34
Menyikapi Tindakan Euthanasia Berdasarkan Etika Kedokteran Sufrianus Brian Rantesalu 102010231 Mahasiswa Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat [email protected] Pendahuluan Euthanasia berasal dari Bahasa yunani yang berarti kematian yang baik. Istilah euthanasia dimaksudkan sebagai tindakan secara sengaja untuk mengakihiri suatu kehidupan sebagai suatu cara mengurangi kesakitan dan penderitaan seseorang. Seringkali pasien dengan penyakit terminal meminta untuk dilakukan euthanasia. Disetiap negara mempunyai hukum-hukum dan pandangan yang berbeda mengenai praktek euthanasia itu sendiri. Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah 1

Makalah PBL Blok 30 Kasus 5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

asdfghjkl

Citation preview

Menyikapi Tindakan Euthanasia Berdasarkan Etika Kedokteran

Sufrianus Brian Rantesalu

102010231Mahasiswa Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta [email protected]

Euthanasia berasal dari Bahasa yunani yang berarti kematian yang baik. Istilah euthanasia dimaksudkan sebagai tindakan secara sengaja untuk mengakihiri suatu kehidupan sebagai suatu cara mengurangi kesakitan dan penderitaan seseorang. Seringkali pasien dengan penyakit terminal meminta untuk dilakukan euthanasia. Disetiap negara mempunyai hukum-hukum dan pandangan yang berbeda mengenai praktek euthanasia itu sendiri. Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena itu pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang euthanashia. Selain itu didalamnya juga akan dibahas mengenai informed consent,aspek hukum,dan etika kedokteran dari suatu tindakan euthanashia. Selain itu juga akan dibahas mengenai rekam medis,prosedur,dan tindakan medis dalam suatu tindakan euthanasia.Pembahasan

Euthanasia

Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik. Tanpa penderitaan; sedang tanathos = mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan ipetek kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan sesorang dinyatakan telah mati.1,2Dikenal beberapa konsep tentang mati seperti:

1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir

2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh

3. Hilangnya kemmapuan tubuh secara permanen

4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi social

Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang juga diatur dalam PP 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua terhenti kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.1Konsep mati dari terlepasnya dari tubuh sering menimbulkan keraguan karena misalnya pada aindakan resusitasi yan gberhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali. 1Konsep mati dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu juga dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri- sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secar moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi. 1Bila dibandingkan dengan manusia sebagi mahluk social yaitu individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannyam kekhususannya, kemampuannya mengingat, menentukan sikap dan mengambil keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, mampu menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak baik secara fisik amupun social makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terdapat dalam batang otak. Oleh Karena itu jika batang otak telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi (DNR, do not resuscitation) Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam World Medical Assembly tahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney. Disini dinyatakan penentuan saat kematian di kebanyakan Negara merupakan tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan sesorang sudah mati dengan menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang telah diketahui oleh semua dokter.1Hal yang penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian tersebut sudah tidak dapat dikemabalikan lagi (irreversible) meski menggunakan teknik penghidupan kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut. Jika penentuan saat mati berhubungan dengan kepentingan transplantasi organ, keputusan mati harus dilakukan oleh duaorang dokter atau lebih dan dokter yang menentukan saat mati itu tidak boleh ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan transpaltasi tersebut.

Berdasrakan permintaan dan informed consnent yang diterima,euthanashia dapat dibedakan menjadi:

voluntary euthanasia yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya.

Non voluntary euthanasia pada hal ini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya.

Involuntary euthanasia merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya.

Sedangkan jika dilihat dari cara dilaksanakannya euthanasia dapat dibedakan menjadi:

Euthanasia pasif yaitu perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia

Euthanasia aktif yaitu perbuatan yang dilakuykan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter engan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.

Auto euthanasia ,yakni penolakan secara tegas oleh pasien untuk memperoleh bantuan atau perwatan medic terhadapa dirinya,dan ia tahu pasti bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.

Euthanasia aktif sendiri dapat dibedakan menjadi :

Euthanasia aktif langsung (direct)

Adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai Mercy Killing.

