78
BAB I PENDAHULUAN Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang wanita yang dapat menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita tersebut. Keadaan gawat ini dapat menyebabkan suatu kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang sering dihadapi oleh setiap dokter, dengan gambaran klinik yang sangat beragam. Hal yang perlu diingat adalah bahwa pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah dapat mengalami kehamilan ektopik terganggu. 1 Berbagai macam kesulitan dalam proses kehamilan dapat dialami para wanita yang telah menikah. Namun, dengan proses pengobatan yang dilakukan oleh dokter saat ini bisa meminimalisir berbagai macam penyakit tersebut. Kehamilan ektopik diartikan sebagai kehamilan di luar rongga rahim atau kehamilan di dalam rahim yang bukan pada tempat seharusnya, juga dimasukkan dalam kriteria kehamilan ektopik, misalnya kehamilan yang terjadi pada cornu uteri. Jika dibiarkan, 1

LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi

seorang wanita yang dapat menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita

tersebut. Keadaan gawat ini dapat menyebabkan suatu kehamilan ektopik

terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang sering

dihadapi oleh setiap dokter, dengan gambaran klinik yang sangat beragam.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa pada setiap wanita dalam masa

reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan

nyeri perut bagian bawah dapat mengalami kehamilan ektopik terganggu.1

Berbagai macam kesulitan dalam proses kehamilan dapat dialami

para wanita yang telah menikah. Namun, dengan proses pengobatan yang

dilakukan oleh dokter saat ini bisa meminimalisir berbagai macam penyakit

tersebut. Kehamilan ektopik diartikan sebagai kehamilan di luar rongga

rahim atau kehamilan di dalam rahim yang bukan pada tempat seharusnya,

juga dimasukkan dalam kriteria kehamilan ektopik, misalnya kehamilan

yang terjadi pada cornu uteri. Jika dibiarkan, kehamilan ektopik dapat

menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian.2

Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah ekstrauterin

yang sekarang masih banyak dipakai. Diantara kehamilan-kehamilan

ektopik, yang terbanyak terjadi di daerah tuba, khususnya di ampulla dan

isthmus. Pada kasus yang jarang, kehamilan ektopik disebabkan oleh

terjadinya perpindahan sel telur dari indung telur sisi yang satu, masuk ke

saluran telur sisi seberangnya.3,4

1

Page 2: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kehamilan Ektopik

1. Definisi

Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata

dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat

diartikan “berada di luar tempat yang semestinya”. Apabila pada

kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat

berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut

kehamilan ektopik terganggu. 4,7

Pembagian menurut lokasi :

a. Kehamilan ektopik tuba : pars interstisialis, isthmus, ampulla,

infundibulum, fimbria.

b. Kehamilan ektopik uterus: kanalis servikalis, divertikulum, kornu,

tanduk rudimenter.

c. Kehamilan ektopik ovarium.

d. Kehamilan ektopik intraligamenter.

e. Kehamilan ektopik abdominal.

f. Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus (Speroff et al, 2009).

Kehamilan ektopik yang paling banyak terjadi adalah di tuba (98%),

hal ini disebabkan oleh adanya hambatan perjalanan ovum yang telah

dibuahi ke kavum uteri, hal ini dapat disebabkan karena :

a. Adanya sikatrik pada tuba.

b. Kelainan bawaan pada tuba.

c. Gangguan fisiologis pada tuba karena pengaruh hormonal

(Saymonds et al, 2002).

2

Page 3: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

Gambar 1 Lokasi Kehamilan Ektopik

2. Etiologi

Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur

dari indung telur (ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor

resiko yang diperkirakan sebagai penyebabnya adalah 3,4,6:

a. Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan

pada motilitas saluran telur.

b. Riwayat operasi tuba.

c. Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang.

d. Kehamilan ektopik sebelumnya.

e. Aborsi tuba dan pemakaian IUD.

f. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom.

g. Bekas radang pada tuba; disini radang menyebabkan perubahan-

perubahan pada endosalping, sehingga walaupun fertilisasi dapat

terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat.

h. Operasi plastik pada tuba.

i. Abortus buatan.

3

Page 4: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

3. Patofisiologi

Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap

ovum yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri.

Pada suatu saat kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi

oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa

kemungkinan akibat dari hal ini 3,4,5:

a. Kemungkinan “tubal abortion”, lepas dan keluarnya darah dan

jaringan ke ujung distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus

tuba biasanya terjadi pada kehamilan ampulla, darah yang keluar

dan kemudian masuk ke rongga peritoneum biasanya tidak begitu

banyak karena dibatasi oleh tekanan dari dinding tuba.

b. Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum,

sebagai akibat dari distensi berlebihan tuba.

c. Faktor abortus ke dalam lumen tuba.

Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada

ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur dapat terjadi

secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal.

Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-

kadang sedikit hingga banyak, sampai menimbulkan syok dan

kematian.1

4. Insiden

Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur

antara 20 – 40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Namun, frekuensi

kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan

ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas 1.

4

Page 5: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

5. Variasi Kehamilan Ektopik

a. Kehamilan Abdominal

Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan

kehamilan ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan

tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Implantasi primer di

dalam rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan

abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90

kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin. Morbiditas maternal

dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi

intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau terbentuknya

fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan

abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba

secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di

sekitarnya, namun juga mempertahankan perlekatannya dengan

tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan

implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen.

Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi

seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika

vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks

kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut,

meskipun tidak patognomonis, harus segera membuat kita berpikir

akan suatu kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus

antara kandung kemih dengan janin, 2) plasenta terletak di luar

uterus, 3) bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu,

4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion antara

plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi

yang jauh lebih baik daripada USG.

Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran

hidup sebesar 10-25%, namun angka malformasi kongenital pada

bayi ekstrauterin cukup tinggi akibat oligohidramnios, dan hanya

50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu. Kelainan

5

Page 6: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

kongenital yang ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah,

kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal pula memberikan

ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi

sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu

besar untuk diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi

atau kalsifikasi. Karena letak janin yang sangat dekat dengan traktus

gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan

berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami

supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga

terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-

organ ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah

dilaporkan, janin yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi

lithopedion, dan menetap dalam rongga abdomen selama lebih dari

15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi.

Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan

ketidakmampuan tempat implantasi plasenta untuk mengadakan

vasokonstriksi seperti miometrium. Sebelum operasi, cairan

resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang

minimal dua jalur intravena yang cukup besar. Pengangkatan

plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat

hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta

tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak

selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering

mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in

situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian

terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan

dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan

in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan.

Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis,

pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar

plasenta, serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor

dengan -hCG serum. Pemberian pencitraan ultrasonografi dan 6

Page 7: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

pengukuran kadar methotrexate untuk mempercepat involusi

plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang

terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang

selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi

arteri-arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah

sebuah alternatif yang baik.

b. Kehamilan Ovarium

Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878,

Spiegelberg merumuskan criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1)

tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi harus

menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus

berhubungan melalui ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium

harus ditemukan dalam dinding kantong gestasi. Secara umum

faktor risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko

kehamilan tuba. Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap

kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan

ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal. Manifestasi

klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik kehamilan

tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium

pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus luteum atau perdarahan

korpus luteum. Kehamilan ovarium terganggu ditangani dengan

pembedahan yang sering kali mencakup ovariektomi. Bila hasil

konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial ovarium masih mungkin

dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan untuk terminasi

kehamilan ovarium yang belum terganggu.

c. Kehamilan Serviks

Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang

cukup jarang. Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa

kemungkinan telah diajukan. Burg mengatakan bahwa kehamilan

serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang disertai

oleh belum siapnya endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula

bahwa instrumentasi dan kuretase mengakibatkan kerusakan 7

Page 8: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

endometrium sehingga endometrium tidak lagi menjadi tempat

nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan

serviks mengindikasikan adanya hubungan antara kehamilan serviks

dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma

Asherman. Hubungan serupa juga tercermin pada fakta bahwa

Jepang, di mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka

kehamilan serviks yang tertinggi di antara negara-negara lain.

