ADAT SELINGKAR DESA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Buku ini terbit th.1999. Karena tidak dicetak ulang, sila download saja.

Citation preview

Adat Selingkar Desa

EMERALDY CHATRA

Adat Selingkar Desa

FAKULTAS ILMU SOSIAL DA ILMU POLITIK U IVERSITAS A DALAS PADA G 1999

0

Adat Selingkar Desa

BAB I PENDAHULUAN

B

eberapa tulisan mengenai masyarakat Minangkabau menyatakan bahwa peranan penghulu telah menurun dari waktu ke waktu karena kebijakan pemerintah, yang dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda1. Birokrasi pemerintah kolonial Belanda maupun Indonesia terlalu kuat bagi kaum penghulu dan sistem yang diterapkan cenderung mengabaikan posisi tradisional mereka.

Sulit dipungkiri, memang, bahwa rekayasa budaya yang dilakukan Belanda dan model birokrasi yang dikembangkan setelah Indonesia merdeka telah menimbulkan perubahan yang sangat prinsip dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau. Memudarnya peranan nyata dari penghulu hanya salah satu dari sekian banyak perubahan-perubahan yang terjadi kemudian akibat rekayasa tersebut. Namun, dalam pandangan saya, argumentasi yang hanya mengasumsikan kebijakan pemerintah sebagai faktor tunggal yang menurunkan pengaruh penghulu, tidak dapat memberikan penjelasan yang adil. Faktor lain yang juga perlu ditengarai sebagai kekuatan yang1

Antara lain lihat Rusli Amran (1981), Imran Manan (1995).

1

Adat Selingkar Desa

mengaburkan identitas penghulu adalah kemampuan individu-individu penghulu mengaktualisasikan diri, interaksi sosial mereka dengan pemerintah dan anak kemenakan, dan sejumlah perkembangan gaya hidup modern (seperti konsumsi media massa dan turisme). Lemahnya kemampuan individual penghulu tampaknya sudah dimulai sejak proses seleksi pengangkatan penghulu di tingkat kaum kerabat. Dampak dari faktor-faktor tersebut, seperti dirasakan saat ini, penghulu semakin jauh dari prinsip-prinsip kepemimpinan tradisional Minangkabau yang bersandar kepada kekuatan musyawarah. Penghulu terkooptasi oleh kekuatan politik berskala nasional, dan harus selalu bersikap akomodatif terhadap pemerintah. Akibatnya, pelecehan diam-diam terhadap penghulu dari anakkemenakannya menjadi tindakan yang menyebar, dan penghulu cenderung tutup mata dan kuping saja menghadapi pelecehan tsb2. Perubahan sosial di Minangkabau mempengaruhi terjadinya pembentukan makna baru terhadap simbolsimbol dan pengaburan identitas kepenghuluan yang akhirnya memodifikasi berbagai harapan terhadap para penghulu. Paradoks yang muncul seiring dengan memudarnya identitas dan menurunnya peran tradisional2

Ketika sekelompok penghulu yang mengatasnamakan seluruh penghulu di Minangkabau melakukan aksi kebulatan tekad untuk mendukung Golkar dalam pemilu 1992, cemooh-cemooh dialamatkan kepada para penghulu. Banyak kalangan menyayangkan penghulu bersedia saja diperalat oleh Golkar untuk meraih dukungan dari masyarakat Minangkabau. Akan tetapi cemooh dan kritik masyarakat tidak ada pengaruhnya kepada sikap para penghulu. Terbukti menjelang pemilu 1997 peristiwa lima tahun sebelumnya terulang kembali.

2

Adat Selingkar Desa

penghulu ialah kecenderungan sementara kalangan -biasanya terdidik dan berstatus ekonomi kuat -- untuk menyandangkan gelar penghulu kepada diri mereka sendiri, meskipun untuk itu mereka harus mengeluarkan jutaan rupiah dan menghadapi ekspresi keberatan dari sebagian kerabat pemegang sako (gelar pusaka). Dalam konteks ini kepenghuluan dimaknai dengan cara berbeda dan diberi identitas sebagai bagian dari gaya hidup dan dimanfaatkan untuk melepaskan kerinduan terhadap sesuatu yang langka dan berbeda dari perolehan masyarakat banyak. Pada kenyataannya, memang, di satu pihak penghulu belum sempat mengalami komoditisasi (oleh sebab itu pembelian gelar adalah kasuistik3), karena pemberian gelar penghulu kepada sembarang orang tetap mendapat tantangan dan tidak mudah diterima masyarakat Minangkabau. Di pihak lain, upaya-upaya mereaktualisasi peran-peran sosial dan memperkukuh identitas penghulu mengalami kemandegan yang serius. Sebagian kaum lebih suka3

