63
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat. Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan 1

Dana Lapsus Bedah Saraf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dana Lapsus Bedah Saraf

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala atau yang disebut

dengan trauma kapitis adalah ruda paksa

tumpul / tajam pada kepala atau wajah

yang berakibat disfungsi cerebral

sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada

kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini

diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan

kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan

pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.

Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai

500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah

sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera

kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk

cedera kepala berat.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para

dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada

penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan

darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak

sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan

kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary

survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan

pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.

Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang

memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara

konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan

dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple

head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii

fracture.

Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai

cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri

digolongkan sebagai cedera kepala berat.

1

Page 2: Dana Lapsus Bedah Saraf

Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah

pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,

anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara

serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien

tiba di Rumah Sakit.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana etiologi, klasifikasi, patogenesis, patologi kelainan dan

penatalaksanaan Cidera Kepala, Subdural Hemoragik, Intracerebral

Hemoragik dan Fraktur Basis Cranii ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui etiologi, klasifikasi, patogenesis, patologi kelainan dan

penatalaksanaan Cidera Kepala, Subdural Hemoragik, Intracerebral

Hemoragik dan Fraktur Basis Cranii.

1.4 Manfaat

1.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit bedah syaraf khususnya Cidera

Kepala, Subdural Hemoragik, Intracerebral Hemoragik dan Fraktur Basis

Cranii.

1.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti

kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah syaraf.

2

Page 3: Dana Lapsus Bedah Saraf

BAB II

STATUS PENDERITA

2.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. A

Umur : 24 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

Alamat : Pagelaran

Status perkawinan : Belum menikah

Suku : Jawa

Tanggal MRS : Minggu, 05 Februari 2012

Tanggal periksa : Senin, 13 Februari 2012

No. Reg : 280359

2.2 ANAMNESA

1. Keluhan Utama : Tidak sadar setelah kecelakaan lalu lintas

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan tidak

sadar setelah mengalami kecelakaan lalu lintas pada malam minggu sekitar

pukul 21.00 WIB , sesaat setelah kejadian pasien dikatakan tidak sadar dan

tetep di tempat kejadian sampai keluarga datang, setelah keluarga datang

pasien dibawa ambulan menuju keRS Bokor, tetapi sampai disana pasien hanya

diberi perawatan luka dan oksigen sekitar setengah jam, lalu dikatakan oleh

dokter disana, bahwa lebih baik di rujuk dan akhirnya pasien di bawa ke IGD

RSUD Kanjuruhan Kepanjen, selain itu pasien mengalami luka lecet pada dahi

dan pipi kanan , luka memar pada kepala bagian kanan belakang, serta

perdarahan keluar dari liang telinga kanan dan muntah 3x berupa makanan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat trauma sebelumnya tidak ditemukan

Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya

Diabetes Mellitus disangkal

Hipertensi disangkal

Alergi disangkal

3

Page 4: Dana Lapsus Bedah Saraf

4. Riwayat Pengobatan :

Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat–obatan apapun sebelumnya.

5. Riwayat Penyakit Keluarga :

Trauma disangkal

Operasi disangkal

Diabetes Mellitus disangkal

Hipertensi disangkal

Asma disangkal

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (05-02-2012)

1) Vital sign

Tensi : 110/80 mmHg

Suhu : 36 0 C

Nadi : 90 x/menit

R.R : 22 x/menit

2) Status Neurologik

Kesadaran : GCS 2.2.4

Reflek fisiologis : sde

Refleks Patologis : sde

3) Status Generalis

Kepala

• Bentuk mesocephal, rambut tidak mudah dicabut, terdapat laserasi pada

dahi dan pipi kanan, serta luka memar pada kepala bagian occipital

kanan

Mata

• Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), hematom palpebra (-/-),

subkonjungtiva bleeding (-).

Telinga

• Bentuk normotia, otorhoe (+) dextra, battle sign (+) dexra

Hidung

• Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).

Mulut dan Tenggorokan

• Bibir atas luka (+), perdarahan (+).

Leher

4

Page 5: Dana Lapsus Bedah Saraf

• JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),

kelenjar getah bening tidak teraba membesar, tidak teraba adanya

benjolan.

Thorax

Paru-paru

• Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis, luka

dan benjolan tidak tampak.

• Palpasi : Stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri

• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

• Auskultasi : Suara nafas vesikuler + / +, ronkhi - / -, wheezing

- / -

Jantung

• Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis

• Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V MCLS

• Perkusi : Redup

Batas atas : ICS III parasternal line sinistra

Batas kiri : ICS V MCLS

Batas kanan : ICS V midsternal line

• Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, Murmur -/-, Gallop -/-

Abdomen

• Inspeksi : datar, tidak tampak adanya kelainan

• Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium

(-)

• Perkusi : timpani

• Auskultasi : bising usus (+) normal

Kulit

• Warna sawo matang, turgor kulit baik.

Ekstremitas

• Ekstremitas superior et inferior tidak tampak kelainan

PENANGANAN IGD

Ivfd RL 20 tetes/menit

Inj Pantuprazol 1 x 1 gram

Inj Ceftriaxone 2 x 1 gram

PENANGANAN IGD (setelah konsul dr Yahya Sp.BS)

O2 10 liter/menit

RL:NS 2:2 21 tetes/menit

5

Page 6: Dana Lapsus Bedah Saraf

Cefotaxim 3 x 1gram

Piracetam 3 x 3 gram

Ranitidin 2 x 1 gram

Antrain 3 x 1 gram

Pasang DC

MRS ICU

Pro Op

PRIMARY SURVEY (13-02-2012)

A : Airway clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-), maxillofacial injury (-),

C-spine stabil

B : Spontan, RR : 18 x/i, retraksi iga (-), pernafasan cuping hidung (-),

hematopneumothorax (-)

C : Akral H/M/K, HR : 84 x/i, TD : 120/70 mmHg

D : GCS 14 (E4V4M6)

E : 36,2 0C

PEMERIKSAAN FISIK (13-02-2012)

B1 : Airway : Clear, RR : 18 x/i, SP : Vesikuler, ST : -, Bloody Rinorhoe (-),

Bloody Otorrhoe (-), sesak (-), asma (-), batuk (-), alergi (-).