Kehamilan serviks juga berhubungan dengan fertilisasi in-vitro dan

transfer embrio. Pada kehamilan serviks, endoserviks tererosi oleh

trofoblas dan kehamilan berkembang dalam jaringan fibrosa dinding

serviks. Lamanya kehamilan tergantung pada tempat nidasi.

Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis, semakin besar

kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi

perdarahan hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai

pada 90% kasus, dan sepertiganya mengalami perdarahan hebat.

Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu. Prinsip

dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik

lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati

usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan

dievakuasi dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada

kehamilan serviks sering kali mengakibatkan perdarahan hebat

karena serviks mengandung sedikit jaringan otot dan tidak mampu

berkontraksi seperti miometrium. Bila perdarahan tidak terkontrol,

sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini menjadi dilema,

terutama bila pasien ingin mempertahankan kemampuan

reproduksinya. Beberapa metode-metode nonradikal yang

digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan

kateter Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri

uterina, embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter Foley dipasang

pada kanalis servikalis segera setelah kuretase, dan balon kateter

segera dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan.

Selanjutnya vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar 8

Page 9: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan

hemostasis (hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase.

Embolisasi angiografik arteri uterina adalah teknik yang belakangan

ini dikembangkan dan memberikan hasil yang baik, seperti pada

sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Itali. Sebelum kuretase

dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau

kolagen dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan

yang terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti pada

kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi

kehamilan serviks. Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang

pertama kali digunakan setelah diagnosis kehamilan serviks

ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya

memberikan hasil yang baik bila usia gestasi belum melewati 12

minggu. Methotrexate dapat diberikan secara intramuskular,

intraarterial maupun intraamnion.

d. Kehamilan Ektopik Heterotipik

Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan

kehamilan intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka.

Hingga satu dekade yang lalu insidens kehamilan heterotipik adalah

1 dalam 30,000 kehamilan, namun dikatakan bahwa insidensnya

sekarang telah meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam

900 kehamilan, berkat perkembangan teknik-teknik reproduksi.

Kemungkinan kehamilan heterotipik harus dipikirkan pada kasus-

kasus sebagai berikut: 1) assisted reproduction technique, 2) bila

hCG tetap tinggi atau meningkat setelah dilakukan kuretase pada

abortus, 3) bila tinggi fundus uteri melampaui tingginya yang sesuai

dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2 korpus luteum, 5)

bila terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan intrauterin.

6. Manifestasi Klinik

Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda;

dari perdarahan yang banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai

terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat 9

Page 10: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

diagnosanya. Gejala dan tanda tergantung pada lamanya kehamilan

ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat

perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil.

Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan

ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin. Kehamilan

ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala

perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen

akut sampai gejala-gejala yang samar-samar sehingga sulit untuk

membuat diagnosanya.1

7. Diagnosis

Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara

ditegakkan, antara lain dengan melihat 5,6,8:

a. Anamnesis dan gejala klinis

Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat

ada atau tidak ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut

kanan / kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada

banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum.

b. Pemeriksaan fisik

i. Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di

daerah adneksa.

ii. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi,

pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen

akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri

lepas dinding abdomen.

iii. Pemeriksaan ginekologis

Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri

pada uteris kanan dan kiri.

c. Pemeriksaan Penunjang

i. Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+).

Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah

merah dapat meningkat.

10

Page 11: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

ii. USG : - Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri

- Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri

- Adanya massa komplek di rongga panggul

iii. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui

apakah dalam kavum Douglas ada darah.

iv. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.

8. Penanganan

a. Penatalaksanaan Medis

Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak

integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat

penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini:

keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak

ada aktivitas jantung janin, diameter kantong gestasi < 4 cm, tidak

ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus

teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang

efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-

penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan

intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil

darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap

pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode

terminasi kehamilan ektopik secara medis.

i. Methotrexate

Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan

untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas.

Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel

trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan

ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel

trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut.

Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun

dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2

(intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah

sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan 11

Page 12: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin

ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1

mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8.

Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek

negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi

methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan

melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil

konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas

terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum

terganggu.

ii. Actinomycin

Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin

intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan

ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi

methotrexate sebelumnya.

iii. Larutan Glukosa Hiperosmolar

Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga

merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum

terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan

injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi

kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate

tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi

injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif

ini jarang digunakan.

b. Penatalaksanaan Bedah

Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan

kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah

terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu,

pembedahan harus dilakukan secepat mungkin.

12

Page 13: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

i. Salpingostomi

Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil

konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di

sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi

linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil

konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil

konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan

hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat

dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan

terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam.

Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun

laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold

standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.

ii. Salpingotomi

Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali

bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa

literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna

dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif

antara salpingostomi dan salpingotomi.

iii. Salpingektomi

Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:

1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien

tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan

sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba

sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6)

perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba

berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi

berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan

anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars

ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada

salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan

parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya 13

Page 14: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali

dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan

masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara

uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan

kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria

tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika

dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari

mesosalping.

iv. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi

Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat

dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan

menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat

aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong

dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila

massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak

dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.

9. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu 4,7:

a. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik

terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi

perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi.

b. Infeksi

c. Sterilitas

d. Pecahnya tuba falopii

e. Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya

embrio

10. Prognosis

Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun

dengan diagnosis dini dengan persediaan darah yang cukup. Hellman

dkk., (1971) melaporkan 1 kematian dari 826 kasus, dan Willson dkk

(1971) 1 diantara 591 kasus. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka

kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan 14

Page 15: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

angka kematian 2 dari 120 kasus. Penderita mempunyai kemungkinan

yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain

itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang

pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi,

walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka

kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%.

Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah sekitar 50%. 1,2,7

11. Diagnosa Banding

Diagnosa banding 6,7,8:

a. Infeksi pelvic

b. Kista folikel

c. Abortus biasa

d. Radang panggul,

e. Torsi kita ovarium,

f. Endometriosis

B. Anemia

1. Definisi dan Etiologi

Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb)

dalam darahnya kurang dari 12 gr%.12 Sedangkan anemia dalam

kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar Hb dibawah 11 gr% pada

trimester I dan III atau kadar <10,5 gr% pada trimester II.11

Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim

disebut Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel

darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga

terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai

berikut: plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%.

Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan

10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36

minggu.12 Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk membantu

meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya

kehamilan. 15

Page 16: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh

defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduannya

saling berinteraksi.11 Menurut Mochtar (1998) penyebab anemia pada

umumnya adalah sebagai berikut:10

a. Kurang gizi (malnutrisi)

b. Kurang zat besi dalam diit

c. Malabsorpsi

d. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dan

lain-lain

e. Penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain-lain

2. Gejala

Gejala anemia pada kehamilan yaitu ibu mengeluh cepat lelah,

sering pusing, mata berkunang-kunang, malaise, lidah luka, nafsu

makan turun (anoreksia), konsentrasi hilang, nafas pendek (pada

anemia parah) dan keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil muda.

3. Klasifikasi

Klasifikasi anemia dalam kehamilan menurut Mochtar (1998),

adalah sebagai berikut:10

a. Anemia Defisiensi Besi

Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi

dalam darah. Pengobatannya yaitu, keperluan zat besi untuk wanita

hamil, tidak hamil dan dalam laktasi yang dianjurkan adalah

pemberian tablet besi.

1) Terapi Oral adalah dengan memberikan preparat besi yaitu fero

sulfat, fero glukonat atau Na-fero bisirat. Pemberian preparat 60

mg/ hari dapat menaikan kadar Hb sebanyak 1 gr%/ bulan. Saat

ini program nasional menganjurkan kombinasi 60 mg besi dan 50

nanogram asam folat untuk profilaksis anemia.11

2) Terapi Parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan

akan zat besi per oral, dan adanya gangguan penyerapan,

penyakit saluran pencernaan atau masa kehamilannya tua.12

Pemberian preparat parenteral dengan ferum dextran sebanyak 16

Page 17: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

1000 mg (20 mg) intravena atau 2 x 10 ml/ IM pada gluteus,

dapat meningkatkan Hb lebih cepat yaitu 2 gr% .9

Untuk menegakan diagnosa Anemia defisiensi besi dapat

dilakukan dengan anamnesa. Hasil anamnesa didapatkan keluhan

cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang dan keluhan

mual muntah pada hamil muda. Pada pemeriksaan dan pengawasan

Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sachli, dilakukan

minimal 2 kali selama kehamilan yaitu trimester I dan III. Hasil

pemeriksaan Hb dengan sachli dapat digolongkan sebagai berikut:

1) Hb 11 gr% : Tidak anemia

2) Hb 9-10 gr% : Anemia ringan

3) Hb 7 – 8 gr%: Anemia sedang

4) Hb < 7 gr% : Anemia berat

Kebutuhan zat besi pada wanita hamil yaitu rata-rata

mendekatai 800 mg. Kebutuhan ini terdiri dari, sekitar 300 mg

diperlukan untuk janin dan plasenta serta 500 mg lagi digunakan

untuk meningkatkan massa haemoglobin maternal. Kurang lebih

200 mg lebih akan dieksresikan lewat usus, urin dan kulit. Makanan

ibu hamil setiap 100 kalori akan menghasilkan sekitar 8–10 mg zat

besi. Perhitungan makan 3 kali dengan 2500 kalori akan

menghasilkan sekitar 20–25 mg zat besi perhari. Selama kehamilan

dengan perhitungan 288 hari, ibu hamil akan menghasilkan zat besi

sebanyak 100 mg sehingga kebutuhan zat besi masih kekurangan

untuk wanita hamil.9

b. Anemia Megaloblastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam

folik, jarang sekali karena kekurangan vitamin B12.

Pengobatannya:

1) Asam folik 15 – 30 mg per hari

2) Vitamin B12 3 X 1 tablet per hari

3) Sulfas ferosus 3 X 1 tablet per hari

17

Page 18: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

4) Pada kasus berat dan pengobatan per oral hasilnya lamban

sehingga dapat diberikan transfusi darah.

c. Anemia Hipoplastik

Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum

tulang, membentuk sel darah merah baru. Untuk diagnostik

diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan diantaranya adalah darah tepi

lengkap, pemeriksaan pungsi ekternal dan pemeriksaan retikulosi.

d. Anemia Hemolitik

Adalah anemia yang disebabkan penghancuran atau

pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari pembuatannya.

Gejala utama adalah anemia dengan kelainan-kelainan gambaran

darah, kelelahan, kelemahan, serta gejala komplikasi bila terjadi

kelainan pada organ-organ vital.

Pengobatannya tergantung pada jenis anemia hemolitik serta

penyebabnya. Bila disebabkan oleh infeksi maka infeksinya

diberantas dan diberikan obat-obat penambah darah. Namun pada

beberapa jenis obat-obatan, hal ini tidak memberi hasil. Sehingga

transfusi darah berulang dapat membantu penderita ini.

4. Efek Anemia pada Ibu Hamil, Bersalin, dan Nifas

Anemia dapat terjadi pada setiap ibu hamil, karena itulah kejadian ini harus

selalu diwaspadai. Anemia yang terjadi saat ibu hamil Trimester I akan dapat

mengakibatkan: Abortus, Missed Abortus dan kelainan kongenital. Anemia

pada kehamilan trimester II dapat menyebabkan: Persalinan prematur,

perdarahan antepartum, gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia

aintrauterin sampai kematian, BBLR, gestosis dan mudah terkena infeksi, IQ

rendah dan bahkan bisa mengakibatkan kematian. Saat inpartu, anemia dapat

menimbulkan gangguan his baik primer maupun sekunder, janin akan lahir

dengan anemia, dan persalinan dengan tindakan yang disebabkan karena ibu

cepat lelah. Saat post partum anemia dapat menyebabkan: tonia uteri, rtensio

placenta, pelukaan sukar sembuh, mudah terjadi febris puerpuralis dan

gangguan involusio uteri.

18

Page 19: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

C. Prosedur Anestesia Umum

Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Trias

anestesi yaitu hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi otonom (Latief, S.A.,

2002).

Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia

yang ideal terdiri:

1. hipnotik

2. analgesia

3. relaksasi otot

Keadaaan anestesi biasanya disebut anestesi umum, ditandai oleh tahap tidak

sadar diinduksi, yang selama itu rangsang operasi hanya menimbulkan respon

reflek autonom. Jadi pasien tidak boleh memberikan gerak volunteer, tetap

perubahan kecepatan pernapasan dan kardiovaskuler dapat dilihat. Keadaan

anestesi berbeda dengan keadaan analgesia, yang didefinisikan sebagai tidak

adanya nyeri. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh agen narkotika yang dapat

menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar. Sebaliknya,

barbiturate dan penenang tidak menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali

tidak sadar (Latief, S.A., 2002).

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan

anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah

sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. Pada

hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral

dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan

aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba.

Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva

autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur

autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan,

yaitu: 19

Page 20: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

Anestesia aman Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang

maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi

otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian

stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama

dengan yang terjadi pada serebral (Boulton, 1994).

1. Penilaian Prabedah

Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah kunjungan

pra anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan, baik

elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut.

Tujuan kunjungan pra anestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan

operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan (Dachlan, R dkk. 2002).

Semua pasien yang masuk di bagian kebidanan kemungkinan akan

membutuhkan anestesi, baik elektif maupun emergensi. Perlu dibuat anamnesis

yang lengkap mengenai umur, paritas, usia kehamilan, dan faktor-faktor yang

mungkin menyebabkan komplikasi. Pada kasus elektif biasanya dilakukan satu

sampai dua hari sebelum operasi sedangkan pada kasus darurat waktu yang

tersedia lebih singkat. Adapun tujuan persiapan pra anestesi adalah untuk

mempersiapkan mental dan fisik secara optimal, merencanakan dan memilih

tehnik serta obat – obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien,

menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology) (Boulton, 1994).

