Penjelasan H ukum
tentang GADAI SAHAM
Suharnoko Kartini Muljadi
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepanite
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 1
Mah ka
m ah
PENJELASAN HUKUM TENTANG EKSEKUSI GADAI SAHAM
Isi1-ok.indd 1 12/13/2010 11:19:32 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepanite
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 2
Mah ka
m ah
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta.
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Diterbitkan pertama kali
oleh Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010
Suharnoko, Kartini Muljadi
Lembaga Kajian Hukum Perdata Universitas Indonesia
Endah Hartati Rosa Agustina Akhmad Budi Cahyono Henny Marlina Abdul
Salam Karisa Utami M. Yahdi Salampessy Gita Nurthika
Penulis:
Pengulas:
Peneliti:
Editor:
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung
jawab Percetakan
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fotokopi, mikrofilm, VCD,
CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Sebastian Pompe
Gregory Churchill
Mardjono Reksodiputro
Binziad Kadafi
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepanite
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 3
Mah ka
m ah
DAFTAR ISI
Perspektif Internasional
.........................................................................................
19
Laporan Penelitian
......................................................................................................
28
Peraturan Perundang-undangan
....................................................................
28 1. Permasalahan Hukum Mengenai Eksekusi Gadai Saham
Menurut Para Ahli
...............................................................................................
28 2. Permasalahan Hukum Mengenai Eksekusi Gadai Saham
yang Dibahas dalam Tesis-Tesis
.....................................................................
29 3. Permasalahan Hukum Mengenai Gadai Saham
Menurut Kajian Literatur dan Peraturan Perundang-undangan .......
34
B. Ekeskusi Gadai Saham Menurut Putusan Pengadilan
........................... 43 1. Latar Belakang Munculnya Lembaga
Gadai Saham .............................. 43 2. Arti Gadai, Saham,
dan Gadai Saham
.......................................................... 44
Isi1-ok.indd 3 12/13/2010 11:19:32 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepanite
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 4
Mah ka
m ah
iv Perspektif Internasional
3. Urgensi Restatement tentang Gadai Saham
............................................ 44 4. Pembahasan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ......... 46
Daftar Putusan
....................................................................................................................
59
Daftar Pustaka
.....................................................................................................................
61
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepanite
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 5
Mah ka
m ah
KATA PENGANTAR PENJELASAN HUKUM TENTANG EKSEKUSI GADAI SAHAM
Ketiadaan kepastian hukum merupakan masalah utama di Indonesia pada
zaman modern ini. Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan
sistemik yang mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Ketidakpastian
hukum juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan
politik, social dan ekonomi yang stabil dan adil. Singkat kata,
jika seseorang ditanya apa hukum Indonesia tentang subyek tertentu,
sangat sulit bagi orang tersebut untuk menjelaskannya dengan pasti,
apalagi bagaimana hukum tersebut nanti diterapkan. Ketidakpastian
ini banyak yang bersumber dari hukum tertulisnya yang umumnya tidak
jelas dan kontradiktif satu sama lain. Selain dari itu, adalah
ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh institusi pemerintah
maupun pengadilan. Yang menjadi garis bawah dari ketidakpastian
hukum adalah lemahnya lembaga dan profesi hukum.. Itu dapat kita
lihat di lingkungan peradilan, dimana hakim terus menerus tidak
menjaga konsistensi dalam putusan mereka. Advokasi pun tidak
berhasil untuk betul-betul jaga standar profesi mereka.
Ketidakpastian hukum juga bersumber dari dunia akademik yang
ternyata kurang berhasil untuk membangun suatu disiplin ilmiah
terpadu dalam analisa peraturan perundangan dan putusan pengadilan.
Lemahnya ‘legal method’ di dunia akademik adalah alas an pokok
kenapa akuntabilitas pengadilan dan lembaga negara tetap
lemah.
Proyek Restatement ini merupakan upaya untuk menjawab isu
ketidakpastian hukum tersebut. Tujuan utama dari proyek ini adalah
untuk mewujudkan suatu gambar yang jelas tentang beberapa konsep
penting hukum Indonesia modern. Metode yang digunakan adalah
analisis terhadap tiga sumber hukum: peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif. Tujuan kedua
dari proyek ini adalah untuk membangun kembali ‘the legal method’,
yaitu sistem penelitian dan diskursus hukum yang riil oleh kalangan
universitas, institusi penelitian dan organisasi swadaya
masyarakat. Tentunya Restatement ini tidak dimaksudkan sebagai kata
terakhir atau tertinggi untuk suatu topik hukum yang dibahas di
dalamnya. Namun, Restatement ini bisa memperkaya nuansa hukum
Indonesia, terutama karena analisisnya bersandarkan pada putusan
pengadilan dan literatur yang berwibawa mulai Indonesia merdeka.
Ahli hukum, hakim, dan advokat jelas mempunyai kebebasan untuk
menyetujui atau menolak hasil analisis dalam Restatement ini, namun
kami berharap supaya Restatement ini bisa mencapai suatu kepastian
hukum lebih besar untuk topik-topik tertentu, terutama dalam
struktur
Isi1-ok.indd 5 12/13/2010 11:19:32 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepanite
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 6
Mah ka
m ah
vi Perspektif Internasional
Alasan kami memilih topik Gadai Saham sebagai salah satu pokok
bahasan Restatement adalah karena terdapat inkonsistensi putusan
pengadilan terkait lembaga hukum Gadai Saham. Selain itu
perkembangan kegiatan ekonomi terkait dengan kegiatan usaha
persekutuan perdata melahirkan banyak “kekosongan hukum” terkait
diskursus hukum perdata tentang gadai saham. Misalnya, apakah
eksekusi gadai saham bisa dilakukan di bawah tangan atau harus
melalui penetapan pengadilan? Bagaimana bila terdapat parate
eksekusi untuk saham tersebut? Bagaimana pula jika dalam parate
eksekusi pihak debitur tidak mau bekerja sama atau
kooperatif?
Akhir kata, kami berharap “mimpi” kami untuk mewujudkan koherensi,
konsistensi dan kesesuaian diskursus hukum perdata dapat
terakomodasi dengan baik dalam program Restatement ini sehingga
mempunyai faedah bagi para stakeholders.
Hormat kami,
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepanite
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 7
Mah ka
m ah
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pokok-pokok dalam Restatement Eksekusi Gadai Saham adalah sebagai
berikut.
A. Pengertian “saham” menurut UPT 2007 1. Penulis diminta untuk
membuat Restatement tentang Eksekusi Gadai Saham.
Pada saat ini, sudah berlaku UPT 2007 maka pengertian “saham” dalam
Restatement ini adalah saham menurut UPT 2007. Dengan demikian,
juga harus di sebutkan cara dan persyaratan penggadaian saham
menurut UPT 2007.
2. Penulis juga mengemukakan ketentuan dalam UPT 2007 yang harus
diperhatikan dan diatur dalam Perjanjian Gadai Saham, supaya
kreditor/pemegang gadai dapat melaksanakan hak atas saham yang
digadaikan sebagaimana mestinya.
B. Pengertian “gadai” sebagaimana diatur dalam Pasal 1150 dan
Pasal
1153 KUH Perdata serta dalam Pasal 60 UPT 2007
C. Surat kuasa yang tidak dapat ditarik kembali yang diberikan oleh
pemberi gadai kepada kreditor untuk menjual barang yang digadaikan
tidak mengakibatkan kreditor secara otomatis menjadi pemilik barang
yang digadaikan.
Menurut hemat penulis, surat kuasa tersebut tidak mengakibatkan
kreditor/ pemegang gadai secara otomatis menjadi pemilik barang
yang digadaikan sehingga pemberian kuasa itu tidak melanggar
ketentuan Pasal 1154 KUH Perdata.