B2 : Akral : H/M/K, TD : 120/70 mmHg, HR : 84 x/i, Reguler, T/V kuat/cukup,

Temp : 36,20 C

B3 : Sens : GCS 14 (E4V4M6), pupil isokor, d/s : 3 mm, RC +/+, Ptosis (-/-)

B4 : DC (-), warna : kuning jernih.

B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+).

B6 : Oedem (-), luka kering dan bersih, tampak di jahit, dan di tutup dengan

kassa dan plester di kepala sebelah kiri.

6

Page 7: Dana Lapsus Bedah Saraf

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

CT-Scan Kepala tanggal 5 Februari 2012

KESAN

a) ICH

b) Subdural hemoragic fracture temporo parietal sinistra

c) Fracture basis cranii temporal dextra

7

Page 8: Dana Lapsus Bedah Saraf

Foto Polos Skull lateral tanggal 5 februari 2012

Foto Polos Thorax AP tanggal 5 februari 2012

Pemeriksaan Laboratorium (5-2-12)

Hb 15,5 g/dl

Hitung lekosit 17.400 sel/cmm

Hitung eritrosit 5,31 juta/cmm

Hitung trombosit 284.000sel/cmm

Hematokrit 44,3 %

PT 13,7 detik

APTT 25,1 detik

Glukosa darah sewaktu 141 mg/dl

8

Page 9: Dana Lapsus Bedah Saraf

Na 140 mmol/L

K 4,0 mmol/L

Cl 104 mmol/L

Pemeriksaan Laboratorium (6-2-12)

Hb 11,9 g/dl

Hitung lekosit 18.100 sel/cmm

Hitung eritrosit 4,03 juta/cmm

Hitung trombosit 263.000sel/cmm

Hematokrit 34,8 %

Pemeriksaan Laboratorium (10-2-12)

Hb 10 g/dl

Hitung lekosit 11.110 sel/cmm

Hitung eritrosit 3,38 juta/cmm

Hitung trombosit 300.000sel/cmm

Hematokrit 27,8 %

GDS 93 mg/dl

2.5 RESUME

Seorang ♂ berusia 24 tahun datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan

keluhan tidak sadar setelah kecelakaan lalu lintas. Mengalami luka lecet pada dahi

dan pipi sebelah kanan, luka memar pada kepala bagian occipital kanan, keluar

darah dari telinga kanan, muntah (+) berisi makanan. Dari pemeriksaan fisik, pada

dahi dan pipi bagian kanan ditemukan luka lecet. GCS 224, T=110/80, S=36ºC,

RR=22 x/menit. Pemeriksaan penunjang CT scan dan Rontgen kepala polos tanggal

5 Februari 2012 memberi kesan: ICH, Subdural hemoragic fracture temporo parietal

sinistra dan Fracture basis cranii temporal dextra.

2.6 WORKING DIAGNOSA

Cedera Kepala Berat + Intra Cerebral hemoragik + Subdural Hemoragik Fracture

Temporo Parietal Sinistra + Fracture Basis Cranii Temporal dextra

2.7 DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Epidural Hemoragik

Subarachnoid Hemoragik

2.8 PLANNING DIAGNOSA

1. Lab DL, CT, BT, HBs Ag

2. CT Scan

2.9 PLANNING TERAPI

a. Non-operatif

9

Page 10: Dana Lapsus Bedah Saraf

1. Medikamentosa

O2 10 liter/menit

RL:NS 2:2 21 tetes/menit

Cefotaxim 3 x 1gram

Piracetam 3 x 3 gram

Ranitidin 2 x 1 gram

Antrain 3 x 1 gram

2. Non Medikamentosa

Head up 300

Tampon telinga kanan

Pasang DC

MRS ICU

b. Operatif

Trepanasi

Craniotomi SDH

Cranioplasty

Monitoring

No Tanggal S O A P1 6-2-2012 - • Pupil isokor,

• T: 120/80 mmHg• N: 84 x/menit• Suhu: 36,6 O C• RR: 21 x/menit

CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D)

• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 2:2• Omeprazole 2x2 amp• Ketorolac 2x30 mg• Manitol 4x100c• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram

2 7-2-2012 Masuk ICU

GCS 2.2.4T: 110/70 mmHgN: 62 x/menitS: 36,5 O C

CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D

• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 2:2• Omeprazole 2x2 amp• Ketorolac 2x30 mg• Manitol 4x100c• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP 6x25

cc/6x50 cc

3 8-2-2012 - GCS 3.2.4T:110/80 mmHgN: 64 x/menitS: 36,6 O C

CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D

• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 2:2• Omeprazole 2x2 amp• Ketorolac 2x30 mg• Manitol 4x100c• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram

10

Page 11: Dana Lapsus Bedah Saraf

• Pasang NGT MLP 6x100 cc

4 9-2-2012 - GCS 4.3.5T:120/60 mmhgN: 60 x/menitS: 36 O CRR: 20 x/menitProduksi urin minimal

CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D

• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 2:2• Cairan dikurangi 500 c• Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Manitol 4x100c• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP 6x150

cc

5 10-2-2012 - GCS 4.2.5T:120/70 mmhgN: 71 x/menitS: 36,3 O CRR: 19 x/menit

CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D

• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 1:1• Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Manitol 4x100c (STOP)• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP

6x200cc

6 11-2-2012 Keluar ICU Dipo

T:120/70 mmhgN: 82 x/menitS: 36,5 O CRR: 18 x/menit

CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D

• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 1:1• Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP

6x200cc

7 12-2-2012 - T:120/70 mmhgN: 84 x/menitS: 37O CRR: 18 x/menit

CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D

• O2 masker 4-6 liter/menit• RL:D5 1:1• Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Pasang NGT MLP

6x200cc

8 13-12-2012 Kepala masih sakit, pusing, tidak enak makan

GCS 4.4.6T:120/80 mmhgN: 83 x/menitS: 36,8 O CRR: 19 x/menit

CKB + ICH + SDH FTP(S) + FBC T(D

• O2 masker 4-6 liter/menit• RL 500 cc/hari • Omeprazole 2x2 amp• Antrain 2x30 mg• Piracetam 3 x 3 gram• Ceftriaxone 2x2 gram• Diet bubur kasar sore

bebas• Aff kateter

11

Page 12: Dana Lapsus Bedah Saraf

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI KEPALA

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang

membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita

seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain

itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi.

