Upload
netra-mada
View
70
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
VERTIGO VESTIBULER PERIFER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Syaraf
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang
Disusun oleh :
Ina Alfatah
H2A009024
Pembimbing :
dr. Siti Istiqomah, Sp.S
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar terasa seperti
berputar mengelilingi pasien, atau pasien merasa seperti berputar mengelilingi
lingkungan sekitar. Keluhan yang sering disampaikan pasien beragam, misalnya
puyeng, sempoyongan, mumet, muter, pusing, rasa seperti mengambang, dan rasa
seperti melayang.1,2,3
Diagnosis banding vertigo meliputi penyebab vestibular perifer (berasal
dari sistem saraf perifer), vestibular sentral (berasal dari sistem saraf pusat) dan
kondisi lain. Sembilan puluh tiga persen pasien pada primary care mengalami
BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo), Acute Vestibular Neuronitis, atau
Meniere’s Disease.2,4
Karena pasien dengan dizziness seringkali sulit menggambarkan gejala
mereka, menetukan penyebab akan menjadi sulit. Penting untuk membuat sebuah
pendekatan menggunakan pengetahuan dengan kunci anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan khusus, dan temuan radiologis. Hasil pemeriksaan tersebut
akan membantu dokter dalam menegakkan diagnosis dan memberikan terapi yang
tepat untuk pasien.5,6,7
Sampai saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah, bahkan angka
kejadiannya terus meningkat. Hal ini bukan hanya disebabkan karena masih
banyak pasien hipertensi yang belum mendapatkan pengobatan, atau sudah pernah
mendapatkan pengobatan tetapi target tekanan darah belum tercapai, tetapi juga
karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui pentingnya perubahan
gaya hidup demi tercapainya target tekanan darah yang diharapkan.5,8
Selain itu pengetahuan masyarakat akan resiko timbulnya penyakit
penyerta dan komplikasi hipertensi juga masih terbatas. Oleh karena itu deteksi
dini pada pasien yang memiliki resiko menderita hipertensi, pengendalian tekanan
darah, pencegahan timbulnya penyakit penyerta dan komplikasi hipertensi, serta
2
edukasi pada pasien dan keluarga agar dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan sangat diperlukan dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas pasien hipertensi.6,9
B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui cara
mendiagnosis dan mengelola pasien dengan vertigo dan hipertensi grade II,
sekaligus untuk mengevaluasi tindakan yang telah diberikan dengan kepustakaan
yang ada.
C. MANFAAT
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan media belajar bagi
mahasiswa agar dapat mendiagnosis dan mengelola vertigo dan hipertensi grade II
secara tepat.
3
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Saonah
Umur : 55 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jln. Pengilon V No.04 Rt:05 Rw:02 Ngaliyan, Semarang.
Pekerjaan : Swasta
Status : Menikah
No RM : 28-47-78
Tgl masuk RS : 03 Januari 2014
II. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 04 Januari 2014 jam
14.00 WIB.
Keluhan utama : Kepala pusing terasa berputar
Riwayat Penyakit Sekarang
2 Jam SMRS pasien mendadak mengeluh pusing berputar yang
dirasakan sangat berat. Pasien merasa dirinya terasa berputar-putar dan
ruangan disekelilingnya pun ikut berputar. Keluhan dirasakan semakin
berat ketika pasien berjalan dan menggerakkan kepala. Saat berbaring pun
pasien merasakan pusing dan terasa berputar, sehingga pasien harus
tiduran dengan mata tertutup dan berbaring kekiri untuk meringankan
pusingnya. Pasien sempat mengkonsumsi obat bodrex namun gejala tidak
berkurang. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah, keluar seperti
makanan dan minuman yang dimakan sebelumnya, tidak ada darah.
Telinga berdenging (-), telinga keluar nanah (-), gangguan
pendengaran (-), demam (-), pandangan kabur (-). BAB tidak ada keluhan,
diare (-), sulit buang air besar (-). BAK tidak ada keluhan. Karena keluhan
4
yang dirasakan tidak berkurang, pasien dibawa oleh keluarga ke IGD
RSUD Dr. Adhyatma Semarang.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien baru kali pertama sakit seperti ini.
- Riwayat kencing manis dan tekanan darah tinggi tidak tahu.
- Riwayat penyakit jantung disangkal.
- Riwayat trauma kepala dan daerah telinga disangkal.
- Riwayat operasi daerah kepala dan telinga disangkal.
- Riwayat tumor daerah kepala dan telinga disangkal.
- Riwayat gangguan pendengaran, infeksi telinga, sinusitis, sakit gigi/
gigi berlubang disangkal.
- Riwayat konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama disangkal.
- Riwayat alergi makanan, obat-obatan, dan debu disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.
- Riwayat darah tinggi : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
Riwayat pribadi, sosial ekonomi
Pasien bekerja sebagai pedagang sembako. Tinggal bersama suami dan 1
orang anaknya. Biaya perawatan rumah sakit ditanggung pribadi. Kesan
ekonomi cukup.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 04 Januari 2014 jam 14.15 WIB
A. Keadaan Umum : tampak sakit ringan
B. Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5
C. Vital Sign
- Tekanan Darah : 160 / 100 mmHg
- Frekuensi Nadi : 78x/menit
- Frekuensi Nafas : 22 x / menit
5
- Suhu : 370C
D. Status Internus
1. Kulit : warna sawo matang, turgor kulit turun (-), ikterik (-), petekie (-)
2. Kepala : kesan mesosefal, simetris, nyeri tekan (-)
3. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat,
central, reguler dan isokor 3mm
4. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
5. Telinga : serumen(-/-), nyeri tekan tragus(-/-), nyeri tekan mastoid(-/-)
6. Mulut : bibir kering(-), bibir sianosis(-), lidah kotor(-), gusi berdarah (-)
7. Leher : pergerakan baik, pembesaran kelenjar limfe (-), deviasi trakea(-)
8. Thorax :
Paru
Paru depan Paru belakang
inspeksi
Statis
Dinamis
Normochest,simetris,kelainan
kulit (-/-), sudut arcus costa
dalam batas normal, ICS
dalam batas normal
Pengembangan pernafasan
paru Normal
Normochest, simetris, kelainan
kulit (-/-), sudut arcus costa
dalam batas normal, ICS dalam
batas normal
Pengembangan pernapasan
paru normal
palpasi Simetris (N/N), Nyeri tekan
(-/-), ICS dalam batas normal,
taktil fremitus dalam batas
normal
Simetris (N/N), Nyeri tekan
(-/-), ICS dalam batas normal,
taktil fremitus dalam batas
normal
perkusi
Kanan
Kiri
Sonor seluruh lapang paru
Sonor seluruh lapang paru.
Sonor seluruh lapang paru
Sonor seluruh lapang paru.
auskultas
i
Suara dasar vesicular,
Ronki(-/-), Wheezing (-/-)
Suara dasar vesicular,
Ronki(-/-), Wheezing (-/-)
6
Tampak anterior paru Tampak posterior paru
SD : vesikuler SD : vesikuler
ST : ronki (-), wheezing (-) ST : ronki (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V 1-2 cm ke arah medial
midclavikula sinistra, thrill (-), pulsus epigastrium (-),
pulsus parasternal (-), sternal lift (-)
Perkusi :
batas atas : ICS II linea parasternal sinistra
pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinsitra
batas kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
kiri bawah : ICS V 1-2 cm ke arah medial midclavikula sinistra
Konfigurasi jantung (dalam batas normal)
Auskultasi : regular
Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler.
