Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Embed Size (px)

Citation preview

G. Geulis

G. Geulis

G. Geulis

BAB

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan yang berada di Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor sebagai kota pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 an sesuai dengan konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan tersebut membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan bernuansa pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota yang dipadati oleh kawasan terbangun dan struktur binaan. Secara hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre) yang mempunyai fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat pendidikan dalam penataan Kawasan Metropolitan Bandung. Untuk mendukung fungsi tersebut, Jatinangor ditetapkan sebagai kawasan pendidikan tinggi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan kebijakan tersebut, dipindahkan empat perguruan tinggi dari Bandung ke Jatinangor yaitu : Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Universitas Winaya Mukti (UNWIM). Selanjutnyan Jatinangor ditetapkan sebagai kecamatan yang sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumedang. Pergantian nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001 sehubungan dengan pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan menjadi 26 kecamatan.

I

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab I - 1

Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan (RUTRK) Perguruan Tinggi Jatinangor Tahun 2000 2010, kawasan pendidikan tinggi Jatinangor adalah kawasan yang meliputi delapan desa dari duabelas desa yang termasuk Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang yaitu: 1. Desa Cikeruh 2. Desa Hegarmanah 3. Desa Cilayung 4. Desa Cibeusi 1. Desa Cileunyi Wetan 2. Desa Cileunyi Kulon. Penetapan fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi mempengaruhi perkembangan kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi bukan hanya karena masuknya sivitas akademika tetapi juga karena migrasi pelaku kegiatan perdagangan dan jasa. Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan perdesaan yang didominasi oleh pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke arah ekonomi yang lebih beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain pertanian, berkembang pula industri dan kerajinan rumah tangga. Perubahan fisik terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an. Pada umumnya perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan kegiatan perdagangan, pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung cepat dengan dibangunnya 4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan UNWIM, masing-masing pada tahun 1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Adapun kegiatan perkuliahan berturut-turut dimulai pada tahun 1982, 1987, 1989, dan 1991. Perubahan fisik Kawasan Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan Jatinangor sebagai kawasan relokasi perguruan tinggi di atas. Kawasan Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan mengalami perkembangan sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan. Perkembangan tersebut diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di sepanjang Jalan Raya Bandung - Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi mahasiswa.Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 2

5. Desa Sayang 6. Desa Cipacing 7. Desa Jatiroke 8. Desa Cileles,

serta dua desa yang termasuk Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, yaitu:

Perkembangan Kawasan Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah, karena tidak adanya lembaga yang secara khusus mengelolanya. Lembaga pemerintah yang terdekat adalah Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi lembaga ini tidak diberikan kewenangan untuk mengelola kota. Hal ini menyebabkan belum diterapkannya konsep tata ruang kota yang ada secara konsisten, meskipun kawasan Jatinangor telah memiliki beberapa rencana tata ruang sejak tahun 1987. Kebijakan Penataan ruang terbaru adalah Rencana Detail Tata Ruang Pusat Kecamatan Cikeruh 1995-2005, kemudian Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Pendidikan Jatinangor 1999- 2010. Menurut Revisi Rencana Umum Tata Ruang Kecamatan Jatinangor (2002), rencana-rencana tata ruang yang ada mempunyai kesamaan dalam fungsi utama yaitu sebagai lokasi perguruan tinggi dan pusat rekreasi. Untuk fungsi umum, ada sedikit perbedaan yaitu dalam pelayanan sosial, terminal, jasa dan distribusi, pusat pemasaran barang dan jasa, pusat pelayanan kesehatan, kegiatan industri, permukiman dan perkantoran. Disamping itu terdapat beberapa perbedaan prinsip seperti penetapan jalan tol, TPA, sumber air baku, pemakaian air tanah, sumber pelayanan listrik, telepon dan lain-lain. Kondisi lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi akibat pembangunan yang tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat, ketidakteraturan tempat kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet, penumpukan sampah yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya. Pembukaan lahan yang tidak terkendali dengan dalih pembangunan mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir, longsor serta udara terasa panas. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air karena hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak. Kawasan Jatinangor yang terbuka bagi para pendatang, baik sivitas akademika, pedagang dan lainnya telah mengubah kondisi masyarakat. Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk lokal. Hal ini semakin menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab I - 3

terhadap agama, (Bapeda, 2002).

degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal

Data pada tahun 2004 menunjukkan bahwa selain etnis Sunda, etnis lainnya mempunyai jumlah yang signifikan yaitu sekitar 18% dari total 83.206 penduduk yang tinggal di Jatinangor. Beberapa kelurahan yang berbatasan langsung dengan kawasan pendidikan bahkan mempunyai etnis non Sunda kurang lebih 20% antara lain Kelurahan Cintamulya, Cibeusi, Hegarmanah serta Cikeruh. Pada umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yang terkait dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah, pemilik/penghuni rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalah warga pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda) tersingkir ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadap Jatinangor. Perubahan struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yang signifikan. Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian (petani dan buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknya sektor non pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan seperti buruh/karyawan (23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Penduduk dengan mata pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswasta adalah 70%. Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Dari struktur pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan tinggi. Secara umum struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkan ekonomi perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yang lebih besar dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahan pertanian yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kota Jatinangor, lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor non pertanian. Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayan toko, foto kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain.Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 4

Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju mahasiswa, pembantu rumah tangga, dan tukang ojek. Empat perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa keberadaan perguruan tinggi di Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor jasa dan perdagangan. Penduduk yang kehilangan mata pencaharian karena lahan pertaniannya terjual dan tidak bisa masuk ke sektor lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk mempertahankan hidup. Namun, perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah tingkat pendidikan penduduk. Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi mayoritas penduduk adalah tamatan Sekolah Dasar. Mardianta (2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang perguruan tinggi lebih banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada penduduk lokal (31,5%). Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat mengurangi tingkat pengangguran bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh manfaat ekonomi lebih besar justru para pendatang. Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa, menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para pekerja memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan bahwa kawasan Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan kualitas tenaga kerja yang rendah. Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri perkotaan selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke non pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh munculnya pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang. Besar tumpukan sampah di Kecamatan Jatinangor yang bersumber dari perumahan, industri, fasilitas perdagangan, fasilitas perkantoran dan fasilitas pendidikan yang mencakup sekolah-sekolah dan dan perguruan tinggi mencapai 96 m3/hari. Menurut proyeksi pada tahun 2005 meningkat menjadi 116,31 m3/hari, tahun 2010 sebesar 135,52 m3/hari, tahun 2015 menjadi m3/hari, serta pada tahun 2020 mencapai 182,76 m3/hari.Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 5

157,78

Ketersediaan air di Kawasan Jatinangor memiliki karakteristik yang berbeda antara air tanah tengah dan air tanah dangkal. Potensi air tanah dangkal di Jatinagor sebesar 18.890.649 m3/tahun, pengambilannya sebesar 2.619.933,5 m3tahuni Untuk air tanah tengah sebesar 2.000.000 m3/tahun, sedangkan pengambilannya sebesar 4.600.000 m3/tahun. Dari data tersebut terjadi ketidakseimbangan dalam pengambilan air tanah tengan yang dilakukan oleh kegiatan industri pada kedalaman 40 s.d 150 meter di dalam tanah. Pengambilan air tahan tengah secara berlebihan mengakibatkan penurunan muka air tanah di Jatinangor sebesar 3.5 meter per tahun (Diponegoro, 2004). Hal ini didukung oleh pencatatan hidrografi di PT Coca Cola yang menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan muka air tanah sebesar 20 meter selama enam bulan terakhir (www.pikiranrakyat.com) Dari aspek transportasi, Jalan Raya Jatinangor merupakan jalan arteri primer yang memiliki intensitas kegiatan di sepanjang jalan yang banyak membangkitkan pergerakan. Karakterisrik pergerakan ideal di Jalan Raya Jatinangor adalah pergerakan kendaraan yang relatif cepat dan bebas hambatan. Namur sepanjang jalan dari Kampus IPDN s.d UNPAD banyak pejalan kaki, serta banyaknya angkutan umum yang menunggu dan menaik-turunkan penumpang sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Secara sosiologis maupun geografis, kawasan Jatingangor merupakan kawasan pinggiran (periphery), yaitu kawasan yang dilihat aspek jaraknya jauh dari pusat kota bahkan ada di perbatasan dengan wilayah juridiksi kabupaten lain. Sementara itu, dari aspek hubungan politik personal ataupun kelompok, kawasan ini cukup jauh dari kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi. Oleh karena itu, sejumlah permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa Jatinangor seolah-olah tidak bertuan karena memang secara sadar ataupun tidak, kawasan ini terkategorikan kawasan pinggiran. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi masyarakat yang kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciriStudi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 6

perkotaan (urbanized area), karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola kota yang unsur-unsurnya berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian, berdasarkan Peraturan Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup punya kewenangan dan kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai penyelesaian masalah di daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan politik dan finansial dari pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh karena itu, keberadaan lembaga demikian sebaiknya perlu dikombinasakan dengan lembaga pemerintahan lokal yang ada (kecamatan dan kelurahan), yang secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat, tetapi secara fungsional tidak mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah fisik dan sosial perkotaan. Kawasan Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciriciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan.

