan dalam suatu penelitian, yaitu kesesuaian antara
masalah dan pendekatan penelitian, pengalaman peneliti, dan audiens yang akan
memanfaatkan laporan tertulis penelitian.
2.2.1. Kesesuaian antara Masalah dan Pendekatan Penelitian
17
Masalah penelitian, terutama penelitiasn sosial, memiliki bentuk dan jenis yang sangat
beragam. Jenis masalah yang berbeda menuntut pendekatan yang berbeda pula. Sebagai
contoh, jika masalah penelitian adalah pengujian efektivitas teknik pembelajaran kosa kata
bahasa Inggris di sekolah dasar, pendekatan kuantitaif merupakan pilihan yang paling sesuai.
Tapi jika masalah yang diteliti adalah prosedur penggunaan lagu sebagai media pembelajaran
kosa kata, pendekatan kualitatif sangat pas untuk digunakan. Disamping itu, jika peneliti
ingin meneliti prosedur penggunaan penggunaan lagu sebagai media pembelajaran kosa kata
dan sekaligus ingin membandingkan efektivitasnya dengan penggunaan media lain, seperti
gambar atau permainan (games) maka pendekatan metode gabungan sangat sesuai untuk
digunakan.
2.2.2. Pengalaman Peneliti
Adalah suatu hal yang lumrah jika seseorang merasa lebih ’nyaman’ melaksanakan
sesuatu yang sudah dikuasainya dengan baik. Peneliti yang mahir dalam statistika, teknik
penulisan ilmiah, dan pengoperasian program statistik komputer dan akrab dengan jurnal-
jurnal kuantitatif disarankan untuk menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebaliknya, peneliti
yang lebih berpengalaman dalam penjaringan data melalui interaksi langsung dengan orang
lain (interview, observasi terbuka dan pengamatan-berperan serta), lebih menyukai analisis
data secara secara induktif , dan lebih menyenangi penulisan deskriptif yang menggunakan
kata-kata dan gambar sebaiknya menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan peneliti
yang menyukai dan berpengalaman menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat
menggunakan medode gabungan. Namun harus disadari bahwa penggunaan metode ini
menuntut waktu dan energi tambahan karena peneliti perlu menjaring dan menganalisis dua
jenis data.
2.2.3. Audien
Pertimbangan terakhir dalam penentuan pendekatan penelitian adalah faktor audiens.
Setiap peneliti perlu peka terhadap ’preferensi’ audiens (kepada siapa laporan penelitian
diserahkan/dipresentasikan) mengenai pendekatan penelitian. Dalam konteks penelitian untuk
membuat tesis, sangat diharapkan bahwa mahasiswa menyesuaikan pendekatan penelitiannya
dengan pendekatan yang biasa digunakan para pembimbingnya.
2.3. Paradigma dalam Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
2.3.1. Paradigma dalam penelitian kuantitatif
Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme, yaitu suatu keyakinan
dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas itu ada
(exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan
18
demikian penelitian berusaha untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan
bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
Menurut Sarantakos, Positivisme melihat penelitian sosial sebagai langkah
instrumental, penelitian dianggap sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-
hukum sosial pada akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan
kejadian serta mengendalikan peristiwa.
Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief system of positivism is
rooted in a realist ontology, that is, the belief that there exists a reality out there, driven by
immutable the natural laws.” Intinya sistem keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada
ontologi realis yaitu percaya akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan
oleh hukum-hukum alam yang tetap.Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan
dasar yang menyatakan kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-hukum
alam yaitu hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut Guba (1990:20)
sistem keyakinan dasar para peneliti positivis dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology: Realist-reality exists “out there” and is driven by immutable
natural laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms is
conventionally summarized in the form of time and context-free generalizations.
Some of these latter generalizations take the form of cause-effect laws.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu
mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang
bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum, dan
mekanisme-mekanisme ini secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang
bersifat tidak terikat waktu dan tidak terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk
hukum sebab-akibat.
“Epistomology : Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the enquirer
to adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing and confounding
factors are thereby automatically excluded from influencing the outcomes.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi epistomologi: dualis/objektif, adalah
mungkin dan esensial bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan
interaksi dengan objek yang diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya
secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
“Methodology : Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are studied
in advance in propositional term and subjected to empirical tests (falsification) under
carefully controlled conditions.”
