40
BAB II ANALISIS “PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA DALAM PENELITIAN” Berikut ini akan dijelaskan mengenai, Tiga elemen kerja pembentuk pendekatan penelitian, pendekatan penelitian, berbagai macam paradigma dalam penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif, serta serta prinsip-prinsip implementasinya dalam dua macam penelitian tersebut. 2.1. Tiga Elemen Kerja Pembentuk Pendekatan Penelitian Berdasarkan paradigma yang dianutnya, seorang peneliti akan menggunakan salah satu dari tiga pendekatan yang diajukan Creswell, yaitu: kuantitatif, kualitatif, dan metode gabungan. Menurut Emzir perbedaan perbedaan yang terdapat dalam ketiga pendekatan ini dapat ditinjau melalui tiga elemen kerangka kerja, yaitu asumsi-asumsi psikologis tentang pembentuk tuntutan pengetahuan (knowledge claim), prosedur umum penelitian (strategies of inquiry) dan prosedur penjaringan dan analisis data serta pelaporan (research method). Creswell menggambarkan bagaimana ketiga elemen tersebut berpadu membentuk ketiga pendekatan penelitian pada gambar berikut. 2.1.1. Tuntutan Pengetahuan (Knowledge Claim) Tuntutan pengetahuan meliputi asumsi-asumsi filosofis mengenai ontologi (apa itu pengetahuan), epistemologi (bagaimana pengetahuan diperoleh), aksiologis (nilai-nilai yang terkandung di dalamnya), retorika (bagaimana pengetahuan 11

Metodologi Penelitian Sosial

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Metodologi Penelitian Sosial

BAB II

ANALISIS

“PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA

DALAM PENELITIAN”

Berikut ini akan dijelaskan mengenai, Tiga elemen kerja pembentuk pendekatan

penelitian, pendekatan penelitian, berbagai macam paradigma dalam penelitian kualitatif dan

penelitian kuantitatif, serta serta prinsip-prinsip implementasinya dalam dua macam

penelitian tersebut.

2.1. Tiga Elemen Kerja Pembentuk Pendekatan Penelitian

Berdasarkan paradigma yang dianutnya, seorang peneliti akan menggunakan salah

satu dari tiga pendekatan yang diajukan Creswell, yaitu: kuantitatif, kualitatif, dan metode

gabungan. Menurut Emzir perbedaan perbedaan yang terdapat dalam ketiga pendekatan ini

dapat ditinjau melalui tiga elemen kerangka kerja, yaitu asumsi-asumsi psikologis tentang

pembentuk tuntutan pengetahuan (knowledge claim), prosedur umum penelitian (strategies of

inquiry) dan prosedur penjaringan dan analisis data serta pelaporan (research method).

Creswell menggambarkan bagaimana ketiga elemen tersebut berpadu membentuk ketiga

pendekatan penelitian pada gambar berikut.

2.1.1. Tuntutan Pengetahuan (Knowledge Claim)

Tuntutan pengetahuan meliputi asumsi-asumsi filosofis mengenai ontologi (apa itu

pengetahuan), epistemologi (bagaimana pengetahuan diperoleh), aksiologis (nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya), retorika (bagaimana pengetahuan dituliskan) dan metodologi

(proses pengkajian). Dengan demikian, tuntutan pengetahuan berhubungan dengan asumsi-

asumsi peneliti tentang apa yang akan dipelajari dan bagaimana hal itu dipelajari selama

penelitian berlangsung. Creswell menggambarkan tuntutan atau asumsi-asumsi tersebut pada

tabel berikut.

Tabel 1: Asumsi Paradigma Kuantitatif dan Kualitatif

Asumsi Pertanyaan Kuantitatif Kualitatif

Ontologis Apakah hakikat realitas itu?

Realitas = objektif dan tunggal, terpisah dari peneliti

Realitas = subjektif dan jamak, sebagaimana dilihat oleh partisipan dalam studi

11

Page 2: Metodologi Penelitian Sosial

12

Epistemologis Apakah hubungan peneliti dengan yang diteliti?

Peneliti bebas dari yang diteliti

Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti

Aksiologis Apakah peran nilai-nilai?

Bebas nilai dan tidak bias Tidak bebas nilai dan bias

Retorik Apakah bahasa peneliti?

Formal, berdasarkan serangkaian definisi, impersonal, menggunakan kata-kata kuantitatif yang berterima

Informal, keputusan berkembang, personal, kata-kata kualitatif yang berterima.

Metodologis Apakah proses pengkajian?

Proses deduktif, sebab akibat, desain statis, kategori disiapkan sebelum studi, bebas konteks, generalisasi mengarahkan prediksi, penjelasan, dan pemahaman, akurat dan reliabel melalui validitas dan reliabilitas

Proses induktif, faktor-faktor yang saling membentuk secara simultan, desain berkembang, kategori diidentifikasi selama proses penelitian, terikat konteks; teori dan pola dikembangkan untuk pemahaman, akurat dan reliabel melalui verifikasi.

Berikut ini adalah uraian tentang tuntutan pengetahuan dalam empat (kelompok) aliran

pemikiran tentang pengetahuan.

2.1.1.1. Tuntutan Pengetahuan Positivisme dan Postpositivisme

Positivisme yang kadang-kadang dirujuk sebagai ‘metode ilmiah’ didasarkan pada

filsafat empirisme yang dipelopori oleh Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, August

Comte, dan Emmanuel Kant. Aliran ini mencerminkan filsafat deterministik yang

memandang suatu penyebab mungkin menentukan efek atau hasil. Aliran ini bertujuan untuk

menguji sebuah teori atau menjelaskan sebuah pengalaman melalui observasi dan pengukuran

dalam rangka meramalkan dan mengontrol kekuatan-kekuatan di sekitar manusia.

Positivisme berasumsi bahwa fenomena sosial dapat diteliti dengan cara yang sama dengan

fenomena alam dengan menggunakan pendekatan yang bebas nilai dan penjelasan sebab-

akibat sebagaimana halnya dalam penelitian fenomena alam.

