10
Tugas Hukum Adat Analisa Kasus Sengketa Tanah Lemukih Oleh: Revita Dwi Cahyani Benedikta Dina Susanti 0313111331 79 0313111331 81 FAKULTAS HUKUM

hukum adat desa lemukih

Embed Size (px)

Citation preview

Tugas Hukum AdatAnalisa Kasus Sengketa Tanah Lemukih

Oleh:Revita Dwi CahyaniBenedikta Dina Susanti031311133179031311133181

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS AIRLANGGA

Investigasi raster Kasus Lemukih Berawal dari ''Landreform''KASUS tanah Lemukih berawal dari sengketa tanah adat Lemukih 93 hektar. Dengan adanya aturan landreform kepemilikan tanah dibatasi. Termasuk tanah Desa Lemukih dibatasi maksimal 30 hektar. Sisanya 66 hektar dimohon oleh penggarap tanah sehingga keluar sertifikat hak milik.Kepala Kantor Pertanahan Buleleng I Gede Sukardan Ratnasa, S.H. mengatakan, sejak 1974 terjadi peralihan sertifikat kepada ahli warisnya. Banyak ahli waris tak mengetahui batas tanahnya. Saat itu mulai ada desakan dari Desa Adat Lemukih untuk mengukur ulang tanah pemilik sertifikat, termasuk letak dan batas-batasnya. Namun pengukuran ulang itu tak kunjung dilakukan karena kondisi belum kondusif. Padahal, desakan inventarisasi tanah adat di Lemukih juga datang dari BPN Pusat karena hasil penelitian tim asistensi yang dibentuk Pemkab Buleleng tak menetapkan letak dan batas tanahnya.Terbitnya sertifikat ini memunculkan bibit-bibit perpecahan, namun konflik itu tidak muncul ke permukaan. Selain karena lokasi Desa Lemukih jauh di perbukitan, informasi konflik tidak terdengar luas. Babak-babak sengketa akhirnya muncul secara bersambung ketika warga Desa Pakraman Lemukih melakukan upaya-upaya lebih serius untuk memperoleh tanah sengketa tersebut. Mulai tahun 2003, warga dengan diantar kuasa hukum mereka mulai mendatangi lembaga-lembaga resmi, seperti Kantor Bupati, DPRD dan Kantor Pertanahan. Aksi-aksi mendatangi kantor-kantor ini dilakukan secara beramai-ramai dan disertai berbagai orasi. Tututan warga antara lain meminta Bupati Bagiada, DPRD maupun Kantor Pertanahan mengambil peran untuk membatalkan sertifikat yang dipegang sekelompok warga di Lemukih.Selain tanah yang disertifikatkan itu merupakan tanah duwe pura, warga juga menilai sertifikat yang dipegang warga itu cacat karena proses permohonannya tidak sesuai prosedur.Aksi-aksi warga mendatangi Kantor Bupati, DPRD dan Kantor Pertanahan itu dilakukan secara bergantian. Aksi warga dari pihak desa pakraman kemudian diikuti oleh aksi dari kelompok warga pemegang sertifikat. Mereka juga datang ke Bupati dan meminta agar Bupati melindungi mereka karena sertifikat yang mereka miliki adalah sah sesuai hukum.Selama tahun 2003 hingga tahun 2008, sengketa tanah Lemukih seperti api dalam sekam. Warga sesekali tetap melakukan aksi-aksi demo agar sertifikat atas tanah yang disengketakan itu dibatalkan. Sementara warga pemegang sertifikat tetap ngotot mempertahankan tanah mereka. Di tengah-tengah ketegangan antara dua kelompok itu mulai terjadi aksi-aksi kriminal, misalnya pengelupasan pohon cengkeh dan perusakan pohon-pohon perkebunan lainnya.Pemkab Buleleng tetap melakukan upaya penyelesaian, misalnya dengan membentuk tim eksistensi tanah Lemukih melalui SK Bupati. Tim ini dimaksudkan untuk mencari asal-usul tanah tersebut. Setelah tim bekerja beberapa bulan ditemukan kesimpulan bahwa tanah yang disengketakan antara Desa Pakraman Lemukih dengan sekelompok warga pemegang sertifikat adalah tanah duwe pura yang dikerjakan oleh para penggarap secara turun-temurun dan disertifikatkan menjadi hak milik perseorangan berdasarkan Surat Gubernur Nomor 34 sampai dengan Nomor 62/HM/DA/BLL/74.Peralihan dari tanah duwe pura menjadi hak milik perseorangan terjadi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Bali Nomor 34 sampai