Upload
echa-roozwandha
View
1.485
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
D.1
Desa Adat Penglipuran
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Bali sudah sangat terkenal di dunia, sehingga mengundang kedatangan para wisatawan yang jumlahnya terus meningkat. Potensi
yang dimiliki Bali sebagai daya tarik selain keindahan alam adalah budaya masyarakat dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk
non fisik (aktivitas, adat istiadat, dan lain sebagainya), maupun fisik (hasil karya berupa benda seni, maupun benda kebutuhan hidup).
Salah satunya adalah wadah tempat tinggal yang umum disebut permukiman.
Permukiman di Bali dalam bentuk satu kesatuan tertentu adalah desa, lebih khusus lagi desa adat. Perwujudan desa adat di Bali
merupakan kekayaan tersendiri. Bentuk-bentuk bangunan, pola desa, kekayaan jenis bangunan yang beragam, merupakan potensi
yang besar untuk ditampilkan sebagai identitas yang kuat.
Selain sebagai identitas, keberadaan desa adat adalah sebuah kekayaan ilmiah yang merupakan sumber untuk terus dipelajari guna
peningkatan pengetahuan. Banyak hal yang dapat dipelajari. Apalagi makin lama, perkembangan semua aspek kehidupan semakin
cepat. Oleh karena itu kita perlu melestarikan kebudayaan bangsa dengan kreativitas serta mengembangkannya mengikuti kemajuan.
Dengan ini kebudayaan bangsa berkembang dan berkelanjutan tanpa kehilangan akarnya.
Desa dalam pengertian desa adat, mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat, dan terikat oleh
adanya tiga pura utama yang disebut Kahyangan Tiga atau pura lain yang berfungsi seperti itu, yang disebut Kahyangan Desa. Desa
adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan agama Hindu, dan merupakan satu
kesatuan wilayah dimana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan yang ditata oleh
suatu sistem budaya.
Salah satu desa adat yang masih terpelihara keasliannya adalah Desa adat Penglipuran. Berbagai tatanan sosial dan budaya
masih terlihat di berbagai sudut desa ini sehingga nuansa Bali masa lalu tampak jelas. Perbedaan desa adat Penglipuran dengan
D.2
Desa Adat Penglipuran
desa adat lainnya di Bali adalah tata ruang yang sangat teratur berupa penataan rumah penduduk di kanan dan kiri jalan dengan
bentuk fasad rumah yang seragam dalam hal bentuk sehingga keseluruhan desa ini tampak rapi dan teratur.
Sehingga pada Kuliah Kerja Lapangan kali ini, penyusun mengamati Desa adat Penglipuran sebagai obyek studi.
I.2 TUJUAN
Studi ini bertujuan untuk mengenali, mengidentifikasi dan mendeskripsikan Desa adat Penglipuran. Mulai dari tatanan ruang
hingga pola hidup kemasyarakatan yang ada.
I.3 MANFAAT
Manfaat yang diperoleh :
1) Manfaat subyektif
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan, semester 7 pada Jurusan Arsitektur Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.
2) Manfaat obyektif
Menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai keberadaan Desa adat Penglipuran sebagai salah satu Desa adat yang
ada di Bali.
Memahami tatanan ruang dari sebuah Desa adat Bali.
I.4 LINGKUP PEMBAHASAN
Lingkup pembahasan adalah Desa adat Bali yangdibatasi hanya pada kawasan Desa adat Penglipuran.
D.3
Desa Adat Penglipuran
I.5 METODA PEMBAHASAN
Metoda pembahasan yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah deskriptif. Dilakukan dengan cara mengumpulkan
data-data terkait yang merupakan hasil survay lapangan kemudian dijabarkan menjadi sebuah laporan.
I.6 SISTEMATIKA PENULISAN
Laporan Ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, tujuan, manfaat, lingkup pembahasan, metoda pembahasan dan sistematika penulisan.
BAB II DESKRIPSI OBJEK
Berisi tentang data objek pengamatan.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi kesimpulan dan saran.
D.4
Desa Adat Penglipuran
BAB II
DESKRIPSI OBJEK
DESA ADAT PENGLIPURAN
II.1 LOKASI OBJEK
Desa adat Penglipuran berada di bawah administrasi Kelurahan Kubu, Kecamatan bangli, Kabupaten Bangli, yang berjarak 45 km
dari kota Denpasar. Letaknya berada di daerah dataran tinggi di sekitar kaki Gunung Batur. Berdasarkan data tahun 2001 yang
dihimpun pemerintah, Desa Adat Penglipuran memiliki luas wilayah sekitar 112 Ha.
Gambar 1. Desa Penglipuran Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Untuk menuju desa ini dapat dicapai melalui sisi timur Desa Bangli, yakni Jalan Raya Bangli – Kintamani, maupun dari sisi utara
desa, yakni Jalan Kintamani Kayuambua – Bangli.
D.5
Desa Adat Penglipuran
Desa Adat Penglipuran memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Adat Kayang
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Adat Kubu
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Adat Gunaksa
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Adat Cekeng
Desa Penglipuran resmi ditunjuk oleh Pemerintah Daerah Bali menjadi desa adat tradisional yang menjadi tujuan pariwisata sejak
tahun 1992.