1.2

Perumusan Masalah Kawasan Pendidikan Tinggi berubah menjadi kawasan Jatinangor secara planologis telah (urbanized area), mengalami terbangun

perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya. Untuk menetapkan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan tidak cukup hanya dengan menetapkan dari aspek fisik saja tetapi diperlukan kajian bagaimana kelayakan kawasan Jatinangor dari aspek lain seperti kependudukan, ekonomi, kelembagaan/ pemerintahan, lingkungan serta aspek tata ruang dan pengembangan wilayahnya. 1.3 Maksud, Tujuan dan Sasaran Maksud dilakukannya studi sedangkan tujuannya adalah :Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 7

ini adalah untuk mengidentifikasi dan

menganalisis tingkat kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan,

1. Mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan dari aspek aspek sosia ekonomi, kelembagaan, lingkungan, serta aspek tata ruang.. 2. Memberikan rekomendasi secara umum tenteng kebutuhan-kebutuhan kawasan Jatinangor untuk dapat memenuhi persyaratan sebagai kawasan perkotaan. 3. Merumuskan saran-saran studi lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka persiapan untuk menjadikan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan. Adapun sasaran dari kegiatan studi ini yaitu : 1. Terdeliniasi kawasan perkotaan dengan perumusan fungsi kawasan sesuai dalam karakteristik dan arahan kebijakan yang telah ditetapkan pada perencanaan yang lebih . 2. Terumuskannya tipologi kota dan memetakan standar kebutuhan kota sesuai tipologinya. 3. Terumuskannya suatu strategi untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang mampu mendorong pengembangan kawasan perkotaan yang diharapkan. 4. Terumuskannya model lembaga pengelola perkotaan yang sesuai dengan kebutuhan. 1.4 Keluaran Sesuai dengan latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup maka keluaran yang diharapkan dari Penyusunan Study Kelayakan Kawasan Perkotaan Jatinangor adalah: Tersusunnya dokumen study kelayakan (feasibility study) kawasan perkotaan Jatinangor dari aspek sosial budaya, ekonomi, kelembagaan, lingkungan serta tata ruang. 1.5 Manfaat Studi Manfaat dari studi ini adalah: Pemerintah Kabupaten Sumedang memiliki bahan masukan untuk menetapkan strategi dan kebijakan perencanaan dan pengembangan Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung. Pemerintah Kabupaten Sumedang mempunyai bahan acuan guna penetapan program pengembangan kawasan perkotaan di Kawasan Jatinangor.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab I - 8

1.6

Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan; 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 33 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Sumedang Tahun 2005-2025; 6. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sumedang Tahun 2009-2013;

1.7

Sistematika Pembahasan Adapun sistematika dari laporan Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan ini adalah sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, maksud, tujuan, serta sasaran. Selain itu, juga berisi keluaran, manfaat studi serta sistematika pembahasan. Bab 2 Kajian Teori dan Normatif Bab ini berisi teori-teori dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan studi kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor. Aspek normatif yang diacu antara lain terdiri dari PP No 34 Tahun 2009, Permendagri No 1 Tahun 2008 serta Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 tentang standar pelayanan minimal perkotaan. Bab 3 Metode Penelitian Bab ini berisi metode penelitian yang digunakan dalam kajian, ruang lingkup studi, sumber data serta operasionalisasi indicator yang digunakan dalam menilai kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor, Teknik pengumpulan dan Analisis Data, organisasi pelaksana dan jangka waktu penelitian

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab I - 9

Bab 4

Arahan Kebijakan Kawasan Perkotaan Bab ini menjelaskan mengenai Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sumedang 2005-2025, Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang

Bab 5

Analisis Kelayakan Kawasan Perkotaan Bab ini menjelaskan tentang Karakteriktik dan Potensi Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung, Pengukuran Indikator Kawasan Perkotaan pada Aspek Sosial, Ekonomi, Tata Ruang dan Lingkungan, Deliniasi atau Batasan Kawasan Perkotaan, Arahan Pengembangan Kawasan Perkotaan

.Bab 6

Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan Bab ini menjelaskan tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan, Modelmodel Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan Jatinangor di Kabupaten Sumedang, Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan Jatinangor

Bab 7

Kebijakan Dan Strategi Kawasan Perkotaan Bab ini menjabarkan kebijakan dan strategi dalam pengembangan kawasan perkotaan pada kawasan perkotaan Jatinangor setelah ditetapkan sebagai kawasan perkotaan.

Bab 8

Pengendalian Pemanfaatan Ruang Perkotaan Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian dan rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan dalam menindaklanjuti penetapan kawasan perkotaan Jatinangor

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab I - 10

BAB

KAJIAN TEORI DAN NORMATIF2.1 Konsep Perkotaan Hoselitz (dikutip oleh Widiarto: 1995) berpendapat bahwa pertumbuhan kota yang senantiasa diharapkan adalah pertumbuhan yang generative dan bukan parasitic. Sebagai pertumbuhan yang generatif, kegiatan di kota tersebut harus dapat memberi kesempatan kerja baru bagi masyarakat di sekitarnya, dan mampu menarik kawasan sekitarnya (hinterland) untuk tumbuh berkembang bersama-sama. Jika dilihat dari sudut pandang teori ini, tampaknya Jatinangor belum dapat berperan seperti apa yang digambarkan Hoselitz tersebut, padahal jika kota tumbuh sebagai parasit akan berakibat terjadinya disorganisasi sosial. Fenemena yang terjadi di kawasan ini nampaknya menjadi indikasi penguatan apa yang dikatakan dalam teori ini. Terjadi gentrifikasi sosial, yakni tergesernya penduduk asli oleh pendatang merupakan indikasi bahwa kota tidak tumbuh secara generatif, dimana kesempatan usaha dan kerja yang ada banyak dinikmati oleh orang luar. Sementara itu disorganisasi sosial pada kawasan ini diindikasikan dengan melonggarnya norma-norma sosial. Kajian sosial oleh Bappeda (2002) memperlihatkan bahwa secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal. Jatinangor walaupun dalam konsep Tata Ruang Bandung Raya (MBUDP/Metropolitan Bandung Urban Development Project) telah ditetapkan sebagai kota counter magnet yang kegiatannya didominasi oleh perguruan tinggi, namun kenyataannya tetap sebagai daerah pinggiran/ Periphery. Terhadap kenyataan ini John Friedmann (1964) menganalisis aspek-aspek tata ruang, lokasi serta persoalan-persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah.Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 1

II

Di daerah perencanaan biasanya terdapat daerah inti (centre) dan daerah pinggiran atau periphery regions. Daerah pinggiran sering disebut daerah pedalaman atau daerah sekitarnya. Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar metropolis atau megapolis, dikategorikan sebagai daerah daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis sisanya merupakan sub sistem-sub sistem yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh lembaga-lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah-daerah pinggiran berada dalam satu hubungan ketergantungan substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersamasama membentuk sistem spasial yang lengkap. Daerah inti pada umumnya dikategorikan sebagai daerah metropolitan (metropolitan region), dan poros pembangunan (development axes). Sedangkan daerah pinggiran dapat dikategorikan sebagai daerah perbatasan (frontier region), dan daerah tertekan (depresed region). Jadi jika dilihat dari kacamata analisis Friedman di atas, Jatinangor merupakan daerah pinggiran yang kekuatannya hanya kecil karena hanya merupakan sub-sistem pemerintahan dan ekonomi, yang pusatnya berada di Kota Bandung. Oleh karena itu walaupun masalah sudah begitu kompleks, namun lembaga-lembaga formal yang ada tidak mempunyai kekuatan sendiri untuk menata dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Akses terhadap sumber-sumber kekuatan dan kekuasaan juga relatif kecil. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 34, tahun 2009, jika dua daerah mempunyai masalah yang tidak dapat diselesaikan keduabelah pihak, maka pemerintah yang ada di atasnya harus dapat menjadi mediator. Dalam banyak kasus, akhirnya pihak-pihak yang berkepentingan membentuk lembaga pengelola atau disebut juga sekretariat bersama (sekber) yang bertugas untuk merumuskan penyelesaian masalah. Namun eksekusinya biasanya diserahkan kepada masing-masing pihak, kecuali jika ada proyek khusus yang menangani masalah yang bersangkutan, misalnya MBUDP yang memberikan bantuan infrastruktur dasar seperti drainase induk, sanitasi (sewerage), jalan, dsb. Studi mengenai Konflik Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Perbatasan oleh Puslitbang Permukiman Dep. PU (2007) menunjukkan ke arah fenomena tersebut. Pembangunan Regional Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Kartamantul (Jogyakarta, Sleman, Bantul), Gerbangkartasusila (Gersik, Jombang,Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 2

Majakerta, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), dan sebagainya pada dasarnya bertujuan untuk mereduksi konflik-konflik perbatasan. Dalam kasus tersebut selalu dibentuk lembaga atau sekretaiat bersama yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari daerah yang berkonflik. Kajian Puslitbang Permukiman (2006) tentang Pengembangan Lembaga Lokal dalam Pembangunan Perumahan menunjukkan bahwa ada Lembaga Pemerintahan Desa (Kabupaten Sleman dan Kabupaten bandung) yang diberi kewenangan untuk memberikan izin konversi lahan untuk perumahan dengan skala yang kecil (di bawah 10 rumah). Hal ini disebabkan tidak mampunya lembaga yang berkompeten untuk menangani seluruh permasalahan yang dihadapi, sehingga dipandang perlu untuk memberdayakan lembaga pemerintahan desa. Fenomena ini mengindikasikan dimungkinkannya suatu lembaga diberikan kewenangan yang lebih untuk mengurusi masalah-masalah yang dipandang urgen untuk dicarikan secara cepat solusinya. Alternatif lain yang hampir sama antara lain mengangkat camat di daerah perkotaan sebagai manajer kota (city manager). Kebijakan (what) tentang arah pengembangan kota tingkat kecamatan tetap diatur dan diputuskan pada tingkat kabupaten dalam bentuk Peraturan Daerah dan atau Peraturan Bupati, sedangkan camat sebagai manajer kota lebih banyak menjalankan (how), dari kebijakan yang telah ditetapkan pada tingkat kabupaten. (Sadu Wasistiono, 2007). Bentuk lain dari penyelesaian konflik antar wilayah, tetapi ke arah pengembangan ekonomi adalah konsep Local Economic Development (LED) dan Pengembangan Lembah Silikon (Silicon Valley) di Amerika Serikat. LED yang mengedepankan kekuatan lembaga yang ada (lembaga-lembaga ilmiah, pemerintahan, swasta), dan memanfaatkan potensi lokal yang ada untuk mengembangkan ekonomi rakyat dapat menjadi lembaga yang berpengaruh untuk dapat menekan kekuatan inti yang ada di Pusat. LED dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmiah untuk dikembangkan demi kesejahteraan masyarakat sekitarnya, sekaligus menyelesaikan konflik lintas wilayah. Hal ini pula sebenarnya pemikiran yang mengilhami berkembangnya Lembah Silikon di Amerika, dimana masyarakat sekitar lembah memanfaatkan secara bersama-sama hasil penelitian lembaga riset dan perusahaan swasta yang ada di lembah, dengan cara yang legal dan terorganisasi dengan baik.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 3