Setelah Perang Dunia II, positivisme digantikan aliran postpositivisme. Aliran ini

berasumsi bahwa setiap penelitian dipengaruhi oleh hukum-hukum atau teori-teori yang

menguasai dunia. Teori-teori ini perlu diverifikasi sehingga pemahaman terhadap dunia

semakin lengkap. Oleh karena itu, penganut positivisme dan postpositivisme akan memulai

penelitian dengan suatu teori, mengumpulkan data yang mendukung atau menolak teori

Page 3: Metodologi Penelitian Sosial

13

tersebut, dan membuat revisi yang diperlukan. Dengan demikian, pengetahuan yang

dikembangkan melalui lensa postpositivisme didasarkan pada observasi yang cermat dan

pengukuran realitas yang objektif, sehingga positivisme dan postpositivisme selalu

diasosiasikan dengan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif.

2.1.1.2. Tuntutan Pengetahuan Konstruktivisme/Interpretivisme

Konstruktivisme/interpretivisme berkembang dari filsafat fenomenologi yang digagas

Edmund Husserl and pemahaman intepretatif yang disebut hermeneutiks yang dikemukakan

and Wilhelm Dilthey. Bagi penganut konstruktivisme/interpretivisme penelitian merupakan

upaya untuk memahami realitas pengalaman manusia, dan realitas itu sendiri dibentuk oleh

kehidupan sosial. Penelitian berlensa konstruktivisme/interpretivisme cenderung tergantung

pada pandangan partisipan tentang situasi yang diteliti. Penelitian konstruktivisme pada

umumnya tidak dimulai dengan seperangkat teori (sebagaimana halnya dengan

postpositivisme) namun mengembangkan sebuah teori atau sebuah pola makna secara

induktif selama proses berlangsung. Metode penjaringan dan analisis yang digunakan

penganut konstruktivisme biasanya berbentuk kuantitatif. Akan tetapi, data kuantitatif dapat

digunakan untuk mendukung data kualitatif serta memperdalam analisis secara efektif.

2.1.1.3. Tuntutan Pengetahuan Advokasi/Partisipatori/Transformatif

Aliran advokasi/partisipatori/transformatif muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an

sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada dan kesadaran

bahwa teori-teori sosiologi dan psikologi yang mendasari paradigma-paradigma yang ada

pada dasarnya dikembangkan melalui pandangan ’kulit putih’, didominasi oleh perspektif

kaum pria, dan didasarkan pada penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek. Peneliti

advokasi/partisipatori/transformatif merasa bahwa pendekatan konstruktivisme/

interpretivisme tidak membahas isu-isu keadilan sosial dan kaum yang terpinggirkan secara

memadai. Peneliti advokasi/ partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin dengan

agenda-agenda politik dan politisi agar penelitian tersebut menghasilkan tindakan-tindakan

yang mereformasi kehidupan partisipan, lembaga tempat individu hidup, dan kehidupan

peneliti sendiri. Sehubungan dengan itu, penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial

yang penting sebagai topik, seperti isu kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan,

dan perampasan hak. Peneliti advokasi sering memulai dengan menjadikan salah satu dari isu

ini sebagai fokus penelitian. Kemudian, dia akan berjalan bersama secara kolaboratif dengan

partisipan dengan pengertian partisipan dapat membantu merancang pertanyaan,

mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau menerima penghargaan untuk

partisipasinya dalam penelitian. Sebagaimana halnya dalam penelitian konstruktivisme,

Page 4: Metodologi Penelitian Sosial

14

peneliti advokasi/partisipatori/transformatif dapat mengkombinasikan metode penjaringan

dan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Namun, penggunaan pendekatan gabungan (mixed

methods) akan memberikan kepada peneliti transformatif sebuah struktur untuk

mengembangkan potret kehidupan sosial yang lebih utuh. Penggunaan berbagai perspektif

dan lensa memungkinkan diperolehnya pemahaman yang lebih beragam tentang nilai-nilai,

pandangan dan keberadaan kehidupan sosial.

2.1.1.4 Tuntutan Pengetahuan Pragmatik

Aliran Pragmatisme tidak terikat pada sistem filosofi atau realitas tertentu. Penganut

pragmatisme pada awalnya menolak asumsi ilmiah yang menyatakan penelitian sosial dapat

mengakses kebenaran tentang dunia nyata hanya dengan mengandalkan sebuah metode

ilmiah tunggal (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Pragmatisme berfokus pada

masalah penelitian dan menggunakan seluruh bentuk pendekatan untuk memahami masalah

itu. Oleh karena itu peneliti pragmatis bebas memilih metode, teknik, dan prosedur penelitian

yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Karakteristik ini menunjukkan bahwa

pragmatisme merupakan paradigma yang menyangga landasan filosofis studi metode

gabungan (mixed-methods research). Meskipun demikian beberapa peneliti yang

menggunakan metode gabungan, secara filosofis, lebih mencondongkan diri mereka kepada

paradigma transformatif paradigm (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Hal ini

mengungkapkan bahwa metode gabungan dapat digunakan dalam berbagai paradigma.

Berbagai posisi tuntutan pengetahuan alternatif sebagaimana diuraikan di atas dapat

dirangkum dalam tabel berikut.

Tabel 2: Posisi Tuntutan Pengetahuan Alternatif

Positivisme/Postpositivisme Konstruktivisme/Interpretivisme

Ÿ  DeterminasiŸ  ReduksionismeŸ  Observasi Empiris dan PengukuranŸ  Verifikasi Teori

Ÿ  PemahamanŸ  Makna Jamak PertisipanŸ  Konstruksi Sosial dan HistorisŸ  Menghasilkan Teori

Advokasi/Partisipatori/Transformatif Pragmatisme

Ÿ  PolitisŸ  Berorientasi pada Masalah KekuasaanŸ  KolaboratifŸ  Berorientasi pada Perubahan

Ÿ  Konsekuensi TindakanŸ  Berpusat pada Masalah PluralistikŸ  Berorientasi pada Praktik Dunia Nyata

2.1.2. Prosedur Penelitian (Strategies of Inquiry)

Menurut Wikipedia (2008) strategi penelitian adalah “a procedure for achieving a

particular intermediary research objective—such as sampling, data collection, or data

analysis. We may therefore speak of sampling strategies or data analysis strategies.”