II.2 KONDISI FISIK
Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang teratur dari struktur desa tradisional,
perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang terbuka pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita merasakan
nuansa Bali pada dahulu kala. Penataan fisik dan struktur desa tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh
masyarakat Adat Penglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun.
Keunggulan dari desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Bali adalah bagian depan rumah serupa
dan seragam dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa. Desa tersusun sedemikian rapinya yang mana daerah utamanya
terletak lebih tinggi dan semakin menurun sampai kedaerah hilir. Selain bentuk depan yang sama, adanya juga keseragaman bentuk
dari bahan untuk membuat rumah tersebut. Seperti bahan tanah untuk tembok dan untuk bagian atap terbuat dari penyengker dan
bambu untuk bangunan diseluruh desa.
Lokasi dari desa Penglipuran ini pada daerah dataran tinggi merupakan salah satu lingkup dari kaki Gunung Batur, kabupaten
Bangli, Bali.
D.6
Desa Adat Penglipuran
Gambar 2. Kontur tanah di desa Penglipuran Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Hal tersebut menyebabkan keadaan topografi pada Desa Penglipuran berkontur, tidak rata dan mempunyai hirarki yang tertinggi
yang dimanfaatkan sebagai pura, yaitu tempat bersembahyang dan pelaksaan upacara adat di desa tersebut. Semakin kearah utara
topografi tanah semakin tinggi hingga didapatkan suatu hirarki tertinggi pada pura panataran dan pura puseh yang digunakan untuk
sembahyang umat Hindu di daerah tersebut dan upacara rutin tiap enam bulan sekali. Semakin ke arah selatan topografi tanah
semakin rendah yang digunakan untuk kuburan umat Hindu di daerah tersebut.
Gambar 3. Kontur tanah semakin ke selatan semakin turun Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.7
Desa Adat Penglipuran
Umat Hindu percaya arah ke utara adalah arah mulia sehingga digunakan untuk tempat pura apalagi didukung dengan ketinggian
tanah yang mencapai tertinggi pada area tersebut, serta arah selatan digunakan sebagai kuburan orang desa tersebut, kuburan
anak-anak serta kuburan Alah pati dan Ulah pati.
Untuk vegetasi yang ada di wilayah Desa Penglipuran termasuk desa yang subur dan mayoritas menghasilkan bamboo, hal ini
dapat terlihat dari penduduknya yang banyak menggunakan bamboo sebagai bahan bangunan rumah mereka.
Gambar 4. Material bambu banyak digunakan sebagai gedek, usuk, plafon bagi rumah warga Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
II.3 KONDISI SOSIAL
II.3.1 ARTI KATA PENGLIPURAN
Kata Penglipuran berasal dari kata “penglipur”, yang memiliki arti pelipur hati (penghibur hati). Nama ini diberikan oleh Raja Bangli
ketika mengungsi di desa ini bersama keluarga kerajaan dan pengawalnya.
Pada masa itu, kerajaan Bangli diserang oleh kerajaan lain sehingga Raja beserta keluarga terpaksa mengungsi. Saat Raja
berada di desa ini, masyarakat menyambut dengan gembira dan membantu serta menghibur hati Raja dengan melayani segala
kebutuhan Raja di dalam pengungsian. Banyak hal dilakukan oleh penduduk untuk menghilangkan kesedihan Raja, seperti
D.8
Desa Adat Penglipuran
mengadakan upaca penyambutan, meyediakan tampat tinggal dan kebutuhan lainnya, termasuk membantu Raja berperang untuk
merebut kembali kerajaan Bangli.
Karena perbuatan penduduk desa yang telah menghibur hati Raja, maka Raja Bangli menyebut desa ini dengan nama
“Penglipuran”, yang berarti bahwa penduduk desa telah menghilangkan kesedihan dan telah menghibur hati Raja.
II.3.2 GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PENGLIPURAN
Memiliki kepala lingkungan yang disebut Wayan Kajeng dan kepala adat yang disebut Wayan Supat. Sebagian besar
penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani bamboo yang ladangnya terletak di sebelah barat desa. Daerah ini
merupakan penghasil bamboo terbanyak di pulau Bali. Selain sebagai petani, juga sebagai pengrajin anyam-anyaman dari bamboo.
Berdasarkan hasil wawancara dengan I Wayan Supat, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Desa Penglipuran pada tahun
2010 adalah 225 keluarga yang diwakili oleh 76 dewan desa di dalam lembaga pemerintahan.
Jumlah warga (krama) Desa Adat Penglipuran yang sebanyak 76 orang tersbut disebut sebagai warga/krama desa
pengarep. Krama desa pengarep ini bertanggungjawab penuh terhadap pembangunan fisik dan non fisik di desa ini. Jumlah ini juga
yang menjadi jumlah tapak rumah di dalam Desa Penglipuran.