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-),
SIV (-)
Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit di sekitar,
ikterik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen
Pekak sisi (-), pekak alih (-)
7
Tidak terdapat nyeri ketok ginjal dextra/sinistra
Palpasi : Nyeri tekan epigastrum (-),
Tidak teraba pembesaran hepar
Lien dan ginjal tidak teraba
F. Status Neurologis
UMUM
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Kuantitas : GCS 15 (E4M6V5)
3. Kualitas : Tingkah laku : wajar
4. Perasaan hati : baik
5. Orientasi : Tempat: baik, Waktu: baik, Orang: baik,
Sekitar: baik
6. Jalan pikiran : baik
7. Daya ingat baru : baik
8. Daya ingat lama : baik
9. Kemampuan bicara : baik
10. Sikap tubuh : baik
11. Gerakan abnormal: tidak ada
12. Motorik
Anggota Gerak Atas
Inspeksi Kanan Kiri
Gerakan N N
Kekuatan 5/5/5 5/5/5
Tonus Eutoni Eutoni
Trofi Eutrofi Eutrofi
Sensibilitas (+) (+)
Nyeri (+) (+)
Reflek fisiologis
a. Biceps
b. Triceps
(+)
(+)
(+)
(+)
8
c. Radius
d. Ulna
(+)
(+)
(+)
(+)
Reflek Patologis
a. Hofman
b. Tromer
(-)
(-)
(-)
(-)
Anggota Gerak Bawah
Inspeksi kanan Kiri
Gerakan N N
Kekuatan 5/5/5 5/5/5
Tonus Eutoni Eutoni
Trofi Eutrofi Eutrofi
Sensibilitas (+) (+)
Nyeri (+) (+)
Reflek fisiologis
a. Patella
b. Achiles
(+)
(+)
(+)
(+)
Perluasan reflek - -
Reflek Patologis
a. oppenheim
b. gordon
c. schaeffer
d. gonda
e. babinsky
f. chaddock
g. mendel
bachterew
h. rossolimo
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
9
12. Nervus Cranialis
Nervus Kranialis Kanan Kiri
N. I (Olfactorius)
Daya Penghidu Normosmia Normosmia
N.II (Opticus)
a. Daya penglihatan
b. Pengenalan warna
c. Medan penglihatan
d. Perdarahan arteri/vena
e. Fundus okuli
f. Papil
g. Retina
Baik
Baik
Baik
Baik
t.d.l
t.d.l
t.d.l
Baik
Baik
Baik
Baik
t.d.l
t.d.l
t.d.l
N.III (Oculomotorius)
a. Ptosis
b. Gerak mata keatas
c. Gerak mata kebawah
d. Gerak mata media
e. Ukuran pupil
f. Bentuk pupil
g. Reflek cahaya langsung
h. Reflek cahaya konsesuil
i. Reflek akmodasi
j. Strabismus divergen
k. Diplopia
(-)
(+)
(+)
(+)
3 mm
bulat
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)
(+)
(+)
(+)
3 mm
bulat
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
N.IV (Trochlearis) :
a. Gerak mata lateral bawah
b. Strabismus konvergen
c. Diplopia
(+)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
10
N.V (Trigeminus)
a. Menggigit
b. Membuka mulut
c. Sensibilitas muka atas
d. Sensibilitas muka tengah
e. Sensibilitas muka bawah
f. Reflek kornea
g. Reflek bersin
h. Reflek masseter
i. Reflek zigomatikus
j. Trismus
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
N.VI (Abducens) :
a. Pergerakan mata (ke
lateral)
b. Strabismus konvergen
c. Diplopia
(+)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
N. VII (Facialis)
a. Kerutan kulit dahi
b. Kedipan mata
c. Lipatan nasolabia
d. Sudut mulut
e. Mengerutkan dahi
f. Mengangkat alis
g. Menutup mata
h. Meringis
i. Tik fasial
j. Lakrimasi
k. Daya kecap 2/3 depan
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
t.d.l
t.d.l
t.d.l
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
t.d.l
t.d.l
t.d.l
N. VIII (Vestibulocochlearis)
a. Mendengarkan suara
berbisik
N
N
N
N
11
b. Mendengarkan detik arloji
c. Tes rinne
d. Tes weber
e. Tes schwabach
t.d.l
t.d.l
t.d.l
t.d.l
t.d.l
t.d.l
N IX (Glossopharyngeus)
a. Arkus faring
b. Uvula
c. Daya kecap 1/3 belakang
d. Reflek muntah
e. Sengau
f. Tersedak
Simetris
Simetris
t.d.l
t.d.l
(-)
(-)
Simetris
Simetris
t.d.l
t.d.l
(-)
(-)
N X (Vagus)
a. Arkus faring
b. Daya kecap 1/3 belakang
c. Bersuara
d. Menelan
Simetris
t.d.l
(+)
(+)
Simetris
t.d.l
(+)
(+)
N XI (Accesorius)
a. Memalingkan muka
b. Sikap bahu
c. Mengangkat bahu
d. Trofi otot bahu
(+)
(+)
(+)
N
(+)
(+)
(+)
N
N XII (Hypoglossus)
a. Sikap lidah
b. Artikulasi
c. Tremor lidah
d. Menjulurkan lidah
e. Kekuatan lidah
f. Trofi otot lidah
g. Fasikulasi lidah
N
Baik
-
+
N
N
-
13. Sensorik : dalam batas normal.
12
14. Fungsi vegetatif
Miksi : inkontinensia urin (-), retensio urin (-)
Defekasi : inkontinensia alfi (-), retensio alfi (-)
15. Koordinasi dan Keseimbangan
- Tes romberg : badan jatuh ke kanan saat mata tertutup
- Tes Tandem gait : jatuh ke kanan saat tutup mata
- Stepping Test : badan menyimpang ke arah kanan
- Post-pointing Test : lengan menyimpang ke arah kanan
- Dix-Hallpike Manoeuvre : periode laten ± 5 detik, nistagmus
horizontal < 1 menit
- Disdiadokenesis : Dalam batas normal
- Tes telunjuk hidung : Dalam batas normal
- Tes telunjuk telunjuk : Dalam batas normal
GEJALA RANGSANG MENINGEAL
Refleks Khusus Kanan Kiri
Tes lasegue
Tes Kerniq
Tes patrick
Tes kontra patrick
Tes brudzinski I
Tes brudzinski II
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium: darah rutin, kimia darah (kolesterol, kolesterol total,
trigliserid, LDL, HDL gula darah, ureum kreatinin)
VI. RESUME
Seorang wanita 55 tahun datang ke IGD RSUD Dr. Adhyatma
dengan keluhan pusing berputar yang dirasakan sangat berat dan
mendadak sejak 2 jam SMRS. Pasien merasa dirinya terasa berputar-putar
13
dan ruangan disekelilingnya pun ikut berputar. Keluhan dirasakan semakin
berat ketika pasien berjalan dan menggerakkan kepala. Saat berbaring pun
pasien merasakan pusing dan terasa berputar, sehingga pasien harus
tiduran dengan mata tertutup dan berbaring kekiri untuk meringankan
pusingnya. Pasien sempat mengkonsumsi obat bodrex namun gejala tidak
berkurang. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah, keluar seperti
makanan dan minuman yang dimakan sebelumnya, tidak ada darah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
- Keadaan Umum : tampak sakit ringan
- Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5
- Vital Sign
Tekanan Darah : 160 / 100 mmHg
Frekuensi Nadi : 78x/menit
Frekuensi Nafas : 22 x / menit
Suhu : 370C
- Status internus : dalam batas normal - Fungsi otonom : dalam batas normal
Koordinasi dan Keseimbangan
- Tes romberg : badan jatuh ke kanan saat mata tertutup
- Tes Tandem gait : jatuh ke kanan saat tutup mata
- Stepping Test : badan menyimpang ke arah kanan
- Post-pointing Test : lengan menyimpang ke arah kanan
- Dix-Hallpike Manoeuvre : periode laten ± 5 detik, nistagmus
horizontal < 1 menit
- Disdiadokenesis : Dalam batas normal
- Tes telunjuk hidung : Dalam batas normal
- Tes telunjuk telunjuk : Dalam batas normal
VII. DIAGNOSIS BANDING
- Vertigo Vestibuler Perifer
- Vertigo Vestibuler Sentral
14
VIII. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinis : - Vertigo
- Nausea
- Vomitus
Diagnosis Topis : Sistem Vestibuler Dekstra
Diagnosis Etiologi : Vertigo Vestibuler Perifer
2. Hipertensi Grade II
IX. INITIAL PLAN
A. Vertigo Vestibuler Perifer
1. IpTx
a. Medikamentosa
- IV line : Ringer laktat 20 tetes/menit
- Betahistin 3 x 6 mg
- Flunarizin 2 x 5 mg
- Dimenhidrinat 3 x 25 mg
- Injeksi Ondansetron 4 mg 2x1 ampul iv
- Injeksi Ranitidin 2x50 mg iv
b. Non-Medikamentosa
- Latihan fisik Vestibuler
- Terapi fisik Brand-Darrof
2. IpDx
- Laboratorium: darah rutin, kimia darah (kolesterol, kolesterol total,
trigliserid, LDL, HDL gula darah, ureum kreatinin)
3. IpMx
- Monitoring keadaan umum dan tanda vital.
- Monitoring asupan makanan dan minuman serta obat yang
dikonsumsi.
4. IpEx
15
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kemungkinan
penyebab pusing berputar pada pasien.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa keluhan
pusing berputar pada pasien ini hanya bersifat sementara, dan
setelah hilang masih ada kemungkinan untuk muncul kembali.
- Menghimbau pasien untuk memperbanyak istirahat dan
mengurangi aktifitas yang berlebihan.
- Sarankan kepada keluarga untuk mengawasi pasien dalam minum
obat secara teratur.
- Makan makanan sehat dan bergizi.
B. Hipertensi Grade II
1. IpTx
- Amlodipin 1x10 mg
- Diet biasa (rendah garam, rendah kolesterol, dan rendah lemak
jenuh)
2. IpDx
- Darah lengkap, Glukosa darah (sewaktu dan puasa),Kolesterol
total, HDL, LDL, Trigliserida serum,Kreatinin serum, Kalium
serum, Urinalisis, EKG.
3. IpMx
- Keadaan umum, tanda vital (target tekanan darah 130/90mmHg),
efektifitas terapi dan efek samping, komplikasi hipertensi, gejala
kerusakan organ.
4. IpEx
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
tekanan darah tinggi yang dimiliki pasien, perlunya control dan
berobat secara teratur, serta resiko komplikasi yang mungkin
terjadi apabila tekanan darah pasien tidak dikendalikan.
- Menghimbau kepada pasien dan keluarga untuk mengurangi
asupan garam harian, sehari cukup ± 1 sendok teh garam dapur.
16
- Menghimbau kepada pasien dan keluarga untuk mengurangi
asupan kolesterol dan lemak jenuh.
- Menghimbau kepada pasien dan keluarga pasien untuk
menambah konsumsi buah, sayur, dan kacang-kacangan karena
banyak mengandung potassium, kalsium, magnesium, dan serat
yang bermanfaat untuk membantu menurunkan tekanan darah.
- Menghimbau pasien untuk melakukan olahraga ringan (jalan
pagi) 3-4 kali seminggu.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa tekanan darah
tinggi tidak dapat dikendalikan hanya dengan obat-obatan, tetapi
harus disertai dengan perubahan gaya hidup.
