Makalah PBL Blok 30 Kasus 5

Embed Size (px)

Citation preview

PENDAHULUAN

Kasus

Seorang pasien berusia 62 tahun dating ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah terminal. Pasien masih cukup sadar berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukumISIEtik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter. World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1] Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan. IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi). Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.Majelis Kehormatan Etik KedokteranDalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin profesi, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya. Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim. Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya. Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya disahkan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit). Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5 Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. [3] Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.Etika Kedokteran

Etik (Ethics) berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, ada kebiasaan, watak, perasaan, sikap yang baik, yang layak. Menurut KUBI, etika adalah ilmu pengetahuan tentang azas akhlak. Sedangkan menurut KBBI dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, etika adalah :

1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral

2. Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak

3. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat

Menurut Kamus Kedokteran, etika adalah pengetahuan tentang perilaku yang benar dalam satu profesi. Pekerjaan profesi merupakan pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, seperti ahli hukum, wartawan, dosen, dokter, dokter gigi, dan apoteker.

Pekerjaan profesi umumnya memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

1. Pendidikan sesuai standar nasional

2. Mengutamakan panggilan kemanusiaan

3. Berlandaskan etik profesi, mengikat seumur hidup

4. Legal melalui perizinan

5. Belajar sepanjang hayat

6. Anggota bergabung dalam satu organisasi profesi

Dalam pekerjaan profesi sangat dihandalkan etik profesi dalam memberikan pelayanan kepada public. Etik profesi merupakan seperangkat perilaku anggota profesi dalam hubungannya dengan orang lain. Pengamalan etika membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral.

Cirri-ciri etik profesi adalah sebagai berikut :

1. Berlaku untuk lingkungan profesi

2. Disusun oleh organisasi profesi bersangkutan

3. Mengandung kewajiban dan larangan

4. Menggugah sikap manusiawi

Profesi kedokteran merupakan profesi yang tertua dan dikenal sebagai profesi yang mulia karena ia berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup seseorang yaitu masalah kesehatan dan kehidupan.

Menurut Pasal 1 butir 11 UU No 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenajng dank ode etik yang bersifat melayani masyarakat.

Etika profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra kerja. Rumusan perilaku pada anggota profesi disusun oleh organisasi profesi bersama-sama pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersangkutan. Tiap-tiap jenis tenaga kesehatan telah memiliki Kode Etiknya, namun Kode Etik tenaga kesehatan tersebut mengacu pada Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI).Sesuai dengan kasus di atas, masalah ini merupakan perdebatan hebat karena sudah menyangkut segi etik, moral dan kedokteran. Bukankah KODEKI pasal 10 berbunyi :

setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani

Dengan demikian maka jika terjadi suatu akibat dari tindakan yang telah dilakukan tentu akan lebih serius jika dibandingkan dengan tindakan yang dilakukan di tempat praktek pribadi dokter masing-masing yang tentunya akan sangat berhati-hati dan berpikir dahulu sebelum mengambil tindakan (defensive medicine).

REKAM MEDIS

Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik di rumah sakit maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis sangat penting dan sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan bahwa RM adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut dapat dipahami karena catatan demikian akan berguna untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan pengobatan yang telah diberikan bila pasien dating kembali untuk berobat ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian. Dengan adanya RM, ia bisa mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa sehingga lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun, kini makin dipahami bahwa peran RM tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan di atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan RM.Secara sederhana dapat dikatakan bahwa RM adalah kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan, dan catatan segala kegiatan para pelayan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu. Catatan ini berupa tulisan ataupun gambar, dan belakangan ini dapat pula berupa rekaman elektronik, seperti computer, microfilm, dan rekaman suara.

isi RMDi rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu :

RM untuk pasien rawat jalan

Termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi pasien, antara lain :

Identitas dan formulir perixinan (lembar hak kuasa)

Riwayat pasien (anamnesis) tentang

Keluhan utama

Riwayat sekarang

Riwayat penyakit yang pernah diderita

Riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan

Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning, MRI, dan lain-lain.

Diagnosis dan/atau diagnosis banding

Instruksi diagnostic dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang berwenang.

RM untuk pasien rawat inap

Memiliki informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan, dengan tambahan :

Persetujuan tindakan medic

Catatan konsultasi

Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya

Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan

Resume akhir dan evaluasi pengobatan

Kegunaan RM

RM mempunya aspek hukum kedisplinan dan etik petugas kesehatan, kerahasiaan, keuangan, mutu serta manajemen rumah sakit dan audit medic.