dengan 62/HM/DA/BLL/74 yang kemudian didaftarkan menjadi hak milik di Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng (dalam hal ini Kantor Sub Direktorat Agraria).Menurut Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali dalam surat Nomor 570.61-594 yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional, prosedur penerbitan sertifikat itu cacat administrasi.Keluarnya kesimpulan tim ini menimbulkan berbagai persepsi baru. Karena dinilai cacat administrasi, warga Lemukih kembali mendesak pihak berwenang untuk membatalkan sertifikat itu. Sementara Pemkab Buleleng menyarankan agar desa pakraman menempuh jalur hukum untuk membatalkan sertifikat tersebut. Namun warga dan kuasa hukumnya tidak menempuh jalur hukum dan sengketa tetap berkembang.Suasana makin panas ketika tahun 2009 ada rencana Kantor Pertanahan mengukur tanah yang disengketakan tersebut. Rencana pengukuran itu beberapa kali tertunda sehingga kembali menimbulkan suasana panas di Lemukih. Warga kembali melakukan aksi agar Kantor Pertanahan secepatnya melakukan pengukuran atau inventarisasi terhadap tanah yang disengketakan tersebut. Sehingga akhirnya pengukuran dijadwalkan 27 Agustus 2009. Namun pengukuran itu justru menimbulkan ketegangan baru yang makin panas.Saat petugas Kantor Pertanahan hendak melakukan pengukuran, warga pemegang sertifikat melakukan protes. Di sisi lain, warga dari Desa Pakraman Lemukih terus mendesak agar petugas tetap melakukan pengukuran. Yang terjadi kemudian malah bentrok antara warga dari pihak desa pakraman dengan warga pemegang sertifikat. Sementara pengukuran batal dilaksanakan karena petugas merasa keselamatannya terancam. Pascabatalnya pengukuran ini terjadi berbagai kasus hukum di wilayah Lemukih. Mulai dari perusakan pohon cengkeh dan pembakaran rumah. Di tengah-tengah suasana tegang itulah muncul kasus penganiayaan terhadap tiga warga dari kelompok pemegang sertifikat yang kasusnya kini sedang disidangkan di PN Singaraja.Sengketa ini memang sempat mereda, namun memanas kembali ketika dua kasus pidana yang berkaitan dengan sengketa Lemukih mulai disidangkan di PN Singaraja. Setiap kali sidang, ratusan warga Lemukih mendatangi PN Singaraja. Sementara sejumlah warga dari kelompok pemegang sertifikat juga datang ke PN Singaraja. Kedua pihak sempat nyaris bentrok dan saling kejar di sekitar pengadilan, sehingga suasana di antara dua pihak yang berseteru kembali memanas. Suasana panas bukan hanya terjadi di PN Singaraja, karena pada saat sidang digelar awal Oktober lalu, muncul aksi pembakaran rumah di Lemukih. Aksi itu terus berlanjut, sehingga secara total rumah yang dibakar di Lemukih mencapai lebih dari 30 rumah.Atas masalah itu, Kamis (28/10) kemarin dilakukan pertemuan di gedung Wiswasabha. Pada pertemuan itu, Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya prihatin adanya pihak-pihak yang berupaya menghambat persoalan ini dibawa ke jalur hukum. Akibatnya terjadi teror, pembakaran sampai penembakan karena tak dicapai kesepakatan. Untuk itu, ia berharap pihak tertentu yang berupaya menghambat kasus ini agar diungkap secara terbuka. Untuk itu, ia berharap kasus Lemukih agar dibawa ke ranah hukum.Gubernur Bali Made Mangku Pastika juga berpendapat, apabila konflik di masyarakat tak selesai-selesai, satu-satunya solusi adalah menyelesaikan masalah secara hukum. Gubernur menegaskan, Pemprov Bali bersama Pemkab Buleleng siap membantu pihak kepolisian untuk menegakkan hukum di Desa Adat Lemukih. Sementara pihak-pihak terkait yang melakukan perusakan, pembakaran dan sebagainya dengan digiring ke ranah hukum akan mendapatkan pembelajaran berharga dari kasus ini. ''Tegakkan hukum secara konsisten di Desa Adat Lemukih,'' pinta mantan Kapolda Bali ini. (029/kmb15)

