lapkas vitiligo isi.doc

Embed Size (px)

Citation preview

VITILIGOI. DEFINISIVitiligo adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kehilangan pigmen melanosit pada lapisan epidermal. Kelainan ini mungkin disebabkan oleh penyakit autoimun yang berkaitan dengan pembentukan antibodi terhadap sel melanosit, namun, patogenesis yang sebenarnya masih belum diketahui secara pasti. Studi menyatakan bahwa terdapat beberapa mekanisme yang melibatkan genetik dalam etiologi terjadinya penyakit vitiligo dan juga terjadi secara poligenik. Dalam kira-kira 30% kasus, ditemukan keterlibatan riwayat anggota keluarga lain yang pernah mengalami vitiligo. Rasio antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Kira-kira 1% dari populasi terkena penyakit ini dan 50% darinya bermula pada umur kurang dari 20 tahun. Kehilangan pigmen ini bisa terjadi secara fokal atau general.[1]II. ETIOLOGIVitiligo merupakan kelainan poligenik multifaktorial dengan patogenesis yang kompleks yang masih belum dapat dimengerti. Beberapa Teori yang paling diterima adalah faktor genetik dan nongenetik yang berinteraksi dalam mempengaruhi gungsi dan ketahanan melanosit, termasuk mekanisme autoimun dalam merusak melanosit. Penjelasan yang lain termasuk defek dari adhesi melanosit, kerusakan neurogenik, kerusakan biokimiawi, autositotoksik, dan yang lainnya. [2]III. GAMBARAN KLINISPenderita vitiligo datang berobat dengan satu hingga beberapa makula amelanotik yang memberikan gambaran seperti warna kapur atau warna putih susu. Lesi biasanya berbatas tegas tetapi dengan pinggiran yang berkelok-kelok dan lebih jelas kelihatan di bawah sinar lampu Wood. Lesi membesar secara sentrifugal pada kadar yang tidak dapat diprediksi dan bisa timbul pada seluruh bagian tubuh termasuk membran mukosa. Lesi awal biasanya muncul pada tangan dan lengan bawah, kaki, dan wajah. Pada bagian wajah, distribusi vitiligo yang paling sering adalah di daerah perioral dan periokuler.[2]IV. KLASIFIKASI VITILIGOVitiligo bisa diklasifikasikan kepada vitiligo segmental, akrofasial, general, dan universal, atau bisa juga diklasifikasikan mengikut pola keterlibatan bagian tubuh seperti tipe fokal, gabungan, dan mukosa.[2]1) Vitiligo fokal : biasanya muncul dengan makula yang soliter atau makula kecil yang menyebar pada satu bagian tubuh, sering melibatkan bagian yang dipersarafi N. Trigeminus, pada bagian leher dan badan juga sering terkena vitiligo tipe ini.[2]

Gambar 1. Dikutip dari kepustakaan no.2 (a) dan 1 (b). Kedua-dua gambar ini menunjukkan lesi vitiligo tipe fokal.

2) Vitiligo segmental : makula yang unilateral dengan distribusi mengikuti dermatom atau quasi-dermatomal. Onset biasanya pada awal usia penderita dan tidak berkaitan dengan penyakit tiroid atau penyakit autoimun yang lain. Tipe ini sering terjadi pada anak-anak. Poliosis (rambut yang berwarna putih) terjadi pada lebih separuh penderita vitiligo tipe segmental.[2]

Gambar 2. Dikutip dari kepustakaan no. 22 (a) dan 2 (b). Segmental vitiligo. (a) segmental vitiligo yang terjadi pada daerah wajah dan leher dengan distribusi quasi-dermatomal. (b) Segmental vitiligo yang menyebabkan poliosis pada alis dan bulu mata.3) Vitiligo akrofasial : Depigmentasi pada jari-jari bagian distal dan pada daerah periofisial.[2]

Gambar 3. Dikutip dari kepustakaan no. 2 Gambar 3. Lesi pada penderita vitiligo tipe akrofasial4) Vitiligo generalisata : dikenali juga dengan istilah vitiligo vulgaris. Tipe ini sebenarnya lebih sering terjadi. Bercak depigmentasi lebih luas dan menyebar secara simetris.[2]

Gambar 4. Dikutip dari kepustakaan no.4[4]Lesi pada penderita vitiligo tipe generalisata5) Vitiligo universal : makula dan bercak depigmentasi menyebar pada hampir seluruh bagian tubuh, sering berkaitan dengan sindrom endokrinopati yang multipel.[2]

Gambar 5. Dikutip dari kepustakaan no.2Lesi pada penderita vitiligo tipe universal.6) Vitiligo mukosa : vitiligo yang terjadi pada bagian membran mukosa saja.[2] Kelainan yang menyertai

