31
BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam kemajuan di bidan pengobatan five years survival rate pasien LES bisa mencapai 90% sehingga kehamilan pada pasien LES tidak dapat dihindarkan. Pasien LES diperbolehkan hamil tetapi dengan syarat penyakitnya harus dalam fase tenang dan harus mendapat pengawasan ketat. Kehamilan pada LES perlu dibahas tersendiri, karena merupakan kehamilan risiko tinggi. Diketahui bahwa kehamilan normal memberikan beberapa perubahan pada tubuh, yang mana perubahan-perubahan ini dapat mencetuskan aktivitas penyakit LES, meningkatakan risiko kehamilan pada pasien LES terutama dengan gangguan fungsi jantung atau ginjal, serta adanya autoantibody-autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat menembus plasenta atau bahkan mempengaruhi pertumbuhan plasenta. Dari laporan menyatakan bahwa kehamilan dengan LES terdapat gangguan pertumbuhan plasenta oleh berbagai sebab antara lain thrombosis, vaskulopati dan vaskulitis. AKADEMI KEBIDANAN PERMATA HUSADA SAMARINDA 1

Makalah Obstetri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam kemajuan di bidan pengobatan five years survival rate pasien LES bisa mencapai 90% sehingga kehamilan pada pasien LES tidak dapat dihindarkan. Pasien LES diperbolehkan hamil tetapi dengan syarat penyakitnya harus dalam fase tenang dan harus mendapat pengawasan ketat.

Kehamilan pada LES perlu dibahas tersendiri, karena merupakan kehamilan risiko tinggi. Diketahui bahwa kehamilan normal memberikan beberapa perubahan pada tubuh, yang mana perubahan-perubahan ini dapat mencetuskan aktivitas penyakit LES, meningkatakan risiko kehamilan pada pasien LES terutama dengan gangguan fungsi jantung atau ginjal, serta adanya autoantibody-autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat menembus plasenta atau bahkan mempengaruhi pertumbuhan plasenta. Dari laporan menyatakan bahwa kehamilan dengan LES terdapat gangguan pertumbuhan plasenta oleh berbagai sebab antara lain thrombosis, vaskulopati dan vaskulitis.Jadi jelasnya bahwa kehamilan pada LES bisa berdampak buruk pada ibu, kehamilan maupun janinnya sendiri. Risiko pada ibu antara lain memberatnya penyakit lupus atau timbulnya kobaran, sedangkan pada janin menimbulkan abortus, premature, kematian janin intra uterin, gangguan pertumbuhan serta congenital lupus.Pengelolaan kehamilan dengan LES diperlukan kerja sama antara spesialis penyakit dalam, konsultan reumatologi, spesialis kebidanan dan spesialis anak perinatlogi dengan harapan mendapat hasil kehamilan yang baik.

TujuanMengetahui penyakit dan kelainan yang dipengaruhi dan mempengaruhi kehamilan. Serta mampu mengidentifikasi penyakit dan kelainan kehamilan tersebut, sehingga diharapkan kita mampu melakukan penatalaksanaan kepada pasien yang kehamilannya dengan Lupus Erimatosus Sistemik.BAB I

PEMBAHASAN

LUPUS ERITOMATOSUS SISTEMIKLupus eritomasus sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE), merupakan prototype penyakit otoimun yang ditandai oleh produksi antibody terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. SLE terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita dan laki-laki 5:1. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokomtabilitas mayor klas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3.ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Etiologi dan pathogenesis LES masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian, terdapat banyak bukti bahwa pathogenesis LES bersifat multifactor, dan ini mencakup pengaruh factor genetic, lingkungan dan hormonal terhadap respons imun.Factor genetic memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar 10 20 % pasien LES mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang juga menderit Les. Angka terdapanya LES oada saudara kembar identik pasien LES (24 69%) lebih tinggi dari pada saudara kembar non identik (2 9 %). Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsure-unsur system imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) telah terbukti, gen-gen lain yang mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, imonoglobulin dan sitokin.Sistem neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap system imun. Penelitian telah menunjukkan bahwa system neuroendokrin dengan system imun saling mempengaruhi secara timbal balik. Beberapa penelitian berhasil menunjukkan bahwa hormone prolaktin dapat merangsang respons imun.

Pathogenesis LES dihipotesiskan sebagai berikut :

Adanya satu atau beberapa factor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetic akan menghasilkan tanaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibody maupunyang berupa sel memori. Wujud pemicu masih belum jelas. Sebagian yang baru diduga termasuk didalamnya ialah hormone seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada LES, autoantibody yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah mereka tidak tissue-specific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.