Macam-macam teknik anestesi :

No. Teknik Resevoir bag Valve Rebreathing Soda lime

1. Open _ _ _ _

2. Semi open + + _ _

3. Semi closed + + + +

20

Page 21: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

4. Closed + + + +

Keterangan :

Rebreathing ( - ) = CO2 langsung ke udara kamar.

Rebreathing ( + ) = CO2 langsung ke udara kamar & sebagian dihisap

lagi.

Rebreathing ( + ) = CO2 dihisap lagi.

Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena mempunyai

beberapa keuntungan :

1). Konsentrasi inspirasi relatif konstan.

2). Konservasi panas dan uap.

3). Menurunkan polusi kamar.

4). Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.

Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American

Society Anesthesiology), yaitu : (Latief, S.A., 2002).

ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa

kelainan faali, biokimia dan psikiatri. Angka mortalitas mencapai 2

%.

ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang karena

penyakit bedah maupun proses patofisiolgis. Angka mortalitas

mencapai 16 %.

ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat sehingga

aktivitas harian terbatas . Angka mortalitas mencapai 36 %.

ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung

mengancam kehidupannya dan tidak selalu sembuh dengan

operasi. Angka mortalitas mencapai 68 %.

ASA 5 : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan operasi hampir

tidak ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam

walaupun dioperasi atau tidak. Angka mortalitas mencapai 98 %

21

Page 22: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

2. Tatalaksana Saat Anestesia

Tahapan – tahapan yang harus dilakukan selama anestesia umum.

a. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun

dari anestesia. Diantaranya sebagai berikut : (Latief, S.A., 2002).

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.

2. Memperlancar induksi anestesia.

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.

4. Meminimalkan jumlah obat anestesi.

5. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah.

6. Menciptakan amnesia.

7. Mengurangi isi cairan lambung.

8. Mengurangi refleks yang membahayakan.

b. Obat-Obat Premedikasi

i. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik

Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan

utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari

perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun

tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah

melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme

gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya

laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum (Dobson, 2009).

Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis

terapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi

kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk anestesi

regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan

suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung

khususnya fibrilasi aurikuler.

Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg

dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau 22

Page 23: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB

untuk anak-anak (Dobson, 2009).

ii. Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang(transquilaizer)

Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada

penggunaannya sebagai medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-

bahan psikokimia dari obat itu berguna untuk kelarutannya dalam air dan

metabolisme cepat. Sedangkan dengan benzodiazepin lain, midazolam

menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan amnesia. Ini 2 sampai 3 kali lebih

poten daripada diazepam karena peningkatannya pada reseptor

benzodiazepun (Dobson, 2009).

Dosis biasa intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 1,0-2,5

mg pada intravena. Tidak ada iritasi atau phlebitis dengan injeksi

midazolam. Insidensi efek samping setelah masuknya obat rendah,

meskipun depresi ventilasi dan sedasi dapat lebih dari yang diharapkan,

terutama pada pasien tua atau ketika obat dikombinasikan dengan

depresan system saraf pusat lain. Ada onset yang cepat pada kerja dan

absobrsi yang diperkirakan setelah injeksi intramuskular midazolam

daripada diazepam. Waktu onset setelah injeksi intramuskuler 5-10

menit, dengan efek puncak muncul setelah 30-60 menit. Onset setelah

masuknya intravena sebesar 5 mg diperkirakan muncul setelah 1-2

menit. Ditambahkan onset yang lebih cepat, penyembuhan lebih cepat

muncul setelah masuknya midazolam dibandingkan dengan diazepam.

Hal ini mungkin sebagai hasil kelarutan midazolam pada lemak dan

distribusi yang cepat pada jaringan perifer dan biotransformasi metabolic

(Dobson, 2009).

Atas alasan ini, midazolam biasanya diberikan dalam waktu 1 jam

induksi. Midazolam dimetabolisme dengan enzim mikrosomal hepatic

untuk mencapai metabolisme hidroksilasi yang inaktif. Reseptor H2

antagonis tidak mempengaruhi metabolisme. Eliminasi waktu paruh

midazolam kira-kira 1-4 jam dan dapat memanjang pada orang tua.

Percobaan menunjukkan fungsi mental biasanya kembali ke normal

dalam 4 jam masuknya obat. Setelah masuknya 5 mg, amnesia berakhir 23

Page 24: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

dari 20-32 menit. Masuknya obat intramuskuler dapat menghasilkan

periode amnesia lebih panjang. Hilangnya ingatan dapat diakibatkan oleh

masuknya skolpolamin berkelanjutan. Obat-obatan midazolam membuat

hal ini ideal untuk prosedur yang pendek.

Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi

dan pernafasan, umumnya hanya sedikit. Dosis premedikasi dewasa

0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan keadaan pasien.

Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan pasien lemah dosisnya

0,025-0,05 mg/kgBB (Dobson, 2009).

iii. Cedantron 4 mg (Ondansentrone)

Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk

pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping

berupa ipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis

dewasa 2-4 mg (Dobson, 2009).

iv. Antagonis Receptor Histamin (Antagonis reseptor H2)

Cimetidin, Ranitidin, Famotidin and Nizatidin mengurangi sekresi

asam gaster. Mereka memblok kemampuan histamine untuk

menginduksi sekresi asam gaster dengan konsentrasi ion hydrogen yang

tinggi. Oleh karena itu antagonis reseptor histamin meningkatkan pH

gaster. Antagonisme dari reseptor histamine terjadi dalam cara yang

selektif dan kompetitif. Penting untuk mengingat bahwa obat-obatan ini

tidak dapat diperkirakan tergantung dari volume gaster. Dibanding

dengan premedikasi, mereka relatif memiliki efek samping yang lebih

sedikit. Karena efek sampingnya yang relatif sedikit dan karena banyak

pasien elektif memiliki resiko aspirasi pneumonitis, beberapa

anesthesiologists menyarankan penggunaan antagonis reseptor H2.

Regimen dosis mulitipel dapat lebih efektif dalam meningkatkan pH

gaster dibanding dosis tunggal sebelum operasi pada hari operasi.

Antagonis H2 juga dapat diberikan pada pasien alergi (Dobson, 2009).

24

Page 25: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

3. Induksi Anestesia

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan

hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi

namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan

vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler

sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia

sebelum induksi (Muhiman, 2008).

Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena

efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi

oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.

Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi

dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat

menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan

laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi

laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya

fluktuasi hemodinamik (Muhiman, 2008). Beberapa teknik dibawah ini bisa

dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya

hipertensi.

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama

5- 10 menit.

Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25

mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-

1 mikrogram/ kgbb).

Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,

propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

Menggunakan anestesia topikal pada airway (Muhiman, 2008).

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk

masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat

tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.

Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik

25

Page 26: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa

digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi (Muhiman, 2008).

4. Obat - Obat Induksi

a. Profofol

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan

karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.

Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang

bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam

lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh

GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek

kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik (Pramono, A., 2008).

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse.

Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur

diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi itu lebih

kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55

tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau secara

kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih lambat

daripada cara pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada

pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga

lebih lambat (Pramono, A., 2008).

b. Petidin

Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya

sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek

samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-

fenilpiperidin-4-karboksilat. Efek samping meperidin dan derivat

fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut

kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi,

disforia, sinkop dan sedasi (Pramono, A., 2008).

c. Atracurium

26

Page 27: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare)

berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan

depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga

asetilkolin tidak dapat bekerja (Pramono, A., 2008).

Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB,

durasinya selama 20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat

pada suhu 250 C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit. Penawar pelumpuh

otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah

asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.

Antikolinesterase yang paling sring digunakan ialah neostigmin dengan

dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) au obat antikolinergik lainnya. Penawar

pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan,

bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur,

sehingga pemberiannya harus disertai obat vagolitik seperti atropin dosis

0,01-0,02 mg/kgBB atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3

mg/kgBB pada dewasa (Pramono, A., 2008).

d. Fentanyl

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai

suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan

morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan

kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin.

Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf

tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah

(dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor

opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol

untuk menimbulkan neureptanalgesia.

a. FarmakokinetikSetelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara

kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar

dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil

dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan,

sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

27

Page 28: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

b. Indikasi Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis

1-3 mg /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu

hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk

pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk

induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi

bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung.

Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.

c. Efek samping Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang

sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat

mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH,

renin, aldosteron dan kortisol. 

5. Pemeliharaan

a. N2O

N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan

memanaskan ammonium nitrat sampai 240°C (NH4 NO3 à 2H2O + N2O).

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak

terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O

harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi

analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri

menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian,

tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan

sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan

cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan

terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi,

berikan O2 100% selama 5-10 menit (Dachlan, R dkk. 2002).

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi

N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek

analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% :

20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan

28

Page 29: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara

dan timpanoplasti (Dachlan, R dkk. 2002).

b. Halothan/fluothan

Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak

berwarana yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane

sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan

sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane

agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada

nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali

sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.

Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus

simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi

vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska

pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigil. Sifatnya tidak

berwarna, mudah menguap, tidak mudah terbakar/meledak dan berbau

harum tetapi mudah terurai cahaya. Efeknya tidak merangsang traktus

respiratorius, menghambat salivasi, nadi cepat, ekskresi airmata dan

asodilatasi pembuluh darah otak (Dachlan, R dkk. 2002).

c.Sevofluran

Sevofluran (Ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari

anestesi lebih cepat dibanding dengan isofluran. Baunya tidak menyengat

dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi

inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil,

jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti

isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian

dihentikan, sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak

oleh sodalim namun belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh

manusia (Dachlan, R dkk. 2002).

6. Intubasi

Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat pasien

dari sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya anestesia dan 29

Page 30: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

pembedahan. Induksi dapat dilakukan secara intrvena, intramuskular, inhalasi

dan rektal. Sebelum dilakukan induksi sebaiknya disiapkan terlebih dahulu

peralatan dan obat-obatan yang diperlukan. Untuk persiapan induksi sebaiknya

kita ingat STATICS: (Pramono, A., 2008).

S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo- Scope

T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon (cuffed)

A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring

(nasofaring) yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar

agar lidah tidak menymbat jalan napas

T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah

dimasukkan

C = Connector Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S = Suction Penyedot lendir dan ludah

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk

membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar

tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan

oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal

(Anonim, 1996) :

a. Mempermudah pemberian anestesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan

kelancaran pernafasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak

sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

g. Obat.

30

Page 31: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

7. Tatalaksana Pasca Anestesia

Pasca anetesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan

anestesi yang biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu

ruangan untuk observasi pasien pasa operasi atau anestesi.Ruang pulih sadar

adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih

memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi

atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi

atau pengaruh anestesinya (Dobson, 2009).

Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak,

ventilasinya cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak.

Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena

spasme laring, pasca bedah dini juga dapat terjadi muntah yang dapat

menyebabkan aspirasi.

Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien

belum sadar dapat terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang

berkepanjangan adalah akibat dari pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau

hipoksia, dan hiperkarbi.Hipoksia dan hiperkarbi terjadi pada pasien dengan

gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah

akibat efek vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan menambah beban

jantung dan sangat berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung (Dobson,

2009).

Tabel 2.1. Aldrette Scoring System

Kriteria Recovery scoreIn 15 30 45 60 Out

Aktivitas Dapat bergerak volunter atau atas perintah

4 anggota gerak

2 2 2 2 2 2

2 anggota gerak

1 1 1 1 1 1

0 anggota gerak

0 0 0 0 0 0

Respirasi Mampu benafas dan batuk secara bebas

2 2 2 2 2 2

Dyspnea, nafas dangkal atau terbatas

1 1 1 1 1 1

Apnea 0 0 0 0 0 0

31

Page 32: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

SirkulasiTensi Pre op…mmHg

Tensi ± 20 mmHg preop

2 2 2 2 2 2

Tensi ± 20-50 mmHg preop

1 1 1 1 1 1

Tensi ± 50 mmHg preop

0 0 0 0 0 0

Kesadaran Sadar Penuh 2 2 2 2 2 2Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0

Warna kulit Normal 2 2 2 2 2 2Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1Sianotik 0 0 0 0 0 0

Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari

komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya (Dobson,

2009).

32

Page 33: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

BAB III

KASUS

3.1 Identitas

Nama : Ny. S

Umur : 33 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pendidikan Terakhir : SD

Alamat : Mantri Anom RT/RW 01/01 Bawang

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Nama Suami : Tn. D

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Buruh

Alamat : Mantri Anom RT/RW 01/01 Bawang Palembang

Agama : Islam

Tanggal masuk RSMS : 14 Desember 2012

Tanggal periksa : 14 Desember 2012

3.2 PRIMARY SURVEY

Pemeriksaan

1. Airway

Clear, Mallampati 2, tidak terdapat gigi ompong dan gigi palsu.

2. Breathing

Napas spontan, gerak dada simetris, RR 32x per menit, reguler, tidak

terdapat retraksi, trakea terletak di median, tidak terdengar suara ronki dan

suara wheezing.

33

Page 34: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

3. Circulation

Kulit hangat, TD 90/45 mmHg, nadi 60x per menit, ireguler, isi dan

tegangan cukup.

4. Disability

Keadaan umum tampak lemah, kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6

= 15, pupil bulat, isokor, 3mm/3mm dan reflek cahaya +/+.

3.3 SECONDARY SURVEY (Anamnesis)

A. Keluhan Utama

Nyeri perut sebelah kanan bawah

B. Keluhan Tambahan

Mual, muntah, keputihan

C. RPS

Pasien baru datang ke IGD RSMP dengan surat pengantar Puskemas

Lengkal pada tanggal 14 Desember 2012 pukul 21.10 WIB dengan keluhan nyeri

perut hebat pada daerah kanan bawah yang dirasakan sejak pukul 18.00 WIB.

Pasien juga mengeluhkan mual serta muntah dan disertai bercak darah keluar dari

liang senggama. Pasien tidak mengeluhkan keluar lendir dari jalan lahir. Pasien

mengatakan bahwa dia tidak tahu sedang hamil. Pasien terus melakukan suntik KB

per 3 bulan.