19
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi: bersifat
eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan
dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi)
dengan kondisi yang terkontrol secara cermat.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog Aguste Comte. Comte
menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak
digunakan. John Stuart Mill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan
pemikiran Comte. Sedang Emile Durkheim (Sosiolog Perancis) mengembangkan suatu versi
positivisme dalam Rules of the Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan
bagi para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim (1982:59)
objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut meliputi: bahasa, sistem
hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar
kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme informasi kebenaran itu ditanyakan
oleh peneliti kepada individu yang dijadikan responden penelitian.
2. 3.2. Paradigma dalam penelitian kualitatif
Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme, Post Positivisme, dan Teori
Kritis
2.3.2.1. Konstruktivisme
Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly believe that
facts are facts only within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for
discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the
context of mental framework (construct) for thinking about it.” Kutipan tersebut mempunyai
arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka
kerja teori (Hesse, 1980). Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-
benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja
mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut. Ini berarti realitas itu ada sebagai
hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25)
menyatakan “Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be
value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only
through a value window. Many constructions are possible.” Kutipan tersebut mempunyai
arti: kaum Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika
“realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui
jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian
terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan
20
(jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang
konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang terakhir tetapi penting adalah sebagai
berikut: “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity;
knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and
ever changing” (Guba, 1990:26).
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau
konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak
pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan
dan selalu berubah.” Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas
manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan
kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus. Dari beberapa penjelasan Guba yang
dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia.
Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil
konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.
Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes
(1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,” yang artinya “Aku
berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena
berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan
hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/kerja dari
indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk
mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati
dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai dengan
meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini berada di samping materi.
Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di
pihak lain berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-
1808). Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan pengalaman
terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio. Selanjutnya menurut Guba
(1990:27) sistem keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme dapat diringkas sebagai
berikut:
Ontology : “Relativist – Realities exist in the form of multiple mental
constructions, socially and experientially based local and specific,
dependent for their form and content on the persons who hold them.”
Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi
mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan
21
pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada
mereka yang mengemukakannya.”
Epistomogy : “Subjectivist – inquirer and inquired into are fused a single
(monistic) entity. Findings are literally the creation of the process of
interaction between the two.”
Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam
pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic). Temuan-
temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara
peneliti dan yang diteliti.”
Methodology: “Hermeneutic – dialectic – individual constructions are elicited and
refined hermeneutically, with the aim of generating one (or a few)
constructions on which there is substantisl consensus.”
Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi individual
dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik dengan tujuan
menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara substansial
disepakati”
2.3.2.2. Postpositivisme
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best
characterized as modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism
has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it.
Prediction and control continue to be the aim.” Kutipan tersebut mempunyai arti
Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat
banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme
berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap
menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini
merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya
mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara
ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu
realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara metodologi
pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam
metode, sumber data, peneliti dan teori. Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis
hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa
22
dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal
yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang
layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara
pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus
bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal.
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba, Denzin
dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa
realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme
berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti
membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan
antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip
trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada peneliti Postpositisme
adalah sebagai berikut:
Ontology : “Critical realist – reality exist but can never be fully apprehended. It is
driven by natural laws that can be only incompletely understood.”
Asumsi ontologi: “Realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan
pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur oleh hukum-hukum
alam yang tidak dipahami secara sempurna.”
Epistomology: “Modified objectivist – objectivity remains a regulatory ideal, but
it can only be approximated with special emphasis placed on external
guardians such as the critical tradition and critical community.”
Asumsi epistomologi: “Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap
merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun objektivitas
hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga
eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”
Methodology: “Modified experimental/manipulative – emphasize critical
multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more natural
settings, using more qualitative methods, depending more on grounded
theory, and reintroducing discovery into the inqury process.”
Asumsi metodologi: “Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya
menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan
dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih
23
banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada
teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya
(reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.”