Page 5: Metodologi Penelitian Sosial

15

Sedangkan Emzir (2008: 21) menjelaskan: “… strategi inquiri/penelitian … melengkapi arah

spesifik untuk berbagai prosedur dalam suatu rancangan penelitian. Strategi penelitian …

memberikan kontribusi pada semua pendekatan penelitian”. Berdasarkan kedua definisi itu,

dapat dikatakan bahwa strategi/prosedur penelitian (strategies of inquiry) adalah prosedur

yang ditempuh untuk mencapai tujuan penelitian. Berikut ini adalah uraian singkat strategi

penelitian yang lazim digunakan dalam ketiga pendekatan penelitian.

2.1.2.1. Strategi yang Berasosiasi dengan Pendekatan Kuantitatif

Hingga pertengahan abad ke-20, strategi penelitian selalu dihubungkan dengan

penelitian kuantitatif yang didasarkan pada postpositivisme. Penelitian kuantitatif mencakup

penelitian survai, deskriptif causal comparative, retrospektif (ex-post facto), pre-

experimental, quasi-experimental, true experimental, korelasional, dan eksperimen kompleks

dengan banyak variabel dan perlakuan (seperti desain faktorial dan desain pengukuran

berulang).  

2.1.2.2. Strategi yang Berasosiasi dengan Pendekatan Kualitatif

Sejak tahun 1990-an,  jumlah dan jenis penelitian kualitatif berkembang dengan pesat.

Menurut Merriam, et.al. (2002 ), penelitian kuantitatif mencakup delapan jenis penelitian,

yakni: penelitian kualitatif intepretatif dasar (Basic Interpretive Qualitative Study), naratif,

fenomenologis, etnografis, Critical Qualitative Research, Postmodern Research, Grounded

Theory dan studi kasus.

2.1.2.3. Strategi yang Berasosiasi dengan Pendekatan Metode Gabungan

Strategi pendekatan metode gabungan (mixed methods) timbul karena adanya

kesadaran bahwa semua metode memiliki keterbatasan. Peneliti merasa bahwa bias yang

timbul dari penggunaan satu metode dapat dinetralisir oleh bias yang timbul dari penggunaan

metode lain. Selain itu, penggunaan beberapa jenis data diyakini dapat memperjelas data

analisis yang dilakukan. Penggunaan beberapa strategi untuk meningkatkatkan validitas

konstruk ini kemudian dikenal dengan methodological triangulation (Wikipedia, 2008).

Secara umum, metode gabungan menggunakan tiga strategi berikut: prosedur sequential,

prosedur concurrent, dan prosedur transformatif.

Berbagai strategi sebagaimana diuraikan di atas dapat dirangkum dalam tabel berikut.

Tabel 3: Strategi Alternatif Penelitian

KUANTITATIF KUALITATIF MIXED METHODS

1)      Survai2)      Deskriptif Causal Comparative

1)      Penelitian Kualitatif Intepretatif Dasar2)      Naratif

1)      Sequential2)      Concurrent3)      Transformatif

Page 6: Metodologi Penelitian Sosial

16

3)      Retrospektif (Ex-Post Facto)4)      Pre-Experimental5)      Quasi-Experimental6)      True Experimental7)      Korelasional8)      Eksperimen Kompleks dengan Banyak Variabel dan Perlakuan

3)      Fenomenologis4)      Etnografis5)      Critical Qualitative Research, Postmodern Research, Grounded Theory6)      Studi Kasus.

2.1.3. Prosedur (Metode) Penelitian

Mackenzie dan Knipe (2006) menyatakan: “… method refers to systematic modes,

procedures or tools used for collection and analysis of data.” Berdasarkan definisi ini, dapat

dikatakan bahwa metode penelitian merupakan cara, desain, atau media spesifik yang

digunakan untuk menjaring dan menganalisis data dalam tahapan praktik. Pemilihan metode

sangat ditentukan oleh tujuan penelitian. Dalam penelitian tertentu, tujuan dapat dicapai

hanya dengan menggunakan data yang diperoleh melalui observasi. Penelitian lain mungkin

membutuhkan data kuantitatif, sedangkan penelitian lain membutuhkan data yang diperoleh

dari kombinasi penggunaan studi dokumen, angket, atau wawancara. Tabel berikut

merangkum ciri-ciri ketiga prosedur penelitian.

Tabel 4: Prosedur Kuantitatif, Kualitatif dan Mixed methods

KUANTITATIF KUALITATIF MIXED METHODS

1)    Ditentukan sebelumnya2)    Instrumen Berdasarkan Pertanyaan3)    Data performansi, data sikap, data observasi dan data sensus4)    Analisis Statistik

1)      Emerging Methods2)      Pertanyaan Terbuka3)      Data Interview, data observasi, data dokumen, dan audiovisual4)      Analisis teks dan gambar

(Perpaduan prosedur kualitatif dan kuantitatif)1)    Ditentukan sebelumnya dan emerging methods,2)    Pertanyaan terbuka dan tertutup3)    Dst.

2.2. Kriteria Pemilihan Suatu Pendekatan Penelitian

Menurut Creswell (dalam Emzir, 2008: 9) terdapat tiga faktor yang menentukan

pemilihan pendekatan yang akan digunakan dalam suatu penelitian, yaitu kesesuaian antara

masalah dan pendekatan penelitian, pengalaman peneliti, dan audiens yang akan

memanfaatkan laporan tertulis penelitian.

