Upload
lydang
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di kawasan Asia Tenggara
dan berada di sekitar garis khatulistiwa, sehingga memberikan cuaca tropis. Posisi
Indonesia terletak pada koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BB - 141°45'BT.
Negara ini juga berada di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia atau
Oseania. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang berada pada posisi
strategis karena berada di tengah jalur pelayaran internasional. Dahulu Indonesia
terkenal dengan rempah-rempahnya, yang merupakan salah satu dari kekayaan alam
Indonesia dengan tanahnya yang subur.
Pada saat penjajahan Belanda rempah-rempah dianggap barang yang paling
berharga dan sebagai salah satu alasan kedatangan penjajah ke Indonesia. Pada saat
itu dikenal adanya tanam paksa (cultuurstelsel) dengan hasil berupa rempah-rempah
seperti teh, kina, kopi, pala, bunga pala, cengkeh dan lain-lain yang menjadi
permintaan pasar dunia pada saat itu. Sejak saat itu pula Indonesia dikenal sebagai
negara penghasil rempah-rempah dan hasil perkebunan berumur panjang yang
berkualitas tinggi. Daerah yang menjadi sentra rempah-rempah Indonesia tersebar di
kepulauan Maluku pada saat itu.
Pengalaman dan ilmu yang didapat dari nenek moyang Indonesia dahulu
dalam hal berkebun masih dicontoh hingga sekarang, dan juga didukung dengan
inovasi akibat kemajuan zaman. Karena hasil komoditi perkebunan Indonesia masih
menjadi salah satu pilihan untuk konsumsi masyarakat dunia (Gambar 1).
Gambar 1 memperlihatkan bagaimana volume ekspor perkebunan Indonesia
terus meningkat. Mulai dari tahun 2003 dengan volume 11.974.204 ton sampai tahun
2009 dengan volume 27.864.811 ton. Pertumbuhan rata-rata volume ekspor
perkebunan sebesar 15,4 persen. Persentase pertumbuhan tertinggi pada tahun 2004
yaitu 29,9 persen, dan persentase pertumbuhan terendah pada tahun 2007 yaitu 3,4
persen.
2
Sumber : Badan Pusat Statistik Gambar 1. Perkembangan Volume Ekspor Perkebunan Indonesia Tahun 2003– 2009
Selain itu kondisi nilai ekspor kita juga terus meningkat, kecuali pada tahun
2009. Peningkatan terjadi mulai dari tahun 2003 hingga 2008, dengan rata-rata
pertumbuhan nilai ekspor sebesar 32,1 persen. Penurunan nilai ekspor pada tahun
2009 yaitu sebesar 21,1 persen dengan nilai US$ 21.581.669, yang pada tahun 2008
berada pada nilai US$ 27.369.363, mengakibatkan penurunan nilai pertumbuhan rata-
rata komoditi perkebunan ini menjadi 23,2 persen. Pertumbuhan tertinggi nilai
ekspor Indonesia terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 42,77 persen. Nilai ekspor
yang memiliki pertumbuhan rata-rata positif tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber: Badan Pusat Statistik Gambar 2. Perkembangan Nilai Ekspor Perkebunan Indonesia Tahun 2003-2009
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009Vol
ume
Eks
por
dala
m T
on
Tahun
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009Nila
i Eks
por
dala
m 1
000
US$
Tahun
3
Keadaan volume ekspor yang terus meningkat dan nilai ekspor yang juga
meningkat, kecuali nilai ekspor tahun 2009 merupakan gambaran bagaimana hasil
perkebunan Indonesia masih diminati untuk dikonsumsi masyarakat dunia,
sebagaimana yang terjadi pada masa penjajahan dahulu. Ekspor perkebunan
Indonesia yang terus meningkat, juga dapat menggambarkan permintaan komoditas
perkebunan dalam negeri sudah tertutupi sebagian. Dikatakan sebagian karena
Indonesia masih membutuhkan impor komoditi perkebunan tersebut, tetapi nilai
impor komoditi ini kecil sehingga membuat neraca perdagangan komoditi
perkebunan memiliki nilai yang surplus. Nilai neraca perdagangan merupakan nilai
ekspor dikurang nilai impor.