2.3.2.3. Teori Kritis (Critical Theory)
Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai berikut: “The label critical theory is
no doubt inadequate to encompass all the alternatives that can be swept into this category of
paradigm. A more appropriate label would be “ideologically oriented inquiry”, including
neo-Marxism, materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and other similar
movements as well as critical theory itself. These perspectives are properly placed together,
however because they converge in rejecting the claim of value freedom made by positivists
(and largely continuing to be made by postpositivists).” Kutipan tersebut mempunyai arti:
“Nama teori kritis tidak diragukan lagi bahwa tidak dapat mencakup semua alternatif yang
dapat dimasukkan dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi nama penelitian yang
berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme, materialisme, feminisme, Freireisme,
penelitian terlibat, dan perspektif yang lain termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-
perspektif ini pantas ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang
dibuat oleh kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum Postpositivis).”
Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada pandangan Guba, Denzin dan Lincoln
menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory) sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai
suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut “ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu
wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap
paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme,
Participatory inquiry, dan paham-paham yang setara. Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat
dari segi ontologis, paham Teori Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai objek
atau realitas secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh
pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis paham ini
mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang
hakiki. Secara epistomologis, hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal
yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep subjektivitas
dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau
pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaraan tentang suatu hal (Salim, 2001:41).
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori Kritis (Critical
theory) tidak dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai suatu
cara pandang yang berorientasi pada ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme,
24
Feminisme, Freireisme, dan lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan
kaum Positivis dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena Teori Kritis
ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan subjek, nilai-nilai yang
dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran dari realitas tersebut. Selanjutnya menurut
Guba (1990:25) sistem keyakinan dasar para peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai
berikut:
Ontology : “Critical realist, as in the case of postpositivism.”Artinya ontologi:
“bersifat realis – kritis, seperti Post-Positivisme.”
Epistomology : “Subjectivist, in the sense that values mediate inquiry.”Artinya
epistomologi: “subjektivis, dalam arti nilai-nilai menjadi mediasi
penelitian.”
Methodology: “Dialogic, transformastive; eliminate false consciousness and
energize and facilitate transformation.” Artinya metodologi:
“dialogis, transformatif; mengeliminasi kesadaran palsu dan
membangkitkan dan memasilitasi transformasi.”
2.4. Prinsip - prinsip Implementasi Paradigma dalam Penelitian
Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian dengan pendekatan
kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau
penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari setiap jenis penelitian tersebut dan
bagaimana implementasinya, akan diuraikan terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif
dengan penelitian kualitatif.
Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif baik yang
dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln, Guba & Lincoln,
Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-prinsip implementasi dalam
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
2.4.1. Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif
Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian
kualitatif sebagai berikut:
2.4.1.1 Penelitian Kuantitatif
Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali
diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah bahwa
tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta
sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan
memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam. Caranya
25
dengan melakukan observasi atau mengamati fakta sosial untuk melihat kecenderungan-
kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian
kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan
data kuantitatif diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya
demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas
dan variabel tergantung.
Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif memusatkan
perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan
manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat hubungan antara variabel-variabel dianalisa
dengan menggunakan teori yang objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif
adalah gejala-gejala, sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak
terbatas banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan
hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam penelitian kuantitatif
berguna untuk menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada
dengan ketepatan yang dapat diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah
dikumpulkan (Suparlan, 1994:6-7).
2.4.1.2 Penelitian Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997)
yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada
makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong
terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi
dari Max Weber adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan).
Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti
harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku
yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-
makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95). Pada
buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya
pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam
kehidupan manusia, atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan
menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran
mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan
menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran kajiannya adalah pola-pola
yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan mendasar berlaku dan
menyolok berdasarkan atas kehidupan manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala
26
tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai
kerangka acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan
lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif, sehingga
pendekatan kualitatif tidak relevan (Suparlan, 1994:6-7).
Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan yang fundamental antara
penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Agar terdapat gambaran yang lebih rinci
perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif akan dikemukakan pandangan
Cresswell (1994), Denzin & Lincoln (1994), Guba & Lincoln (1994), dan Moustyan (1995)
(dalam Neuman, 1997:14) sebagai berikut.
