Upload
bramantiyo-marjuki
View
134
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN, PUSAT PELAYANAN, INTERAKSI KERUANGAN
ANTAR WILAYAH DAN KAJIAN PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH
KAWASAN AGLOMERASI PERKOTAAN YOGYAKARTA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metode Analisis Perencanaan dan Pembangunan
Dosen Pengampu
Dr. Yudi Basuki, ST, MT.
Disusun oleh :
BRAMANTIYO MARJUKI
21040116410036
PROGRAM STUDI
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
I. PENDAHULUAN
Tugas Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan yang diberikan adalah (1) Membuat Hirarki
Pusat Pelayanan menggunakan Metode Rank Size Rule, Skalogram Guttman dan Indeks Sentralitas
Marshall; (2) Membuat analisis interaksi keruangan menggunakan salah satu dari beberapa metode
interaksi keruangan seperti Model Gravitasi, Titik Henti, Grafis, dan Aliran Komoditas; dan (3)
Membuat kajian ekonomi wilayah yang dikaitkan dengan interaksi keruangan.
Area yang menjadi kajian adalah kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY) yang telah
ditetapkan menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN) sesuai dengan PERDA DIY Nomor 2 Tahun 2011.
Kawasan APY terdiri dari Kota Yogyakarta sebagai inti dan beberapa kecamatan di sekitarnya seperti
Kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan di wilayah Kabupaten Bantul, serta Kecamatan Depok,
Gamping, Mlati, Ngemplak, Ngaglik di wilayah Kabupaten Sleman (Gambar 1). Unit analisis yang
digunakan adalah kecamatan, untuk itu apabila terdapat data sekunder yang digunakan sampai level
desa, maka data tersebut akan diagregrasikan ke level kecamatan.
Gambar 1. Peta Administrasi Kecamatan Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta
Analisis yang dilakukan meliputi (1) Penentuan Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan
menggunakan metode Rank Size Rule, Skalogram Guttman dan Indeks Sentralitas Marshall; (2)
Penentuan interaksi keruangan antar kecamatan menggunakan Teori Grafik Kansky; (3) Kajian
ekonomi wilayah menggunakan Model Location Quotient dan Model Shift-Share.
II. ANALISIS PUSAT PERTUMBUHAN DAN PELAYANAN
II.1 Deskripsi Sumber Data Yang Digunakan
Untuk pelaksanaan tugas pembuatan hirarki pusat pertumbuhan dan pelayanan, data yang
digunakan adalah publikasi Data Demografi Indonesia terbaru yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (DUKCAPIL) yang dapat diakses secara publik dari alamat
website http://gis.dukcapil.kemendagri.go.id/peta/ (Gambar 2). Data yang dipublikasikan dalam
bentuk layanan peta online dalam satuan desa sampai tahun 2015. Data yang tersedia meliputi data
luas wilayah, kependudukan (dibagi menurut jumlah, kepadatan, agama, jenis kelamin, status
perkawinan, dan kelompok usia dan lain-lain), data jumlah fasilitas umum per desa (meliputi fasilitas
pendidikan, kesehatan, HANKAM, peribadahan, dan pemerintahan).
Gambar 2. Layanan Data Kependudukan dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri
II.2 Tabulasi Data Jumlah Penduduk
Data jumlah penduduk yang diperoleh dari layanan data DUKCAPIL dari Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri disusun menurut desa, karena analisis
yang dilakukan menggunakan satuan kecamatan, maka data tingkat desa dijumlahkan/summarized
pada tingkat kecamatan. Hasil penjumlahan untuk lokasi kajian APY direkapitukasi dalam tabel 1 di
bawah ini. Data dalam Tabel 1 diurutkan menurut Kabupaten/Kota, dengan jumlah penduduk tertinggi
adalah Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, dan jumlah penduduk terendah adalah Kecamatan
Pakualaman Kota Yogyakarta.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Per Kecamatan di Kawasan APY
(Sumber : DUKCAPIL KEMENDAGRI, 2015)
Kecamatan Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Tahun 2015
BANGUNTAPAN BANTUL 105.568
KASIHAN BANTUL 97.796
SEWON BANTUL 95.530
DANUREJAN KOTA YOGYAKARTA 21.401
GEDONGTENGEN KOTA YOGYAKARTA 20.796
GONDOKUSUMAN KOTA YOGYAKARTA 41.603
GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA 15.186
JETIS KOTA YOGYAKARTA 27.609
KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA 32.635
KRATON KOTA YOGYAKARTA 22.034
MANTRIJERON KOTA YOGYAKARTA 34.673
MERGANGSAN KOTA YOGYAKARTA 31.774
NGAMPILAN KOTA YOGYAKARTA 18.711
PAKUALAMAN KOTA YOGYAKARTA 10.644
TEGALREJO KOTA YOGYAKARTA 36.478
UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA 66.961
WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA 27.516
DEPOK SLEMAN 129.130
GAMPING SLEMAN 93.558
MLATI SLEMAN 93.451
NGAGLIK SLEMAN 98.799
NGEMPLAK SLEMAN 59.624
II.3 Hirarki Pusat Pertumbuhan Metode Rank Size Rule
Penentuan pusat pelayanan metode Rank Size Rule dirumuskan seperti di bawah ini.
Sebelum melakukan klasifikasi orde, definisi batas kelas per orde harus ditentukan terlebih dahulu.
Untuk itu, sesuai dengan aturan dari prinsip Rank Size Rule, dilakukan pendefinisian batas kelas untuk
orde 1 dengan mengambil acuan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar (yang dalam hal ini
adalah Kecamatan Depok sebesar 129.130 jiwa) dibagi dengan nilai orde kota pertama. Kemudian
untuk menentukan batas orde kedua, jumlah penduduk terbesar dibagi dua. Sedangkan untuk orde
ketiga, jumlah penduduk terbesar dibagi tiga dan seterusnya. Hasil proses klasifikasi batas kelas per
orde direkapitulasi di Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Batas Orde Pusat Pertumbuhan Metode Rank Size Rule
Orde Pusat Pertumbuhan Jumlah Penduduk
(metode Rank Size Rule, Pn= P1/Rn)
I 129.130
II 64.565
III 43.043
IV 32.283
V 25.826
VI 21.522
VII 18.447
VIII 16.141
IX 14.348
X 12.913
XI 11.739
XII 10.761
XIII 9.933
Hasil pendifinisian batas kelas pada Tabel 2 kemudian diimplementasikan pada Tabel 1 yang
menghasilkan orde pusat pelayanan per kecamatan yang direkapitulasi dalam Tabel 3. Untuk lebih
memberikan gambaran sebaran orde pusat pertumbuhan secara spasial, hasil kalkulasi diplotkan ke
dalam peta yang disajikan pada Gambar 3.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Orde Pusat Pertumbuhan Metode Rank Size Rule Kecamatan di Kawasan APY
Kecamatan Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Tahun 2015 Orde Pusat Pelayanan
DEPOK SLEMAN 129.130 I
BANGUNTAPAN BANTUL 105.568 I
NGAGLIK SLEMAN 98.799 I
KASIHAN BANTUL 97.796 I
SEWON BANTUL 95.530 I
GAMPING SLEMAN 93.558 I
MLATI SLEMAN 93.451 I
UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA 66.961 I
NGEMPLAK SLEMAN 59.624 II
GONDOKUSUMAN KOTA YOGYAKARTA 41.603 III
TEGALREJO KOTA YOGYAKARTA 36.478 III
MANTRIJERON KOTA YOGYAKARTA 34.673 III
KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA 32.635 III
MERGANGSAN KOTA YOGYAKARTA 31.774 IV
JETIS KOTA YOGYAKARTA 27.609 IV
WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA 27.516 IV
KRATON KOTA YOGYAKARTA 22.034 V
DANUREJAN KOTA YOGYAKARTA 21.401 VI
GEDONGTENGEN KOTA YOGYAKARTA 20.796 VI
NGAMPILAN KOTA YOGYAKARTA 18.711 VI
GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA 15.186 VIII
PAKUALAMAN KOTA YOGYAKARTA 10.644 XII
Gambar 3. Peta Orde Pusat Pelayanan Metode Rank Size Rule per Kecamatan di Kawasan APY
II.4 Hirarki Pusat Pelayanan Metode Skalogram Guttman
Sebelum dilakukan analisis pusat pelayanan berdasarkan keberadaan dan jumlah fasilitas
umum di Kawasan APY, terlebih dulu ditentukan jenis fasilitas yang akan dilibatkan dalam analisis,
yang dirangkum dalam Tabel 4. Sumber data yang fasilitas yang digunakan merupakan sumber data
yang sama dengan data jumlah penduduk, yaitu dari layanan DUKCAPIL Online yang dipublikasikan
oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri Tahun 2015.