Dari telaah pustaka di atas, kiranya perlu dikaji lebih dalam bahwa penangan kawasan Jatinangor memerlukan sebuah lembaga. Saat ini sudah ada lembaga yang memikirkan masalah tersebut, namun tidak mempunyai kekuatan politik dan finansial untuk melakukan tindakan operasional. Di sisi lain terdapat lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai kekuatan moril dan ilmiah pada kawasan ini, namun tidak mempunyai domain mengurusi masalah perkotaan. Terdapat lembaga yang legal mengurusi masalah perkotaan, namun hanya sebatas administrasi dan pemerintahan. Oleh karena itu diperlukan kombinasi kekuatan-kekuatan tersebut untuk membentuk lembaga yang berpengaruh. Model-model pembangunan regional antar kota, lembah silikon, LED, atau kajian lembaga lokal untuk pembangunan perumahan di atas dapat menjadi referensi kajian ini. Mengikuti amanat Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009, dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan, bahwa dalam pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan:

hasil studi kelayakan rencana induk pembangunan perkotaan baru rencana pembebasan lahan Untuk itu pada studi ini akan dilakukan kajian yang dipersyaratkan oleh kedua

peraturan di atas, yakni studi kelayakan yang ditinjau dari beberapa aspek. Kajian lebih lanjut pada bagian ini akan menelaah difinisi dan kriteria kelayakan untuk menilai tingkat kekotaan suatu kawasan Di dalam Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ilmu pembangunan wilayah merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu: geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu lingkungan dan sebagainya. Dalam pengembangan wilayah termasuk pengembangan kawasan perkotaan setidaknya perlu ditopang oleh 6 pilar analisis, yaitu (http://staff.blog.unnes.ac.id/oktavilia atau http://www.slideshare.net/oktavilia): (1) analisis biogeofisik; (2) analisis ekonomi; (3) analisis sosiobudaya; (4) analisis kelembagaan; (5) analisis lokasi;Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 4

(6) analisis lingkungan Lebih lanjut juga ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008, tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan bahwa perencanaan kawasan perkotaan baru diprioritaskan untuk:

memecahkan permasalahan kepadatan penduduk akibat urbanisasi menyediakan ruang baru bagi kebutuhan industri, perdagangan dan jasa; dan menyediakan ruang bagi kepentingan pengembangan wilayah di masa depan. Persyaratan penetapan lokasi perencanaan kawasan perkotaan baru meliputi: sesuai dengan sistem pusat permukiman perkotaan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten termuat dalam RPJMD memiliki daya dukung lingkungan yang memungkinkan untuk pengembangan fungsi perkotaan dan bukan kawasan yang rawan bencana alam terletak di atas tanah yang bukan merupakan kawasan pertanian beririgasi teknis maupun yang direncanakan beririgasi teknis memiliki kemudahan untuk penyediaan prasarana dan sarana perkotaan; tidak mengakibatkan terjadinya pembangunan yang tidak terkendali. dengan kawasan perkotaan disekitarnya mendorong aktivitas ekonomi, sesuai dengan fungsi dan perannya mempunyai luas kawasan budi daya paling sedikit 400 hektar dan merupakan satu kesatuan kawasan yang bulat dan utuh, atau satu kesatuan wilayah perencanaan perkotaan dalam satu daerah kabupaten. Rencana pembangunan kawasan perkotaan baru ditetapkan oleh kepala daerah

dan dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru. Kawasan perkotaan baru yang berlokasi pada bagian dari dua atau lebih kabupaten yang berbatasan langsung dilakukan atas dasar kerjasama antar daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kerjasama antar daerah dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru yang bertanggung jawab kepada masing-masing bupati. Masa tugas Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru sesuai dengan jangka waktu rencana pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan baru. KeanggotaanStudi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 5

Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru terdiri atas unsur Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat setempat, dan unsur pengembang. Struktur Organisasi, tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Keanggotaan, struktur organisasi, tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan kawasan perkotaan baru yang berlokasi di dua atau lebih daerah Kabupaten yang berbatasan langsung diatur dengan Keputusan Bersama Bupati. Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru melaporkan pelaksanaan tugasnya secara berkala dan atau sewaktu-waktu jika diperlukan kepada bupati dan terbuka bagi masyarakat.Bupati melaksanakan evaluasi, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan baru. 2.2 Visi dan Misi Perkotaan A. Visi Dan Misi Pengembangan Perkotaan Visi dan misi pengembangan perkotaan didasarkan pada Peraturan Menteri PU no. 494/PRT/M/2005. Secara rinci visi dan misi pengembangan perkotaan adalah sebagai berikut: Visi Untuk mencapai kehidupan perkotaan yang aman, damai, dan sejahtera, perlu dirumuskan visi tentang kondisi kota yang ingin dicapai di masa depan. Kota-kota di masa depan adalah kota yang dapat memberikan kehidupan yang sejahtera, nyaman dan aman bagi warganya, yang layak huni bagi seluruh warganya tanpa terkecuali. Secara umum kriteria kota yang ingin dicapai, yaitu : 1. Tempat dimana anak-anak, orang tua, dan bahkan para penyandang cacat dapat berjalan-jalan, dan bermain-main bersama; 2. Tempat dimana kebersamaan dan canda dapat memecahkan permasalahan yang muncul dalam lingkungan bertetangga;

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 6

3. Tempat dimana kita tidak hanya melindungi kawasan bersejarah, tetapi juga ruang terbuka hijau dan hutanhutan kota memberikan nilai tambah tersendiri bagi kehidupan dan keindahan permukiman; 4. Tempat dimana tingginya kualitas hidup dapat menarik kegiatan usaha dan tenaga kerja yang berbakat dan dengan demikian menghidupkan perekonomian kota; 5. Tempat dimana kita dapat menghabiskan lebih banyak waktu bagi keluarga dan bukan memboroskannya karena terjebak dalam kemacetan lalu-lintas; 6. Tempat dimana seluruh masyarakatnya dapat menyelenggarakan aktivitasnya seharihari dengan aman dan tenang, yang terbebas dari kriminalitas serta kerusahankerusahan sosial, dan ancaman terorisme. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, maka visi pengembangan pembangunan perkotaan nasional dapat dijabarkan sebagai berikut: Terwujudnya kawasan perkotaan yang layak huni,berkeadilan sosial sejahtera, berbudaya, produktif, dan berkembang secara berkelanjutan serta saling memperkuat, dilaksanakan oleh para petaruh (stakeholders) secara partisipatif, responsif, transparan dan akuntabel dalam mewujudkan pengembangan wilayah. Perwujudan visi akan lebih optimal apabila terdapat kerjasama yang sinergis antar stakeholders dari seluruh kegiata-kegiatan. Dalam kerjasama ini pemerintah bertindak sebagai enabler dan masyarakat sebagai doer. Untuk itu dibutuhkan perumusan misi sebagai terjemahan dari visi atau kondisi yang diharapkan untuk mengidentifikasi arah kebijakan yang akan ditempuh. Misi Upaya penacapaian Visi tersebut diatas dilakukan beberapa misi berikut ini : 1. Mengembangkan Kota yang layak huni a. Lingkungan kota yang nyaman Tingkat kepadatan penduduk yang optimal (efisiensi pelayanan, sesuai dengan daya dukung kota) Ketersediaan prasarana dan sarana dasar dengan kulaitas yang memadai. Memiliki tingkat pelayanan dan jumlah fasilitas umum yang memadai. Memiliki penataan kawasan dan bangunan yang serasi dan terpelihara.Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 7

Lingkungan sosial budaya yang mendukung keharmonisan kehidupan masyarakat. b. Lingkungan Kota yang aman Tingkat polusi udara yang rendah dan terkontrol; Tingkat pencemaran air dan tanah yang rendah dan terkontrol; Keamanan (tingkat kriminalitas yang rendah) dan ketertiban kota yang terjaga; Tingkat pelayanan dan fasilitas kebakaran yang baik (berfungsi dan mencukupi); Stabilitas sosial, ekonomi, politik. 2. Mengembangkan kota yang sejahtera Tersedianya segala kebutuhan (sarana, prasarana, pelayanan dan permukiman) yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kebutuhan masing- masing (orang tua, anak-anak, diffable people, dst); Tersedianya lapangan pekerjaan bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak adanya kesejangan pendapatan yang besar antar seluruh lapisan masyarakat. 3. Mengembangkan lingkungan yang berkeadilan sosial, sejahtera dan berbudaya. Kesamaan dan keadilan dalam pelindungan hukum; Setiap individu, kelompok masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap kesempatan berperan serta dan mengaktualisasikan aspirasinya dalam kehiduan kota; Setiap individu atau kelompok masyarakat memilki akses yang sama terhadap kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha; Kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam pemeliharaan dan pengembangan budaya lokal. 4. Mengembangkan pembangunan kota yang berkelanjutan Pengembangan kota yang berkelanjutan secara umum terwujud apabila ekonomi kota berkembang, berdaya saing global, pendapatan mayarakat dan pemeritah bertambah dan tetap dapat mempertahankan kualitas sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini antara lain mencakup; a. Aspek ekonomi Daya saing kota; faktor faktor penentu daya saing adalah keunggulan sumber daya dan kemampuan pengelolaan kota. Dalam hal ini pengefektifan keterkaitanStudi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 8

kota dan desa menjadi sangat penting alam upaya meningkatkan daya saing kota dan mencegah menurunnya ekonomi perdesaan; Pengembangan ekonomi kota; 1. Pengembangan produk unggulan kota melalui pengembangan iklim usaha yang kondusif; 2. Menggali potensi kota melalui pelibatan seluruh stakeholder dalam pembangunan 3. Mengembangkan inovasi untuk mempertahankan kualitas produk dan jasa; 4. Pengelolaan sektor informal agar mandiri dan sinergis dengan sektor informal ; 5. Pemecahan masalah pengangguran dan semi pengangguran; Kemampuan kota unutk siaga dan siap mengatasi bencana dan bankit dari bencana. b. Aspek sosial budaya Pemanfaatan dan pengembangan sumber daya sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial , dan juga mengurangi gangguan- gangguan sosial. Upaya mencapai masyarakat madani dilaksanakan melalui; c. Pemeliharaan keanekaragaman budaya Kesamaan hak bagi setiap individu ataupun kelompok masyarakat untuk memenuhi aspirasi budayanya; Peningkatan peran serta masyarakat dalam kehidupan perkotaan; Penyelesaian masalah dislokasi penduduk perkotaan berkaitan dengan masalah lahan. Aspek lingkungan Pengelolaan sumber daya secara efsien dan berkelanjutan; Pembangunan kota dilakukan dengan tetap menjaga kualitas lingkungan. Pengendalian dampak lingkungan dengan tetap menjaga kulaitas lingkungan. Pengendalian dampak lingkungan akibat pembangunan Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 9