Nilai neraca perdagangan Indonesia terus meningkat dari tahun 2003 – 2008
namun pada tahun 2009 mengalami penurunan. Hal yang terjadi pada tahun 2009
tersebut adalah dimana nilai impor dan nilai ekspor komoditi perkebunan kita turun.
Penurunan pertumbuhan sebesar 21,1 persen untuk nilai ekspor dan penurunan
pertumbuhan sebesar 12,9 persen untuk nilai impor. Nilai pertumbuhan neraca
perdagangan Indonesia yang tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 44
persen. Secara keseluruhan perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai neraca
perdagangan dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Badan Pusat Statistik Gambar 3. Nilai Neraca Perdagangan Indonesia Tahun 2003 – 2009
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nila
i dal
am 1
000
US$
Tahun
- Ekspor
- Impor
- Neraca
4
Dari segi ekonomi, volume dan nilai ekspor tersebut juga dapat
mengindikasikan bahwa sektor perkebunan menjadi salah satu penyumbang PDB
negara, yang dikalkulasikan di dalam sektor pertanian. Secara umum PDB sektor
pertanian merupakan salah satu penyumbang PDB terbesar negara Indonesia.
Sumbangan PDB sektor pertanian yang besar tersebut juga tidak lepas dari peran
PDB perkebunan yang menjadi bagian dari sektor pertanian. Nilai PDB pertanian
dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. PDB Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (Miliar Rupiah)
Tahun
Lapangan Usaha
Pertanian Kehutanan Perikanan
Bahan Makanan Perkebunan Pertenakan
2001 137751,9 36758,6 34285 17594,5 36937,9
2002 153666 43956,4 41328,9 18875,7 41049,8
2003 157648,8 46753,8 37354,2 18414,6 45612,1
2004 165558,2 49630,9 40634,7 20290 53010,8
2005 181331,6 56433,7 44202,9 25561,8 59639,3
2006 214346,3 63401,4 51074,7 30065,7 74335,3
2007 265090,9 81664 61325,2 36154,1 97687,3
2008* 348795 105969,3 82676,4 40375,1 137249,5
2009* 418963,9 112522,1 104040 44952,1 177773,9
Rata-rata Kontribusi PDB
(%) 50,1 14,6 12,2 6,2 16,6
*): Angka sementara Sumber : Badan Pusat Statistik
PDB pertanian atas dasar harga berlaku (Tabel 1) dapat menggambarkan
bagaimana sektor perkebunan yang termasuk kedalam sektor pertanian memberikan
kontribusi yang cukup besar. Setiap tahun komoditi perkebunan juga memberikan
sumbangan PDB yang meningkat. Kontribusi PDB perkebunan terhadap PDB
pertanian total pada tahun 2001 adalah sebesar 13,9 persen, dan pada tahun 2009
sebesar 13,1 persen. Rata-rata kontribusi PDB perkebunan adalah sebesar 14,6
persen.
5
Sumbangan PDB perkebunan berada dibawah tanaman bahan makanan
dengan kontribusi rata-rata 50,1 persen. Keadaan ini wajar mengingat bahwa manusia
sangat membutuhkan asupan makanan bagi kelangsungan hidupnya, sehingga
mengakibatkan PDB perkebunan berada dibawah PDB tanaman bahan makanan.
Selain itu perkebunan juga berada dibawah sektor perikanan. Hal ini juga wajar
mengingat negara kita adalah negara yang memiliki laut yang sangat luas yaitu
hampir dua pertiganya, sehingga hasil yang diberikan sektor perikanan sebanding
dengan sumbangan PDB yang diberikan. Namun pada tahun 2002 dan 2003 sektor
perkebunan dapat memberikan PDB yang melebihi sektor perikanan. Kontribusi PDB
untuk pertanian sebesar 14,7 persen untuk perkebunan dan PDB sebesar 13,7 persen
untuk perikanan pada tahun 2002. Pada tahun 2003 sumbangan PDB yang diberikan
kedua sektor ini juga bersaing yaitu 15,2 persen untuk perkebunan dan sebesar 14,9
persen untuk perikanan. Tahun 2003 juga merupakan pertumbuhan PDB terbesar
perkebunan pada sektor pertanian. Tahun 2004 hingga tahun 2009 PDB perkebunan
selalu di bawah PDB tanaman bahan makanan dan perikanan, namun bukan tidak
mungkin kejadian tahun 2002 dan 2003 kembali terjadi, karena sektor perkebunan
terus berkembang.
