Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Penerapan Konsep Compact City
terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan
Gede Windu Laskara
ABSTRAK
Kawasan perkotaan di Indonesia tumbuh secara dinamis sejalan dengan dinamika
perkembangan demografis, ekonomi dan fisik-spasial. Ditinjau dari aspek spasial, kawasan
perkotaan yang terbentuk cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl
yang semakin tidak terkendali, mengalihfungsikan kawasan pertanian subur di pinggiran kota
dan meningkatkan kebergantungan pada kendaraan bermotor. Makalah ini mengeksplorasi
keterkaitan antara bentuk perkotaan dan keberlanjutan perkotaan secara lingkungan, sosial,
dan ekonomi, sebagai landasan untuk melakukan intervensi terhadap struktur dan pola ruang
kawasan perkotaan; dan merumuskan arahan pengembangan kawasan perkotaan secara
spasial untuk mewujudkan struktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang lebih
berkelanjutan sesuai dengan karakteristik spesifik kota, dengan wilayah studi di Kawasan
Perkotaan Jakarta dan sekitarnya.
Hasil analisis keterkaitan bentuk perkotaan dan karakteristik sosial-ekonomi dengan
pola perilaku perjalanan penduduk pada skala kawasan perkotaan menunjukkan bahwa
unsur-unsur bentuk perkotaan mempunyai kaitan yang lebih besar daripada karakteristik
sosial-ekonomi terhadap pola/perilaku perjalanan. Hal ini berarti intervensi terhadap bentuk
perkotaan, melalui unsur-unsurnya yang mencakup densitas, diversitas penggunaan lahan,
desain, dan aksesibilitas, dapat memengaruhi pola/perilaku perjalanan, terutama panjang
perjalanan dan konsekuensinya terhadap konsumsi energi, emisi yang dihasilkan dan kualitas
udara perkotaan. Dalam konteks inilah konsep compact city dapat menjadi strategi alternatif
untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang berkelanjutan, dengan tujuan meningkatkan
kualitas kehidupan perkotaan dengan tidak menambah pengeluaran-pengeluaran yang besar
terhadap generasi selanjutnya.
Kata Kunci:
urban sprawl, bentuk perkotaan, kota berkelanjutan, bentuk perkotaan berkelanjutan, compact city
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Pada tahun 1973, Dantzing dan Saaty mengusulkan sebuah ide kota yang disebut dengan
Compact City dimana ide tersebut terinspirasi dari ide Le Corbusier mengenai Radiant City.
Visi nya adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan dengan tidak menambah
pengeluaran-pengeluaran yang besar terhadap generasi selanjutnya dimana ide tersebut sesuai
dengan prinsip perkembangan yang berkelanjutan. Secara umum ide dari compact city
mencakup banyak strategi yang bermaksud menciptakan kekompakan dan kepadatan yang
dapat menghindari permasalahan yang ditimbulkan oleh kota modern, menyelamatkan
perkembangan daerah pedesaan, mendukung fasilitas lokal sehingga menjadikannya lebih
otonomi.
Perkembangan kota yang berkelanjutan berkontribusi untuk memperkenalkan ide dari
compact city dengan penekanan pada aspek ekologi dan justifikasi lingkungan. Compact city
memberikan keuntungan dimana sebuah kota berperan dalam mengurangi konsumsi dari
bahan bakar terutama dalam perjalanan karena kota secara ruang memiliki fungsi yang
beragam (mix used) dan tempat bekerja dan fasilitas leisure didesain berada pada satu
kawasan (ECOTEC 1993; Newman dan Kenworthy 1989; Hilman 1996). Disamping itu
dengan adanya compact city maka lahan perkotaan dapat dipergunakan kembali, dan daerah
pedesaan (rural land) dapat terlindungi. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa dengan
adanya compact city maka kualitas dari kehidupan dapat tercipta secara berkelanjutan bahkan
dalam keadaan konsentrasi masyarakat yang tinggi.
Peter Newman (2000) menemukan bahwa compact city muncul sebagai bentuk kota
yang paling efisien. Ia berpendapat bahwa bentuk kota bukan hanya melihat pada kualitas
udara yang dihasilkan. Beberapa sarjana menganggap bahwa konsep dari compact city tidak
realistis dan tidak diinginkan, dan bentuk dari “konsentrasi decentralisasi“ (decentralization
concentration) berdasarkan kota single atau sekumpulan dari kota dianggap lebih tepat
(brehemy 1992b).
Fokus utama yang sangat berpengaruh terhadap perbedaan pada bentuk kota terlihat pada
pola travel dan perlengkapan transportasi, efisiensi resource, kewajaran sosial, kemudahan
akses, dan bergairahnya roda ekonomi. Secara esensial, compact city adalah sesuatu yang
memiliki kepadatan yang tinggi, kota yang mix used (nonsprawl) dengan batas yang jelas.
Inggris, Amerika dan Australia merupakan contoh negara yang sangat membela konsep dari
compact city. Pemilihan dari compact city tersebut didasari atas empat alasan, yaitu:
1. Compact city dinyatakan sesuai dengan mode dari transport.
2. Terlihat sebagai sesuatu penggunaan lahan yang sustainable, dengan mengurangi sprawl,
lahan pada pedesaan dapat dipertahankan, dan lahan pada kota dapat di-recyle untuk
perkembangan selanjutnya.
3. Dalam bentuk sosial, mix used dan compactness dihubungkan dengan perbedaan,
hubungan sosial perkembangan budaya, dan sebagai bentuk yang sesuai dimana mampu
menawarkan kemudahan akses pencapaian dalam kota.
4. Ekonomi dapat terus berjalan karena infrastruktur, seperti halnya jalan dan penerangan
yang ada dapat disediakan dengan biaya yang efektif per kapita. Disamping itu kepadatan
populasi cukup untuk mendukung layanan lokal dan bisnis.
Compactness
Definisi dari compactness berdasarkan beberapa literature, antara lain sebagai berikut :
1. membatasi compactness sebagai kepadatan yang tinggi atau monocentiric development
(Gordon dan Richardson)
2. Pemusatan dari pekerja dan tempat tinggal, penggambungan dari tata guna lahan
(Ewing’s)
3. Bentuk Monocentric dan polycentric yang didesain menjadi compact (Anderson)
4. Pengembangan sebuah kota yang compact dapat dilihat dari rasio antara jarak rata-rata
dari rumah ke pusat kawasan bisnis (CBD) (Bertaud dan malpezzi 1999).