X. PROGNOSA
- Ad vitam : Dubia ad bonam
- Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
- Ad sanam : Dubia ad bonam
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. VERTIGO
I. DEFINISI
Vertigo berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar,
merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan
seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim
keseimbangan. 3
Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah
sebuah istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan empat
subtipe tergantung gejala yang digambarkan oleh pasien.1
Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadedness,
presyncope, dan disequilibrium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu
sekitar 54% dari keluhan dizziness yang dilaporkan pada primary care. 2
II. KLASIFIKASI4,7
1. Vertigo Fisiologis
Vertigo fisiologis adalah keadaan vertigo yang ditimbulkan
oleh stimulasi dari sekitar penderita, dimana sistem vestibulum, mata,
dan somatosensorik berfungsi baik. Yang termasuk dalam kelompok
ini antara lain motion sickness, space sickness, height vertigo.
2. Vertigo Patologis
a. Vertigo sentral, diakibatkan oleh kelainan pada batang batang otak
atau pada serebelum.
b. Vertigo perifer, disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau
pada nervus vestibulocochlear (N. VIII).
c. Medical vertigo, dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah,
gula darah yang rendah, atau gangguan metabolik akibat obat-
obatan atau akibat infeksi sistemik.
18
Red flag pada pasien dengan vertigo meliputi:7
Sakit kepala
Gejala neurologis
Tanda neurologis
Vertigo Sentral
Disebabkan oleh adanya gangguan di batang otak atau di
serebelum. Biasanya disertai dengan adanya gejala lain yang khas,
misalnya diplopia, parestesia, perubahan sensibilitas, gangguan fungsi
motorik, rasa lemah.5
Vertigo Perifer
Berdasarkan lamanya serangan, dibagi menjadi:9
- Episode vertigo yang berlangsung beberapa detik.
Paling sering disebabkan oleh vertigo posisional benigna. Dapat
dicetuskan oleh perubahan posisi kepala. Paling sering penyebabnya
idiopatik (tidak diketahui), namun dapat juga diakibatkan oleh trauma
di kepala, pembedahan telinga atau oleh neuronitis vestibular.
Prognosis umumnya baik, gejala menghilang secara spontan.
- Episode vertigo yang berlangsung beberapa menit atau jam.
Dapat dijumpai pada penyakit meniere atau vestibulopati berulang.
Penyakit meniere mempunyai trias gejala khas, yaitu ketajaman
pendengaran menurun (tuli), vertigo, dan tinitus.
- Serangan vertigo yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu.
Neuronitis vestibular merupakan kelainan yang paling sering. Ditandai
dengan vertigo, nausea, muntah, timbul mendadak. Gejala ini dapat
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Fungsi
pendengaran tidak terganggu pada neuronitis vestibular. Pada
pemeriksaan fisik mungkin dijumpai nistagmus.
19
Perbedaan tanda klinis vertigo vestibular perifer dan sentral.
Perifer Sentral
Bangkitan vertigo Mendadak Lambat
Derajat vertigo Berat Ringan
Pengaruh gerakan kepala (+) (-)
Gejala otonom (++) (-)
Gangguan pendengaran (+) (-)
III. PATOFISIOLOGI
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh
yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi
aferen) dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Informasi
yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik. Reseptor vestibuler memberikan
kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor
visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.9
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat
integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual
dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya
dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons
yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh
dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala
dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan
tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis,
atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo
dan gejala otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak
20
adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus,
unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan, dan gejala-gejala lainnya.10
Beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya vertigo diantaranya
adalah:
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation).
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis, akibatnya akan timbul
vertigo, nistagmus, mual, dan muntah.
2. Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal
dari berbagai reseptor sensorik perifer, yaitu antara mata, vestibulum,
dan proprioseptik. Atau karena ketidakseimbangan masukan sensoris
dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan
kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat
berupa nistagmus, ataksia, rasa melayang, berputar.
3. Teori neural mismatch.
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik. Menurut
teori ini otak mempunyai memori tentang pola gerakan tertentu,
sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang tidak sesuai
dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan
saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-
ulang akan terjadi mekanisme adaptasi, sehingga berangsur-angsur
tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik.
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usaha adaptasi perubahan posisi. Gejala klinis timbul jika sistem
simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistem parasimpatis
mulai berperan.
5. Teori neurohumoral.
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl), dan teori
serotonin (Lucat), yang masing-masing menekankan peranan
21
neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori sinaps.
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi
pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan
menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (Corticotropin
Releasing Factor). Peningkatan kadar CRF selanjutnya akan
mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan
mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf
parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering
timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, kemudian berkembang menjadi mual, muntah, dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan
saraf parasimpatis.
IV. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa
gejala primer, sekunder, ataupun gejala non spesifik. Gejala primer berupa
vertigo, impulsion, oscilopsia, ataxia, dan gejala pendengaran. Vertigo,
diartikan sebagai sensasi berputar. Vertigo horizontal merupakan tipe yang
paling sering. Jika bersamaan dengan nistagmus, pasien biasanya
merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang berlawanan dengan
komponen lambat nistagmus.12
Informasi penting yang didapatkan dari anamnesis dapat digunakan untuk
membedakan perifer atau sentral meliputi:2
1. Karekteristk dizziness
Perlu ditanyakan mengenai sensasi yang dirasakan pasien
apakah sensasi berputar atau sensasi non spesifik seperti giddiness,
atau light headness, atau hanya suatu perasaan yang berbeda (seperti
kebingungan).
22
2. Keparahan
Keparahan suatu vertigo juga dapat membantu, misalnya pada
acute vestibular neuritis, gejala awal biasanya parah namun berkurang
dalam beberapa hari kedepan. Pada Ménière’s disease, awalnya
keparahan biasanya meningkat dan kemudian berkurang setelahnya.3
3. Onset dan durasi vertigo
Semakin lama durasi vertigo, maka kemungkinan ke arah
vertigo sentral menjadi lebih besar. Vertigo perifer umumnya memilki
onset akut dibandingkan vertigo sentral, kecuali pada cerebrovascular
attack. 2
Vertigo sentral biasanya berkembang bertahap (kecuali
yang berasal dari vaskular). Lesi sentral biasanya menyebabkan tanda
neurologis tambahan, menyebabkan ketidakseimbangan yang parah,
nistagmus murni vertikal, horizontal, atau torsional, dan tidak dapat
dihambat oleh fiksasi mata pada objek.
4. Faktor Pencetus
Faktor pencetus dapat mempersempit diagnosis banding pada
vertigo vestibular perifer. Jika gejala terjadi hanya ketika perubahan
posisi, penyebab yang paling mungkin adalah BPPV. Infeksi virus
pada saluran pernapasan atas kemungkinan berhubungan dengan acute
vestibular neutritis atau acute labyrhintis. Vertigo dapat disebabkan
oleh fistula perilimfatik (karena post trauma langsung, barotraumas),
biasanya muncul saat pasien mengejan atau bersin). Adanya fenomena
Tullio’s (nistagmus dan vertigo yang disebabkan suara bising pada
frekuensi tertentu) mengarah kepada penyebab perifer. 3
5. Gejala Penyerta
Kebanyakan penyebab vertigo dengan gangguan pendengaran
berasal dari perifer, kecuali pada penyakit serebrovaskular yang
mengenai arteri auditorius interna atau arteri serebelar anterior
23
inferior. Nyeri yang menyertai vertigo dapat terjadi bersamaan dengan
infeksi akut telinga tengah, penyakit infasiv pada tulang temporal,
atau iritasi meningeal. Vertigo sering bersamaan dengan muntah dan
mual pada acute vestibular neuronitis, Meniere’s Disease yang parah,
dan BPPV.
Pada vertigo sentral mual dan muntah tidak terlalu parah.
Gejala neurologis berupa kelemahan, disarthria, gangguan penglihatan
dan pendengaran, parestesia, penurunan kesadaran, ataksia, atau
perubahan lain pada fungsi sensori dan motoris lebih mengarahkan
diagnosis ke vertigo sentral, misalnya penyakit cererovascular,
neoplasma, atau multiple sklerosis.3
6. Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga dengan migraine, kejang, Meniere’s
Disease, atau tuli pada usia muda perlu ditanyakan.
7. Riwayat pengobatan
Beberapa obat dapat menginduksi terjadinya vertigo, seperti
obat-obatan ototoksik, obat anti epilepsi, antihipertensi, dan sedatif.
V. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan leher, dan
system kardiovaskular.
1. Pemeriksaan Neurologik
Pemeriksaan nervus kranialis penting untuk mencari tanda paralisis, tuli
sensorineural, nistagmus. 2
Nistagmus vertikal 80% sensitif untuk lesi nukleus vestibular atau
vermis serebelar. Nistagmus horizontal yang spontan, dengan atau tanpa
nistagmus rotator, konsisten dengan acute vestibular neuronitis.
Gait test:
a. Romberg’s sign, pada sebuah studi, hanya 19% sensitive untuk
gangguan vestibular dan tidak berhubungan dengan penyebab yang
lebih serius dari dizziness (tidak terbatas hanya pada vertigo,
24
misalnya drug related vertigo, seizure, arrhythmia, atau
cerebrovascular event).3
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan
kedua mata terbuka, kemudian tertutup. Biarkan pada posisi
demikian selama 20-30 detik. Pada kelainan vestibuler, hanya pada
mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis
tengah, kemudian kembali lagi, sedangkan pada mata terbuka
badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler
badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun
pada mata tertutup.