Secara umum kegunaan RM adalah :

1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil bagian dalam member pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien.

2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada pasien.

3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit.

4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien.

5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit, maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk kepelruan penelitian dan pendidikan.

7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medic pasien.

8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan.

Hak Pasien

1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri, dan hak untuk mati secara wajar

2. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar kedokteran

3. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dokter yang mengobatinya

4. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik

5. Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya

6. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran

7. Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan, dan dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut

8. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi

9. Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit

10. Berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau rohaniwan, dan lain-lain yang diperlukan selama perawatan di rumah sakit

11. Memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen, USG, CT scan, MRI, dan sebagainya (kalau dilakukan) biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan jasa dokter dan lain-lainDari uraian di atas jelaslah bahwa hak memperoleh informasi atau penjelasan merupakan hak asasi pasien yang paling utama, bahkan dalam tindakan-tindakan khusus diperlukan Persetujuan Tindakan Medik yang ditandatangani oleh pasien dan/atau keluarganya.

Dalam UU RI No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52 dinyatakan bahwa hak-hak pasien adalah mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.

Kewajiban Pasien

Jika ada hak, tentu ada kewajiban. Dalam kontrak terapeutik antara pasien dan dokter, memang dokter mendahulukan hak pasien karena tugasnya merupakan panggilan perikemanusiaan. Namun, pasien yang telah mengikatkan dirinya dengan dokter, perlu pula memperhatikan kewajiban-kewajibannya sehingga hubungan dokter dan pasien yang sifatnya saling hormat menghormati dan saling percaya mempercayai terpelihara baik.

Kewajiban-kewajiban pasien pada garis besarnya adalah sebagai berikut :

1. Memeriksakan diri sedini mungkin pada dokter

Masyarakat perlu diberikan penyuluhan, bahwa pengobatan penyakit pada stadium dini akan lebih berhasil dan mengurangi komplikasi yang merugikan.

2. Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya

Informasi yang ebnar dan lengkap dari pasien/keluarga merupakan hal yang penting bagi dokter dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit. Bila dokter dituntut malpraktik, tuntutan dapat gugur jika terbukti pasien telah memberikan keterangan yang menyesatkan atau menyembunyikan hal-hal yang pernah dialaminya; tidak memberitahukan obat-obat yang pernah diminumnya sehingga terjadi interaksi obat misalnya.

3. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter

Pasien berkewajiban mematuhi petunjuk dokter tentang makan berpantang, minum, pemakaian obat-obat, istirahat, kerja, saat berobat berulang, dan lain-lain. Pasien yang tidak mematuhi petunjuk dokternya, keberhasilan pengobatannya akan menjadi berkurang.

4. Menandatangani surat-surat PTM, surat jaminan dirawat di rumah sakit dan lain-lainnya

Dalam kontrak terapeutik, ada tindakan medic, baik untuk tujuan diagnosis maupun untuk terapi yang harus disetujui oleh pasien atau keluarganya, setelah diberi penjelasan oleh dokter. Surat PTM yang sifatnya tulisan, harus ditandatangani oleh pasien dan/atau keluarganya.

5. Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh

Pasien yang telah memercayai dokter dalam upaya penyembuhannya, berkewajiban menyerahkan dirinya untuk diperiksa dan diobati sesuai kemampuan dokter. Pasien yang tidak yakin lagi pada kemampuan dokternya, dapat memutuskan kontrak terapeutik atau dokternya sendiri yang menolak meneruskan perawatan.

6. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan dan pengobatan serta honorarium dokter.Imbalan untuk dokter merupakan penghargaan yang sepantasnya diberikan oleh pasien/keluarga atas jerih payah seorang dokter. Kewajiban pasien ini haruslah disesuaikan dengan kemampuannya dan besar kecilnya honorarium dokter tidak boleh memengaruhi dokter dalam memberikan pelayanan kedokteran yang bermutu, sesuai standar pelayanan medic.

Dalam UU RI No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 53 dinyatakan bahwa kewajiban pasien adalah memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.Kewajiban DokterDalam menjalankan tugasnya, bagi dokter berlaku Aegroti Salus Lex Suprema, yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi. Kewajiban dokter terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri. Dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 dinyatakan bahwa kewajiban dokter atau dokter gigi adalah :

1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien

2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan

3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia

4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin pada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya

5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi

Hak Dokter

Sebagai manusia biasa dokter memiliki tanggung jawab terhadap pribadi dan keluarga, di samping tanggung jawab profesinya terhadap masyarakat. Karena itu, dokter juga memiliki hak yang harus dihormati dan dipahami oleh masyarakat sekitarnya.