5. Compactness sebagai tingkat dimana pengembangannya adalah dikelompokkan dan
mampu meminimalkan sejumlah pengembangan dari lahan. (galster)
Compactness dari lingkungan binaan adalah sebuah strategi yang dapat diterima dimana
bentuk kota yang berkelanjutan dapat tercapai. Compactness juga berkenaan dengan
hubungan antar kota (connectivity) yang mengusulkan perkembangan bentuk kota masa
mendatang harus dapat mengambil tempat yang berdekatan dengan struktur kota yang ada
(wheeler 2002). Compactness dari ruang kota dapat meminimalkan energi dari transport, air,
material, produk dan orang (Elkin, Mclaren dan Hilman 1991).
Strategi utama dari compactness yaitu menggunakan lahan kota yang lebih efisien dengan
meningkatkan kepadatan dari perkembangan kota dan aktivitasnya. Hal ini dapat dicapai
dengan memasukkan pengembangan dari lahan kota yang sebelumnya tidak dikembangkan,
redelopment kawasan dan bangunan eksisting, bagian dan perubahannya, serta penambahan
dan perluasan dari bagian kota yang ada. (Jenks 2000,243).
Bagi banyak sarjana dan perencana kota, compactness adalah sebuah tipologi krusial yang
diimplementasikan untuk mencapai kelayakan/keberlanjutan suatu kota, seperti yang
dicontohkan oleh Dumreicher (2000) yang menyatakan bahwa sebuah kota yang
berkelanjutan (sustain) harus kompak, padat, beragam dan terintegrasi dengan baik. Mereka
juga menyatakan untuk sebuah bentuk kota seharusnya dapat dengan mudah dicapai dengan
berjalan kaki, cukup kecil untuk mengeliminasi bahkan keinginan dari pemilik kendaraan
pribadi, tetapi cukup besar untuk menyediakan kesempatan dan layanan yang mampu
menciptakan kekayaan dari kehidupan kota.
II. Maksud dan Tujuan
2.1. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari konsep compact city.
2.2. Menganalisis pengaruh penerapan konsep compact city pada pengembangan kawasan
perkotaan di Indonesia.
III. Ruang Lingkup
Ruang lingkup makalah ini dibatasi pada analisis penerapan konsep compact city dan
melihat kaitannya terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di
Indonesia.
IV. Studi Kasus
Studi kasus pada makalah ini adalah: Kawasan Sudirman Central Bussiness Distric
(SCBD), yang terletak di Kota Administrasi Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, dan
Kota Lippo Karawaci, yang terletak di Kabupaten Tangerang.
V. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
kerangka pemikiran, hipotesa, metodologi penelitian, dan sitematika pembahasan.
BAB II PEMAHAMAN KONSEP COMPACT CITY TERHADAP PENGEMBA-
NGAN KAWASAN PERKOTAAN
Bab ini berisi studi literatur dari berbagai sumber yang menjadi acuan dalam melakukan
kajian dan analisis terhadap objek yang diteliti, yaitu Kawasan Sudirman Central
Bussiness Distric (SCBD), dan Kota Lippo Karawaci.
BAB III STUDI KASUS
Studi kasus pada makalah ini adalah : Kawasan Sudirman Central Bussiness Distric
(SCBD), yang terletak di Kota Administrasi Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, dan
Kota Lippo Karawaci, yang terletak di Kabupaten Tangerang.
BAB IV KESIMPULAN
Setelah objek penelitian dianalisis, sesuai dengan studi literatur dan sumber-sumber
lainnya, maka akan didapat kesimpulan dari studi kasus yang dianalisis.
BAB II
PEMAHAMAN KONSEP COMPACT CITY TERHADAP
PENGEMBANGAN KAWASAN PERKOTAAN
Definisi compact city menurut Burton (2000) dalam tulisannya menekankan pada
dimensi ‘kepadatan yang tinggi’, yang merupakan salah satu karakteristik compact city, yang
akan mewujudkan keadilan sosial yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan
kesempatan hidup bagi penduduk berpendapatan rendah. Burton mengklasifikasikan tiga
dimensi derajat kekompakan (compactness) perkotaan yaitu kepadatan, fungsi campuran dan
intensifikasi.
Pendekatan compact city adalah meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan
penduduk permukiman, mengintensifkan aktifitas ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, dan
memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan serta sistem permukiman dalam
rangka mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan, sosial, dan global, yang diperoleh dari
pemusatan fungsi-fungsi perkotaan (Jenks, 2000).
Konsep compact city ini muncul sebagai konsep baru dibalik dianggap gagalnya
konsep urban sprawl yang muncul pada awal era industrialisasi. Ada beberapa faktor sosial-
ekonomi yang mempercepat terjadinya urban sprawl saat itu, antara lain (Compact city,
Dantzig:1973):
- Bertambahnya jumlah penduduk
- Perpindahan dari perkebunan (farms) ke kota
- Kepadatan penduduk di pusat kota
- Penurunan kualitas perumahan di pusat kota
- Berkembangnya perumahan dengan kualitas dan ukuran yang baik pada suburban
- Pengembangan dan perluasan sistem jalan raya (highway)
- Relokasi industri
- Pengembangan ‘multicay family’
- Meningkatnya permasalahan transportasi pada kawasan urban
Banyak permasalahan muncul sebagai dampak konsep urban sprawl tersebut, antara lain:
- Mobil menjadi hal penting, untuk menuju tempat kerja yang berada di pusat kota.
- Waktu yang terbuang selama perjalanan menuju kantor dan pulang ke rumah
- Berbahaya untuk anak, karena rumah dekat jalan.
- Sangat jauh untuk mencari pertokoan
- Karena menyebar, sehingga sistem public transport tidak bisa diterapkan.
- Boros energi dan meningkatnya polusi udara dan suara akibat penggunaan kendaraan
yang berlebihan.