D. Kalimat pertama Pasal 1155 KUH Perdata.
Kalimat pertama Pasal 1155 KUH Perdata sebaiknya dirumuskan kembali
sesuai dengan maksudnya, yaitu sebagai berikut. Jika
debitor/pemberi gadai cidera janji setelah tenggang waktu yang
ditentukan untuk membayar kembali utang lampau atau jika tidak
ditentukan suatu tenggang waktu, setelah diperingati untuk membayar
tidak juga membayar utangnya, maka kreditor/pemegang gadai oleh
Undang-Undang diberi hak untuk melaksanakan gadai atas
kewenangannya sendiri (“parate
Isi1-ok.indd 1 12/13/2010 11:19:32 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepanite
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 8
Mah ka
m ah
2 Perspektif Internasional
executie”) dengan cara menjual barang yang digadaikan di muka umum
(lelang), menurut kebiasaan setempat dengan syarat-syarat yang
lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah
piutangnya beserta bunga dan semua biaya yang berkaitan dengan
eksekusi tersebut, dari pendapatan penjualan barang yang
digadaikan. Debitur/pemberi gadai dan kreditur/pemegang gadai dapat
membuat perjanjian bahwa jika debitur/pemberi gadai cidera janji,
gadai dapat dilaksanakan dengan perantaraan/izin hakim.
E. Kalimat pertama Pasal 1156 KUH Perdata Kalimat pertama Pasal
1156 KUH Perdata sebaiknya dirumuskan kembali se- suai dengan
maksud pasal tersebut, yaitu jika debitor/pemberi gadai cidera
janji maka dengan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang, kreditor/pemegang gadai dapat mohon supaya
hakim menetapkan cara eksekusi gadai dengan cara penjualan di bawah
tangan (bukan lelang) dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan
oleh hakim, atau hakim dapat menetapkan bahwa barang yang
digadaikan boleh dibeli sendiri oleh pemegang gadai dengan harga
yang ditetapkan hakim.
F. Persoalan: debitor belum membayar lunas utangnya, tetapi
perjanjian gadai saham yang menjaminnya sudah berakhir.
Hal ini dibahas dalam halaman 13 Restatement ini.
G. Komentar atas Putusan dan Penetapan Pengadilan
Komentar atas Putusan dan Penetapan Pengadilan hanya didasarkan
pada “Bagan Ringkasan Isu hukum mengenai Gadai Saham berdasarkan
Putusan dan Penetapan Pengadilan” karena sayang sekali penulis
tidak menerima salinan Putusan dan/atau Penetapan Pengadilan yang
bersangkutan secara lengkap.
2 Ringkasan Eksekutif
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepanite
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 9
Mah ka
m ah
DOKUMEN PENJELAS
EKSEKUSI GADAI SAHAM
A. Pengertian Saham Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas
1. Pengertian “Saham” Jika kita akan membicarakan gadai saham,
perlu kiranya ditetapkan terlebih dahulu “saham” apa yang
digadaikan itu. Yang dimaksud dengan “saham” di sini adalah saham
suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia yang sekarang berlaku, yakni Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang berlaku sejak
tanggal 16 Agustus 2007 (selanjutnya disebut “UPT 2007”). UPT 2007
hanya mengenal saham atas nama. Sebelum berlakunya UPT 2007, suatu
perseroan terbatas yang didirikan menurut undang-undang yang
berlaku di Republik Indonesia diperkenankan mengeluarkan saham atas
nama dan saham atas unjuk. Namun, jelas dalam Pasal 48 UPT 2007
ditetapkan bahwa saham yang dapat dikeluarkan oleh perseroan
terbatas yang didirikan menurut UPT 2007 (selanjutnya disebut
“Perseroan”) adalah hanya saham atas nama pemiliknya. Oleh karena
itu, logis bahwa dalam Pasal 50 UPT 2007, Perseroan diwajibkan
menyelenggarakan dan menyimpan Daftar Pemegang Saham (selanjutnya
disebut “DPS”) dan Daftar Khusus.
2. Tentang Klasifikasi Saham Walaupun menurut UPT 2007 hanya ada
saham atas nama, Pasal 53 UPT 2007 menetapkan bahwa dalam Anggaran
Dasar Perseroan dapat ditetapkan
Isi1-ok.indd 3 12/13/2010 11:19:33 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 10
Mah ka
m ah
4 Perspektif Internasional
lebih dari satu klasifikasi saham, dan jika ada lebih dari satu
klasifikasi saham, salah satu di antaranya harus ditetapkan sebagai
saham biasa. Saham biasa adalah saham yang memberi hak kepada
pemegangnya untuk mengeluarkan suara dan ikut serta mengambil
keputusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham mengenai segala hal yang
berkaitan dengan pengurusan Perseroan, dan berhak menerima dividen
yang dibagikan serta menerima sisa kekayaan hasil likuidasi. Ayat
(2) dan ayat (3) Pasal 60 UPT 2007 mengatur tentang Gadai Saham.
Ayat (2) Pasal 60 tersebut dengan jelas memungkinkan saham suatu
Perseroan diagunkan dengan Gadai atau Jaminan Fidusia, sepanjang
tidak ditentukan lain dalam Anggaran Dasar Perseroan. Ketentuan ini
menimbulkan pertanyaan, apakah mungkin dalam Anggaran Dasar suatu
Perseroan ditentukan bahwa saham Perseroan yang bersangkutan tidak
dapat diagunkan dengan gadai? Menurut hemat penulis, mungkin saja
karena adanya kata-kata “sepanjang tidak ditentukan lain”. Yang
juga perlu diperhatikan adalah ketentuan dalam ayat (3) Pasal 60
UPT 2007 yang menentukan bahwa gadai saham wajib dicatat dalam DPS
dan Daftar Khusus yang memuat keterangan tentang saham yang
dipegang anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Perseroan
beserta keluarga mereka dalam Perseroan dan/atau pada perseroan
lain serta tanggal saham itu diperoleh. Hal-hal ini menimbulkan
pertanyaan “Apakah gadai atas saham yang belum atau tidak dicatat
dalam DPS dan Daftar Khusus tidak sah dan/ atau tidak berlaku
sehingga tidak ada dampak hukumnya? Siapa yang berkewajiban untuk
mendaftarkan gadai atas saham itu?” Menurut hemat penulis, demi
kepastian hukum, setelah akta gadai atas saham ditandatangani,
sebaiknya dipastikan agar gadai atas saham tersebut dicatat dalam
DPS, dan jika gadai atas saham itu mengenai saham yang dipegang
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dan/ atau keluarga
mereka, sebaiknya gadai saham itu dicatatkan dalam Daftar Khusus.
Kreditur yang menerima gadai sebaiknya mensyaratkan agar kepadanya
dalam perjanjian gadai diberi kuasa yang tidak dapat ditarik
kembali oleh pemberi gadai untuk memberitahukan Direksi Perseroan
tentang dibuatnya perjanjian gadai dan supaya Direksi Perseroan
mencatatkan gadai saham yang bersangkutan dalam DPS dan Daftar
Khusus
4 Dokumen Penjelas
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 11
Mah ka
m ah
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham 5
Perseroan untuk memastikan keabsahan gadai saham yang bersangkutan.
Lagi pula Kreditor sebaiknya memperoleh bukti tertulis tentang
pencatatan gadai itu dari Direksi Perseroan yang sahamnya
digadaikan itu. Menurut hemat penulis, penting sekali diperhatikan
ketentuan ayat (4) Pasal 60 UPT 2007, yang berbunyi “Hak suara atas
saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada
pada pemegang saham”. Ketentuan tersebut penting untuk dibicarakan
dan dipikirkan akibatnya karena jika seandainya pemberi gadai tidak
beritikad baik dan ia sendiri menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham
dan mengeluarkan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham serta
misalnya, mengusulkan untuk membagi dividen yang sangat besar
jumlahnya atau untuk memberi wewenang kepada Direksi Perseroan
untuk memindahkan hak atas aset utama Perseroan sehingga jika
usul-usul itu disetujui Rapat Umum Pemegang Saham, nilai intrinsik
Perseroan dapat berkurang dan tentunya nilai saham juga dapat
berkurang. Hal ini dapat sangat merugikan pemegang gadai. Pada
praktiknya, dalam perjanjian gadai, pemberi gadai disyaratkan untuk
memberi kuasa kepada pemegang gadai, untuk atas nama pemberi gadai
saham, menghadiri dan mengeluarkan suara dalam Rapat Umum Pemegang
Saham Perseroan berkaitan selama utang belum dibayar lunas. Ini
merupakan proteksi bagi pemegang gadai.