Vitiligo biasanya disertai dengan kelainan atau penyakit autoimun yang mendasari sebelumnya. Penyakit endokrinopati lain yang menyertai biasanya melibatkan disfungsi tiroid, samada hipertiroidisme (Graves disease) atau hipotiroidisme (Hashimoto thyroiditis). Vitiligo biasanya mendahului onset penyakit disfungsi tiroid ini.[2]Vitiligo juga bisa terjadi pada penderita penyakit Addison, anemia pernisiosa, alopesia areata, dan diabetis mellitus. Telah berlaku peningkatan terjadinya vitiligo pada pasien dengan poliendokrinopati autoimun distrofi kandidiasis ektodermal.[2]Vitiligo bisa mempengaruhi melanosit yang aktif di seluruh bagian tubuh termasuk sel pigmen dalam rambut, bagian telinga dalam, dan retina. Poliosis (leukotrikia) paling banyak diderita. Depigmentasi prematur banyak ditemukan pada anggota keluarga terdekat pasien. Gangguan auditori dan visual ditemukan pada beberapa pasien vitiligo. Meningitis aseptik yang terjadi akibat kerusakan melanosit leptomeningeal jarang ditemukan.[2]1) Kelainan pada mata

Pasien vitiligo biasanya tidak mempunyai keluhan berkaitan dengan mata atau penglihatan, namun beberapa gejala mata yang berat dapat ditemukan. Pigmentasi yang abormal dapat ditemukan pada iris dan retina. Abnormalitas pada koroidal juga dapat ditemukan. Eksoftalmus bisa terjadi pada pasien dengan Graves disease. Ketajaman penglihatan tidak terganggu pada umumnya.[2]2) Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada

Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) ini merupakan gabungan penyakit vitiligo dengan uveitis, meningitis aseptik, diaskusis, tinnitus, poliosis, dan alopesia. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun sel T yang langka. Sindrom VKH ini berkaitan dengan penyakit autoimun yang lainnya seperti sindrom autoimun poliglandular, hipotiroidisme, Hashimoto thyroiditis, dan DM. Sindrom VKH berlaku dalam 3 fase. Pada fase pertama, yaitu fase meningonsefalik, pasien akan memberikan gejala seperti sakit kepala, meningismus, kejang, lemah otot, atau paralisis setelah muncul gejala prodromal seperti demam, malaise, mual dan muntah. Pada fase selanjutnya oftalmik akut muncul apabila pasien memberikan gejala seperti fotofobia, nyeri orbita, dan gangguan ketajaman penglihatan. Pada pasien bisa terjadi gejala lain seperti uveitis, iridosiklitis, koroiditis, dan retinal detachment, kemudian timbul komplikasi seperti katarak dan glaukoma. Biasanya, vitiligo, alopesia dan poliosis mengikuti sindrom ini, namun, bisa juga terjadi sebelum manifestasi klinis yang lain.[2]3) Sindrom Alezzandrini

Konstelasi gejala klinis pada sindrom Alezzandrini ini termasuk vitiligo fasialis, poliosis, tuli, dan degenerasi tapetoretina. Etiologi masih belum diketahui secara pasti, namun seperti vitiligo dan sindrom VKH, sindrom ini disebabkan oleh proses autoimun.[2]V. DIAGNOSADiagnosa bagi vitiligo secara primer adalah berdasarkan pemeriksaan klinis. Terdapat hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun lainnya, beberapa tes laboratorium yang lain sangat membantu dalam menegakkan diagnosa. Tes tersebut adalah tes kadar hormon yang menstimulasi tiroid, antibodi antinuklear, dan tes darah lengkap.[2]Pemeriksaan dengan menggunakan lampu Wood dalam kamar gelap membantu memperjelas lesi hipopigmentasi pada vitiligo. Lesi seperti pada aksila, anus, dan genitalia harus diperiksa secara teliti karena bagian-bagian ini sering terlibat namun, penampakannya tidak begitu terlihat tanpa menggunakan sinar dari lampu Wood. Pada vitiligo yang dicurigai sudah terjadi metastase melanoma, lesinya dapat dilihat dengan menggunakan lampu Wood.[1]VI. DIAGNOSA BANDING1) Tinea Versikolor

Penyakit infeksi ringan yang kronis disebabkan oleh Malassezia furfur, ditandai dengan gejala depigmentasi kulit terpisah atau tergabung dan berskuama. Bagian yang sering terkena adalah bagian badan atas.[5]

Gambar 6. Dikutip dari kepustakaan no.8Lesi pada penderita tinea versikolor.2) Pitiriasis alba

Kelainan kulit ini mempunyai pola dermatitis yang paling mencolok. Gejala penyakit ini ditandai dengan terjadi eritema dan skuama yang biasanya mendahului pembentukan hipopigmentasi.[5]