5. Mengembangkan pola pengelolaan kota berdasar tata pemerintah yang baik. a. Pengembangan serta peningkatan mekanisme pelibatan masyarakat dan dunia usaha; antara lain melalui forum diskusi dan koordinasi, pengembangan pola- pola kemitraan , dan sebagainya. b. Pengembangan struktur kelembagaan pengelolaan kota; penyesuaian struktur dan kewenangan kelembagaan dalam rangka paradigma pembangunan perkotaan yang baru yaitu transparan, partisipatif, terdesentralisir serta efsien dan efektif. c. Pengembangan sistem informasi; untuk medukung pola pengelolaan perkotaan dengan penerapan tata pemerintaha yang baik maka diperlukan sistem informasi yang interaktif dari pemerintah,masyarakat dan dunia usaha yang mudah diakses dan dimengerti semua pihak terkait; d. Pengembangan potensi pendanaan; upaya- upaya peningkatan kemampuan kota unutk memperoleh dana bagi pengelolaan dan pembangunannya antara lain melalui peningkatan daya tarik bagi investor, pengeloalaan atau manajemen perusahaan daerah serta peningkatan penerapan konsep kewirausahaan dalam pengelolaan pembangunan kota. 6. Mengembangkan keseimbangan dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa. a. Keterkaitan desa- kota Pengembangan perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitan soaial ekonomi antara kota dan desa ( Wilayah hinterlandnya) agar saling menguntungkan dan memperkuat dalam kerangka pengembangan kawasan; Pembangunan kota hendakya dipadukan dengan perkembangan daerah perdesaan di pinggirnya, karena daerah pinggiran tersebut juga terkena dampak pembangunan dan urbanisasi. b. Peningkatan kemampuan perdesaan dalam pembangunan. Pengembangan sistem perkotaan dengan memperhatikan pemantaan fungsi, peran dan hirarki kota sesuai dengan potensi dan kedudukannya dalam pengembangan wilayah; Pengembangan kebijakan perkotaan sebagai upaya mencegah terjadinya ketimpangan antar wilayah dan antar kota, terutama antara kota-kota besar yangStudi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 10

Keterkaitan antar kota

sangat potensial terintegrasi dalam sistem perekonomian global, dengan kotakota menengah dan kecil lainnya. 2.3 Landasan Kebijakan Pengembangan Perkotaan Landasan kebijakan ini adalah suatu kondisi dasar yang ingin dicapai (policy driver) dalam pembangunan perkotaan. Landasan kebijakan tersebut adalah : 1) Terlaksananya desentralisasi secara efektif dan efisien, dilandasi dengan penerapan tata pemerintahan yang baik (good governance). 2) Terciptanya pola pembangunan yang berkelanjutan termasuk pola pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian sumber daya alam. 3) Terwujudnya upaya-upaya pengentasan kemiskinan meliputi penyedian lapangan kerja, akses pada perumahan dan modal/ sumber-sumber keuangan, serta akses pelayanan dasar yang adil dan merata. 4) Terwujudnya kesadaran dan upaya-upaya penanganan masalah sosial budaya. 5) Terwujudnya bentuk-bentuk dukungan kota pada pembangunan nasional. Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan pada dasarnya diarahkan kepada sasaran pelaksanaan Pembangunan Perkotaan agar dapat : a. Mengevaluasi pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan yang selama ini dilakukan; b. Mengkaji dan menganalisis program Pembangunan Perkotaan yang lalu dan yang akan datang; c. Menyesuaikan antara pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan di pusat dan daerah; d. Sehingga dapat menilai efektifitas pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan dengan cermat sesuai ketentuan yang berlaku, agar memberikan hasil yang optimal bagi negara dan masyarakat. Dengan tersedianya kriteria dan ukuran-ukuran atau indikator-indikator kinerja pembangunan perkotaan dalam pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan, akan dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan secara efesien dan efektif, dan peningkatan produktifitas secara umum bagi terwujudnya Pembinaan dan Pengendalian Prasarana dan Sarana Dasar Perkotaan yangStudi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 11

produktif, handal dan bermanfaat, dalam pengembangan wilayah dan ekonomi dalam Pembangunan Perkotaan. Namun demikian, Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable), apabila adanya kerjasama antara Departemen Pekerjaan Umum dengan Dinas Pekerjaan Umum di Propinsipropinsi wilayah kajian baik dipusat maupun didaerah. Peran serta masyarakat untuk ikut dalam Pengembangan Indikator kinerja Pembangunan Perkotaan pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan secara lebih transparan sesuai kriteria dan ukuran-ukuran dalam menilai dan mengevaluasi serta mengetahui untuk mengetahui kinerja penyedian, pengelolaan, dan penyampaian pelayanan prasarana dan sarana suatu kota sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan : a. Perubahan Paradigma Pembangunan Otonomi daerah : menggeser kekuasaan regulasi, program, anggaran dan kewenangan untuk kebijakan dari Departemen Sektoral di Pusat ke Pemerintahan Kabupaten/Kota b. Pembangunan dari pendekatan sektoral ke pendekatan kewilayahan dengan pemberdayaan masyarakat yang bersifat partisipatoris. Semangat dan Orientasi Pembangunan Masyarakat madani, manajemen modern dan terbuka Ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak, unggul dan adaptif terhadap globalisasi c. Semangat Privatisasi Ada trend yang menuntut bahwa pengusahaan dan pembangunan tidak lagi dilakukan oleh Pemerintah Pusat tetapi lebih banyak dilakukan atas dasar korporasi di daerah, dengan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota sebagai Enabler dan masyarakat dan swasta sebagai pelaku utama. d. Paradigma Baru Pembangunan 1. Paradigma Lama Pembangunan (Dahulu) Top Down (Sentralistik) Pemerintah menyiapkan, melaksanakan, mengendalikan dan Pemerintah/Kota pasif.Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 12

Kebijakan pembangunan tertutup, diketahui sekelompok orang dan Pemerintah/Kota pasif . partisipasif 2. Paradigma Baru 3. Bottom Up (Desentralistik) Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat menyiapkan, melaksanakan dan mengendalikan/mengevaluasi Kebijakan pembangunan transparan, rasional dan evaluatif serta partisipatif Sesuai dengan mekanisme penyusunan berpartisipatif Dampak Otonomi Daerah (OTDA) pada pengembangan indikator efektifitas pelaksanaan program pembangunan perkotan. Adanya OTDAmenjadikan pengambil keputusan di daerah harus: Lebih proaktif dalam meberi arah dan peluang bagi dunia usaha untuk kiprah (lokal action) Menentukan pendekatan pegembangan indikator efektivitas pelaksanaan program pembangunan perkotaan sebagai suatu incorporated dimana masing-masing stakeholder peduli 4. Sosialisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan. a. Sosialisasi Mengupayakan agar prinsip keterbukaan dalam pengembangan Indikator pembangunan Secara aktif mengupayakan agar proses Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan dapat sampai kepada yang berkepentingan (stakeholder) Mengupayakan agar proses keikutsertaan masyarakat dalam semua tingkat proses Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan makin lama makin terwujud, sehingga dalam tahap implementasinya sudah dipahami alasan-alasan dilakukannya kegiatan-kegiatan yang ada.Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 13

Tidak melalui mekanisme yang seharusnya

b. Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan Pemanfaatan (1) Bantuan pemikiran/pertimbangan (2) Penyelenggaraan kegiatan pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan (3) Bantuan teknis Pengendalian (1) Pengawasan pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan (2) Pemberian informasi / pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan menjelaskan atas hak masyarakat (3) Menjaga konsistensi dengan daerah secara komprehensif (4) Peningkatan peran serta masyarakat menjadi salah satu prioritas. Fungsi dan peranan pemerintah sudah harus bergeser dari peranan sebagai provider dengan tingkat otoritas yang besar ke arah peranan sebagai enabler sebagai pendorong bagi tumbuhnya peran serta masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian program Pembangunan Perkotaan yang direncanakan akan dapat tepat pada sasaran, lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraannya serta lebih sustainable bagi kepentingan masyarakat dan negara, serta, Departemen Pekerjaan Umum Khususnya. Pengalaman selama ini masih menunjukan bahwa antara program Pembangunan Perkotaan dipusat dan di daerah yang ada dirasa belum optimal dan tepat sasaran. Sering terjadi ketidaksinkronan dalam kebijakan Pembangunan Perkotaan itu sendiri. Untuk itulah pengembangan indikator efektifitas pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan perlu dilakukan, untuk selanjutnya dapat memberikan bahan masukan teknis bagi perumusan indikator untuk keperluan penentuan kinerja Pembangunan Perkotaan.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 14

2.3 Tipologi Kota Penetapan tipologi didasarkan pada: a. Asumsi bahwa tingkat perkembangan suatu kota dapat dicerminkan oleh jumlah penduduk yang tinggal di kota tersebut (berdasarkan kondisi empiris, semakin tinggi jumlah penduduk suatu kota, ketersediaan prasaranaperkotaan, semakin kental sifat kekotaan dari kota tersebut); b. Fungsi utama kota ditentukan berdasarkan kelengkapan prasarana yang dimiliki suatu kota yang dapat berfungsi sebagai outlet aliran barang atau orang, dan fungsi kota yang telah ditetapkan dalam PP 47 tahun 1997. c. Dominasi kegiatan wilayah kota ditentukan menurut peranan subsektor yang ada dalam perhitungan PDRB kabupaten/kota terhadap kontribusinya dalam pembentukan nilai PDRB regional (Provinsi). Pengelompokan kota berdasarkan kesamaan dapat diartikan menyatukan tipe- tipe kota dalam tipologi. Penentuan tipologi kota dapat dilakukan sesuai dengan skala kota (magnitute) karakter kota, maupun fungsi kota. Pengelompokan kota berdasarkan skala (magtitute) dapat dilihat dari berbagai segi, antar lain dari luas kota atau jumlah penduduk, besar kawasan pusat kota, dan sebagainya. Sedangkan pengelompokan berdasar karakter kota dapat didasarkan pada sifat kota sebagai daerah pesisir, daerah daratan ( secara letak geografis), atau didasarkan pada fungsi (sesuai PP 47/1997), dimana kota dilihat dari kelengkapan prasarana dalam upaya mendukung pergerakan ekonomi wilayah, dimana kota dapat diklasifikasikan sebagai PKW, PKL, PKN. Dalam penentuan dan pengukuran kinerja pembangunan perkotaan, salah satu aspek yang dinilai harus dapat dilakukan dalam kelas yang sama. Dalam artian, bahwa penilaian terhadap skala kota tidak dapat dibedakan kota dengan skala pelayanan nasional dengan kota skala pelayanan lokal, demikian sebaliknya. Oleh karena itu dalam mengukur indikator yang digunakan akan tergantung dengan skala kota (baik ditinjau dari fungsi dan karakter). Penentuan tipologi kota dalam penilaian kota skala yang paling signifikan apabila diuji adalah skala kota terhadap penduduk yang dilayaninya. Kota ditinjau dari skalanya dapat dibedakan menjadi; Kota Metro; Kota Besar;Bab II - 15