1.2 Perumusan Masalah
Perkebunan Indonesia yang menjadi salah satu penyumbang PDB disektor
pertanian, merupakan sektor yang sangat perlu dikembangkan dan terus ditingkatkan
kontribusinya untuk negara. Posisi dan letak geografis Indonesia merupakan sebuah
keunggulan dari negara-negara lain dalam pengembangan sektor perkebunan. Selain
kedua faktor tersebut, luas lahan juga menjadi sesuatu yang dapat memberikan
keunggulan lain untuk negara kita. Produkivitas erat kaitannya dengan luas lahan
yang ada, dimana produktivitas merupakan jumlah produksi dibagi luas lahan. Tabel
2 akan memperlihatkan bagaimana produktivitas beberapa komoditi perkebunan
Indonesia.
Sementara volume produksi dan volume ekspor komoditi perkebunan
Indonesia yang terlihat pada Tabel 2, menunjukan volume yang tidak sejalan antara
6
volume produksi dengan volume ekspor. Masih terdapat peningkatan atau penurunan
produksi dalam negeri disatu pihak, dan penurunan atau peningkatan volume ekspor
di pihak lain begitu juga sebaliknya. Komoditi yang konsisten dalam tahun 2001,
2005 dan 2009 memiliki volume produksi dan ekspor yang meningkat adalah kakao,
kelapa sawit dan kopi, sedangkan komoditi lainnya tidak konsisten. Cengkeh, kacang
mete, karet dan kayu manis adalah empat komoditi yang selalu memiliki volume
produksi yang meningkat, namun volume ekspor komoditi tersebut masih
berfluktuasi. Komoditi karet mengalami penurunan volume ekspor pada tahun 2005
sedangkan tiga komoditi lainnya mengalami penurunan volume ekspor pada tahun
2009. Tabel 2 juga memperlihatkan komoditi kelapa, pala, lada, tembakau dan teh
yang tidak konsisten memiliki volume produksi yang meningkat, bahkan komoditi
terakhir yang disebutkan memiliki volume produksi yang menurun sehingga
mengakibatkan volume ekspornyapun berfluktuasi. Tabel 2. Volume Produksi dan Volume Ekspor Perkebunan Indonesia (dalam Ton)
Komoditi Volume Produksi Volume Ekspor
2001 2005 2009 2001 2005 2009
Cengkeh 72.685 78.350 82.032 6.323,790 7.682,658 5.142,028 Kacang mete 91.586 135.070 147.403 39.546,013 65.958,508 60.627,785 Kakao 536.804 748.828 820.496 302.670,029 367.425,784 439.305,321 Karet 1.607.461 2.270.891 2.440.347 10.374,888 4.013,593 9.147,316 Kayu Manis 40.635 100.775 102.627 28.899,467 35.356,152 22.802,090 Kelapa Sawit 8.396.472 11.861.615 19.324.294 1.849.142,144 4.565.624,657 9.566.746,050
Kelapa 3.163.018 3.096.844 3.257.702 34.819,819 51.455,573 46.705,627 Kopi 569.234 640.365 685.170 248.924,714 442.686,908 510.030,400 Pala 21.616 8.198 11.647 6.706,322 7.839,560 9.264,087 Lada 82.078 78.328 82.834 53.594,123 34.136,907 50.279,014 Teh 166.867 166.091 156.901 1.557,636 8.504,264 7.386,309 Tembakau 199.103 153.470 176.186 35.377,733 28.499,008 28.578,652
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan dan UNcomtrade
Beberapa komoditi perkebunan dapat disimpulkan memiliki produktivitas yang
rata-rata berfluktuasi dan pertumbuhan produktivitas yang rendah. Rata-rata
pertumbuhan produktivitas komoditi perkebunan (Lampiran 25) adalah 3,1 persen.