Data yang diperoleh adalah titik lokasi fasilitas (Gambar 4) yang nantinya di rekapitulasi per
kecamatan.
Tabel 4. Jenis Fasilitas Yang Dianalisis
Jenis Fasilitas Nama Fasilitas
Pendidikan PAUD
TK
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Kesehatan Posyandu
Puskesmas
Rumah Bersalin
Rumah Sakit
Ibadah Masjid
Gereja
Wihara
Keamanan Kantor Polisi
Gambar 4. Peta Sebaran Fasilitas Umum di Kawasan APY
Langkah kedua dari pembuatan skalogram adalah mentabulasikan jumlah fasilitas yang ada di
setiap kecamatan sesuai dengan jenisnya yang hasilnya disajikan pada Tabel 5. Selanjutnya, hasil
tabulasi pada Tabel 5 diurutkan ulang kolom urutan fasilitas berdasarkan jumlah fasilitas umum yang
ada. Hasil pengurutan ulang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 5.
Hasil Tabulasi Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan
No. Kecamatan
PA
UD
TK
SD
SMP
SMA
PT
Po
syan
d
u
Pu
ske
sm
as
RSB
RS
Mas
jid
Ge
reja
Wih
ara
Kan
tor
Po
lisi
Jumlah
1 DEPOK 4 22 14 5 8 12 1 1 0 5 117 6 0 3 198
2 BANGUNTAPAN 1 6 14 5 3 10 0 2 0 2 53 2 0 1 99
3 NGAGLIK 8 15 29 6 8 5 1 2 0 2 163 6 0 1 246
4 KASIHAN 1 13 19 6 4 5 1 2 1 1 37 0 0 2 92
5 SEWON 0 5 12 1 3 2 0 3 0 2 20 0 0 2 50
6 GAMPING 5 26 25 5 6 3 0 3 1 4 130 5 0 1 214
7 MLATI 7 24 32 8 6 5 2 3 2 2 100 5 0 1 197
8 UMBULHARJO 2 19 35 12 17 16 0 3 0 4 73 3 1 1 186
9 NGEMPLAK 8 16 21 7 3 3 5 4 0 1 154 2 0 1 225
10 GONDOKUSUMAN 3 17 22 14 15 8 0 1 1 4 59 14 0 6 164
11 TEGALREJO 1 11 15 3 7 3 0 3 0 1 26 8 0 2 80
12 MANTRIJERON 1 7 9 4 8 4 0 1 0 0 11 5 0 2 52
13 KOTAGEDE 0 6 11 1 5 1 0 2 2 0 20 0 0 1 49
14 MERGANGSAN 2 16 14 5 5 6 0 2 2 0 31 6 0 2 91
15 JETIS 3 6 14 6 11 5 1 1 0 0 15 8 1 2 73
16 WIROBRAJAN 0 3 12 4 6 2 0 1 1 2 14 5 0 2 52
17 KRATON 2 4 4 3 2 1 2 0 0 1 15 0 0 1 35
18 DANUREJAN 1 5 8 4 1 1 0 2 0 0 6 2 0 1 31
19 GEDONGTENGEN 0 2 7 2 3 3 0 1 0 0 9 6 1 3 37
20 NGAMPILAN 0 0 7 2 3 2 0 0 0 0 5 2 0 1 22
21 GONDOMANAN 2 3 8 2 3 0 2 1 0 1 10 5 2 3 42
22 PAKUALAMAN 0 2 4 2 3 2 0 1 1 2 5 0 0 3 25
Jumlah 51 228 336 107 130 99 15 39 11 34 1073 91 5 42
Tabel 6. Hasil Pengurutan Berdasarkan Jumlah Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan
No. Kecamatan
Mas
jid
SD
TK
SMA
SMP
PT
Ge
reja
PA
UD
Kan
tor
Po
lisi
Pu
ske
smas
RS
Po
syan
du
RSB
Wih
ara
Jumlah
1 DEPOK 117 14 22 8 5 12 6 4 3 1 5 1 0 0 198
2 BANGUNTAPAN 53 14 6 3 5 10 2 1 1 2 2 0 0 0 99
3 NGAGLIK 163 29 15 8 6 5 6 8 1 2 2 1 0 0 246
4 KASIHAN 37 19 13 4 6 5 0 1 2 2 1 1 1 0 92
5 SEWON 20 12 5 3 1 2 0 0 2 3 2 0 0 0 50
6 GAMPING 130 25 26 6 5 3 5 5 1 3 4 0 1 0 214
7 MLATI 100 32 24 6 8 5 5 7 1 3 2 2 2 0 197
8 UMBULHARJO 73 35 19 17 12 16 3 2 1 3 4 0 0 1 186
9 NGEMPLAK 154 21 16 3 7 3 2 8 1 4 1 5 0 0 225
10 GONDOKUSUMAN 59 22 17 15 14 8 14 3 6 1 4 0 1 0 164
11 TEGALREJO 26 15 11 7 3 3 8 1 2 3 1 0 0 0 80
12 MANTRIJERON 11 9 7 8 4 4 5 1 2 1 0 0 0 0 52
13 KOTAGEDE 20 11 6 5 1 1 0 0 1 2 0 0 2 0 49
14 MERGANGSAN 31 14 16 5 5 6 6 2 2 2 0 0 2 0 91
15 JETIS 15 14 6 11 6 5 8 3 2 1 0 1 0 1 73
16 WIROBRAJAN 14 12 3 6 4 2 5 0 2 1 2 0 1 0 52
17 KRATON 15 4 4 2 3 1 0 2 1 0 1 2 0 0 35
18 DANUREJAN 6 8 5 1 4 1 2 1 1 2 0 0 0 0 31
19 GEDONGTENGEN 9 7 2 3 2 3 6 0 3 1 0 0 0 1 37
20 NGAMPILAN 5 7 0 3 2 2 2 0 1 0 0 0 0 0 22
21 GONDOMANAN 10 8 3 3 2 0 5 2 3 1 1 2 0 2 42
22 PAKUALAMAN 5 4 2 3 2 2 0 0 3 1 2 0 1 0 25
Jumlah 1073 336 228 130 107 99 91 51 42 39 34 15 11 5
Hasil dari pengurutan ulang kemudian dibuat indeks Present Absent dimana untuk kecamatan
yang mempunyai fasilitas diberi nilai 1 dan yang tidak mempunyai fasiitas diberi nilai 0. Hasil dari
pembuatan indeks disajikan pada Tabel 7.