Quantitative Style (Model Kuantitatif)
a. Measure objective facts (mengukur fakta yang objektif)
b. Focus on variables (terfokus pada variabel-variabel)
c. Reliability is key (reliabilitas merupakan kunci)
d. Value free (bersifat bebas nilai)
e. Independent of context (tidak tergantung pada konteks)
f. Many cases subjects (terdiri atas kasus atau subjek yang banyak)
g. Statistical analysis (menggunakan analisis statistik)
h. Researcher is detached (peneliti tidak terlibat)
Qualitative Style (Model Kualitatif)
a. Construct social reality, cultural meaning (mengonstruksi realitas sosial, makna
budaya)
b. Focus on interactive processes, events (berfokus pada proses interpretasi dan
peristiwa-peristiwa)
c. Authenticity is key (keaslian merupakan kunci)
d. Values are present and explicit (nilai hadir dan nyata / tidak bebas nilai)
e. Situationally constrained (terikat pada situasi / terikat pada konteks)
f. Few cases subjects (terdiri atas beberapa kasus atau subjek)
g. Thematic analysis (bersifat analisis tematik)
h. Researcher is involved (peneliti terlibat)
2.4.2 Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif
2.4.2.1 Mengukur fakta yang objektif
Setiap fakta atau fenomena yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan variabel (hal-hal yang
pokok dalam suatu masalah) untuk mendapatkan objektivitas, variabel tersebut harus diukur.
Misalnya untuk mengetahui kualitas atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi kerja
27
karyawan suatu perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang disusun berdasarkan
komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian yang dalam hal
ini motivasi kerja karyawan.
2.4.2.2 Terfokus pada variabel-variabel
Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel atau hal-
hal pokok yang terdapat dalam suatu masalah/gejala/fenomena. Penentuan variabel-variabel
tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu gejala yang terjadi merupakan akibat dari
gejala yang lain atau karena adanya hubungan atau pengaruh gejala lain. Di sini terjadi cara
berpikir nomotetik. Misalnya dalam suatu perusahaan terjadi gejala penurunan produktivitas
kerja karyawan. Selanjutnya dilakukan pengkajian secara teoritis faktor-faktor apa yang
menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas kerja tersebut. Misalnya secara teori
ditemukan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor motivasi kerja dan
kepemimpinan manajer. Kemudian pengaruh atau hubungan dari data hasil pengukuran
masing-masing variabel diuji secara statistik apakah benar variabel motivasi kerja dan
kepemimpinan manajer mempunyai pengaruh atau mempunyai hubungan dengan variabel
produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh atau hubungan tersebut signifikan atau dapat
dipercaya (mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi). Apabila hasil analisis statistik
menyatakan variabel-variabel tersebut mempunyai pengaruh atau hubungan secara signifikan,
maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh variabel
motivasi kerja dan kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan motivasi kerja
dan kepemimpinan manajer.
Catatan: Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu variabel pada
variabel lain berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur hubungan
suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau beberapa variabel. Analisis statistik untuk
mengukur pengaruh suatu variabel pada variabel yang lain di antaranya menggunakan
analisis statistik multiple regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan
suatu variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik correlation
(korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi product-moment) dari Carl Pearson
atau Spearman-Brown.
2.4.2.3 Reliabilitas merupakan kunci
Reliabilitas atau keajegan suatu tes atau kuesioner mempunyai arti bahwa tes atau
kuesioner tersebut menghasilkan skor yang relatif sama walaupun dilakukan pada waktu yang
berbeda. Suatu alat ukur atau instrumen penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila
memiliki reliabilitas yang tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh karena
28
itu, reliabilitas merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena apabila alat ukur atau
instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka akan berdampak hasil penelitian akurat. Di
samping alat ukur harus reliabel dipersyaratkan pula harus valid (sahih) atau memiliki
validitas (kesahihan). Suatu instrumen penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas
apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Catatan: Uji statistik untuk mengukur
reliabilitas diantaranya adalah Analisis Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20).
Sedangkan uji statistik untuk mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan
mengorelasikan skor setiap item dengan skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor
item yang dikorelasikan).