Selain lembaga adat, masyarakat Penglipuran juga aktif dalam kegiatan PKK, Arisan, Posyandu, Pokdarwis (kelompok Sadar
Wisata). Kegiatan PKK dilakukan setiap tanggal 6 dengan kegiatan simpan pinjam, sosialisasi mengenai upaya peningkatan
pendapatan rumah tangga, gizi dll.
Jika ada orang asing yang ingin tinggal di Desa Penglipuran (untuk menetap atau hanya sementara), maka harus ada seorang
warga asli Penglipuran yang bertanggung jawab atas keberadaan orang tersebut selama berada di dalam lingkungan Desa Adat
Penglipuran. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya perusakan budaya setempat oleh kehadiran orang asing yang tinggal di
dalam desa.
Sama seperti masyarakat Bali lainnya, penduduk Penglipuran juga menganut sistem kasta. Seluruh warga Desa Adat Penglipuran
beragama Hindu dengan kasta Sudra (kasta terendah dalam sistem kasta di Bali), tetapi keadaan ini tidak membuat warganya
D.9
Desa Adat Penglipuran
berkecil hati. Hal ini menjadi motivasi bagi warga Desa Penglipuran untuk menunjukkan eksistensinya sebagai desa adat tradisonal
yang bisa menjadi objek wisata.
Kegiatan sembahyang warga desa dilakukan 3 kali sehari di Pura Sanggah yang berada di dalam rumah masing-masing warga.
Pada saat Purnama Tilem sembahyang dilakukan bersama-sama oleh seluruh penduduk desa di Pura Puseh atau Pura Dalem yang
terletak di bagian utara desa.
Untuk menjaga kebersihan diadakan kegiatan pembersihan lingkungan satu bulan sekali setiap tanggal 15. Hal ini juga sebagai
penerapan ajaran Tri Hitakarana, yaitu manusia selaras dengan Tuhan, manusia selaras dengan sesama manusia, dan manusia
selaras dengan alam. Keselarasan antar sesama manusia diwujudkan dalam kegiatan ungkeman, atau arisan dalam bahasa kita.
Ungkeman didakan sebulan sekali dengan tuan rumah yang bergiliran.
Setiap rumah diwajibkan memelihara anjing karena anjing dianggap sebagai sahabat setia manusia. Hal ini berdasar pada
legenda Asudewa, anjing Dharmawangsa yang tetap setia menemaninya membuat kisah-kisah sastra. Dharmawangsa merupakan
anggota keluarga Pandhawa. Pada saat perang anjing juga setia menemani Pandhawa berperang, sehingga Pandhawa
memerintahkan setiap keturunannya wajib memelihara anjing. Penduduk dilarang mengkonsumsi daging anjing. Namun pada
beberapa kegiatan, anjing dikorbankan dan dimakan dengan filosofi memberi tempat yang lebih baik pada sahabatnya.
II.3.3 LEMBAGA PEMERINTAHAN
Pimpinan tertinggi di Desa Penglipuran dipegang oleh seorang kepala adat yang diberi gelar I Wayan Supat dan memiliki masa
jabatan yang ditentukan. Masa Jabatan I Wayan Supat yang masih aktif sekarang ini (2010) akan berakhir pada tahun 2012.
Di dalam mengelola pemerintahan di dalam desa, I Wayan Supat dibantu sebuah lembaga pemerintahan (perangkat desa) yang
bersifat informal otonom, yakni tidak berada di bawah pejabat pemerintahan Indonesia. Namun, antara lembaga ini tetap melakukan
hubungan korrdinasi dengan pemerintahan Propinsi Bali. Keberadaan lembaga pemerintahan Desa Adat Penglipuran tersebut diatur
dalam Perda Bali No. 3 Tahun 2001.
D.10
Desa Adat Penglipuran
Dalam menjalankan pemerintahan, perangkat desa memiliki sebuah peraturan adat (seperti UUD dalam pemerintahan Indonesia)
yang disebut “Tri Hita Karana”. Beberapa hal yang tercantum di dalam peraturan tersebut adalah:
1 Parahyangan
Hubungan manusia dengan Tuhan, diwujudkan dengan melakukan peribadatan di tempat suci untuk memuja Tuhan.
2 Pawongan
Hubungan manusia dengan manusia, diwujudkan dengan menjaga keharmonisan di dalam perkawinan.
3 Palemahan
Hubungan manusia dengan lingkungan, diwujudkan dengan menjaga kelestarian lingkungan sekitar dan juga memlihara hewan
ternak dengan baik.
II.3.4 SISTEM PERKAWINAN
Penduduk Desa Penglipuran menganut sistem patrilineal, yakni sebuah keturunan berdasarkan dari laki-laki. Beberapa
penerapan sistem ini adalah bahwa seorang wanita yang menikah harus ikut ke rumah suaminya dan warisan berupa harta tak
bergerak (tanah) diberikan kepada anak laki-laki di dalam keluarga.