Lanjutan Tabel…..
Tabel 7. Indeks Present Absent Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan
No
. Kecamatan
Mas
jid
SD
SMA
SMP
Kan
tor
Po
lisi
TK
PT
Pu
ske
smas
Ger
eja
PA
UD
RS
Po
syan
du
RSB
Wih
ara
Jum
lah
Erro
r
1 MLATI 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 13 0
2 DEPOK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 0
3 NGAGLIK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 0
4 KASIHAN 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 12 2
5 GAMPING 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 12 2
6 UMBULHARJO 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 12 2
7 NGEMPLAK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 0
8 GONDOKUSUMAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 12 2
9 JETIS 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 12 2
10 GONDOMANAN 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 12 2
11 BANGUNTAPAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 11 0
12 TEGALREJO 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 11 0
13 MERGANGSAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 11 2
14 WIROBRAJAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 11 2
15 MANTRIJERON 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 10 0
16 KRATON 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 10 4
17 DANUREJAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 10 0
18 GEDONGTENGEN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 10 2
19 PAKUALAMAN 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 10 4
20 SEWON 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 9 2
21 KOTAGEDE 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 9 2
22 NGAMPILAN 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 7 2
Jumlah 22 22 22 22 22 21 21 20 17 16 15 8 8 4 240 32
Hasil skalogram pada Tabel 7 kemudian dihitung nilai COR (Coefficient of Reproductibility),
dimana nilai COR ini akan menentukan apakah analisis lebih lanjut terhadap hasil skalogram bisa
dilakukan. Agar bisa dilanjutkan, nilai COR dari skalogram minimal adalah ≥ 0,9 . Adapun rumus
perhitungan COR adalah sebagai berikut:
Dengan demikian, maka hasil perhitungan untuk skalogram Tabel 7 adalah:
COR = 1 – (32/22*14)
= 0,8961
COR = 1 - Jumlah Kesalahan .
Jumlah Wilayah x Jumlah Fasilitas
Dengan nilai COR sebesar 0,8961 maka analisis lebih lanjut tidak dapat dilakukan. Namun demikian
untuk mengetahui bagaimana kehandalan dari metode Skalogram ini, maka akan dicoba dibuat
gambaran hasil pembuatan pusat pelayanan menggunakan skalogram. Tahap selanjutnya, jika nilai
COR memenuhi syarat adalah menentukan jumlah orde menggunakan rumus Sturgess. Hasil kalkulasi
dengan rumus Sturgess menghasilkan sebanyak 5 orde. Setelah jumlah orde diperoleh, langkah
selanjutnya adalah penentuan interval kelas setiap orde. Rincian perhitungan jumlah dan interval orde
diuraikan seperti di bawah ini.
Jumlah Orde = 1+3,3 Log n
= 1+3,3 Log 22
= 5,429
= 5
= (13 – 7) / 5
= 1,2
Pembagian Orde = Orde I = > 11,8
Orde II = 10,6 – 11,8
Orde III = 9,4 – 10,6
Orde IV = 8,2 – 9,4
Orde V = < 8,2
Hasil klasifikasi orde kemudian diterapkan pada setiap kecamatan dan gambaran hasil yang diperoleh
disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 5.
Tabel 8. Hasil Penentuan Orde Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan di Kawasan APY
No. Kecamatan
Mas
jid
SD
SMA
SMP
Kan
tor
Po
lisi
TK
PT
Pu
ske
smas
Ge
reja
PA
UD
RS
Po
syan
du
RSB
Wih
ara
Jum
lah
OR
DE
1 MLATI 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 13 I
2 DEPOK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 I
3 NGAGLIK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 I
4 KASIHAN 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 12 I
5 GAMPING 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 12 I
6 UMBULHARJO 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 12 I
7 NGEMPLAK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 I
8 GONDOKUSUMAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 12 I
9 JETIS 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 12 I
Panjang Interval = Jumlah Fasilitas Tertinggi - Jumlah Fasilitas Terendah Banyaknya Orde
10 GONDOMANAN 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 12 I
11 BANGUNTAPAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 11 II
12 TEGALREJO 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 11 II
13 MERGANGSAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 11 II
14 WIROBRAJAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 11 II
15 MANTRIJERON 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 10 III
16 KRATON 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 10 III
17 DANUREJAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 10 III
18 GEDONGTENGEN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 10 III
19 PAKUALAMAN 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 10 III
20 SEWON 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 9 IV
21 KOTAGEDE 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 9 IV
22 NGAMPILAN 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 7 V
Jumlah 22 22 22 22 22 21 21 20 17 16 15 8 8 4 240
Gambar 5. Peta Orde Pusat Pelayanan Metode Skalogram Guttman per Kecamatan di Kawasan APY
II.5 Hirarki Pusat Pelayanan Metode Indeks Sentralitas Marshall
Indeks sentralitas digunakan untuk menilai kemampuan pusat pelayanan dengan dasar dari
hasil analisis Skalogram Guttman. Tahapan pertama dari pembuatan indeks sentralitas adalah
membuat nilai sentralitasnya (bobot) dengan rumus:
NS = 100
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑎𝑠𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠
Lanjutan Tabel…..