Perbandingan Antara Pembangunan Acak dan Compact City Strategy
Aspek Pembangunan Acak
(Sprawl Development)
Compact City Strategy
(Anti-Sprawl Development)
Kepadatan Kepadatan rendah Kepadatan tinggi
Pola
pertumbuhan
Pembangunan pada tepi kota, ruang
dan ruang hijau, melebar
Pembangunan pada ruang-ruang
sisa/antara, compact
Guna lahan Homogen, terpisah-pisah “Mixed”, cenderung menyatu
Skala
Skala besar (bangunan yang lebih
besar, blok, jalan lebar), kurang detil,
artikulasi bagi pengendara mobil
Skala manusia, kaya dengan detil,
artikulasi bagi pejalan kaki
Layanan
komunitas
Shopping mall, perjalanan mobil,
jauh, sukar untuk ditemukan
Main street, jalan kaki, semua
fasilitas mudah ditemukan
Tipe
komunitas
Perbedaan rendah, hubungan antar
anggota lemah, hilangnya ciri
komunitas
Perbedaan tinggi dengan hubungan
yang erat, karakter komunitas tetap
terpelihara
Transportasi
Transportasi yang berorientasi pada
kendaraan pribadi, kurang
penghargaan pada pejalan kaki,
sepeda, dan transit publik
Transportasi multi-sarana,
penghargaan pada pejalan kaki,
sepeda, dan transit publik
Disain jalan
Jalan didisain untuk memaksimalkan
volume kendaraan dan kecepatannya
(collector roads, cul de sac)
Jalan didisain untuk
mengakomodasikan berbagai
macam kegiatan (traffic calming,
grid streets)
Disain
bangunan
Bangunan jauh terletak/ditarik ke
belakang (set back), rumah tunggal
yang terpencar
Bangunan sangat dekat dengan
jalan, tipe tempat tinggal beragam
Ruang publik
Perujudan kepentingan pribadi
(yards, shopping malls, gated
communities, private clubs)
Perujudan kepentingan publik
(streetscapes, pedestrian
environment, public park and
facilities)
Biaya
pembangunan
Biaya yang tinggi bagi pembangunan
baru dan biaya layanan publik rutin
Biaya yang rendah bagi
pembangunan baru dan biaya
layanan publik rutin
Proses
perencanaan
Kurang terencana, hubungan pelaku
pembangunan dan aturan lemah
Terencana dan hubungan pelaku
pembangunan dan aturan baik
(community based)
1. Kepadatan penduduk dan lingkungan
Bangunan tinggi, efisiensi bagi penggunaan lahan dan infrastruktur kota
2. Pengkonsentrasian kegiatan
Kesatuan dari banyaknya ragam kegiatan, akses makin mudah terutama bagi pejalan
kaki
3. Intensifikasi transportasi umum
Berkurangnya ketergantungan pada mobil pribadi, meningkatnya jumlah pejalan
kaki dan penggunaan transportasi umum, wawasan lingkungan
4. Target kesejahteraan sosial-ekonomi
Kualitas hidup makin baik, performa hidup sehari-hari makin mudah
5. Proses (perbaikan) menuju kompak
Masa depan kota cenderung lebih kompak, didukung oleh berbagai program yang
sesuai dan dilakukan secara intensif
Beberapa keunggulan dari Compact City (Compat city, Dantzig : 1973) :
1. Save money, mengurangi pengeluaran akibat biaya transportasi/perjalanan yang
tinggi
2. Save time, jarak yang dekat akan meminimalisir waktu perjalanan
3. Save lives, meminimalisir hilangnya nyawa akibat kecelakaan akibat perjalanan
jauh.
4. Save land, mengkonservasi lahan sehingga dapat digunakan sebagai fungsi
ekosistem .
5. Save energy, mengurangi penggunaan energi bahan bakar untuk perjalanan
6. Save material resources, mengurangi penggunaan material yang digunakan sebagai
produksi massal kendaraan bermotor.
7. Reduces air and noise pollution, meminimalisir timbulnya polusi udara dan suara
akibat jumlah kendaraan yang tidak terkendali.
Gambar 1. Setting definisi compact city
Masalah utama yang terjadi pada penerapan ide compact city saat ini adalah
anggapan bahwa ide ini bisa secara instan diterapkan tanpa melihat kasus per kasus
permasalahan yang dihadapi oleh sebuah kota, di samping keharusan penyesuaian
terhadap karakter kota. Simulasi beberapa kebijakan transport dan tata guna lahan yang
erat dengan ide compact city ini menunjukkan pentingnya melihat kondisi perkembangan
kota (pola pergerakan/transport, pola tata guna lahan).
Gambar 1, compact city diartikan sebagai sebuah strategi kebijakan kota yang
sejalan dengan usaha perujudan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai sebuah
sinergi antara kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi pada sebuah ukuran ideal
sebuah kota, pengkonsetrasian semua kegiatan kota, intensifikasi transport publik,
perwujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota menuju peningkatan taraf dan
kualitas hidup kota.
Namun konsep Compact city tidak selalu memberi dampak positif, ada beberapa
keunggulan compact city yang dengan sendirinya menimbulkan kelemahan, bisa dilihat
pada tabel dibawah.