Gambar 7. Romberg’s Sign.
b. Heel-to-Toe Walking Test
c. Unterberger's Sstepping Test, pasien berdiri dengan kedua lengan
lurus horisontal ke depan, kemudian jalan di tempat dengan
mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada
kelainan vestibuler, posisi penderita akan menyimpang/berputar ke
arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram, kepala
dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi
dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan
ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
25
Gambar 8. Unterberger’s Stepping Test.
d. Post-pointing Test (Uji Tunjuk Barany), dengan jari telunjuk
ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat
lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh
telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang
dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan
terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.
Gambar 9. Post-pointing Test.
Pemeriksaan Fungsi Vestibuler
Dix-Hallpike Manoeuvre
Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang
dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45º di bawah garis horisontal,
kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan, lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul
26
dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah
lesinya perifer atau sentral.
Perifer: vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik,
hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes
diulang-ulang beberapa kali (fatigue).
Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih
dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).
Test hiperventilasi
Tes ini dilakukan jika pemeriksaan-pemeriksaan yang lain hasilnya
normal. Pasien diinstruksikan untuk bernapas kuat dan dalam 30 kali.
Tanyakan apakah prosedur tersebut menginduksi terjadinya vertigo. Jika
pasien merasakan vertigo tanpa nistagmus, maka didiagnosis sebagai
sindroma hiperventilasi. Jika nistagmus terjadi setelah hiperventilasi,
menandakan adanya tumor pada nervus VIII. 5
Tes Kalori
Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana. Kepala penderita
diangkat ke belakang, menengadah 60º. Tabung suntik berukuran 20 mL
dengan ujung jarum yang dilindungi oleh karet ukuran no.15 diisi dengan
air bersuhu 30ºC, air disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1
mL/detik.
Bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus.
Arah gerak nistagmus ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang
dialiri (karena air yang disuntikkan lebih dingin dari suhu badan). Arah
gerak, frekuensi (biasanya 3-5 kali/detik), dan lamanya nistagmus
berlangsung dicatat (Biasanya antara ½-2 menit). Setelah istirahat 5 menit,
telinga ke-2 dites. Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan
lamanya nistagmus pada kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir
serupa.
Pemeriksaan selanjutnya, 5 mL air es diinjeksikan ke telinga secara
lambat. Pada keadaan normal, hal ini akan mencetuskan nistagmus yang
berlangsung 2-2,5 menit. Bila tidak timbul nistagmus, dapat disuntikkan air
es 20 mL selama 30 detik. Bila ini juga tidak menimbulkan nistagmus, maka
27
dapat dianggap bahwa labirin tidak berfungsi. Tes ini memungkinkan kita
menentukan apakah keadaan labirin normal hipoaktif atau tidak berfungsi.
Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit untuk merekam
gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat
dianalisis secara kuantitatif.
Posturografi
Tes ini dilakukan dengan 6 tahap :
a. Pertama, mata terbuka dan tempat berdiri terfiksasi.
b. Kedua, mata ditutup dan tempat berdiri terfiksasi.
c. Ketiga, melihat pemandangan yang bergoyang, berdiri pada tempat
yang terfiksasi. Dengan bergeraknya objek yang dipandang, maka
input visual tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk orientasi
ruangan.
d. Keempat, objek yang dilihat diam, namun tumpuan untuk berdiri
digoyang. Dengan bergoyangnya tempat berpijak, maka input
somatosensorik dari bagian bawah badan dapat diganggu.
e. Kelima, mata ditutup dan tempat berdiri digoyang.
f. Keenam, melihat pemandangan yang bergoyang dan tempat berdiri
digoyang.
Fungsi Pendengaran
a. Tes garpu tala: Rinne, Weber, Schwabach (untuk membedakan tuli
konduktif dan tuli perseptif).
b. Audiometri: Loudness Balance Test, Bekesy Audiometry, Tone
Decay.
2. Pemeriksaan Kepala dan Leher
- Pemeriksaan membran timpani untuk menemukan vesikel, misalnya
pada Herpes Zooster Auticus (Ramsay Hunt Syndrome) atau
kolesteatoma.
28
- Hennebert’s Sign, vertigo atau nistagmus akan terjadi ketika
mendorong tragus dan meatus akustikus eksternus mengindikasikan
adanya fistula perilimfatik.2
- Valsava Manoeuvre, hidung ditutup kemudian melakukan exhalasi
dengan mulut, untuk meningkat tekanan melawan tuba eusthacius dan
telinga dalam, akan menyebabkan vertigo pada pasien dengan fistula
perilimfatik.
- Head Impulses Test, pasien duduk tegak dengan mata terfiksasi pada
objek sejauh 3 m, pasien diinstruksikan untuk tetap melihat objek
ketika pemeriksa menolehkan kepala pasien. Dimulai dengan
pemeriksa menolehkan kepala pasien ke salah satu sisi pelan-pelan,
setelah itu pemeriksa menolehkan kepala pasien sisi lainnya dengan
cepat (sejauh 20°). Pada orang yang normal tidak timbul nistagmus,
mengindikasikan pandangan mereka terfiksasi di objek. Jika ada
nistagmus setelahnya maka mengindikasikan bahwa terdapat lesi pada
vestibular perifer.
3. Pemeriksaan Cardiovascular
Perubahan orthostatik pada tekanan darah sistolik (misalnya turun 20
mmHg atau lebih) dan nadi (misalnya meningkat 10 denyutan per menit)
pada pasien dengan vertigo menunjukkan masalah dehidrasi dan disfungsi
otonom.
Gambar 10. Head Impulses Test.
29
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometri, tes
vestibular, evalusi hasil pemeriksaan lab, dan evalusi radiologis.
Tes audiometri tidak selalu diperlukan. Tes ini diperlukan jika
pasien mengeluhkan gangguan pendengaran.
Tes vestibular tidak dilakukan pada semua pasien dengan keluhan
dizziness. Tes vestibular dilakukan apabila hasil pemeriksaan lain
meragukan.
Pemeriksaan lab yang meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah,
dan fungsi tiroid dapat membantu menentukan etiologi vertigo.
Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
vertigo yang memiliki tanda dan gejala neurologis dan tuli unilateral yang
progresif. MRI kepala mengevaluasi struktur dan integritas batang otak,
serebelum, periventricular white matter, dan kompleks nervus VIII. 11
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Sekitar 20%-40% pasien dapat didiagnosis segera setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Diagnosis juga dapat ditentukan berdasarkan komplek
gejala yang terdapat pada pasien dan durasi serangan.
VIII. DIAGNOSIS BANDING
30
Vertigo dengan tuli Vertigo tanpa tuli Vertigo dengan tanda
intracranial
Ménière’s disease Vestibular neuritis Tumor Cerebellopontine
angle
Labyrinthitis Benign positional vertigo Vertebrobasilar insufficiency
dan thromboembolism
Labyrinthine trauma Acute vestiblar dysfunction Tumor otak
Acoustic neuroma Medication induced vertigo
e.g aminoglycosides
Migraine
Acute cochleo-
vestibular dysfunction
Cervical spondylosis Multiple sklerosis
Syphilis (rare) Following flexion-
extension injury
Aura epileptic attack-
terutama temporal lobe
epilepsy
Obat-obatan- misalnya,
phenytoin, barbiturate
Syringobulosa
IX. TERAPI
1. Medikamentosa
Karena penderita seringkali merasa terganggu dengan keluhan
vertigo maka seringkali diberikan pengobatan simptomatik. Lamanya
pengobatan bervariasi. Beberapa golongan yang sering digunakan :
Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.
Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat,
difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti
vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat.
Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada
31
penderita vertigo yang berat efek samping ini memberikan dampak yang
positif.
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat
meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi
gejala vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di lambung dan
sesekali timbul “rash” di kulit.
• Betahistin Mesylate (Merislon) 6 mg,
Diberikan 1-2 tablet, 3 kali sehari, per oral.
• Betahistin Hcl (Betaserc) 8 mg,
Diberikan 1 tablet, 3 kali sehari, per oral (maksimum 6 tablet).
Dimenhidrinat (Dramamine), lama kerja obat ini ialah 4–6 jam.
Dapat diberi per oral atau parenteral (suntikan intramuscular dan
intravena). Dapat diberikan dengan dosis 25–50 mg, 4 kali sehari. Efek
samping ialah mengantuk.
Difhenhidramin Hcl (Benadryl), lama aktivitas obat ini ialah 4–6
jam, diberikan dengan dosis 25–50 mg, 4 kali sehari. Obat ini dapat juga
diberikan parenteral. Efek samping mengantuk.
Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium seperti Cinnarizine (Stugeron) dan
Flunarizine (Sibelium) sering digunakan. Merupakan obat supresan
vestibular, karena sel rambut vestibular mengandung banyak terowongan
kalsium. Namun antagonis kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti
anti kholinergik dan antihistamin. Cinnarizine (Stugerone) mempunyai
khasiat menekan fungsi vestibular, mengurangi respon terhadap akselerasi
angular dan linier. Dosis lazimnya 15–30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg
sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk, rasa lelah, diare atau
konstipasi, mulut terasa kering, dan “rash” di kulit.
Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti
muntah). Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo.