Di dalam kepercayaan yang dianut warganya yang kemudian menjadi hukum tak tertulis Desa Adat Penglipuran, seorang laki-laki
hanya diperbolehkan memiliki satu orang istri, begitu juga sebaliknya (menganut monogami). Paham poligami ataupun poliandri
dilarang keras dijalani oleh penduduk Desa. Jika terdapat seorang warga yang melakukan tidak poligami atau poliandri, maka
dilakukan sebuah hukuman sosial bagi pelaku beserta keluarganya. Hukuman ini berupa pelanggar besera keluarga ditempatkan di
sebuah pekarangan yang terletak di luar ketiga zona Tri Mandala, yakni di sebuah zona khusus yang status nilainya lebih rendah
daripada Nista Mandala. Mereka dilarang memasuki tempat suci desa (dalam hal ini Pura, sebagai tempat peribadatan). Hukuman ini
berlaku hingga anak cucu pelanggar hukum tersebut.
D.11
Desa Adat Penglipuran
Apabila ada pendatang dari luar yang ingin menikah dengan penduduk Desa Penglipuran, dia harus masuk dan mengikuti ajaran
agama Hindu sesusai dengan agama resmi di dalam Desa Penglipuran. Jika orang luar tersebut berjenis kelamin wanita, maka ia
harus ikut suaminya untuk tinggal di dalam lingkungan Desa Penglipuran.
II.4 SISTEM TATA RUANG
II.4.1 KONSEP TATA RUANG BALI
Dalam konsep tata ruang Bali penataan lingkungan dan penempatan bagian-bagian rumah selalu berkiblat ke arah utara. Hal ini
dipengaruhi oleh Gogohan Tua (kebudayaan tua) yang menempatkan arah utara sebagai tempat tertinggi dan suci. Sehingga pola
penempatan bangunan desa selalu melintang dari utara ke selatan, dengan utara sebagai bagian suci.
Sedangkan dalam tata ruang bangunan tinggal memiliki konsep sanga mandala, dimana sebuah bangunan terbagi menjadi
bagian utama, madya dan nista. Konsep ini mengacu kepada dua hal, yang pertama kepada arah lintasan matahari (timur – barat).
Bagian bangunan timur lebih mulia dibanding bagian barat. Dan yang kedua mengacu pada sumbu kaja kelud (gunung laut), dimana
arah gunung lebih mulia ketimbang arah laut.
D.12
Desa Adat Penglipuran
Gambar 5. Konsep Tata Ruang Pada Rumah Tinggal Sumber: www.google.com
II.4.2 SISTEM TATA RUANG DESA ADAT PENGLIPURAN
Di dalam Desa Penglipuran, ada sebuah kaidah arsitektur yang disebut dengan nama “awik-awik” untuk mengatur semua tata
cara pembangunan.
Dalam pembagian peruntukan lahan (tata ruang), Desa Penglipuran menganut sistem “Tri Mandala”, yakni sebuah sistem
penataan ruang yang dibagi menjadi tiga zona peruntukan. Istilah tersebut berasal dari dua kata, yakni “Tri” dan “Mandala”. Tri
memiliki arti “tiga”, sedangkan Mandala memiliki arti “ruang”. Sehingga pengertian etimologis dapat diperoleh dari kedua arti kata
tersebut, yakni “Tiga Ruang”. Atau dalam penjabarannya, Tri Mandala adalah pembagian tata ruang kawasan menjadi tiga zona
D.13
Desa Adat Penglipuran
berdasarkan tingkat status nilai kultural (peraturan adat) yang setiap zona tersebut memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan
status nilai yang dimiliki.
Pembagian tata ruang tersebut adalah sebagai berikut,
1. Utama Mandala
Zona ini merupakan tempat yang memiliki nilai tertinggi di antara zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat dengan
Gunung (di kawasan Desa Penglipuran, zona Utama berada di bagian Utara). Di zona ini terdapat sebuah Pura sebagai
tempat peribadatan pusat dari seluruh warga Desa Penglipuran.
2. Madya Mandala
Merupakan zona yang memiliki nilai di tengah-tengah. Terletak di antara zona Utama dan Nista. Di zona Mandala ini
merupakan tempat didirikannya rumah tinggal bagi penduduknya.
3. Nista Mandala
Zona ini merupakan tempat yang memiliki nilai terendah di antara zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat
dengan laut (di kawasan Desa Penglipuran, zona Nista berada di bagian Selatan). Karena itu, di zona ini terdapat sebuah
kompleks pemakaman.
D.14
Desa Adat Penglipuran
Gambar 6. Zonasi Desa Adat Penglipuran Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
1
2
3 Keterangan: 1. Utama Mandala (pura) 2. Madya Mandala (Rumah tinggal) 3. Nista Mandala (Makam)
D.15
Desa Adat Penglipuran
II.4.2.1 UTAMA MANDALA
Merupakan tempat dengan nilai tertinggi pada kawasan desa. Pada zona ini terletak pura sebagai tempat beribadat warga
Penglipuran.
Gambar 7. Pura Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
II.4.2.2 MADYA MANDALA
Zona ini merupakan tempat dengan nilai tengah, antara Utama dan nista. Dan digunakan sebagai tempat tinggal warga. Rumah
utama yang berada di Desa Penglipuran berjumlah 76 rumah yang dibagi menjadi oleh jalan utama menjadi 32 rumah di tiap sisi
jalan. Penomoran rumah menggunakan sistem modern, yakni nomor ganjil berada di satu sisi dan nomor genap berada di sisi lain.