Aspek Keuntungan Kerugian
Kenaikan
kepadatan
penduduk dan
lingkungan
Aglomerasi ekonomi, pengurangan
kebutuhan perjalanan dan waktu,
preservasi lahan pertanian atau
lahan-lahan hijau terbuka,
penanggulangan degradasi
lingkungan, tata guna lahan yang
hemat energi, performa untuk
kegiatan ekonomi rendah
Harga lahan dan properti naik,
berkurangnya perumahan
layak, berkurangnya beberapa
ameniti kota, biaya operasi
dan perawatan naik, sedikit
bermasalah dalam akses ke
ruang hijau
Pengkonsentrasian
kegiatan
Penyediaan fasilitas dan
infrastruktur kota efisien,
pendistribusian servis dan barang
lebih merata, gaya dan budaya
hidup semakin variatif, vitalitas
sosial-ekonomi naik
Kualitas hidup masa depan
masih diperdebatkan,
pembangunan berbiaya tinggi
jika strategi pembangunan
kotanya benar-benar baru,
pengurangan kualitas
kesehatan, kondisi lebih
"overcrowded"
Intensifikasi
transportasi umum
Transportasi umum yang lebih baik,
energi untuk transportasi lebih
Kualitas dan penyesuaian
lingkungan, ditengarai tetap
hemat, pengurangan
ketergantungan pada mobil pribadi,
naiknya alternatif akses dan pilihan
perjalanan dalam kota
banyak kemacetan dan
tambahan polusi udara
Pertimbangan
besaran dan akses
kota
Skala kota yang mudah dicapai bagi
semua moda transportasi,
pengurangan jarak bepergian, servis
dan fasilitas yang lebih mudah,
kontrol pembangunan secara tepat
Cengkraman sentralisasi kota
akan lebih kuat, rintangan
pada komunikasi dan jaringan
(network)
Target
kesejahteraan
sosial-ekonomi
Interaksi sosial meningkat, sedang
pemisahan sosial bisa diturunkan,
penurunan perbedaan kelas/sosial,
penurunan angka kejahatan,
interaksi sosial yang lebih baik
Berkurangnya ruang hunian,
displasi bagi kelas sosial yang
lemah, menurunnya faktor
privasi dalam kota
2.1 Compact City
Compact city merupakan kebalikan definisi dari urban sprawl. Compact city lebih
menekankan pada efisiensi energi dan meminimalisir polusi, karena salah satu strategi
compact city adalah kita dapat melakukan kegiatan – kegiatan seperti berbelanja, bekerja
dan bisa berjalan, sepeda atau, ambil transit. Para pendukung compact city berpendapat
bahwa compact city lebih berorientasi pola interaksi komunitas sosial. (Katz; 1994)
Karakteristik Compact City:
- Perumahan dan lapangan kerja berkepadatan tinggi
- Campuran penggunaan lahan
- Kemudahan dalam penggunaan lahan (kemudahan melakukan variasi dan ukuran
bidang tanah yang relatif kecil)
- Peningkatan interaksi sosial dan ekonomi
- Pengembangan yang terputus (beberapa persil dapat meniadakankan atau
mengurangi parkir)
- Terdapat pembangunan perkotaan, dengan batas-batas yang mudah dipahami
- Perkotaan infrastruktur, khususnya saluran air limbah dan air listrik
- Multi transportasi antar moda
- Aksesibilitas tingkat tinggi (lokal / regional)
- Konektivitas jalan tingkat tinggi (internal / eksternal), termasuk trotoar dan jalur
sepeda
- Cakupan permukaan tahan tingkat tinggi
- Rasio ruang terbuka yang rendah
- Kontrol terhadap kestuan perencanaan pengembangan lahan, atau pengontrolan
koordinasi yang ketat
- Kapasitas fiskal yang cukup dari pemerintah, untuk membiayai sarana dan prasarana
perkotaan
2.2 Urban Sprawl
Urban Sprawl merupakan hasil dari perpaduan beberapa faktor : godaan dari
lahan terbuka yang murah di luar kota, kemajuan dalam aspek transportasi, modal yang
tersedia mudah untuk membeli properti, munculnya pengembang real estate, produksi
perumahan massal, dan gambaran persepsi bahwa rumah keluarga tunggal sebagai
mimpi amerika.
Karakteristik Urban Sprawl :
- Perumahan berkepadatan rendah
- Terbatas ekstensi luar pembangunan baru
- Segregasi spasial dari berbagai jenis penggunaan lahan meskipun terbagai dalam
zonasi-zonasi
- Pengembangan yang melompat-lompat
- Tidak ada kepemilikan terpusat terhadap tanah atau perencanaan pengembangan
lahan
- Semua transportasi didominasi oleh kendaraan bermotor milik pribadi
- Fragmentasi kewenangan penggunaan lahan pemerintahan antara pemerintah lokal
- Variasi yang besar dalam kapasitas fiskal pemerintah daerah
- Meluasnya pembangunan jalur komersial di sepanjang jalan raya utama
- Ketergantungan yang besar pada proses penyaringan untuk menyediakan perumahan
bagi keluarga berpenghasilan rendah
2.3 Compact city paradox
Compact city paradox mengacu pada hubungan terbalik dari keberlanjutan kota
dan livability mereka (Wiersinga; 1997). Untuk kota yang dikatakan berkelanjutan
(sustainable), fungsi dan populasi harus terkonsentrasi dengan kepadatan yang lebih
tinggi. Namun untuk kota yang nyaman ditinggali (livability), fungsi dan populasi harus
tersebar pada kepadatan rendah.
Sebagai hasil perpaduan, dua hal yang saling bertentangan (compact form dan
sprawling form) cenderung merupakan akibat dari kebijakan yang bertentangan dan
investasi. Penyebaran, segregasi penduduk dan kegiatan terus menerus sebagai penduduk
atau pemilik bisnis dapat memilih mencari kualitas hidup yang lebih tinggi atau
keuntungan yang lebih tinggi di luar kota.
Salah satu cara untuk menyelesaikan paradox ini adalah dengan melihat compact
city sebagai sebuah sustainability. Meninggalkan aspek skala besar, analisis kuantitatif
dan komparatif. Sustainability telah muncul sebagai dasar bersama bagi wacana global
dan lokal dan politik. Ini adalah sebuah kategori pemikiran yang mengganti atau
mendefinisikan kembali kategori tua, pertumbuhan tersebut, kemajuan dan batas (Sachs,
1993; Daly, 1996)
2.4 Intellectual Traditions of Sustainability
Untuk protagonis, compact city merupakan respon fisik yang klasik untuk
masalah perkotaan, seperti konsumsi tanah di daerah pinggiran, sumber daya energi dan
limbah, polusi udara, aksesibilitas, dan segregasi sosial. Hal ini merupakan sinonim dari
kota yang sustainable.
Sustainable merupakan istilah yang luas, yang memiliki banyak makna.
Sustainable dapat dikatakan sebagai ide platonis, berkategori baik. Sebagai sebuah ide
baru, belum dapat digambarkan secara utuh, bagaimana sustainable itu. Hal ini dapat
disesuaikan, tanpa takut pertantangan, karena belum ada gambaran yang dapat diterima
tentang bagaimana menentukan secara persis dan membuatnya bekerja, meskipun salah
satu arti umum yang dapat diterima adalah keseimbangan di antara Equity, masalah
ekonomi dan lingkungan.
5 (lima) tradisi intelektual yang menarik dari sustainability:
1. Capacity (kapasitas)
Capacity mengacu pada daya dukung tempat untuk mendukung populasi makhluk
hidup. Hal ini dapat berupa makanan, air, tanah, dll
2. Fitness (ketahanan)
Fitness menyiratkan suatu proses evolusi yang ditandai dengan saling interaksi
antara spesies dan lingkungan. Ini adalah selat lokal yang berasal dari adaptions yang
merespon dengan konteks langsung.