3. Gadai Pada Pasal 1150 KUH Perdata ditentukan apa yang dimaksud
dengan gadai, yaitu sebagai berikut. Gadai adalah suatu hak yang
diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang
lain yang bertindak atas nama orang yang berutang, dan yang
memberikan kewenangan kepada yang berpiutang untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada pihak
yang berpiutang lainnya; kecuali, biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan
barang tersebut setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana
harus didahulukan.
a. Ciri-Ciri Gadai Ciri-ciri gadai adalah sebagai berikut. 1)
Berdasarkan Pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah accessoir
pada
perjanjian utang-piutang yang dijaminnya; berakhirnya
perjanjian
Isi1-ok.indd 5 12/13/2010 11:19:33 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 12
Mah ka
m ah
6 Perspektif Internasional
utang-piutang mengakibatkan berakhirnya perjanjian gadai yang
berkaitan.
2) Hak gadai bersifat kebendaan dan mengikuti benda gadai (droit de
suite) karenanya pemegang gadai berhak menuntut haknya atas benda
yang digadaikan dalam tangan siapa pun benda itu berada dan
pemegang gadai berhak menjual benda yang digadaikan jika debitor
cidera janji.
3) Pemegang gadai berkedudukan “preferen”, yang berarti harus
didahulukan di antara para kreditor lainnya, dan untuk didahulukan
dalam penerimaan pembayaran tagihannya dari hasil penjualan benda
yang digadaikan, kecuali jika ditentukan lain oleh Undang-Undang.
Misalnya, pembayaran biaya lelang dan biaya untuk menyelamatkan
barang gadai, tagihan pajak negara harus didahulukan (Pasal 1133
jo. Pasal 1137 jo. 1150 KUH Perdata).
4) Pemegang gadai berkedudukan sebagai “separatis”, yaitu pemegang
gadai dapat mengeksekusi hak gadainya seolah-olah debitor tidak
dinyatakan pailit. Hak eksekusi tersebut dapat ditangguhkan untuk
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah keputusan
kepailitan debitor diucapkan (Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 56 ayat
(1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
5) Menurut Pasal 1160 KUH Perdata, jika utang yang dijamin dengan
gadai dibayar untuk sebagian, hak gadai tidak hapus untuk
sebagian.
Di halaman 131, buku karangan J. Satrio S.H., “Hukum Jaminan,
Hak-Hak Jaminan Kebendaan” Tahun 2002, ditulis: “Setiap hutang (dan
setiap bagian dari hutang) menindih setiap bagian maupun seluruh
benda jaminan sebagai satu kesatuan, bukan sebagai benda berdiri
sendiri- sendiri, sekalipun benda jaminannya dapat
dibagi-bagi.”
6) Menurut Pasal 1150 dan Pasal 1152 KUH Perdata, benda yang
dijaminkan harus dilepaskan dari kekuasaan pemiliknya dan harus
diserahkan dalam kekuasaan kreditor atau pihak ketiga yang
disetujui kreditor, debitor dan pemberi gadai. Ini adalah syarat
pokok gadai.
b. Gadai Saham Pasal 1153 KUH Perdata menentukan bahwa “Hak gadai
atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali surat-surat
tunjuk atau surat-surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan
perihal penggadaiannya kepada
6 Dokumen Penjelas
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 13
Mah ka
m ah
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham 7
orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan.
Oleh orang ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang
izinnya si pemberi gadai dapat diminta suatu bukti tertulis.”
Dalam hubungan ini, perlu diperhatikan Pasal 60 UPT 2007 yang pada
dasarnya berbunyi sebagai berikut.
1) Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 UPT 2007 kepada pemiliknya.
2) Saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia
sepanjang tidak ditentukan lain dalam Anggaran Dasar.
3) Gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah
didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
wajib dicatat dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 UPT 2007.
4) Hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan
fidusia tetap berada pada pemegang saham.
c. Kreditor/Pemegang Gadai Dilarang secara Otomatis Menjadi Pemilik
Barang yang Digadaikan jika Debitor Cidera Janji
Pasal 1154 KUH Perdata berbunyi “Jika yang berutang atau pemberi
gadai tidak memenuhi kewajibannya, maka yang berpiutang tidak
diperkenankan memiliki barang yang digadaikan. Semua janji yang
bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal.” Jadi, Pasal 1154
KUH Perdata melarang bahwa dalam perjanjian gadai dicantumkan jika
debitor/pemberi gadai cidera janji, kreditor secara
otomatis/langsung menjadi pemilik benda yang digadaikan itu. Namun,
Kreditor tidak dilarang untuk membeli benda yang digadaikan, asal
melalui prosedur eksekusi sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, misalnya baca Pasal 1155 dan 1156
KUH Perdata. Pembelian demikian menurut hemat penulis, tidak
bertentangan dengan Pasal 1154 KUH Perdata karena dalam hal ini,
kreditor tidak otomatis menjadi pemilik benda yang digadaikan.
Tentang hubungan ketentuan Pasal 1154 KUH Perdata dengan surat
kuasa yang tidak dapat dicabut kembali yang diberikan oleh debitor/
pemberi gadai kepada kreditor/penerima gadai, untuk menjual benda
yang digadaikan dengan cara apa pun dan dengan harga berapa pun,
telah dikaji oleh Lembaga Kajian Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (selanjutnya disebut “LKHP”).
Isi1-ok.indd 7 12/13/2010 11:19:33 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 14
Mah ka
m ah
8 Perspektif Internasional
Di halaman 1 butir 3 dan halaman 17 “Laporan Penelitian
Eksekusi
Gadai, Lembaga Kajian Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas
Indonesia, Pengkajian Literatur/Dokrin/Pendapat
Ahli/Tesis/Buku/Jurnal
Hukum” (selanjutnya disebut “Laporan Literatur”) dan di halaman 14
butir
3) “Laporan Penelitian Peraturan Perundang-undangan Eksekusi
Gadai
Saham” (selanjutnya disebut “Laporan Peraturan Perundangan”) serta
di
halaman 14 butir 3) “Laporan Penelitian Putusan Eksekusi Gadai
Saham”
(selanjutnya disebut “Laporan Putusan”), LKHP menguraikan
pendapatnya,
yang pada pokoknya menyatakan bahwa naskah surat kuasa mutlak
atau
irrevocable power of attorney yang isinya, debitor/pemberi gadai
memberi
kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada kreditor/pemegang
gadai
untuk menjual saham yang digadaikan, dengan cara dan harga
yang
ditentukan oleh kreditor pemegang gadai sendiri, pada dasarnya
tidak
dengan sendirinya merupakan tindakan kepemilikan oleh kreditor
penerima
gadai sebagaimana dilarang oleh Pasal 1154 KUH Perdata. Akan
tetapi,
(masih menurut LKHP) seharusnya surat kuasa tersebut tidak dibuat
sebelum
debitor/pemberi gadai melakukan wanprestatie, tetapi seharusnya
dibuat
setelah debitor/pemberi gadai melakukan wanprestatie.
Selanjutnya, LKHP setuju dengan pendapat Henk Snijders yang
disampaikan dalam Seminar tentang Eksekusi Gadai Saham di
Jakarta,
tahun 2010 bahwa untuk melakukan penjualan benda yang
digadaikan
secara tertutup (private sale), surat kuasa mutlak untuk menjual
tidak
cukup.
Menurut hemat penulis, surat kuasa yang tidak dapat ditarik
kembali
tersebut, tidak mengakibatkan kreditor/pemegang gadai secara
otomatis
menjadi pemilik benda yang digadaikan sehingga surat kuasa itu
tidak
melanggar Pasal 1154 KUH Perdata; tetapi perlu diperhatikan juga
bahwa
pada waktu mempergunakan surat kuasa tersebut,
kreditor/pemegang
gadai tidak boleh melanggar prosedur eksekusi sebagaimana diatur,
antara
lain, dalam Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUH Perdata.