2.4.2.4 Bebas nilai
Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak dikaitkan
dengan budaya atau nilai-nilai budaya masyarakat yang melatarbelakangi fenomena tersebut.
Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap fenomena tidak diperhitungkan atau tidak diperhatikan.
Sebagai contoh salah satu komponen dari konsep diri adalah kelebihan dan kelemahan pada
diri individu. Dalam budaya Barat seorang individu untuk menyatakan kelebihan dan
kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah. Seorang individu untuk dapat dikatakan
memiliki konsep diri yang positif, individu tersebut dapat menyatakan kelemahan dan
kelebihannya di samping memiliki kriteria-kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada
budaya Timur perilaku yang demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam
penelitian kuantitatif pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena menurut
paradigma yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian kuantitatif, kriteria-
kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku umum.
2.4.2.5 Tidak tergantung pada konteks
Suatu fenomena terkait dengan konteks artinya terkait dengan situasi atau lingkungan
yang menyertai fenomena tersebut. Fenomena yang sama, konteksnya dapat berbeda.
Misalnya fenomena aktualisasi diri atau kebutuhan untuk mewujudkan kemampuan dirinya
(Teori Motivasi Abraham Maslow) bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan orang-
orang pedesaan. Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang pedesaan yang
tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman Kalimantan, atau di
pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang Jakarta dimanifestasikan dalam
kemampuan teknologi, teknologi informasi, bahasa asing, manajemen, dan lain-lain,
sedangkan orang-orang pedesaan di lereng gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman
Kalimantan atau di pedalaman Papua dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau
bercocok tanam, memelihara binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai seni
29
lokal atau seni daerah setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung konteks dari fenomena
yang diteliti.
2.4.2.6 Terdiri dari kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak
Dalam penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus atau subjek-subjek yang
banyak. Hal ini bertujuan agar dapat digeneralisasikan atau dapat diberlakukan secara umum.
Untuk itu terdapat terminologi populasi, sampel, dan technique sampling (teknik menentukan
sampel). Populasi adalah seluruh atau jumlah individu dari suatu wilayah atau organisasi atau
instansi atau perusahaan yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang sampel adalah sebagian dari
populasi yang mewakili populasi, oleh karena itu sampel harus representatif (harus dapat
mewakili) artinya sampel harus dapat menggambarkan keadaan populasi. Terdapat beberapa
teknik sampling (cara pengambilan sampel), di antaranya: total sampling, yaitu apabila
seluruh individu atau seluruh anggota populasi dijadikan sampel; stratified random sampling,
yaitu apabila setiap strata/tingkat/bagian ada wakil yang dijadikan sampel dan dilakukan
secara acak (random); purposive sampling, yaitu apabila individu yang dijadikan sampel
memiliki persyaratan tertentu sesuai tujuan penelitian; accidental sampling, yaitu individu
yang dijadikan sampel adalah individu yang dapat ditemui; dan lain-lain. Dengan adanya
sampel yang representatif terhadap populasinya, maka penelitian cukup dilakukan terhadap
sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel tersebut dapat digeneralisir artinya dapat
menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan pada sampel, tetapi sudah
dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.
2.4.2.7 Menggunakan analisis statistik
Dalam penelitian kuantitatif digunakan analisis statistik bertujuan agar dapat
mendeskripsikan secara akurat suatu fenomena (erklaren). Sedangkan dalam penelitian
kualitatif tidak menggunakan analisis statistik karena tujuannya tidak akan mendeskripsikan
suatu fenomena tetapi mencari makna guna mendapatkan pemahaman yang mendalam
(verstehen). Terdapat beberapa macam teknik analisis statistik, misalnya sebagaimana telah
diuraikan di depan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu
dengan variabel yang lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-moment dari
Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara
variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan analisis statistik multiple regression.
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara variabel yang satu dengan variabel yang
lain digunakan rumus t-test.