Hak-hak dokter adalah sebagai berikut.

1. Melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Izin Dokter (SID) dan Surat Izin Praktik (SIP)

Dalam PP No 58 Tahun 1958 telah ditetapkan tentang wajib daftar ijazah dokter dan dokter gigi baru, yang disusul dengan Peraturan Menkes RI No 560/Menkes/Per/X/1981 tentang pemberian izin menjalankan pekerjaan dan izin praktik bagi dokter umum dan No 561/Menkes/Per/X/1981 tentang pemberian izin menjalan pekerjaan dan izin praktik bagi dokter spesialis. Menurut Pasal 7 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sehingga kini tugas registrasi dokter dan dokter gigi dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Dengan demikian, dokter yang telah memperoleh surat tanda registrasi tersebut memiliki wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki (pasal 35).

2. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga tentang penyakitnya

Informasi tentang penyakit terdahulu dan keluhan pasien yang sekarang dideritanya, serta riwayat pengobatan sebelumnya sangat membantu dokter untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Setelah diperoleh anamnesis, dokter berhak melanjutkan pemeriksaan dan pengobatan walaupun untuk prosedur tertentu memerlukan PTM.

3. Bekerja sesuai standar profesi

Dalam upaya memelihara kesehatan pasien, seorang dokter berhak untuk bekerja sesuai standar (ukuran) profesinya sehingga ia dipercaya dan diyakini oleh masyarakat bahwa dokter bekerja secara professional.

4. Menolak melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan etika, hukum, agama, dan hati nuraninya

Hak ini dimiliki dokter untuk menjaga martabat profesinya. Dalam hal ini berlaku Sa science et sa conscience, ya ilmu pengetahuan, dan ya hati nurani.

5. Mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika menurut penilaiannya kerja sama pasien dengannya tidak berguna lagi, kecuali dalam keadaan gawat darurat.

Dalam hubungan pasien dengan dokter haruslah saling harga menghargai dan saling percaya mempercayai. Jika instruksi yang diberikan dokter, misalnya untuk meminum obat berkali-kali tidak dipatuhi oleh pasien dengan alas an lupa, tidak enak dan sebagainya sehingga jelas bagi dokter bahwa pasien tersebut tidak kooperatif. Dengan demikian, dokter mempunyai hak memutuskan kontrak terapeutik.

6. Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasinya, kecuali dalam keadaan darurat atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya.

Seorang dokter harus selalu senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi. Dengan demikian, seorang dokter yang telah menguasai sesuatu bidang standar tinggi kepada pasien yang bukan bidang spesialisasinya. Karena itu, dokter berhak menolak pasien tersebut. Namun, untuk pertolongan pertama pada kecelakaan ataupun untuk pasien gawat darurat, setiap dokter berkewajiban menolongnya apabila tidak ada dokter lain yang menanganinya.7. Hak atas kebebasan pribadi dokter

Pasien yang mengetahui kehidupan pribadi dokter, perlu menahan diri untuk tidak menyebarluaskan hal-hal yang sangat bersifat pribadi dari dokternya.

8. Ketentraman kerja

Seorang dokter memerlukan suasana tentram agar dapat bekerja dengan baik. Permintaan yang tidak wajar dan sering diajukan oleh pasien/keluargnya, bahkan disertai tekanan psikis atau fisik, tidak akan membantu dokter dalam memelihara keluhuran profesinya. Sebaliknya, dokter akan bekerja dengan tenteram jika dokter sendiri memegang teguh prinsip-prinsip ilmiah dan moral/etika profesi.

9. Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter

Hamper setiap hari kepada dokter diminta surat keterangan tentang kelahiran, kematian, kesehatan, sakit dan sebagainya. Dokter berhak menerbitkan surat-surat keterangan tersebut yang tentunya berlandaskan kebenaran.

10. Menerima imbalan jasa

Dokter berhak menerima imbalan jasa dan pasien/keluarganya berkewajiban memberikan imbalan jasa tersebut sesuai dengan kesepakatan. Hak dokter menerima imbalan jasa bisa tidak digunakan pada kasus-kasus tertentu, misalnya pasien tidak mampu, pertolongan pertama pada kecelakaan, dari teman sejawat dan keluarganya.