Penulis berpendapat bahwa untuk dapat melakukan “private
sale”
suatu barang gadai, kreditor/pemegang gadai harus terlebih
dahulu
mengajukan permohonan kepada hakim untuk memperoleh izin
menjual
barang gadai itu tanpa melalui lelang, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
1156 KUH Perdata; jadi tidak cukup hanya dengan menggunakan
surat
kuasa yang tidak dapat ditarik kembali sebagaimana dimaksud di
atas.
8 Dokumen Penjelas
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 15
Mah ka
m ah
B. Eksekusi Gadai Saham
Dalam membicarakan eksekusi gadai saham, kita harus memperhatikan
ketentuan tentang pemindahan hak atas saham Perseroan yang
tercantum berturut-turut dalam Pasal 55, 56, 57, 58, dan Pasal 59
UPT 2007 sehingga tidak menjumpai kendala ketika melakukan eksekusi
gadai saham yang bersangkutan.
Alangkah baiknya jika pembuat konsep perjanjian gadai saham
mengingat bahwa ketentuan tentang pemindahan hak atas saham dalam
Anggaran Dasar Perseroan berbeda dari satu perseroan ke perseroan
lain.
1. “Parate Executie” Ketentuan yang berkaitan dengan “parate
executie” adalah kalimat pertama Pasal 1155 KUH Perdata yang
berbunyi sebagai berikut. “Jika oleh para pihak tidak diperjanjikan
lain, maka pihak yang berpiutang berhak, jika pihak yang berutang
atau pemberi gadai cidera janji, setelah tenggang waktu yang
ditentukan lampau, atau jika tidak ditentukan suatu tenggang waktu,
setelah diberikan peringatan untuk membayar, menyuruh menjual
barang yang digadaikan di muka umum menurut kebiasaan setempat
serta dengan syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk
mengambil pelunasan jumlah piutangnya, beserta bunga dan biaya dari
hasil penjualan tersebut.” Kalimat pertama Pasal 1155 KUH Perdata
mengandung kata-kata “jika oleh para pihak tidak diperjanjikan
lain”. Kata-kata ini sering disalahtafsirkan, yaitu ditafsirkan
bahwa jika debitor/pemberi gadai cidera janji, para pihak dalam
perjanjian gadai dapat menentukan bahwa kreditor berhak menyuruh
agar benda dijual di bawah tangan (“private sale”). Tafsiran ini
tidak benar karena menurut hemat penulis, maksud kalimat pertama
Pasal 1155 KUH Perdata adalah sebagai berikut.
Jika debitor/pemberi gadai cidera janji sesudah tenggang waktu yang
ditentukan lampau atau jika tenggang waktu tidak ditentukan, maka
sesudah disomasi oleh Pengadilan untuk memenuhi kewajibannya, dan
debitor tetap tidak memenuhi kewajibannya, maka Undang- Undang
memberi hak kepada kreditor/pemegang gadai untuk melaksanakan gadai
dengan “parate executie” (zonder tussenkomst van de Rechter,
eigenmachtig verkoop). Pemegang gadai siap (paraat) untuk menjual
benda yang digadaikan atas kewenangannya sendiri,
Isi1-ok.indd 9 12/13/2010 11:19:33 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 16
Mah ka
m ah
10 Perspektif Internasional
cara lain, yaitu dengan perantaraan hakim (met tussenkomst van
de
Rechter).
cara eksekusi dengan atau tanpa perantaraan hakim, mereka tidak
boleh
menyetujui bahwa benda yang digadaikan itu dijual di bawah
tangan
(“private sale”).
digadaikan atas kekuasaan sendiri (“parate executie”) terjadi demi
hukum,
yaitu berdasarkan Undang-Undang dan tidak karena diperjanjikan
oleh/
antara kreditor, debitor, dan pemberi gadai.
Di sinilah letak perbedaan antara gadai di satu pihak, dan hipotik
serta
hak tanggungan di pihak lain. Pasal 1178 kalimat kedua KUH Perdata
dan
Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak
Tanggungan, pada pokoknya mengatur bahwa dalam Akta Pemberian
Hipotik/Hak Tanggungan dapat diperjanjikan bahwa pemegang
Hipotik/
Hak Tanggungan pertama diberi hak untuk menjual atas
kewenangannya
sendiri objek agunan, jika debitor/pemberi hipotik/hak tanggungan
cidera
janji (beding van eigenmachtig verkoop).
Jadi, “parate executie” pada hipotik dan hak tanggungan tidak
terjadi demi
hukum, tetapi harus dengan tegas diperjanjikan antara
debitor/pemberi
agunan dan pemegang hipotik/hak tanggungan yang pertama.
Menurut Pasal 1155 KUH Perdata, penjualan barang yang
digadaikan
dengan “parate executie” harus dilakukan dengan cara lelang. Jika
pemberi
gadai dan kreditor menginginkan penjualan dengan cara di bawah
tangan
(“private sale”), harus ditempuh cara yang diatur dalam Pasal 1156
KUH
Perdata. Kreditor/pemegang gadai dapat melaksanakan eksekusi
gadai
atas kewenangan sendiri tanpa parantaraan hakim yang biasanya
disebut
“parate executie”, dengan cara melelang barang yang digadaikan itu
dengan
perantaraan kantor lelang.
Di halaman 97 s/d halaman 100, Edisi 2007, Buku “Pedoman
Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum”, yang dikeluarkan
oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia, ditentukan tentang cara
lelang,
antara lain, sebagai berikut.
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 17
Mah ka
m ah
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham 11
- Pengumuman lelang harus dilakukan di harian yang terbit di kota
atau kota yang berdekatan dengan tempat objek lelang
terletak.
- Lelang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 40/
PMK.07/2006 tanggal 30 Mei 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
dan S.1908 Nomor 189 jo S.1941 Nomor 3, antara lain, diatur cara
penyerahan surat penawaran yang harus ditulis dalam bahasa
Indonesia dan harus ditandatangani oleh penawar. Kemudian, surat
penawaran setelah memenuhi syarat, disahkan oleh pejabat kantor
lelang.
- Penawar tidak boleh mengajukan surat penawaran lebih dari satu
kali untuk suatu barang yang sama.
- Untuk dapat ikut serta dalam pelelangan, para penawar diwajibkan
menyetor uang jaminan yang jumlahnya ditetapkan oleh pejabat
lelang, dan uang jaminan tersebut akan diperhitungkan dengan harga
pembelian jika penawar bersangkutan ditunjuk sebagai pembeli.
- Pembeli tidak boleh menguasai barang yang telah dibelinya sebelum
uang pembelian dilunasi sesuai dengan akta pemindahan hak atas
barang yang digadaikan.
Selanjutnya, akta pemindahan hak atas saham atau salinannya
disampaikan kepada Perseroan yang mengeluarkan saham berkaitan, dan
Direksi Perseroan wajib mencatat pemindahan hak atas saham tersebut
dalam DPS/Daftar Khusus dan memberitahukan perubahan susunan
pemegang saham itu kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pencatatan pemindahan hak
untuk dicatat dalam Daftar Perseroan Terbatas (Pasal 56 UPT 2007).
Penulis menyarankan supaya kalimat pertama Pasal 1155 KUH Perdata
dirumuskan kembali sebagai berikut.
”Jika debitor/pemberi gadai cidera janji setelah tenggang waktu
yang ditentukan lampau, atau jika tidak ditentukan suatu tenggang
waktu, setelah diberikan peringatan untuk membayar,
kreditor/pemegang gadai oleh Undang-Undang diberi hak untuk
melaksanakan gadai atas kewenangannya sendiri (“parate executie”)
dengan cara menjual barang yang digadaikan di muka umum (lelang)
menurut kebiasaan setempat dengan syarat-syarat yang lazim berlaku,
dengan maksud
Isi1-ok.indd 11 12/13/2010 11:19:33 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 18
Mah ka
m ah
12 Perspektif Internasional
untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan semua
biaya yang berkaitan dengan eksekusi tersebut, dari pendapatan
penjualan barang yang digadaikan.”
Debitur/pemberi gadai dan kreditur/pemegang gadai dapat membuat
perjanjian bahwa apabila debitur/pemberi gadai cidera janji, gadai
dapat dilaksanakan dengan perantaraan/izin hakim.