Hasil dari perhitungan Nilai Sentralitas (bobot) disajikan pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9. Hasil Perhitungan Nilai Sentralitas Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan di Kawasan APY
No. Kecamatan
Mas
jid
SD
TK
SMA
SMP
PT
Ge
reja
PA
UD
Kan
tor
Po
lisi
Pu
ske
smas
RS
Po
syan
du
RSB
Wih
ara
1 DEPOK 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
2 BANGUNTAPAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
3 NGAGLIK 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
4 KASIHAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
5 SEWON 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
6 GAMPING 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
7 MLATI 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
8 UMBULHARJO 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
9 NGEMPLAK 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
10 GONDOKUSUMAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
11 TEGALREJO 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
12 MANTRIJERON 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
13 KOTAGEDE 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
14 MERGANGSAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
15 JETIS 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
16 WIROBRAJAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
17 KRATON 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
18 DANUREJAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
19 GEDONGTENGEN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
20 NGAMPILAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
21 GONDOMANAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
22 PAKUALAMAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00
Hasil perhitungan nilai sentralitas atau bobot ini kemudian dikalikan dengan jumlah fasilitas untuk
mendapatkan Indeks sentralitasnya. Hasil perhitungan indeks sentralitas disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Perhitungan Indeks Sentralitas Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan
No. Kecamatan
Mas
jid
SD
TK
SMA
SMP
PT
Ge
reja
PA
UD
Kan
tor
Po
lisi
Pu
ske
smas
RS
Po
syan
du
RSB
Wih
ara
Jumlah
1 DEPOK 10.90 4.17 9.65 6.15 4.67 12.12 6.67 7.84 7.14 2.56 14.71 6.67 0.00 0.00 93.26
2 BANGUNTAPAN 4.94 4.17 2.63 2.31 4.67 10.10 2.22 1.96 2.38 5.13 5.88 0.00 0.00 0.00 46.39
3 NGAGLIK 15.19 8.63 6.58 6.15 5.61 5.05 6.67 15.69 2.38 5.13 5.88 6.67 0.00 0.00 89.62
4 KASIHAN 3.45 5.65 5.70 3.08 5.61 5.05 0.00 1.96 4.76 5.13 2.94 6.67 9.09 0.00 59.09
5 SEWON 1.86 3.57 2.19 2.31 0.93 2.02 0.00 0.00 4.76 7.69 5.88 0.00 0.00 0.00 31.23
6 GAMPING 12.12 7.44 11.40 4.62 4.67 3.03 5.56 9.80 2.38 7.69 11.76 0.00 9.09 0.00 89.57
7 MLATI 9.32 9.52 10.53 4.62 7.48 5.05 5.56 13.73 2.38 7.69 5.88 13.33 18.18 0.00 113.26
8 UMBULHARJO 6.80 10.42 8.33 13.08 11.21 16.16 3.33 3.92 2.38 7.69 11.76 0.00 0.00 20.00 115.10
9 NGEMPLAK 14.35 6.25 7.02 2.31 6.54 3.03 2.22 15.69 2.38 10.26 2.94 33.33 0.00 0.00 106.32
10 GONDOKUSUMAN 5.50 6.55 7.46 11.54 13.08 8.08 15.56 5.88 14.29 2.56 11.76 0.00 9.09 0.00 111.35
11 TEGALREJO 2.42 4.46 4.82 5.38 2.80 3.03 8.89 1.96 4.76 7.69 2.94 0.00 0.00 0.00 49.18
12 MANTRIJERON 1.03 2.68 3.07 6.15 3.74 4.04 5.56 1.96 4.76 2.56 0.00 0.00 0.00 0.00 35.55
13 KOTAGEDE 1.86 3.27 2.63 3.85 0.93 1.01 0.00 0.00 2.38 5.13 0.00 0.00 18.18 0.00 39.25
14 MERGANGSAN 2.89 4.17 7.02 3.85 4.67 6.06 6.67 3.92 4.76 5.13 0.00 0.00 18.18 0.00 67.31
15 JETIS 1.40 4.17 2.63 8.46 5.61 5.05 8.89 5.88 4.76 2.56 0.00 6.67 0.00 20.00 76.08
16 WIROBRAJAN 1.30 3.57 1.32 4.62 3.74 2.02 5.56 0.00 4.76 2.56 5.88 0.00 9.09 0.00 44.42
17 KRATON 1.40 1.19 1.75 1.54 2.80 1.01 0.00 3.92 2.38 0.00 2.94 13.33 0.00 0.00 32.27
18 DANUREJAN 0.56 2.38 2.19 0.77 3.74 1.01 2.22 1.96 2.38 5.13 0.00 0.00 0.00 0.00 22.34
19 GEDONGTENGEN 0.84 2.08 0.88 2.31 1.87 3.03 6.67 0.00 7.14 2.56 0.00 0.00 0.00 20.00 47.38
20 NGAMPILAN 0.47 2.08 0.00 2.31 1.87 2.02 2.22 0.00 2.38 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.35
21 GONDOMANAN 0.93 2.38 1.32 2.31 1.87 0.00 5.56 3.92 7.14 2.56 2.94 13.33 0.00 40.00 84.26
22 PAKUALAMAN 0.47 1.19 0.88 2.31 1.87 2.02 0.00 0.00 7.14 2.56 5.88 0.00 9.09 0.00 33.41
Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Untuk perhitungan jumlah orde, digunakan hasil perhitungan pada hasil perhitungan Rumus Sturgess
pada Sub bab II.4 tentang analisis skalogram, dimana dari hasil perhitungan diperoleh orde sebanyak
5 Orde. Langkah berikutnya adalah penentuan batas kelas (range) tiap orde. Perhitungan batas kelas
menggunakan rumus :
= (115,1 – 13,35) / 5
= 20,35
Pembagian Orde = Orde I = 94,75 – 115,1
Orde II = 74,4 – 94,75
Orde III = 54,05 – 74,4
Orde IV = 33,7 – 54,05
Orde V = 13,35 – 33,7
Hasil penentuan orde kemudian diterapkan pada setiap kecamatan sesuai dengan nilai Indeks
Sentralitasnya, dan hasil perhitungan yang diperoleh disajikan pada Tabel 11 dan Gambar 6.
Tabel 11. Hasil Penentuan Orde Metode Indeks Sentralitas Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan di Kawasan APY
No. Kecamatan Jumlah IS Orde
1 UMBULHARJO 115.10 I
2 MLATI 113.26 I
3 GONDOKUSUMAN 111.35 I
4 NGEMPLAK 106.32 I
5 DEPOK 93.26 II
6 NGAGLIK 89.62 II
7 GAMPING 89.57 II
8 GONDOMANAN 84.26 II
Panjang Interval = IS Tertinggi - IS Terendah Banyaknya Orde
Lanjutan Tabel…..
9 JETIS 76.08 II
10 MERGANGSAN 67.31 III
11 KASIHAN 59.09 III
12 TEGALREJO 49.18 IV
13 GEDONGTENGEN 47.38 IV
14 BANGUNTAPAN 46.39 IV
15 WIROBRAJAN 44.42 IV
16 KOTAGEDE 39.25 IV
17 MANTRIJERON 35.55 IV
18 PAKUALAMAN 33.41 V
19 KRATON 32.27 V
20 SEWON 31.23 V
21 DANUREJAN 22.34 V
22 NGAMPILAN 13.35 V
Gambar 6. Peta Orde Pusat Pelayanan Metode Indeks Sentralitas Marshall per Kecamatan di Kawasan APY
II.6 Analisis dan Perbandingan
Hasil yang diperoleh dari analisis pusat pertumbuhan Rank Size Rule memberikan 13 orde
pusat pertumbuhan. Namun demikian, tidak semua kecamatan masuk ke dalam setiap orde. Hasil yang
diperoleh menunjukkan hanya 8 orde yang terisi. Dilihat dari persebaran penduduk Tahun 2015 di
berbagai kecamatan yang terkelaskan ke berbagai orde dan pengamatan visualisasi peta pada Gambar
3, semua kecamatan di Kabupaten Sleman dan Bantul yang termasuk dalam kawasan Urban Fringe
Lanjutan Tabel…..
Yogyakarta mempunyai jumlah penduduk yang lebih besar (yang nampak dari orde yang lebih tinggi)
daripada kecamatan yang berada di dalam kota. Kecamatan Depok Kabupaten Sleman merupakan
kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar, kemudian diikuti Kecamatan Banguntapan Kabupaten
Bantul, dan berikutnya kecamatan lain di Sleman dan Bantul yang termasuk dalam Kawasan APY.
Kecamatan di Kota Yogyakarta yang masuk dalam Pusat Pertumbuhan Orde I hanya Kecamatan
Umbulharjo yang merupakan kecamatan dengan luas wilayah terbesar di Kota Yogyakarta. Jumlah
penduduk yang lebih besar di kecamatan - kecamatan pinggiran ini mungkin dipengaruhi oleh luas
wilayah yang memang lebih besar daripada kecamatan di dalam kota (lihat peta hasis analisis pada
Gambar 3), namun bisa juga disebabkan adanya pertumbuhan penduduk yang masif dalam tahun –
tahun terakhir (perlu data dan kajian lebih lanjut untuk memverifikasi dugaan ini). Fakta ini sekaligus
membuktikan penyebaran penduduk di Kawasan APY pada Tahun 2015 sudah merata ke seluruh
kawasan. Hasil analisis ini juga memberikan ruang untuk melakukan inferensi bahwa saat ini
ketersediaan lahan untuk permukiman di Kota Yogyakarta sudah jenuh, sehingga kawasan perkotaan
ini mulai berekspansi ke area pinggiran kota.