11. Menjadi anggota perhimpunan profesi

Dokter yang melakukan pekerjaan profesi perlu menggabungkan dirinya dalam perkumpulan profesi atau perhimpunan seminat dengan tujuan meningkatkan iptek dan karya dalam bidang yang ditekuninya serta menjali keakraban antara sesame anggota.

12. Hak membela diri

Dalam hal menghadapi keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadapnya atau dokter bermasalah, dokter mempunya hak untuk membela diri dalam lembaga tempat ia bekerja, dalam perkumpulan tempat ia menjadi anggota, atau di pengadilan jika telah diajukan gugatan terhadapnya.

Dalam UU NO 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 dinyatakan bahwa hak-hak dokter adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas, memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, dan memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.Pada kasus di atas dapat kita lihat bahwa pasien meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU dll). Hal ini dapat digolongkan kedalam auto-euthanasia. Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dikenal 3 pengertian yang berkaitan dengan euthanasia, yaitu :

1) Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir

2) Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang

3) Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Lamerton dan Thiroux menyusun 4 kategori yang berkaitan dengan euthanasia, yaitu membiarkan seseorang mati, kematian belas kasihan, pembunuhan belas kasihan dan kematian otak/batang otak.

Secara umum ada 3 jenis euthanasia, yaitu :

1. Euthanasia aktif, yakni secara sengaja melakukan tindakan/langkah/perbuatan mengakhiri atau mempependek hidup penderita.

2. Euthanasia pasif, yakni secara sengaja tidak (lagi) memberikan perawatan atau bantuan medic yang dapat memperpanjang hidup penderita.

3. Auto-euthanasia, yakni penolakan secara tegas oleh pasien untuk memperoleh bantuan atau perawatan medic terhadap dirinya, dan ia tahu pasti bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.

DASAR HUKUM

Dari sudut hukum pidana, KUHP mengatur masalah euthanasia ini melalui beberapa pasalnya.

Pasal 344 KUHP

Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 345 KUHP

Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri menolongnya dalam perbuatan itu atau member sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.INFORM CONSENT

Persetujuan antara pihak pasien dengan pihak dokter dalam rangka pengobatan atau penanganan medic dapat dinyatakan secara langsung baik lisan maupun tulisan yang dikenal sebagai express consent atau inform consent, atau secara tidak langsung seperti mengikuti petunjuk atau perintah dari dokter yang dikenal sebagai implied consent. Mengenai inform consent telah diatur dalam suatu kelembagaan yang memiliki kekuatan hukum tetap dengan diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 tentang persetujuan medic.

Menurut pasal I butir (a) Permenkes Nomor 585 Tahun 1989 dinyatakan bahwa persetujuan tindakan medic atau inform consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Penjelasan pasal I butir (a) tersebut dapat dinyatakan bahwa tanpa persetujuan dari pasien maupun dari keluarga pasien tersebut, maka pemeriksaan atau penanganan medic yang dilakukan oleh dokter tersebut tidak mempunya kekuatan hukum tetap.

Dengan demikian, dalam hubungan antara pasien sebagai penerima pertolongan medis dengan dokter sebagai pemberi pertolongan medis merupakan hubungan antar subjek hukum. Artinya terhadap dokter berlaku juga ketentuan-ketentuan hukum umum sebagai dasar pertanggung jawaban hukum dalam menjalankan profesinya.

Dilihat dari segi hukum pidana masalah inform consent lebih ditekankan pada masalah persetujuannya. Suatu tindakan medis yang invasive khususnya, harus didasrkan pada persetujuan pasien. Tanpa adanya persetujuan dari pasien maka dokter yang melakukan tindakan medis itu dapat dipersalahkan karena telah melakukan tindakan pidana penganiayaan, terlebih lagi dalam tindakan medis itu juga dilakukan pembiusan (pasal 351 KUHP).KESIMPULANPada kasus di atas, yang terpenting sebenarnya adalah rambu-rambu etika, moral maupun humum yang tegas bagi para dokter, agar terdapat kejelasan tentang euthanasia. Kemajuan ilmu dan teknologi masa kini sudah saatnya diantisipasi sejak dini dengan rumusan-rumusan etika dan hukum. Diakui atau tidak, disukai atau tidak dan disengaja atau tidak, peristiwa dan masalah euthanasia hamper selalu dihadapi oleh para dokter ketika bertugas. 1