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Kota Sedang; Kota Kecil. Pada UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang pasal . dan penjelasannya

Tipologi kota berdasarkan jumlah penduduk, dapat dirinci sebagai berikut: 1. Kawasan Perkotaan Kecil yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 20.000 hingga 100.000 jiwa; 2. Kawasan Perkotaan Sedang yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa; 3. Kawasan Perkotaan Besar yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa; 4. Kawasan Perkotaan Metropolitan yaitu Kawasan Perkotaan atau kota dengan penduduk > 1.000.000 jiwa. 2.4 Indikator Perkotaan 2.4.1 Konsep Dasar Indikator Perkotaan A. Pengertian dan Fungsi Indikator perkotaan Indikator perkotaan adalah ukuran kuantitatif maupun kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran pengembangan perkotaan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta dipergunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja pengembangan perkotaan. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari dari sebuah kota dapat menunjukan perubahan, terutama untuk menuju sasaran yang telah ditentukan. Secara umum indikator perkotaan memiliki beberapa fungsi, yaitu: a. Memperjelas tentang aspek yang akan diukur b. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak tertentu untuk menghindari kesalahan pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan serta dapat pengukur kinerja secara menyeluruh. c. Membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi efektivitas dan effisiensi di masa datang guna peningkatkan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 16

B. Penetapan kriteria indikator perkotaan Penetapan kriteria indikator perkotaan (urban indicator) dengan mempertimbangkan: a) Comprehensiveness berbagai faset kinerja perkotaan. Indikator harus mampu digunakan sebagai alat analisis yang lengkap dan menyeluruh diberbagai aspek pelayanan kota. b) Applicability dan simplicity kriteria. Kriteria indikator harus kesederhanaan pada alat ukur sangat perlu dikedepankan. c) Universalitas kriteria. Mengingat keragaman wilayah Indonesia maka kriteria indikator harus bisa diterapkan disemua wilayah secara umum tanpa kecuali. d) Fleksibilitas dan kemungkinan untuk disesuaikan dari waktu ke waktu termasuk penyesuaian prioritas kajian. C. Syarat-syarat Indikator Perkotaan Penentuan indikator kinerja harus mempertimbangkan beberapa sendi sendi, agar indikator yang ada dapat diaplikasikan secara tepat dan bermanfaat. Syaratsyarat indikator kinerja antara lain: a) Jelas. Artinya dapat dipahami oleh banyak aktor b) Spesifik. Artinya untuk memperoleh penilaian yang tidak menimbulkan salah persepsi c) Dapat diukur. Artinya indikator harus dapat diukur baik maupun secara kualitatif d) Relevan. Artinya indikator dapat menangani dan menilai berhubungan dengan kinerja e) Fleksibel. Artinya indikator yang ditentukan harus cukup mampu mengakomodasikan perubahan yang terjadi lingkungan sekitar f) Sensitif. Artinya dapat mengakomodasikan perubahan yang ada, sehingga tidak menimbulkan kesalahan penilaian berkaitan dengan perubahan lingkungan g) Obyektif. Artinya indikator harus dapat diukur oleh berbagai pihak dan menghasilkan nilai yang relatif sama didalam penilaiaian dan tuntutan segala hal yang secara kuantitaif bisa diterapkan disemua wilayah Indonesia oleh semua pelaku. Oleh karena itu pertimbangan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 17

h) Efektif. Hal ini terutama berkaitan dengan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penilaian kinerja AB III - 3 Selain itu dalam pengukuran kinerja harus dilakukan dalam waktu yang singkat dan tepat waktu, mudah diimplementasikan, serta dapat didefinisikan dengan jelas. Kecepatan merupakan hal penting dalam pengumpulan dan pendistribusian data. Tugas pengumpalan data pada penilaian kinerja merupakan kegiatan utama. Seringkali penilaian kinerja dianggap sederhana, sehingga pada tahap pengumpulan data, banyak terjadi kesalahan dan kurangnya validitas data. Oleh karena itu untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan validitas pengukuran perlu dilakukan bersama dengan stakeholder kota yang menjadi obyek penilaian kinerja. 2.4.2 Lingkup Obyek Penilaian Indikator Perkotaan Pada dasarnya penilaian kinerja pengembangan perkotaan ini menilai bagaimana operasional pemerintah Kota dalam memberikan pelayanan penyediaan/pembangunan perkotaan kepada masyarakat yang berada pada wilayah administratif dari kota tersebut. Secara umum pendekatan ini memang menjadi salah satu pembatasan dalam penilaian kinerja pemerintahan, dikarenakan secara umum pertumbuhan kota sudah barang tentu akan berdampak pada area disekitar kota (urban periphery). Pendekatan ini dilakukan dengan dasar bahwa pelayanan minimal yang harus disampaikan oleh pemerintah ditekankan pada lingkup batas administrasi. 2. 4.3. Kriteria Penilaian Indikator Pengembangan Perkotaan Yang Ada. A. Indikator Perkotaan (Urban Indikator) menurut UNHCS Selain indikator good urban governance, UNHCS juga mengembangkan sistem indikator yang terdiri atas 23 indikator kunci dan 9 daftar data kulitatif. Pengembangn indikator ini didasarkan pada Habitat agenda dan Resolution 15/6 and 17/1 UNHCS. Indikator dan data tersebut merupakan data minimum yang diperlukan untuk mengukur sejauh mana komitmen dan konsistensi dalam pengembangan kota dan pemukiman. Kota minimal dapat mencakup seluruh wilayah administrasi. Penilaian kinerja kota di dalam kegiatan ini lebih

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 18

Indikator yang dimaksud diklasifikasi ke dalam 5 bab dan disubklasifikasikan menjadi 20 area kunci dari Istanbul +5 Universal Reporting Format. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut : Tabel 2.1 Daftar Indikator Kota sebagai respon terhadap 20 Habitat genda Key Areas Of Commitment

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 19

Indikator-indikator dalam Urban Indicator versi UNHCS ini memerlukan data yang cukup banyak dan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Data tersebut dibagi dua, yaitu data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari hasil konsultasi dengan kelompok pakar dalam skala kecil untuk memberikan penilaian yang merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Untuk itu, diperlukan : (a) Pakar dengan kualifikasi tinggi di masing-masing Negara yang menjadi narasumber untuk melakukan penilaian mengenai indikator-indikator tersebut. (b) Pakar tersebut harus berkomunikasi langsung dengan UNHCS dan pekerjaannya harus dikaji dan dikomentari melalui beberapa tahapan. Dalam hal ini, kompleksitas perolehan data yang memenuhi persyaratan sangat tinggi. Untuk semua data, prinsip utamanya adalah bahwa data tersebut adalah data terbaik yang ada, termutakhir dan sepenuhnya terdokumentasi. Selain itu, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa penialian terhadap indikatorindikator tersebut tidak dilakukan secara terfragmentasi mengingat adanya hubungan sistematik antar indikator untuk memperoleh gambaran total mengenai setiap sektor dan setiap kota yang dinilai kinerjanya. Permasalahan yang dihadapi di sini adalah bahwa data-data tersebut dimiliki oleh dinas-dinas pemerintah yang berbeda-beda khususnya per sektor. Untuk mengantisipasi adanya inkonsistensi pendataan, perlu koordinasi in timely manner. Untuk data pada aspek-aspek yang relatif stabil dalam arti tidak mengalami perubahan yang signifikan dari tahin ke tahun, data lama dapat digunakan dengan dilengkapi proses ekstrapolasi. Sementara data yang menyangkut aspek yang berubah secara menggunakan data yang terbaru. Indikator Perkotaan untuk manajemen Lingkungan Menurut UNHCS Dalam skala internasional, UNHCS bekerja sama dengan World Bank, mengembangkan satu perangkat indikator perkotaan untuk membantu negara-negara menghadapi Konferensi Habitat II tahun 1996. indikator-indikator yang dimaksud, dirangkum pada Tabel 2.2. cepat, diharuskan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 20

Tabel 2.2 Indikator Perkotaan Untuk Manajemen Lingkungan menurut UNHCS

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 21

B. Indikator perkotaan (urban indikators) menurut Asian Development Bank Lebih spesifik daripada UNHCS, yang indikatornya berlaku untuk kota-kota dalam skala internasional, Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 meluncurkan sekaligus melakukan pengukuran kinerja 18 kota di Asia. Pengukuran kinerja ini dilakukan dengan mengangkat isu kemiskinan perkotan di negara-negara di Asia sebagai isu utama. ADB menekankan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya diindikasikan oleh pendaatan yang rendah semata, melainkan juga menyangkut dan geograic location. Pengukuran kinerja tersebut didasarkan pada 140 indikator kota yang dikelompokkan ke dalam 13 divisi utama, yaitu : (a) Populasi, migrasi dan urbanisasi : Menggambarkan karakteristik kependudukan suatu kota melalui indikator-indikator seperti jumlah penduduk (bertempat tinggal dan bekerja), angka migrasi, komposisi penduduk menurut umur, jumlah rumah tangga, jumlah anggota keluarga rata-rata dan jumlah rumah tangga yang tingal di pemukiman ilegal. (b) Kesenjangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan : Menggambarkan kondisi perekonomian suatu kota melalui indikator-indikator seperti distribusi pendapatan, penganguran (c) Kesehatan dan pendidikan Menggambarkan kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat suatu kota dilihat dari indikator seperti jumlah orang per tempat tidur rumah sakit, angka kematian bayi. Hasil pengukuran dirangkum dalam Cities Data Book for Asian and Pasific Region. Sementara ringkasannya dipaparkan oleh Peter Hall dalam Urban Indicators for Asias Cities : From Theory to Practise, 2000 angka harapan hidup, angka kematian diakibatkan oleh penyakit menular, tingkat keluarga berencana, angka buta huruf untuk orang dewasa, tingkat pnerimaan murid sekolah, jumlah siswa yang lulus perguruan tinggi, rata-rata tingkat pendidikan akhir dan jumlah murid per kelas. kemiskinan, tenaga kerja anak, tenaga kerja informal, dan aspek human capital development, gender equity, social protection, good governance, lack of discrimination