Euthanasia aktif tidak langsung (indirect)

Adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

Kedua pembagian euthanasia ini dapat digabung, misalnya euthanasia pasif volunteer, euthanasia aktif involunteer, euthanasia aktif langsung involuntir dan sebagainya. 1,2Dalam kongres hukum kedokteran sedunia di Gent (Belgia) tahun 1979 disampaikan berberapa kategori lain berkaitan dengan euthanasia,yaitu No assistance in the process of death without intention to shorten life. Contoh kematian alamiah. Assistance in the process of death without intention to shorten life. Dalam kategori ini terdapat unsur kelalaian. No assistance in the process of death with intention to shorten life. Euthanasia pasif dapat dimasukan dalam kategori ini. Assistance in the process of death with intention to shorten life. Kategori ini merupakan tindakan euthanasia aktif.Aspek hukumPermasalahan dalam kasus ini juga dibahas dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dalam Bab IV: Ketentuan pada Situasi Khusus. Dijelaskan pada pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 14

1. Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.

2. Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan.

3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.

Pasal 15

Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.

Hal mengenai Penolakan Tindakan Kedokteran juga dijelaskan pada Bab V, dengan pasal sebagai berikut:

Pasal 16

1. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.

2. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.

3. Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien.

4. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.

Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 304, 338, 340, 344, 345, dan 359. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan. Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri (voluntary euthanasia). 2,3KUHP Pasal 304

Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

KUHP pasal 338

Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

KUHP pasal 340

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

KUHP pasal 344

Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

KUHP Pasal 345

Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.

KUHP Pasal 359

Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Informed consentInformed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif anatara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Dasar hukum dari informed consent tercantum jelas pada Peraturan Menteri Kesehatan No 290/MenKes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran pasal 1 sampai dengan pasal 20 yang merupakan pengganti dari Peraturan Menteri Kesehatan No 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik pasal 1 sampai dengan pasal 15. Pada pasal 1 (1) Permenkes No 290/MenKes/Per/III/2008 dijelaskan bahwa Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. 4Tujuan Informed Consent antara lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya dan untuk memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu threshold elements, informaton elements dan consent elements. Threshold elements menjelaskan bahwa pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten dalam membuat keputusan (medis). Secara hukum seorang dianggap kompeten apabila telah dewasa (jika usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah), sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak dibawah pengampuan. Informed elements terdiri dari 2 bagian yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Consent elements juga terdiri dari 2 bagian yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan). Dalam hal ini, consent dapat dinyatakan (expressed) baik secara lisan maupun tertulis ataupun tidak dinyatakan (implied) yaitu melalui tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.4Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan dijelaskan pada Permenkes No 290/MenKes/Per/III/2008 pasal 7 (3) sekurang-kurangnya mencakup :

1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran.

2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan.

3. Altematif tindakan lain, dan risikonya.

4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.

5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

6. Perkiraan pembiayaan.

Dijelaskan pada Permenkes No 290/MenKes/Per/III/2008 pasal 18 (1) dan (2) bahwa pembinaan dan pengawasan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan ini dilaksanankan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Dan pada pasal selanjutnya dijelaskan bahwa Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Tindakan administratif yang dimaksud dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.

Proxy consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si penderita itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan pasien oleh pasien apabila ia mampu memberikannya (baik untuk pasien, bukan baik untuk orang banyak). Umumnya urutan dalam memberikan proxy consent adalah suami atau isteri, anak, orang tua, saudara kandung dan sebagainya.

Informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan, yaitu pada Keadaan darurat medis Ancaman terhadap kesehatan masyarakat Pelepasan hak memberikan consent Clinical privilege Pasien yang tidak berkompeten memberikan consentContextual circunstances juga seringkali memoengaruhi perolehan informed consent. Seseorang yang dianggap sudah pikun, ornag yang memiliki mental yang lemah,dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap cakap menerima informasi yang benar apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien melarang dokter untuk berkata benar kepada pasien mengenai keadaan sakitnya.4Keluhan pasien tentang proses informed consent adalah:

Bahasa yang digunakan terlalu teknis

Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian atau tidak ada waktu untuk tanya jawab

Pasien sedang stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi

Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk

Sebaliknya kendala pada dokter dalam menyampaikan informed consent dengan baik meliputi:

Pasien tidak mau diberitahu

Pasien tak mampu memahami

Resiko terlalu umum atau jarang terjadi

Situasi gawat darurat atau waktu yang sempitEtika kedokteranEtika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik-buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Dua teori etika yang banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi:

a) Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri. Teori ini lebih berdasar kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya.

b) Teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasil atau akibatnya. Ajaran ini lebih ke arah penalaran dan pembenaran kepada asas manfaat.

Untuk dapat mencapai suatu keputusan etik, diperlukan 4 kaidah dasar moral dengan beberapa rules di bawahnya. Kaidah-kaidah dasar moral tersebut antara lain:

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonominya.