Setidaknya ada empat pemberian gelar penghulu yang bersifat kontroverisial dalam dekade 80 dan 90-an. Kasus pertama melibatkan seorang pejabat tinggi negara. Ia (sang pejabat) yang jelas-jelas berasal dari Kabupaten Solok dinobatkan jadi penghulu dengan gelar yang sengaja diciptakan untuknya di Kabupaten Tanah Datar. Kedua, di Pesisisr Selatan, melibatkan seorang pengusaha kondang asal Minang dari Jakarta. Peristiwa ketiga di Kabupaten 50 Kota, juga melibatkan seorang pengusaha kaya dari Jakarta, juga orang Minangkabau. Keempat, di Kabupaten Agam, melibatkan seorang tokoh pendidikan yang tidak berasal dari Minangkabau. Pada kasus pertama dan kedua penobatan sebagai penghulu tetap berlangsung, sekalipun di bawah percikan konflik antar anggota kaum. Sebaliknya, pada kasus ketiga transaksi gelar penghulu terpaksa dibatalkan karena pertentangan dalam kaum yang akan memberikan gelar penghulu itu tak dapat diselesaikan dengan baik.

3

Adat Selingkar Desa

malipek (melipat, meniadakan penghulu dalam kaum) penghulu bila kaum itu menemui kesukaran menentukan figur penghulu yang paling tepat daripada memberikannya kepada pihak lain di luar kaum. Atas dasar pandangan-pandangan seperti itulah saya memfokuskan penelitian kepada identitas dan kepemimpinan penghulu Minangkabau. Dari observasi yang sangat umum sifatnya, tampaknya sampai pada tingkat tertentu eksistensi penghulu dipertahankan oleh kebanyakan orang Minangkabau, termasuk oleh pemerintah. Namun demikian penghulu tidak lagi menempati lapisan atas dari struktur sosial masyarakat Minangkabau kontemporer. Oleh karena itu pertanyaan pokok yang saya ajukan dalam penelitian ini adalah: apa arti penghulu bagi orang Minangkabau sekarang ini? Apa kaitan antara identitas penghulu dengan perubahanperubahan yang terjadi pada arena sosial-politiknya? Tujuan Penelitian ini merupakan upaya yang lebih komprehensif untuk memahami identitas kaum penghulu di kalangan masyarakat Minangkabau dalam dua dasawarsa terakhir. Istilah masyarakat Minangkabau mengandung arti bahwa identitas penghulu akan dilihat dari sudut pandang warga yang tidak masuk ke dalam kategori penghulu maupun kalangan penghulu itu sendiri. Selanjutnya penelitian diarahkan untuk memetakan persamaan maupun perbedaan pandangan dan

4

Adat Selingkar Desa

pemahaman antara kedua golongan di atas tentang makna penghulu. Sangat terkait dengan metode yang digunakan, penelitian ini tidak bertujuan membuat generalisasi (nomothetic statement) sebagaimana lazimnya tujuan yang ingin dicapai oleh penganut paradigma positivistik. Saya sangat menyadari, data-data yang akan terkumpul melalui penelitian ini tidak mungkin digunakan untuk membuat pernyataan-pernyataan yang bebas waktu dan konteks (time and contex-free), antara lain karena perhatian kepada aspek lokalitas budayanya yang demikian kental. Jangankan untuk menghasilkan generalisasi yang dapat digunakan kapan saja dan dimana saja, untuk digunakan dalam wilayah Minangkabau sekalipun sebuah generalisasi belum tentu akan berguna. Komunitas lokal Minangkabau menyimpan begitu banyak perbedaan, baik dalam sejarah maupun dalam pola-pola gagasan. Untuk itu, tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mencapai apa yang disebut oleh Cronbach sebagai working hypothesis (Lincoln dan Guba, 1985: 122-124), sebuah pernyataan idiografis yang terikat pada konteks dan waktu. Jadi apa yang bisa saya hasilkan dari studi ini mungkin transferable ke konteks lain yang tidak diteliti asalkan terdapat kemiripan dan kecocokan di antara konteks yang diteliti dengan yang tidak. Metode dan Proses Gagasan untuk melakukan penelitian ini sebenarnya telah muncul pada awal tahun 1996. Pelaksanannya