Rumah dengan nomor ganjil berada di sisi timur jalan, sedangkan rumah dengan nomor genap berada di sisi barat jalan.
D.16
Desa Adat Penglipuran
Nomor rumah tersebut diletakkan di gerbang rumah beserta sebuah papan informasi yang menunjukkan kondisi penghuni rumah,
yakni nama kepala keluarga, jumlah penghuni laki-laki, jumlah penghuni wanita, serta sebuah keterangan tentang penghuni rumah.
Gambar 8. Nomor rumah dan data anggota keluarga Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Setiap tapak rumah warga, di dalamnya terdapat beberapa bangunan yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dengan
penempatan tiap bangunan disesuaikan dengan peraturan Tri Mandala. Beberapa bangunan tersebut adalah, tempat tidur orang tua
(berada di bagian utara), tempat tidur anak (berada di bagian barat), tempat memotong gigi (metatah) dan nagaben (berada di
bagian selatan) serta kandang dan toilet (berada di bagian timur). Perletakan ini sesuai dengan peraturan dalam Tri Mandala, yakni
bagian utara adalah zona Utama dan bagian timur tapak adalah zona Nista.
Perletakan satu rumah warga dengan rumah warga yang lain, saling bergandengan tanpa dipisahkan oleh pagar pembatas dan
ada sebuah jalur yang menghubungkan antar-rumah tersbut. Hal ini dilakukan agar warga dengan tetangga sekitar dapat melukakan
hubungan yang langsung sehingga tetap terjaga keharmonisan hubungan antar-warga.
Pengaruh arsitektur dari luar Desa Penglipuran mulai dirasakan sejak tahun 1960-an, yakni berupa bahan bangunan, interior, dan
perabotan modern digunakan dalam pembangunan, tetapi ciri khas arsitektur tradisional harus tetap terjaga. Salah satu ciri tersebut
adalah bentuk gerbang rumah, tata letak bangunan di dalam rumah, dan tidak boleh dibangun bangunan bertingkat.
D.17
Desa Adat Penglipuran
Jika sebuah keluarga memiliki jumlah anggota banyak, maka pembangunan rumah baru dilakukan dengan cara membangun di
belakang rumah utama seluas 200 m2 (sikut satak) sehingga jika dilihat dari jalan desa, jumlah rumah di Desa Penglipuran tetap 76
rumah.
Pada masing-masing rumah memiliki gapura sebagai pintu masuk. Gapura tersebut diapit tembok setinggi mata yang terbuat dari
campuran tanah liat dan kotoran kerbau Di dekat gapura ditempatkan pura sanggah sebagai tempat sembahyang keluarga.
Gambar 9. Gapura depan rumah tinggal Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Karena setiap rumah memiliki luas lahan yang sama sehingga untuk mengadakan hajatan besar diadakan di Bale Banjar yang
terletak di dekat gapura desa. Selain itu Bale Banjar juga berfungsi sebagai tempat berkumpul penduduk ketika rapat, pemilihian
kepala desa, imunisasi, dan lain-lain.
D.18
Desa Adat Penglipuran
Gambar 10. Bale banjar Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Pengaturan rumah penduduk pada desa Penglipuran, dengan lebih mengutamakan letak sanggah yaitu sebelah timur, paon
meten bagian utara dari bale upacara, sedangkan bagian barat laji dan lumbung. Pada Sangah terdapat 3 rong sebagai tempat
sesembahan kepada tiga dewa utama kehidupan. Sedangkan pada bagian Paon meten merupakan tempat tinggal, mulai dari dapur,
tempat tidur dan tempat air.
D.19
Desa Adat Penglipuran
Gambar 11. Sanggah tempat persembahyangan kepada tiga dewa kehidupan Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Gambar 12. Paon meten: tempat tidur, dapur, tempat air/mandi Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.20
Desa Adat Penglipuran
Suatu upaya yang sungguh arif dan brilian. Itulah kesan pertama yang tertangkap saat mengamati arsitektur tradisional Bali di
desa Penglipuran. Desa Penglipuran yang mempunyai potensi material bamboo di daerah sekitarnya. Para undagi menerapkannya
dan menyandingkannya dengan material kayu. Dan hal inilah yang membuat arsitektur nusantara mempunyai jati diri di dalam
kancah arsitektur dunia. Seperti halnya arsitektur tradisional di desa Penglipuran ini pun menggunakannya penyelesaiannya yang
sama untuk menyambung bagian satu dengan bagian yang lain.
Gambar 13. Sistem Knock Down pada bagian antara badan dan kaki Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Di dalam ilmu kostruksi kita mendapati bahwa suatu bangunan dibagi mejadi tiga bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Gaya
disalurkan melewati ketiga bagian tersebut. Begitupun juga apabila kita kaji bangunan-bangunan yang ada di Bali. Hal tersebut
umumnya berlaku pada bangunan candi sebagai tempat peribadatan.