Otak dilindungi oleh:

1) SCALP

SCALP/Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat dan

bergerak sebagai satu unit.

SCALP terdiri dari:

Skin atau kulit

Tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.

Connective Tissue atau jaringan penyambung

Merupakan jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan

aponeurosis dari m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung

pembuluh darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang

supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan

tiga cabang dari karotid eksternal-temporal superfisial, aurikuler posterior,

dan oksipital di sebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah ini melekat

erat dengan septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar berkontraksi atau

mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka pembuluh ini sukar

mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang

bermakna pada penderita laserasi kulit kepala. Perdarahan sukar dijepit

dengan forcep arteri. Perdarahan diatasi dengan menekannya dengan jari

atau dengan menjahit laserasi.

Aponeurosis atau galea aponeurotika

Merupakan suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas,

yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot

frontalis dan otot occipitalis.

Spatium subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah aponeurosis

epicranial. Dibatasi di depan dan di belakang oleh origo m. Occipito

12

Page 13: Dana Lapsus Bedah Saraf

frontalis, dan meluas ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis

pada fascia temporalis.

Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

Menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium

(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v.emmisaria

yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan sinus venosus

intrakranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit

kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, sehingga pembersihan dan

debridement kulit kepala harus dilakukan secara seksama bila galea

terkoyak. Darah atau pus terkumpul di daerah ini dan tidak bisa mengalir ke

region occipital atau subtemporal karena adanya perlekatan

occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan menyebabkan hematom

yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu setelah trauma kapitis berat

atau operasi kranium.

Pericranium

Merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.

Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan periousteum pada permukaan

luar tulang berlanjut dengan periousteum pada permukaan dalam tulang-

tulang tengkorak.

Gambar 1. Anatomi Kepala

2) Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian

terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi

13

Page 14: Dana Lapsus Bedah Saraf

oleh otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai

bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.

Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak

memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang tengkorak mempunyai 3

lapisan, yaitu:

a) Tabula interna ( lapisan tengkorak bagian dalam)

b) Diploe (rongga di antara tabula)

c) Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar)

Tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea anterior,

media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan

terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di

akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulkan akibat

yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior yang

merupakan tempat lobus frontalis, fossa media yang merupakan tempat lobus

temporalis, fossa posterior yang merupakan tempat bagian bawah batang otak

dan cerebellum.

3) Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan,

yaitu:

1. Duramater

Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang

melekat erat pada pada permukaan dalam kranium. Duramater terdiri dari

dua lapisan, yaitu:

Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar, dibentuk oleh periosteum

yang membungkus dalam calvaria.

Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang

kuat

yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan duramater spinalis

yang membungkus medulla spinalis.

2. Arakhnoid

Arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus

pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai

subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.

3. Piamater

Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan

korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan

14

Page 15: Dana Lapsus Bedah Saraf

merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua

sulkus dan mem-bungkus semua girus.

3.2 C E D E R A K E P A L A

3.2.1 DEFINISI

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa

tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.

Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia

produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.

Adapun pembagian trauma kapitis adalah:

Simple head injury

Commotio cerebri

Contusion cerebri

Laceratio cerebri

Basis cranii fracture

Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai

cedera kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri

digolongkan sebagai cedera kepala berat.

Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan

kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan

neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus

segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

3.2.2 MEKANISME DAN PATOLOGI

Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan

langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan

atau tanpa fraktur tulang tengkorak.

Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural

dan intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu

gegar otak atau cedera struktural yang difus.

Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang

ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan

jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau ditempat yang

berseberangan dengan benturan (contra coup)

15

Page 16: Dana Lapsus Bedah Saraf

3.2.3 PATOFISIOLOGI

Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang

dapat menyebabkan heniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga

jaringan otak tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan dan

kemudian meninggal.

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.

Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang

terjadi karena berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau

karena aliran darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok.

Karena itu, pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan

nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu sehingga oksigenisasi cukup.

3.2.4 GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya.

Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS,

yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Movement).

1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan 4

Atas perintah 3

Rangsangan nyeri 2

Tidak bereaksi 1

2. Kemampuan komunikasi (V)

Orientasi baik 5

Jawaban kacau 4

Kata-kata tidak berarti 3

Mengerang 2

Tidak bersuara 1

3. Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah 6

Reaksi setempat 5

Menghindar 4

Fleksi abnormal 3

Ekstensi 2

16

Page 17: Dana Lapsus Bedah Saraf

Tidak bereaksi 1

3.2.5 PEMBAGIAN CEDERA KEPALA

1. Simple Head Injury

Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:

Ada riwayat trauma kapitis

Tidak pingsan

Gejala sakit kepala dan pusing

Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan

cukup istirahat.

2. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung

tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan

jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah

dan tampak pucat.

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau

terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin

pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang

terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya

rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat

adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan

selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi

bertahap.

3. Contusio Cerebri

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam

jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-

neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi

contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan

pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi

yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang

batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap

lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input

aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.

17

Page 18: Dana Lapsus Bedah Saraf

Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan

“intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks

babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si

penderita biasanya menunjukkan “organic brain syndrome”.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang

beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah

cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah

dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat

vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.

Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi

dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral

edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.

4. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan

piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid

traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas

laceratio langsung dan tidak langsung.

Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan

oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed

terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan

yang hebat akibat kekuatan mekanis.

5. Fracture Basis Cranii

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa

posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.

Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding

Epistaksis

Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:

Hematom retroaurikuler, Ottorhoe

Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii. Komplikasi:

18

Page 19: Dana Lapsus Bedah Saraf

Gangguan pendengaran

Parese N.VII perifer

Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus

disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan

operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.

Adapun pembagian cedera kepala lainnya:

Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan

Commotio Cerebri

o Skor GCS 13-15

o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10

menit

o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan

pada pemeriksaan neurologist.

Cedera Kepala Sedang (CKS)

o Skor GCS 9-12

o Ada pingsan lebih dari 10 menit

o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota

gerak.

Cedera Kepala Berat (CKB)

o Skor GCS <8

o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat

o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif

o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.

3.2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:

1. CT-Scan

Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.