Gambar 7. Dikutip dari kepustakaan no.5Lesi pada penderita pitiriasis alba.3) Hipopigmentasi pasca-inflamasi

Inflamasi pada kulit bisa menyebabkan terjadinya hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Setelah proses inflamasi pada kulit sembuh, terbentuk hipopigmentasi pasca-inflamasi pada lesi yang telah terinflamasi. Tanda kekurangan pigmen kelihatan dengan jelas apabila bagian lesi primer tersebut membaik. Karakteristik lesi hiopigmentasi pasca-inflamasi biasanya ditandai denga gejala seperti makula dengan batas yang tidak tegas dengan tingkat hipopigmentasi yang bervariasi.[6]

Gambar 8. Dikutip dari kepustakaan no.2Tampak plak inflamatori yang kemerahan pada kulit kepala dengan hipopigmentasi pasca-inflamasi.VII. PENATALAKSANAANTerdapat banyak pilihan terapi untuk mengobati vitiligo. Kebanyakan terapi bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit. Setiap pengobatan mempunyai kelebihan dan kekurangan.[2]1) Tabir suryaMetode ini dapat melindungi kulit dari terbakar akibat sinar matahari dan mengurangi kerusakan kulit. Tabir surya juga berpotensi mengurangi perbedaan warna pada bagian kulit yang sehat agar tidak tampak kontras dengan lesi pada vitiligo.[2]2) Penggunaan kosmetik Banyak pasien vitiligo menutupi kelainan kulit yang diderita dengan menggunakan kosmetik. Bagian leukoderma terutamanya wajah, leher, atau tangan bisa ditutupi dengan make-up yang konvensional. Kosmetik menawarkan biaya yang terbatas, efek samping yang minimal, dan aplikasi yang mudah untuk dilaksanakan.[2]3) Kortikosteroid topikal

Kortikosteroid topikal diindikasikan untuk pengobatan vitiligo dengan bagian yang terbatas. Biasanya menjadi terapi pertama untuk anak-anak. Lesi pada wajah berespon sangat baik terhadap pengobatan dengan kortikosteroid topikal dan lesidi leher dan ekstremitas(kecuali padajari tangan dan kaki) juga memiliki respon baik. Lesi yang terlokalisir bisa diobati dengan kortikosteroid fluorinated berpotensi tinggi selama 1 hingga 2 bulan, dan diturunkan dosisnya dengan menggunakan kortikosteroid berpotensi rendah. Untuk anak-anak dan pasien dengan lesi vitiligo yang meluas, biasanya diberikan kortikosteroid non-fluorinated berpotensi medium. Penggunaan kortikosteroid topikal harus diperhatikan di sekitar kelopak mata, karena penggunaan obat ini bisa mengakibatkan peningkatan tekanan intraokuler dan mengeksaserbasi glaukoma.[2]Lampu Wood biasanya dipakai untuk mengobservasi respon kulit terhadap terapi yang diberikan. Jika pengobatan tidak memberikan respon dalam waktu 3 bulan, maka terapi harus dihentikan. Waktu maksimal terjadinya repigmentasi kira-kira 4 bulan atau lebih.[2]4) Imunomodulator topikal

Terapi dengan ointment takrolimus topikal 0.03% hingga 0.1% efektif dalam membantu proses repigmentasi pada vitiligo yang diaplikasikan 2 kali sehari pada pasien dengan lesi yang terlokalisir, terutama wajah dan leher. Sebagian sumber juga mengatakan bahwa efektifitas bertambah dengan kombinasi terapi Ultraviolet B (UVB) atau laser eksimer (308 nm). Ointment takrolimus aman digunakan pada anak-anak, dibandingkan dengan kortikosteroid topikal.[2]5) Kalsipotriol topikal

Penggunaan kalsipotriol 0.005% dikatakan bisa memberikan hasil repigmentasi yang tidak kurang memuaskan pada pasien vitiligo. Obat ini bisa dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal dalam mengobati vitiligo pada dewasa dan anak-anak untuk memberikan hasil repigmentasi yang cepat.[2]6) Pseudokatalase

Katalase merupakan enzim yang melindungi dan mengurangi kadar kerusakan sel akibat dari reaksi radikal bebas. Terapi penggantian dengan menggunakan katalase manusia yang normal (pseudokatalase) dengan kombinasi fototerapi Narrowband UVB telah digunakan dalam percobaan proses repigmentasi pada pasien vitiligo dan mencegah progresivitas penyakit.[2]7) Terapi sistemik