Antibody ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada LES terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yan larut, gangguan pemroresan kompleks imun dalam hati dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun diluar system fagosit mononuclear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus, koroideus, kulit, dan sebagainya.

Bagian yang terpenting dari pathogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik dalam penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat bersama beberapa lama hanya mengelihkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti dengan manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitifitas dan sebaginya yang pada akhirnya akan memenuhi criteria LES.

Gambaran klinis keterlibatan sendi atau musculoskeletal dijumpai pada 90% kasus LES, walaupun arthritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55%.

PRINSIP UMUM DALAM PENATALAKSANAAN LESPenyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan pasien LES, terutama pada pasien yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada pasien atau dengan membentuk kelompok pasien yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya.

Pada umumnya, pasien LES mengalami fotosensitifits, sehingga pasien harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan disiang hari. Pekerja dikantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela.Karena infeksi sering terjadi pada pasien LES, maka pasien harus selalu dingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pad apasien yang memperolah kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksi, pasien dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksi antibiotika harus dipertimbangakan pada pasien LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invaif lainnya.

Pengaturan kehamilan sangat penting pada pasien LES, terutama pasien dengan nefritis atau pasien yang mendapat obat-obat yang merupakan kontrindikasi untuk kehamilan, misalnya anti malaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki resiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu pengawasan aktivitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.

Sebelum pasien LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah pasie tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya pasien LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konserfatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya. KEHAMILAN PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

PENGARUH KEHAMILAN NORMAL TERHADAP PENYAKIT LES

Pada kehamilan normal terdapat peningkatan volum cairan, meningkatknya volum cairan dalam tubuh berdampak buruk pada pasien LES dengan gangguan fungsi jantung, ginjal serta hipertensi. Kenaikan volum intravaskuler sampai 30% tidak mampu ditoleransi oleh pasien LES dengan gangguan fungsi ginjal dan jantung.

Perubahan hormonal antara lain peningkatan hormone estrogen, dan prolaktin serta penurunan progesteron. Hormone- hormon ini diyakini berperan dalam pathogenesis lupus, sehingga bila ada gangguan keseimbangan hormone ini dapat mencetuskan kobaran atau memburuknya LES. Banyak laporan mengenai gangguan pertumbuhan plasenta pada kehamilan dengan LES.

Pada kehamilan normal umur trombosit menurun, sedangkan produksinya meningkat hal ini seringkali menimbulkan trombopenia yang mana kadang menimbulkan kesalahan dalam menginterprestasinya.

Pada kehamilan normal terjadi peningkatan aktivasi system koagulasi yang disertai dengan peningkatan sintesis faktor koagulan. Faktor-faktor koagulan yang meningkat pada kehamilan antara lain fibrinogen, faktor V, VIII, X, VWF, trombosit activation inhibitor 1, tombrin-antitombrin kompleks. Aktivasi system koagulasi ini dapat mencetuskan atau mengaktifkan penyakit lupus.

BEBERAPA ASPEK YANG PERLU DITINJAU PADA KEHAMILAN DENGAN LES

Tingkat kesuburan

Perencanaan kehamilan

Risiko obstetric

Segi pediatric

Pengelolaan

Masa laktasi

Jenis kontrasepsi

TINGKAT KESUBURAN PASIEN LES

Tingkat kesuburan pasien LES sama dengan perempuan tanpa LES, kecuali pada pasien-pasien yang pernah mendapat terapi kortikosteroid dosis tinggi, siklofosfamid dosis tinggi atau menderita gagal ginjal terminal. Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid pada pasien dengan lupus nefritis sering menimbulkan ovarian failure. Insiden ovarian failure karena siklofosfamid berkisar antara 11-59%. Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko ovarian failure karena siklofosfamid yaitu umur relative muda saat pemberian, pemberian secara oral dan dosis kumulatif yang besar. Dilaporkan bahwa ovarian failure lebih sering terjadi pada pasien yang mendapat siklofosfamid per oral dibandingkan dengan intravena.