2. Lumbal Pungsi

19

Page 20: Dana Lapsus Bedah Saraf

Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam

dari saat terjadinya trauma

3. EEG

Dapat digunakan untuk mencari lesi

4. Roentgen foto kepala

Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak

3.2.7 DIAGNOSA

Berdasarkan : Ada tidaknya riwayat trauma kapitis

Gejala-gejala klinis : Interval lucid, peningkatan TIK, gejala laterlisasi,

Pemeriksaan penunjang.

3.2.8 KOMPLIKASI

Jangka pendek :

1. Hematom Epidural

o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater

o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya

o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala

sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian

timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing,

kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi

perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi

terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi

tentorial.

o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)

o Interval lucid

o Peningkatan TIK

o Gejala lateralisasi → hemiparese

o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati

hematoma subkutan

o Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada

sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus

20

Page 21: Dana Lapsus Bedah Saraf

piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik

positif.

o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks

o LCS : jernih

o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan

pembuluh darah.

2. Hematom subdural

o Letak : di bawah duramater

o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi

piamater serta arachnoid dari kortex cerebri

o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama

Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma

o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian

Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.

Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak

(bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang

tengkorak). Isodens → terlihat dari midline yang bergeser

o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak

(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural

hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.

3. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak

pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang

berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita

dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan

direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa

menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang

terkena.

4. Oedema serebri

Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,

mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya

lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala

kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya

tekanannya dapat meninggi.

21

Page 22: Dana Lapsus Bedah Saraf

TIK meningkat

Cephalgia memberat

Kesadaran menurun

Jangka Panjang :

1. Gangguan neurologis

Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N.

VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese

2. Sindrom pasca trauma

Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido

menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa,

gangguan tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan

intelegensia, menarik diri, dan depresi.

3.2.9 TERAPI

CKR :

Perawatan selama 3-5 hari

Mobilisasi bertahap

Terapi simptomatik

Observasi tanda vital

CKS :

Perawatan selama 7-10 hari

Anti cerebral edem

Anti perdarahan

Simptomatik

Neurotropik

Operasi jika ada komplikasi

CKB :

Seperti pada CKS

Antibiotik dosis tinggi

Konsultasi bedah saraf

3.2.10 PROGNOSA

22

Page 23: Dana Lapsus Bedah Saraf

Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya

trauma kapitis.

3.3 SUBDURAL HEMATOMA

3.3.1 Insiden dan Epidemiologi

Hematoma subdural dapat terjadi pada semua umur. Biasanya terdapat pada

bayi akibat trauma yang keras pada neonatus dan komplikasi dari kelahiran dan

trauma pasca natal. Subdural hematoma akut terjadi pada pasien dengan trauma

kepala berat sekitar 5-25%. Angka kejadian dari sekitar 15,3 kasus per 100.000

orang/ tahun. Pada sebuah penelitian,umur rata-rata dari penderita trauma tanpa

subdural hematoma adalah 26 tahun, sedangkan umur rata-rata dari penderita

hematoma subdural akut adalah 41 tahun. Oleh karena itu, orang tua memiliki resiko

yang meningkat untuk menderita hematoma subdural akut setelah trauma kepala.

Hematoma subdural kronik biasanya terjadi pada orang usia lanjut yang

umurnya lebih dari 50 tahun. Sepertiga sampai setengah penderita hematoma

subdural kronik tidak memiliki riwayat trauma kepala. Kalaupun memiliki riwayat

trauma, biasanya merupakan trauma ringan. Laki-laki lebih banyak terkena

dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:1 kebanyakan pemeriksaan pada

saat ini menunjukkan terjadinya peningkatan insiden, dikarenakan semakin majunya

alat-alat radiologi.

3.3.2 Etiologi

Hematoma subdural disebabkan robekan vena-vena didaerah corteks cerebri

atau bridging vein oleh suatu trauma. Kebanyakan perdarahan subdural disebabkan

karena trauma kepala yang merusakkan vena-vena kecil didalam meninges. Pada

orang muda yang sehat, perdarahan biasanya dipicu oleh pengaruh yang jelas,

seperti kecelakaan pada kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sebaliknya, orangtua

dapat mengalami perdarahan subdural akibat trauma kecil seperti jatuh dari kursi.

Subdural hematoma dapat terjadi pada bayi, akibat trauma yang keras pada neonatus

dan komplikasi dari kelahiran dan trauma pasca natal.

3.3.3 Klasifikasi

1) SDH akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Biasanya terjadi

pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan

23

Page 24: Dana Lapsus Bedah Saraf

lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda

vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya, tetapi melebar luas.

Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.

2) SDH sub akut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma.

Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan

darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di

sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau

hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah

dan resorbsi dari hemoglobin.

3) SDH kronik

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan

kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu

ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan

hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila

pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah.

Pada perdarahan subdural kronik, kita harus berhati hati karena hematoma ini

lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga

mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula

jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma, pada yang lebih baru, kapsula

masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula

melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini

mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi

duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat

menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini

dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan

menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan

kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma

akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian

besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50

tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.

3.3.4 Patofisiologi

Meninges terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater. Daerah yang

terdapat diantara arachnoiddan duramater (disebut daerah subdural), dimana tidak

24

Page 25: Dana Lapsus Bedah Saraf

seperti pada daerah epidural, tidak dibatasi oleh sutura kranialis. Jembatan-jembatan

vena (Bridging vein) melintasi daerah ini, berjalan dari permukaan kortikal menuju

sinus dural. Perdarahan pada vena-vena ini dapat terjadi sebagai akibat dari

mekanisme sobekan (dapat pula karena dorongan rotasional atau linier) disepanjang

permukaan subdural dan peregangan traumatik dari vena-vena, yang dapat terjadi

dengan cepat akibat dekompresi ventrikuler.

Karena permukaan subdural tidak dibatasi oleh sutura cranialis, darah dapat

menyebar keseluruh hemisfer dan masuk kedalam fisura hemisfer, hanya dibatasi

oleh refleksi dural. Kemampuan darah untuk menyebar relatif berakhir tak

terkendali dan memberikan gambaran yang meluas daripada bentuk bikonfeks pada

hampir semua epidural hematoma.