3. Resilience (kemampuan)
Ketahanan menanggapi beberapa kekurangan dan kompleksitas teori fitness. Hal ini
didasarkan pada akomodasi antara organisme / masyarakat dan beberapa agen asing
untuk itu.
4. Diversity (keanekaragaman)
Diversity mengacu baik untuk berbagai anggota dalam sebuah komunitas dan
disposisi positif dari anggota dalam hubungannya dengan yang lain. Ini adalah
sebuah ide yang kuat, yang telah merumuskan kembali beberapa perdebatan tentang
kelestarian.
5. Balance (keseimbangan)
Balance mengacu pada menyeimbangkan lingkungan alam dengan pembangunan-
pembangunan oleh manusia.
2.5 Common Themes of Sustainability
Tema sustainable secara umum:
- Process. Process adalah hal paling sering muncul secara jelas dalam poin resilience
dan fitness, serta diversity dan balance.
- Healthy. Untuk mempertahankan ekosistem atau kota dalam jangka panjang perlu
mengasumsikan bahwa hal tersebut nantinya merupakan sesuatu yang sehat.
- Karakteristik place-specific conditions. Ini mengukur hubungan satu spesies atau
proses ke lokal tertentu.
- Interrelationship antara komponen sistem, adalah sebuah fitur untuk mendefinisikan
sustainable serta secara umum menyampaikan pendapat bahwa semua tradisi
intelektual dalam pengawasan.
Bahkan, empat tema umum (process, healthy, place-specific conditions dan
interrelationship), berhubungan erat dengan perencanaan kota komprehensif. Untuk
alasan ini, keberlanjutan yang inheren mencakup perencanaan kota dan menyediakan
dasar yang kuat untuk profesi yang bersangkutan dengan kota-kota. (Berke, 2000;
Campbell, 1996).
2.6 Sustainability and the Compact City
Apakah compact city menanggapi empat tema di atas untuk sustainable? Dalam
hal ini Michael Neuman berusaha untuk mengkaitkan empat tema di atas (process,
healthy, place-specific conditions dan interrelationship) dengan perencanaan atau
pengembangan kedepannya.
Beberapa pertanyaan di bawah merupakan kerangka tambahan untuk berpikir
lebih jauh.
- Apakah compact city merupakan place specific solution? Ini merupakan hal yang
baku, karena semua desain yang baik adalah spesifik pada konteks.
- Apakah compact city merupakan sebuah kota yang healthy? Kesehatan kota
ditentukan oleh banyak faktor. Hanya beberapa faktor yang dipengaruhi oleh
densitas atau kekompakan. Kecenderungannya, kota-kota padat tidak sehat. Asal
usul perencanaan kota modern berasal dari kritik yang menghancurkan dari
berkerumun kota di abad ke-19 th (Hall, 1988; Riis, 1890; Mearns, 1883).
- Apakah compact city memiliki persetujuan dengan interrelationship tersebut?
Sebagian. Perencanaan neotradisional tidak muncul dari kritik terhadap penggunaan
land use yang terpisah-pisah. Lalu urbanisme berusaha untuk membawa lebih dalam
dengan menggunakan pendekatan dan mixed di pusat-pusat kota, sehingga
memberikan pilihan-pilhan dan nyaman untuk di tinggali (livability).
2.7 Sustainability as a process : Raising the Level of the Game
Menurut Michael Neuman, tujuan artikel ini adalah untuk mengidentifikasi
kekeliruan mengenai compact city. Kekeliruan compact city ialah dengan menyatakan
bahwa pada compact city, bukanlah kondisi yang diperlukan atau cukup bagi sebuah
kota untuk dapat dikatakan sustainable dan bahwa upaya untuk membuat kota lebih
sustainable hanya dengan menggunakan bentuk strategi perkotaan merupakan pendapat
yang kontraproduktif.
Menurut Michael Neuman, tidak ada hal seperti kota yang sustainable. Kota-
kota selalu bergantung pada daerah-daerah pedalaman dan kota lainnya untuk makanan
dan perdagangan. Ukuran kota yang berkelanjutan (indikatornya) dapat diterapkan pada
sejumlah faktor antara lain lingkungan binaan ecological, sosial, ekonomi, sipil, fiskal,
dan infrastruktur. Jika kemunculan dan konvergensi dari sustainable menyarankan
bahwa kota adalah sebuah proses coevolutionary, maka ide dan faktor-faktor ideal dari
sebuah kota yang sustainable adalah salah satu hal yang layak bagi kita untuk dapat
berusaha mencapainya.
Selanjutnya yang perlu menjadi perhatian adalah pemasyarakatan budaya hidup
vertikal (vertical living culture) kepada masyarakat. Adanya anggapan bahwa kurang
berartinya hidup di rumah susun, apartemen, atau karena tidak terdapat kepemilikan tanah di
dalamnya, perlu segera dikikis. Masyarakat lemah akses, seperti para manula dan para miskin
juga harus mendapat prioritas bagi keberlangsungan hidup mereka secara lebih baik di
tengah-tengah kota. Sistem pembiayaan pembangunan yang berbeda berdasar kemampuan
masyarakat perlu menjadi prioritas pemikiran sebelum bertindak.
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), DKI Jakarta
Compact City adalah peningkatan densitas, intensitas, keberagaman aktivitas
(diversitas), peruntukan lahan campuran (mixed-use) sehingga terbentuk kawasan yang
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, peningkatan pencapaian (aksesibilitas) dengan
berjalan kaki dan bersepeda, penghematan energi pada transportasi umum dengan
mobilitas yang baik. Habitat menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan suatu
kawasan. Kawasan yang kompak di Sudirman Central Business District (SCBD), seluas
40 ha, belum menjadi contoh yang baik untuk konsep penataan ruang kota berkelanjutan
dengan konsep compact city. Namun sesuai dengan perencanaan tata ruang SCBD, di atas
kertas menunjukkan adanya usaha untuk mewujudkan kawasan ini sebagai percontohan
sustainable city dengan konsep perencanaan compact city. Dalam tinjauan kasus ini,
diskusi tentang penataan ruang kota/kawasan SCBD dibatasi pada perencanaan kawasan
saja dan dilengkapi dengan tinjauan umum beberapa bangunan eksisting.