2.2.1. Kesesuaian antara Masalah dan Pendekatan Penelitian

Page 7: Metodologi Penelitian Sosial

17

Masalah penelitian, terutama penelitiasn sosial, memiliki bentuk dan jenis yang sangat

beragam. Jenis masalah yang berbeda menuntut pendekatan yang berbeda pula. Sebagai

contoh, jika masalah penelitian adalah pengujian efektivitas teknik pembelajaran kosa kata

bahasa Inggris di sekolah dasar, pendekatan kuantitaif merupakan pilihan yang paling sesuai.

Tapi jika masalah yang diteliti adalah prosedur penggunaan lagu sebagai media pembelajaran

kosa kata, pendekatan kualitatif sangat pas untuk digunakan. Disamping itu, jika peneliti

ingin meneliti prosedur penggunaan penggunaan lagu sebagai media pembelajaran kosa kata

dan sekaligus ingin membandingkan efektivitasnya dengan penggunaan media lain, seperti

gambar atau permainan (games) maka pendekatan metode gabungan sangat sesuai untuk

digunakan.

2.2.2. Pengalaman Peneliti

Adalah suatu hal yang lumrah jika seseorang merasa lebih ’nyaman’ melaksanakan

sesuatu yang sudah dikuasainya dengan baik. Peneliti yang mahir dalam statistika, teknik

penulisan ilmiah, dan pengoperasian program statistik komputer dan akrab dengan jurnal-

jurnal kuantitatif disarankan untuk menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebaliknya, peneliti

yang lebih berpengalaman dalam penjaringan data melalui interaksi langsung dengan orang

lain (interview, observasi terbuka dan pengamatan-berperan serta), lebih menyukai analisis

data secara secara induktif , dan lebih menyenangi penulisan deskriptif yang menggunakan

kata-kata dan gambar sebaiknya menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan peneliti

yang menyukai dan berpengalaman menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat

menggunakan medode gabungan. Namun harus disadari bahwa penggunaan metode ini

menuntut waktu dan energi tambahan karena peneliti perlu menjaring dan menganalisis dua

jenis data.

2.2.3. Audien

Pertimbangan terakhir dalam penentuan pendekatan penelitian adalah faktor audiens.

Setiap peneliti perlu peka terhadap ’preferensi’ audiens (kepada siapa laporan penelitian

diserahkan/dipresentasikan) mengenai pendekatan penelitian. Dalam konteks penelitian untuk

membuat tesis, sangat diharapkan bahwa mahasiswa menyesuaikan pendekatan penelitiannya

dengan pendekatan yang biasa digunakan para pembimbingnya.

2.3. Paradigma dalam Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif

2.3.1. Paradigma dalam penelitian kuantitatif

Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme, yaitu suatu keyakinan

dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas itu ada

(exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan

Page 8: Metodologi Penelitian Sosial

18

demikian penelitian berusaha untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan

bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.

Menurut Sarantakos, Positivisme melihat penelitian sosial sebagai langkah

instrumental, penelitian dianggap sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-

hukum sosial pada akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan

kejadian serta mengendalikan peristiwa.

Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief system of positivism is

rooted in a realist ontology, that is, the belief that there exists a reality out there, driven by

immutable the natural laws.” Intinya sistem keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada

ontologi realis yaitu percaya akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan

oleh hukum-hukum alam yang tetap.Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan

dasar yang menyatakan kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-hukum

alam yaitu hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut Guba (1990:20)

sistem keyakinan dasar para peneliti positivis dapat diringkas sebagai berikut:

“Ontology: Realist-reality exists “out there” and is driven by immutable

natural laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms is

conventionally summarized in the form of time and context-free generalizations.

Some of these latter generalizations take the form of cause-effect laws.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu

mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang

bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum, dan

mekanisme-mekanisme ini secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang

bersifat tidak terikat waktu dan tidak terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk

hukum sebab-akibat.

“Epistomology : Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the enquirer

to adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing and confounding

factors are thereby automatically excluded from influencing the outcomes.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi epistomologi: dualis/objektif, adalah

mungkin dan esensial bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan

interaksi dengan objek yang diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya

secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.

“Methodology : Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are studied

in advance in propositional term and subjected to empirical tests (falsification) under

carefully controlled conditions.”

Page 9: Metodologi Penelitian Sosial

19

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi: bersifat

eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan

dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi)

dengan kondisi yang terkontrol secara cermat.

Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog Aguste Comte. Comte

menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak

digunakan. John Stuart Mill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan

pemikiran Comte. Sedang Emile Durkheim (Sosiolog Perancis) mengembangkan suatu versi

positivisme dalam Rules of the Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan

bagi para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim (1982:59)

objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut meliputi: bahasa, sistem

hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar

kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme informasi kebenaran itu ditanyakan

oleh peneliti kepada individu yang dijadikan responden penelitian.

2. 3.2. Paradigma dalam penelitian kualitatif

Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme, Post Positivisme, dan Teori

Kritis

2.3.2.1. Konstruktivisme

Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly believe that

facts are facts only within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for

discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the

context of mental framework (construct) for thinking about it.” Kutipan tersebut mempunyai

arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka

kerja teori (Hesse, 1980). Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-

benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja

mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut. Ini berarti realitas itu ada sebagai

hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25)

menyatakan “Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be

value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only

through a value window. Many constructions are possible.” Kutipan tersebut mempunyai

arti: kaum Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika

“realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui

jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian

terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan

Page 10: Metodologi Penelitian Sosial

20

(jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang

konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang terakhir tetapi penting adalah sebagai

berikut: “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity;

knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and

ever changing” (Guba, 1990:26).

Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau

konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak

pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan

dan selalu berubah.” Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas

manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan

kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus. Dari beberapa penjelasan Guba yang

dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia.

Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil

konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.

Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes

(1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,” yang artinya “Aku

berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena

berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan

hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/kerja dari

indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk

mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati

dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai dengan

meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini berada di samping materi.

Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di

pihak lain berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-

1808). Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan pengalaman

terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio. Selanjutnya menurut Guba

(1990:27) sistem keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme dapat diringkas sebagai

berikut:

Ontology : “Relativist – Realities exist in the form of multiple mental

constructions, socially and experientially based local and specific,

dependent for their form and content on the persons who hold them.”

Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi

mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan

Page 11: Metodologi Penelitian Sosial

21

pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada

mereka yang mengemukakannya.”

Epistomogy : “Subjectivist – inquirer and inquired into are fused a single

(monistic) entity. Findings are literally the creation of the process of

interaction between the two.”

Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam

pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic). Temuan-

temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara

peneliti dan yang diteliti.”

Methodology: “Hermeneutic – dialectic – individual constructions are elicited and

refined hermeneutically, with the aim of generating one (or a few)

constructions on which there is substantisl consensus.”

Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi individual

dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik dengan tujuan

menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara substansial

disepakati”

2.3.2.2. Postpositivisme

Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best

characterized as modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism

has occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it.

Prediction and control continue to be the aim.” Kutipan tersebut mempunyai arti

Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat

banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme

berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap

menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”

Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut: Paradigma ini

merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya

mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara

ontologi aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada

dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu

realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara metodologi

pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam

metode, sumber data, peneliti dan teori. Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis

hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa

Page 12: Metodologi Penelitian Sosial

22

dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal

yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang

layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara

pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus

bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal.

Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan Guba, Denzin

dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki

kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa

realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme

berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti

membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan

antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip

trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.

Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada peneliti Postpositisme

adalah sebagai berikut:

Ontology : “Critical realist – reality exist but can never be fully apprehended. It is

driven by natural laws that can be only incompletely understood.”

Asumsi ontologi: “Realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan

pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur oleh hukum-hukum

alam yang tidak dipahami secara sempurna.”

Epistomology: “Modified objectivist – objectivity remains a regulatory ideal, but

it can only be approximated with special emphasis placed on external

guardians such as the critical tradition and critical community.”

Asumsi epistomologi: “Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap

merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun objektivitas

hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga

eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”

Methodology: “Modified experimental/manipulative – emphasize critical

multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more natural

settings, using more qualitative methods, depending more on grounded

theory, and reintroducing discovery into the inqury process.”

Asumsi metodologi: “Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya

menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan

dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih

Page 13: Metodologi Penelitian Sosial

23

banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada

teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya

(reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.”

2.3.2.3. Teori Kritis (Critical Theory)

Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai berikut: “The label critical theory is

no doubt inadequate to encompass all the alternatives that can be swept into this category of

paradigm. A more appropriate label would be “ideologically oriented inquiry”, including

neo-Marxism, materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and other similar

movements as well as critical theory itself. These perspectives are properly placed together,

however because they converge in rejecting the claim of value freedom made by positivists

(and largely continuing to be made by postpositivists).” Kutipan tersebut mempunyai arti:

“Nama teori kritis tidak diragukan lagi bahwa tidak dapat mencakup semua alternatif yang

dapat dimasukkan dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi nama penelitian yang

berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme, materialisme, feminisme, Freireisme,

penelitian terlibat, dan perspektif yang lain termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-

perspektif ini pantas ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang

dibuat oleh kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum Postpositivis).”

Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada pandangan Guba, Denzin dan Lincoln

menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory) sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai

suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut “ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu

wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap

paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme,

Participatory inquiry, dan paham-paham yang setara. Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat

dari segi ontologis, paham Teori Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai objek

atau realitas secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh

pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis paham ini

mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang

hakiki. Secara epistomologis, hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal

yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep subjektivitas

dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau

pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaraan tentang suatu hal (Salim, 2001:41).

Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori Kritis (Critical

theory) tidak dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai suatu

cara pandang yang berorientasi pada ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme,

Page 14: Metodologi Penelitian Sosial

24

Feminisme, Freireisme, dan lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan

kaum Positivis dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena Teori Kritis

ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan subjek, nilai-nilai yang

dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran dari realitas tersebut. Selanjutnya menurut

Guba (1990:25) sistem keyakinan dasar para peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai

berikut:

Ontology : “Critical realist, as in the case of postpositivism.”Artinya ontologi:

“bersifat realis – kritis, seperti Post-Positivisme.”

Epistomology : “Subjectivist, in the sense that values mediate inquiry.”Artinya

epistomologi: “subjektivis, dalam arti nilai-nilai menjadi mediasi

penelitian.”

Methodology: “Dialogic, transformastive; eliminate false consciousness and

energize and facilitate transformation.” Artinya metodologi:

“dialogis, transformatif; mengeliminasi kesadaran palsu dan

membangkitkan dan memasilitasi transformasi.”

2.4. Prinsip - prinsip Implementasi Paradigma dalam Penelitian

Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian dengan pendekatan

kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau

penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari setiap jenis penelitian tersebut dan

bagaimana implementasinya, akan diuraikan terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif

dengan penelitian kualitatif.

Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif baik yang

dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln, Guba & Lincoln,

Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-prinsip implementasi dalam

penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

2.4.1. Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif

Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian

kualitatif sebagai berikut:

2.4.1.1 Penelitian Kuantitatif

Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali

diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah bahwa

tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta

sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan

memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam. Caranya

Page 15: Metodologi Penelitian Sosial

25

dengan melakukan observasi atau mengamati fakta sosial untuk melihat kecenderungan-

kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian

kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan

data kuantitatif diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya

demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas

dan variabel tergantung.

Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif memusatkan

perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan

manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat hubungan antara variabel-variabel dianalisa

dengan menggunakan teori yang objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif

adalah gejala-gejala, sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak

terbatas banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan

hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam penelitian kuantitatif

berguna untuk menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada

dengan ketepatan yang dapat diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah

dikumpulkan (Suparlan, 1994:6-7).