D.21
Desa Adat Penglipuran
Pada arsitektur Bali, ada beberapa jenis bangunan yang menonjol yaitu rumah tempat tinggal, tempat ibadah, bangunan tempat
musyawarah, dan rumah penyimpanan. Tidak seperti arsitektur modern, arsitektur tradisional Bali dijiwai nilai-nilai religious dan
transendental mulai dari konsep sampai proses pembuatan dan pasca pembuatan. Menghubungkan yang sacral dan profane.
Typologi bangunan tradisional umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama, madya dan sederhana. Tipe terkecil
untuk bangunan perumahan adalah sakepat. Yang berarti bertiang empat. Tipe-tipe membesar bertiang enam, bertiang delapan,
bertiang Sembilan, dan bertiang duabelas. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Sakepat
Bangunan sakepat dilihat dari luas ruang tergolong bangunan sederhana luasnya ±3m x 2,5m. bertiang empat denah segi
empat. Atap dengan kostruksi kampiah atau limasan. Sebgai variasi dapat ditambah dengan satu tiang parba, satu atau dua tiang
pandak. Dapat pula tanpa balai-balai dalam fungsinya untuk balai patok atau fungsi lain yang tidak memerlukan adanya balai-
balai. Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau canggah wang.
2. Sakenem
Bangunan sakenem berbentuk segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kali lebarnya. Luas bangunan ±6m x 2m,
mendekati dua kali luas sakepat. Konstruksi bangunan terdiri dari enam tiang berjajar tiga-tiga pada kedua sisi panjang. Keenam
tiang disatukan oleh suatu balai-balai atau empat tiang pada satu balai-balai dan dua tiang di teben pada satu balai-balai dengan
dua saka pandak. Hubungan balai-balai dengan kostruksi perangkai sunduk waton, likah dan galar.
Konstruksi atap dengan kampiah atau limas an. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan tingkat
kualitasnya.
3. Sakutus
Diklasifikasikan sebagai bangunan madya dengan funsi tunggal untuk tempat tidur yang disebut bale meten. Bentuk bangunan
segi empat panjang, dengan luas sekitar 5m x 2,5m. Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi
dua balai-balai. Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk, waton/ selimar, likah, dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait
D.22
Desa Adat Penglipuran
pada pepurus sinduk dengan lubang tiang sanggawang tidak ada pada sekutus. Konstruksi atap menggunakan sistem kampiyah
bukan limasan, difungsikan untuk sirkulasi udara selain udara yang melewati celah antara atap dan kepala tembok.
4. Astasari
Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan luas sekitar 4m x 5m. tinggi lantai kurang lebih 0,60m dengan tiga atau empat
anak tangga ke arah natah. Bangunan dengan dinding penuh. Dinding setengah sisi dan setengah tinggi pada sisi teben kauh dan
terbuka ke arah natah,
Konstruksi bangunan dengan satu balai-balai mengikat empat tiang dan empat tiang lainnya berdiri dengan sanggawang
sebagai stabilitas. Pemaku tiang pada balai balai dengan sunduk dan lait, pasak, pada hubungannya. Konstruksi atap limas an
dengan dedeleg pada pertemuan puncak atap.
Bahan bangunan, lantai pasangan batu alam, dinding pasangan batu cetak atau batu bata peripihan. Tiang dan rangka atap
kayu. Rangkap atap iga-iga dari bambu dan penutup atap dari alang-alang. Seluruh konstruksi menampakan keterlanjangan
warna alam sebgai warna aslinya
Bagian – Bagian Struktur
Seperti disebutkan di awal tadi bahwa bangunan tradisional Bali menganut prinsip kepala-badan-kaki. Maka bagian-bagiannya
adalah:
Bebaturan
Bagian bawah atau kaki bangunan adalah bebaturan yang terdiri dari jongkok asu sebagai pondasi tiang, tapasujan sebagai
perkerasan tepi bebaturan. Bebaturan merupakan lantai bangunan, undag, atau tangga untuk lintasan naik turun lantai ke
halaman.
D.23
Desa Adat Penglipuran
Gambar 14. Bebaturan atau pondasi tiang Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Bahan bangunan yang dipakai untuk bebaturan sesuai dengan tingkatan sederhana, madya, dan utama. Jongkok asu sebagai
pondasi alas tiang disusun dari pasangan batu alam atau batu buatan perekat lempung pasir kapur atau pasir semen. Biasanya
dipakai bahan-bahan local yang mudah didapat. Untuk desa Penglipuran kemungkinan bahan batu alam berasal dari batu lava
karena terletak di daerah pegunungan.
Dinding
Untuk bangunan yang sederhana bidang-bidang pembatas sisi dipakai dinding gedeg anyman bambu atau anyman daun
kelapa yang disusun dengan rangka terampa uger-uger. Daun kelapa dapat dianyam pada kedua belah sisi pelepah dengan helai
daun terbuka disebut teratub. Dilipat dari sebelah sisi untuk anyaman pada sisi sebelah sehingga mendapatkan anyaman yang
lebih tebal dan lebih kokoh dari teratub yang disebut kelangsah. Pemasangan penutup dinding pada rangka dinding diikat dengan
tali bambu atau tali ijuk dalam satu komposisi yang serasi.