Kecenderungan ke depan, apabila lahan permukiman di dalam kota memang terbatas, jumlah
penduduk di kecamatan – kecamatan yang menjadi Pusat Pertumbuhan Orde I di luar Kota Yogyakarta
yang berbatasan langsung dengan kota akan terus tumbuh melebihi kecamatan di dalam kota,
sehingga perlu dipikirkan upaya antisipasi penyediaan fasilitas umum dan infrastruktur untuk
mendukung kebutuhan penduduk di masa mendatang. Antisipasi ini cukup penting karena kenyataan
yang terjadi di Yogyakarta saat ini menunjukkan pola dan tingkah laku yang mirip dengan Jakarta,
dimana penduduk mulai mengakuisisi lahan – lahan pertanian di pinggiran kota (akibat terbatasnya
lahan di dalam kota) untuk permukiman, namun tetap bekerja di dalam kota. Fenomena ini yang salah
satunya menyebabkan permasalahan kemacetan luar biasa di Jakarta yang belum tertangani dengan
baik sampai saat ini.
Terkait dengan efektivitas metode Rank Size Rule untuk menentukan orde pusat
pertumbuhan, metode ini cukup sensitif dan handal untuk menonjolkan variansi data antar lokasi.
Jumlah orde yang lebih banyak dapat memunculkan efek gradasi yang menjadi pembeda antar tempat,
yang mungkin tidak muncul jika menggunakan metode dengan keluaran jumlah orde yang lebih
sedikit. Namun demikian, jumlah orde yang banyak (selaras dengan jumlah unit analisis) mungkin tidak
efektif untuk kajian yang bertujuan ke upaya dukungan terhadap pengambilan keputusan dan
kebijakan (decision and policy making). Ketidak efektifan ini akan terasa ketika wilayah yang dikaji
cukup luas, dengan unit analisis yang banyak, dan selisih nilai data yang besar antara satu unit analisis
dan unit analisis yang lain, karena akan memunculkan orde – orde transisi yang tidak mempunyai
anggota orde, sebagaimana nampak pada analisis di kajian APY ini dimana terdapat tiga orde yang
tidak mempunyai anggota.
Gambaran tentang kondisi eksisting pusat pelayanan di APY yang diukur dari jumlah fasilitas
pelayanan di setiap kecamatan dapat dilihat dari hasil analisis Skalogram Guttman dan Indeks
Sentralitas Marshall. Khusus untuk analisis skalogram, nilai COR yang diperoleh kurang dari 0,9, yaitu
sebesar 0,8961. Nilai COR yang kurang dari 0,9 menunjukkan bahwa data pelayanan yang digunakan
kurang bisa dipercaya untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan analisis pusat pelayanan,
namun untuk melihat bagaimana keefektifan metode ini dalam perbandingannya dengan metode
Indeks Sentralitas, maka analisis tetap dilanjutkan.
Hasil yang diperoleh dari analisis Skalogram Guttman dan dilanjutkan klasifikasi hasil analisis
menggunakan klasifikasi Sturgess menghasilkan 5 orde pusat pelayanan, dengan hasil Kecamatan
Mlati Sleman merupakan kecamatan dengan fasilitas terlengkap sehingga menjadi Pusat Pelayanan
Orde I, diikuti Kecamatan Depok dan Kecamatan Ngaglik. Semua kecamatan di Kabupaten Sleman yang
termasuk dalam Kawasan APY termasuk dalam Orde I yang mengindikasikan bahwa (1) Perkembangan
kawasan perkotaan ke arah utara Kota Yogyakarta lebih kuat daripada arah lain; dan (2) Perkembangan
kawasan ke arah utara didukung dengan upaya pemenuhan fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
Hasil dari analisis Skalogram Guttman yang menunjukkan Kecamatan Mlati dan Depok
Kabupaten Sleman sebagai kecamatan dengan fasilitas pelayanan terlengkap memperkuat indikasi
bahwa jumlah penduduk dan Orde Pusat Pertumbuhan yang tinggi di kecamatan – kecamatan ini (yang
nampak dari hasil analisis Pusat Pertumbuhan Rank Size Rule) tidak semata-mata karena faktor luas
wilayah, tetapi memang terdapat pertambahan penduduk dari waktu ke waktu (yang berkonsekuensi
pada peningkatan investasi pelayanan publik atau bisa juga berjalan parallel antara keduanya). Jika
dilihat dari pola pusat pelayanan yang nampak pada Gambar 5, kecamatan di area Urban Fringe
Yogyakarta yang fasilitasnya lengkap ada di sebelah barat dan utara kota (bahkan lebih lengkap dari
beberapa kecamatan di dalam Kota Yogyakarta sendiri), dengan urutan dominasi dari kecamatan di
sebelah utara baru ke arah barat kota.
Dilihat dari keragaman fasilitas pelayanan di Kawasan APY, Masjid merupakan fasilitas ibadah
yang bisa disediakan di setiap kecamatan. Selain Masjid, fasilitas pendidikan SD, SMP, SMA dan fasilitas
keamanan Kantor Polisi juga terdapat di setiap kecamatan. Perguruan Tinggi tersedia di seluruh
kecamatan kecuali di Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta. Lengkapnya fasilitas pelayanan
pendidikan di setiap kecamatan di Kawasan APY tentunya tidak lepas dari stigma Yogyakarta sebagai
kota pelajar dimana setiap tahunnya kota ini menjadi rujukan bagi lulusan SMA dari seluruh Indonesia
untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Fasilitas kesehatan Rumah Sakit Bersalin (RSB) dan fasilitas
ibadah Wihara merupakan fasilitas yang paling sedikit ditemui di Kawasan APY. Terkait dengan wihara,
mungkin dapat dimaklumi dikarenakan jumlah Umat Budha di kawasan ini yang secara visual tidak
terlalu besar, sehingga keberadaan Wihara dalam jumlah besar mungkin tidak diperlukan. Hal yang
cukup mengundang perhatian adalah keberadaan RSB yang hanya ditemui di 8 kecamatan dari 22
kecamatan. RSB yang sedikit ini perlu menjadi perhatian lebih lanjut dan dapat menjadi dasar untuk
melakukan kajian lebih lanjut apakah RSB yang ada sudah cukup dan mampu melayani kelahiran di
seluruh Kawasan APY, terutama jika dilihat dari lokasi RSB di dalam kawasan, jumlah ibu hamil di setiap
kecamatan, dan tingkat aksesbilitas RSB eksisting sendiri.
Terkait dengan kehandalan model Skalogram Guttman dalam kajian pusat pelayanan, metode
ini tidak mempertimbangkan jumlah fasilitas pelayanan dalam pemodelannya, sehingga hirarki pusat
pelayanan yang dihasilkan dari metode ini hanya bisa dipandang dari aspek kelengkapan dan variasi
jenis fasilitas pelayanan. Dengan demikian metode ini mungkin tidak cocok untuk analisis pusat
pelayanan yang berorientasi pada pengukuran kemampuan pelayanan fasilitas publik di dalam
wilayah, namun cocok untuk mengidentifikasi keragaman pelayanan yang disediakan oleh wilayah.
Kelebihan lain dari model Skalogram Guttman adalah adanya fitur COR untuk mengukur penskalaan
fasilitas (atau data lain) dalam model Guttman. Dengan ambang batas 10% kesalahan observasi (Nilai
COR ≥ 0,9), maka bisa diputuskan pemberikan skor 0 (untuk ketiadaan fasilitas) dan 1 (untuk
keberadaan fasilitas) dalam Skala Guttman bisa diterapkan atau ditolak sebelum analisis dilanjutkan.