32
Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif
untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun kurang
berkhasiat terhadap vertigo. Promethazine (Phenergan) merupakan golongan
Fenotiazine yang paling efektif mengobati vertigo. Lama aktivitas obat ini
ialah 4–6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5–25 mg, 4 kali sehari, per oral
atau parenteral (intramuscular atau intravena). Efek samping yang sering
dijumpai ialah mengantuk, sedangkan efek samping ekstrapiramidal lebih
sedikit disbanding obat Fenotiazine lainnya.
Khlorpromazine (Largactil) dapat diberikan pada penderita dengan
serangan vertigo yang berat dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral
atau parenteral (intramuscular atau intravena). Dosis lazimnya 25–50 mg,
3–4 kali sehari. Efek samping mengantuk.
Obat Simpatomimetik
Salah satu obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk
menekan vertigo ialah Efedrin. Lama aktivitas ialah 4–6 jam. Dosis dapat
diberikan 10-25 mg, 4 kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila
dikombinasi dengan obat anti vertigo lainnya. Efek samping insomnia,
palpitasi, dan gelisah/gugup.
Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi
kecemasan yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo. Efek
samping mulut kering dan penglihatan kabur. Lorazepam, dosis dapat
diberikan 0,5-1 mg. Diazepam, dosis dapat diberikan 2-5 mg.
Obat Anti Kholinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas
sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo. Skopolamin dapat
dikombinasi dengan Fenotiazine atau Efedrin dan mempunyai efek
sinergis. Dosis skopolamin 0,3–0,6 mg, 3–4 kali sehari.
33
2. Non Medikamentosa
Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi
gangguan keseimbangan. Namun dapat dijumpai beberapa penderita
yang kemampuan adaptasinya kurang baik. Hal ini mungkin disebabkan
oleh adanya gangguan lain di susunan saraf pusat, atau didapatkan
defisit sistem visual atau proprioseptifnya. Apabila obat tidak banyak
membantu, maka diperlukan latihan fisik vestibular. Latihan bertujuan
untuk mengatasi gangguan vestibular, membiasakan, dan mengadaptasi
diri terhadap gangguan keseimbangan. Tujuan latihan ialah :
- Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau
disekuilibrium, untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya
secara lambat laun.
- Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.
- Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan.
Contoh latihan:
- Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup.
- Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi,
ekstensi, gerak miring).
- Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian
dengan mata tertutup.
- Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan
mata tertutup.
- Berjalan “tandem” (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang
satu menyentuh jari kaki lainnya dalam melangkah).
- Jalan menaiki dan menuruni permukaan miring.
- Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.
- Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan
juga memfiksasi pada objek yang diam.
34
Terapi Fisik Brand-Darrof
Gambar 11. Terapi fisik Brand-Darrof.
Keterangan Gambar:
• Pasien dalam posisi duduk.
• Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian balik
posisi duduk.
• Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-masing
gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan berulang kali.
• Untuk awal cukup 1-2 kali kiri-kanan, makin lama makin bertambah.
Terapi Spesifik
BPPV
Pada kondisi ini tidak direkomendasikan terapi obat-obatan. Vertigo
dapat membaik dengan manuver rotasi kepala. Hal ini akan memindahkan
deposit kalsium yang bebas ke belakang vestibulum. Manuver ini meliputi
reposisi kanalit berupa Epley’s Manoeuvre. Pasien perlu tetap tegak selama 1
samapi 2 jam setelah reposisi kanalit untuk mencegah deposit kalsium kembali
ke kanalis semisirkularis.
Vestibular Neuronitis - Vestibular Labirynthis
Terapi difokuskan pada gejala menggunakan terapi obat-obatan yang
diikuti dengan latihan vestibular.
35
Meniere’s Disease
Terapi dengan prinsip menurunkan tekanan endolimfatik. Walaupun
diet rendah garam dan diuretik seringkali mengurangi keluhan vertigo, tetapi
hal ini kurang efektif dalam mengobati ketulian dan tinnitus.
Pada kasus yang jarang, intervensi bedah seperti dekompresi dengan
endolimfatic shunt atau cochleosacculoctomy dibutuhkan jika penyakit ini
resisten terhadap pengobatan diuretik dan diet rendah garam.
Iskemik Vaskular
Terapi Transient Ischemic Attack dan stroke melalui kontrol tekanan
darah, menurunkan level kolesterol, inhibisi fungsi platelet (diantaranya
dengan aspirin, clopidogrel, dan warfarin), dapat mencegah terjadinya
serangan ulang.
Vertigo akut yang disebabkan oleh stroke pada batang otak atau
serebelum diobati dengan obat-obatan yang mensupresi vestibular. Sesegera
mungkin dilakukan tappering-off dosis obat anti vertigo dan latihan
rehabilitasi vestibular harus segera dimulai.
Pemasangan vertebrobasilar stent diperlukan pada pasien dengan
stenosis arteri vertebralis.
Perdarahan pada serebelum dan batang otak memberikan resiko
kompresi, sehingga diperlukan dekompresi melalui tindakan neurosurgery.
36
B. HIPERTENSI
I. DEFINISI
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan menjadi hipertensi primer/esensial (90-95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%). Disebut hipertensi primer bila tidak ditemukan
penyebab dari peningkatan tekanan darah, dan disebut hipertensi sekunder bila
disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme
primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan
renovaskuler, serta akibat obat-obatan.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prahipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.
Klasifikasi Tekanan
DarahTekanan Darah Sistolik
(mmHg)Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)Normal < 120 < 80
Prahipertensi 120-139 80-89Hipertensi derajat 1 140-159 90-99Hipertensi derajat 2 > 160 > 100
II. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
hipertensi primer/esensial dan hipertensi sekunder/renal.
1. Hipertensi Primer
Hipertensi primer/esensial tidak diketahui penyebabnya, disebut juga
hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya, seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf
simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na
dan Ca intraseluler, serta faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti
37
obesitas, alkohol, merokok, dan polisitemia. Hipertensi primer biasanya
timbul pada umur 30 – 50 tahun.
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder/renal terjadi pada sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular
renal, hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma,
koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-
lain.
III. GEJALA KLINIS
Peninggian tekanan darah terkadang merupakan satu-satunya gejala pada
hipertensi esensial, dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala
yang timbul dapat berbeda-beda. Hipertensi esensial dapat berjalan tanpa gejala,
dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target, seperti pada
ginjal, mata, otak, dan jantung.
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala, biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit
kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah
marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata
berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat, maka
dapat mengakibatkan kematian yang disebabkan karena payah jantung, infark
miokardium, stroke, atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan perawatan
hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas.
IV. PATOFISIOLOGI
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam
pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer
38
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan
hipertensi esensial antara lain:
1. Curah jantung dan tahanan perifer.
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial, curah
jantung biasanya normal, tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah
ditentukan oleh konsentrasi sel otot polos yang terdapat pada arteriol kecil.
Peningkatan konsentrasi sel otot polos akan berpengaruh pada peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot polos ini
semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol, hal ini
mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya
tahanan perifer yang irreversible.
2. Sistem Renin-Angiotensin.
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi
oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon dari adanya glomerulus
underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
saraf simpatetik.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE
memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin
akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II berpotensi besar
meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui
dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
39
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh, sehingga urin menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga
meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
3. Sistem Saraf Otonom.
Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi maupun
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran penting dalam
pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi
antara sistem saraf otonom, sistem renin-angiotensin, dan faktor-faktor lain
termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon.
4. Disfungsi Endotelium.
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
mengontrol pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif
lokal, yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi
endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis
pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi
dari oksida nitrit.
5. Substansi Vasoaktif.
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transport natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin
merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin
dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan
40
sistem Renin-Angiotensin lokal. Arterial Natriuretic Peptide merupakan
hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan
volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal
yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi.
6. Hiperkoagulasi.
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dinding pembuluh
darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan
faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat
menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan
semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah
dengan pemberian obat anti-hipertensi.
7. Disfungsi Diastolik.
Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika
terjadi tekanan diastolik. Hal ini terjadi guna memenuhi peningkatan
kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga dimana terjadi
peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan
ventrikel.
V. FAKTOR RESIKO HIPERTENSI
Sampai saat ini penyebab hipertensi belum dapat diketahui dengan jelas.
Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi antara lain:
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
a. Keturunan.
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua
yang salah satu atau keduanya menderita hipertensi, maka orang tersebut
mempunyai risiko lebih besar untuk terkena hipertensi. Adanya riwayat
keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung secara signifikan akan
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada perempuan dibawah 65 tahun
dan laki–laki dibawah 55 tahun.
41
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah.
Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem Renin-
Angiotensin. Secara umum tekanan darah pada laki–laki lebih tinggi daripada
perempuan. Pada perempuan, risiko hipertensi akan meningkat setelah masa
menopause yang mununjukkan adanya pengaruh penurunan hormon estrogen.
c. Umur
Menurut beberapa penelitian telah yang dilakukan, terbukti bahwa semakin
tinggi umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini
disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah yang semakin menurun.
Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum
umur 55 tahun tekanan darah pada laki–laki lebih tinggi daripada perempuan.
Setelah umur 65 tahun, tekanan darah pada perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki.
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
a. Merokok.
Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan beban
kerja jantung dan menaikkan tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam
rokok dapat meningkatkan penggumpalan darah dan menyebabkan
pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap
jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik
maupun diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti
dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh darah
koroner meningkat, dan terjadi vasokontriksi pada pembuluh darah perifer.
b. Obesitas.
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal, erat kaitannya dengan
hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya
penambahan berat badan. Tidak semua obesitas dapat terkena hipertensi.