5

Adat Selingkar Desa

tertunda karena saya masih harus mengumpulkan sejumlah informasi penting, melakukan observasi sederhana terhadap pemanfaatan para penghulu dalam masa kampanye Pemilihan Umum 1997. Kegiatan prapenelitian itu mungkin tidak seluruhnya benar-benar berguna bagi penelitian ini, namun setidaknya masukkanmasukkan yang diperoleh dapat mempertebal keyakinan saya bahwa isyu identitas penghulu ini memang perlu dipelajari secara lebih komprehensif. Penelitian akhirnya dilakukan antara bulan Juli November 1997. Studi tentang makna dan identitas menuntut hubungan yang lebih dekat antara saya dengan subyek penelitian karena makna dan identitas tidak selalu bisa ditangkap melalui teknik-teknik penelitian yang sederhana dan sambil lalu. Makna bahkan sering terkubur dalam lautan prilaku, sehingga pelaku-pelaku sendiri dihadapkan kepada kesukaran dalam menjelaskan kaitan antara prilaku mereka dengan makna yang mereka pahami. Studi pustaka dilakukan sejak awal penelitian hingga proses penulisan laporan, sebagaimana biasa dilakukan oleh peneliti kualitatif atau para etnografer. Data primer dikumpulkan melalui wawancara informal, kadang-kadang merupakan panel, yang dilaksanakan berkali-kali dengan penghulu, kepala desa, aparat pemerintah, pemuda dan warga biasa yang dianggap layak menjadi sumber informasi. Sepanjang pengumpulan data primer dilakukan saya berusaha untuk menempatkan diri sebagai insider agar informan tidak banyak berbasa-basi dan berusaha menutup-nutupi apa yang mereka ketahui.

6

Adat Selingkar Desa

Rekording data sama sekali tidak menggunakan alat perekam elektronis. Saya memang menjauhi alat itu karena - belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya - ia dengan mudahnya akan merubah situasi interaksi yang informal menjadi seolah-olah formal. Saya kuatir bila alat itu dihadirkan informan lalu mengambil ancang-ancang untuk menyeleksi informasi yang diberikannya, terutama ketika pembicaraan mulai menyentuh isyu yang dalam pikiran mereka adalah sensitif. Oleh sebab itu saya berusaha mencatat pada field notes dengan mengandalkan daya ingat setelah pertemuan selesai mengenai segala apa yang dibicarakan dengan informan. Informasi-informasi yang dianggap kabur, kacau dan bias kemudian ditandai untuk dikonfirmasikan lagi kepada sumber-sumber informasi. Disamping itu dilakukan juga observasi terhadap tindakan sosial penghulu untuk melengkapi data yang diperoleh melalui wawancara. Dalam aktivitas observasi ada dua setting peristiwa yang sering menjadi pengamatan saya. Pertama, pertemuan-pertemuan di Balai Desa dimana sejumlah penghulu hadir baik sebagai tokoh formal desa (karena menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan desa) maupun tokoh informal (tidak punya jabatan, tapi diundang sebagai tokoh masyarakat biasa). Kedua, pertemuan kaum yang secara khusus membahas masalah yang dihadapi oleh sebuah kaum, baik yang berkaitan dengan adat-istiadat maupun yang bukan, dan di sana penghulu hadir dalam kapasitasnya