2. Eksekusi Gadai dengan Perantaraan/Izin Hakim Kalimat pertama
Pasal 1156 KUH Perdata menentukan bahwa dalam segala hal, jika
debitor/pemberi gadai cidera janji, kreditor dapat menuntut di
hadapan Pengadilan (in rechten vorderen) agar a. benda yang
digadaikan dapat dijual menurut cara yang ditentukan
oleh hakim untuk dapat melunasi utang debitor beserta bunga dan
biaya, atau
b. atas tuntutan kreditor, hakim dapat mengabulkan permohonan
kreditor agar barang yang digadaikan tetap berada pada kreditor,
untuk suatu jumlah yang ditetapkan oleh hakim dalam putusannya,
sampai sejumlah utang debitor beserta bunga dan biaya.
Tentang penjualan benda yang digadaikan, kreditor wajib
memberitahukan debitor/pemberi gadai selambatnya pada hari
berikutnya jika ada hubungan pos harian atau telegraf, atau jika
tidak, dengan pos yang berangkat pertama. Proses di Pengadilan yang
ditempuh sesuai dengan Pasal 1156 KUH Perdata harus dilakukan
dengan cara mengajukan permohonan. Walaupun diajukan dengan cara
mengajukan permohonan (bukan dengan mengajukan gugatan), karena
terdapat kepentingan debitor dan pemberi gadai, debitor dan pemberi
gadai sebagai pihak yang berkepentingan harus didengar oleh hakim
dalam persidangan. Berdasarkan Pasal 1156 KUH Perdata dengan cara
mengajukan permohonan kepada hakim, kreditor/pemegang gadai dapat
mohon supaya hakim menetapkan bahwa eksekusi gadai dapat dilakukan
melalui penjualan di bawah tangan (private sale), dengan syarat dan
ketentuan yang ditetapkan hakim dengan adil sehingga kreditor tidak
dapat menentukan harga dengan semena-mena, atau hakim juga dapat
menetapkan bahwa benda yang digadaikan itu diperbolehkan tetap
dipegang pemegang
12 Dokumen Penjelas
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 19
Mah ka
m ah
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham 13
gadai, dengan membeli sendiri benda yang digadaikan itu, dengan
harga yang ditetapkan oleh hakim. Di halaman 16 alinea kedua
Laporan Literatur, LKHP mengemukakan pendapat Sdr. Fred B.G.
Tumbuan sebagai ahli dalam kasus Beckkett Pte. Ltd. versus Deutsche
Bank AG dan PT Dianlia Setyamukti di High Court of the Republic of
Singapore, sebagai berikut:
“Dalam hal pemberi dan pemegang gadai telah secara eksplisit
sepakat di antara mereka tentang suatu cara penjualan barang gadai
selain melalui lelang, salah satu hal yang harus diperhatikan
adalah dalam hal perjanjian tersebut telah dibuat terlebih dahulu
bahwa perjanjian tersebut menjadi dasar permohonan pemegang gadai
kepada hakim untuk dikeluarkan suatu penetapan atau perintah hakim
yang menyatakan bahwa pemegang gadai, dapat melaksanakan penjualan
dengan cara tersebut.”
Jadi, meskipun antara pemberi gadai dan pemegang gadai sudah ada
persetujuan tentang penjualan gadai tidak dengan lelang (private),
penjualan tidak dengan lelang hanya dapat dilakukan setelah ada
penetapan hakim (Pasal 1156 KUH Perdata). Penulis menyarankan
supaya kalimat pertama Pasal 1156 KUH Perdata dirumuskan kembali
sehingga pada pokoknya berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal
debitor/pemberi gadai cidera janji, kreditor/pemegang gadai dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri, supaya hakim
menetapkan cara eksekusi gadai melalui penjualan di bawah tangan
(tidak melalui lelang) dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan
oleh hakim dengan adil, untuk melunasi seluruh kewajiban debitor
kepada kreditor, atau hakim juga dapat menetapkan bahwa benda yang
digadaikan diperbolehkan tetap ada pada pemegang gadai dengan cara
pemegang gadai sendiri membeli barang yang digadaikan dengan harga
yang ditetapkan hakim dalam penetapannya.”
C. Persoalan Jika Debitor Belum Membayar Lunas Utangnya, Tetapi
Perjanjian Gadai Saham Sudah Berakhir
Di halaman 24 butir 2 dan halaman 25 Laporan Peraturan Perundangan,
serta di halaman 24 butir 2 dan halaman 25 Laporan Putusan, disebut
Isu Hukum sebagai berikut:
Isi1-ok.indd 13 12/13/2010 11:19:33 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 20
Mah ka
m ah
14 Perspektif Internasional
“Ketika utang debitor belum lunas dibayar dan jangka waktu
perjanjian gadai sahamnya terbatas, apakah kreditor dalam
memperpanjang perjanjian gadai saham tersebut harus dilakukan
dengan persetujuan pemberi gadai atau cukup dengan
pemberitahuan?”
Selanjutnya, dalam Laporan Peraturan Perundangan dan Laporan
Putusan ditulis:
“Menurut hemat kami, bahwa dalam hal tersebut cukup dengan
pemberitahuan saja,
merujuk pada Pasal 49 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.
Pasal 49 ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “Pemindahan hak atas
saham atas nama
dilakukan dengan akta pemindahan hak”, dan kemudian dalam Pasal 49
ayat (2), “Akta
pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) atau
salinannya
disampaikan secara tertulis kepada Perseroan” sehingga perpanjangan
gadai saham
cukup dengan pemberitahuan saja, dan tidak memerlukan
persetujuan.”
Di halaman 1 Restatement Eksekusi Gadai Saham, LKHP
mengemukakan
kembali pendapatnya bahwa sesuai dengan sifat gadai yang accessoir,
selama utang
yang dijamin dengan gadai saham belum dilunasi, untuk memperpanjang
gadai
saham tidak diperlukan persetujuan debitor/pemberi gadai, tetapi
cukup melalui
pemberitahuan oleh kreditor/pemegang gadai saham kepada
debitor/pemberi
gadai saham.
Pada praktiknya, hampir tidak pernah terjadi bahwa suatu perjanjian
gadai
saham berakhir sebelum utang yang dijaminnya dibayar lunas. Sifat
perjanjian
gadai adalah accessoir pada perjanjian utang yang dijaminnya dan
biasanya dalam
perjanjian gadai selalu ada ketentuan bahwa selama kewajiban
debitor belum lunas
dibayar debitor, perjanjian gadai akan terus berlaku.
Jika seandainya ada kasus perjanjian gadai saham sudah berakhir
padahal utang
yang dijaminnya belum lunas dibayar, bagaimana cara memperpanjang
perjanjian
gadai saham tersebut?
Dalam UPT 2007 tidak ada pengaturan mengenai cara menggadaikan
saham.
Oleh karena itu, penulis merujuk pada ketentuan KUH Perdata.
Pasal 1153 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut: “Hak gadai atas
benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali surat- surat tunjuk
atau surat-surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan
14 Dokumen Penjelas
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 21
Mah ka
m ah
perihal penggadaiannya, kepada orang terhadap siapa hak yang
digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh orang ini, tentang hal
pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya si pemberi gadai dapat
diminta suatu bukti tertulis.”
Dalam Pasal 1153 KUH Perdata, yang dimaksud dengan “orang terhadap
siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan” adalah Perseroan
yang mengeluarkan saham yang digadaikan.
Jadi berdasarkan Pasal 1153 KUH Perdata, jika debitor belum
melunasi utangnya kepada kreditor, tetapi gadai saham yang
diberikan oleh pemberi gadai sudah berakhir, maka jika
debitor/pemberi gadai beritikad baik, debitor tersebut harus
memperpanjang berlakunya perjanjian gadai, dan perpanjangan
berlakunya gadai tersebut juga harus diberitahukan secara tertulis
oleh debitor/pemberi gadai dan/ atau kreditor/pemegang gadai kepada
Perseroan yang mengeluarkan saham yang digadaikan tersebut.