42
Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal ( > 120/80 mmHg) akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat
badan efektif untuk menurunkan hipertensi. Penurunan berat badan sekitar 5
kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan.
c. Stres.
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres
berlangsung lama maka dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang
menetap.
d. Aktifitas Fisik.
Aerobik yang cukup, misalnya berjalan cepat 30–45 menit setiap hari
membantu menurunkan tekanan darah secara langsung. Olahraga secara
teratur dapat menurunkan tekanan darah pada semua kelompok.
e. Asupan.
1) Asupan Natrium
Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum
normal (136-145 mEq/L). Natrium berfungsi menjaga keseimbangan
cairan dan keseimbangan asam basa tubuh, serta berperan dalam transfusi
saraf dan kontraksi otot.
Perpindahan air antara cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh
kekuatan osmotik. Natrium klorida pada cairan ekstraseluler, kalium
dengan zat–zat organik pada cairan intraseluler, adalah zat–zat yang sangat
berperan dalam menentukan konsentrasi air pada kedua sisi membran.
Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi
terutama di usus halus. Mekanisme pengaturan keseimbangan volume
tergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi
efektif adalah bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskular
yang melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada orang sehat, volume
43
cairan ekstraseluler umumnya berubah–ubah sesuai dengan sirkulasi
efektifnya, dan berbanding secara proporsional dengan jumlah total
natrium dalam tubuh. Natrium diabsorpsi secara aktif, setelah itu dibawa
oleh aliran darah ke ginjal, natrium kemudian disaring dan dikembalikan
ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kadar
natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang mencapai 90-99% akan
dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh hormon
aldosteron yng dikeluarkan kelenjar adrenal bila kadar natrium dalam
darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal untuk mengasorpsi natrium
kembali. Jadi tinggi rendahnya jumlah natrium dalam urin berbanding
lurus dengan jumlah natrium yang dikonsumsi.
Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang yang secara genetik
sensitif terhadap natrium, misalnya seperti pada orang Afro-Amerika, para
lansia, dan para penderita hipertensi atau diabetes. Asosiasi Jantung
Amerika menganjurkan setiap orang untuk membatasi asupan garam tidak
lebih dari 6 gram per hari. Pada populasi dengan asupan natrium lebih dari
6 gram per hari tekanan darahnya meningkat lebih cepat dengan
meningkatnya umur, serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan.
Hubungan antara restriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum
jelas. Namun berdasarkan studi epidemiologi diketahui terjadi kenaikan
tekanan darah ketika asupan garam ditambah.
2) Asupan Kalium.
Kalium merupakan ion utama dalam cairan intraseluler. Cara kerja kalium
adalah kebalikan dari cara kerja natrium. Konsumsi kalium yang banyak
akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraseluler, sehingga
cenderung menarik cairan ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah.
Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh aldosteron.
Peningkatan sekresi aldosteron selain menyebabkan reabsorbsi natrium
dan air, juga meningkatkan ekskresi kalium. Sebaliknya penurunan sekresi
aldosteron menyebabkan ekskresi natrium dan air, juga meningkatkan
44
penyimpanan kalium. Rangsangan utama sekresi aldosteron adalah
penurunan volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Ekskresi
kalium juga dipengaruhi oleh keadaan asam basa dan kecepatan aliran di
tubulus distal.
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan rendah kalium akan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling,
yang mengindikasikan terjadinya resistansi pembuluh darah pada ginjal.
Pada populasi dengan asupan tinggi kalium, tekanan darah dan prevalensi
hipertensi lebih rendah dibanding dengan populasi yang mengkonsumsi
kalium dalam jumlah rendah.
3) Asupan Magnesium.
Magnesium merupakan inhibitor yang kuat terhadap kontraksi vaskuler
otot polos, dan diduga berperan sebagai vasodilator dalam regulasi tekanan
darah. The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Presure (JNC) melaporkan bahwa terdapat
hubungan timbal balik antara magnesium dan tekanan darah.
Walaupun sebagian besar penelitian klinis menyebutkan bahwa
suplementasi magnesium tidak efektif untuk mengubah tekanan darah. Hal
ini dimungkinkan karena adanya efek pengganggu dari obat anti
hipertensi. Meskipun demikian, suplementasi magnesium
direkomendasikan untuk mencegah kejadian hipertensi.
VI. KERUSAKAN ORGAN TARGET
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, nbik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui
pada pasien hipertensi adalah:
1. Penyakit ginjal kronis.
2. Penyakit jantung:
a. Hipertrofi ventrikel kiri.
45
b. Angina atau infark miokardium.
c. Gagal jantung.
3. Gangguan fungsional otak:
a. Stroke.
b. Transient Ischemic Attack (TIA).
4. Penyakit arteri perifer.
5. Retinopati hipertensi.
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ
tersebut dapat merupakan akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada
organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain karena adanya autoantibodi
terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi
nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet
tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya
kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya
ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β).
VII. EVALUASI HIPERTENSI
Evaluasi hipertensi bertujuan untuk:
1. Menilai pola hidup, identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular,
menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis, dan
menentukan pengobatan.
2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit
kardiovaskular.
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang
keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah penderita.
46
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder:
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal.
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri,
pemakaian obat-obat analgesik dan obat/bahan lain.
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma).
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme).
3. Faktor-faktor resiko:
a. Riwayat hipertensi atau penyakit kardiovaskular pada pasien
atau keluarga pasien.
b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya.
c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya.
d. Kebiasaan merokok.
e. Pola makan.
f. Kegemukan, intensitas aktivitas dan olahraga.
g. Kepribadian penderita.
4. Gejala kerusakan organ:
a. Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attack, defisit sensoris atau motoris.
b. Ginjal: rasa haus, poliuria, nokturia, hematuria.
c. Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, oedema ekstremitas
inferior.
d. Arteri perifer: perabaan ekstremitas dingin.
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya.
Pemeriksaan penunjang untuk pasien hipertensi terdiri dari:
a. Tes darah rutin.
b. Glukosa darah (sebaiknya glukosa darah puasa).
c. Kolesterol total serum.
d. LDL dan HDL serum.
e. Trigliserida serum (sebaiknya trigliserida serum puasa).
47
f. Asam urat serum.
g. Kreatinin serum.
h. Kalium serum.
i. Hemoglobin dan hematokrit.
j. Urinalisis.
k. Elektrokardiogram.
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya
kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya
hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala.
Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi:
1. Fungsi ginjal:
a. Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria
(mikro dan makro albuminuria) serta rasio albumin-kreatinin
urin.
b. Perkiraan Glomerulus Filtration Rate (GFR), yang untuk pasien
dalam kondisi stabil dapat diperkirakan dengan menggunakan
modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran
National Kidney Foundation (NKF), yaitu:
Klirens Kreatinin= (140-Umur) x Berat Badan x (0,85 untuk perempuan)
72 x Kreatinin Serum
Formula MDRD (Modification of Diet in Renal Disease), GFR=
175 x Kreatinin Serum – 1,154 x Usia – 0,203 x (0,742 jika wanita) x (1,212 jika Afro-Amerika)
VIII. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
A. Penatalaksanaan Farmakologis
Pedoman dari ESH 2007 merekomendasikan 5 golongan obat anti
hipertensi, yaitu diuretic thiazid, calcium antagonists, ACE inhibitors, angiotensin
receptor antagonists, dan beta blockers. Obat-obatan tersebut dapat digunakan
48
sebagai first-line treatment (initiation and maintenance), baik sebagai monoterapi
atau kombinasi.
ESH-2007 menganjurkan penggunaan beta blockers dan diuretic
thiazid sebaiknya tidak diberikan pada individu dengan sindroma metabolik dan
risiko tinggi diabetes, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi obat
tersebut dapat menimbulkan penyakit diabetes.
Terapi hipertensi sering memerlukan lebih dari satu macam obat anti
hipertensi, sehingga perlu dipertimbangkan pemilihan obat sebagai first
class sesuai dengan compelling indications. Keadaan khusus seperti hipertensi
pada usia lanjut, kehamilan, atau krisis hipertensi akan memerlukan penanganan
khusus dengan pilihan obat anti hipertensi tertentu.
Prinsip pengobatan hipertensi :
• Sekiranya tekanan darah tidak mencapai target yang
diinginkan,dosis obat dapat ditingkatkan hingga mencapai dosis
maksimum.Bisa juga digantikan dengan obat dari kelas yang lain,
atau ditambah obat kedua dari kelas yang lain.
• Sekiranya respon pengobatan inisial adekuat maka pengobatan
diteruskan.
• Untuk penambahan obat perlu pertimbangkan untuk menambah
obat golongan diuretik
• Apabila ada kelainan ginjal, pertimbangkan penggunaan loop
diuretic yang berbanding dengan diuretic tiazid.
• Jangan kombinasikan obat dari kelas yang sama.
Anti hipertensi lainnya, yakni vasodilator langsung seperti adrenolitik
sentral (α2 agonis) dan penghambat saraf adrenergik, tidak digunakan untuk
monoterapi tahap pertama, tetapi hanya antihipertensi tambahan.
Pilihan obat bagi masing-masing penderita bergantung pada:
1. Efek samping metabolik dan gejala subyektif.
2. Penyakit lain yang mungkin diperbaiki atau bahkan diperburuk
oleh pilihan anti hipertensi.
49
3. Pemberian obat lain yang mungkin berinteraksi dengan anti
hipertensi yang telah diberikan sebelumnya dan pertimbangan
biaya pengobatan.