2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan kepada kebaikan pasien, dalam hal ini tindakan tersebut lebih besar manfaat daripada mudaratnya.

3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien.

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.

Beberapa rules derivatnya antara lain:a) Veracity (berbicara benar, jujur, dan terbuka).b) Privacy (menghormati hak privasi pasien).c) Confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien).d) Fidelity (loyalitas dan promise-keeping).3Dijelaskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dalam pasal 11, yang berbunyi: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.Pada cakupan pasal 11 tersebut seorang dokter dilarang terlibat ataumelibatkan diri ke dalam abortus, euthanasia, maupun hukuman mati yang tidak dapat dipertanggung jawabkan moralitasnya. Pada bagian penjelasan cakupan pasal 11 tersebut juga dijelaskan mengenai moralitas deontologik profesi kedokteran sejagat, karena dokter yang memiliki sifat ketuhanan dan kemanusiaan dan memahami bahwa hanya Tuhan Yang Maha Kuasa satu-satunya yang berhak mencabut kehidupan manusia. Berdasarkan agama,peraturan perundang-undangan dan etik seorang dokter tidak boleh mengakihiri kehidupan seseorang yang menurut ilmu pengetahuan tidak mungkin sembuh.5Rekam medisKewajiban membuat rekam medis tertuang dalam UU NO.29 tentang Praktik kedokteran pada pasal 46. Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Jenis Rekam Medis terdiri dari Rekam medis konvensional dan Rekam medis elektronik. Isi rekam medis secara umum harus meliputi: Catatan, merupakan uraian tentang identitas pasien, pemeriksaan pasien, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain baik dilakukan oleh dokter dan dokter gigi maupun tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan kompetensinya.

Dokumen, merupakan kelengkapan dari catatan tersebut, antara lain foto rontgen, hasil laboratorium dan keterangan lain sesuai dengan kompetensi keilmuannya. Manfaat rekam medis Pengobatan Pasien

Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk merencanakan dan menganalisis penyakit serta merencanakan pengobatan, perawatan dan tindakan medis yang harus diberikan kepada pasien.

Peningkatan Kualitas Pelayanan

Membuat Rekam Medis bagi penyelenggaraan praktik kedokteran dengan jelas dan lengkap akan meningkatkan kualitas pelayanan untuk melindungi tenaga medis dan untuk pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal.

Pendidikan dan Penelitian

Rekam medis yang merupakan informasi perkembangan kronologis penyakit, pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis, bermanfaat untuk bahan informasi bagi perkembangan pengajaran dan penelitian di bidang profesi kedokteran dan kedokteran gigi.

Pembiayaan

Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien.

Statistik Kesehatan

Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan, khususnya untuk mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah penderita pada penyakit-penyakit tertentu.

Pembuktian Masalah Hukum, Disiplin dan Etik

Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga bermanfaat dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik.Di rumah sakit terdapat dua jenis rekam medis,yaitu:1. Rekam Medis Pasien Rawat Jalan

Isi rekam medis sekurang-kurangnya memuat catatan/dokumen tentang:

identitas pasien tanggal dan waktu

hasil anamnesis,mencangkup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit

hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik

diagnosis

rencana penatalaksanaan

pengobatan dan atau tindakan

pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien

untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik

persetujuan tindakan bila diperlukan2. Rekam Medis Pasien Rawat Inap

Rekam medis untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya memuat:

identitas pasien; tanggal dan waktu

hasil anamnesis mencangkup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penykit

hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medic

diagnosis

rencanan penatalaksaan

pengobatan dan atau tindakan

persetujuan tindakan bila diperlukan

catatan observasi klinis dan hasil pengobatan

ringkasan pulang

nama dan tanda tangan dokter,dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan

pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu

untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik

3. Rekam medis pada kasus gawat darurat.

Rekam medis untuk pasien gawat darurat sekurang-kurangnya memuat:

identitas pasien; kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan

identitas pengantar pasien

tanggal dan waktu

hasil anamnesis mencangkup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penykit

hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medic

diagnosis

pengobatan dan atau tindakan

ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut

nama dan tanda tangan dokter,dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan

sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain

pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasienPendelegasian Membuat Rekam Medis

Selain dokter dan dokter gigi yang membuat/mengisi rekam medis, tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien dapat membuat/mengisi rekam medis atas perintah/pendelegasian secara tertulis dari dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran.2Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medis

Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menegaskan bahwa dokter dan dokter gigi wajib membuat rekam medis dalam menjalankan praktik kedokteran. Setelah memberikan pelayanan praktik kedokteran kepada pasien, dokter dan dokter gigi segera melengkapi rekam medis dengan mengisi atau menulis semua pelayanan praktik kedokteran yang telah dilakukannya.