Rata-rata pertumbuhan produktivitas yang tertinggi adalah kayu manis dengan 15,2
7
persen dan itupun mengalami penurunan sebesar 0,07 persen pada angka sementara
ditahun 2009. Nilai rata-rata pertumbuhan terendah bahkan negatif dan sekaligus
memiliki produktivitas yang fluktuatif yaitu pala, kakao dan lada. Komoditi yang
disebutkan pertama memiliki pertumbuhan produktivitas rata-rata yang negatif, yaitu
sebesar 9.8 persen. Negatifnya rata-rata pertumbuhan produktivitas pala terjadi akibat
penurunan produktivitas yang drastis terjadi pada tahun 2004 sebesar 57,2 persen dan
pada tahun 2005 turun sebesar 14,8 persen. Untuk kakao dan lada masing-masing
memiliki pertumbuhan rata-rata yang negatif sebesar 4,1 persen dan 1,5 persen.
Keadaan yang berfluktuasi dan rendahnya produktivitas perkebunan tersebut
dan tidak stabilnya volume produksi serta volume ekspor, Indonesia harus dapat
mengembangkan komoditi perkebunan didalam negeri maupun luar negeri melalui
perdagangan internasional. Neraca perdagangan (Gambar 3) yang surplus harus tetap
dipertahankan agar dapat menambah pemasukan negara. Artinya Indonesia harus
meningkatkan produktivitas agar impor berkurang dan ekspor terus meningkat.
Peningkatan produktivitas yang dilakukan bisa dengan cara peningkatan teknologi
perkebunan agar memberikan produksi yang tinggi dari pada areal perkebunan yang
sama tanpa teknologi.
Meningkatkan nilai ekspor tidak semudah seperti membalikkan telapak
tangan. Melakukan perdagangan internasional saja sudah menuntut Indonesia untuk
bersaing dengan negara lain, apalagi ditambah dengan era globalisasi. Batas antar
negara semakin tidak kelihatan. Semakin banyak perjanjian-perjanian dan kerjasama
mengenai perdangangan, baik yang bilateral maupun multilateral yang mengatur
tentang perdagangan internasional. Tujuan dari kerjasama tersebut tidak lain adalah
untuk menurunkan hambatan-hambatan perdagangan. Dengan adanya liberalisasi
perdagangan internasional tersebut, sektor perkebunan kita harus terus ditingkatkan
daya saingnya agar terus bisa bertahan dari persaingan yang ada.
Pada sisi pasar (permintaan), salah satu masalah serius bagi peningkatan
ekspor sektor nonmigas Indonesia adalah akibat pemberlakuan standarisasi
Internaional seperti ISO atau ecolabelling yang berhubungan dengan lingkungan.
Komoditi dari Indonesia akan semakin sulit menembus pasar luar negeri, khususnya
8
di negara industri maju. Kepedulian masyarakat dan pemerintah di negara-negara
maju tersebut terhadap environtment protection sangat tinggi. Kepedulian ini muncul
jika terbukti material-material yang terkadung didalam komoditi tersebut tidak ramah
lingkungan. Banyak yang beranggapan bahwa ISO merupakan suatu proteksi baru
dalam era perdagangan bebas yang masuk dalam kategori non-tariff barrier. Jenis
proteksi non-tarif ini akan lebih mempersulit masuknya barang-barang dari satu
negara kenegara lain dibandingkan dengan era proteksi dengan tarif. Negara Uni
Eropa bahkan sangat melarang adanya perusakan lingkungan, yang mereka anggap
dalam melakukan revitalisasi lahan yang diterapkan pemerintah menjadi tanaman
perkebunan khususnya sawit sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim, sehingga
CPO masih sulit untuk memasuki pasar Eropa.