7

Adat Selingkar Desa

sebagai pemimpin kaum. Sebenarnya saya juga ingin mengamati pertemuan-pertemuan di tingkat paruik, dan payuang untuk lebih memahami peranan penghulu di tingkat itu, tapi tidak berhasil karena tidak ada pertemuan seperti itu diselenggarakan sepanjang pengumpulan data dilaksanakan. Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan di Balai Desa tidak ada yang bisa diklasifikasi sebagai pertemuan yang dimaksud, karena pertemuan paruik adalah yang dipimpin oleh penghulu paruik, dan pertemuan payuang juga dipimpin oleh penghulu payuang. Ketiga, peristiwa komunikasi yang tidak formal antara penghulu dengan kemenakannya. Peristiwa ini bisa diamati setiap hari, baik di jalan, di warung, di rumah atau di mesjid. Saya bisa melakukan pengamatan karena sebelumnya telah mengenali secara pribadi cukup banyak penghulu di lokasi penelitian. Saya menjadikan struktur komunikasi sebagai salah satu obyek pengamatan yang sangat penting. Melalui observasi terhadap ketiga bentuk pertemuan di atas. saya berusaha mencari jawaban untuk pertanyaan siapa yang memegang fungsi kontrol di ketiga setting pertemuan tersebut di atas? Jadi pengamatan terhadap peristiwa komunikasi tidaklah dimaksudkan untuk memperlajari arus pesan (message flows), gaya komunikasi atau dampak komunikasi sebagaimana yang sering dilakukan dan disukai ahli komunikasi. Pengamatan itu semata-mata sebagai jalan untuk mencapai tujuan yang mempunyai dimensi sosiologis dan kultural lebih luas dari sekedar tukar-menukar pesan.

8

Adat Selingkar Desa

Fungsi kontrol dioperasionalisasi sebagai tindakan komunikasi yang ditujukan untuk mengendalikan dan mengarahkan pikiran para peserta pertemuan. Orang yang memegang fungsi kontrol dianggap sebagai pemimpin dalam pertemuan tersebut. Konsep kepemimpinan yang saya gunakan bersumber dari hasilhasil penelitian Rober Bales yang menurunkan dua tipe kepemimpinan dalam komunikasi kelompok, yaitu taskleaders dan socio-emotional leaders (Miller, 1974)4. Sepanjang penelitian berlangsung, saya banyak terlibat dalam berbagai kejadian yang kelak dijadikan sebagai sumber data. Sehingga secara mentodologis penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang menggunakan metode observasi partisipatif (participant observation), meskipun dalam penerapannya tidak selalu konsisten.

4

Menurut Bales, task leaders bukanlah semata orang yang banyak bicara. Ia adalah orang yang sukses sebagai komunikator persuasif dan banyak mengemukakan ide-ide yang dapat diterima anggota kelompok. Dalam pandangannya, kelompok adalah kelompok kerja dan ia berusaha memaksimalkan ganjaran (rewards) bagi kelompok dengan melakukan pekerjaan. Disamping itu ia memiliki pengetahuan dan keahlian tentang tugas tertentu. Sementara socio-emotional leaders cenderung kurang aktif bicara dibandingkan task leaders. Ia bicara tentang sesuatu yang lain dibandingkan task leaders dan cenderung berusaha membuat anggota kelompok merasa nyaman. Dalam pandangannya kelompok adalah sebuah kelompok sosial dan ganjaran maksimal dapat diperoleh dengan menjalin kerjasama yang erat di antara anggota kelompok. Lihat M. Mark Miller dalam Jan Shubert, 1974, hal G-11 - 12. Saya merasa konsep Bales layak dipergunakan karena pertemuan-pertemuan yang diobservasi pada umumnya merupakan rapat: jadi diakhiri dengan pembuatan sejumlah keputusan dan pembagian wewenang dalam menyelesaikan persoalanpersoalan tertentu.

9

Adat Selingkar Desa

Oleh karena subyek penelitian telah sangat mengenal saya, kerepotan yang dapat dirasakan adalah munculnya bias-bias dalam melakukan interpretasi terhadap data. Saya sangat menyadari kedekatan hubungan dengan subyek dapat menimbulkan Hawthorn effect yang merusak kualitas penelitian secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dengan segala daya upaya saya berusaha melakukan interpretasi dengan menempatkan diri dalam posisi outsider, meskipun dalam hal tertentu terasa berat dan saya dihantui kegagalan5. Saya kadang-kadang harus berperang dengan keinginan untuk mengatakan apa yang saya tahu secara apa adanya dengan keinginan untuk terhindar dari tuduhan menepuk air di dulang. Data penelitian ini umumnya bersifat kualitatif, sehingga merupakan kumpulan informasi-informasi yang telah terseleksi dan diyakini validitasnya. Validitas data tidak ditentukan oleh pengujian-pengujuan statistikal terhadap instrumen penelitian yang dilaksanakan secara terpisah dengan proses pengumpulan data, melainkan terintegrasi ke dalam proses tersebut Dengan kata lain, saya berupaya menjaga validitas data secara langsung di5