D. RPD

1. Penyakit Jantung : disangkal

2. Penyakit Paru : disangkal

3. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal

4. Penyakit Ginjal : disangkal

5. Penyakit Hipertensi : disangkal

6. Riwayat Alergi : disangkal

7. Riwayat Asma : disangkal

E. RPK

1. Penyakit Jantung : disangkal

2. Penyakit Paru : disangkal

34

Page 35: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

3. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal

4. Penyakit Ginjal : disangkal

5. Penyakit Hipertensi : disangkal

6. Riwayat Alergi : disangkal

7. Riwayat Asma : disangkal

F. Riwayat Menstruasi

1. Menarche : 13 tahun

2. Lama haid : ± 7 hari

3. Siklus haid : teratur

4. Dismenorrhoe : tidak ada

5. Jumlah darah haid : normal (sehari ganti pembalut 2-3 kali)

G. Riwayat Obstetri

G4P3A0

I : laki-laki/bidan/spontan/3000 gr/ 11 thn

II : perempuan/bidan/spontan/2700 gr/ 8 thn

III: laki-laki/bidan/spontan/3200 gr/ 4 thn

IV : Hamil ini

HPHT : 20 oktober 2011

HPL : 27 Juli 2012

UK : 8 minggu

H. Riwayat ANC

Pasien tidak pernah kontrol kehamilan teratur ke bidan puskesmas,

karena tidak mengetahui dirinya hamil

I. Riwayat Ginekologi

1. Riwayat Operasi : tidak ada

2. Riwayat Kuret : tidak ada

3. Riwayat Keputihan : ada

35

Page 36: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

J. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien merupakan ibu rumah tangga dan suaminya bekerja sebagai

buruh. Kesan sosial ekonomi keluarga adalah golongan menegah ke bawah.

Pasien menggunakan Jamkesmas dalam masalah kontrol kehamilan dan

persalinan.

3.4 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Lemah

Kesadaran : GCS E4M6V5 ( Compos Mentis)

Vital Sign : TD : 90/60 mmHg

N : 60 x/menit

RR : 32 x/menit

S : 36,4 0C

Tinggi Badan : 155 cm

Berat Badan : 65 kg

Status Gizi : cukup

A. Status Generalis

1. Pemeriksaan kepala

Bentuk kepala : mesocephal, simetris

Mata : simetris, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-,

refleks pupil +/+ normal, isokor, diameter 3/3 mm,

edema palpebra -/-

Telinga : discharge -/-

Hidung : discharge -/-, nafas cuping hidung -/-

Mulut : sianosis (-), lidah kotor -/-

2. Pemeriksaan leher

Trakea : deviasi (-)

Gld Tiroid : ttb

Limfonodi Colli : ttb

JVP : 5+2 cm H2O

36

Page 37: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

3. Pemeriksaan Toraks

a. Paru

Inspeksi : dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi intercosta

(-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)

Palpasi : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri

Ketinggalan gerak (-)

Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : SD vesikuler, RBH -/-, RBK -/-, Wh -/-

b. Jantung

Inspeksi : ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS

Palpasi : ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS

ictus cordis kuat angkat (-)

Perkusi : batas jantung

Kanan atas SIC II LPSD

Kiri atas SIC II LPSS

Kanan bawah SIC IV LPSD

Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS

Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)

4. Pemeriksaan Abdomen

Inspkesi : cembung, venektasi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) N

Perkusi : pekak, pekak sisi (-), pekak alih (-)

Palpasi : nyeri tekan (+) di suprapubic dan illiaca dextra

Hepar : tidak teraba

Lien : tidak teraba

5. Pemeriksaan ekstermitas

Superior : edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-

Inferior : edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-

6. Status Lokalis

Abdomen

Inspeksi : Cembung

Palpasi : Ballotement -, Nyeri tekan +37

Page 38: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

Perkusi : tympani

Auskultasi : BU + N

3.5 Diagnosis

G4P3A0, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 minggu, dengan Kehamilan Ektopik

Terganggu.

3.6 Pemeriksaan Penunjang

Lab 14/12/2012

Darah lengkap

Hb : 4,8 g/dl ↓ (12-16 g/dl)

Leukosit : 12360/ul ↑ (4800-10800/ul)

Ht : 14 % ↓ ( 37-47 %)

Eritrosit : 1,5/ul ↓ ( 4,2-5,4/ul)

Trombosit: 176.000/ul ( 150.000-450.000/ul)

Hitung jenis

Basofil : 0,1 % (0-1%)

Eosinofil : 0,2 % ↓ (2-4%)

Batang : 0,00 % ↓ (2-5%)

Segmen : 81,9 % ↑ (40-70%)

Limfosit : 15,0 % ↓ (25-40%)

Monosit : 2,8% (2-8%)

PT : 15,6 (11,5-15,5)

APTT : 28 ↓ (30-40)

Kimia Klinik

SGOT : 11

SGPT : 20

Ureum darah : 13,5

Kreatinin darah : 0,6938

Page 39: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

GDS : 128

Urinalisis

Fisis Hasil Nilai normal

Warna Kuning muda Kuning muda- tua

Kejernihan Jernih Jernih

Bau Khas Khas

Kimia

Berat Jenis 1.01 1.010-1.010

pH 8 4,6-7,8

Leukosit Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Protein Normal Negatif

Glukosa Normal Normal

Keton Negatif Negatif

Urobilinogen Normal Normal

Bilirubin Negatif Negatif

Eritrosit Negatif Negatif

Sedimen

Eritrosit 1-3 Negatif

Leukosit 4-5 Negatif

Silinder Hialin Negatif Negatif

Silinder Lilin Negatif Negatif

Granuler Halus Negatif Negatif

Granuler Kasar Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Bakteri + 1 Negatif

Trikomonas Negatif Negatif

39

Page 40: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

3.7 Diagnosis

Diagnosis Pre-operasi : Kehamilan Ektopik Terganggu +Anemia

Diagnosis Post-operasi : Kehamilan Ektopik Terganggu + Anemia

Klasifikasi Status Operasi : ASA III E

3.8 Terapi Ginekologi

- Drip Ketorolac 10 mg

- Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 g

- Metronidazole 2 x 1 fls

- Licafex 3 x 1 mg

- actinamin 2x1 mg

- Tranfusi WB 300 cc

Tranfusi PRC 452 cc

3.9 Rencana Anestesi

1. Persiapan Operasi

a. Persetujuan operasi tertulis ( + )

b. Puasa > 6 jam

c. Pasang IV line

d. Sedia darah 4 kolf Whole blood dan PRC 452 cc

e. Premedikasi di OK

2. Jenis Anestesi : General anestesi

3. Teknik Anestesi : Semi closed balance anesthesia, inhalasi, respirasi

terkontrol dengan Nasotracheal Tube no. 7.

4. Premedikasi : Fentanyl 50 mcg IV

5. Induksi : Propofol 130 mg

6. Pelumpuh otot : Atracrium 35 mg IV

7. Maintenance : N2O/O2 = 2L/2L, Sevofluran 1-2 vol%

8. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 3 menit, kedalaman

anestesi, cairan, perdarahan, dan produksi urin.

9. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar.

40

Page 41: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

3.10 Tatalaksana Anestesi

Persiapan anestesi :

- Pukul 10.30 WIB dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien,

persetujuan operasi (melakukan informed consent), lembar konsultasi anestesi,

obat-obatan dan alat-alat yang diperlukan serta dilakukan pemeriksaan tanda

vital.

- Infus RL terpasang pada tangan kanan.

- Kateter urin terpasang.

- Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi dan penutup kepala.

Jenis anestesi : General Anestesi

Teknik anestesi : ET no. 7 nafas kendali kedalaman 20

Premedikasi

- Pukul 11.00 WIB penderita ditidurkan di ruang operasi dengan posisi

terlentang.

- Pengukuran tekanan darah terpasang di tangan kiri dan pengukur SpO2

terpasang di jari ke-1 tangan kanan.

- Diberikan obat-obatan premedikasi berupa dexamethason 10 mg dan

fentanyl 50 microgram, ondansetron 8 mg.

- Mempersiapkan alat – alat STATICS dan melakukan pengecekan.

- Menjelaskan tindakan/prosedur yang akan dilakukan pada pasien dan

memberitahu mengenai obat-obat yang akan diberikan dan efeknya.

Induksi :

- Induksi dimulai pukul 11.00 WIB.

- Induksi dilakukan dengan pemberian propofol 130 mg IV.

- Kemudian melihat refleks bulu mata pasien, jika sudah tidak ada, berikan

pre-oksigenasi ± 10 liter, posisi kepala ekstensi.

- Lakukan face mask, gunakan sungkup muka yang pas, lakukan ± 3-5 menit.

- Kemudian pemberian obat pelumpuh otot yaitu atracurium 35 mg IV.

- Setelah itu dilakukan pemasangan ET, mulut di buka dengan laringoskop

lalu ET di masukkan ke trakea. Cuff dikembangkan agar ET terfiksasi.

- Ambu bag di pompa, dinding dada mengembang. Dengan menggunakan

stetoskop, kita mendengar sama di semua lapang paru.41

Page 42: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

- Intubasi ET berhasil dilakukan. ET dan pipa difiksasi dan dihubungkan

dengan mesin anestesi.

Maintenance :

- Pukul 11.10 anestesi sudah cukup dalam, kemudian leher pasien di beri

bantalan agar tetap dalam posisi ekstensi,dan operasi mulai di lakukan.

- Untuk mempertahankan status anestesi digunakan N2O 2 L/menit, O2

2L/menit, halothane 2-2,5 vol%, injeksi tramadol 100 mg.

- Pasien di monitoring (Tanda vital, SpO2, kedalaman anestesi, cairan dan

perdarahan).

- Pukul 12.25 operasi selesai.

- Operasi berlangsung selama 1 jam 25 menit.

- Pasien diberi reverse 3 : 2, IV

- kemudian dilakukan ekstubasi, saat ekstubasi dilakukan suction dan jaw

trust untuk membangunkan pasien, setelah pasien sudah dapat bernafas dengan

adekuat dan terdapat refleks bulu mata, diberikan oksigen murni menggunakan

sungkup sebanyak 2L/menit selama ± 10 menit.

Tabel Monitoring Selama Anestesi

Laporan Operasi

42

Page 43: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

05.00 DI IGD TD 90/60 mmHg, N 60x/mnt, RR 30 x/mnt, Maintenance : O2, IV line+Loading RL 1000 cc Sedia darah 4 kolf WB + PRC 452 cc

10.15 TD 90/55 mmHg, N 68x/mnt, RR 28x/mnt,

10.30 TD 95/60 mmHg, N 68x/mnt, RR 28x/mnt,

10.45Masuk OK

TD 104/73 mmHg, N 76/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 95Pemasangan IV Line kedua untuk jalur tranfusi darah.Premedikasi : Ondansentron 8 mg, Fentanyl 50 mcg, dexamethason 10 mg.Induksi : Propofol 130mg Relaksasi : Atracarium 35 mgIntubasi ET no 7Operasi dimulai pukul 11.00Maintenance halothene

11.15 TD 100/72 mmHg, N 70x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99Transfusi darah WB (threeway) kolf pertama

11.30 TD 90/60 mmHg, N 74x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99Diberi tramadol 100mg

11.45 TD 95/60 mmHg, N 70x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99

12.00 TD 105/73 mmHg, N 76/mnt, RR 20x/mnt,SpO2 99Diberi Asam traneksamat 2 amp

12.15

TD 100/72 mmHg, N 78x/mnt, RR 20x/mnt,SpO2 99Operasi selesai

12.30 TD 100/65 mmHg, N 78x/mnt, RR 20x/mnt,SpO2 99Pasien dibawa ke ICU

Kebutuhan Cairan Pasien :

M : 2 x 65 = 130 cc

So : M x 6 = 780 cc

PP : M x 8 = 1040 cc

I : ½ PP + M + So =1430 cc

II/III : ¼ PP + M + So = 1170cc

EBV : 65 x 65 = 4225 cc

ABL : EBV/5 = 845 cc

Keadaan Postoperasi dan Perawatan pasca anestesi di RR :

- Pukul 12.30 WIB pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

- Pasien diberikan oksigen 2 L/menit kanul nasal.

- Kemudian diobservasi aktivitas motorik, pernapasan, dan kesadaran sbb:

Kesadaran : somnolen

Infus : RL

43

Page 44: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

Tensi : 100/60 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Saturasi O2 : 99 %

Pasien dipindahkan ke ruang Intensive Care Unit untuk dilakukan

observasi. Vital sign terakhir pasien saat di bawa ke ICU adalah TD 100/65 mmHg,

N 78x/mnt, RR 22x/mnt,SpO2 99. Penilaian pasien ini menggunakan ”Skor

Aldrete” dan diberikan O2 2-3 liter / menit, serta diobservasi tekanan darah, denyut

nadi.

Catatan Perkembangan Pasien ICU

Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning15-12-2011 - Nyeri perut

- Pusing- BAB -- BAK DC 1000 cc

KU/kes : sedang/ composmentis TD : 100/70 mmHg N : 98 x/menit RR: 22 x/menit S : 36,8°C Status Generalis: - Mata : CA -/-, SI :-/- - C: dbn - P: SDV, Rbh -/-Wh -/- Status Lokalis : Reg. Abdomen : Inspeksi : Datar, terdapat luka oprasi yang ditutup perban elastis, rembes -Palpasi : - Supel- NT -Auskultasi : - BU (+) N Reg. Genitalia : - DC (+) - PPV (-)

P3A, 32 tahun, post laparotomi explorasi H+1 e.c Kehamilan Ektopik Terganggu.

- IVFD RL 20 tpm- Inj Ketorolac

3x30 mg- Diet lunak

44

Page 45: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

BAB IV

PEMBAHASAN

Kasus

Pasien datang dengan diagnosis G4P3A0, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 mg,

dengan KET, pro laparotomy cito. Pasien usia 32 tahun datang dengan keluhan

nyeri perut sejak 3 jam SMRS. Pasien juga mengeluhkan mual serta muntah dan

disertai bercak darah. Pasien tidak mengeluhkan keluar lendir dari jalan lahir.

Pasien tidak mengetahui sedang hamil.

Dari riwayat penyakit dahulu seperti riwayat hipertensi, DM ,alergi obat,

trauma, operasi sebelumnya disangkal, sesak napas/asma, riwayat penyakit jantung

dan gangguan perdarahan disangkal.

Pemeriksaan Dalam

V/U tenang, dinding vagina licin, serviks utuh mencucu, slinger pain (+), darah (+)

Diagnosis

Diagnosis pre operatif : G4P3A0, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 mg, dengan KET.