Jenis-jenis obat anti hipertensi:
Diuretik.
Efek nyang ditimbulkan adalah peningkatan ekskresi natrium, klorida dan
air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Vasodilatasi perifer
yang terjadi disebabkan adanya penyesuaian pembuluh darah perifer terhadap
pengurangan volume plasma terus menerus. Selain itu, dapat pula terjadi
pengurangan kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya lentur
(compliance) vascular.
Diuretik tiazid dan sejenisnya.
Berbagai Tiazid (misal hidrokiorotiazid, bendroflumetiazid) merupakan
obat utama dalam terapi anti hipertensi pada penderita dengan fungsi ginjal yang
normal. Tiazid dapat dikombinasikan karena dapat meningkatkan efek hipotensif
obat lain. Selain itu, tiazid mencegah terjadinya retensi cairan yang disebabkan
anti hipertensi lain.
Namun, penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek samping metabolik,
yakni hipokalemia, hipomagnesimia, hiponatremia, hiperisemia, hiperkalsemia,
hiperglikemia, hiperkolestrolemia, dan hipertrigliseridemia. Ditambah lagi,
gangguan fungsi seksual dan rasa lemah juga dapat terjadi.
Diuretik kuat dan diuretik hemat kalium.
Diuretik kuat, misalnya furosemid lebih efektif dibanding tiazid untuk
hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal dan gagal jantung. Mula kerjanya lebih
cepat dan efek diuretiknya lebih kuat. Namun, untuk jenis hipertensi lain, tiazid
lebih unggul. Diuretik kuat dicadangkan untuk penderita dengan kreatinin serum ≤
2.5 mg/dl atau gagal jantung. Efek samping mirip seperti tiazid, hanya saja tidak
50
menimbulkan hiperkalsemia. Diuretik kuat harus diberikan dalam dosis rendah
disertai dengan pengaturan diet.
Diuretik hemat kalium merupakan diuretik lemah. Penggunaannya dengan
diuretik lain berfungsi untuk mencegah hipokalemia. Namun, jenis ini dapat
menyebabkan hiperkalemia, terutama pada penderita gangguan fungsi ginjal atau
bila dikombinasikan dengan penghambat ACE, suplemen kalium atau AINS.
Penderita dengan kreatinin serum ≥ 2.5 mg/dl tidak dianjurkan mengkonsumsi
jenis ini.
Penghambat Adrenergik.
Penghambat adrenoreseptor β (β-bloker).
Mekanisme β-adrenergik sebagai anti hipertensi masih belum jelas.
Diperkirakan ada beberapa cara, yakni:
1. Pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard.
2. Hambatan pelepasan NE melalui hambatan reseptor β2 presinaps.
3. Hambatan sekresi renin melalui hambatan rereptor β1 di ginjal.
4. Efek sentral.
Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat.
Efek tampak dalam 24 jam sampai 1 minggu. Pemberian pada orang normal tidak
akan menyebabkan hipotensi.
Β-bloker merupakan obat untuk hipertensi ringan-sedang dengan penyakit
jantung koroner atau dengan aritmia supraventrikuler maupun ventrikuler, dengan
kelainan induksi.
Efek samping yang mungkin muncul diantaranya adalah bronkospasme,
memperburuk gangguan pembuluh darah perifer, rasa lelah, insomnia,
eksaserebrasi gagal jantung, serta mengurangi kemampuan berolahraga. Efek
samping dapat dikurangi dengan pengaturan diet. Selain itu, pengurangan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat memperburuk fungsi ginjal.
Rebound hypertension jarang terjadi pada penghentian β-bloker secara mendadak.
51
Penghambat adrenoreseptor α (α-bloker).
α-bloker yang selektif memblok adrenoreseptor α-1 dapat digunakan
sebagai antihipertensi. α-bloker yang non-selektif juga menghambat adrenoseptor
α-2 diujung saraf adrenergik, sehingga meningkatkan pelepasan norepinephrin,
akibatnya terjadi perangsangan jantung yang berlebihan.
α-bloker menghambat reseptor α-1 di pembuluh darah sehingga terjadi
dilatasi vena dan arteriol. α-bloker merupakan satu-satunya golongan
antihipertensi yang memberikan efek positif pada lipid darah, (mengurangi LDL
dan trigliserida, meningkatkan HDL). α-bloker juga dapat menurunkan resistensi
insulin, mengurangi gangguan vaskular perifer, memberikan sedikit efek
bronkodilatasi dan mengurangi serangan asma akibat kegiatan fisik, merelaksasi
otot polos prostat dan leher kandung kemih sehingga mengurangi gejala hipertrofi
prostat, tidak menggangu aktivitas fisik, dan tidak berinteraksi dengan AINS.
Oleh karena itu, obat ini dianjurkan untuk penderita hipertensi disertai diabetes,
dislipidemia, obesitas, gangguan resistensi perifer, asma, hipertrofi prostat,
perokok, serta penderita muda yang aktif secara fisik dan mereka yang
menggunakan AINS.
Efek samping yang mungkin muncul di antaranya adalah hipotensi
ortostatik yang dapat terjadi sejak pemberian beberapa dosis pertama atau saat
dilakukan penambahan dosis. Efek lebih besar ialah kehilangan kesadaran sesaat,
atau yang ringan ialah pusing kepala.
ACE Inhibitor
Penghambat ACE yang bekerja langsung yaitu captropil dan lisinopril,
namun ada pula yang tidak langsung (pro drug).
Renin disekresi oleh sel jukstaglomerular (di dinding arteriol aferen) dan
oleh glomerulus ke dalam darah bila perfusi ginjal menurun, deplesi natrium, atau
karena terjadi stimulasi adrenergik (melalui reseptor β-1).
Renin akan memecah angiotensinogen menjadi angiotensin I (AI). AI akan
dikonversi oleh ACE menjadi Angiotensin II (AII) yang sangat aktif. AII bekerja
pada reseptor otot polos vaskuler, korteks adrenal, jantung, dan SSP untuk
52
menimbulkan konstriksi arteriol dan venula, stimulasi konsumsi air dan
peningkatan sekresi ADH. Akibatnya terjadi resistensi perifer, reabsorpsi natrium
dan air, serta peningkatan denyut jantung dan curah jantung.
Sistem RAA berperan dalam mempertahankan tekanan darah dan volume
intravaskular saat terdapat deplesi natrium dan cairan.
Penghambatan ACE akan mengurangi pembentukan AII sehingga tekanan
darah turun. Karena efek vasokonstriksi paling kuat antara lain ada di pembuluh
darah ginjal, pengurangan AII akan menimbulkan vasodilatasi renal yang kuat.
Penurunan tekanan darah oleh penghambat ACE disertai pengurangan resistensi
perifer tanpa refleks takikardia.
Penghambat ACE efektif untuk hipertensi ringan, sedang , maupun berat.
Pemberian bersama dengan penghambat adrenergik akan menimbulkan hipotensi
berat berkepanjangan.
Efek samping yang mungkin muncul antara lain batuk kering, ganguan
pengecapan, rash eritromatosis maupun oedem angioneurotik.
Penghambat Reseptor Angiotensin II.
Sistem RAS mempunyai hubungan yang erat dengan patogenesis timbulnya
dan perjalanan hipertensi. Angiotensin II yang merupakan mediator utama dari
sistem RAS.
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) merupakan kelompok obat yang
memodulasi sistem RAS dengan cara menginhibisi ikatan angiotensin II dengan
reseptornya. Penghambatan ini secara langsung memberikan efek vasodilatasi,
penurunan retensi air dan natrium, dan penurunan aktivitas seluler yang
merugikan (misalnya hipertrofi).
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah Valsartan (Diovan).
Efek samping yang mungkin timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas, dan mual.
Antagonis Kalsium.
Golongan dihidropiridin (DHP, nifedipin, nikardipin, isradipin, felodipin,
amilodipin) bersifat vaskuloselektif dan generasi yang baru mempunyai
53
selektivitas yang lebih tinggi. Kombinasi antagonis kalsium dengan β-bloker,
penghambat ACE atatu α-bloker meberikan efek baik, tetapi hanya memberikan
penambahan efek yang kecil saat kombinasi dengan diuretik. Kombinasi
verapamil atau diltiazem dengan β-bloker memberikan efek antihipertensi yang
adiktif.
Efek samping yang mungkin dijumpai ialah penurunan tekanan darah yang
terlalu besar dan cepat, angina pektoris pada penyakit jantung koroner,
vasodilatasi, edema perifer, bradiaritmia maupun konstipasi.
Adrenolitik Sentral.
Klonidin.
Efek hipotensifnya disertai penurunan resistensi perifer. Klonidin juga dapat
menyebabkan penurunan denyut jantung, antara lain akibat peningkatan tonus
vagal. Klonidin berguna pula untuk hipertensi mendesak.
Efek samping yang sering muncul ialah mulut kering dan sedasi, pusing,
mual, konstipasi, atau impotensi. Gejala ortostatik kadang-kadang terjadi. Efek
samping sentral misalnya, mimpi buruk, insomnia, cemas dan depresi.
Penggunaan secara tunggal dapat menyebabkan retensi cairan sehingga
mengurangi efek hipotensinya. Oleh karena itu, obat ini paling baik jika
digunakan bersama diuretik.
Guanabenz dan Guanfasin.
Sifat farmakologik termasuk efek sampingnya mirip klonidin. Guanfasin
memiliki waktu paruh lebih panjang (14-18 jam).