Berbeda dengan Model Skalogram Guttman, Model Indeks Sentralitas Marshall selain melihat
kelengkapan dan variasi jenis fasilitas, juga mempertimbangkan jumlah fasilitas di dalam unit analisis.
Dengan demikian konsepsi pusat pelayanan lebih terepresentasi di dalam Model Indeks Sentralitas
Marshall daripada Skalogram Guttman. Klasifikasi orde pusat pelayanan di Model Guttman sama
dengan Model Marshall, sehingga antara keduanya dapat dibandingkan.
Hasil pemodelan yang diperoleh menggunakan Model Indeks Sentralitas sedikit berbeda
dengan hasil dari Skalogram Guttman, dimana Pusat Pelayanan Orde I lebih banyak ditemui di dalam
Kota Yogyakarta daripada di luar kota. Dalam Model Indeks Sentralitas, Kecamatan Umbulharjo
merupakan kecamatan dengan Indeks Sentralitas terbesar yang diikuti kecamatan Mlati, Kecamatan
Gondokusuman, dan Kecamatan Ngemplak. Kecamatan Depok yang merupakan Pusat Pelayanan Orde
I di dalam Model Guttman menjadi Pusat Pelayanan Orde II di Model Marshall. Hal ini dapat diartikan
bahwa walaupun secara keragaman jenis fasilitas Kecamatan Depok cukup lengkap, namun dari sisi
jumlah tidak sebanyak kecamatan lain.
Dilihat dari pola pusat pelayanan yang terbentuk dari hasil pemodelan Indeks Sentralitas
(Gambar 8), Pusat Pelayanan Orde I dan II berada di pusat kota dan sisi utara dari Urban Fringe. Hasil
ini tidak jauh berbeda dengan Model Guttman, hanya sebaran orde pusat pelayanan yang terbentuk
lebih sesuai sebaran fasilitas pelayanan yang disajikan pada Gambar 4, dimana fasilitas pelayanan dari
sisi jumlah lebih banyak terdapat di dalam kota baru kemudian ke Kawasan APY sebelah utara.
III. ANALISIS INTERAKSI KERUANGAN TEORI GRAFIK
III.1 Deskripsi Sumber Data Yang Digunakan
Analisis interaksi keruangan menggunakan Teori Grafik Kansky memerlukan dua jenis data,
yaitu (1) Data jumlah kota atau pusat pertumbuhan di dalam wilayah, dan (2) Data jaringan jalan per
kecamatan. Kedua data tersebut dapat diperoleh dari Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 yang
diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial Republik Indonesia (Gambar 7).
Gambar 7. Peta Pusat Desa dan Jaringan Jalan Utama di Kawasan APY
III.2 Perhitungan Indeks Konektivitas
Indeks Konektivitas Teori Grafik merupakan indikasi kuatnya hubungan antar pusat kegiatan
di dalam wilayah. Indeks konektivitas dapat dihitung dengan rumus seperti di bawah ini.
Dari data jaringan jalan dan pusat kegiatan di dalam kecamatan (diasumsikan Ibukota
Desa/Kelurahan), dilakukan tabulasi jumlah pusat kegiatan dan jaringan jalan per kecamatan.
Selanjutnya dari data tersebut dilakukan penghitungan Indeks Konektivitas menggunakan rumus
diatas, yang hasilnya disajikan dalam Tabel 12 dan Gambar 8. Sebagai catatan tambahan, klasifikasi
yang digunakan untuk menentukan tingkat konektivitas pada Peta Interaksi Keruangan menggunakan
Rumus Penentuan Kelas Sturgess dan Penentuan Interval Kelas seperti pada analisis pada subbab
sebelumnya, yang kemudian hasil klasifikasi yang terbentuk di-ordinal-kan dari sangat rendah ke
sangat tinggi.
Tabel 12. Hasil Perhitungan Indeks Konektivitas per Kecamatan di Kawasan APY
Kecamatan Kabupaten/Kota Jumlah Pusat Pertumbuhan
Jumlah Jaringan Jalan
Indeks Konektivitas
BANGUNTAPAN BANTUL 8 309 38.63
KASIHAN BANTUL 4 199 49.75
SEWON BANTUL 4 191 47.75
UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA 7 364 52.00
GONDOKUSUMAN KOTA YOGYAKARTA 5 274 54.80
TEGALREJO KOTA YOGYAKARTA 4 187 46.75
MANTRIJERON KOTA YOGYAKARTA 3 198 66.00
KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA 3 94 31.33
MERGANGSAN KOTA YOGYAKARTA 3 161 53.67
JETIS KOTA YOGYAKARTA 3 132 44.00
WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA 3 97 32.33
KRATON KOTA YOGYAKARTA 3 109 36.33
DANUREJAN KOTA YOGYAKARTA 3 57 19.00
GEDONGTENGEN KOTA YOGYAKARTA 2 54 27.00
NGAMPILAN KOTA YOGYAKARTA 2 41 20.50
GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA 2 86 43.00
PAKUALAMAN KOTA YOGYAKARTA 2 74 37.00
NGAGLIK SLEMAN 6 52 8.67
GAMPING SLEMAN 5 102 20.40
MLATI SLEMAN 5 267 53.40
NGEMPLAK SLEMAN 5 38 7.60
DEPOK SLEMAN 3 894 298.00
Gambar 8.
Peta Konektivitas Interaksi Keruangan di Kawasan APY
III.3 Analisis dan Pembahasan Hasil
Hasil yang diperoleh dari analisis interaksi keruangan dalam wilayah menggunakan Model
Grafik Kansky (Tabel 12) menunjukkan bahwa Kecamatan Depok merupakan kecamatan yang
mempunyai indeks konektivitas tertinggi diikuti Kecamatan Mantrijeron. Nilai konektivitas Kecamatan
Depok sebesar 298 jauh melebihi kecamatan lain yang nilainya tidak lebih dari 100. Jika dikembalikan
pada konsep interaksi keruangan dalam teori grafik, konektivitas tinggi dan interaksi keruangan yang
kuat di Kecamatan Depok dapat dipahami karena selain wilayahnya yang lebih luas dibandingkan
dengan kecamatan – kecamatan di dalam Kota Yogyakarta, perkembangan jaringan jalannya tidak
kalah dengan kecamatan di kota (lihat Gambar 8).
Tingginya nilai konektivitas di Kecamatan Depok jika ditinjau dari hasil analisis sebelumnya
dapat tercermin juga dari jumlah penduduk dan Orde Pusat Pertumbuhan (Sub bab II.3) dimana
Kecamatan Depok merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak dan menduduki peran
sebagai kecamatan dengan Orde Pusat Pertumbuhan I. Demikian pula jika dilihat dari hasil analisis
Model Guttman, fasilitas pelayanan di Depok termasuk dalam Orde I yang berarti lebih lengkap dari
kecamatan lain, walaupun mungkin dari sisi jumlah fasilitas tidak sebanyak kecamatan lain yang
menduduki peran sebagai Pusat Pelayanan Orde I dari model Indeks Sentralitas. Perkembangan
wilayah yang tinggi di Kecamatan Depok sebagaimana terangkum dari hasil analisis sejauh ini, dapat
dipahami karena fasilitas pendidikan yang ada di Kawasan APY berada di kecamatan ini. Di kecamatan
ini terdapat 12 Perguruan Tinggi (lihat Tabel 6) yang beberapa diantaranya merupakan perguruan
tinggi besar di Indonesia seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas
Pembangunan Nasional Veteran dan Universitas Atma Jaya. Keberadaan perguruan tinggi di wilayah
ini yang memicu perkembangan jumlah penduduk dan investasi layanan pendukung pendidikan tinggi
dari waktu ke waktu, termasuk di dalamnya aktivitas pembangunan infrastruktur jalan dan
permukiman.
IV. ANALISIS EKONOMI WILAYAH
IV.1 Deskripsi Sumber Data Yang Digunakan
Analisis ekonomi wilayah untuk melihat pertumbuhan wilayah dapat menggunakan data hasil
produksi wilayah baik sektor basis maupun non basis. Terkait dengan kajian di Kawasan APY, gambaran
perekonomian wilayah dapat diketahui antara lain dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah
yang diterbitkan oleh BPS setiap tahun. Terkait dengan analisis ekonomi untuk Kawasan APY, PDRB
per kecamatan hanya tersedia untuk Kabupaten Sleman, sementara untuk Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Bantul tidak tersedia datanya. Untuk itu pendekatan yang dilakukan untuk mengkaji
ekonomi wilayah Kawasan APY akan menggunakan data PDRB Kabupaten yang dibandingkan dengan
PDRB Provinsi. Publikasi terakhir dari BPS untuk Tahun 2015 telah tersedia, sehingga data PDRB yang
digunakan adalah PDRB Tahun 2015 dan dibandingkan dengan PDRB Tahun 2013. Untuk konsep harga
dalam PDRB, yang akan digunakan adalah PDRB menurut harga konstan karena yang ingin dilihat
adalah pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten.
IV.2 Perhitungan Trend Produk Domestik Regional Bruto
IV.2.1 Metode Location Quotient (LQ)
Metode Location Quotient digunakan untuk melihat bagaimana kinerja ekspor wilayah
tersebut kaitannya dengan pertumbuhan wilayah. Hasil akhir dari metode LQ adalah setiap wilayah
akan mempunyai nilai indeks lebih dari satu atau kurang dari satu, dimana jika nilainya lebih dari atau
sama dengan satu, maka sektor produksi dan kesempatan kerja yang ada merupakan sektor basis dan
mampu melayani kebutuhan baik dalam wilayah maupun luar wilayah. Sedangkan jika nilainya kurang
dari satu, maka wilayah tersebut harus mengembangkan perekonomiannya.
Perhitungan LQ menggunakan rumus seperti di bawah ini.
Hasil perhitungan LQ untuk setiap kabupaten/kota yang meliput Kawasan APY disajikan pada Tabel 13
dan divisualiasaikan pada peta – peta sebaran LQ pada Gambar 8.
LQ = ps/pl
Ps/Pl
Di mana :
LQ = Location Quotient
ps = Produksi/kesempatan kerja sektor i, pada tingkat lokal.
pl = Produksi/kesempatan kerja total, pada tingkat lokal.
Ps = Produksi/kesempatan kerja sektor i, pada tingkal regional.
Pl = Produksi/kesempatan kerja total, pada tingkal regional.
Interpretasi
Jika LQ ≥ 1 sektor basis.
Artinya bahwa sektor tersebut sudah
mampu memenuhi kebutuhan
permintaan pasar di dalam wilayah dan
juga diekspor ke luar wilayah.
Jika LQ < 1 sektor non-basis.
Tabel 13. Hasil Perhitungan Location Quotient Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta
Gambar 9.
IV.2.2 Metode Shift – Share
Model Shift – Share adalah model ekonomi wilayah yang menganalisis perubahan kegiatan
ekononomi dalam periode tertentu. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengidentifikasi wilayah
mana yang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan berfokus pada perbandingan antar sektor
ekonomi. Model ini mempertimbangkan tiga komponen pertumbuhan wilayah yang terdiri dari
Komponen Pertumbuhan Nasional (KPN), Komponen Pertumbuhan Proporsional (KPP) dan Komponen
Pertumbuhan Pangsa Wilayah (KPPW). Perhitungan antar komponen dilakukan menurut rumus di
bawah ini.
Hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi wilayah antara Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota
Yogyakarta menggunakan Model Shift – Share disajikan pada Tabel 14 dan Gambar 9.
PE = KPN + KPP + KPPW
= (Yt/Yo – 1) + (Yit / Yio - Yt/Yo) + (yit / yio - Yt/Yo)
= [Ra – 1] + [ Ri - Ra ] + [ri - Ra]
Di mana Yt = indikator ekonomi wil. Nasional, akhir tahun analisis. Yo = indikator ekonomi wil. Nasional, awal tahun analisis. Yit = indikator ekonomi wil. Nasional sektor i, akhir tahun analisis. Yio = indikator ekonomi wil. Nasional sektor i ,awal tahun analisis. yit = indikator ekonomi wil. Lokal sektor i , akhir tahun analisis. yio = indikator ekonomi wil. Lokal sektor i , awal tahun analisis.
PB = KPP + KPPW
Jika PB ≥ 0 sektor tersebut progresif/maju.
Jika PB < 0 sektor tersebut lamban / mundur.
Tabel 14. Hasil Perhitungan Model Shift-Share Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta
Gambar 10. Plot PP – PPW Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta
IV.3 Analisis dan Pembahasan
Kemajuan suatu wilayah pada dasarnya tidak dapat dicapai apabila wilayah tidak
mengembangkan potensi sumberdaya yang dimilikinya, baik untuk memenuhi kebutuhan wilayah itu
sendiri atau mendukung wilayah lain dalam mencapai kemajuan bersama. Kawasan Aglomerasi
Perkotaan Yogyakarta pada dasarnya adalah sebuah kawasan pengembangan perkotaan yang
didalamnya terdiri dari 22 kecamatan yang masuk dalam 2 kabupaten dan 1 kotamadya. Dari berbagai
penjelasan dalam analisis sebelumnya, setiap bagian dari kawasan ini, baik dilihat dari aspek
administratif maupun fisik ternyata menunjukkan perkembangan yang tidak sama. Bagian utara, timur
dan barat kawasan lebih maju dari pada sisi selatan kawasan, walaupun dari perkembangan jumlah
penduduk relatif seragam. Sebelumnya telah dibahas bahwa penyebab perkembangan yang condong
ke utara ini lebih disebabkan keberadaan fasilitas pendidikan yang mengumpul di utara (Kabupaten
Sleman), sehingga investasi bidang jasa dan sektor non pertanian lain lebih tertarik ke sisi utara
kawasan. Meskipun demikian perlu dilihat lebih lanjut mengenai bagaimana kontribusi dan peran
sektor ekonomi dalam menjelaskan fenomena ini. Oleh karena itu dilakukan analisis ekonomi wilayah
dengan menggunakan dua metode, yaitu Location Quotient (LQ) dan Model Shift-Share dengan
memberdayakan data PDRB Kabupaten dan Provinsi pada Tahun 2013 dan 2015.
Metode LQ dikembangkan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan suatu wilayah, dilihat
dari perbandingan keluaran produksi/kesempatan kerja suatu wilayah dengan wilayah induknya.
Keluaran dari metode LQ adalah penentuan apakah suatu wilayah termasuk ke dalam sektor basis atau
non basis di dalam wilayah induk. Sektor basis berarti wilayah tersebut memiliki keuntungan
komparatif dalam komoditas tertentu dan berpotensi menyuplai kelebihan produksi untuk wilayah
lain, sementara sektor non basis berarti sebaliknya, komoditas yang ada hanya cukup untuk konsumsi
dalam wilayah.