Setiap catatan dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.Apabila dalam pencatatan rekam medis menggunakan teknlogi informasi elektronik, kewajiban membubuhi tanda tangan dapat diganti dengan menggunakan nomor identitas pribadi/personal identification number (PIN).

Dalam hal terjadi kesalahan saat melakukan pencatatan pada rekam medis, catatan dan berkas tidak boleh dihilangkan atau dihapus dengan cara apapun. Perubahan catatan atas kesalahan dalam rekam medis hanya dapat dilakukan dengan pencoretan dan kemudian dibubuhi paraf petugas yang bersangkutan. Lebih lanjut penjelasan tentang tata cara ini dapat dibaca pada Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rekam Medis dan pedoman pelaksanaannya.

Kepemilikan Rekam Medis

Sesuai UU Praktik Kedokteran, berkas rekam medis menjadi milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis dan lampiran dokumen menjadi milik pasien.

Penyimpanan Rekam Medis

Rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaan oleh dokter, dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan. Batas waktu lama penyimpanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan paling lama 5 tahun kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik yang harus disimpan untuk jangka waktu 10 tahun terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan tersebut.

Pengorganisasian Rekam Medis

Pengorganisasian rekam medis sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis.Pembinaan, Pengendalian dan Pengawasan

Untuk Pembinaan, Pengendalian dan Pengawasan tahap Rekam Medis dilakukan oleh pemerintah pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah, organisasi profesi.

Aspek hukum, disiplin,etik dan kerahasian rekam medis

Rekam Medis Sebagai Alat Bukti

Rekam medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti tertulis di pengadilan.

Kerahasiaan Rekam Medis

Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan kerahasiaan yang menyangkut riwayat penyakit pasien yang tertuang dalam rekam medis. Rahasia kedokteran tersebut dapat dibuka hanya untuk epentingan pasien untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum (hakim majelis), permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, rahasia kedokteran (isi rekam medis) baru dapat dibuka bila diminta oleh hakim majelis di hadapan sidang majelis. Dokter dan dokter gigi bertanggung jawab atas kerahasiaan rekam medis sedangkan kepala sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab menyimpan rekam medis.

Sanksi Hukum

Dalam Pasal 79 UU NO.29 tentang Praktik Kedokteran secara tegas mengatur bahwa setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Selain tanggung jawab pidana, dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis juga dapat dikenakan sanksi secara perdata, karena dokter dan dokter gigi tidak melakukan yang seharusnya dilakukan (ingkar janji/wanprestasi) dalam hubungan dokter dengan pasien.

Sanksi Disiplin dan Etik

Dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain mendapat sanksi hukum juga dapat dikenakan sanksi disiplin dan etik sesuai dengan UU Praktik Kedokteran, Peraturan KKI, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI).

Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin MKDKI dan MKDKIP, ada tiga alternatif sanksi disiplin yaitu :

Pemberian peringatan tertulis.

Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.

Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Selain sanksi disiplin, dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis dapat dikenakan sanksi etik oleh organisasi profesi yaitu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG).Carcinoma colonCarsinoma colon atau kanker usu besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di Amerika Serikat kanker ini menduduki peringkat ke duaa yang paling sering terjadi, setelah kanker paru.6Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala umum keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran yang bermakna di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejalanya makin banyak. Bila kita berbicara tentang gejala tumor usus besar, gejala tersebut terbagi tiga, yaitu gejala lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis).6

Gejala lokalnya adalah, antara lain : Perubahan kebiasaan buang air.

Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare)Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah tidak bisa keluar) dan perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses). Keduanya adalah ciri khas dari kanker kolorektal

Perubahan wujud fisik kotoran/feses

Feses bercampur darah atau keluar darah dari lubang pembuangan saat buang air besar, feses bercampur lender.

Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya perdarahan di saluran pencernaan bagian atas.

Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi akibat sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor.

Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita.

Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat tumbuh mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul darah pada air seni, timbul gelembung udara, dan lain-lain), vagina (keputihan yang berbau, muncul lendir berlebihan, dan lain-lain). Gejala-gejala ini terjadi belakangan, menunjukkan semakin besar tumor dan semakin luas penyebarannya.Tatalaksana Penanganan yang kita anjurkan adalah terapi paliatif karena pasien telah memasuki stadium terminal.6 Menghilangkan Nyeri

Analgesik diberikan sesuai resep. Lingkungan dibuat kondusif untuk relaksasi dengan meredupkan lampu, mematikan televisi atau radio, dan membatasi pengunjung dan telepon bila diinginkan oleh pasien. Tindakan kenyamanan tambahan ditawarkan : Perubahan posisi, gosokan punggung, dan teknik relaksasi.