Kawasan SCBD direncanakan dapat menampung kepadatan penduduk yang
tinggi, intensitas pemanfaatan lahan yang tinggi dan diisi dengan keberagaman aktivitas
yang tinggi pula. Dengan KLB maksimum 7 dan KDB 40%, kedua tujuan densitas dan
intensitas dapat tercapai. Kawasan ini terdiri dari berbagai fungsi antara lain apartemen
(hunian), perkantoran (tempat kerja), perdagangan/retail, lembaga keuangan, fasilitas
sosial dan keagamaan, dan rekreasi. Di masing-masing bangunan terdapat/dirancang
fasilitas yang disediakan bukan saja fungsi utama, tetapi selalu didukung dengan fasiltas
penunjang. Bahkan dalam beberapa bangunan seperti Ritz Carlton misalnya, adalah
gedung yang dapat menampung berbagai fungsi seperti hotel (hunian), pekerjaan
,perdagangan/retail dan rekreasi (mixed-use). Keberagaman aktifitas (diversitas) kawasan
SCBD merupakan bukti keinginan pengembang untuk mewujudkan konsep compact
city sebagai usaha mengoptimalkan ruang kota yang terbatas tetapi tetap mengedepankan
konsep keberlanjutan kota (sustainable city).
Mixed-use merupakan konsekuensi dari intensitas pemanfataan lahan yang tinggi
dan diversitas. Dari konsep kawasan pembangunan terpadu Sudirman yang menerapkan
konsep Superblok, dengan peruntukan lahan seluruh kawasan merupakan peruntukan
lahan campuran. Mixed-use adalah salah satu syarat untuk mewujudkan kawasan menjadi
kompak. Peruntukan lahan campuran dalam konsep compact city bertujuan agar kawasan
tersebut dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, tanpa peghuni harus bepergian jauh atau
menempuh jarak yang cukup jauh untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut pengelola
salah satu apartemen di kawasan ini, mengungkapkan bahwa 40% penghuni bekerja
dalam kawasan SCBD. Dengan demikian SCBD direncanakan sebagai city for living, and
working, memenuhi sebagian kriteria compact city.
Akibat penerapan konsep densitas, intensitas dan diversitas kawasan SCBD,
kawasan ini dapat mempersingkat perjalanan/perpindahan penghuni maupun pemakai
ruang kota ini. Kawasan SCBD dapat ditempuh dengan berjalan kaki yaitu maksimal 400
meter dan dapat ditempuh selama 5 – 10 menit dari pusat ke pinggiran kawasan atau
setidaknya ke halte transportasi umum. Kawasan ini, selain menyediakan fasilitas pejalan
kaki, juga menyediakan fasilitas bagi pengguna sepeda dengan aman dan nyaman.
Tersedia juga tranportasi umum sebagai alternatif sarana perpindahan manusia yang lebih
efisien di dalam kawasan ini. Ketiga moda transportasi ini dapat menurunkan pencemaran
udara dan efisiensi pemanfaatan energi sehingga tercipta kawasan yang walkable,
habitable dan comfortable. Namun kenyataannya saat ini, kawasan SCBD tidak dapat
menghindar dari penggunaan kendaraan pribadi secara massive, bahkan dalam waktu
tertentu telah menimbulkan kemacetan di kawasan ini. Hal ini dapat disebabkan tidak
sepenuhnya konsep compact city diterapkan mengacu kepada RUTR (keseluruhan kota
Jakarta atau sebaiknya) bahkan daerah yang lebih luas lagi yaitu Jabodetabek. Dari hasil
pengamatan di lapangan bahwa dalam ruang terbuka dan pedestrian, kegiatan yang
terjadih hanya necessary activities, dimana orang (pengguna jalan/ruang) memang harus
melakukan aktivitas tersebut atau hanya sekedar berlalu lalang. Belum ada atau sangat
sedikit sekali penggunaan ruang/jalan yang menyempatkan diri untuk melakukan optional
activities (berjalan-jalan, duduk atau melihat-lihat sekitar sembari menghirup udara
segar), apalagi yang melakukan aktivitas atau interaksi sosial. Sehingga tidak sepenuhnya
konsep dalam perencanaan terwujud dalam pembangunan fisik ruang kota.
3.2 Lippo Karawaci, Tangerang
Kota Lippo Karawaci merupakan sebuah kota mandiri yang dibangun pada tahun
1993 oleh Mochtar Riadi yang terletak 30 km sebelah barat kota Jakarta. Pada tahun itu
peresmian kota pertamanya, Lippo Village yang terdiri dari tiga bagian, yaitu Lippo
Village Utara (Wilayah Lippo paling pertama dan juga pusatnya perkotaan,Sekolah Pelita
Harapan, Benton Junction, dan fasilitas jalur sepeda),Lippo Village Timur(terdiri dari
perumahan dan ruko,letaknya terpisah dari Lippo Utara dan Barat), dan Lippo Village
Barat (Terdiri dari Rumah Sakit Siloam, Sekolah Atisa, perumahan, ruko dan akses ke
perkampungan).
Dengan konsep kota mandiri, kota Lippo Karawaci ingin membangun citra bahwa
kota ini dapat berdiri sendiri dengan adanya fasilitas- fasilitas dari fasilitas perumahan
hingga fasilitas komersil sehingga tidak perlu bergantung dengan kota besar seperti
Jakarta yang merupakan kota mandiri dimana semua fasilitas tersedia dan mendapat
sebutan 24 hour city dimana kegiatan tidak pernah berhenti dan banyak orang mengadu
peruntungan.
PERUMAHAN
KOMERSIAL & LAINNYA
APARTEMEN
APARTEMEN YANG AKAN DIBANGUN
LAPANGAN GOLF
Tabel 1 di bawah akan menjelaskan seberapa jauh kota Lippo Karawaci menerapkan
konsep compact city ke dalam desainnya
Aspek Pembangunan Acak
(Sprawl Development)
Compact City Strategy
(Anti-Sprawl Development)
Kepadatan
Pola pertumbuhan
Guna lahan
Skala
Layanan komunitas
Tipe komunitas
Transportasi
Disain jalan
Disain bangunan
Ruang publik
Biaya pembangunan
Proses perencanaan
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kota Lippo Karawaci menerapkan baik desain compact city
maupun urban sprawl.