PERENCANAAN KEHAMILAN

Sejumlah penelitian mununjukkan bahwa LES aktif bukanlah waktu yang tepat untuk memulai kehamilan, karena dilaporkan bahwa angka kekambuhan LES dengan kehamilan sangat tinggi. Mengingat adanya beberapa resiko kehamilan maka dianjurkan pasien LES yang merencanakan kehamilan sebaiknya dipersiapkan sebaik mungkin. Kehamilan baru dimulai bila penyakit dalam kondisi tenang minimal 6 bulan. Beberapa data retrospektif melaporkan data angka kekambuhannya berkisar 87%, sedangkan pada kehamilan dengan lupus nefritis angka kekambuhan berkisar 7,4%-63%. Bila ada lupus nefritis saat kehamilan, maka lupus nefritisnya akan mudah jatuh kearah gagal ginjal akut. Kekambuhan LES dengan kehamilan dapat terjadi setiap saat baik saat awal kehamilan maupun pasca persalinan. Gejala klinik biasanya, hanya berupa arthritis atau bercak dikulit, demam, lelah, serositis, atau trombositopenia, sedangkan yang mengenai organ mayor seperti ginjal, CNS berkisar antara 5-46%.

Penghentian obat-obatan perlu dipertimbangkan sejak perencanaan kehamilan. Klorokuin atau hidroksiklorokuin sebaiknya dihentikan sebelum kehamilan terjadi, idealnya dihentikan 6 bulan sebelum kehamilan, dengan asumsi 3 bulan awal waktu yang dibutuhkan untuk mengekskresi obat secara keseluruhan dan 3 bulan berikutnya untuk mengamati apakah terjadi kekambuhan setelah obat tersebut dihentikan. Sikklofosfamid, metotreksat dan warfarin bersifat teratogenik maka bila ada kehamilan segera mungkin dihentikan, bila pasien mendapat warfarin sebaiknya dilanjutkan dengan suntikan heparin.

RISIKO OBSTETRIK PADA KEHAMILAN DENGAN LES

Preeklamsia

Pasien dengan LES mempunyai risiko tinggi terjadi preeklamsi selama kehamilan. Insidennya lebih tinggi dibanding bukan pasien LES, yaitu berkisar 5-38%. Risiko eklamsia ini makin meningkat pada primigravida, adanya riwayat hipertensi, preeklamsia, abortus sebelumnya, obesitas, dan antibody fosfolipid. Peningkatan tromboksan A2 plasenta diduga berperan pada timbulnya preeklamsia.

Membedakan preeklamsia dengan lupus nefritis pada kehamilan dengan LES cukup sulit, sebab keduanya dapat menimbulkan hipertensi, proteinuria, edema dan faal ginjal yang cepat memburuk. Ada beberapa patokan yang membantu untuk membedakan kedua kondisi ini. Pada proteinuria yang terkait dengan lupus nefritis biasanya ditemukan tanda aktivitas penyakit LES pada organ lain, misalnya ulkus di mulut, arthritis,vaskulitis,ruam,limfadenopati. Sedimen urin pada lupus nefritis lebih sering menunjukkan gambaran sedimen yang aktif yaitu didapatkan peningkatan leukosit , eritrosit dan torak granuler. Sifat proteinuria pada lupus nefritis biasanya lebih cepat memburuk dibandingkan preeklamsia. Pemeriksaan komplemen dan anti-dsDNA juga sangat membantu. Pada preeklamsia kadar C3 dan C4 biasanya normal, sedangkan pada lupus nefritis C3 dan C4 menurun disertai peningkatan kadar anti-dsDNA. Pemberian prednisone pada preeklamsia akan memperburuk kondisi, sedangkan pada lupus nefritis menunjukkan respons yang baik. Kedua kondisi ini harus dipastikan dengan segera karena cara pengelolaannya jauh berbeda.

Kehamilan dengan LES yang mempunyai riwayat preeklamsia berat pada kehamilan sebelumnya harus dilakukan terminasi kehamilannya pada atau sebelum umur kehamilannya mencapai 32 minggu.

Lupus Nefritis dengan Kehamilan

Insiden lupus nefritis pada kehamilan dengan LES dangat tinggi bisa mencapai 60% dibanding pada LES tanpa kehamilan. Gambaran klinis lupus nefritisnya juga lebih berat dan sering mencetuskan eklamsia dan gagal ginjal akut. Pasien lupus nefritis jenis histopatologis proliferative difus, sindrom nefrotik,hipertensi berat, dan serum kreatinin >2mg/dL dianjurkan untuk tidak hamil. Menurut Boumpas and Balow pasien lupus nefritis diperbolehkan hamil dengan syarat yaitu penyakitnya terkontrol berlangsung paling sedikit 6 bulan, proteinuria