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 22

(d) Produktivitas dan daya saing kota : Menggambarkan perkembangan perekonomian kota melalui penilaian terhadap indikator-indikator seperti PDRB per kapita, struktur mata pencaharian, pengeluaran rumah tangga pada item utama, tingkat investasi menurut sector (infrastruktur, perumahan dan layanan publik lainnnya), tingkat pariwisata, daftar investasi utama, biaya hidup sehari dan jumlah corporate headquarters. (e) Teknologi dan Connectivity : Masih berkaitan dengan perkembangan perekonomian perkotaan yang dinilai dari tingkat pengeluaran pemerintah untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, tingkat penggunaan telepon (lokal, interlokal, internasional dan mobile) serta tingkat koneksi internet (jumlah dan pertumbuhan). (f) Perumahan : Merepresentasikan pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Namun dalam hal ini, ukuran dan kualitas rumah tidak perlu dipentingkan, melainkan lebih menekankan pada guna lahan dan harga lahan. Oleh karena itu, indikator-indikator yang digunakan antara lain tipe hunian, tipe kepemmilikan, harga jual dan sewa rumah, pembiayaan kepemilikan rumah, tingkat produksi rumah. (g) Lahan kota : Menggambarkan sejauh mana tingkat penggunaan lahan perkotaan, apakah banyak lahan tidur atau tidak serta apakah hal itu berkaitan dengan tingkat permintaan terhadap lahan atau tidak, dan seterusnya. (h) Pelayanan Umum : Terdiri atas air, listrik, saluran air kotor/limbah, telepon dan sarana pengumpulan sampah (TPA/TPS). Indikator yang digunakan antara lain jumlah koneksi, investasi per kapita, pengeluaran untuk operasional dan pemeliharaan, cost recovery, tingkat produtivitas karyawan dalam melayani publik, penyedia, tingkat kekurangan dan gangguan dalam pelayanan, tingkat konsumsi serta tarif berlaku. perumahan, perlakuan terhadap pemukiman liar, pengeluaran pemerintah dan jumlah penduduk yang tidak memiliki

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 23

(i) Lingkungan Perkotaan : Dinilai dengfan indikator seperti volume sampah yang dihasilkan, pengelolaan sampah, pengolahan limbah/air kotor, tingkat polusi udara, tingkat penggunaan energi, tingkat kebisingan dan tingkat kerusakan akibat bencana alam. (j) Transportasi Perkotaan : Kelompok indikator ini pada dasarnya mengukur lalu lintas barang dan jasa. Termasuk di dalamnya, indicator-indikator seperti moda yang digunakan dari rumah ke tempat kerja, waktu melakukan perjalan (median), tingkat kepemilikan kendaraan, tingkat aktivitas pelabuhan dan udara, serta jumlah barang yang diangkut menurut jenis kendaraan. Selain itu, pengukuran ini dilakukan pula terhadap aspek kebijakan seperti tingkat pengeluaran pemerintah untuk pembangunan jalan, tingkat kemacetan, cost recoovery from fees dan tingkat kecelakaan lalu lintas. (k) Budaya : Hanya diukur dari jumlah pengunjung pada setiap atraksi utama yang diselenggarakan oleh kota. (l) Keuangan Pemerintah Daerah : Kelompok ini mengukur berbagai jenis indikator input dan output, antara lain sumber pendapatan daerah, pengeluaran rutin pemerintah daerah, tingkat efisiensi penarikan pajak, debt service charge, employment, tingkat upah dan sejauh mana komputerisasi dilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan. (m) Pemerintahan dan Manajemen Perkotaan : Kelompok yang terakhir ini relatif besar dan sangat heterogen, yaitu termasuk data-data mengenai fungsi pemerintah daerah, tingkat partisipasi, kebebasan dari pemerintah pusat, anggota dewan, representasi, aplikasi perencanaan, berbagai indeks yang secara langsung berkaitan dengan kualitas hidup (kepuasan pelanggan, persepsi kota sebagai tempat hidup, tingkat kejahatan) serta indeks-indeks mengenai akses terhadap informs perkotaan, hubungan antara administrasi kota dengan masyarakat dan eksistensi unit distrik yang terdesentralisasi. Sayangnya, dalam pengukuran di lapangan, indikator mengenai kulaitas hidup sulit diperoleh dan tidak memungkinkan untuk melakukan survei terhadap persepsi secara langsung.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 24

Metoda pengukuran ADB secara umum jauh lebih mudah dan feasible dalam hal perolehan data daripada metoda pengukuran yang dikemukakan oleh UNDP dan UNHCS sebelumnya. Dalam hal ini, ADB lebih banyak menggunakan data kuantitatif dan menekankan pada proses pengolahan data statistik yang pada umumnya dimiliki oleh instansi-instansi di negara-negara di Asia. Formulasi Lingkup dan Kriteria Penilaian per-Kotaan Indikator penilaian kinerja pembangunan perkotaan terdiri dari 2 (dua) indeks, yaitu Indeks Pembangunan Kota dan Indeks Kualitas Hidup, serta beberapa aspek,yaitu: 1. Aspek Penduduk Indikator yang digunakan: Tingkat pertumbuhan penduduk; Tingkat migrasi; dan Tingkat kepadatan penduduk.

2. Aspek Produktifitas Perkotaan Indikator yang digunakan: Tingkat kemiskinan; Tingkat pengangguran; Tingkat pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional; Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa; Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB; dan Tingkat ketergantungan penduduk.

3. Aspek Kesehatan dan Pendidikan Indikator yang digunakan: Tingkat kematian ibu; Tingkat kematian bayi; Angka Prevelensi Penyakit Diare; Rata-rata usia harapan hidup warga; Ketersediaan fasilitas Puskesmas; Ketersediaan fasilitas Rumah Sakit; dan Ketersediaan apotek;Bab II - 25

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Angka melek huruf; Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD); Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP); dan Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU).

4. Aspek Permukiman dan Lingkungan Indikator yang digunakan: Rasio penduduk kumuh per penduduk total; Persentase permukiman kumuh; Luasan permukiman kumuh; Rasio Ruang Terbuka Hijau; Pengaduan polusi/pencemaran; Jumla kejadian kebakaran; dan Tindak kejahatan per 1000 penduduk.

5. Aspek Ekonomi Indikator yang digunakan: Pertumbuhan Ekonomi (Kenaikan PDRB) Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa terhadap PDRB Pertumbuhan Sektor Perdagangan dan Jasa 5 tahun terakhir Analisis ICOR Laju Produktifitas Perkapita / Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Rata-rata pendapatan penduduk perkapita Disparitas Pendapatan Antarsektor Kemandirian Kota (Keuangan Daerah/Pendapatan Daerah) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Elastisitas kesempatan Kerja Tingkat Kemiskinan

6. Aspek Budaya Indikator yang digunakan: Potensi Fisik (Kuantitas dan kualitas potensi fisik bangunan cagar budaya, situs, benda arkeologis dan kawasan bersejarah)Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 26

Potensi Non Fisik (Potensi asset budaya non-fisik berupa peninggalan atau warisan budaya meliputi seni budaya, ritual, adat, kebiasaan) Potensi Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif)

7. Aspek Sosial Kependudukan, Indikator yang digunakan: Kepadatan Penduduk Kota Kepadatan Penduduk Kelurahan Angka Migrasi Frekuensi penyakit infeksi per 1000 penduduk Tingkat kematian bayi Rata-rata usia harapan hidup warga Ketersediaan fasilitas kesehatan (berkait luasan daerah pelayanan) Ketersediaan jumlah tenaga medis Ketersediaan Apotek

8. Aspek Spasial Indikator yang digunakan: Konversi Lahan Ketersediaan Ruang Publik Keberadaan lingkungan kumuh

9. Aspek Prasarana 1) Sektor Air Bersih Aset, meliputi : a. Sumber Air b. Kualitas Air c. Kebocoran Air d. Pelayanan Cakupan Pelayanan Cakupan Pelanggan Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik)Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 27

Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik) Tingkat penggunaan air Tarif Air 2). Sektor Transportasi Aset, meliputi : a. Panjang Jalan Sesuai Fungsi b. Panjang Jalan Sesuai Kewenangan c. Kondisi Jalan d. Terminal Angkutan Darat e. Terminal Udara 3). Sektor Sanitasi Aset, meliputi : a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system) b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system) 4). Sektor Persampahan Aset, meliputi : a. Pengumpulan b. Pengangkutan c. Kapasitas Pembuangan d. Metoda Pembuangan e. Kepemilikan Lahan TPA f. Pelayanan, meliputi : Cakupan Pelayanan Retribusi Sampah Kerjasama dengan Masyarakat