Dari segi kepadatan, pada site plan tampak pembagian lahan banyak mengarah kepada
daerah landed housing dimana banyak terdapat perumahan yang dipasarkan yang terbagi
banyak komplek perumahan. Perumahan ini terletak pada hampir seluruh daerah kota.
Bangunan bertingkat dalam kasus ini adalah apartemen hanya ada beberapa yaitu Apartemen
Amartapura, kondominium Golf Karawaci, Dynaplast dan apartemen mahasiswa UPH yang
terletak di dalam lahan UPH.
Pola pertumbuhan kota Lippo Karawaci ditata dengan sangat baik oleh PT.LIPPO
KARAWACI Tbk. Dimulai dari tahun 1992, dimana peresmian kota pertamanya yaitu Lippo
Village berkembang menjadi suatu kawasan yang mencakup banyak fasilitas yang
mendukung kegiatan masyarakat di dalamnya. Sehingga dapat dikatakan tidak ada
pertumbuhan acak di kota Lippo Karawaci. Walaupun terdapat komplek perumahan yang
dapat dikatakan persentasenya sangat mendominasi dalam desain kotanya, namun komplek
perumahan ini direncanakan, ditata dengan baik dan memiliki nilai jual yang sangat tinggi.
Tata guna lahan kota Lippo pada bagian tengahnya memiliki aktivitas fungsi
komersial, pendidikan, rumah sakit, perkantoran, tempat ibadah dan juga perumahan,
sedangkan pada bagian agak ke barat memiliki fungsi perumahan dan perkantoran. Pada
bagian timur dan selatan hanya terdapat perumahan. Dilihat dari kondisi ini, Lippo Karawaci
pada bagian pusatnya memiliki fungsi yang sangat mixed-use dan sisanya memiliki tata guna
lahan yang lebih tersebar dan tampak homogen karena pada satu daerah hanya terdapat satu
fungsi saja yaitu perumahan.
Skala bangunan pada daerah perumahan dan komersil seperti Benton Junction
merupakan skala manusia karena hanya memiliki ketinggian maksimum 2 lantai, pada jalur
pedestrian terdapat lampu-lampu taman dan pepohonan rindang yang menyejukkan sehingga
para pejalan kaki merasa nyaman berjalan di sekitarnya.
Namun, pada daerah perkantoran dan apartemen skala bangunan menjadi besar karena
memiliki tinggi bangunan di atas 6 lantai sehingga memiliki kesan mewah, namun dalam
perancangannya tetap memperhatikan detail seperti jalur pedestrian.
Selain memiliki konsep kota mandiri,
konsep pengadaan bicycle way
merupakan salah satu konsep yang
dikedepankan oleh kota Lippo.
Orientasi transportasi pada kota Lippo
masih tertata dengan baik karena telah
dimasukkan dalam konsep desain. jalur
pedestrian memiliki ukuran yang lebar,
cukup untuk 2 pejalan kaki berpapasan
sehingga dapat dikatakan lebar pedestrian nyaman bagi pejalan kaki diperhatikan sehingga
para pengguna merasa nyaman melewatinya juga terdapat terminal bus yang terletak
bersebelahan dengan supermall Karawaci.
Namun jika dilihat dari segi komunitas, shopping mall dan fasilitas lainnya dapat
dikatakan berjauhan, karena peletakan/ pembagian aktivitas kawasan yang hampir semuanya
tampak tersebar dan homogen sehingga pada titik ini, pencapaian penduduk untuk menuju
pusat perbelanjaan sulit tanpa penggunaan kendaraan bermotor dimana pada kota ini
walaupun terdapat stasiun bus dan angkot, namun didominasi oleh penggunaan mobil pribadi.
Desain bangunan pada kota Lippo beragam seperti pada daerah perumahan, peletakan
bangunan tidak menempel pada jalan namun ditarik beberapa meter ke belakang sehingga
pada komplek perumahan terdapat taman dalam pada tiap rumah sedangkan pada daerah
komersil seperti Benton Junction dan supermall walaupun tidak langsung menempel pada
jalan ,namun GSB yang tersisa digunakan sebagai jalur pedestrian atau tempat parkir
pengunjung bahkan pada depan Benton Jucntion banyak terdapat parkir on-street pada saat
makan siang dan hari libur.
Tidak terdapat ruang terbuka bagi para penduduk untuk bersosialiasi baik pada daerah
perumahan maupun fungsi lainnya. Pada daerah perumahan walaupun terdapat jalur
pedestrian yang nyaman namun tidak terlihat ada banyak orang karena orang-orang banyak
menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai satu komplek ke komplek lainnya atau
bahkan menuju fungsi lainnya sehingga pada kota Lippo tidak menyediakan fasilitas ruang
terbuka kecuali yang ditawarkan oleh fungsi komersil seperti Benton Junction dimana
terdapat tempat duduk di café dimana tidak semua orang dapat memasuki kawasan tersebut
karena dikenakan biaya.
Pada budaya masyarakat Indonesia yang telah dibahas bahwa tinggal di bangunan
tingkat tinggi kurang diminati karena tidak terdapat kepemilikan tanah di dalamnya, perlu
segera dikikis, pada kasus ini diciptakan bangunan tinggi yang didesain secara mewah dan
memiiiki harga jual tinggi walaupun masih kalah dibandingkan dengan nilai jual tanah
perumahan. Namun karena memiliki harga jual tinggi, para pembeli hanyalah orang-orang
mampu dan orang-orang berekonomi lemah tetap tidak mendapat tempat sehingga kedudukan
mereka tetap terletak di pinggiran yang artinya tetap terjadi urban sprawl pada kawasan
tersebut karena para rakyat miskin membangun rumahnya secara acak.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari kedua studi kasus di atas dapat dikatakan bahwa Kota Summarecon Bekasi, dan
Kota Lippo dalam desainnya berusaha menciptakan kota mandiri dengan fokus kepada
kenyamanan pejalan kaki dan sepeda namun kenyataannya dalam pencapaiannya menuju
masing-masing fungsi kawasan sulit tanpa menggunakan kendaraan bermotor baik
menggunakan angkutan umum ataupun pribadi dan tetap terdapat kampung pada daerah
pinggiran kota yang bertentangan dengan konsep compact city.