Dalam hal ini, dapat saja terjadi bahwa Perseroan minta bukti
tertulis tentang perpanjangan perjanjian gadai ini, dan jika
debitor mau bekerja sama dengan cara menegaskan secara tertulis
bahwa benar utangnya belum lunas, maka gadai diperpanjang. Jika
pemberi gadai tidak beritikad baik dan tidak setuju memberi
konfirmasi bahwa gadai saham itu diperpanjang berlakunya, maka
pihak kreditor menghadapi persoalan yang pelik.
Kalau Perseroan menerima pemberitahuan perpanjangan gadai saham
dari kreditor/pemegang gadai, dan kemudian debitor
membantah/menolak perpanjangan gadai saham itu, menurut hemat
penulis, Perseroan kemungkinan besar tidak dapat/tidak mau
mencatatkan perpanjangan gadai saham. Dalam hal ini, kreditor dapat
kehilangan jaminan berupa gadai saham.
Jadi pada pokoknya, dalam pembuatan perjanjian gadai saham harus
dihindari kemungkinan berakhirnya gadai saham sebelum utang debitor
dibayar lunas.
Perpanjangan perjanjian gadai saham tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan Anggaran Dasar Perseroan yang mengeluarkan saham yang
digadaikan itu, dan selanjutnya harus dicatat dalam DPS Perseroan
dan/atau Daftar Khusus Perseroan yang bersangkutan (Pasal 60 UPT
2007).
Dalam Anggaran Dasar Perseroan, kadang-kadang terdapat faktor yang
dapat menghambat penjualan saham yang digadaikan. Misalnya, menurut
Pasal 57 ayat (1) UPT 2007, dalam Anggaran Dasar dapat diatur
persyaratan pemindahan hak atas saham, yaitu
1) keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham
lainnya, dan
Isi1-ok.indd 15 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 22
Mah ka
m ah
16 Perspektif Internasional
2) keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari organ
Perseroan.
Seandainya terdapat persyaratan seperti dimaksud dalam Pasal 57
ayat (1), dalam Anggaran Dasar Perseroan yang sahamnya digadaikan,
dan kreditor serta pemberi gadai ingin membuat perjanjian gadai,
maka dalam perjanjian gadai saham, kreditor harus mensyaratkan
supaya para pemegang saham lainnya secara tertulis dengan tegas
melepaskan hak untuk membeli saham yang akan digadaikan itu dan
mereka setuju jika debitor/pemberi gadai cidera janji, pemegang
gadai dapat melakukan penjualan saham yang digadaikan tanpa perlu
menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham lainnya.
Pada praktiknya, dalam perjanjian gadai, kreditor juga mensyaratkan
adanya persetujuan tertulis semua anggota organ Perseroan yang
persetujuannya disyaratkan oleh Anggaran Dasar Perseroan, untuk
memberi persetujuan kepada pemegang gadai untuk menjual saham yang
digadaikan dan selama utang debitor belum terbayar lunas,
keanggotaan organ yang bersangkutan tidak dapat diubah tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu kreditor/pemegang gadai.
D. Isu Hukum Mengenai Gadai Saham dalam Putusan dan Penetapan
Pengadilan
Sayang sekali, penulis hanya menerima Bagan Putusan dan Penetapan
Pengadilan, tanpa disertai Putusan dan Penetapan Pengadilan yang
lengkap sehingga pendapat penulis yang dikemukakan di sini hanya
didasarkan atas Putusan dan Penetapan Pengadilan yang tercantum
dalam Bagan Putusan dan Penetapan Pengadilan tersebut.
Pendapat penulis adalah sebagai berikut. 1. Isu Hukum: “Maksud
unsur “kecuali ditentukan lain” dalam Pasal 1155 ayat (1)
KUH Perdata.” - Penetapan No. 332/Pdt.P/2001/PN.Jak.Sel s/d
Penetapan No. 343/Pdt.P/2001/
PN.Jak.Sel dengan pemohon: Deutsche Bank Aktiengesellschaft. Di
halaman 1 Bagan Putusan dan Penetapan Pengadilan ditulis:
“Berdasarkan
share pledge agreement, kreditor berhak untuk menjual keseluruhan
saham yang telah digadaikan secara private atau secara “tidak di
muka umum”.”
Menurut penulis, “private sale” benda yang digadaikan harus
dilakukan berdasarkan Pasal 1156 KUH Perdata; jadi tidak
berdasarkan share pledge agreement saja.
16 Dokumen Penjelas
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 23
Mah ka
m ah
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham 17
2. Isu Hukum: “Maksud unsur “tuntutan (vorderen)” dalam Pasal 1156
KUH Perdata”. - Penetapan No. PTJ.KPT.01.2005 s/d Penetapan No.
PTJ.KPT. 04.2005 jo
Penetapan No. 33/Pdt.P/2002/PN.Jaksel s/d Penetapan No.
36/Pdt.P/2002/ PN.Jaksel.
Di halaman 2 Bagan Putusan dan Penetapan Pengadilan ditulis:
“Berdasarkan Pasal 1156 KUH Perdata untuk melakukan eksekusi maka
lembaga jaminan gadai memerlukan Pengadilan.”
Menurut hemat penulis, kata “Pengadilan” seharusnya diartikan “Izin
Pengadilan”.
3. Isu Hukum: “Berakhirnya hak penerima gadai untuk melakukan
eksekusi.” - Putusan MA RI No.115 PK/PDT/2007 jo No. 517/PDT.G/
2003/PN.JKT.PST. Di halaman 3 Bagan Putusan dan Penetapan
Pengadilan ditulis: “Perjanjian
gadai saham tersebut merupakan perjanjian accessoir. Accessoir,
artinya berlakunya hak gadai atas saham tergantung pada ada atau
tidaknya perjanjian pokok atau hutang piutang, artinya jika
perjanjian hutang piutang sah, maka perjanjian gadai sahamnya
sebagai perjanjian tambahan juga sah. Sebaliknya jika perjanjian
hutang piutang tidak sah, maka perjanjian gadai sahamnya juga tidak
sah.”
Menurut penulis, putusan MA RI tersebut sudah tepat karena
berdasarkan Pasal 1150 KUH Perdata, salah satu sifat perjanjian
gadai adalah accessoir pada perjanjian utang-piutang yang
dijaminnya.
4. Isu hukum: “Ketika utang belum lunas dan jangka waktu gadai
sahamnya terbatas, apakah kreditor dalam memperpanjang gadai saham
harus mendapat persetujuan pemberi gadai atau cukup dengan
pemberitahuan saja?” - Putusan PK No. 115PK/PDT/2007 jo. No.
517/PDT.G/2003 /PN.JKT.PST. Di halaman 3 Bagan Putusan dan
Penetapan Pengadilan ditulis: “Cukup
dengan pemberitahuan, merujuk pada Pasal 49 ayat (1) Undang-undang
No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Ayat (1), bahwa
pemindahan hak atas saham atas nama dilakukan dengan akta
pemindahan hak. Ayat (2), akta pemindahan hak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada
perseroan sehingga perpanjangan gadai saham cukup dengan
pemberitahuan saja tidak memerlukan persetujuan.”
Pendapat penulis dalam hubungan ini telah diuraikan di halaman 13
Restatement ini.
Isi1-ok.indd 17 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 24
Mah ka
m ah
Isi1-ok.indd 18 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 25
Mah ka
m ah
PERSPEKTIF INTERNASIONAL
PLEDGE IN GENERAL AND PLEDGE OF SHARES IN PARTICULAR INCLUDING THE
ENFORCEMENT UNDER NETHERLANDS LAW Oleh: Dr. Henk Joseph
Snijders
A. General Remarks Pledge (“pand”) is a “dismembered”—also
translated as “limited”—security right provided for in Title 3.9 of
the Burgerlijk Wetboek (BW; Dutch Civil Code). The concept of
dismembered or limited right (“beperkt recht”) is described in art.
3:8 BW as one which is derived from a more comprehensive right
encumbered with the dismem- bered right. The principal right is
also called the parental right and the person enti- tled to the
parental right is called the principal entitled person
(“rechthebbende”). A parental right may be both a full right and a
dismembered right. Thus, dismembered rights may exist in “the
second degree”. An example is a pledge on a right of usufruct
(“vruchtgebruik”) which in turn is vested on the ownership of a
motor car.
Only independent and transferable rights may be parental rights
(art. 3:81 para. 1 BW). If the dismembered right is extinguished,
the principal right ipso iure regains its former status.