D.24
Desa Adat Penglipuran
Gambar 15. Dinding anyaman bambu Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Tembok
Tembok dan pilar-pilarnya dibangun dengan pola kepala-badan-kaki, dihiasi dengan pepalihan dan ornament bagian-bagian
tertentu. Tembok tradisional dibangun terlepas tanpa ikatan dengan konstruksi rangka bangunan. Dipertegas dengan celah antara
kepala tembok dan sisi bawah atap sehingga tembok bebas tidak memikul. Dengan konstruksi tembok bebas beban diharapkan
terhindar dari bahaya gempa yang terjadi.
Sesaka atau kolom
Elemen konstruksi utama dalam bangunan tradisional adalah tiang modul dasar sesungguhnya adalah tiang yang disebut
sesaka. Jarak tiang ke tiang ke arah panjang adalah sepanjang tiang ditambah pengurip. Jarak tiang ke tiang ke arah lebar 2/3
panjang tiang ditambah pengurip atau bervariasi dari bawah lambing sampai ke atas slimar atau sunduk dawa atau sunduk bawak
dan bagian-bagiannya. Masing-masing juga dengan penguripnya. (pengurip=pelebih)
Bahan yang dipakaiuntuk sesaka adalah kayu-kayu dengan kualitas dari kelompok-kelompok tertentu seperti raja kayu
ketewel, patih kayu jati. Selain itu digunakan pula raja kayu cendana, patih kayu menengen.
D.25
Desa Adat Penglipuran
Gambar 16. Sesaka Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Bangunan-bangunan tradisional yang dibangun dengan konstruksi rangka, sesaka dan bagian-bagian rangka lainnya
hubungan elemen-elemen strukturnya dikerjakan dengan sistem lait, baji, dan ikatan tali temali. Struktur dan konstruksi serupa itu
merupakan struktur dan konstruksi yang tahan gempa, yang diperlukan untuk bangunan-bangunan di daerah yang sering terjadi
gempa.
Pementang
Balok belandar sekeliling rangkaian tiang-tiang tepi, dalam bangunan tradisional disebut lambang. Lambing rangkap yang
disatukan, balok rangkaian yang dibawah disebut lambang dan yang di atas disebut sineb. Balok tarik yang membentang di
tengah-tengah mengikat jajaran tiang tengah disebut pementang.
D.26
Desa Adat Penglipuran
Gambar 17. Bagian atap bangunan bale banjar Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Iga-iga
Usuk-usuk bangunan tradisional Bali disebut iga-iga. Pangkal iga-iga dirangkai dengan kolong atau dedalas yang merupakan
bingkai tepi luar atap. Ujung atasnya menyatu dengan puncak atap. Batang simpul menyatu di puncak disebut petaka untuk atap
berpuncak satu titik dan dedeleg untuk puncak memanjang. Disebut langit-langit untuk atap dengan konstruksi kampiyah yang
bukan limasan.
Gambar 18. Iga-iga atau usuk Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.27
Desa Adat Penglipuran
Raab
Penutup atap tradisional disebut raab yang umumnya dibuat dari bahan-bahan alam, sebagian besar alang-alang. Di
pegunungan ada pula yang dibuat dari sirap bambu seperti yang terdapat di desa penglipuran ini. Alang-alang dihasilkan sekali
dalam setahun untuk bahan yang cukup tua. Disabit, dibersihkan, diolah dalam rangkaian ikatan yang merupakan bidang-bidang
atap. Ikatan alang-alang dengan tali ijuk dan ke bidang rangka atap diikatkan dengan tali bambu pada iga-iga yang juga terdapat
dari bambu pilihan.
Gambar 19. Atap terbuat dari bahan alami sirap Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Walaupun desa ini masih sangat tradisional akan tetapi setiap rumah sudah menggunakan listrik sebagai penerangan
utamanya. Listrik pada desa penglipuran ini bersumber pada PLN dan juga memanfaatkan jendela dan lubang dinding lainnya
sebagai media penerangan pada siang harinya dari sinar matahari atau terang langit.
D.28
Desa Adat Penglipuran
II.4.2.3 NISTA MANDALA
Gambar 20. Makam
Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Makam desa Penglipuran terletak pada bagian paling selatan dari desa ini. Penempatan ini berdasarkan kepada kepercayaan
masyarakat tentang orientasi kaja (utara/gunung) dan kelod (selatan/laut). Bangunan-bangunan di desa adat Penglipuran
penempatannya diatur mulai dari utara yang merupakan area paling suci, biasanya di fungsikan sebagai pura, hingga ke selatan
yang merupakan area yang paling tidak suci. Area yang tidak suci ditempati oleh orang-orang yang melanggar peraturan adat (awig-
awig); misalnya, laki-laki yang memiliki isteri lebih dari satu berarti melanggar awig-awig pada bab perkawinan (pawos pawiwahan).
Dalam pandangan masyarakat, pemakaman juga digolongkan sebagai tempat yang paling tidak suci.