Secara jujur perlu dijelaskan bahwa saya dilahirkan di desa tempat penelitian ini dilaksanakan, tapi telah meninggalkannya sejak usia dua tahun dan dibesarkan di kota. Oleh karena tidak dibesarkan di lingkungan mereka, sangat sedikit warga desa ini yang saya kenal secara pribadi. Tapi umumnya warga desa yang berusia lebih 40 tahun dapat mengenali saya setelah saya menyebutkan nama orang tua atau kakek dan nenek. Dari banyak kali pertemuan yang saya lakukan sepanjang penelitian ini, sikap mereka kadang-kadang terasa sangat membantu saya dalam memperoleh informasi yang lebih banyak, tapi di lain pihak juga agak mengganggu karena mereka berhati-hati sekali (mungkin dimaksudkan agar saya tidak tersinggung) menjelaskan prilaku negatif individu-individu yang masih ada hubungan kekerabatan dengan saya.

10

Adat Selingkar Desa

lapangan dengan teknik check and recheck dan triangulasi terhadap informasi-informasi yang diperoleh. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di sebuah desa dalam Nagari Kubang, Kecamatan Guguk, Kabupaten 50 Kota, lebih kurang 17 km ke sebelah utara Kota Payakumbuh. Nagari Kubang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan yang membujur dari utara ke selatan pulau Sumatra, dengan luas daerah sekitra 49 km2. Topografinya 34% dataran dan 66% perbukitan subur dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan pertanian (Kewalinagarian Kubang, 1979: 8). Jumlah penduduknya lebih kurang 9.651 orang pada tahun 1989 (Direktorat Bandes Sumatera Barat, 1989). Nagari Kubang mungkin tidak begitu terkenal di kalangan masyarakat Sumatera Barat, kecuali sebatas nama yang diperkenalkan melalui beberapa restoran di berbagai kota di Sumatera Barat. Hingga tahun 60-an Desa Kubang (ibunegeri Nagari Kubang) masih cukup luas dikenal sebagai salah satu sentra industri tenun di Sumatra Barat, berpasangan dengan Silungkang (Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung). Pada abad ke-19 Kubang termasyhur karena menghasilkan sarung sutra yang bagus, dan mempekerjakan kira-kira 13.000 wanita dalam produksi puncaknya (Oki, 1986: 122-3). Kejayaan industri tenun Kubang memang sudah berlalu, dan kini pabrik-pabrik yang tersisa boleh dihitung dengan jari.

11

Adat Selingkar Desa

Pesentuhan yang berjalan lama antara masyarakat Desa Kubang dengan kehidupan industri dan pasar kemudian melahirkan komunitas perantau, pedagang, dan profesional yang mapan. Di bandingkan dengan warga desa-desa lain dalam Nagari Kubang, warga Desa Kubang paling banyak yang berhasil mencapai pendidikan tinggi, lalu jadi pekerja profesional seperti dokter, insinyur, pengacara, atau dosen. Tingkat perantauan juga tinggi. Sebagian perantau terlibat dalam aktivitas perdagangan, mulai dari skala kecil hingga menengah. Para pedagang kecilnya yang berjualan dengan gerobak dorong dan kioskios sederhana cukup dikenal dengan komoditas makanannya yang khas: martabak Kubang. Nagari Kubang terdiri atas 10 jorong, yaitu Kubang, Koto Baru, Koto Syarikat, Limo Koto, Tanjuang Barulak, Taratak, Siamang Bunyi, Boncah, Baliak, dan Lokuang. Sejak status nagari sebagai unit administratif terkecil di hapus dan digantikan oleh desa, ke sepuluh jorong di atas berubah statusnya menjadi desa. Oleh karena sejak awal penyebaran penduduk Nagari Kubang tidak begitu merata, perubahan status jorong sekaligus membentuk desa-desa yang lengang dan miskin sumber daya manusia. Desa Limo Koto, sebagai contoh, hanya berpenduduk 439 orang atau 102 KK (Direktorat Bandes Sumatera Barat, 1989: 65). Kondisi fisik antara Desa Kubang, sebagai ibunegeri Nagari Kubang, dengan kesembilan desa lainnya sangat berbeda. Bila jalan-jalan utama dalam Desa Kubang sudah terbuat dari aspal beton, rumah-rumah penduduk menggunakan listrik dan telepon, hingga penelitian ini