10. Aspek Pengelolaan Pemerintah a. Pewujudan Rencana Tindakan b. Ketergantungan Dengan Pemerintah Pusat c. Kepuasan Masyarakat d. Akses Informasi Publik e. Aspek Pengelolaan Prasarana air bersihStudi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 28

f. Aspek Pengelolaan Prasarana Persampahan g. Aspek Pengelolaan Prasarana Air Limbah h. Aspek Pengelolaan Prasarana Drainase i. Aspek Pengelolaan Prasarana Jalan dan Transportasi C. Standar Pelayanan Minimal (Keputusan Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001 Didalam upaya untuk menilai kualitas pelayanan suatu prasarana dan sarana perkotaan ada baiknya kita mengulas terlebih dahulu tentang pelayanan yang minimal harus diberikan oleh prasarana dan sarana perkotaan tersebut. Di negara kita, khususnya di lingkungan kimpraswil, kajian tentang standar pelayanan minimal yang harus diberikan untuk masing-masing sektor prasrana dan sarana perkotaan telah ditetapkan standarnya. Kajian tentang Standar Pelayanan Minimal Prasarana dan Sarana Perkotaan ini didasarkan pada Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum yang merupakan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001. Di bawah ini akan dikaji Standar Pelayanan Minimal untuk sektor Air Bersih, Drainase, Air Kotor, Persampahan dan Jalan dan Angkutan Kota, yaitu; A. Sektor Air Bersih Standar Pelayanan Minimal Air Bersih yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut : 1. Indikator Pelayanan: penduduk terlayani, tingkat debit pelayanan/orang dan tingkat kualitas air minum 2. Cakupan Pelayanan: 55-75% penduduk terlayani 3. Tingkat Pelayanan: 60-220 lt/org/hari, untuk permukiman dikawasan perkotaan, 3050 lt/org/hari, untuk lingkungan perumahan pedesaan 4. Kualitas Pelayanan: Memenuhi standar air bersih kualitas pelayanan dari sumber yang lain adalah: Kadar garam dalam air bersih: 1000-3000 ppm slightly salineStudi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 29

Menteri Permukiman dan Prasarana

Beberapa ukuran penilaian

3000-10000 ppm moderately saline 10000-35000 ppm very saline lebih dari 35000 ppm brine Ph Air Bersih normal: 6 8 Kekerasan air karena mengandung calcium dan magnesium: 0 60 ppm soft 61 120 ppm moderately hard 121 180 ppm hard lebih dari 180 ppm very hard Faktor biologis yang terkait dengan kualitas air : BOD (Biochemical Oxygen Demand) Kualitas umum air : tidak berbau, berasa, berwarna dan tidak mengandung sesuatu yang menyebabkan menurunnya kualitas air. Kemenerusan pelayanan (jam pelayanan): jam/hari B. Drainase Standar Pelayanan Minimal Drainase yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut : 1. Indikator Pelayanan : Luas genangan banjir tertangani di daerah perkotaan dan kualitas penangangan 2. Cakupan Pelayanan : Tidak ada genangan banjir di daerah kota / perkotaan > 10 Ha 3. Tingkat Pelayanan: Di lokasi genangan dengan tinggi genangan rata-rata > 30 cm; lama genangan > 2 jam; frekuensi kejadian banjir > 2 kali setahun 4. Kualitas Pelayanan: Tidak terjadi lagi genangan banjir, bila terjadi genangan; tinggi genangan rata-rata < 30 cm, lama genangan < 2 jam; frekuensi kejadian banjir < 2 kali setahun. Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk drainase juga informasi tentang Indikasi Penanganan dan kriteria desain yakni : Genangan < 10 Ha, penanganan drainase mikro Genangan > 10 Ha, penanganan drainase makro Kriteria Disain/Perencanaan meliputi: menyediakan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 30

Saluran Primer/ Makro drainase untuk kawasan strategis, perdagangan, industri, permukiman untuk penanganan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun Saluran sekunder untuk penanganan genangan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun Saluran Tersier, untuk penanganan genangan < 10 Ha, PUH 2-5 tahun

Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan drainase adalah: Penanganan kualitas limbah, apabila saluran drainase terpadu dengan saluran limbah rumah tangga. Dalam hal ini pengenceran air limbah kotor diperlukan untuk dibuang secara langsung ataupun dengan diolah terlebih dahulu. Debit saluran pengglontor yang direncanakan harus mampu mendorong limbah air kotor yang ada di jaringan bersangkutan. C. Air Kotor/ Limbah Standar Pelayanan Minimal Air Kotor/ Limbah yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut: 1. Indikator Pelayanan: Tingkat penyediaan sarana sanitasi terhadap jumlah penduduk kota/ perkotaan dan kualitas penanganan 2. Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk kota/perkotaan 3. Tingkat Pelayanan: Sarana sanitasi individual dan komunal (sistem onsite): Septik Tank, Truk tinja, IPLT Sistem off-site: Modular/full Sewerage System terdiri dari jaringan sewer dan IPAL 4. Kualitas Pelayanan: Sistem On-site: Separasi antara grey water (mandi, cucian) terhadap black water (kakus) Penyaluran black water yang baik ke septik tank, tanpa ada kebocoran dan baru Tidak ada rembesan langsung/ pencemaran air tinja dari septik tank ke air tanah Efisien removal BOD dan SS > = 85% Tidak ada komplain terhadap permintaan penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja, pengolahan lumpur tinja selanjutnya di IPLT Sistem Off-site: - Tidak ada separasi antara grey water terhadap black water, tetapi disain sewerage dapat bersatu dengan storm sewerStudi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 31

dapat

Toilet RT/ Jambang/MCK,

- Tidak ada blokade dan/ atau kebocoran sewerage - Efisiensi removal BOD, SS IPAL > 90% dan E-Coli > = 99% Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk Air Kotor/limbah juga menyediakan informasi tentang Indikasi Penanganan dan kriteria desain yakni: Indikasi Penanganan System on-site lebih diarahkan untuk kota sedang kecil dengan kepadatan rata-rata = 200 jiwa/ha, dengan taraf muka air tanah > 2 m dan potensi cost recovery yang belum mendukung untuk full sewerage system Sistem off-site lebih diarahkan untuk kota metro besar dengan kepadatan rata-rata > = 200 jiwa/ha, dengan taraf muka air tanah < 2m, dan potensi cost-recovery yang mendukung untuk full sewerage system. Kriteria Desain/ Perencanaan Debit air buangan= 70 - 80% konsumsi air bersih Pengendapan lumpur tinja 0,2-0,3 lr/or/hari Sarana sanitasi individual untuk satu KK Sarana sanitasi komunal untuk lebih dari satu KK MCK ditempat umum u/100-250 ribu orang Truk tinja @3 m3 u/10.000 KK Modul IPLT disiapkan untuk 100.000 jiwa: kolam lumpur, oxydation dite / ponds, sludge thickener, digester dan sludge drying bed; keb lahan = 2ha / 100.000 jiwa Sistem off-site sesuai dengan rekomendasi FS dan hasil DED, perhitungan debit air, jaringan dan dimensi sewer, dan sistem IPAL. Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan drainase adalah: Debit yang dihasilkan serta kualitas limbahnya. Indikator debit yang dihasilkan berpengaruh langsung terhadap usaha pengadaan saluran pengglontor. Indikator kualitas limbah berkaitan dengan tingkat pengenceran limbah air kotor yang diperlukan untuk dapat dibuang langsung atau harus diolah terlebih dahulu. Indikator limbah rumah tangga meliputi biological oxygen demand (BOD), carbon oxygen demand (COB) dan bahan ikutan yang berupa padatan. Sedang indikator limbah industri

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 32

meliputi biological oxygen demand (BOD), carbon oxygen demand (COB), logam berat dan bahan ikutan yang berupa padatan. D. Persampahan Standar Pelayanan Minimal Persampahan yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut: 1. 2. 3. Indikator Pelayanan: Tingkat penangganan bangkitan sampah terhadap jumlah penduduk kota/perkotaan dan kualitas penanganan Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk kota/perkotaan dilayani oleh Sistem DK/PDK dan sisanya 20% dapat ditangani secara saniter (on-site system) Tingkat Pelayanan: Prioritas penanganan system persampahan: 100% untuk kawasan pusat kota / CBD dan pasar 100% untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 jiwa/ha Rata-rata 80% untuk kawasan permukiman perkotaan 100% untuk penanganan limbah industri 100% untuk penanganan limbah B3/ medical waste 4. Kualitas Pelayanan: Penanganan sampah on-site dilakukan secara saniter: individual cora-posting, separasi sampah untuk diambil pemulung Penanganan sampah oleh sistem DK/PDK dilakukan secara terintegrasi (PewadahanPengumpulan-Pengangkutan/Transfer-Penanganan Akhir). Tempat/kapasitas pewadahan tersedia Pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan secara reguler Tidak ada penanganan akhir sampah secara open dumping Tidak ada pembuangan sampah secara liar Tingkat composting dan daur ulang sampah minimal 10% Penanganan akhir sampah setidaknya dengan controlled landfill Konsep 3R sudah diterapkan di industri Medical waste ditangani secara swakelola oleh RS

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 33

Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk Air Kotor/ Limbah juga menyediakan informasi tentang indikasi penanganan dan criteria desain yakni: Indikasi Penanganan: Pembakaran sampah on-site harus dihindari. Kriteria Desain/ Perencanaan: Bangkitan sampah 2,5-3 lt atau 0,5-0,6 kg/org/hari, Bin sampah 50 lt/ 200 m sidewalk jalan protokol atau 50 lt/ 100 m ditempat keramaian umum. Gerobak 1 m3/200 KK Kontainer 1 m3/200 KK Transfer Depo 25-200 m2 untuk 400-4000 KK Truk sampah 6 m3/700 KK 8 m3/1000 KK Arm Roll Truck + kontainer 8 m3/1000 KK Compactor truck 8 m3/ 1200 KK Steet Sweeper Ritasi pengankutan 2-5 rit/hari 1 TPA/ 100.000 penduduk, membutuhkan peralatan berat: 1 buldozer, 1 wheel loader, dan 1 excavator Composting: individual, vermi kompos, UDPK Daur ulang diarahkan untuk perkuatan jaringan konsumen, pemulung, lapak dan industri daur ulang Opsi penanganan medical waste incinerator

Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan persampahan adalah: pengangkutan dan penanganan limbah akhir limbah B3 (berbau, beracun dan berbahaya) dilakukan secara terpisah pembuangan sampah dari rumah tangga atau tempat lain sudah dipisahkan minimal dalam dua kategori: bisa diolah lagi dan tidak bisa diolah lagi. E. Jaringan Jalan dan Angkutan Kota Standar Pelayanan Minimal Jalan dan Angkutan Kota yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut:Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 34