Status operatif : ASA III E. Status operatif ASA III E ini karena terdapat

pendarahan masif dan anemia yang dapat mempengaruhi sistemik. Tindakan

emergency dilakukan karena mengancam nyawa pasien.

Kunjungan Pre-operasi

Tekanan darah pasien saat kunjungan pre operatif adalah 90/60 mmHg..

Pasien memiliki riwayat Asma, riwayat jantung, DM, hipertensi, alergi disangkal

pasien. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan

penyakit yang dicurigai, maka dilakukan  pemeriksaan darah rutin (Hb, leukosit,

masa perdarahan, masa pembekuan) dan urinalisis. Pada pasien dilakukan

pemeriksaan EKG dan foto toraks. Pada pasien diperoleh Hb : 4,8 g/dl, angka

leukosit 12360/uL, Limfosit 15 %, netrofil St 0,00 netrofil Sg 81,9 % PT : 15,6

APTT : 28 ureum : 13,5 , kreatinin  0,69 mg/dL GDS 121, Tes kehamilan (+).

Berdasarkan perhitungan Whole Blood, maka pasien membutuhkan Whole

Blood sebanyak 2000 cc sehingga disediakan Whole Blood 4 kolf. Pada pasien ini

diberikan whole blood karena terjadi perdarahan akut dan masif.

45

Page 46: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

Saat hemodinamik pasien belum stabil yang ditandai TD 90/60 mmHg, N

60 x/mnt, RR 20 x/mnt maka dilakukan tindakan yakni pemberian O2 dan

pemasangan infus line dimana berisi RL 1000 cc. Setelah dimonitoring

hemodinamik pasien mulai stabil dimana TD 104/73 mmHg, N 76 x/mnt, RR 22

x/mnt, untuk selanjutnya pasien dibawa ke ruang OK. Berdasarkan status fisik,

pasien digolongkan pada ASA III E, maka jenis anestesi yang paling baik

digunakan dalam operasi laparotomi ini adalah anestesi umum dengan respirasi

terkendali menggunakan endotrakheal tube.

Terapi

Dilakukan laparotomi menggunakan general anestesi dengan respirasi

terkendali menggunakan endotrakheal tube (ETT).

1. Keadaan Pre-operasi : Pasien puasa selama 4 jam sebelum operasi. Keadan

umum dan vital sign pasien lemah dan presyok, gelisah. Pasien distabilisasi di

VK IGD, diberikan O2 nasal 4 l/m, IVFD 2 line, Loading cairan RL 1000 cc .

Pasien diusahakan darah 4 kolf WB dan PRC 452 cc.

2. Jenis Anestesi : general anestesi dengan teknik semi closed intubation, respirasi

terkontrol dengan endotrakeal Tube No. 7.

3. Premedikasi yang diberikan : Ondansentron 4 mg, Fentanil 50 mcg diberikan

secara intravena dalam waktu 5 menit sebelum induksi anestesi.

4. Induksi anestesi: Pasien diberi O2 murni selama 1 menit sebelum dilakukan

intubasi. Setelah terjadi relaksasi, dilakukan pemasangan pipa endotrakeal (No.

7). Induksi anestesi pada pasien ini dengan menggunakan Propofol 130 mg,

relaksasi menggunakan Atracarium 35 mg.

5. Maintenance

Status anestesi dipertahankan dengan pemberian kombinasi O2 4 liter /

menit, N20 3 liter / menit, dan sevoflurane 2 vol%. Selama tindakan anestesi

berlangsung, tekanan darah dan denyut nadi diukur setiap menit menggunakan

SpO2. Tekanan darah setelah pasien diberikan transfusi darah WB kolf pertama

(three way), sistole berkisar antara 90-100  mmHg, sedangkan tekanan darah

diastole berkisar antara 60-72 mmHg, dan denyut nadi berkisar antara 70-74

kali / menit.

46

Page 47: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

2. Keadaan post operasi

Operasi selesai dalam waktu 1 jam, 1500cc. Sesaat sebelum operasi

selesai, N2O dimatikan sedangkan pemberian O2 masih dipertahankan.

Diberikan anti dotum, prostigmin 1,5 mg dan atropine sulfate 0,5 mg. Ekstubasi

dilakukan setelah operasi selesai, sebelumnya rongga mulut dan trakea pasien

dibersihkan dengan menggunakan suction untuk menghilangkan lendir yang

dapat menghalangi jalan napas.

3. Ruang pemulihan (Recovery Room)

Pasien dipindahkan ke ruang Intensive Care Unit untuk dilakukan

observasi. Vital sign terakhir pasien saat di bawa ke ICU adalah TD 100/65

mmHg, N 78x/mnt, RR 22x/mnt,SpO2 99. Penilaian pasien ini menggunakan

”Skor Aldrete” dan diberikan O2 2-3 liter / menit, serta diobservasi tekanan

darah, denyut nadi.

Pembahasan farmakologi

1. Fentanil

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat

berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika

narkotika yang sering digunakan dalam anestesia untuk mengendalikan nyeri

saat pembedahan dan anestesi narkotik total pada pembedahan jantung (Wiria,

2005). Pada pasien ini menggunakan Fentanyl 50 mg.

2. Profofol

Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan

karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.

Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang

bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam

lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh

GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek

kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik (Pramono, A., 2008).

47

Page 48: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

3.Atracurium

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru dengan

struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice Leontopeltatum.

Keunggulan atracurium adalah :

- metabolisme terjadi di dalam darah

- tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang

- tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna

Kemasan dibuat dalam ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg

atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan pada suhu

dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. 7,8

Dosis intubasi : 0,5 - 0,6 mg / Kg BB / IV

Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg / Kg BB / IV

Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg / Kg BB / IV

Monitoring Post Operasi

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang

inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak

berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang

memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR,

dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah,

saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Pasien dapat keluar dari

RR apabila sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari tujuh.

Kesimpulan

Berdasarkan status fisik pasien ASA III E dengan kehamilan ektopik

terganggu, jenis anastesi yang paling baik digunakan dalam laparotomi adalah

general anastesi. Teknik general anastesi yang dipilih adalah semi open closed,

nafas kendali dengan endotracheal tube nomor 7. Untuk premedikasi diberikan

ondansentron 4 mg, Fentanil 50 mcg dan induksi diberikan propofol 130 mg ,

relaksasi Atracarium 30 mg, serta pemeliharaan dengan O2  4 L/menit, N2O 3

L/menit, sevoflurane 2 % volume.

48

Page 49: LAPSUS GA Pada KET Dan Anemia

DAFTAR PUSTAKA

- Boulton, T.B., Blogg, C.E., 1994. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta.

- Dachlan, R dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : bagian

Anesteiologi dan terapi Intensif. FK UI

- Dobson Michael B, Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, 2009.

- Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta:

FK UI.

- Muhiman, M. 2008. Anastesiologi. Jakarta : bagian Anestesiologi dan terapi

Intensif. FK UI.

- Morgan E, Mikhail MS, Clinical Anesthesiology, Prentice Hall International Inc,

Connecticut, 1996.

- Muhardi, M, dkk. Anastesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI,

CV Infomedia, Jakarta, 1999.

- Pramono, A., 2008. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. Yogyakarta : FK

UMY.

- Sood, Jayashere. Laringeal Mask Airway and Its Variants. Indian Journal

Anesthesia. 2005; 49(4): 275-280

- Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope

2002;112:3-5

49