2.4.1.2 Penelitian Kualitatif

Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997)

yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada

makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong

terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi

dari Max Weber adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan).

Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti

harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku

yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-

makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95). Pada

buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya

pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam

kehidupan manusia, atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan

menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran

mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan

menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran kajiannya adalah pola-pola

yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan mendasar berlaku dan

menyolok berdasarkan atas kehidupan manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala

Page 16: Metodologi Penelitian Sosial

26

tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai

kerangka acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan

lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif, sehingga

pendekatan kualitatif tidak relevan (Suparlan, 1994:6-7).

Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan yang fundamental antara

penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Agar terdapat gambaran yang lebih rinci

perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif akan dikemukakan pandangan

Cresswell (1994), Denzin & Lincoln (1994), Guba & Lincoln (1994), dan Moustyan (1995)

(dalam Neuman, 1997:14) sebagai berikut.

Quantitative Style (Model Kuantitatif)

a. Measure objective facts (mengukur fakta yang objektif)

b. Focus on variables (terfokus pada variabel-variabel)

c. Reliability is key (reliabilitas merupakan kunci)

d. Value free (bersifat bebas nilai)

e. Independent of context (tidak tergantung pada konteks)

f. Many cases subjects (terdiri atas kasus atau subjek yang banyak)

g. Statistical analysis (menggunakan analisis statistik)

h. Researcher is detached (peneliti tidak terlibat)

Qualitative Style (Model Kualitatif)

a. Construct social reality, cultural meaning (mengonstruksi realitas sosial, makna

budaya)

b. Focus on interactive processes, events (berfokus pada proses interpretasi dan

peristiwa-peristiwa)

c. Authenticity is key (keaslian merupakan kunci)

d. Values are present and explicit (nilai hadir dan nyata / tidak bebas nilai)

e. Situationally constrained (terikat pada situasi / terikat pada konteks)

f. Few cases subjects (terdiri atas beberapa kasus atau subjek)

g. Thematic analysis (bersifat analisis tematik)

h. Researcher is involved (peneliti terlibat)

2.4.2 Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif

2.4.2.1 Mengukur fakta yang objektif

Setiap fakta atau fenomena yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan variabel (hal-hal yang

pokok dalam suatu masalah) untuk mendapatkan objektivitas, variabel tersebut harus diukur.

Misalnya untuk mengetahui kualitas atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi kerja

Page 17: Metodologi Penelitian Sosial

27

karyawan suatu perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang disusun berdasarkan

komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian yang dalam hal

ini motivasi kerja karyawan.

2.4.2.2 Terfokus pada variabel-variabel

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel atau hal-

hal pokok yang terdapat dalam suatu masalah/gejala/fenomena. Penentuan variabel-variabel

tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu gejala yang terjadi merupakan akibat dari

gejala yang lain atau karena adanya hubungan atau pengaruh gejala lain. Di sini terjadi cara

berpikir nomotetik. Misalnya dalam suatu perusahaan terjadi gejala penurunan produktivitas

kerja karyawan. Selanjutnya dilakukan pengkajian secara teoritis faktor-faktor apa yang

menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas kerja tersebut. Misalnya secara teori

ditemukan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor motivasi kerja dan

kepemimpinan manajer. Kemudian pengaruh atau hubungan dari data hasil pengukuran

masing-masing variabel diuji secara statistik apakah benar variabel motivasi kerja dan

kepemimpinan manajer mempunyai pengaruh atau mempunyai hubungan dengan variabel

produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh atau hubungan tersebut signifikan atau dapat

dipercaya (mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi). Apabila hasil analisis statistik

menyatakan variabel-variabel tersebut mempunyai pengaruh atau hubungan secara signifikan,

maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh variabel

motivasi kerja dan kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan motivasi kerja

dan kepemimpinan manajer.

Catatan: Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu variabel pada

variabel lain berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur hubungan

suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau beberapa variabel. Analisis statistik untuk

mengukur pengaruh suatu variabel pada variabel yang lain di antaranya menggunakan

analisis statistik multiple regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan

suatu variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik correlation

(korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi product-moment) dari Carl Pearson

atau Spearman-Brown.

2.4.2.3 Reliabilitas merupakan kunci

Reliabilitas atau keajegan suatu tes atau kuesioner mempunyai arti bahwa tes atau

kuesioner tersebut menghasilkan skor yang relatif sama walaupun dilakukan pada waktu yang

berbeda. Suatu alat ukur atau instrumen penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila

memiliki reliabilitas yang tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh karena

Page 18: Metodologi Penelitian Sosial

28

itu, reliabilitas merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena apabila alat ukur atau

instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka akan berdampak hasil penelitian akurat. Di

samping alat ukur harus reliabel dipersyaratkan pula harus valid (sahih) atau memiliki

validitas (kesahihan). Suatu instrumen penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas

apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Catatan: Uji statistik untuk mengukur

reliabilitas diantaranya adalah Analisis Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20).

Sedangkan uji statistik untuk mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan

mengorelasikan skor setiap item dengan skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor

item yang dikorelasikan).

2.4.2.4 Bebas nilai

Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak dikaitkan

dengan budaya atau nilai-nilai budaya masyarakat yang melatarbelakangi fenomena tersebut.

Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap fenomena tidak diperhitungkan atau tidak diperhatikan.

Sebagai contoh salah satu komponen dari konsep diri adalah kelebihan dan kelemahan pada

diri individu. Dalam budaya Barat seorang individu untuk menyatakan kelebihan dan

kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah. Seorang individu untuk dapat dikatakan

memiliki konsep diri yang positif, individu tersebut dapat menyatakan kelemahan dan

kelebihannya di samping memiliki kriteria-kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada

budaya Timur perilaku yang demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam

penelitian kuantitatif pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena menurut

paradigma yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian kuantitatif, kriteria-

kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku umum.