Jalan Kota: 1. Indikator Pelayanan: Panjang jalan/ jumlah penduduk; 2. Kecepatan rata-rata (waktu tempuh); 3. Luas jalan/luas kota, Cakupan Pelayanan: Panjang jalan 0,6 km/1.000 penduduk; 4. Ratio luas jalan 5% dari luas wilayah 5. Tingkat Pelayanan: Kecepatan rata-rata 15 s.d 20 km/jam 6. Kualitas Pelayanan: Akses ke semua bagian kota dengan mudah Jalan Lingkungan 1. Indikator Pelayanan: Rasio panjang jalan dengan luas wilayah 2. Cakupan Pelayanan: Panjang 40-60 m/Ha dengan lebar 2-5 m Jalan Setapak 1. Indikator Pelayanan: Rasio panjang jalan dengan luas wilayah 2. Cakupan Pelayanan: Panjang 50-11 m/Ha dengan lebar 0,8-2 m Dalam perkembangan pembangunan kota menuju kota yang merupakan suatu kebutuhan penting, sehat, jalan untuk sepeda mengingat bercampurnya sepeda dan kendaran

bermotor lainnya dapat membahayakan keselamatan pengguna sepeda. Oleh karena itu indikator untuk jalan kota dapat ditambahkan sebagai berikut: Total panjang jalan untuk sepeda / luas kota (km/km2) Pedoman Standar Pelayanan Minimal di atas tidaklah mencakup Pelayanan untuk Angkutan Kota. Di bawah ini disajikan Standard Pelayanan Minimal untuk Angkutan Kota yang disarikan dari berbagai sumber. 1. Indikator Pelayanan: Jumlah kursi pada seluruh angkutan umum per 1000 penduduk Rasio volume lalu lintas dengan kapasitas yang ada (kongesti) Rasio panjang jalan yang dilayani oleh angkutan kota dengan panjang jalan kota 2. Cakupan Pelayanan: Jumlah kursi pada seluruh angkutan umum/penduduk kota X 1000 Panjang jalan yang dilayani oleh angkutan kota/panjang jalan kota 3. Tingkat Pelayanan: Rasio volume lalu lintas dengan kapasitas jalan tidak melebihi dari 0.80

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 35

4. Kualitas Pelayanan: Akses ke semua bagian kota dengan menggunakan angkutan umum relatif mudah Badan Pusat Statistik memberikan kriteria penilaian suatu kawasan menjadi kota sebagai berikut: a. Kegiatan utama bukan pertanian : rumah tangga pertanian kurang dari 25% b. Kepadatan penduduk > 5000/jiwa/km2 c. Memiliki fasilitas umum paling tidak 8 dari 16 fasilitas berikut:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

SD dan sederajad SLTP dan sederajad SLTA dan sederajad Gedung Bioskop Rumah Sakit Rumah Sakit Bersalin Puskesmas/Klinik/Balai Pengobatan Jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda tiga dan empat

9.

Pesawat Telepon/Kantor Pos/Kantor Pos Pembantu

10. Pasar dengan bangunan 11. Kelompok Pertokoan (Pusat Perdagangan) 12. Bank 13. Pabrik 14. Restoran/Rumah Makan 15. Listrik Umum (PLN/Non PLN) 16. Unit penyewaan alat-alat untuk keperluan pesta, dll.

Kriteria lain diberikan oleh National Urban Development Study (NUDS II), yaitu bahwa kawasan perkotaan harus memperhatian aspek-aspek adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Luas wilayah Jumlah penduduk Sumber mata pencaharian penduduk Subsektor sumber mata pencaharian penduduk SMP SMA 9. Poliklinik

10. Puskesmas 11. Kantor Pos 12. Bangunan 13. Pertanian (ekonomi 14. Jumlah rumah tangga 15. Pasar permanenBab II - 36

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

7. 8.

Akademi/Universitas Rumah Sakit Kepmen Kimpraswil

16. Pasar non permanen 17. Pertokoan No. 327/KPTS/2002, kawasan perkotaan

Berdasarkan 1. 2. 3. 4.

diklasifikasikan sebagai berikut: Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa. Kawasan Perkotaan Sedang, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa. Kawasan Perkotaan Besar, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa. Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab II - 37

BAB

METODE PENELITIAN

III

3.1

Metode Penelitian Untuk mengevaluasi kelayakan Kawasan Jatinganor sebagai kawasan perkotaan maka digunakan metode penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif. Menurut Kidder (dalam Riduwan, 2005): Penelitian evaluasi dapat dinyatakan juga sebagai evaluasi, tetapi dalam hal lain juga dapat dinyatakan sebagai penelitian. Sebagai evaluasi dalam hal ini merupakan bagian dari proses pembuatan keputusan, yaitu membandingkan suatu kejadian, kegiatan, produk dengan standar dan program yang telah ditetapkan. Evaluasi sebagai penelitian berarti akan berfungsi untuk menjelaskan fenomena. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) peneliti merupakan instrumen kunci dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi. (Sugiono, 2005). Sedangkan menurut Cronbach yang dikutip Rahayaan (2005) : Pendekatan metode penelitian kualitatif dapat menggambarkan secara menyeluruh mengenai hasil evaluasi, serta pemahaman terhadap program dengan situasi lingkungannya, sehingga lebih bersifat leluasa dan fleksibel, karena terfokus kepada obyek yang mempunyai kompleksitas yang tinggi. Selain itu pendekatan kualitatif yang berdasar naturalistik memungkinkan peneliti berinteraksi dalam suasana yang lebih humanis, dinamis dan intensif. Dengan digunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai.

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab III - 1

3.2 Ruang Lingkup Studi : A. Lingkup Wilayah Studi Lingkup wilayah studi adalah Kecamatan Jatinangor sebagai fokus utama adalah Kecamatan Jatinangor dan Kecamatan Cimanggung sebagai wilayah yang sebagian besar desanya berbatasan langsung dengan Kecamatan Jatinangor. Lingkup wilayah dapat dikembangkan pada Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Jatinangor yang dimungkinkan sebagai pengembangan kawasan perkotaan ke depan (Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Sukasari dan Kecamatan Pamulihan). B. Lingkup Pelaksanaan Studi Tahapan kegiatan dalam penyusunan studi kelayakan kawasan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan adalah : 1. Pengumpulan Data dan Analisis Data Data yang dikumpulkan dan analisa data baik primer maupun skunder yang sahih yang dan dapat dipercaya untuk digunakan dalam tahap analisa data. a. Tahap Persiapan Pada tahap pendahuluan dilakukan persiapan pelaksanaan yang menyangkut program kegiatan, penyusunan instrumen pendataan (kuesioner, peralatan, bahan, dan tenaga) b. Tahap pengumpulan dan kompilasi data Pada prinsipnya kegiatan pada Pengumpulan dan kompilasi data adalah sebagai berikut: Persiapan Survey Pembuatan cheklist pengumpulan data dan instrumen pengumpul data (kuesioner, lembar wawancara, dll) yang memuat kebutuhan data yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan. Pembuatan program kerja yang akan dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan survey. Penyiapan personil (surveyor)

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Bab III - 2

Pelaksanaan Survey Dalam pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kegiatan utama, yakni: a. Survey instansional, merupakan pengumpulan data skunder yang biasanya data-data sudah diolah dalam bentuk deskripsi, tabel, peta dan diagram. b. Survey lapangan, merupan pengumpulan data langsung di lapangan (kawasan studi) dalam rangka menemukenali dan mengidentifikasi karakteristik kawasan studi. Kegiatan ini dapat berupa observasi lapangan, wawancara langsung dengan masyarakat atau tokoh masyarakat, penyebaran kuesioner, dan lain sebagainya. c. Data-data yang dibutuhkan dalam kegiatan penyusunan studi kelayakan ini secara garis besar meliputi : 1. Data kondisi fisik dasar. 2. Data kondisi sosial-budaya. 3. Data kondisi ekonomi. 4. Data kondisi lingkungan. 5. Data kondisi kelembagaan. 6. Data kondisi tata ruang.

c. Tahap analisa dan justifikasi potensi dan permasalahan Dalam penyusunan studi kelayakan kawasan perkotaan ini, analisa yang dilakukan meliputi : 1. Analisis kelayakan sosial budaya 2. Analisis kelayakan ekonomi 3. Analisis kelayakan kelembagaan 4. Analisis kelayakan lingkungan 5. Analisis kelayakan tata ruang/pengembangan wilayah d. Tahap penyusunan skenario (alternatif konsep), kesimpulan dan rekomendasi Sebagai hasil akhir dari studi ini adalah tersusunnya skenario (alternatif konsep) kawasan perkotaan jatingaor yangtermuat dalam suatu laporan yang sekurang-kurangnya memuat : Konsep kawasan perkotaan JatinangorBab III - 3

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan

Kesimpulan dan rekomendasi terhadap kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor yang meliputi : a. Kelayakan sosial budaya b. Kelayakan ekonomi c. Kelayakan lingkungan d. Kelayakan kelembagaan e. Kelayakan tata ruang/pengembangan wilayah

2. Metode Analisa Metode analisa merupakan penguraian secara rinci atas berbagai masalah dari seluruh aspek yang dikaji, kemudian mencari alternatif solusinya secara terinci. 3. Metode Sintesa Metode sintesa adalah mengaitkan (mensntesakan) problem dan solusi hasil analisa yang ada untuk mendapatkan alternatif rancangan yang optimal, terpadu dan komprehensif. 3.3 Sumber Data Dalam penelitian kualitatif ini, sumber data dipilih secara purposive sampling dan bersifat snowball sampling. Purposive sampling ialah teknik sampling yang digunakan peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Riduwan, 2005). Menurut Sugiono (2005) purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. 3.4 Operasionalisasi Indikator perkotaan (urban indicators) yang digunakan (versi Asian Development Bank dan Standar Pelayanan Perkotaan PU dan Kimpraswil) Indikator perkotaan untuk mengukur sejauhmana kondisi Kawasan Perkotaan Jatinangor memenuhi kriteria sebagai kawasan perkotaan. Indikator yang digunakan indicator yang dikembangkan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 dan pada beberapa aspek terutama sarana dan prasarana perkotaan digabungakan dengan didasarkanStudi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 4

pada Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum yang merupakan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001. Hidup, serta beberapa aspek,yaitu: 1. Aspek Penduduk Indikator yang digunakan: Tingkat pertumbuhan penduduk; Tingkat migrasi; dan Tingkat kepadatan penduduk. Indikator penilaian pembangunan perkotaan terdiri dari 2 (dua) indeks, yaitu Indeks Pembangunan Kota dan Indeks Kualitas

2. Aspek Produktifitas Perkotaan Indikator yang digunakan: Tingkat kemiskinan; Tingkat pengangguran; Tingkat pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional; Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa; Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB; dan Tingkat ketergantungan penduduk.

3. Aspek Kesehatan dan Pendidikan Indikator yang digunakan: