29
IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN, PUSAT PELAYANAN, INTERAKSI KERUANGAN ANTAR WILAYAH DAN KAJIAN PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH KAWASAN AGLOMERASI PERKOTAAN YOGYAKARTA Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan dan Pembangunan Dosen Pengampu Dr. Yudi Basuki, ST, MT. Disusun oleh : BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036 PROGRAM STUDI MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016

Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN, PUSAT PELAYANAN, INTERAKSI KERUANGAN

ANTAR WILAYAH DAN KAJIAN PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH

KAWASAN AGLOMERASI PERKOTAAN YOGYAKARTA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Metode Analisis Perencanaan dan Pembangunan

Dosen Pengampu

Dr. Yudi Basuki, ST, MT.

Disusun oleh :

BRAMANTIYO MARJUKI

21040116410036

PROGRAM STUDI

MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2016

Page 2: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

I. PENDAHULUAN

Tugas Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan yang diberikan adalah (1) Membuat Hirarki

Pusat Pelayanan menggunakan Metode Rank Size Rule, Skalogram Guttman dan Indeks Sentralitas

Marshall; (2) Membuat analisis interaksi keruangan menggunakan salah satu dari beberapa metode

interaksi keruangan seperti Model Gravitasi, Titik Henti, Grafis, dan Aliran Komoditas; dan (3)

Membuat kajian ekonomi wilayah yang dikaitkan dengan interaksi keruangan.

Area yang menjadi kajian adalah kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY) yang telah

ditetapkan menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN) sesuai dengan PERDA DIY Nomor 2 Tahun 2011.

Kawasan APY terdiri dari Kota Yogyakarta sebagai inti dan beberapa kecamatan di sekitarnya seperti

Kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan di wilayah Kabupaten Bantul, serta Kecamatan Depok,

Gamping, Mlati, Ngemplak, Ngaglik di wilayah Kabupaten Sleman (Gambar 1). Unit analisis yang

digunakan adalah kecamatan, untuk itu apabila terdapat data sekunder yang digunakan sampai level

desa, maka data tersebut akan diagregrasikan ke level kecamatan.

Gambar 1. Peta Administrasi Kecamatan Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta

Analisis yang dilakukan meliputi (1) Penentuan Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan

menggunakan metode Rank Size Rule, Skalogram Guttman dan Indeks Sentralitas Marshall; (2)

Page 3: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Penentuan interaksi keruangan antar kecamatan menggunakan Teori Grafik Kansky; (3) Kajian

ekonomi wilayah menggunakan Model Location Quotient dan Model Shift-Share.

II. ANALISIS PUSAT PERTUMBUHAN DAN PELAYANAN

II.1 Deskripsi Sumber Data Yang Digunakan

Untuk pelaksanaan tugas pembuatan hirarki pusat pertumbuhan dan pelayanan, data yang

digunakan adalah publikasi Data Demografi Indonesia terbaru yang diterbitkan oleh Direktorat

Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (DUKCAPIL) yang dapat diakses secara publik dari alamat

website http://gis.dukcapil.kemendagri.go.id/peta/ (Gambar 2). Data yang dipublikasikan dalam

bentuk layanan peta online dalam satuan desa sampai tahun 2015. Data yang tersedia meliputi data

luas wilayah, kependudukan (dibagi menurut jumlah, kepadatan, agama, jenis kelamin, status

perkawinan, dan kelompok usia dan lain-lain), data jumlah fasilitas umum per desa (meliputi fasilitas

pendidikan, kesehatan, HANKAM, peribadahan, dan pemerintahan).

Gambar 2. Layanan Data Kependudukan dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri

II.2 Tabulasi Data Jumlah Penduduk

Data jumlah penduduk yang diperoleh dari layanan data DUKCAPIL dari Direktorat Jenderal

Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri disusun menurut desa, karena analisis

yang dilakukan menggunakan satuan kecamatan, maka data tingkat desa dijumlahkan/summarized

pada tingkat kecamatan. Hasil penjumlahan untuk lokasi kajian APY direkapitukasi dalam tabel 1 di

bawah ini. Data dalam Tabel 1 diurutkan menurut Kabupaten/Kota, dengan jumlah penduduk tertinggi

adalah Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, dan jumlah penduduk terendah adalah Kecamatan

Pakualaman Kota Yogyakarta.

Page 4: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Tabel 1. Jumlah Penduduk Per Kecamatan di Kawasan APY

(Sumber : DUKCAPIL KEMENDAGRI, 2015)

Kecamatan Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Tahun 2015

BANGUNTAPAN BANTUL 105.568

KASIHAN BANTUL 97.796

SEWON BANTUL 95.530

DANUREJAN KOTA YOGYAKARTA 21.401

GEDONGTENGEN KOTA YOGYAKARTA 20.796

GONDOKUSUMAN KOTA YOGYAKARTA 41.603

GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA 15.186

JETIS KOTA YOGYAKARTA 27.609

KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA 32.635

KRATON KOTA YOGYAKARTA 22.034

MANTRIJERON KOTA YOGYAKARTA 34.673

MERGANGSAN KOTA YOGYAKARTA 31.774

NGAMPILAN KOTA YOGYAKARTA 18.711

PAKUALAMAN KOTA YOGYAKARTA 10.644

TEGALREJO KOTA YOGYAKARTA 36.478

UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA 66.961

WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA 27.516

DEPOK SLEMAN 129.130

GAMPING SLEMAN 93.558

MLATI SLEMAN 93.451

NGAGLIK SLEMAN 98.799

NGEMPLAK SLEMAN 59.624

II.3 Hirarki Pusat Pertumbuhan Metode Rank Size Rule

Penentuan pusat pelayanan metode Rank Size Rule dirumuskan seperti di bawah ini.

Sebelum melakukan klasifikasi orde, definisi batas kelas per orde harus ditentukan terlebih dahulu.

Untuk itu, sesuai dengan aturan dari prinsip Rank Size Rule, dilakukan pendefinisian batas kelas untuk

orde 1 dengan mengambil acuan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar (yang dalam hal ini

adalah Kecamatan Depok sebesar 129.130 jiwa) dibagi dengan nilai orde kota pertama. Kemudian

untuk menentukan batas orde kedua, jumlah penduduk terbesar dibagi dua. Sedangkan untuk orde

ketiga, jumlah penduduk terbesar dibagi tiga dan seterusnya. Hasil proses klasifikasi batas kelas per

orde direkapitulasi di Tabel 2 di bawah ini.

Page 5: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Tabel 2. Hasil Perhitungan Batas Orde Pusat Pertumbuhan Metode Rank Size Rule

Orde Pusat Pertumbuhan Jumlah Penduduk

(metode Rank Size Rule, Pn= P1/Rn)

I 129.130

II 64.565

III 43.043

IV 32.283

V 25.826

VI 21.522

VII 18.447

VIII 16.141

IX 14.348

X 12.913

XI 11.739

XII 10.761

XIII 9.933

Hasil pendifinisian batas kelas pada Tabel 2 kemudian diimplementasikan pada Tabel 1 yang

menghasilkan orde pusat pelayanan per kecamatan yang direkapitulasi dalam Tabel 3. Untuk lebih

memberikan gambaran sebaran orde pusat pertumbuhan secara spasial, hasil kalkulasi diplotkan ke

dalam peta yang disajikan pada Gambar 3.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Orde Pusat Pertumbuhan Metode Rank Size Rule Kecamatan di Kawasan APY

Kecamatan Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Tahun 2015 Orde Pusat Pelayanan

DEPOK SLEMAN 129.130 I

BANGUNTAPAN BANTUL 105.568 I

NGAGLIK SLEMAN 98.799 I

KASIHAN BANTUL 97.796 I

SEWON BANTUL 95.530 I

GAMPING SLEMAN 93.558 I

MLATI SLEMAN 93.451 I

UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA 66.961 I

NGEMPLAK SLEMAN 59.624 II

GONDOKUSUMAN KOTA YOGYAKARTA 41.603 III

TEGALREJO KOTA YOGYAKARTA 36.478 III

MANTRIJERON KOTA YOGYAKARTA 34.673 III

KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA 32.635 III

MERGANGSAN KOTA YOGYAKARTA 31.774 IV

JETIS KOTA YOGYAKARTA 27.609 IV

WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA 27.516 IV

KRATON KOTA YOGYAKARTA 22.034 V

DANUREJAN KOTA YOGYAKARTA 21.401 VI

GEDONGTENGEN KOTA YOGYAKARTA 20.796 VI

NGAMPILAN KOTA YOGYAKARTA 18.711 VI

GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA 15.186 VIII

PAKUALAMAN KOTA YOGYAKARTA 10.644 XII

Page 6: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Gambar 3. Peta Orde Pusat Pelayanan Metode Rank Size Rule per Kecamatan di Kawasan APY

II.4 Hirarki Pusat Pelayanan Metode Skalogram Guttman

Sebelum dilakukan analisis pusat pelayanan berdasarkan keberadaan dan jumlah fasilitas

umum di Kawasan APY, terlebih dulu ditentukan jenis fasilitas yang akan dilibatkan dalam analisis,

yang dirangkum dalam Tabel 4. Sumber data yang fasilitas yang digunakan merupakan sumber data

yang sama dengan data jumlah penduduk, yaitu dari layanan DUKCAPIL Online yang dipublikasikan

oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri Tahun 2015.

Data yang diperoleh adalah titik lokasi fasilitas (Gambar 4) yang nantinya di rekapitulasi per

kecamatan.

Tabel 4. Jenis Fasilitas Yang Dianalisis

Jenis Fasilitas Nama Fasilitas

Pendidikan PAUD

TK

SD

SMP

SMA

Perguruan Tinggi

Kesehatan Posyandu

Puskesmas

Rumah Bersalin

Rumah Sakit

Ibadah Masjid

Gereja

Wihara

Keamanan Kantor Polisi

Page 7: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Gambar 4. Peta Sebaran Fasilitas Umum di Kawasan APY

Langkah kedua dari pembuatan skalogram adalah mentabulasikan jumlah fasilitas yang ada di

setiap kecamatan sesuai dengan jenisnya yang hasilnya disajikan pada Tabel 5. Selanjutnya, hasil

tabulasi pada Tabel 5 diurutkan ulang kolom urutan fasilitas berdasarkan jumlah fasilitas umum yang

ada. Hasil pengurutan ulang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5.

Hasil Tabulasi Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan

No. Kecamatan

PA

UD

TK

SD

SMP

SMA

PT

Po

syan

d

u

Pu

ske

sm

as

RSB

RS

Mas

jid

Ge

reja

Wih

ara

Kan

tor

Po

lisi

Jumlah

1 DEPOK 4 22 14 5 8 12 1 1 0 5 117 6 0 3 198

2 BANGUNTAPAN 1 6 14 5 3 10 0 2 0 2 53 2 0 1 99

3 NGAGLIK 8 15 29 6 8 5 1 2 0 2 163 6 0 1 246

4 KASIHAN 1 13 19 6 4 5 1 2 1 1 37 0 0 2 92

5 SEWON 0 5 12 1 3 2 0 3 0 2 20 0 0 2 50

6 GAMPING 5 26 25 5 6 3 0 3 1 4 130 5 0 1 214

7 MLATI 7 24 32 8 6 5 2 3 2 2 100 5 0 1 197

8 UMBULHARJO 2 19 35 12 17 16 0 3 0 4 73 3 1 1 186

9 NGEMPLAK 8 16 21 7 3 3 5 4 0 1 154 2 0 1 225

10 GONDOKUSUMAN 3 17 22 14 15 8 0 1 1 4 59 14 0 6 164

11 TEGALREJO 1 11 15 3 7 3 0 3 0 1 26 8 0 2 80

12 MANTRIJERON 1 7 9 4 8 4 0 1 0 0 11 5 0 2 52

13 KOTAGEDE 0 6 11 1 5 1 0 2 2 0 20 0 0 1 49

14 MERGANGSAN 2 16 14 5 5 6 0 2 2 0 31 6 0 2 91

15 JETIS 3 6 14 6 11 5 1 1 0 0 15 8 1 2 73

16 WIROBRAJAN 0 3 12 4 6 2 0 1 1 2 14 5 0 2 52

Page 8: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

17 KRATON 2 4 4 3 2 1 2 0 0 1 15 0 0 1 35

18 DANUREJAN 1 5 8 4 1 1 0 2 0 0 6 2 0 1 31

19 GEDONGTENGEN 0 2 7 2 3 3 0 1 0 0 9 6 1 3 37

20 NGAMPILAN 0 0 7 2 3 2 0 0 0 0 5 2 0 1 22

21 GONDOMANAN 2 3 8 2 3 0 2 1 0 1 10 5 2 3 42

22 PAKUALAMAN 0 2 4 2 3 2 0 1 1 2 5 0 0 3 25

Jumlah 51 228 336 107 130 99 15 39 11 34 1073 91 5 42

Tabel 6. Hasil Pengurutan Berdasarkan Jumlah Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan

No. Kecamatan

Mas

jid

SD

TK

SMA

SMP

PT

Ge

reja

PA

UD

Kan

tor

Po

lisi

Pu

ske

smas

RS

Po

syan

du

RSB

Wih

ara

Jumlah

1 DEPOK 117 14 22 8 5 12 6 4 3 1 5 1 0 0 198

2 BANGUNTAPAN 53 14 6 3 5 10 2 1 1 2 2 0 0 0 99

3 NGAGLIK 163 29 15 8 6 5 6 8 1 2 2 1 0 0 246

4 KASIHAN 37 19 13 4 6 5 0 1 2 2 1 1 1 0 92

5 SEWON 20 12 5 3 1 2 0 0 2 3 2 0 0 0 50

6 GAMPING 130 25 26 6 5 3 5 5 1 3 4 0 1 0 214

7 MLATI 100 32 24 6 8 5 5 7 1 3 2 2 2 0 197

8 UMBULHARJO 73 35 19 17 12 16 3 2 1 3 4 0 0 1 186

9 NGEMPLAK 154 21 16 3 7 3 2 8 1 4 1 5 0 0 225

10 GONDOKUSUMAN 59 22 17 15 14 8 14 3 6 1 4 0 1 0 164

11 TEGALREJO 26 15 11 7 3 3 8 1 2 3 1 0 0 0 80

12 MANTRIJERON 11 9 7 8 4 4 5 1 2 1 0 0 0 0 52

13 KOTAGEDE 20 11 6 5 1 1 0 0 1 2 0 0 2 0 49

14 MERGANGSAN 31 14 16 5 5 6 6 2 2 2 0 0 2 0 91

15 JETIS 15 14 6 11 6 5 8 3 2 1 0 1 0 1 73

16 WIROBRAJAN 14 12 3 6 4 2 5 0 2 1 2 0 1 0 52

17 KRATON 15 4 4 2 3 1 0 2 1 0 1 2 0 0 35

18 DANUREJAN 6 8 5 1 4 1 2 1 1 2 0 0 0 0 31

19 GEDONGTENGEN 9 7 2 3 2 3 6 0 3 1 0 0 0 1 37

20 NGAMPILAN 5 7 0 3 2 2 2 0 1 0 0 0 0 0 22

21 GONDOMANAN 10 8 3 3 2 0 5 2 3 1 1 2 0 2 42

22 PAKUALAMAN 5 4 2 3 2 2 0 0 3 1 2 0 1 0 25

Jumlah 1073 336 228 130 107 99 91 51 42 39 34 15 11 5

Hasil dari pengurutan ulang kemudian dibuat indeks Present Absent dimana untuk kecamatan

yang mempunyai fasilitas diberi nilai 1 dan yang tidak mempunyai fasiitas diberi nilai 0. Hasil dari

pembuatan indeks disajikan pada Tabel 7.

Lanjutan Tabel…..

Page 9: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Tabel 7. Indeks Present Absent Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan

No

. Kecamatan

Mas

jid

SD

SMA

SMP

Kan

tor

Po

lisi

TK

PT

Pu

ske

smas

Ger

eja

PA

UD

RS

Po

syan

du

RSB

Wih

ara

Jum

lah

Erro

r

1 MLATI 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 13 0

2 DEPOK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 0

3 NGAGLIK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 0

4 KASIHAN 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 12 2

5 GAMPING 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 12 2

6 UMBULHARJO 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 12 2

7 NGEMPLAK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 0

8 GONDOKUSUMAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 12 2

9 JETIS 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 12 2

10 GONDOMANAN 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 12 2

11 BANGUNTAPAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 11 0

12 TEGALREJO 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 11 0

13 MERGANGSAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 11 2

14 WIROBRAJAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 11 2

15 MANTRIJERON 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 10 0

16 KRATON 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 10 4

17 DANUREJAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 10 0

18 GEDONGTENGEN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 10 2

19 PAKUALAMAN 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 10 4

20 SEWON 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 9 2

21 KOTAGEDE 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 9 2

22 NGAMPILAN 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 7 2

Jumlah 22 22 22 22 22 21 21 20 17 16 15 8 8 4 240 32

Hasil skalogram pada Tabel 7 kemudian dihitung nilai COR (Coefficient of Reproductibility),

dimana nilai COR ini akan menentukan apakah analisis lebih lanjut terhadap hasil skalogram bisa

dilakukan. Agar bisa dilanjutkan, nilai COR dari skalogram minimal adalah ≥ 0,9 . Adapun rumus

perhitungan COR adalah sebagai berikut:

Dengan demikian, maka hasil perhitungan untuk skalogram Tabel 7 adalah:

COR = 1 – (32/22*14)

= 0,8961

COR = 1 - Jumlah Kesalahan .

Jumlah Wilayah x Jumlah Fasilitas

Page 10: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Dengan nilai COR sebesar 0,8961 maka analisis lebih lanjut tidak dapat dilakukan. Namun demikian

untuk mengetahui bagaimana kehandalan dari metode Skalogram ini, maka akan dicoba dibuat

gambaran hasil pembuatan pusat pelayanan menggunakan skalogram. Tahap selanjutnya, jika nilai

COR memenuhi syarat adalah menentukan jumlah orde menggunakan rumus Sturgess. Hasil kalkulasi

dengan rumus Sturgess menghasilkan sebanyak 5 orde. Setelah jumlah orde diperoleh, langkah

selanjutnya adalah penentuan interval kelas setiap orde. Rincian perhitungan jumlah dan interval orde

diuraikan seperti di bawah ini.

Jumlah Orde = 1+3,3 Log n

= 1+3,3 Log 22

= 5,429

= 5

= (13 – 7) / 5

= 1,2

Pembagian Orde = Orde I = > 11,8

Orde II = 10,6 – 11,8

Orde III = 9,4 – 10,6

Orde IV = 8,2 – 9,4

Orde V = < 8,2

Hasil klasifikasi orde kemudian diterapkan pada setiap kecamatan dan gambaran hasil yang diperoleh

disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 5.

Tabel 8. Hasil Penentuan Orde Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan di Kawasan APY

No. Kecamatan

Mas

jid

SD

SMA

SMP

Kan

tor

Po

lisi

TK

PT

Pu

ske

smas

Ge

reja

PA

UD

RS

Po

syan

du

RSB

Wih

ara

Jum

lah

OR

DE

1 MLATI 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 13 I

2 DEPOK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 I

3 NGAGLIK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 I

4 KASIHAN 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 12 I

5 GAMPING 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 12 I

6 UMBULHARJO 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 12 I

7 NGEMPLAK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 I

8 GONDOKUSUMAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 12 I

9 JETIS 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 12 I

Panjang Interval = Jumlah Fasilitas Tertinggi - Jumlah Fasilitas Terendah Banyaknya Orde

Page 11: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

10 GONDOMANAN 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 12 I

11 BANGUNTAPAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 11 II

12 TEGALREJO 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 11 II

13 MERGANGSAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 11 II

14 WIROBRAJAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 11 II

15 MANTRIJERON 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 10 III

16 KRATON 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 10 III

17 DANUREJAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 10 III

18 GEDONGTENGEN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 10 III

19 PAKUALAMAN 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 10 III

20 SEWON 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 9 IV

21 KOTAGEDE 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 9 IV

22 NGAMPILAN 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 7 V

Jumlah 22 22 22 22 22 21 21 20 17 16 15 8 8 4 240

Gambar 5. Peta Orde Pusat Pelayanan Metode Skalogram Guttman per Kecamatan di Kawasan APY

II.5 Hirarki Pusat Pelayanan Metode Indeks Sentralitas Marshall

Indeks sentralitas digunakan untuk menilai kemampuan pusat pelayanan dengan dasar dari

hasil analisis Skalogram Guttman. Tahapan pertama dari pembuatan indeks sentralitas adalah

membuat nilai sentralitasnya (bobot) dengan rumus:

NS = 100

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑎𝑠𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠

Lanjutan Tabel…..

Page 12: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Hasil dari perhitungan Nilai Sentralitas (bobot) disajikan pada Tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9. Hasil Perhitungan Nilai Sentralitas Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan di Kawasan APY

No. Kecamatan

Mas

jid

SD

TK

SMA

SMP

PT

Ge

reja

PA

UD

Kan

tor

Po

lisi

Pu

ske

smas

RS

Po

syan

du

RSB

Wih

ara

1 DEPOK 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

2 BANGUNTAPAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

3 NGAGLIK 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

4 KASIHAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

5 SEWON 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

6 GAMPING 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

7 MLATI 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

8 UMBULHARJO 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

9 NGEMPLAK 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

10 GONDOKUSUMAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

11 TEGALREJO 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

12 MANTRIJERON 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

13 KOTAGEDE 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

14 MERGANGSAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

15 JETIS 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

16 WIROBRAJAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

17 KRATON 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

18 DANUREJAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

19 GEDONGTENGEN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

20 NGAMPILAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

21 GONDOMANAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

22 PAKUALAMAN 0.09 0.30 0.44 0.77 0.93 1.01 1.11 1.96 2.38 2.56 2.94 6.67 9.09 20.00

Hasil perhitungan nilai sentralitas atau bobot ini kemudian dikalikan dengan jumlah fasilitas untuk

mendapatkan Indeks sentralitasnya. Hasil perhitungan indeks sentralitas disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Perhitungan Indeks Sentralitas Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan

No. Kecamatan

Mas

jid

SD

TK

SMA

SMP

PT

Ge

reja

PA

UD

Kan

tor

Po

lisi

Pu

ske

smas

RS

Po

syan

du

RSB

Wih

ara

Jumlah

1 DEPOK 10.90 4.17 9.65 6.15 4.67 12.12 6.67 7.84 7.14 2.56 14.71 6.67 0.00 0.00 93.26

2 BANGUNTAPAN 4.94 4.17 2.63 2.31 4.67 10.10 2.22 1.96 2.38 5.13 5.88 0.00 0.00 0.00 46.39

3 NGAGLIK 15.19 8.63 6.58 6.15 5.61 5.05 6.67 15.69 2.38 5.13 5.88 6.67 0.00 0.00 89.62

4 KASIHAN 3.45 5.65 5.70 3.08 5.61 5.05 0.00 1.96 4.76 5.13 2.94 6.67 9.09 0.00 59.09

5 SEWON 1.86 3.57 2.19 2.31 0.93 2.02 0.00 0.00 4.76 7.69 5.88 0.00 0.00 0.00 31.23

6 GAMPING 12.12 7.44 11.40 4.62 4.67 3.03 5.56 9.80 2.38 7.69 11.76 0.00 9.09 0.00 89.57

7 MLATI 9.32 9.52 10.53 4.62 7.48 5.05 5.56 13.73 2.38 7.69 5.88 13.33 18.18 0.00 113.26

8 UMBULHARJO 6.80 10.42 8.33 13.08 11.21 16.16 3.33 3.92 2.38 7.69 11.76 0.00 0.00 20.00 115.10

9 NGEMPLAK 14.35 6.25 7.02 2.31 6.54 3.03 2.22 15.69 2.38 10.26 2.94 33.33 0.00 0.00 106.32

10 GONDOKUSUMAN 5.50 6.55 7.46 11.54 13.08 8.08 15.56 5.88 14.29 2.56 11.76 0.00 9.09 0.00 111.35

Page 13: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

11 TEGALREJO 2.42 4.46 4.82 5.38 2.80 3.03 8.89 1.96 4.76 7.69 2.94 0.00 0.00 0.00 49.18

12 MANTRIJERON 1.03 2.68 3.07 6.15 3.74 4.04 5.56 1.96 4.76 2.56 0.00 0.00 0.00 0.00 35.55

13 KOTAGEDE 1.86 3.27 2.63 3.85 0.93 1.01 0.00 0.00 2.38 5.13 0.00 0.00 18.18 0.00 39.25

14 MERGANGSAN 2.89 4.17 7.02 3.85 4.67 6.06 6.67 3.92 4.76 5.13 0.00 0.00 18.18 0.00 67.31

15 JETIS 1.40 4.17 2.63 8.46 5.61 5.05 8.89 5.88 4.76 2.56 0.00 6.67 0.00 20.00 76.08

16 WIROBRAJAN 1.30 3.57 1.32 4.62 3.74 2.02 5.56 0.00 4.76 2.56 5.88 0.00 9.09 0.00 44.42

17 KRATON 1.40 1.19 1.75 1.54 2.80 1.01 0.00 3.92 2.38 0.00 2.94 13.33 0.00 0.00 32.27

18 DANUREJAN 0.56 2.38 2.19 0.77 3.74 1.01 2.22 1.96 2.38 5.13 0.00 0.00 0.00 0.00 22.34

19 GEDONGTENGEN 0.84 2.08 0.88 2.31 1.87 3.03 6.67 0.00 7.14 2.56 0.00 0.00 0.00 20.00 47.38

20 NGAMPILAN 0.47 2.08 0.00 2.31 1.87 2.02 2.22 0.00 2.38 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13.35

21 GONDOMANAN 0.93 2.38 1.32 2.31 1.87 0.00 5.56 3.92 7.14 2.56 2.94 13.33 0.00 40.00 84.26

22 PAKUALAMAN 0.47 1.19 0.88 2.31 1.87 2.02 0.00 0.00 7.14 2.56 5.88 0.00 9.09 0.00 33.41

Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Untuk perhitungan jumlah orde, digunakan hasil perhitungan pada hasil perhitungan Rumus Sturgess

pada Sub bab II.4 tentang analisis skalogram, dimana dari hasil perhitungan diperoleh orde sebanyak

5 Orde. Langkah berikutnya adalah penentuan batas kelas (range) tiap orde. Perhitungan batas kelas

menggunakan rumus :

= (115,1 – 13,35) / 5

= 20,35

Pembagian Orde = Orde I = 94,75 – 115,1

Orde II = 74,4 – 94,75

Orde III = 54,05 – 74,4

Orde IV = 33,7 – 54,05

Orde V = 13,35 – 33,7

Hasil penentuan orde kemudian diterapkan pada setiap kecamatan sesuai dengan nilai Indeks

Sentralitasnya, dan hasil perhitungan yang diperoleh disajikan pada Tabel 11 dan Gambar 6.

Tabel 11. Hasil Penentuan Orde Metode Indeks Sentralitas Fasilitas Pelayanan Publik per Kecamatan di Kawasan APY

No. Kecamatan Jumlah IS Orde

1 UMBULHARJO 115.10 I

2 MLATI 113.26 I

3 GONDOKUSUMAN 111.35 I

4 NGEMPLAK 106.32 I

5 DEPOK 93.26 II

6 NGAGLIK 89.62 II

7 GAMPING 89.57 II

8 GONDOMANAN 84.26 II

Panjang Interval = IS Tertinggi - IS Terendah Banyaknya Orde

Lanjutan Tabel…..

Page 14: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

9 JETIS 76.08 II

10 MERGANGSAN 67.31 III

11 KASIHAN 59.09 III

12 TEGALREJO 49.18 IV

13 GEDONGTENGEN 47.38 IV

14 BANGUNTAPAN 46.39 IV

15 WIROBRAJAN 44.42 IV

16 KOTAGEDE 39.25 IV

17 MANTRIJERON 35.55 IV

18 PAKUALAMAN 33.41 V

19 KRATON 32.27 V

20 SEWON 31.23 V

21 DANUREJAN 22.34 V

22 NGAMPILAN 13.35 V

Gambar 6. Peta Orde Pusat Pelayanan Metode Indeks Sentralitas Marshall per Kecamatan di Kawasan APY

II.6 Analisis dan Perbandingan

Hasil yang diperoleh dari analisis pusat pertumbuhan Rank Size Rule memberikan 13 orde

pusat pertumbuhan. Namun demikian, tidak semua kecamatan masuk ke dalam setiap orde. Hasil yang

diperoleh menunjukkan hanya 8 orde yang terisi. Dilihat dari persebaran penduduk Tahun 2015 di

berbagai kecamatan yang terkelaskan ke berbagai orde dan pengamatan visualisasi peta pada Gambar

3, semua kecamatan di Kabupaten Sleman dan Bantul yang termasuk dalam kawasan Urban Fringe

Lanjutan Tabel…..

Page 15: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Yogyakarta mempunyai jumlah penduduk yang lebih besar (yang nampak dari orde yang lebih tinggi)

daripada kecamatan yang berada di dalam kota. Kecamatan Depok Kabupaten Sleman merupakan

kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar, kemudian diikuti Kecamatan Banguntapan Kabupaten

Bantul, dan berikutnya kecamatan lain di Sleman dan Bantul yang termasuk dalam Kawasan APY.

Kecamatan di Kota Yogyakarta yang masuk dalam Pusat Pertumbuhan Orde I hanya Kecamatan

Umbulharjo yang merupakan kecamatan dengan luas wilayah terbesar di Kota Yogyakarta. Jumlah

penduduk yang lebih besar di kecamatan - kecamatan pinggiran ini mungkin dipengaruhi oleh luas

wilayah yang memang lebih besar daripada kecamatan di dalam kota (lihat peta hasis analisis pada

Gambar 3), namun bisa juga disebabkan adanya pertumbuhan penduduk yang masif dalam tahun –

tahun terakhir (perlu data dan kajian lebih lanjut untuk memverifikasi dugaan ini). Fakta ini sekaligus

membuktikan penyebaran penduduk di Kawasan APY pada Tahun 2015 sudah merata ke seluruh

kawasan. Hasil analisis ini juga memberikan ruang untuk melakukan inferensi bahwa saat ini

ketersediaan lahan untuk permukiman di Kota Yogyakarta sudah jenuh, sehingga kawasan perkotaan

ini mulai berekspansi ke area pinggiran kota.

Kecenderungan ke depan, apabila lahan permukiman di dalam kota memang terbatas, jumlah

penduduk di kecamatan – kecamatan yang menjadi Pusat Pertumbuhan Orde I di luar Kota Yogyakarta

yang berbatasan langsung dengan kota akan terus tumbuh melebihi kecamatan di dalam kota,

sehingga perlu dipikirkan upaya antisipasi penyediaan fasilitas umum dan infrastruktur untuk

mendukung kebutuhan penduduk di masa mendatang. Antisipasi ini cukup penting karena kenyataan

yang terjadi di Yogyakarta saat ini menunjukkan pola dan tingkah laku yang mirip dengan Jakarta,

dimana penduduk mulai mengakuisisi lahan – lahan pertanian di pinggiran kota (akibat terbatasnya

lahan di dalam kota) untuk permukiman, namun tetap bekerja di dalam kota. Fenomena ini yang salah

satunya menyebabkan permasalahan kemacetan luar biasa di Jakarta yang belum tertangani dengan

baik sampai saat ini.

Terkait dengan efektivitas metode Rank Size Rule untuk menentukan orde pusat

pertumbuhan, metode ini cukup sensitif dan handal untuk menonjolkan variansi data antar lokasi.

Jumlah orde yang lebih banyak dapat memunculkan efek gradasi yang menjadi pembeda antar tempat,

yang mungkin tidak muncul jika menggunakan metode dengan keluaran jumlah orde yang lebih

sedikit. Namun demikian, jumlah orde yang banyak (selaras dengan jumlah unit analisis) mungkin tidak

efektif untuk kajian yang bertujuan ke upaya dukungan terhadap pengambilan keputusan dan

kebijakan (decision and policy making). Ketidak efektifan ini akan terasa ketika wilayah yang dikaji

cukup luas, dengan unit analisis yang banyak, dan selisih nilai data yang besar antara satu unit analisis

dan unit analisis yang lain, karena akan memunculkan orde – orde transisi yang tidak mempunyai

anggota orde, sebagaimana nampak pada analisis di kajian APY ini dimana terdapat tiga orde yang

tidak mempunyai anggota.

Page 16: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Gambaran tentang kondisi eksisting pusat pelayanan di APY yang diukur dari jumlah fasilitas

pelayanan di setiap kecamatan dapat dilihat dari hasil analisis Skalogram Guttman dan Indeks

Sentralitas Marshall. Khusus untuk analisis skalogram, nilai COR yang diperoleh kurang dari 0,9, yaitu

sebesar 0,8961. Nilai COR yang kurang dari 0,9 menunjukkan bahwa data pelayanan yang digunakan

kurang bisa dipercaya untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan analisis pusat pelayanan,

namun untuk melihat bagaimana keefektifan metode ini dalam perbandingannya dengan metode

Indeks Sentralitas, maka analisis tetap dilanjutkan.

Hasil yang diperoleh dari analisis Skalogram Guttman dan dilanjutkan klasifikasi hasil analisis

menggunakan klasifikasi Sturgess menghasilkan 5 orde pusat pelayanan, dengan hasil Kecamatan

Mlati Sleman merupakan kecamatan dengan fasilitas terlengkap sehingga menjadi Pusat Pelayanan

Orde I, diikuti Kecamatan Depok dan Kecamatan Ngaglik. Semua kecamatan di Kabupaten Sleman yang

termasuk dalam Kawasan APY termasuk dalam Orde I yang mengindikasikan bahwa (1) Perkembangan

kawasan perkotaan ke arah utara Kota Yogyakarta lebih kuat daripada arah lain; dan (2) Perkembangan

kawasan ke arah utara didukung dengan upaya pemenuhan fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.

Hasil dari analisis Skalogram Guttman yang menunjukkan Kecamatan Mlati dan Depok

Kabupaten Sleman sebagai kecamatan dengan fasilitas pelayanan terlengkap memperkuat indikasi

bahwa jumlah penduduk dan Orde Pusat Pertumbuhan yang tinggi di kecamatan – kecamatan ini (yang

nampak dari hasil analisis Pusat Pertumbuhan Rank Size Rule) tidak semata-mata karena faktor luas

wilayah, tetapi memang terdapat pertambahan penduduk dari waktu ke waktu (yang berkonsekuensi

pada peningkatan investasi pelayanan publik atau bisa juga berjalan parallel antara keduanya). Jika

dilihat dari pola pusat pelayanan yang nampak pada Gambar 5, kecamatan di area Urban Fringe

Yogyakarta yang fasilitasnya lengkap ada di sebelah barat dan utara kota (bahkan lebih lengkap dari

beberapa kecamatan di dalam Kota Yogyakarta sendiri), dengan urutan dominasi dari kecamatan di

sebelah utara baru ke arah barat kota.

Dilihat dari keragaman fasilitas pelayanan di Kawasan APY, Masjid merupakan fasilitas ibadah

yang bisa disediakan di setiap kecamatan. Selain Masjid, fasilitas pendidikan SD, SMP, SMA dan fasilitas

keamanan Kantor Polisi juga terdapat di setiap kecamatan. Perguruan Tinggi tersedia di seluruh

kecamatan kecuali di Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta. Lengkapnya fasilitas pelayanan

pendidikan di setiap kecamatan di Kawasan APY tentunya tidak lepas dari stigma Yogyakarta sebagai

kota pelajar dimana setiap tahunnya kota ini menjadi rujukan bagi lulusan SMA dari seluruh Indonesia

untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Fasilitas kesehatan Rumah Sakit Bersalin (RSB) dan fasilitas

ibadah Wihara merupakan fasilitas yang paling sedikit ditemui di Kawasan APY. Terkait dengan wihara,

mungkin dapat dimaklumi dikarenakan jumlah Umat Budha di kawasan ini yang secara visual tidak

terlalu besar, sehingga keberadaan Wihara dalam jumlah besar mungkin tidak diperlukan. Hal yang

cukup mengundang perhatian adalah keberadaan RSB yang hanya ditemui di 8 kecamatan dari 22

Page 17: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

kecamatan. RSB yang sedikit ini perlu menjadi perhatian lebih lanjut dan dapat menjadi dasar untuk

melakukan kajian lebih lanjut apakah RSB yang ada sudah cukup dan mampu melayani kelahiran di

seluruh Kawasan APY, terutama jika dilihat dari lokasi RSB di dalam kawasan, jumlah ibu hamil di setiap

kecamatan, dan tingkat aksesbilitas RSB eksisting sendiri.

Terkait dengan kehandalan model Skalogram Guttman dalam kajian pusat pelayanan, metode

ini tidak mempertimbangkan jumlah fasilitas pelayanan dalam pemodelannya, sehingga hirarki pusat

pelayanan yang dihasilkan dari metode ini hanya bisa dipandang dari aspek kelengkapan dan variasi

jenis fasilitas pelayanan. Dengan demikian metode ini mungkin tidak cocok untuk analisis pusat

pelayanan yang berorientasi pada pengukuran kemampuan pelayanan fasilitas publik di dalam

wilayah, namun cocok untuk mengidentifikasi keragaman pelayanan yang disediakan oleh wilayah.

Kelebihan lain dari model Skalogram Guttman adalah adanya fitur COR untuk mengukur penskalaan

fasilitas (atau data lain) dalam model Guttman. Dengan ambang batas 10% kesalahan observasi (Nilai

COR ≥ 0,9), maka bisa diputuskan pemberikan skor 0 (untuk ketiadaan fasilitas) dan 1 (untuk

keberadaan fasilitas) dalam Skala Guttman bisa diterapkan atau ditolak sebelum analisis dilanjutkan.

Berbeda dengan Model Skalogram Guttman, Model Indeks Sentralitas Marshall selain melihat

kelengkapan dan variasi jenis fasilitas, juga mempertimbangkan jumlah fasilitas di dalam unit analisis.

Dengan demikian konsepsi pusat pelayanan lebih terepresentasi di dalam Model Indeks Sentralitas

Marshall daripada Skalogram Guttman. Klasifikasi orde pusat pelayanan di Model Guttman sama

dengan Model Marshall, sehingga antara keduanya dapat dibandingkan.

Hasil pemodelan yang diperoleh menggunakan Model Indeks Sentralitas sedikit berbeda

dengan hasil dari Skalogram Guttman, dimana Pusat Pelayanan Orde I lebih banyak ditemui di dalam

Kota Yogyakarta daripada di luar kota. Dalam Model Indeks Sentralitas, Kecamatan Umbulharjo

merupakan kecamatan dengan Indeks Sentralitas terbesar yang diikuti kecamatan Mlati, Kecamatan

Gondokusuman, dan Kecamatan Ngemplak. Kecamatan Depok yang merupakan Pusat Pelayanan Orde

I di dalam Model Guttman menjadi Pusat Pelayanan Orde II di Model Marshall. Hal ini dapat diartikan

bahwa walaupun secara keragaman jenis fasilitas Kecamatan Depok cukup lengkap, namun dari sisi

jumlah tidak sebanyak kecamatan lain.

Dilihat dari pola pusat pelayanan yang terbentuk dari hasil pemodelan Indeks Sentralitas

(Gambar 8), Pusat Pelayanan Orde I dan II berada di pusat kota dan sisi utara dari Urban Fringe. Hasil

ini tidak jauh berbeda dengan Model Guttman, hanya sebaran orde pusat pelayanan yang terbentuk

lebih sesuai sebaran fasilitas pelayanan yang disajikan pada Gambar 4, dimana fasilitas pelayanan dari

sisi jumlah lebih banyak terdapat di dalam kota baru kemudian ke Kawasan APY sebelah utara.

Page 18: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

III. ANALISIS INTERAKSI KERUANGAN TEORI GRAFIK

III.1 Deskripsi Sumber Data Yang Digunakan

Analisis interaksi keruangan menggunakan Teori Grafik Kansky memerlukan dua jenis data,

yaitu (1) Data jumlah kota atau pusat pertumbuhan di dalam wilayah, dan (2) Data jaringan jalan per

kecamatan. Kedua data tersebut dapat diperoleh dari Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 yang

diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial Republik Indonesia (Gambar 7).

Gambar 7. Peta Pusat Desa dan Jaringan Jalan Utama di Kawasan APY

III.2 Perhitungan Indeks Konektivitas

Indeks Konektivitas Teori Grafik merupakan indikasi kuatnya hubungan antar pusat kegiatan

di dalam wilayah. Indeks konektivitas dapat dihitung dengan rumus seperti di bawah ini.

Dari data jaringan jalan dan pusat kegiatan di dalam kecamatan (diasumsikan Ibukota

Desa/Kelurahan), dilakukan tabulasi jumlah pusat kegiatan dan jaringan jalan per kecamatan.

Page 19: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Selanjutnya dari data tersebut dilakukan penghitungan Indeks Konektivitas menggunakan rumus

diatas, yang hasilnya disajikan dalam Tabel 12 dan Gambar 8. Sebagai catatan tambahan, klasifikasi

yang digunakan untuk menentukan tingkat konektivitas pada Peta Interaksi Keruangan menggunakan

Rumus Penentuan Kelas Sturgess dan Penentuan Interval Kelas seperti pada analisis pada subbab

sebelumnya, yang kemudian hasil klasifikasi yang terbentuk di-ordinal-kan dari sangat rendah ke

sangat tinggi.

Tabel 12. Hasil Perhitungan Indeks Konektivitas per Kecamatan di Kawasan APY

Kecamatan Kabupaten/Kota Jumlah Pusat Pertumbuhan

Jumlah Jaringan Jalan

Indeks Konektivitas

BANGUNTAPAN BANTUL 8 309 38.63

KASIHAN BANTUL 4 199 49.75

SEWON BANTUL 4 191 47.75

UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA 7 364 52.00

GONDOKUSUMAN KOTA YOGYAKARTA 5 274 54.80

TEGALREJO KOTA YOGYAKARTA 4 187 46.75

MANTRIJERON KOTA YOGYAKARTA 3 198 66.00

KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA 3 94 31.33

MERGANGSAN KOTA YOGYAKARTA 3 161 53.67

JETIS KOTA YOGYAKARTA 3 132 44.00

WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA 3 97 32.33

KRATON KOTA YOGYAKARTA 3 109 36.33

DANUREJAN KOTA YOGYAKARTA 3 57 19.00

GEDONGTENGEN KOTA YOGYAKARTA 2 54 27.00

NGAMPILAN KOTA YOGYAKARTA 2 41 20.50

GONDOMANAN KOTA YOGYAKARTA 2 86 43.00

PAKUALAMAN KOTA YOGYAKARTA 2 74 37.00

NGAGLIK SLEMAN 6 52 8.67

GAMPING SLEMAN 5 102 20.40

MLATI SLEMAN 5 267 53.40

NGEMPLAK SLEMAN 5 38 7.60

DEPOK SLEMAN 3 894 298.00

Gambar 8.

Peta Konektivitas Interaksi Keruangan di Kawasan APY

Page 20: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

III.3 Analisis dan Pembahasan Hasil

Hasil yang diperoleh dari analisis interaksi keruangan dalam wilayah menggunakan Model

Grafik Kansky (Tabel 12) menunjukkan bahwa Kecamatan Depok merupakan kecamatan yang

mempunyai indeks konektivitas tertinggi diikuti Kecamatan Mantrijeron. Nilai konektivitas Kecamatan

Depok sebesar 298 jauh melebihi kecamatan lain yang nilainya tidak lebih dari 100. Jika dikembalikan

pada konsep interaksi keruangan dalam teori grafik, konektivitas tinggi dan interaksi keruangan yang

kuat di Kecamatan Depok dapat dipahami karena selain wilayahnya yang lebih luas dibandingkan

dengan kecamatan – kecamatan di dalam Kota Yogyakarta, perkembangan jaringan jalannya tidak

kalah dengan kecamatan di kota (lihat Gambar 8).

Tingginya nilai konektivitas di Kecamatan Depok jika ditinjau dari hasil analisis sebelumnya

dapat tercermin juga dari jumlah penduduk dan Orde Pusat Pertumbuhan (Sub bab II.3) dimana

Kecamatan Depok merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak dan menduduki peran

sebagai kecamatan dengan Orde Pusat Pertumbuhan I. Demikian pula jika dilihat dari hasil analisis

Model Guttman, fasilitas pelayanan di Depok termasuk dalam Orde I yang berarti lebih lengkap dari

kecamatan lain, walaupun mungkin dari sisi jumlah fasilitas tidak sebanyak kecamatan lain yang

menduduki peran sebagai Pusat Pelayanan Orde I dari model Indeks Sentralitas. Perkembangan

wilayah yang tinggi di Kecamatan Depok sebagaimana terangkum dari hasil analisis sejauh ini, dapat

dipahami karena fasilitas pendidikan yang ada di Kawasan APY berada di kecamatan ini. Di kecamatan

ini terdapat 12 Perguruan Tinggi (lihat Tabel 6) yang beberapa diantaranya merupakan perguruan

tinggi besar di Indonesia seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas

Pembangunan Nasional Veteran dan Universitas Atma Jaya. Keberadaan perguruan tinggi di wilayah

ini yang memicu perkembangan jumlah penduduk dan investasi layanan pendukung pendidikan tinggi

dari waktu ke waktu, termasuk di dalamnya aktivitas pembangunan infrastruktur jalan dan

permukiman.

IV. ANALISIS EKONOMI WILAYAH

IV.1 Deskripsi Sumber Data Yang Digunakan

Analisis ekonomi wilayah untuk melihat pertumbuhan wilayah dapat menggunakan data hasil

produksi wilayah baik sektor basis maupun non basis. Terkait dengan kajian di Kawasan APY, gambaran

perekonomian wilayah dapat diketahui antara lain dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah

yang diterbitkan oleh BPS setiap tahun. Terkait dengan analisis ekonomi untuk Kawasan APY, PDRB

per kecamatan hanya tersedia untuk Kabupaten Sleman, sementara untuk Kota Yogyakarta dan

Kabupaten Bantul tidak tersedia datanya. Untuk itu pendekatan yang dilakukan untuk mengkaji

ekonomi wilayah Kawasan APY akan menggunakan data PDRB Kabupaten yang dibandingkan dengan

Page 21: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

PDRB Provinsi. Publikasi terakhir dari BPS untuk Tahun 2015 telah tersedia, sehingga data PDRB yang

digunakan adalah PDRB Tahun 2015 dan dibandingkan dengan PDRB Tahun 2013. Untuk konsep harga

dalam PDRB, yang akan digunakan adalah PDRB menurut harga konstan karena yang ingin dilihat

adalah pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten.

IV.2 Perhitungan Trend Produk Domestik Regional Bruto

IV.2.1 Metode Location Quotient (LQ)

Metode Location Quotient digunakan untuk melihat bagaimana kinerja ekspor wilayah

tersebut kaitannya dengan pertumbuhan wilayah. Hasil akhir dari metode LQ adalah setiap wilayah

akan mempunyai nilai indeks lebih dari satu atau kurang dari satu, dimana jika nilainya lebih dari atau

sama dengan satu, maka sektor produksi dan kesempatan kerja yang ada merupakan sektor basis dan

mampu melayani kebutuhan baik dalam wilayah maupun luar wilayah. Sedangkan jika nilainya kurang

dari satu, maka wilayah tersebut harus mengembangkan perekonomiannya.

Perhitungan LQ menggunakan rumus seperti di bawah ini.

Hasil perhitungan LQ untuk setiap kabupaten/kota yang meliput Kawasan APY disajikan pada Tabel 13

dan divisualiasaikan pada peta – peta sebaran LQ pada Gambar 8.

LQ = ps/pl

Ps/Pl

Di mana :

LQ = Location Quotient

ps = Produksi/kesempatan kerja sektor i, pada tingkat lokal.

pl = Produksi/kesempatan kerja total, pada tingkat lokal.

Ps = Produksi/kesempatan kerja sektor i, pada tingkal regional.

Pl = Produksi/kesempatan kerja total, pada tingkal regional.

Interpretasi

Jika LQ ≥ 1 sektor basis.

Artinya bahwa sektor tersebut sudah

mampu memenuhi kebutuhan

permintaan pasar di dalam wilayah dan

juga diekspor ke luar wilayah.

Jika LQ < 1 sektor non-basis.

Page 22: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Tabel 13. Hasil Perhitungan Location Quotient Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta

Page 23: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Gambar 9.

Page 24: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

IV.2.2 Metode Shift – Share

Model Shift – Share adalah model ekonomi wilayah yang menganalisis perubahan kegiatan

ekononomi dalam periode tertentu. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengidentifikasi wilayah

mana yang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan berfokus pada perbandingan antar sektor

ekonomi. Model ini mempertimbangkan tiga komponen pertumbuhan wilayah yang terdiri dari

Komponen Pertumbuhan Nasional (KPN), Komponen Pertumbuhan Proporsional (KPP) dan Komponen

Pertumbuhan Pangsa Wilayah (KPPW). Perhitungan antar komponen dilakukan menurut rumus di

bawah ini.

Hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi wilayah antara Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota

Yogyakarta menggunakan Model Shift – Share disajikan pada Tabel 14 dan Gambar 9.

PE = KPN + KPP + KPPW

= (Yt/Yo – 1) + (Yit / Yio - Yt/Yo) + (yit / yio - Yt/Yo)

= [Ra – 1] + [ Ri - Ra ] + [ri - Ra]

Di mana Yt = indikator ekonomi wil. Nasional, akhir tahun analisis. Yo = indikator ekonomi wil. Nasional, awal tahun analisis. Yit = indikator ekonomi wil. Nasional sektor i, akhir tahun analisis. Yio = indikator ekonomi wil. Nasional sektor i ,awal tahun analisis. yit = indikator ekonomi wil. Lokal sektor i , akhir tahun analisis. yio = indikator ekonomi wil. Lokal sektor i , awal tahun analisis.

PB = KPP + KPPW

Jika PB ≥ 0 sektor tersebut progresif/maju.

Jika PB < 0 sektor tersebut lamban / mundur.

Page 25: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Tabel 14. Hasil Perhitungan Model Shift-Share Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta

Page 26: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Gambar 10. Plot PP – PPW Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta

IV.3 Analisis dan Pembahasan

Kemajuan suatu wilayah pada dasarnya tidak dapat dicapai apabila wilayah tidak

mengembangkan potensi sumberdaya yang dimilikinya, baik untuk memenuhi kebutuhan wilayah itu

sendiri atau mendukung wilayah lain dalam mencapai kemajuan bersama. Kawasan Aglomerasi

Perkotaan Yogyakarta pada dasarnya adalah sebuah kawasan pengembangan perkotaan yang

didalamnya terdiri dari 22 kecamatan yang masuk dalam 2 kabupaten dan 1 kotamadya. Dari berbagai

penjelasan dalam analisis sebelumnya, setiap bagian dari kawasan ini, baik dilihat dari aspek

administratif maupun fisik ternyata menunjukkan perkembangan yang tidak sama. Bagian utara, timur

dan barat kawasan lebih maju dari pada sisi selatan kawasan, walaupun dari perkembangan jumlah

penduduk relatif seragam. Sebelumnya telah dibahas bahwa penyebab perkembangan yang condong

ke utara ini lebih disebabkan keberadaan fasilitas pendidikan yang mengumpul di utara (Kabupaten

Sleman), sehingga investasi bidang jasa dan sektor non pertanian lain lebih tertarik ke sisi utara

kawasan. Meskipun demikian perlu dilihat lebih lanjut mengenai bagaimana kontribusi dan peran

Page 27: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

sektor ekonomi dalam menjelaskan fenomena ini. Oleh karena itu dilakukan analisis ekonomi wilayah

dengan menggunakan dua metode, yaitu Location Quotient (LQ) dan Model Shift-Share dengan

memberdayakan data PDRB Kabupaten dan Provinsi pada Tahun 2013 dan 2015.

Metode LQ dikembangkan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan suatu wilayah, dilihat

dari perbandingan keluaran produksi/kesempatan kerja suatu wilayah dengan wilayah induknya.

Keluaran dari metode LQ adalah penentuan apakah suatu wilayah termasuk ke dalam sektor basis atau

non basis di dalam wilayah induk. Sektor basis berarti wilayah tersebut memiliki keuntungan

komparatif dalam komoditas tertentu dan berpotensi menyuplai kelebihan produksi untuk wilayah

lain, sementara sektor non basis berarti sebaliknya, komoditas yang ada hanya cukup untuk konsumsi

dalam wilayah.

Dilihat dari hasil analisis LQ Tahun 2013, Kabupaten Bantul merupakan sektor basis untuk

sektor pertanian, pertambangan dan galian, industri, dan konstruksi, untuk Daerah Istimewa

Yogyakarta. Sementara Kota Yogyakarta merupakan sektor basis untuk sektor industri, utilitas listrik

dan air, jasa dan perdagangan, keuangan, dan transportasi komunikasi. Kabupaten Sleman

terspesialisasi untuk sektor industri, jasa dan perdagangan, serta transportasi komunikasi. Jika dilihat

dari progresnya pada Tahun 2015, hampir tidak terjadi perubahan status basis – non basis dari tiga

kabupaten/kota tersebut. Perubahan hanya terjadi pada Kabupaten Bantul dimana pada Tahun 2013

sektor perdagangan merupakan sektor non basis dan pada Tahun 2015 telah meningkat statusnya

menjadi sektor basis. Sementara di Kabupaten Sleman yang tadinya industrinya telah mencapai sektor

basis pada Tahun 2013 mundur menjadi non basis pada Tahun 2015. Melihat hasil ini, tampaknya telah

mulai ada spesialisasi diantara ketiga kabupaten/kota tersebut, dimana Bantul masih mengandalkan

pada komoditas pertanian dan sumberdaya alam sebagai salah satu sumber perekonomian wilayah,

namun Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman sudah mulai meninggalkannya dan beralih ke sektor

infrastruktur dan jasa.

Bantul yang masih mengandalkan sektor pertanian, perdagangan dan pertambangan sebagai

salah satu sektor basis mungkin bisa menjawab mengapa Kawasan APY di sebelah selatan belum

nampak berkembang jika dilihat dari keberadaan fasilitas pelayanan, walaupun jumlah penduduk dan

orde pusat pertumbuhannya tidak kalah dengan kecamatan di sebelah utara. Kondisi ini mungkin bisa

dibilang ideal karena setiap wilayah memiliki sektor basis yang berbeda, sehingga bisa diharapkan

saling mendukung satu sama lain. Suplai produk pertanian untuk Kota Yogyakarta dan Sleman bisa

diperoleh dari Bantul, sementara kebutuhan Bantul terkait listrik, air, transportasi, keuangan dan jasa

lainnya bisa diperoleh dari Sleman dan Kota Yogyakarta.

Sebagaimana nampak pada hasil analisis, penggunaan Model LQ untuk analisis ekonomi

wilayah dapat mengidentifikasi sektor ekonomi unggulan di dalam wilayah dan memungkinkan untuk

Page 28: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

memantau perkembangan sektor unggulan tersebut secara multitemporal. Namun demikian,

kuantifikasi hasil pemodelan dalam bentuk indeks basis dan non basis tidak mencerminkan perubahan

dari PDRB-nya sendiri. Pemodelan LQ kurang dapat menggambarkan bagaimana perkembangan

pertumbuhan (yang tercermin dari jumlah PDRB) wilayah apakah naik atau turun. Di dalam LQ, naik

atau turun tidak begitu penting karena selama masih berada dalam jangkauan sektor basis, komoditas

atau sektor yang dikaji akan tetap menjadi sektor unggulan.

Berbeda dengan Model LQ, Model Shift-Share mendasarkan pada tiga komponen

pertumbuhan ekonomi, yaitu komponen pertumbuhan nasional, komponen pertumbuhan

proporsional dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah. Tiga komponen ini dapat memberikan

penjelasan tidak hanya sektor unggulan wilayah, tapi juga dapat menjelaskan dinamika ekonomi (naik

turunnya pertumbuhan ekonomi) per sektor di dalam wilayah. Oleh karena itu dapat dibilang Model

Shift-Share lebih lengkap daripada Model LQ.

Hasil analisis pertumbuhan ekonomi wilayah menggunakan Model Shift-Share untuk 2

Kabupaten dan 1 Kota yang menaungi Kawasan APY dapat dilihat pada ploting PP-PPW (yang

mencerminkan dinamika PB) kinerja sektor pada Gambar 10 dan Tabel 14. Hasil ini memberikan

tambahan penjelasan terkait hasil LQ. Dilihat dari nilai PB dan Plot PP-PPW yang diperoleh, ketiga

kabupaten/kota mengalami kemunduran produksi pertanian (dilihat dari produksi pertanian provinsi)

sebesar 20 persen, demikian pula untuk sektor pertambangan, industri dan utilitas (listrik, gas,air).

Sementara sektor keuangan, jasa, transportasi komunikasi dan perdagangan mulai tumbuh.

Mundurnya pertumbuhan ekonomi berbasis sumberdaya alam di tiga kabupaten/kota yang

menjadi lokasi kajian mengindikasikan bahwa Provinsi DIY pada umumnya dan Kawasan APY pada

khususnya sedang mengalami transformasi perekonomian dari yang sebelumnya bercorak agraris

menuju ke jasa dan pelayanan. Sektor industri yang umumnya muncul sebagai pengganti sektor agraris

di daerah lain di Indonesia tidak begitu muncul di DIY. Pertama, penduduk DIY sendiri tidak terlalu

besar, sehingga kurang menarik minat investasi industri besar padat karya, dan kedua, DIY sendiri lebih

terkenal sebagai wilayah unggul penyedia layanan pendidikan dan pariwisata, sehingga nampaknya

pelaku ekonomi di Kawasan APY lebih tertarik untuk mengembangkan aktivitas ekonomi yang

mendukung sektor unggulan ini.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari hasil analisis dan pemodelan yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan

penduduk di Kawasan APY sebagaimana nampak dari orde pusat pertumbuhan menunjukkan bahwa

pertumbuhan penduduk di kecamatan di Urban Fringe Yogyakarta lebih besar daripada di dalam kota.

Di sisi lain perkembangan pelayanan sebagaimana nampak dari orde pusat pelayanan cenderung

Page 29: Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta

terpusat ke arah pusat dan utara kawasan. Pertumbuhan dan pelayanan yang tidak berimbang ini

berpotensi membawa masalah, terutama jika penduduk di selatan kawasan ingin mendapatkan

pelayanan harus pergi ke utara. Masalah yang dapat muncul antara lain kemacetan baik di pusat kota

maupun di sekitar Kawasan APY sendiri sebagai konsekuensi dari lalu lalang penduduk dalam

memperoleh pelayanan. Potensi permasalahan ini semakin nampak karena perkembangan interaksi

keruangan dan konektivitas (yang tercermin dari perkembangan jaringan jalan) juga lebih berkembang

di utara kawasan. Peningkatan fasilitas pelayanan, baik dari sisi jumlah maupun ragam di sisi selatan

kawasan harus dilakukan untuk menyeimbangkan permintaan pelayanan yang meningkat sebagai

konsekuensi pertumbuhan penduduk.

Dilihat dari aspek perekonomian wilayah, Kawasan APY telah mengalami transformasi dari

sektor agraris menuju sektor jasa dan pelayanan. Walaupun sektor pertanian masih menjadi sektor

basis di sebagian Kawasan APY dan cukup ideal karena terdapat berbagai spesialisasi corak aktivitas

ekonomi di dalam kawasan yang dapat mendukung satu sama lain, penurunan pertumbuhan sektor

pertanian yang signifikan dalam 2 tahun dan pertumbuhan sektor jasa dan pelayanan mengharuskan

adanya perhatian dari pemerintah. Fasilitasi pengembangan sektor jasa dan pelayanan di DIY pada

umumnya dan Kawasan APY pada khususnya Idealnya harus sebisa mungkin tidak meninggalkan

pengelolaan dan peningkatan sektor pertanian karena merupakan kebutuhan primer