Masalah perkotaan di Indonesia, khususnya di Jakarta, memerlukan konsep compact
city sebagai alternatif penataan ruang perkotaan yang berkelanjutan. Beberapa referensi
menyatakan compact city dapat menjawab solusi masalah keterbatasan lahan perkotaan
menyangkut densitas dan diversitas yang tinggi di daerah kota di Indonesia. Dengan konsep
ini diharapkan dapat memelihara keberlanjutan pembangunan baik dari aspek ekonomi,
sosial, danlingkungan sehingga generasi mendatang masih dapat terpenuhi kebutuhan hidup
mereka danbelajar dari kesalahan tata kota masa lalu. Kegagalan SCBD sebagai kawasan
yang menerapkan konsep compact city dapat diakibatkan oleh pembangunan yang sporadis di
beberapa kawasan kota Jakarta. Hal ini terjadi akibat tidak adanya low enforcement terhadap
pengembang yang mengembangkan/membangun kawasannya yang tidak sesuai dengan
RUTR.
Demikian pula ketidaksesuaian (ketidakberkesinambungan) antara RUTR DKI
Jakarta, sistem transportasi Jakarta, dan Jabodetabek dapat menyebabkan kegagalan
penerapan konsep compact city ini. Karena kawasan compact city seperti SCBD misalnya
hanyalah bagian dari kota Jakarta secara keseluruhan.
Jika konsep Compact City dapat diterapkan secara komprehensif di kota-kota besar di
Indonesia, khususnya kota Jakarta, dapat mengurangi pergerakan manusia (jarak perjalanan),
sehingga mengurangi kemacetan lalu lintas, mengurangi produksi gas emisi, mengurangi
energi, menambah ruang terbuka hijau, dan menambah oksigen. Sehingga konsep compact
city menjadi alternatif penataan ruang perkotaan yang berkelanjutan.
Adanya konsep TOD, Compact City, Smart Growth, New Urbanism, merupakan
pelajaran berharga bagi pembangunan perkotaan di Indonesia. Melalui konsep-konsep
tersebut diharapkan kota-kota dapat memecahkan berbagai permasalahan perkotaan yang
dihadapi. Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip dari keempat konsep tersebut tidak selamanya
cocok untuk diterapkan di kota-kota di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar
belakang lahirnya konsep-konsep tersebut yang cenderung lahir dari negara maju yang
memiliki bentuk dan sosiologi kemasyarakatan yang berbeda dengan di Indonesia. Mereka
menciptkan konsep tersebut disebabkan karena menginginkan suasana permukiman yang
nyaman dan humanis. Dalam hal ini, kenyamanan tidak hanya terbatas pada bentuk fisik
bangunan dan lingkungan, akan tetapi suasana keramahtamahan antar masyarakat setempat.
Sehingga dalam membangun kota perlu diingat agar jangan sampai hasil pembangunan
tersebut nantinya malah merusak keramahtamahan masyarakat Indonesia (misalnya dengan
pembangunan superblock).
Syarat utama keberhasilan penerapan Compact City di perkotaan adalah adanya
transportasi umum yang aksesibel, nyaman, aman dan harga terjangkau. Ke depan, hal ini
perlu dipikirkan dan diwujudkan sehingga simpul-simpul permukiman mix used dapat
terhubung satu sama lain. Terhubung disini tidak diartikan sebagai ‘jalan yang terkoneksi
dengan kendaraan pribadi’, akan tetapi lebih diartikan sebagai bentuk riil, bahwa dalam
menuju suatu lokasi tersebut, masyarakat lebih memilih dengan menggunakan transportasi
umum daripada transportasi pribadi.
Paradigma pembangunan tata ruang kota berkelanjutan dengan ide utama seperti
perwujudan kota kompak terlihat semakin menjadi kebutuhan tak terpisahkan dalam
pembangunan kota-kota di dunia dewasa ini. Hal ini bisa dilihat dari pemanfaatan ide ini
yang tidak saja diterapkan di negara maju, tetapi telah pula merambah negara-negara
berkembang. Namun begitu, apakah model kota ini akan menjadi solusi jitu masa depan tata
ruang kota tampaknya juga memerlukan pembuktian lebih jauh, meskipun ada indikasi awal
bahwa penerapan kebijakan ini relevan bagi kota-kota yang telah mencoba menerapkannya.
Hal ini disebabkan penerapan model kota kompak ini masih sangat terbatas (model
availability) dan memerlukan waktu yang cukup panjang (long term observation), maka perlu
kehati-hatian untuk mendiskusikan implikasi hasilnya.
Penerapan kebijakan kota kompak ini pun tak bisa dipisahkan dari karakter masing-
masing kota. Meskipun bertujuan sama, belum tentu kota satu dan lainnya mempunyai hasil
yang sama dalam pengimplementasian sebuah kebijakan yang sama. Setiap kota adalah
organisme yang spesifik dengan karakter yang spesifik pula. Upaya penerapan kebijakan ini
memerlukan sebuah kajian mendalam dan panjang. Selain untuk mensimulasikan kebijakan-
kebijakan yang tepat, upaya ini juga dalam rangka memperkecil dampak negatif yang bisa
ditimbulkan oleh sebuah model kota kompak.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Dantzig G.B,; Saaty T.L.,(1973) Compact City: A Plan for A Liveable Urban Environment,
WH Freeman and Company San Francisco,US.
Jenks, M.; Burgess, R., eds. (2000) Compact Cities: Sustainable Urban Forms for
Developing Countries, E & FN Spon, London.
Jenks, M.; Burton, E.; Williams, K., eds. (1996) The Compact City: A Sustainable Urban
Form?, E & FN Spon, London
Roychansyah, M. S., Ishizaka, K., Omi, T. (2003) A Study on New Urbanism: Learning from
Japanese Urban Conditions and Its Issues, dalam Proceedings of International Symposium
on City Planning, Sapporo, August 2003
Roychansyah, M.S. (2005), A Study on Characterizing and Evaluating Cities toward
Implementations of Compact City Strategy (Konpakuto Shiti Senryaku no Kanten kara no
Toshi Tokusei no Haaku to Hyouka ni Kansuru Kenkyuu), Disertasi Doktor di Universitas
Tohoku, Sendai.