Mekanisme yang biasa menyebabkan munculnya hematoma subdural akut

adalah adanya benturan yang cepat dan kuat pada tengkorak.karena otak yang

dikelilingi cairan CSS dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan

terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma dapat merobek beberapa

vena halus pada tempat dimana mereka menembus duramater, dengan akibat terjadi

perdarahan didalam ruang subdural. Subdural hematoma akut biasanya ada

hubungannya dengan trauma yang jelas dan seringkali disertai dengan laserasi atau

kontusio otak.

Hematoma subdural kronik lebih kurang nyata gejalanya. Pasien yang

sering adalah lanjut usia dan peminum alkohol. Pada penderita yang demikian,

biasanya didapatkan adanya atrofi otak yang berakibat bertambah bebasnya

pergerakan otak didalam ruang tengkorak. Kebebasan bergerak ini berarti pula

kemungkinan ruptur dari bridging vein dan pada penderita-penderita ini dapat terjadi

secara perlahan-lahan oleh karena trauma ringan saja atau bahkan tidak diketahui

adanya trauma sebelumnya.

Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural.

Dalam 7-10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.

Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan kedalam

hematoma, selanjutnya terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.

Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut

dengan merobek membran atau pembuluh darah disekelilingnya. Oleh karena

hematoma subdural disebabkan perdarahan vena, maka meningginya tekanan

intrakranial terjadi secara lambat.

3.3.5 Gejala Klinis

25

Page 26: Dana Lapsus Bedah Saraf

Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala)

sampai penurunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu

hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi

lainnya.

Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari peninggian

tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,

diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis

lainnya. Kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

3.3.6 Terapi

Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom

secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural

kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan

jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk

melakukan operasi kraniotomi (dibandingkan dengan burr-hole saja).

3.3.7 Komplikasi

Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa:

1. Hemiparese/hemiplegia.

2. Disfasia/afasia

3. Epilepsi.

4. Hidrosepalus.

5. Subdural empiema

3.4 PERDARAHAN INTRASEREBRAL

3.4.1 Definisi

Intraserebral atau intraparenkim hematoma adalah area perdarahan yang

homogen dan konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak (sadewo dkk, 2011).

3.4.2 Etiologi

Intraserebral hematoma bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim

otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi

akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih

dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

3.4.3 Anatomi

1. Kulit kepala

26

Page 27: Dana Lapsus Bedah Saraf

Kulit kepala terdiri atas lima lapisan, yaitu:

a. Kulit (Skin)

b. Jaringan ikat penyambung (Connective tissue)

c. Galea aponeurotika (Aponeurosis)

d. Jaringan ikat longgar (Loose areolar tissue)

e. Pericranium

2. Cranium

Cranium merupakan tulang penyusun kepala. Terdapat dua bagian cranium,

yaitu neurocranium dan viscerocranium. Neurocranium terdiri atas calvaria dan

basis cranii. Bagian eksternal basis cranii terdiri atas arcus alveolaris os maxilla,

processus palatina os maxilla, os palatum, os sphenoidalis, vomer, temporal, dan

os occipital. Bagian internal basis cranii terdiri atas tiga fossa cranial, yaitu fossa

anterior, fossa media, dan fossa posterior. Fossa anterior terdiri atas os frontalis

pada bagian anterior dan lateral, os ethmoidalis pada bagian tengah, dan os

sphenoidalis pada bagian posterior. Bagian terbesar pada fossa anterior dibentuk

oleh orbital plates os frontalis, yang menyokong lobus frontal cerebri dan

membentuk atap orbita. Fossa media terdiri atas sella tursica yang terletak pada

permukaan atas corpus os sphenoidalis. Fossa posterior merupakan fossa cranii

yang terbesar dan terdalam. Di dalamnya terdapat cerebellum, pons, dan

medulla oblongata. Fossa posterior sebagian besar terdiri atas os occipital dan

sebagian kecil dibentuk oleh os sphenoidalis dan os temporalis. Pada fossa

posterior terdapat lekukan yang dilalui oleh sinus sigmoid dan sinus transversus.

Pada bagian tengah fossa posterior terdapat foramen magnum (Moore, 2002).

3. Meningen

Otak diliputi oleh tiga membran atau meninges, yaitu dura mater,

arachnoidea mater, dan pia mater. Paling luar, dura mater, mempunyai sifat

yang tebal dan kuat sehingga berfungsi untuk melindungi jaringan saraf yang

ada di bawahnya. Secara konvensional, dura mater digambarkan terdiri dari dua

lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan tersebut bersatu

dengan erat, kecuali pada garis-garis tertentu, tempat berpisah untuk membentuk

sinus venosus. Lapisan endosteal merupakan periosteum yang menutupi

permukaan dalam tengkorak. Lapisan endosteal melekat paling kuat pada

tulang-tulang di atas basis cranii. Lapisan meningeal adalah lapisan dura mater

yang sebenarnya, merupakan membran fibrosa yang kuat dan padat yang

meliputi otak (Snell, 2006).

Arachnoidea mater merupakan membran impermeabel yang lebih tipis dan

meliputi otak secara longitudinal. Arachnoidea mater dipisahkan dari dura mater

27

Page 28: Dana Lapsus Bedah Saraf

oleh ruang potensial yaitu ruang subdural yang terisi oleh selapis cairan.

Ruangan di antara arachnoidea dan pia mater yaitu spatium subarachnoideum

diisi oleh cairan serebrospinalis. Pia mater merupakan suatu membran vaskular

yang melekat dengan erat serta menyokong otak (Snell, 2006).

4. Batang otak

Batang otak dibentuk oleh medulla oblongata, pons, dan mesencephalon

serta menempati fossa cranii posterior di dalam tengkorak. Batang otak

mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai penyalur tractus ascendens dan

descendens yang menghubungkan medulla spinalis dengan berbagai pusat yang

lebih tinggi, pusat refleks penting yang mengatur control sistem respirasi dan

kardiovaskular serta berhubungan dengan kendali tingkat kesadaran, dan

mengandung nuclei saraf cranial III sampai XII (Snell, 2006).

5. Cerebellum

Cerebellum terletak di fossa cranii posterior dan di bagian superior ditutupi

oleh tentorium cerebelli. Cerebellum merupakan bagian terbesar

rhombencephalon dan terletak di posterior ventriculus quadratus, pons, dan

medulla oblongata. Cerebellum menerima informasi aferen yang berkaitan

dengan gerakan volunter dari cortex cerebri dan dari otot, tendon, dan sendi.