The qualification of this right as “dismembered” or “limited”
(“beperkt”) is quite misleading, for dismembered rights have a high
legal status by their nature. As dis- membered rights are
proprietary rights by definition, they are also absolute rights.
They are effective vis-à-vis everybody. This implies exclusivity
first of all: every third party must refrain from behaviour that
disturbs the title-holder to a property in his use, management or
disposal. This exclusivity is done the most justice in the full
rights—ownership (“eigendom”) and other belonging (“toebehoren”).
Indeed, seve- ral dismembered rights may apply to property. If two
dismembered rights are cre- ated on property, the exclusivity of
the oldest right prevails, pursuant to the priority
Isi1-ok.indd 19 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 26
Mah ka
m ah
20 Perspektif Internasional
principle. The effect of a proprietary right on property vis-à-vis
third parties implies that no third party can also create a
proprietary right on that property unless ful- ly subject to the
proprietary right that was first in existence (“prior tempore,
potior iure”). The droit de suite is also a consequence of the
absolute nature of proprietary rights: the title-holder can
exercise his right regardless of who is holding the object of his
right. It is also important to note that a person who has a
proprietary right on property may exercise that right in spite of a
later attachment of that property or the bankruptcy of the
principal person entitled to that property and can there- fore
separately exercise his proprietary right. For this reason a person
with a pro- prietary right, especially a proprietary security right
such as pledge and hypothec (mortgage), is called a separatist.
Thus, the pledgee can, in the event of the debtor’s bankruptcy or
judicial debt rescheduling, exercise his proprietary rights as if
there were no such bankruptcy or judicial debt rescheduling (art.
57 para. 1 Faillissements- wet (Fw; Bankruptcy Act) resp. art. 57
para. 1 in conjunction with art. 299 para. 3 Fw). On the other hand
it may be mentioned that the pledge is not allowed to use or to
appropriate the pledged property (art. 3:235 BW). Naturally there
are also exceptions in the domestic Netherlands law to the legal
consequences discussed here. They will be discussed later on as far
as applicable to pledge. Now, attention will be paid to a special
BW ruling for financial collateral arrangements (security
contracts) for the establishment of a right of pledge, as intro-
duced in the Netherlands on the basis of the Collateral Directive1.
This special ruling has been laid-down in Title 7.2 BW. It applies
only to financial security contracts of which at least one of the
parties is a government agency or an agency belonging to the
governmental sector or a financial institution subject to
governmental financial supervision or a similar person (art. 7:52
BW). Furthermore it deals only with pledge on money (a very strange
concept under Netherlands law) or on shares and similar
“transferable securities”: shares and other securities, bonds and
other debt instru- ments traded in the capital market (art. 7:51
BW). Art. 7:53 BW provides, contrary to Netherlands law in general,
that if so stipu- lated, the pledgee is allowed to use the pledge.
Art. 7:54 para. 1 BW states that unless the financial security
contract for the establishment of a right of pledge otherwise
provides, the secured creditor may, when the conditions for
execution are met, ap- propriate such securities and net the value
of the securities with the sum due by
1 Directive 2002/47/EC of 6 June 2002.
Isi1-ok.indd 20 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 27
Mah ka
m ah
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham 21
it. This provision forms an exception to the rule that the pledgee
is not entitled to appropriate the pledged property (laid down in
art. 3:235 BW). For the case that the conditions for execution are
not met, art. 7:54 BW provides in the third paragraph that such
appropriation is permitted if so agreed and the valuation of such
securities is based on their market value or value on an exchange.
As to the enforcement of the pledged shares, there are also
exceptions to the domestic Netherlands law. These will be dealt
with under 4. Article 3:98 BW is of paramount importance. It states
that in principle the provi- sions relating to the transfer of
property apply mutatis mutandis to the establish- ment, transfer
and abandonment of a dismembered right. We will not here discuss
the general provisions on transfer of property, but it may be kept
in mind that these provisions apply mutatis mutandis, except for
derogations in the arrangement per- taining to the pledge itself.
Just like hypothec, pledge is provided for in Title 3.9 BW. The
regulation for pledge and hypothec commences in Title 3.9, with
section 1, General provisions. Subse- quently the right of pledge
is provided for (section 3.9.2-3 BW) and, finally hypothec (section
3.9.4 BW). Hypothec is a dismembered security right over registered
property, pledge is a dismembered security right over other
properties, such as movable things and debts. Pledge or hypothec
can be established for an existing claim as well as for a future
claim (art. 3:231 para. 1, first sentence BW). It can be a claim
against the gran- tor of the pledge or hypothec himself as well as
a claim against another person (art. 3:231 para. 1, final sentence
BW). Pledge and hypothec are both dependent rights (art. 3:7 and
art. 3:82 BW) and accessory rights (6:142 BW). This would mean that
the security right is extinguished ipso iure upon the extinction of
the secured claim, and that the security right also by operation of
law passes to the person who acquires the debt with which the se-
curity right is attached, as in the event of assignment or
subrogation. However, the law knows exceptions to the dependent
nature. This was shown above when it was established that pledge
and hypothec may also be established for future claims, like a
right of pledge and hypothec for a claim arising from a loan
agreement at the mo- ment when the balance of the loan is still
nil. An important legal effect that pledge and hypothec have in
common, even though it has not been arranged in a common general
provision but in art. 3:248 BW respectively art. 3:268 BW (see also
art. 7:19 BW and art. 461a-b and 490b respec- tively 461c and 551
para. 5 BRv (Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering; Code of
Civil
Isi1-ok.indd 21 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 28
Mah ka
m ah
22 Perspektif Internasional
Procedure)), may be described as the right of summary execution
(“parate executie”), that is to say execution without a judicial or
comparable title for enforcement. Pursuant to art. 57 para. 1 Fw,
pledge and hypothec also have in common that they are unsusceptible
to bankruptcy, as pointed out before and explicitly laid down in
the Act for these two proprietary rights. As separatists the
pledgee and hypothe- cary creditor can exercise their rights in
principle separately from the bankruptcy; unlike other creditors
they can, if they like, proceed to execution on their own and take
recourse for what is owed to them. However, attention may be drawn
to art. 63 (a) Fw, which may cause the pledgee and the hypothecary
creditor temporarily not to enforce their rights to summary
execution. Of course it is also possible that the receiver fully
settles the claim secured by pledge or hypothec, as a result of
which the relevant security right is extinguished (art. 58 para. 2
Fw).
B. Types of pledge and their legal consequences Section 3.9.2 BW
provides for four kinds of right of pledge, depending on the ques-
tion on what kind of property the pledge is established and whether
it concerns an undisclosed or public establishment. See art. 3:236
para. 1 BW for the establishment of a public right of pledge on
movable things and on similar property and see art. 3:236 para. 2
BW for a public right of pledge on other property (i.e. personal
rights not to order or bearer, and usufruct on such rights). See
art. 3:237 BW for the estab- lishment of an undisclosed right of
pledge on movable things and on similar prop- erty and see art.
3:239 BW for the establishment of an undisclosed right of pledge on
other property (i.e., again, personal rights not to order or
bearer, and usufruct on such rights). These provisions show that an
undisclosed right of pledge may be es- tablished by an authentic or
registered private instrument (the same form of delivery as for the
undisclosed assignment (art. 3:94 para. 3 BW)). A public right of
pledge on a property is established in approximately the same
manner as has been provided for the delivery of the property
itself. This is not only evident from art. 3:236 para. 2 BW, but
also from art. 3:236 para. 1 BW. However, for the establishment of
a pledge on a movable thing or similar property, the pledgor does
not need to give posses- sion of the property to the pledgee, but
only control of the property to him or at least control of the
property to a third person (so another person than the pledgor and
the pledgee), apart from the required endorsement in the event of a
pledge of a right to order. The importance of the difference
between a public and an undisclosed pledge lies in the existence
yes or no of protection against third persons claiming that
the
Isi1-ok.indd 22 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 29
Mah ka
m ah
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham 23
pledge was not validly established, arguing that the pledgor lacked
the right to dis- pose of the property. In case of a public pledge
this protection is offered indeed to a pledgee in good faith,
whereas an undisclosed pledge does not give such protec- tion. See
art. 3:238 BW for the right of pledge on movable things and similar
property and art. 3:239 para. 4 BW for the pledge of rights not
payable to bearer or order. The difference between a public and an
undisclosed pledge on a personal right also becomes evident when we
read art. 3:246 para. 1 BW, which does not grant the power to
collect payment of the debt until notice of the right of pledge has
been given to the pledgee.