30
Dalam penelitian kuantitatif digunakan istilah-istilah yang spesifik dan tidak
digunakan dalam penelitian kualitatif, misalnya variabel, validitas, reliabilitas, hipotesis,
signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan untuk menggambarkan apabila hubungan,
perbedaan, pengaruh antara suatu variabel dengan variabel yang lain mempunyai makna,
untuk itu kemungkinan salah perhitungannya dibatasi maksimal 5%, atau dengan simbol
statistik p < 0.05. Suatu hubungan atau perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu
dengan variabel yang lain apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama atau lebih kecil dari 5%)
dinyatakan signifikan atau bermakna.
2.4.2.8 Peneliti tidak memihak
Dalam penelitian kuantitatif peneliti tidak memihak, artinya peneliti menghindari
subjektivitas dari subjek yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif peneliti justru berusaha
mengetahui persepsi subjektif dari subjek yang diteliti. Hasil penelitian kualitatif merupakan
hasil analisis persepsi subjektif dari subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Sedangkan
dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh mungkin mengeleminir subjektivitas dari subjek
yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian kuantitatif dikatakan peneliti tidak memihak.
2.4.3 Penjelasan dan contoh Model Kualitatif
2.4.3.1 Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya
Apabila penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau dengan kata
lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas, maka penelitian kualitatif ingin
mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon atau makna di
balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kuantitatif berusaha mendeskripsikan
fenomena secara akurat (erklaren), sedangkan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna
di balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam dari suatu
fenomena (verstehen). Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen), tidak
cukup apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan
bagaimana dari suatu fenomena. Mengapa suatu fenomena ada atau terjadi, bagaimana suatu
fenomena terjadi atau bagaimana proses terjadinya suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu
pengetahuan tentang apa, mengapa, dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia
mempunyai metakognisi yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif (pengetahuan
tentang apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana), dan pengetahuan
kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan kapan). Untuk mendapatkan pemahaman
yang mendalam (verstehen) tidak cukup hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena
tetapi juga mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu
pendapat Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif, pertanyaan-
31
pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan penelitian bukan hanya mencakup:
apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, tetapi yang terpenting yang harus tercakup dalam
pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut adalah mengapa. Pertanyaan mengapa menuntut
jawaban mengenai hakikat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau konsep-
konsep, sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan kapan menuntut jawaban
mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana menuntut jawaban mengenai proses-
prosesnya.
Poerwandari menyatakan penelitian kualitatif dilakukan untuk mengembangkan
pemahaman. Penelitian kualitatif membantu mengerti dan menginterpretasi apa yang ada di
balik peristiwa: latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana
manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak
menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga tidak menjadi
aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi hal penting. Penelitian kualitatif dinyatakan
mengonstruksi realitas sosial, karena penelitian kualitatif berlandaskan paradigma
Konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil
pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio subjek yang diteliti.
Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, ini
berarti ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil
konstruksi oleh rasio.
2.4.3.2 Berfokus pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa
Penelitian kuantitatif berfokus pada variabel-variabel, bahkan sebelum penelitian
dilakukan telah ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang akan diteliti. Sedangkan
dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa
atau kejadian-kejadiannya itu sendiri, bukan pada variabel-variabel. Bahkan fokus penelitian
dapat berubah pada waktu di lapangan setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan.
Dalam penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan data yang dipergunakan
adalah observasi. Observasi tidak cukup apabila hanya diarahkan pada setting saja, tetapi
justru yang pokok adalah proses terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian itu
sendiri. Demikian pula observasi tidak cukup dilakukan bersamaan dengan wawancara, tetapi
observasi sebaiknya dilakukan tidak bersamaan dengan wawancara. Apabila observasi
dilakukan bersamaan dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus pada hal-hal yang akan
diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi pada waktu diadakan
wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat ditarik kesimpulan. Agar dapat
ditarik kesimpulan maka hasil wawancara harus dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi
32
yang dilakukan secara khusus. Dengan observasi akan dapat diketahui tentang proses
interaksi atau kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan observasi terutama
observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan tentang apa, tetapi juga
bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang apa, bagaimana, dan mengapa, maka
masalah akan dapat dipahami secara mendalam (verstehen).