Dilihat dari hasil analisis LQ Tahun 2013, Kabupaten Bantul merupakan sektor basis untuk
sektor pertanian, pertambangan dan galian, industri, dan konstruksi, untuk Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sementara Kota Yogyakarta merupakan sektor basis untuk sektor industri, utilitas listrik
dan air, jasa dan perdagangan, keuangan, dan transportasi komunikasi. Kabupaten Sleman
terspesialisasi untuk sektor industri, jasa dan perdagangan, serta transportasi komunikasi. Jika dilihat
dari progresnya pada Tahun 2015, hampir tidak terjadi perubahan status basis – non basis dari tiga
kabupaten/kota tersebut. Perubahan hanya terjadi pada Kabupaten Bantul dimana pada Tahun 2013
sektor perdagangan merupakan sektor non basis dan pada Tahun 2015 telah meningkat statusnya
menjadi sektor basis. Sementara di Kabupaten Sleman yang tadinya industrinya telah mencapai sektor
basis pada Tahun 2013 mundur menjadi non basis pada Tahun 2015. Melihat hasil ini, tampaknya telah
mulai ada spesialisasi diantara ketiga kabupaten/kota tersebut, dimana Bantul masih mengandalkan
pada komoditas pertanian dan sumberdaya alam sebagai salah satu sumber perekonomian wilayah,
namun Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman sudah mulai meninggalkannya dan beralih ke sektor
infrastruktur dan jasa.
Bantul yang masih mengandalkan sektor pertanian, perdagangan dan pertambangan sebagai
salah satu sektor basis mungkin bisa menjawab mengapa Kawasan APY di sebelah selatan belum
nampak berkembang jika dilihat dari keberadaan fasilitas pelayanan, walaupun jumlah penduduk dan
orde pusat pertumbuhannya tidak kalah dengan kecamatan di sebelah utara. Kondisi ini mungkin bisa
dibilang ideal karena setiap wilayah memiliki sektor basis yang berbeda, sehingga bisa diharapkan
saling mendukung satu sama lain. Suplai produk pertanian untuk Kota Yogyakarta dan Sleman bisa
diperoleh dari Bantul, sementara kebutuhan Bantul terkait listrik, air, transportasi, keuangan dan jasa
lainnya bisa diperoleh dari Sleman dan Kota Yogyakarta.
Sebagaimana nampak pada hasil analisis, penggunaan Model LQ untuk analisis ekonomi
wilayah dapat mengidentifikasi sektor ekonomi unggulan di dalam wilayah dan memungkinkan untuk
memantau perkembangan sektor unggulan tersebut secara multitemporal. Namun demikian,
kuantifikasi hasil pemodelan dalam bentuk indeks basis dan non basis tidak mencerminkan perubahan
dari PDRB-nya sendiri. Pemodelan LQ kurang dapat menggambarkan bagaimana perkembangan
pertumbuhan (yang tercermin dari jumlah PDRB) wilayah apakah naik atau turun. Di dalam LQ, naik
atau turun tidak begitu penting karena selama masih berada dalam jangkauan sektor basis, komoditas
atau sektor yang dikaji akan tetap menjadi sektor unggulan.
Berbeda dengan Model LQ, Model Shift-Share mendasarkan pada tiga komponen
pertumbuhan ekonomi, yaitu komponen pertumbuhan nasional, komponen pertumbuhan
proporsional dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah. Tiga komponen ini dapat memberikan
penjelasan tidak hanya sektor unggulan wilayah, tapi juga dapat menjelaskan dinamika ekonomi (naik
turunnya pertumbuhan ekonomi) per sektor di dalam wilayah. Oleh karena itu dapat dibilang Model
Shift-Share lebih lengkap daripada Model LQ.
Hasil analisis pertumbuhan ekonomi wilayah menggunakan Model Shift-Share untuk 2
Kabupaten dan 1 Kota yang menaungi Kawasan APY dapat dilihat pada ploting PP-PPW (yang
mencerminkan dinamika PB) kinerja sektor pada Gambar 10 dan Tabel 14. Hasil ini memberikan
tambahan penjelasan terkait hasil LQ. Dilihat dari nilai PB dan Plot PP-PPW yang diperoleh, ketiga
kabupaten/kota mengalami kemunduran produksi pertanian (dilihat dari produksi pertanian provinsi)
sebesar 20 persen, demikian pula untuk sektor pertambangan, industri dan utilitas (listrik, gas,air).
Sementara sektor keuangan, jasa, transportasi komunikasi dan perdagangan mulai tumbuh.
Mundurnya pertumbuhan ekonomi berbasis sumberdaya alam di tiga kabupaten/kota yang
menjadi lokasi kajian mengindikasikan bahwa Provinsi DIY pada umumnya dan Kawasan APY pada
khususnya sedang mengalami transformasi perekonomian dari yang sebelumnya bercorak agraris
menuju ke jasa dan pelayanan. Sektor industri yang umumnya muncul sebagai pengganti sektor agraris
di daerah lain di Indonesia tidak begitu muncul di DIY. Pertama, penduduk DIY sendiri tidak terlalu
besar, sehingga kurang menarik minat investasi industri besar padat karya, dan kedua, DIY sendiri lebih
terkenal sebagai wilayah unggul penyedia layanan pendidikan dan pariwisata, sehingga nampaknya
pelaku ekonomi di Kawasan APY lebih tertarik untuk mengembangkan aktivitas ekonomi yang
mendukung sektor unggulan ini.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari hasil analisis dan pemodelan yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
penduduk di Kawasan APY sebagaimana nampak dari orde pusat pertumbuhan menunjukkan bahwa
pertumbuhan penduduk di kecamatan di Urban Fringe Yogyakarta lebih besar daripada di dalam kota.
Di sisi lain perkembangan pelayanan sebagaimana nampak dari orde pusat pelayanan cenderung
terpusat ke arah pusat dan utara kawasan. Pertumbuhan dan pelayanan yang tidak berimbang ini
berpotensi membawa masalah, terutama jika penduduk di selatan kawasan ingin mendapatkan
pelayanan harus pergi ke utara. Masalah yang dapat muncul antara lain kemacetan baik di pusat kota
maupun di sekitar Kawasan APY sendiri sebagai konsekuensi dari lalu lalang penduduk dalam
memperoleh pelayanan. Potensi permasalahan ini semakin nampak karena perkembangan interaksi
keruangan dan konektivitas (yang tercermin dari perkembangan jaringan jalan) juga lebih berkembang
di utara kawasan. Peningkatan fasilitas pelayanan, baik dari sisi jumlah maupun ragam di sisi selatan
kawasan harus dilakukan untuk menyeimbangkan permintaan pelayanan yang meningkat sebagai
konsekuensi pertumbuhan penduduk.
Dilihat dari aspek perekonomian wilayah, Kawasan APY telah mengalami transformasi dari
sektor agraris menuju sektor jasa dan pelayanan. Walaupun sektor pertanian masih menjadi sektor
basis di sebagian Kawasan APY dan cukup ideal karena terdapat berbagai spesialisasi corak aktivitas
ekonomi di dalam kawasan yang dapat mendukung satu sama lain, penurunan pertumbuhan sektor
pertanian yang signifikan dalam 2 tahun dan pertumbuhan sektor jasa dan pelayanan mengharuskan
adanya perhatian dari pemerintah. Fasilitasi pengembangan sektor jasa dan pelayanan di DIY pada
umumnya dan Kawasan APY pada khususnya Idealnya harus sebisa mungkin tidak meninggalkan
pengelolaan dan peningkatan sektor pertanian karena merupakan kebutuhan primer