Obat imunosupresif sistemik memiliki banyak efek samping yang sukar diprediksi bagi penyakit vitiligo. obat ini telah digunakan sebagai pulse therapy dan menyumbang kepada hasil yang bervariasi dan mencegah depigmentasi dengan cepat.[2]8) Terapi PUVA (Psoralen Ultraviolet A)Terapi yang efektif bagi pengobatan vitiligo adalah 8-methoxypsoralen oral atau topikal yang dikombinasi dengan iradiasi UVA (320-400 nm). Untuk pasien dengan vitiligo kurang dari 20% pada badan, kadangkala bisa juga diberikan PUVA topikal. Efek samping seperti hiperpigmentasi kulit yang mengelilingi daerah vitiligo akibat dari aplikasi psoralen yang dilakukan secara tidak berhati-hati, reaksi fototoksisitas dan pruritus juga sering terjadi. Psoralen oral digunakan pada pasien dengan vitiligo yang ekstendif dan pasien yang tidak memberi respon terhadap PUVA topikal.[2]9) Radiasi dengan Narrowband Ultraviolet B (NB-UVB)Radiasi dengan NB (311 nm)-UVB merupakan pilihan terapi yang lain bagi pasien vitiligo dan menjadi terapi utama pada kebanyakan pasien. Pada pasien dengan vitiligo general yang ekstensif, terapi UNB-UVB dikatakan lebih efektif dibandingkan dengan PUVA topikal. Jika pasien tidak menunjukkan respon dalam waktu 6 bulan perawatan, maka terapi dengan NB-UVB diberhentikan.[2]10) Terapi dengan Laser Eksimer

Laser eksimer (308 nm) dikatakan efektif jika diberikan 3 kali seminggu dengan lama perawatan 12 minggu atau lebih bagi mendapatkan repigmentasi yang memuaskan. Dosis awal adalah 50 sampai 100 mj/cm2.[2]11) Depigmentasi

Agen yang biasa digunakan adalah eter monobenzil hidroquinone 20% (MBEH), diaplikasikan sebanyak 1 atau 2 kali sehari pada daerah vitiligo dengan lama masa perawatan 9 hingga 12 bulan atau lebih. MBEH merupakan iritan atau alergen yang poten dan depigmentasi bisa terjadi pada bagian distal dari daerah yang diaplikasikan dengan obat ini. Hasil depigmentasi yang diakibatkan MBEH adalah permanen, namun repigmentasi juga bisa berlaku disebabkan oleh paparan sinar matahari. Krim eter monometil hidroquinone 20% bisa digunakan sebagai terapi alternatif bagi MBEH. Efek samping termasuk dermatitis kontak, okronosis eksogen, dan leukomelanoderma en confetti.[7]VIII. PROGNOSISPrognosis dan perjalanan penyakit vitiligo ini tidak dapat diprediksi. Gejala klinis sub-tipe vitiligo tidak menjanjikan prediksi yang benar dan tepat tentang keterlibatan bagian tubuh yang terkena atau aktivitas dari penyakit ini.[2]LAPORAN KASUSDATA PASIENNama : Nn. A

Umur : 19 TahunJenis Kelamin : PerempuanAgama : KristenAlamat : KabanjaheStatus Perkawinan : Belum MenikahPekerjaan : MahasiswiMasuk RS Tanggal : 5 Februari 2015 KU: bercak hitam

Telaah : hal ini di rasakan sejak lebih kurang 1 tahun yg lalu, berubah menjadi bercak putih selang 1 minggu menyebar dari perut ke dada, terasa gatal (-), terasa sakit (-).

Riwayat penyakit dahulu : (-)

Riwayat penyakit keluarga : ada yg menderita penyakit yang sama

Riwayat penggunaan obat : (-)

Alergi makanan : udang

Alergi obat : (-)

Gambar 9. Laporan kasus vitiligo

Daftar Pustaka

1.Habif, T.P., Disorders of Hypopigmentation : Vitiligo, in Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 2004, Mosby: New York. p. 685 - 690.

2.Goldsmith, L.A., et al., Vitiligo, in Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 2012, McGraw-Hill: New York. p. 792 - 803.

3.Usha, S.S. and S.S. Pandey, Clinical and Experimental Dermatology. Journal of Applied Pharmaceutical Science, 2011. 01(10): p. 211 - 214.

4.James, W.D., P.R. Gross, and T.G. Berger, Disturbances of Pigmentation : Vitiligo, in Andrew's Disease of The Skin : Clinical Dermatology. 2006, Elsevier: Philadephia. p. 860 - 863.

5.Burns, T., et al., Disorders of Skin Colour : Vitiligo, in Rooks Textbook of Dermatology. 2010, Blackwell Publishing London. p. 58.46 - 9.

6.V., V. and T. K., Postinflammatory Hypopigmentation. Clinical and Experimental Dermatology, 2011. 36(1): p. 708 - 14.

7.Bolognia, J.L., J. Jorizzo, and R. Papini, Vitiligo, in Dermatology. 2008, Elsevier: London.

15