C. Pledge on shares in general Shares are subject to special rules.
A distinction must be made between bearer shares and registered
shares. The shares in the capital of a public limited company (PLC;
in Dutch “naamloze vennootschap (NV)”) are either bearer shares or
registered shares (art. 2:82 BW), shares in the capital of a
limited liability company, a private company with limited liability
(Ltd.; in Dutch “besloten vennootschap met beperkte
aansprakelijkheid (BV)”), are always registered shares (art. 2:175
BW). In principle, the general rules on patrimonial law (including
the general law on pledge) apply to the establishment of a pledge
on bearer shares (in particular art. 3:98 BW, arts. 3:236 and 237
BW), but there are some particulars to which I shall come back
later. A different arrangement applies to the establishment of a
pledge on registered shares. A public pledge on registered shares
in a public limited company of which the (depositary receipts of )
shares are listed on the stock exchange, is established by a
private instrument and a written acknowledgement of the pledge by
or service on the public limited company (art. 2:86c, para. 2 BW).
An undisclosed pledge on such registered shares (art. 2:89 para. 6
BW) is established in the same manner as an undisclosed pledge on
other property, notably by a notarial or private registered
instrument (art. 2:86c para. 4 BW). This undisclosed right of
pledge may be made public by acknowledgement by or service on the
public limited company (art. 2:89 para. 6 BW), in derogation of
art. 3:239 para. 4 BW, which provides for a notification that
requires no prescribed form. A right of pledge on all other
registered shares in a public limited company or a limited
liability company can be established by notarial instrument (arts.
2:86 and 2:196 BW). A registered private instrument does not suf-
fice here, then. All persons involved—the pledgor and the pledge —
must be parties to this instrument (art. 2:86 para. 1 BW and 2:196
para. 1 BW). The establishment of
Isi1-ok.indd 23 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 30
Mah ka
m ah
24 Perspektif Internasional
the pledge shall (ipso iure) also have effect as against the
company (art. 2:86a para. 1, first sentence BW and art. 2:196a
para. 1, first sentence BW). However, shareholders rights such as
voting can only be invoked by the pledgee after acknowledgement by
or service to the company. See art. 2:86a para. 1, second sentence
BW and art. 2:196a para. 1, second sentence BW, thus providing for
disclosed respectively public pledge. The following special
provisions for a right of pledge on shares may be interest- ing to
note as well (even though this paper priMA RIly concerns the
enforcement of pledge on shares). The pledge of registered shares
in a public limited company or a limited liability company may be
excluded in the articles of association of a com- pany (arts. 2:89
para. 1 and 2:198 para. 1 BW), but the pledge of bearer shares may
not be excluded in the articles of association (art. 2:89 para. 1
BW). The shareholder shall have the right to vote in a general
meeting, unless this right is attributed to the pledgee (arts. 2:89
and 198 BW; see also art. 2:24a BW). Furthermore, there are special
rules applicable to the enforcement of a pledge on shares, on which
more will be said here.
D. Enforcement of pledge on shares Articles 3:248 BW respectively
3:268 BW give a pledgee respectively a hypothecary creditor
(mortgagee) the right, when the debtor is in default, to sell the
pledged or encumbered property and to have recourse for what is
owed to them. As mentioned before, this right is a right of summary
execution, which means that execution can be effected without any
judicial or similar title of enforcement, such as a judicial deci-
sion or a notarial deed. The sale must take place in public,
barring judicial permission for a private sale. See arts. 3:250–251
BW, resp. art. 3:268 BW; see also art. 3:254 BW. This ruling is
mandatory and what is more, it cannot be bypassed by an irrevocable
power of attorney.2 As stated, the sale must take place in public
subject to judicial permission for a private sale. This private
sale may be a sale to a third party or the sale in the form of
securities remaining with the pledgee as buyer (3:251 BW). This
judicial permission must be requested (art. 3:251 para. 1 BW
provides that it can be granted “op verzoek van” (at the request of
) the pledgee or the pledgor, so it concerns request proceed- ings.
The permission will usually not be granted ex parte. The general
rules for re- quest proceedings apply (arts. 61 et seq. BRv,
particularly arts. 278-279 BRv). Apart
2 HR 1 April 1927, NJ 1927, 601 and Asser/Van Mierlo, Goederenrecht
III, Kluwer: Deventer 2003, No. 50.
Isi1-ok.indd 24 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 31
Mah ka
m ah
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham 25
from these legal options, art. 3:251 para. 2 BW provides the
pledgee and the pledgor with the option of agreeing to a manner of
sale which deviates from art. 3:250 BW. If the pledged property is
encumbered with a dismembered right or is subject to a seizure
(attachment), then this form of execution ex contractu also
requires the co- operation of the holder of the dismembered right
or of the seizor (attachor). It is also worth mentioning that such
an agreement can be concluded in a legally valid man- ner only
after the pledgee has become entitled to proceed to the sale. It is
difficult to underestimate the statutory requirements applicable to
enforce- ment of pledge on shares:
1. there must be a default of the pledgee (art. 3:248 para. 1 BW);
2. if so provided, the court must, upon the demand of the pledgee,
determine
that the obligor is in default (art. 3:248 para. 2 BW); 3. unless
otherwise stipulated the pledgee must give at least three days
no-
tice to the pledgee, to the extent that this is reasonably possible
(art. 3:249 BW);
4. after the power to sell has arisen, the sale shall take place in
public, subject to the court’s permission for another way of sale,
or a different agreement in that matter (art. 3:250-251 BW);
5. unless otherwise stipulated, and to the extent that this is
reasonably pos- sible, the pledgee must, no later than on the day
following the sale, give notice of the sale to the pledgor (art.
3:252 BW).
The pledgee must also comply with the restrictions set in the
articles of the company for the disposal and transfer of shares.
Admittedly, the right to pledge a bearer share in a public limited
company may not be restricted or excluded by the articles of
association (art. 2:89 para. 1, first sentence BW). Registered
shares in a public limited company may be pledged, unless otherwise
provided by the articles of association (art. 2:89 para. 1, second
sentence BW). The provisions of the articles of association in
respect of the disposal and transfer of shares apply to the
disposal and transfer of shares by the pledgee or the transmission
of shares to the pledgee, pro- vided that the pledgee shall
exercise all the rights conferred upon the shareholder in respect
of disposal and transfer and shall perform the obligations of the
latter in respect thereof (art. 2:89 para. 5 BW). For the limited
liability company, art. 2:195 BW provides a share transfer
restriction that extends much further. According to this article,
insofar as the articles of association do not restrict or exclude
such right, a shareholder may transfer one or more of his shares to
some of his near relatives, a
Isi1-ok.indd 25 12/13/2010 11:19:34 PM
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha
untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai
bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi
dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal
tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait
dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal
mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda
menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau
informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap
segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
kepaniter
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 32
Mah ka
m ah
26 Perspektif Internasional
co-shareholder and to the company, but in respect of any other
transfer the articles of association must contain restrictions on
transfer (art. 2:195 paras. 1-2 BW). Such restrictions on transfer
must provide that the shareholder shall require the approval of a
transfer by a corporate body of the company, designated by the
articles, for the same to be valid (art. 2:195 para. 4 BW with a
nuance in art. 2:195 para. 5 BW; see also art. 2:195 paras. 6-9 BW
and art. 2:195a-195b BW). Article 2:198 para. 5 BW provides that
art. 2:195 BW and the provisions of the articles of association in
respect of the disposal and transfer of shares shall apply to the
disposal and transfer of shares by a pledgee or to the transmission
of shares to a pledgee, provided that the pledgee shall exercise
all the rights conferred upon the shareholder in respect of
disposal and transfer and shall perform the obligations of the
latter in respect thereof