2.4.2.5 Tidak tergantung pada konteks

Suatu fenomena terkait dengan konteks artinya terkait dengan situasi atau lingkungan

yang menyertai fenomena tersebut. Fenomena yang sama, konteksnya dapat berbeda.

Misalnya fenomena aktualisasi diri atau kebutuhan untuk mewujudkan kemampuan dirinya

(Teori Motivasi Abraham Maslow) bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan orang-

orang pedesaan. Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang pedesaan yang

tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman Kalimantan, atau di

pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang Jakarta dimanifestasikan dalam

kemampuan teknologi, teknologi informasi, bahasa asing, manajemen, dan lain-lain,

sedangkan orang-orang pedesaan di lereng gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman

Kalimantan atau di pedalaman Papua dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau

bercocok tanam, memelihara binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai seni

Page 19: Metodologi Penelitian Sosial

29

lokal atau seni daerah setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung konteks dari fenomena

yang diteliti.

2.4.2.6 Terdiri dari kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak

Dalam penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus atau subjek-subjek yang

banyak. Hal ini bertujuan agar dapat digeneralisasikan atau dapat diberlakukan secara umum.

Untuk itu terdapat terminologi populasi, sampel, dan technique sampling (teknik menentukan

sampel). Populasi adalah seluruh atau jumlah individu dari suatu wilayah atau organisasi atau

instansi atau perusahaan yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang sampel adalah sebagian dari

populasi yang mewakili populasi, oleh karena itu sampel harus representatif (harus dapat

mewakili) artinya sampel harus dapat menggambarkan keadaan populasi. Terdapat beberapa

teknik sampling (cara pengambilan sampel), di antaranya: total sampling, yaitu apabila

seluruh individu atau seluruh anggota populasi dijadikan sampel; stratified random sampling,

yaitu apabila setiap strata/tingkat/bagian ada wakil yang dijadikan sampel dan dilakukan

secara acak (random); purposive sampling, yaitu apabila individu yang dijadikan sampel

memiliki persyaratan tertentu sesuai tujuan penelitian; accidental sampling, yaitu individu

yang dijadikan sampel adalah individu yang dapat ditemui; dan lain-lain. Dengan adanya

sampel yang representatif terhadap populasinya, maka penelitian cukup dilakukan terhadap

sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel tersebut dapat digeneralisir artinya dapat

menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan pada sampel, tetapi sudah

dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.

2.4.2.7 Menggunakan analisis statistik

Dalam penelitian kuantitatif digunakan analisis statistik bertujuan agar dapat

mendeskripsikan secara akurat suatu fenomena (erklaren). Sedangkan dalam penelitian

kualitatif tidak menggunakan analisis statistik karena tujuannya tidak akan mendeskripsikan

suatu fenomena tetapi mencari makna guna mendapatkan pemahaman yang mendalam

(verstehen). Terdapat beberapa macam teknik analisis statistik, misalnya sebagaimana telah

diuraikan di depan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu

dengan variabel yang lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-moment dari

Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara

variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan analisis statistik multiple regression.

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara variabel yang satu dengan variabel yang

lain digunakan rumus t-test.

Page 20: Metodologi Penelitian Sosial

30

Dalam penelitian kuantitatif digunakan istilah-istilah yang spesifik dan tidak

digunakan dalam penelitian kualitatif, misalnya variabel, validitas, reliabilitas, hipotesis,

signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan untuk menggambarkan apabila hubungan,

perbedaan, pengaruh antara suatu variabel dengan variabel yang lain mempunyai makna,

untuk itu kemungkinan salah perhitungannya dibatasi maksimal 5%, atau dengan simbol

statistik p < 0.05. Suatu hubungan atau perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu

dengan variabel yang lain apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama atau lebih kecil dari 5%)

dinyatakan signifikan atau bermakna.

2.4.2.8 Peneliti tidak memihak

Dalam penelitian kuantitatif peneliti tidak memihak, artinya peneliti menghindari

subjektivitas dari subjek yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif peneliti justru berusaha

mengetahui persepsi subjektif dari subjek yang diteliti. Hasil penelitian kualitatif merupakan

hasil analisis persepsi subjektif dari subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Sedangkan

dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh mungkin mengeleminir subjektivitas dari subjek

yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian kuantitatif dikatakan peneliti tidak memihak.

2.4.3 Penjelasan dan contoh Model Kualitatif

2.4.3.1 Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya

Apabila penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau dengan kata

lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas, maka penelitian kualitatif ingin

mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon atau makna di

balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kuantitatif berusaha mendeskripsikan

fenomena secara akurat (erklaren), sedangkan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna

di balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam dari suatu

fenomena (verstehen). Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen), tidak

cukup apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan

bagaimana dari suatu fenomena. Mengapa suatu fenomena ada atau terjadi, bagaimana suatu

fenomena terjadi atau bagaimana proses terjadinya suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu

pengetahuan tentang apa, mengapa, dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia

mempunyai metakognisi yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif (pengetahuan

tentang apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana), dan pengetahuan

kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan kapan). Untuk mendapatkan pemahaman

yang mendalam (verstehen) tidak cukup hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena

tetapi juga mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu

pendapat Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif, pertanyaan-

Page 21: Metodologi Penelitian Sosial

31

pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan penelitian bukan hanya mencakup:

apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, tetapi yang terpenting yang harus tercakup dalam

pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut adalah mengapa. Pertanyaan mengapa menuntut

jawaban mengenai hakikat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau konsep-

konsep, sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan kapan menuntut jawaban

mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana menuntut jawaban mengenai proses-

prosesnya.

Poerwandari menyatakan penelitian kualitatif dilakukan untuk mengembangkan

pemahaman. Penelitian kualitatif membantu mengerti dan menginterpretasi apa yang ada di

balik peristiwa: latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana

manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak

menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga tidak menjadi

aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi hal penting. Penelitian kualitatif dinyatakan

mengonstruksi realitas sosial, karena penelitian kualitatif berlandaskan paradigma

Konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil

pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio subjek yang diteliti.

Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, ini

berarti ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil

konstruksi oleh rasio.

2.4.3.2 Berfokus pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa

Penelitian kuantitatif berfokus pada variabel-variabel, bahkan sebelum penelitian

dilakukan telah ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang akan diteliti. Sedangkan

dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa

atau kejadian-kejadiannya itu sendiri, bukan pada variabel-variabel. Bahkan fokus penelitian

dapat berubah pada waktu di lapangan setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan.

Dalam penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan data yang dipergunakan

adalah observasi. Observasi tidak cukup apabila hanya diarahkan pada setting saja, tetapi

justru yang pokok adalah proses terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian itu

sendiri. Demikian pula observasi tidak cukup dilakukan bersamaan dengan wawancara, tetapi

observasi sebaiknya dilakukan tidak bersamaan dengan wawancara. Apabila observasi

dilakukan bersamaan dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus pada hal-hal yang akan

diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi pada waktu diadakan

wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat ditarik kesimpulan. Agar dapat

ditarik kesimpulan maka hasil wawancara harus dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi

Page 22: Metodologi Penelitian Sosial

32

yang dilakukan secara khusus. Dengan observasi akan dapat diketahui tentang proses

interaksi atau kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan observasi terutama

observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan tentang apa, tetapi juga

bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang apa, bagaimana, dan mengapa, maka

masalah akan dapat dipahami secara mendalam (verstehen).

2.4.3.3 Keaslian merupakan kunci

Dalam penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis statistik

mempunyai fungsi yang sangat strategis. Dalam penelitian kualitatif keaslian merupakan

kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan sebagai penelitian alamiah (naturalist

inquiry). Dalam penelitian kualitatif tidak ada usaha untuk memanipulasi situasi maupun

setting. Sebaliknya penelitian kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi maupun

setting penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi dapat dimanipulasi dengan

subjek diatur sehingga homogen dengan dipilih sesuai kriteria yang telah ditentukan terlebih

dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh dari variabel kontrol, adanya treatment (perlakuan

khusus) misalnya diberikan terapi khusus atau diberikan pelatihan khusus, dan lain-lain.

Sebaliknya penelitian kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi dan setting

sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton (1990 dalam Poerwandari, 1998:30)

mendefinisikan studi dalam situasi alamiah sebagai studi yang berorientasi pada penemuan

(discovery-oriented). Penelitian demikian secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti

berada dalam keadaan sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.

2.4.3.4 Nilai hadir dan nyata (tidak bebas nilai)

Dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan atau tidak

memperhitungkan nilai (bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian kualitatif nilai sangat

diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif memegang teguh prinsip menghindari

pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam laporan penelitian (juga

dalam skripsi, tesis, disertasi) dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya

tidak menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian,

mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian. Sedang

penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal (dapat menggunakan kata: kita,

kami, saya, kita semua). Menurut Neuman (1997 dalam Salim, 2001:36) dalam penelitian

kualitatif para peneliti mengetahui adanya sifat value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si

peneliti) dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan bias-

biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.

Page 23: Metodologi Penelitian Sosial

33

2.4.3.5 Terikat pada situasi (terikat pada konteks)

Telah dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi yang mengelilinginya,

atau dengan kata lain selalu terikat pada konteks. Telah dijelaskan pula di depan bahwa

dalam penelitian kuantitatif karena ingin menghasilkan data yang berlaku umum (universal),

maka peneliti harus menjaga jarak dan bebas dari pengaruh yang diteliti. Peneliti selalu

berusaha mengontrol bias, memilih percontohan yang sistematis dan berusaha objektif dalam

meneliti suatu fenomena. Sebaliknya penelitian kualitatif tidak menjaga jarak dan tidak bebas

dari yang diteliti karena ingin mengetahui persepsinya, atau dengan kata lain ingin

mengetahui persepsi subjektif dari yang diteliti. Persepsi subjektif dari yang diteliti selalu

terikat pada situasi atau terikat pada konteks. Individu yang sedang mengalami kesedihan

dapat berubah menjadi senang atau gembira pada saat memasuki pesta ulang tahun anaknya

atau teman karibnya. Dengan adanya data yang bersifat subjektif, apa ini berarti penelitian

kualitatif tetap bersifat ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif, penelitian kualitatif tetap

ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki beberapa atau banyak individu atau dengan kata

lain beberapa atau banyak individu memiliki data yang sama dengan subjek yang diteliti,

maka hasil penelitian seperti ini disebut bersifat intersubjektif. Dalam penelitian kualitatif,

pengertian intersubjektif sama dengan objektif.

2.4.3.6 Terdiri dari beberapa kasus atau subjek

Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil

penelitiannya, maka penelitian kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus atau subjek.

Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga banyak, bahkan mungkin

penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus yang sangat penting adalah sifatnya yang

sangat spesifik. Contoh penelitian tentang “Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara

Sosialis.” Negara-negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi

penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik. Sebagai

contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok jumlah subjek minimal

sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis dengan statistik parametrik, maka

dalam penelitian kualitatif tidak mematok jumlah subjek yang diteliti.

2.4.3.7 Bersifat analisis tematik

Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil

penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang bersifat khusus atau spesifik, dan

analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap perempuan, masalah-

masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dalam lapangan

Page 24: Metodologi Penelitian Sosial

34

pekerjaan, kasus-kasus perilaku menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang

tidak normal (learning-disabilities), dan lain-lain.

2.4.3.8 Peneliti terlibat

Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak dengan yang

diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari subjektivitas dari yang diteliti, maka

sebaliknya penelitian kualitatif peneliti tidak mengambil jarak, agar peneliti benar-benar

memahami persepsi subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat

melakukan misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan observasi terlibat

pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.