Metildopa.
Metildolpa dapat mengurangi resistensi perifer tanpa banyak mengubah
denyut jantung dan curah jantung. Penurunan TD maksimal 6-8 jam setelah dosis
oral.
Obat ini juga efektif jika dikombinasikan dengan tiazid. Selain itu, obat ini
juga merupakan pilihan untuk hipertensi pada kehamilan.
54
Pada insufisiensi ginjal terjadi akumulasi obat dan metabolitnya. Waktu
paruh obat 2 jam dan meningkat pada penderita uremia.
Efek samping yang dapat muncul di antaranya adalah sedasi, hipotensi
postural, pusing, mulut kering, gangguan tidur, depresi mental, impotensi,
kecemasan, penglihatan kabur, hidung tersumbat, dan sakit kepala. Efek samping
yang lebih serius di antaranya adalah anemia hemolitik, trombositopenia,
leukopenia, hepatitis, dan Lupus-like syndrome. Penghentian mendadak dapat
menyebabkan rebound phenomenon (peningkatan tekanan darah).
Penghambat saraf Adrenergik.
Reserpin
Reserpin mengurangi resistensi perifer dan denyut jantung. Retensi cairan
dapat terjadi jika tidak diberikan bersama diuretik.
Efek samping yang dapat terjadi di antaranya adalah letargi, kongesti nasal,
bradikardia, mulut kering, diare, mual, muntah, anoreksia, bertambahnya nafsu
makan, hiperasiditas lambung, mimpi buruk, depresi mental, disfungsi sexual, dan
ginekomastia.
Karena reserpin dapat meningkatkan asam lambung, maka harus diberikan
dengan hati-hati pada penderita dengan riwayat ulkus peptikum.
Guanetidin.
Efek hipotensif obat ini disebabkan karena berkurangnya curah jantung dan
turunnya resistensi perifer. Guanetidin merupakan venodilator yang kuat sehingga
hipotensi ortostatik yang hebat dapat terjadi. Obat ini juga sering menimbulkan
diare dan kegagalan ejakulasi. Guanetidin sekarang jarang digunakan.
Guanadrel.
Mekanisme dan efek samping mirip dengan Guanetidin, hanya saja
intensitas diare lebih rendah.
55
Penghambat Ganglion.
Trimetafan.
Kerjanya singkat dan digunakan untuk menurunkan tekanan darah pada
hipertensi darurat dan menghasilkan hipotensi terkendali selama bedah saraf atau
bedah kardiovaskular untuk mengurangi pendarahan.
Efek samping yang dapat muncul ialah paresis usus dan kandung kemih,
hipotensi ortostatik, penglihatan kabur, dan mulut kering.
Vasodilator.
Hidralazin.
Hidralazin menurunkan tekanan darah diastolik lebih banyak daripada
tekanan darah sistolik dengan menurunkan resistensi perifer. Oleh karena itu,
hidralazin lebih selektif mendilatasi arteriol dari pada vena.
Hidralazin sekarang jarang digunakan. Hidralazin i.v digunakan untuk
hipertensi darurat, terutama glomerulonefritis akut atau eklamasia.
Efek samping yang dapat muncul ialah retensi natrium dan air, iskemia
miokard pada penderita penyakit jantung koroner, dan sindroma Lupus.
Minoksidil.
Minoksidil efektif untuk semua penderita, maka berguna untuk terapi jangka
panjang hipertensi berat yang refrakter, untuk hipertensi akselerasi, atau hipertensi
maligna dengan penyakit ginjal.
Efek samping yang sering muncul ialah retensi cairan, takikardia, sakit
kepala, angina pectoris, efusi pleural dan pericardial.
Penghentian minoksidil mendadak dapat menyebabkan rebound
hypertension.
Diazoksid.
Obat ini digunakan pada hipertensi darurat. Diazoksid efektif untuk
hipertrofi ensefalopati, hipertensi maligna dan hipertensi berat dengan
56
glomerunefritis akut dan kronik. Penurunan tekanan darah yang cepat dapat
beresiko iskemia koroner.
Efek samping yang ada misalnya hipotensi, takikardia, iskemia jantung dan
otak akibat hipotensi, azotemia, hipersensitifitas.
Natrium Nitroprusid.
Nitroprusid merupakan obat paling cepat dan selalu efektif untuk
pengobatan hipertensi darurat. Namun perlu infus kontinyu untuk
mempertahankan efek hipotensifnya.
Efek samping yang ada berupa vasodilatasi yang berlebihan, muntah, mual,
dan muscle twitching.
Monoterapi dan Terapi Kombinasi.
Menurut ESH-2007, monoterapi dapat diberikan sebagai terapi inisial untuk
hipertensi ringan (derajat 1), dengan dosis rendah, kemudian untuk mencapai
target tekanan darah yang diinginkan dosis dapat dinaikkan sampai dosis
maksimal, atau diganti dengan obat yang mempunyai titik tangkap berbeda
(dimulai dengan dosis rendah), kemudian dosis dinaikkan sampai dosis maksimal.
Bila masih belum tercapai target yang diinginkan, dapat ditambah 2 sampai 3
macam obat.
Terapi kombinasi 2 obat diberikan untuk terapi inisial pada hipertensi
derajat 2 dan 3, bila dengan 2 macam obat target tekanan tidak tercapai dapat
diberikan 3 macam obat anti hipertensi.
Monoterapi hanya bisa menurunkan tekanan darah ke tekanan darah target
pada penderita dalam jumlah kasus yang terbatas. Pada beberapa pasien dengan
tekanan darah yang tidak dapat dikontrol dengan dua jenis pengobatan, kombinasi
tiga obat atau lebih.
57
Beberapa kombinasi obat yang efektif dengan toleransi yang baik
diantaranya adalah:
- Diuretik tiazid dan ACE Inhibitor.
- Diuretik tiazid dan antagonis reseptor angiotensin.
- Antagonis kalsium dan ACE inhibitor.
- Antagonis kalsium dan antagonis reseptor angiotensin.
- Antagonis kalsium dan diuretik tiazid.
- B-blocker dan antagonis kalsium (dihidropiridin).
B. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis (diet) sering sebagai pelengkap
penatalaksanaan farmakologis. Selain pemberian obat-obatan antihipertensi perlu
terapi dietetik dan perubahan gaya hidup.
Tujuan dari penatalaksanaan diet :
a. Membantu menurunkan tekanan darah secara bertahap dan
mempertahankan tekanan darah menuju normal.
b. Menurunkan tekanan darah secara multifaktoral.
58
c. Menurunkan faktor risiko lain, seperti BB berlebih, tingginya kadar
asam lemak, kolesterol dalam darah.
d. Mendukung pengobatan penyakit penyerta, seperti penyakit ginjal
dan diabetes mellitus.
Prinsip diet penatalaksanaan hipertensi :
a. Makanan beraneka ragam dengan gizi seimbang.
b. Jenis dan komposisi makanan disesuaikan dengan kondisi
penderita.
c. Jumlah garam dibatasi. Konsumsi garam dapur tidak lebih dari ¼ -
½ sendok teh per hari, atau dapat menggunakan garam lain diluar
natrium.
59
DAFTAR PUSTAKA
1. Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care, BJMP 2010;3(4):a351
2. Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular migraine in Journal Nerology 2009:25:333-338
3. Labuguen, RH. 2006. Initial Evaluation of Vertigo ini Journal American Family Physician January 15, 2006. Volume 73, Number 2
4. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 20085. Marril KA. Central Vertigo [Internet]. WebMD LLC. 21 Januari 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/794789-clinical#a02176. Turner, B, Lewis, NE. 2010. Symposium Neurology :Systematic Approach that
Needed for establish of Vetigo. The Practitioner September 2010 - 254 (1732): 19-23.
7. Mark, A. 2008. Symposium on Clinical Emergencies: Vertigo Clinical Assesment and Diagnosis. British Journal of Hospital Medicine, June 2008, Vol 69, No 6
8. Kovar, M, Jepson, T, Jones, S. 2006. Diagnosing and Treating: Benign Paroxysmal Positional Vertigo in Journal Gerontological of Nursing. December:2006
9. Swartz, R, Longwell, P. 2005. Treatment of Vertigo in Journal of American Family Physician March 15,2005:71:6.
10. Chain, TC.2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness and Vertigo. Illnois:wolter kluwerlippincot William and wilkins)
11. Antunes MB. CNS Causes of Vertigo [Internet]. WebMD LLC. 10 September 2009. http://emedicine.medscape.com/article/884048-overview#a0104
12. Siregar TGM. Hipertensi Esensial. Dalam: Rilantono LI, Barass F, Karo SK, Roebiono PS, editor. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003. ISBN 979-496-077-2. h. 197-205
13. JNC-VII Classification and Management of Blood Pressure for Adults. Medicalcriteria.com
14. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report
15. Carretero OA, Oparil S (January 2000). "Essential hypertension. Part I: Definition and etiology". Circulation 101 (3): 329–35. doi:10.1161/01.CIR.101.3.329. PMID 10645931.
16. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. (December 2003). "Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure". Hypertension 42 (6): 1206–52. doi:10.1161/01.HYP.0000107251.49515.c2. PMID 14656957.
17. Fisher ND, Williams GH (2005). "Hypertensive vascular disease". di dalam Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, et al.. Harrison's Principles of Internal Medicine (edisi ke-16th). New York, NY: McGraw-Hill. hlm. 1463–81. ISBN 0-07-139140-1.
60