Kompleks pemakaman di desa Penglipuran tidak sama dengan makam pada umumnya di wilayah lain. Di kompleks pemakaman
ini tidak ditemui makam-makam yang berderet dan berjumlah banyak karena pada dasarnya kepercayaan dalam agama Hindu
D.29
Desa Adat Penglipuran
(agama resmi di desa Penglipuran) menerapkan tradisi ngaben (upacara pembakaran jenazah) sehingga tidak semua orang
dimakamkan di kompleks ini.
Kompleks pemakaman ini dibangun untuk menghormati perjuangan Kapten Anak Agung Gede Mudhita atau A.A.Anom Muditha
dan 18 anggotanya yang tewas ditembak oleh tentara NICA (Belanda) di desa Penglipuran pada masa perang kemerdekaan
Indonesia. Jalan di samping kompleks pemakaman ini juga diberi nama “Jalan Pahlawan” untuk menghormati para pahlawan
tersebut. Adapun objek-objek yang berada di kompleks makam ini adalah:
Pura Dalam Agung
Berfungsi sebagai Pura pada umumnya, yakni sebagai tempat peribadatan bagi pemeluk agama Hindu.
Gambar 21. Pura dalam agung Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.30
Desa Adat Penglipuran
Petinggih Ratu Gede
Berfungsi sebagai tempat penyimpanan barong dan perlengkapan upacara lainnya. Desa Penglipuran memang dikenal sering
mengadakan upacara adat sehingga desa ini dikenal sebagai salah satu objek wisata budaya.
Gambar 22. Petinggi ratu gede Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Bale Bengong
Berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi masyarakat desa ketika merencanakan untuk mengadakan upacara adat tertentu.
Gambar 23. Bale bengong Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.31
Desa Adat Penglipuran
Prasasti dan patung
Sebagai pertanda/peringatan yang menunjukkan bahwa Kapten Anak Agung Gede Mudhita (tertulis: AAGdANDM Muditha)
dimakamkan di kompleks pemakaman ini.
Gambar 24. Prasasti dan patung Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.32
Desa Adat Penglipuran
Deretan nisan
Merupakan nisan Kapten Anak Agung Gede Mudhita dan 18 anggotanya. Nisan anggota berjejer dalam enam baris ke samping.
Sedangkan nisan Kapten Anak Agung Gede Mudhita berada di satu sisi menonjol keluar.
Gambar 25. Deretan nisan Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Nisan anggota
Nisan Kapten Anak Agung
Gede Mudhita
D.33
Desa Adat Penglipuran
Posisi ruang-ruang di dalam kompleks pemakaman tersebut di atas dapat dilihat pada sketsa denah berikut ini:
Gambar 26. Denah zona nista manggala Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
Keterangan gambar:
1. Pura Dalam Agung
2. Petinggih Ratu Gede
3. Bale Bengong
4. Prasasti
5. Deretan kuburan (nisan)
6. Lapangan
7. Gerbang masuk kompleks
pemakaman
6 3
2 1
4
5
7
D.34
Desa Adat Penglipuran
II.5 UTILITAS LINGKUNGAN
II.5.1 JARINGAN SAMPAH
Sistem pembuangan sampah pada desa penglipuran ini adalah menggunakan sistem desentralisasi, yaitu pengumpulan sampah
yang dilakukan di beberapa bak koleksi yang ditempatkan diluar masing-masing rumah. Selanjutnya sampah tersebut diangkut
dengan mobil grobak dan dikumpulkan pada suatu tempat ( tempat pembuangan akhir ).
Gambar 27. Jenis penampungan sampah sementara yang berada pada masing-masing rumah di Penglipuran Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
II.5.2 JARIANGAN AIR KOTOR (DRAINASE)
Air kotor pada Desa Penglipuran yang dihasilkan dari masing-masing RT langsung di tamping ke septic tank (limbah padat).
Sedangkan untuk limbah cair di buang ke selokan yang dihubungkan melalui pipa-pipa. Pada umumnya warga menggunakan closet
jongkok di WC nya.
D.35
Desa Adat Penglipuran
Gambar 28. Selokan sebagai aliran air kotor menuju pembuangan saluran desa Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
II.5.3 JARINGAN AIR BERSIH
Air bersih yang digunakan untuk mencukupi konsumsi air bersih pada Desa Penglipuran berasal dari PDAM.
Gambar 29. PAM sebagai konsumsi air bersih warga Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.36
Desa Adat Penglipuran
II.5.4 PENGHAWAAN
Sistem penghawaan pada Desa Penglipuran menggunakan sistem penghawaan alami berupa jendela dan lubang dinding lainnya
yang juga memanfaatkan terang langit sebagai media penerangan pada siang hari.
Gambar 29. Penghawaan alami berupa jendela juga berfungsi sebagai pencahayaan alami pada saat siang hari. Sumber: Dokumen Pribadi, 2010
D.37
Desa Adat Penglipuran
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Desa adat Penglipuran masih mempertahankan pola tata ruang aslinya sehingga terlihat keteraturan dalam tatanan ruang yang
ada. Hal ini tidak lain karena usaha dari warga desa adat penglipuran yang mejunjung tinggi adat istiadat setempat.
III.2 SARAN
Semoga semua desa adat yang berada di Bali tetap menjaga keaslian sesuai dengan konsep yang ada, tidak terpengaruh arus
globalisasi.