2.4.3.3 Keaslian merupakan kunci
Dalam penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis statistik
mempunyai fungsi yang sangat strategis. Dalam penelitian kualitatif keaslian merupakan
kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan sebagai penelitian alamiah (naturalist
inquiry). Dalam penelitian kualitatif tidak ada usaha untuk memanipulasi situasi maupun
setting. Sebaliknya penelitian kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi maupun
setting penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi dapat dimanipulasi dengan
subjek diatur sehingga homogen dengan dipilih sesuai kriteria yang telah ditentukan terlebih
dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh dari variabel kontrol, adanya treatment (perlakuan
khusus) misalnya diberikan terapi khusus atau diberikan pelatihan khusus, dan lain-lain.
Sebaliknya penelitian kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi dan setting
sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton (1990 dalam Poerwandari, 1998:30)
mendefinisikan studi dalam situasi alamiah sebagai studi yang berorientasi pada penemuan
(discovery-oriented). Penelitian demikian secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti
berada dalam keadaan sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.
2.4.3.4 Nilai hadir dan nyata (tidak bebas nilai)
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan atau tidak
memperhitungkan nilai (bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian kualitatif nilai sangat
diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif memegang teguh prinsip menghindari
pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam laporan penelitian (juga
dalam skripsi, tesis, disertasi) dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya
tidak menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian,
mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian. Sedang
penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal (dapat menggunakan kata: kita,
kami, saya, kita semua). Menurut Neuman (1997 dalam Salim, 2001:36) dalam penelitian
kualitatif para peneliti mengetahui adanya sifat value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si
peneliti) dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan bias-
biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.
33
2.4.3.5 Terikat pada situasi (terikat pada konteks)
Telah dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi yang mengelilinginya,
atau dengan kata lain selalu terikat pada konteks. Telah dijelaskan pula di depan bahwa
dalam penelitian kuantitatif karena ingin menghasilkan data yang berlaku umum (universal),
maka peneliti harus menjaga jarak dan bebas dari pengaruh yang diteliti. Peneliti selalu
berusaha mengontrol bias, memilih percontohan yang sistematis dan berusaha objektif dalam
meneliti suatu fenomena. Sebaliknya penelitian kualitatif tidak menjaga jarak dan tidak bebas
dari yang diteliti karena ingin mengetahui persepsinya, atau dengan kata lain ingin
mengetahui persepsi subjektif dari yang diteliti. Persepsi subjektif dari yang diteliti selalu
terikat pada situasi atau terikat pada konteks. Individu yang sedang mengalami kesedihan
dapat berubah menjadi senang atau gembira pada saat memasuki pesta ulang tahun anaknya
atau teman karibnya. Dengan adanya data yang bersifat subjektif, apa ini berarti penelitian
kualitatif tetap bersifat ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif, penelitian kualitatif tetap
ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki beberapa atau banyak individu atau dengan kata
lain beberapa atau banyak individu memiliki data yang sama dengan subjek yang diteliti,
maka hasil penelitian seperti ini disebut bersifat intersubjektif. Dalam penelitian kualitatif,
pengertian intersubjektif sama dengan objektif.
2.4.3.6 Terdiri dari beberapa kasus atau subjek
Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil
penelitiannya, maka penelitian kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus atau subjek.
Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga banyak, bahkan mungkin
penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus yang sangat penting adalah sifatnya yang
sangat spesifik. Contoh penelitian tentang “Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara
Sosialis.” Negara-negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi
penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik. Sebagai
contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok jumlah subjek minimal
sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis dengan statistik parametrik, maka
dalam penelitian kualitatif tidak mematok jumlah subjek yang diteliti.
2.4.3.7 Bersifat analisis tematik
Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil
penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang bersifat khusus atau spesifik, dan
analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap perempuan, masalah-
masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dalam lapangan
34
pekerjaan, kasus-kasus perilaku menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang
tidak normal (learning-disabilities), dan lain-lain.
2.4.3.8 Peneliti terlibat
Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak dengan yang
diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari subjektivitas dari yang diteliti, maka
sebaliknya penelitian kualitatif peneliti tidak mengambil jarak, agar peneliti benar-benar
memahami persepsi subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat
melakukan misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan observasi terlibat
pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.