Sumber: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=43997

RUMUSAN MASALAH 1. Apakah dalam hukum adat diperbolehkan apabila terjadi peralihan dari tanah duwe pura yang dikerjakan secara turun temurun disertifikatkan menjadi hak milik perseorangan?ANALISIS Tanah duwe pura adalah tanah yang dimiliki oleh pura sehingga dapat dikatakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah milik masyarakat adat desa Lemukih. Hak milik perseorangan berarti hak untuk menguasai tanah tersebut untuk kepentingannya berdasarkan pada kewenangan perdataanya.Dalam kasus sengketa tanah lemukih yang disimpulkan bahwa tanah itu adalah tanah duwe pura tidak dimungkinkan untuk dimiliki secara perseorangan. Mengingat bahwa tanah tersebut sejak tahun 1974 telah dikerjakan secara turun temurun tetapi kemudian disertifikatkan menjadi hak milik perseorangan. Sehingga tanah tersebut merupakan tanah dari kelompok kekerabatan atau keluarga luas yang dapat dikatakan sebagai pribadi hukum di dalam hukum adat.Dalam kenyataannya maka kelompok kekerabatan atau keluarga luas tertentu, mungkin mempunyai hak atas tanah dalam bentuk penguasaan dan pemilikan. Tetapi hak milik tersebut harus melihat kembali bahwa tanah duwe pura tersebut merupakan tanah adat. Sehingga hanya dapat di manfaatkan atau diusahakan saja tanpa terjadi sertifikasi kepemilikan perserorangan atas tanah itu. Pengelolaan secara terus menerus tersebut, cenderung tidak menciptakan hak milik pribadi atas tanah tersebut.Mengenai kasus yang terjadi di Bali yang mana merupakan penganut sistem kekerabatan patrilineal maka secara teknis jika seluruh anggota suatu kelompok kekerabatan tersebut meninggal dunia maka tanah tersebut akan berada kembali di bawah wewenang pemerintahan desa atau kepala adat. Pengerjaan tanah pun seharunya atas ijin dari kepala adat desa Lemukih sehingga seharusnya tidak terjadi kemunculan tanah ulayat desa Lemukih yang dimiliki sertifikatnya oleh orang lain. Dalam hukum agraria yang di atur dalam Pasal 3 UUPA hak ulayat seharunya tidak boleh bertentangan dengan hukum nasionalnya sehingga harus sejalan dan tidak boleh bertentangan, tetapi kemunculan sertifikat tersebut yang dikatakan cacat adminitrasi malah membuat perpecahan akibat memperebutkan tanah yang masing-masing pihak mengaku bahwa itu miliknya.Melihat kasus diatas perbuatan warga sekitar untuk menyelesaikan sengketa tersebut dikatakan tidak pantas dan melanggar beberapa pasal di dalam KUHP. Seharusnya masalah diselesaikan dengan baik-baik melalui jalur hukum, sehingga tidak jatuh korban lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKASoerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2008)