Meningkatkan Toleransi Aktivitas

Toleransi aktivitas pasien dikaji. Aktivitas diubah dan dijadwalkan untuk memungkinkan periode tirah baring yang adekuat dalam upaya untuk menurunkan keletihan pasien.

Mempertimbangkan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Masukan dan keluaran mencakup muntah diukur dan dicatat, untuk menyediakan data akurat tentang keseimbangan cairan. Masukan makanan oral dan cairan pasien dibatasi untuk mencegah muntah. Antiemetik diberikan sesuai resep. Cairan penuh atau jernih dapat ditoleransi, atau pasien dipuasakan. Selang nasogastrik akan dipasang pada periode praoperatif untuk mengalirkan akumulasi cairan dan mencegah distensi abdomen. Kateter urinarius indwelling dapat dipasang untuk memungkinkan pemantauan haluaran setiap jam. Haluaran kurang dari 30 ml/jam dilaporkan sehingga terapi cairan intravena dapat disesuaikan bila perlu.

Dari kasus didapatkan pasien dengan karsinoma terminal ini, minta untuk dibiarkan meninggal dengan tenang tanpa alat-alat bantuan (letting die naturally) dan pasien hanya ingin diberikan obat penghilang saja sehingga prognosis pasien menjadi semakin buruk dibandingkan jika pasien mendapatkan pengobatan.Prosedur Tindakan Medis

Tindakan medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (futile) saat ini dipertimbangkan untuk tidak lagi dilanjutkan dan secara moral dapat dibenarkan apabila tindakan medis tersebut dihentikan. Pertimbangan ini sebenarnya bukan pertimbangan yang aru, melainkan pertimbangan yang telah ada pada jaman hippocrates. Namun demikian keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-sia haruslah diambil dengan melalui pertimbangan yang ketat.4Prosedur Terapi

Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan menggunakan 4 topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu:

1. Medical Indication

Topik ini menjelaskan semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consent.

2. Patient preferrence

Pada topik ini menjelaskan tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunter sikap dan keputusan nya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dan sebagainya.3. Quality of life

Pada topik ini menjelaskan tentang tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa,siapa dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non maleficence dan autonomy.

4. Contextual features

Pada topik ini dibahas seputar aspek non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti keluarga,ekonomi,agama,budaya,kerahasiaan dan alokasi sumber daya dan faktor hukum.

Pada pasien ini, setelah menjelaskan dan mempertimbangkan hal-hal diatas maka pasien hanya diberi terapi supportif dan simptomatik saja. Sebelumnya pasien dan keluarganya diberi terlebih dahulu informasi tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya. Apabila disetujui maka prosedur terapi ini dapat diputuskan.4Kesimpulan

Seringkali bagi pasien dengan penyakit terminal menolak untuk mendapat terapi dan meminta untuk dibiarkan saja meninggal dengan tenang. Sebagai seorang dokter tentu saja bertentangan dengan etika kedokteran itu sendiri. Penjelasan yang jelas dan terperinci bagi pasien terminal haruslah dilakukan. Apabila setelah mendapat penjelasan pasien ataupun keluarga tetap menolak haruslah menanda tangani dokumen tertulis yang mensetujui tidak dilakukanya terapi. Akibat dari penolakan terapi menjadi tanggung jawab pasien namun disisi lain penolakan ini tidaklah menghentikan hubungan dokter pasien tersebut.

Daftar pustaka1. Achadiat CM. Dinamika etika dan hukum kedoktran dalam tantangan zaman. Jakarta:EGC. 2007.p.180-8.

2. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kedokteran. Jakarta:EGC. 2007.p.63-70, 101-9.3. Anonymous. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran:hukum pidana yang berkaitan dengan profesi dokter. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1994.p.41-2.4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar. 2007.p.36-7,79-85.

5. Purwadianto A, Soetedjo, Gunawan S, Budiningsih Y, et all. Kode etik kedokteran Indonesia. Jakarta:IDI. 2012.p.37-9.

6. Braunwald, Fauci, Kasper,et all. Harrisons principles of internal medicine volume 1.New York: Mc Graw-Hill.2012.p.768-74.

1