Cerebellum juga menerima informasi keseimbangan dari nervus vestibularis dan

mungkin juga informasi penglihatan dari tractus tectocerebellaris (Snell, 2006).

Gambar 2. Susunan struktur kepala

3.4.3 Patofisiologi

Patogenesis dari perdarahan intraserebral belum diketahui secara jelas tetapi

diduga disebabkan oleh deformasi dan pecahnya pembuluh darah intrinsik (tunggal

atau multipel) pada waktu cedera terjadi. Kerusakan dari beberapa pembuluh darah

28

Page 29: Dana Lapsus Bedah Saraf

kecil menyebabkan penggabungan dari banyak perdarahan yang kecil-kecil.

Hematoma yang besar berperan menjadi lesi desak ruang dan menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial dan menghasilkan herniasi transtentorial. (relily

and bullock, 2005)

Perdarahan intraserebral dapat berdiri sendiri atau sebagai bagian dari

komplek perdarahan intradural. Perdarahan intraserebral yang terisolasi lebih sering

muncul pada orang tua. Mekanisme perkembangan dari traumatik perdarahan

intraserebral adalah sama dengan perdarahan spontan intraserebral dimana arteri

atau arteriol pecah oleh kekuatan hantaman atau ruptur secara spontan,

menyebabkan darah di bawah tekanan arteri keluar ke parenkim otak. Perdarahan

berhenti ketika tekanan jaringan sekitar bekuan darah mencapai tekanan yang sama

dengan tekanan arteri yang pecah. Bekuan darah dapat tetap berada didalam

parenkim otak atau keluar ke dalam ventrikel, daerah subdural atau area

subarakhnoid. Terdapat Cincin dari daerah iskemia sekitar hematoma, dimana akan

menjadi daerah penumbra yang dimana secara fungsional tidak berfungsi tetapi

potensial sebagai jaringan yang dapat diperbaiki (relily and bullock, 2005)

Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal dan cedera

otak difusa yang dimana masing-masing memiliki mekanisme etiologis dan

patofisiologi yang unik. Fraktur tulang kepala dapat disertai atau tanpa kerusakan

otak, namun biasanya jejas ini bukan penyebab utama timbulnya kecacatan

neurologis. Cedera otak pada umumnya merupakan akibat trauma langsung pada

vaskular atau saraf, atau sebagai akibat langsung dari adanya defek massa. Cedera

fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya didapatkan pada kira-kira

setengah dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal,

hematoma subdural, epidural dan intraserebral yang secara makroskopis tampak

dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak

difusa secara prinsip berbeda dengan cedera fokal, dimana keadaan ini berkaitan

dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.

Mengingat kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedera ini juga dikenal

dengan nama cedera aksonal difusa. (satyanegara, 2010)

Hematoma intraserebral traumatika yang besar jarang dijumpai. Mengingat

bahwa keadaan ini kerap berkaitan dengan kontusi kortikal yang luas, maka

kebanyakan tampak sebagai suatu kontusi yang melibatkan disrupsi pembuluh darah

yang lebih luas dan lebih dalam. Hematoma yang lebih kecil biasanya tidak

berhubungan dengan kontusi, dan mungkin lebih banyak disebabkan oleh kumpulan

gelombang hantaman yang ditimbulkan oleh benturan atau cedera jaringan bagian

dalam akibat akselerasi (satyanegara, 2010)

29

Page 30: Dana Lapsus Bedah Saraf

Kerusakan otak sekunder paling sering disebabkan oleh hipoksia dan

hipotensi, hipoksia dapat timbul akibat dari adanya aspirasi, obstruksi jalan nafas,

atau cedera thoraks yang bersamaan dengan cedera kepala. Hipotensi pada penderita

cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah kontusi atau merupakan

tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral. Jarang

sekali akibat cedera kepalanya sendiri atau dengan kata lain adanya syok pada

penderita cedera kepala perlu diperiksa dengan cermat untuk mencari perdarahan

diluar kepala. Edema otak traumatika merupakan keadaan dan gejala patologis,

radiologis maupun gambaran intraoperatif yang sering dijumpai pada penderita

cedera kepala, dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada

kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial. Edema

serebral yang mencapai maksimal pada hari ketiga pasca cedera dapat menimbulkan

suatu defek massa yang bermakna (satyanegara, 2010)

3.4.4 Gejala

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain penurunan kesadaran,

derajat penurunan kesadaran dipengaruhi oleh mekanisme dari energi trauma yang

dialami. Sedangkan gejala klinis dari cedera kepala difusa sebagai lanjutan dari

perdarahan intraserebral adalah sangat bervariasi bergantung pada luas cedera dan

lokasi. Yang paling ringan bisa berupa gangguan saraf kranial, kelumpuhan anggota

gerak, gangguan otonom, gejala peningkatan tekanan intrakranial hingga penderita

jatuh kondisi koma (sadewo dkk, 2011).

3.4.5 Pemeriksaan penunjang

1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)

Mengingat hanya sedikit informasi yang didapat dari pemeriksaan ini yang dapat

mengubah alternatif pengobatan yang diberikan pada penderita cedera kepala,

maka pemeriksaan ini sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan

pemeriksaan yang lebih canggih seperti CT-scan dan MRI. Informasi yang bisa

kita dapatkan dari pemeriksaan ini adalah

Fraktur tulang kepala, diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai

lokasi dan tipe fraktur, baik bentuk linear, stelata atau depresi

Adanya benda asing

Pneumocephalus

Brain shift, kalau kebetulan ada kalsifikasi kelenjar pineal

2. CT-scan

Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standar terpilih “gold standard”

untuk kasus cedera kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasif juga

memiliki kehandalan yang tinggi, dalam hal ini dapat diperoleh informasi yang

30

Page 31: Dana Lapsus Bedah Saraf

lebih jelas tentang lokasi dan adanya perdarahan intrakranial, edema, udara,

benda asing intrakranial, serta pergeseran struktur dalam otak (satyanegara,

2010)

Pada CT-scan dengan perdarahan akut maka akan terlihat suatu area dengan

peningkatan atenuasi atau hiperdens (putih) dengan dikelilingi daerah hipodens

(gelap) yang edema. Ketika bekuan darah muncul seiring waktu, edema

meningkat lebih banyak dalam 4 hari dan bekuan darah menjadi area isodens

dalam beberapa minggu. Batas cairan dalam hematoma mengindikasikan

koagulapati dan pencairan dari bekuan darah, atau terkait pencairan jaringan

serebral yang ekstensif dan sebagai prognosis yang buruk (relily and bullock,

2005).