Permasalahan lain yang dihadapi Indonesia ataupun negara berkembang
lainnya yang memiliki keunggulan komparatif dalam sumber daya manusia adalah
belum mampu melepaskan diri dari masalah struktural dalam produksi dan konsumsi
seperti kemiskinan, pengangguran dan kualitas pendidikan yang harusnya dapat
menimbulkan sebuah intervensi dari pemerintah agar Indonesia mampu melepaskan
diri dari belenggu tersebut, sehingga memiliki sumber daya yang dapat meningkatkan
produksi. Apalagi sekarang setiap negara semakin fokus dalam urusan pangan dan
pertanian di dalam negerinya dan bahkan menetapkan strategi proteksi yang
cenderung berlebihan.
Disisi lain perkembangaan produksi tanaman rempah dan hasil perkebunan
berumur panjang hanya diserahkan sepenuhnya kepada rakyat tanpa adanya upaya
peningkatan mutu, padahal mutu sangat berarti dalam usaha perdagangan. Kenyataan
ini masih dirasakan hingga saat ini karena mutu dari hasil perkebunan Indonesia
belum mampu menyamai mutu hasil dari luar negeri. Hal ini juga diperkuat dengan
permasalahan yang terjadi pada dunia perkaretan yang juga terjadi pada komoditi
perkebunan lain. Permasalahan pada dunia perkaretan Indonesia adalah hal yang
memang sudah ada sejak lama, tetapi sekarang begitu terasa karena begitu mencolok.
Walaupun produksi karet Indonesia tergolong besar di dunia, tetapi tidak memiliki
pengaruh yang besar terhadap perkaretan dunia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
9
mutu produksi karet alam Indonesia. Rendahnya mutu tersebut mengakibatkan harga
jual karet alam dipasar luar negeri menjadi rendah, untuk mengatasi permasalahan
tersebut perlu pengelolaan perkebunan karet yang baik dan tepat sehingga
produktivitas dan mutu karet alam dapat ditingkatkan, selain itu komoditi kayu manis
juga bernasib demikian (Rismunandar dan Paimin, 2009).
Dari kata-kata yang telah dipaparkan daya saing sektor perkebunan Indonesia
ke negara ekspor utama menjadi sorotan. Karena tingkat daya saing dalam suatu
perdagangan internasional tidak lagi hanya ditentukan oleh perbedaan harga, tetapi
juga ditentukan aspek-aspek lain yang bahkan lebih dominan, seperti kualitas, warna,
bentuk, pelayanan purna jual dan sebagainya. Untuk mengembangkan komoditi
pekebunan Indonesia agar menjadi yang terbaik didunia harus melihat dari daya saing
Indonesia dipasar dunia, agar dapat mengoreksi dan mengevaluasi apa yang kurang
dari perkebunan kita. Karena Indonesia bukan satu-satunya negara yang berada
didaerah garis khatulistiwa yang beriklim tropis, serta memiliki tanah yang subur dan
Indonesia bukan satu-satunya juga sebagai pengekspor dan produsen hasil
perkebunan di dunia. Masih ada negara-negara lain yang menjadi pesaing Indonesia
dalam melakukan perdagangan Internasional disektor perkebunan seperti Thailand,
Filipina, Brazil, Madagaskar, Pantai Gading (Cote D’iviore), Malaysia, Belanda,
India dan negara-negara lainya.
1.3 Tujuan Penelitian
Permasalahan yang telah dipaparkan dapat memberikan tujuan dari penelitian
ini. Produksi dan volume ekspor yang tidak stabil, produktivitas perkebunan yang
fluktuatif, era globalisasi dengan segala peraturannya, perjanjian bilateral maupun
multilateral dengan segala perjanjian yang telah disepakati bersama, hingga
permasalahan mutu hasil perkebunan yang menjadikan harga jual hasil perkebunan
Indonesia rendah dapat mengarahkan peneliti dalam menyimpulkan tujuan dalam
penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan perkembangan ekspor dan strategi produk perkebunan pesaing
Indonesia di negara tujuan ekspor utama dan dunia tahun 2001, 2005 dan 2009.
