Upload
gladys-clara-dea-pratama
View
1.284
Download
329
Embed Size (px)
DESCRIPTION
case
Citation preview
POLIP NASAL
(Laporan Kasus)
Oleh :
Gladys Clara Dea Putri, S.Ked (0918011093)
Pembimbing :
dr. Hadjiman Yotosudarmo , Sp.THT
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN
TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderita baik pendidikan, pekerjaan, aktivitas
harian dan kenyamanan. Polip nasi merupakan mukosa hidung yang mengalami
inflamasi dan menimbulkan prolaps mukosa di dalam rongga hidung. Polip nasi
ini dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi dengan atau tanpa bantuan
endoskopi.1,2
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan
dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian
dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2%
pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria
dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara
1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar
0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip nasi
sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003, Ferguson et al.2006).3,4
Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti. Sampai saat
ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan
patogenesis dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah
penting untuk dapat mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk mendapatkan
diagnosis dan pengelolaan yang tepat.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5)
kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor, 3) beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi anterior
kartilago septum.2
Gambar 2.1 Kerangka tulang dan tulang rawan
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum
nasi dengan nasofaring2.
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.2
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. 2 Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina
prependikularis os etmoid, (2) vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4)
krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan (2) kolumela. Bagian superior dan posterior
disusun oleh lamona prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh
kartilago septum (quadrilateral), premaksila, dan kolumna membranousa.
Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang palatine dan bagian
Gambar 2.2 Dinding lateral kavum nasi
posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh perikondrium pada
bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya
dilapisi pula oleh mukosa hidung.
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka
media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. 2
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara
Gambar2.3 Septum nasi
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid.
Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.2
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian
atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal
dari a. karotis interna.2
III. POLIP NASI
a. Definisi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan.
Umumnya sebagian besar polip ini berasal dari celah kompleks
osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga hidung.2,5
b. Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit
laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi
penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi
dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan
perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi
diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan
dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark
memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun
(Bateman 2003, Ferguson et al.2006). Di Indonesia studi epidemiologi
menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi
0,2%-4,3%.2,3,4
c. Etiopatogenesis
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat
sejumlah hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik
yang berkisar dari predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi
inhalan, alergi makanan, sampai ketidakseimbangan vasomotor.2
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya
polip, yaitu :5
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung
Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :2,3,5
Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga
hal, yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil,
berhubungan dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang
menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara menahun,
diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui inflamasi
yang terus-menerus pada mukosa hidung.1
Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip hidung.7
Akan tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka
kejadian polip hidung juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi
lain menunjukkan bahwa asma dengan onset yang telat (late onset
asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 10-15%
Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan
adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen
yang ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami rinitis
prodromal sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip hidung.
Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan
berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam
regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan
edema dan pembentukan polip.
Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang
selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan
tekanan negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa
disekitarnya. Karena tekanan negatif ini kemudia akan terjadi
infalamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya
polip.
Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena
infeksi daspat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang
selanjutnya akan membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin
semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau drainase vena
mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan
mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna
pada pasien dengan polip hidung.
Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari
intoleransi aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat
sindrom klinis yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya
aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon
Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada pasien
dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan
bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan
metabolit tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene
(Cys-LT). Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam
arachidonat menjadi jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang
selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG
antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya
akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon
inflamasi tak terkontrol dan inflamasi kronis.
Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif
pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena
mutasi gen tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya
cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan
impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium.
Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida
menyebabkan pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya
menimbulkan retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein
CFTR juga menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan
peran besar dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi
dari tone vaskular, pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai
jaringan. Radikal bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan
seimbang oleh antioxidan defense system superoxide dismutase ,
catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat
melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi
defek seluler, defek jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan
akan meningkatnya kadar nitric oxide dan penurunan scavangeing
enzim pada pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol, yang
menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting
terhadap pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan
pada epitel dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya
terjadi pada infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus
aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen yang sering
ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi
terjadinya polip hidung masih belum benar-benar dipahami.
Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah
mukus didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin,
staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B
(SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan
berperan sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan ekspansi
klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini,
akan menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4),
hal ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal
disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik
IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip
hidung.
d. Manifestasi Klinis
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya
dapat menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga
sinus. Kemudian dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari
yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia serta dapat juga
dirasakan nyeri kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat timbul
tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula
dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang
dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur, dan gannguan kualitas hidup.2
Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa
batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan
asma.5
Selain itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma,
intoleransi aspirin.5
e. Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat,
rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder
seperti bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur
dan gangguan aktifitas.2
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan masa pucat yang berasal
dari meatus media dan mudah digerakkan.2
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 :
polip masih terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah
keluar dari meatus media, tampak pada rongga hidung tertapi belum
memenuhi rongga hidung, Stadium 3: polip masif.2
Pemeriksaan Penunjang
Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari
rinoskopi anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat
terlihat dengan jelas. Pada kasus polip koanal juga sering dapat
dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus
maksila.2,6
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera)
dapat memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas
udara cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip
hidung. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat
secara jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada
proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada
kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamnetosa, jika
ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah
endoskopi.6
f. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 4,6
- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui
penatalksanaan medis dan operatif.
Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara
medis. Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif,
serta tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.2,6
1. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang
selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat
mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama
operasi. Antibiotik yang diberkan harus langsung dapat memberikan
efek langsung terhadap spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan
bakteri anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis
kronis.6
2. Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip
hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna
pada pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat
mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal
ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate
nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam
mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat
mengurangi ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.4
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum
banyak diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan
terapi kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total
dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan
pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg
dapat mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus
dan mengurangi ukuran polip.4
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik
tunggal yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama
5 hari, dan 8 mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang
signifikan dalam mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal
selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.6
3. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek
simtomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya.
Imunoterapi menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan
sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien dengan polip berulang.
Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi
aspirin.4
Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada
pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal,
pasien dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis,
selain itu pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas.
Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi),
etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus
maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi
endoskopik dengan navigasi komputer dan instrumentasi power. 3,6
a. Prognosis
Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal7
Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia
Keluhan
Sumbatan hidung dengan 1/> gejala
Curiga keganasan
Permukaan berbenjol, mudah
berdarah
Massa polip hidung
Tentukan stadium
Biopsy tatalaksana sesuai
Stad 2&3
Terapi
bedah
Stad I & 2
Terapi
medik
Jika mungkin : biopsy untuk
tentukan tipe polip dan
lakukan polipektomi reduksi
Keterangan
menentukan stadiumPolip dalam MM (NE)Polip keluar dari MMPolip memenuhi rongga hidung
Persiapan
pra bedahTerapi medik :steroid topical dan ataupolipektomi medikamentosa dengan cara :deksametason 12 mg (3 Hr) 8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr)Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr)Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)
Terapi bedah Tidak ada
perbaikan
Perbaikan
mengecil
Perbaikan
hilang
Tindak lanjut dengan steroid topical
Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE
sembuh
Polip rekuren :Cari faktor alergiSteroid topicalSteroid oral tidak lebih 3-4x/ tahunKaustikOperasi ulang
g. Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung
ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan
tetapi kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid
masih sering terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan
pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan
terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi
jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi
persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali, serta stimulasi
pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting dilakukan
pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan dengan
intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka kekambuhan
polip hidung.2,3,6
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. I
Umur : 2 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Waimili
Tanggal Pemeriksaan : 18 Mei 2014
ANAMNESIS
Keluhan utama:
Hidung tersumbat
Riwayat penyakit sekarang:
Os datang ke poliklinik RSAY dengan keluhan hidung tersumbat yang
dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan
pada kedua hidung. Pasien mengaku keluhan hidung tersumbat ini sering
disertai keluhan pusing serta penciumannya berkurang. Pasien juga mengaku
sering batuk dan pilek, dan jika pilek mengeluarkan ingus yang kental
berwarna putih. Keluhan sering pilek ini terutama dirasakan sejak 6 bulan
yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya benjolan pada rongga
hidung sebelah kiri dan kanan, yang menyebabkan keluhan hidung tersumbat
semakin memberat pada kedua hidung. Pasien tidak tau pasti kapan benjolan
tersebut mulai muncul. Benjolan tidak nyeri. Riwayat epistaksis disangkal
pasien dan keluhan nyeri saat pasien menunduk juga disangkal. Riwayat
demam (-). Tidak ada keluhan mual ataupun muntah.
Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat DM, hipertensi, serta asma disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit keluarga/sosial: -
Riwayat pengobatan: -
Riwayat alergi:
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : 36,5
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan
Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma
(-), nyeri tarik aurikula (-)
Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma
(-), nyeri tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-),
otorhea (-)
Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-),
otorhea (-)
4. Membran
timpani
Retraksi (-), hiperemi (-),
edema (-), perforasi
(-),cone of light (+)
Retraksi (-), hiperemi (-),
edema (-), perforasi
(-),cone of light (+)
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan
Hidung
Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Bentuk (normal), hiperemi
(-), nyeri tekan (-), deformitas
(-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (+), sekret
mukopurulen (+)
Hiperemis (+), sekret
mukopurulen (+)
Cavum nasi Bentuk (normal), hiperemia (+) Bentuk (normal), hiperemia
(+)
Meatus nasi
media
Mukosa hiperemis, sekret (+),
Massa (+)
Mukosa hiperemis, sekret (+),
Massa (+)
Konka nasi
inferior
Edema (+), mukosa hiperemi
(+)
Edema (+), mukosa hiperemi
(+)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-)
Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-)
Transluminasi Tidak dilakukan
Sinus
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran
(-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
lender (-)
Tonsila palatine Kanan kiri
T1 T1
Fossa Tonsillaris
dan Arkus
Faringeus
hiperemi (-) hiperemi (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Darah
Parameter Nilai Nilai NormalHGB 15,4 L : 11,5-16,5 g/dLMCV 82,7 82-92 fLMCH 31,4 27-31 pg
MCHC 36,8 32-37 g/dLHCT 43,1 L : 37-45 [%]PLT 295 150-400 [10^3/ µL]GDS 139 <160
Creatinin 1,0 0,6-1,1 mg/dLUreum 25 6-26 mg/dL
BT 3’00” 1-6 menitCT 12’00” <15 Menit
- RADIOLOGI
Tidak dilakukan.
DIAGNOSIS
Polip nasi cavum nasi dextra sinistra
DIAGNOSIS BANDING (-)
RENCANA TERAPI
a. Operasi untuk mengangkat massa pada cavum nasi sinistra (polip)
Polipektomi
KIE
a. Kurangi makanan berminyak, serta makanan atau minuman dingin.
b. Diet seimbang dan tingkatkan konsumsi makanan tinggi vitamin A, C dan E,
seperti buah-buahan dan sayuran.
c. Kontrol 9 hari kemudian untuk evaluasi kemajuan terapi.
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan polip nasi dextra sinistra yang
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik . Dari anamnesis didapatkan
keluhan hidung tersumbat serta riwayat pilek berulang sejak satu tahun yang lalu.
Pilek disertai pengeluaran sekret kental berwarna putih. Keluhan hidung
tersumbat ini juga disertai keluhan pusing yang sering dirasakan oleh pasien.
Selain itu, pasien juga mngeluhkan ada benjolan di rongga kedua hidung, namun
keluhan mimisan disangkal pasien.
Pada pemeriksaan fisik sekret Didapatkan adanya massa berwarna putih keabuan
di bagian konka media, terlihat bertangkai dan terdapat sedikit sekret. Hal ini
menunjang ke arah diagnosis polip nasi.
Untuk rencana penatalaksanaan pada pasien ini karena merupaka polip nasi adalah
dengan pemberian steroid, disini diberikan steroid sistemik karena lebih mudah
dalam pengaturan dosisnya. Steroid diberikan selama 9 hari dengan dosis yang di
turunkan perlahan. pseudoefedrin HCL di berikan sebagai dekongestan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat. Tetapi karena pasien datang dengan
ukuran massa yang cukup besar dan mengganggu jalan nya pernapasan maka pada
pasien ini juga dipertimbangkan untuk tatalaksana operatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology of
the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology.
New York: Thieme, 2006, h. 2 – 13
2. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 88 – 95
3. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal
Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012
: 2 (4) : 72-75
4. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87
5. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med Assoc
Thai. 2005 : 88 (12) :1966-72
6. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps.
Current Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9 :
27-36
7. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THT-
KL di Indonesia. 2007. Hal 25