Impresi fraktur dianggap bermakna apabila tabula eksterna segmen yang

impresi (misalnya kontusio serebri atau intraserebral hematoma) masuk

dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat (> 1 diploe) (sadewo dkk,

2011).

Indikasi operasi pada fraktur impresi adalah apabila fraktur impresi lebih dari

1 diploe atau terdapat lesi intrakranial dibawah segmen yang impresi (misalnya

kontusio serebri atau intraserebral hematoma) atau terdapat defisit neurologis

yang sesuai dengan daerah yang impresi (sadewo dkk, 2011).

3.4.6 Terapi

1. Terapi konservatif

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah obat-obatan

golongan dexamethason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg

setiap 6 jam), mannitol 20% yang bertujuan untuk mengatasi edema serebri. tetapi

kedua jenis obat tersebut hingga saat ini masih kontroversial pendapat mana yang

terbaik untuk dipilih. Dan juga diberikan obat-obatan anti kejang seperti fenitoin

yang dimana dianjurkan diberikan sebagai terapi profilaksis sedini mungkin (dalam

24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya fokus epiletogenik, untuk penggunaan

jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin (satyanegara, 2010).

Pada fraktur impresi terbuka, tindakan pertama yang harus dilakukan oleh

dokter di ruang gawat darurat adalah segera membersihkan dan mencuci dengan

cairan NaCl 0,9% steril kemudian dilakukan penjahitan luka jika penemuan kasus

dilakukan dengan golden period. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko infeksi

karena terdapat hubungan dunia luar dengan ruang intrakranial. Selanjutnya

31

Page 32: Dana Lapsus Bedah Saraf

dilakukan pemeriksaan penunjang dan segera dikonsulkan ke rumah sakit yang

memiliki pelayanan bedah saraf (sadewo dkk, 2010)

2. Terapi operatif

Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif

adalah adanya lesi massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah ≥ 5 mm. Kasus

kasus dengan lesi massa intrakranial yang mempunyai indikasi operasi, berkaitan

dengan predileksi lokasi khususnya di lobus frontal bagian inferior dan lobus,

biasanya insisi kulit, biasanya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam tindakan

kraniotomi adalah berbentuk “tanda tanya”. Bila ada penurunan

kesadaran/perburukan klinis yang progresif, perlu dilakukan tindakan operasi

dekompresi berupa kraniektomi untuk mengurangi tekanan batang otak dan

kemungkinan terjadinya herniasi tentorial (satyanegara, 2010).

Tindakan operasi pada cedera kepala terbuka agak berbeda dengan cedera

kepala tertutup. Pada cedera kepala terbuka yang menjadi tujuan adalah debridemant

jaringan otak nekrotik, mengangkat fragmen tulang atau korpus alienum,

menghentikan perdarahan, evakuasi hematoma dan penutupan duramater dan kulit

yang kedap air. Pembukaan kranial disini cenderung terbatas : berupa insisi linear

huruf “S” atau flap berbentuk “U” dan dilanjutkan dengan kraniektomi atau

kraniotomi kecil (satyanegara, 2010)

3.5 FRAKTUR BASIS CRANII

3.5.1 Definisi

Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar

tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada

duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu

yaitu regio temporal dan regio occipital condylar.

3.5.2 Gejala Klinis

Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis

periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battle’s sign), dan kebocoran

cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga

dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam

berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.

32

Page 33: Dana Lapsus Bedah Saraf

- Fraktur pada Fossa Anterior

anosmia, epistaksis, Rhinorrhea, pendarahan subconjunctival, periorbital

hemorrage (mata rakun, gangguan penglihatan, gerakan mata diubah, ptosis,

hilangnya sensasi ke dahi, kornea

- Fraktur pada Fossa Media

Hilangnya sensasi pada wajah bagian bawah, otorrhea, tuli, tinnitus, facial

palsy, hemotympanium

33

Page 34: Dana Lapsus Bedah Saraf

- Fraktur pada Fossa Posterior

Echymosis belakang telinga (battle sign), gangguan refleks muntah,

catastrophic injuries dapat terjadi jika ada gangguan dari arteri karotid (suplai

darah ke korteks serebral media dan anterior) atau arteri vertebralis (suplai darah

ke batang otak dan korteks serebral posterior), atau jika batang otak terganggu

3.5.3 Mekanisme Fraktur Basis Cranii

34

Page 35: Dana Lapsus Bedah Saraf

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada

daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi

energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek „remote‟

dari benturan pada kepala („gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik

benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini

mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord

lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang

otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian

biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan

laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.

Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk

benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban

inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia,

misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat

mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara

tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata

mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian

meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada

benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya

kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput

atau mandibula. Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa

fraktur basis cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan

pada area kubah non-kranial, yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan

kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis

cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja. Pada studi

eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti secara rinci

tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada area

kepala. 45 kasus skull fraktur diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini.

Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus),

daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai

jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).

35

Page 36: Dana Lapsus Bedah Saraf

fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan

lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur

basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus.

Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis

cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada

daerah-daerah tertentu dari basis cranii. Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari

seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe

longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).

- Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars

skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani.

Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan

labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada

tulang mastoid secara berurut.

- Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan

labyrinth, berakhir di fossa media.

- Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur

transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang

sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous;

dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang

mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis

3.5.4 Jenis Fraktur Basis Cranii

a. Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat

3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe

transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal

ditunjukkan di bawah ini (lihat gambar 3)4.

Gambar 3. (A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal

temporal bone fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson

University, Philadelphia, Pennsylvania)

36

Page 37: Dana Lapsus Bedah Saraf

A B

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan

bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus

externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu

bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir

pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.

Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%).

Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui

cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed

memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.

Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous

fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur

tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis

b. Fraktur clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam

kecelakaan kendaraan bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah

dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk,

terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI

dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.

c. Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar

dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada

ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan

mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur

bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :

- Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan

fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.