10
2. Memetakan posisi daya saing produk ekspor perkebunan Indonesia di negara
tujuan ekspor utama dan dunia tahun 2001, 2005 dan 2009.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang daya saing perkebunan Indonesia dipasar dunia ini
diharapkan mampu memberikan manfaat berupa tambahan ilmu pengetahuan bagi
peneliti dan kalangan akademisi untuk dijadikan referensi agar penelitian yang
berkaitan dapat terus dikembangkan. Manfaat lain yang dapat diberikan adalah agar
penelitian ini menjadi sebuah pertimbangan dalam membuat sebuah kebijakan baik
untuk pemerintah maupun pelaku eksportir.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Perkebunan Indonesia memilki keanekaragaman jenis tumbuhan dan hasilnya,
oleh sebab itu penelitian ini hanya akan membahas komoditas unggulan dalam
perkebunan yang juga dilihat dari posisi nilai ekspor didunia. Komoditas tersebut
adalah : kelapa, kacang mede, kopi, teh, lada, kayu manis, cengkeh, biji pala, kelapa
sawit, kakao, tembakau dan karet. Komoditi unggulan tersebut juga berada dalam 10
besar dalam ekspor dunia dalam nilai, kecuali teh tahun 2001 (urutan 11) dan karet
(12) tahun 2005. Untuk lebih jelas spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 3. Tahun
pembahasan yang digunakan adalah tiga tahun dalam satu dekade, yaitu tahun 2001,
2005 dan 2009. Alasan pengambilan tahun tersebut karena dinilai dapat memberikan
gambaran bagaimana nilai ekspor dan daya saing kita dipasar internasional dalam
satu dekade. Ada beberapa komoditi kenegara tertentu yang tidak dapat diestimasi
dengan menggunakan EPD karena tidak kontinyu dalam ekspor komoditi tersebut
kenegara tujuannya.
Negara tujuan ekspor utama kedua belas komoditi tersebut adalah Malaysia,
Jerman, Singapura, Amerika Serikat, Jepang, Belanda, China, India, Australia,
Inggris, Belgia. Sebelas negara tujuan uatama tersebut dipilih dengan melihat nilai
dari ekspor Indonesia disetiap komoditi, pertahunnya dan juga berdasarkan negara
yang mengimpor paling besar komoditi perkebunan Indonesia menurut UNComtrade.
11
Selain itu pemilihan sebelas negara tersebut juga mewakili belahan dunia, kecuali
Afrika. Asia : Malaysia, Singapura, Jepang, China dan India ; Eropa : Jerman,
Belanda, Belgia dan Inggris ; Amerika : Amerika Serikat serta Australia.
Tabel 3. Spesifikasi Komoditi yang diteliti No HS Code Komoditi
1 080111 Kelapa diparut dan dikeringkan
2 080131 Kacang Mete berkulit
3 090111 Kopi, tidak digongseng/tidak dihilangkan kafeinnya
4 090210 Teh Hijau, (tidak difermentasi) dikemas max 3kg
5 090411 Lada, tidak dihancurkan/ tidak ditumbuk
6 090610 Kayu Manis dan Bunga kayu manis tidak dihancurkan/ ditumbuk
7 090700 Cengkeh (utuh, bunga dan tangkai)
8 090810 Biji pala (berkulit dan dikupas)
9 151110 Minyak mentah kelapa sawit
10 180100 Biji kakao ( Utuh/pecah, mentah/ di gongseng)
11 240110 Belum dipabrikasi, tembakau bertangkai /bertulang daun
12 400110 Lateks karet alam, di pravulkanisasi / tidak
Sumber : UNComtrade
Analisis daya saing ekspor komoditi perkebunan dibandingkan dengan dua
negara tetap yang berada dikawasan ASEAN yang dianggap memiliki kesamaan
geografis dan karakteristik dengan Indonesia, yaitu Thailand dan Filipina. Selain dua
negara tersebut, disetiap tahun dan komoditi terdapat pesaing yang berbeda-beda.
Pesaing yang dipilih adalah, dua negara yang memiliki nilai ekspor yang tinggi
disetiap tahun dan komoditi.
12