37

Page 38: Dana Lapsus Bedah Saraf

- Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas

menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil

karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.

- Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang

dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak

stabil.

3.5.5 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan

darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka

tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur

adalah pemeriksaan radiologi.

b. Pemeriksaan Radiologi

• Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen

cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu

seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi

dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto

Rontgen kepala.

Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat

memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral,

Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk

menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya

fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang

belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak,

deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.

• CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa

fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-

1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT

scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi

biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.

38

Page 39: Dana Lapsus Bedah Saraf

• MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan

penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan

vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT

scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT

scan.

c. Pemeriksaan Penunjang Lain

Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya

kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan

adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang

kemudian disebut suatu “halo” atau “ring” sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat

diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu

polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.

3.5.6 Diagnosis

Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan

pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang

lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan

neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan

kecurigaan adanya suatu fraktur cranium ataucedera penetrasi antara lain :

Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung

Keluar darah atau cairan jernih dari telinga

Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda

eyes)

Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)

Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi

Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.

3.5.7 Diagnosis Banding

Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung

seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-

tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II

atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).

Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh:

39

Page 40: Dana Lapsus Bedah Saraf

- Kongenital

- Ablasi tumor atau hidrosefalus

- Penyakit-penyakit kronis atau infeksi

- Tindakan bedah

3.5.8 Penatalaksanaan

A. Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini

tidak ada cedera

B. Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri

C. Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin

tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line

D. Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin

E. Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari

depan dan belakang.

Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan

fisik menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan

pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien

dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika

digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah langkah

berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis yang

sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat

kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan

kelemahan ekstremitas.

Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis.

Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan.

Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis

cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF

(rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi kepala

terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain

lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik

mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial

traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu pada

paralisis nervus fasialis.

40

Page 41: Dana Lapsus Bedah Saraf

Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas

tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal.

Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3

bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah

kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan

deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi.

3.5.9 Komplikasi

Resiko infeksi tidak tinggi, sekalipun tanpa antibiotik rutin, terutama pada

fraktur basis cranii dengan rhinorrhea. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-

tulang pendengaran dapat menjadi komplikasi dari fraktur basis cranii. Fraktur

condyler tulang occipital adalah suatu cedera serius yang sangat jarang terjadi.

Sebagian besar pasien dengan fraktur condyler occipital terutama tipe III berada

dalam keadaan koma dan disertai dengan cedera vertebra servikal. Pasien-pasien ini

juga mungkin datang dengan gangguan-gangguan nervus cranialis dan hemiplegi

atau quadriplegi. Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis

cranii yang terkait dengan gangguan nervus IX, X, and XI. Pasien-pasien dengan

keluhan kesulitan phonation dan aspirasi dan paralisis otot-otot pita suara, pallatum

molle (curtain sign), konstriktor faringeal superior, sternocleidomastoideus, dan

trapezius.

Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang juga

berdampak terhadap nervus IX, X, XI, dan XII. Meski demikian, paralisis facialis

yang muncul setelah 2-3 hari adalah gejala sekunder dari neurapraxia n.VII dan

responsif terhadap steroid dengan prognosis baik. Suatu onset paralisis facialis yang

komplit dan terjadi secara tiba-tiba akibat fraktur biasanya merupakan gejala dari

transection dari nervus dengan prognosis buruk.

Fraktur basis cranii juga dapat menimbulkan gangguan terhadap nervus-nervus

cranialis lain. Fraktur ujung tulang temporal petrosus dapat mengenai ganglion

Gasserian / trigeminal. Isolasi n.VI bukanlah suatu dampak langsung dari fraktur

namun akibat regangan pada nervus tersebut. Fraktur tulang sphenoid dapat

berdampak terhadap nervus III, IV, dan VI juga dapat mengenai a.caroticus interna,

dan berpotensi menyebabkan terjadinya pseudoaneurisma dan fistel

caroticocavernosus (mencapai struktur vena). Cedera caroticus dicurigai terjadi pada

kasus-kasus dimana fraktur melalui canal carotid, dalam hal ini direkomendasikan

untuk melakukan pemeriksaan CT-angiografi. 2

41

Page 42: Dana Lapsus Bedah Saraf

3.5.10 Prognosis

Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera

nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar

jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan

hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium

tidak memerlukan tindakan operasi.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada pasien yang mengalami Cedera Kepala Berat perlu dilakukan

penanganan yang cepat dan tepat, baik dalam upaya untuk tindakan life saving dan

untuk mencegah terjadinya kecacatan fisik maupum mental, sehingga setelah semua

kegawatan telah diatasi perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk

mendapatkan diagnosa pasti, sehingga terapi Operatif dan Non-operatif

(medikamentosa dan non-medikamentosa) yang diberikan dapat adekuat dan tepat.

42

Page 43: Dana Lapsus Bedah Saraf

DAFTAR PUSTAKA

1. Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health. Available at

http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=59402&page=1#overview

2. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture. Biomechanical of basilar

skull fracture. On ATSB Research and analysis report road safety research grant report

2007-03. Australia 2007

3. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull fracture.

On emedicine health 2009. Available at http://emedicine.medscape.com/article/248108-

clinicalmanifestations last update 10 mei 2011

4. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull fracture.

On emedicine health 2009. Available at http://emedicine.medscape.com/article/248108-

threatment last update 10 mei 2o11

5. Anderson PA, Montesano PX. Morphology and treatment of occipital condyle fractures.

Spine (Phila Pa 1976). Jul 1988;13(7):731-6.

43

Page 44: Dana Lapsus Bedah Saraf

6. Tuli S, Tator CH, Fehlings MG, Mackay M. Occipital condyle fractures. Neurosurgery.

Aug 1997;41(2):368-76; discussion 376-7.

7. Rathore MH. Do prophylactic antibiotics prevent meningitis after basilar skull fracture

Pediatric Infect Dis J 1991;10:87–8.

8. Bachrudin, M. Dasar-Dasar Neurologi. 2008

9. www.lhsc.on.ca. Basal Skull Fracture.

Moore K.L., Agur A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins.

Reilly, Peter L And Bullock, Ross. 2005. Head Injury-Pathophysiology And Management.

Oxford University Press : New-York

Sadewo dkk. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Penerbit FKUI : Jakarta

Satynegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. PT Gramedia : Jakarta.

44