12

Adat Selingkar Desa

dilaksanakan desa yang lain malah masih belum menikmati jalan aspal, apalagi listrik dan telepon. Desa Siamang Bunyi, misalnya, masih terkesan sangat parah. Desa itu hanya ditempuh oleh kendaraan penompang reguler dua kali sehari: pagi dan sore. Di antara kedua waktu itu penduduk menggunakan fasilitas angkutan tidak resmi (cigak baruak) yang berfungsi rangkap sebagai pengangkut barang, orang dan ternak. Tapi bila hujan terlalu deras dan jalan tanah menuju desa itu berubah jadi jebakan lumpur, tak akan ada satupun kendaraan roda empat yang keluar maupun masuk. Dari sekian banyak desa yang ada di Nagari Kubang, saya hanya melakukan studi intensif di salah satu desa yang -- dengan berbagai pertimbangan etis -- diberi pseudoname (nama samaran) Desa Barantah6. Sistematika Penulisan Berdasarkan substansinya, tulisan ini dibagi ke dalam empat bagian. Bagian Pertama (BAB I) merupakan penjelasan mengenai gagasan dasar penelitian, tujuantujuan yang ingin dicapai, dan proses penelitian. Secara sadar dan sengaja saya tidak berpanjang lebar mengenai metode penelitian yang diterapkan karena pada dasarnya saya tidak menggunakan metode yang sama sekali baru,6

Bagi sebuah penelitian kualitatif pemberian pseudoname ini cukup lazim dilakukan. Geertz (1986 (1965)) menamakan lokasi penelitiannya di Jawa sebagai Mojokuto, dan Koning menamakan desa penelitiannya Rikmokeri (Koning, 1997). Dalam tulisan ini, pseudoname juga diterapkan kepada segala nama orang dan nama tempat yang berkaitan langsung dengan Desa Barantah.

13

Adat Selingkar Desa

sekalipun metode penelitian kualitatif yang saya gunakan masih jarang diterapkan karena berbagai konstrain. Pada Bagian Kedua (BAB II) saya menyajikan hasil penelusuran terhadap sejumlah pikiran dan pandangan mengenai penghulu di Minangkabau yang diperoleh dari sejumlah referensi. Tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah mendudukan konsep penghulu dan kepemimpinan di Minangkabau serta sejumlah perubahan-perubahan yang terjadi akibat perjalanan waktu. Begitu luasnya wilayah yang harus dipelajari, tulisan dalam bagian ini merupakan hasil dari penerapan berbagai pendekatan, terutama sekali budaya politik, hukum dan sejarah. Dengan pendekatan budaya politik saya menghadapkan permasalahan penghulu kepada kearifan dan keunikan budaya Minangkabau dalam menentukan pola kepemimpinan masyarakatnya. Pembahasan kemudian berlanjut kepada intervensi pihak ekternal, mulai dari Majapahit hingga Orde Baru yang secara politis berkecenderungan merubah budaya politik yang telah berkembang selama ratusan tahun di Minangkabau. Dengan menggunakan pendekatan sejarah saya berusaha menafsirkan kembali mitos-mitos yang berkembang di sekitar kehidupan para penghulu, dan tentu saja dalam upaya itu tidak dapat dihindarkan munculnya pikiran yang melawan anggapan-anggapan umum, misalnya mengenai kebesaran Adityawarman yang disebut sebagai raja kerajaan Minangkabau dan konsep republik nagari.

14

Adat Selingkar Desa

Bagian Ketiga (BAB III dan IV) berisi deskripsi komprehensif mengenai desa dan masyarakat yang diteliti. Dalam uraian tersebut saya memulainya dengan fokus perhatian kepada kasus persengketaan antara kaum Samidah dan Kamisah yang kemudian dibahas secara melebar kepada kondisi lingkungan sosial politik yang mengitarinya. Kasus itu saya kaitkan dengan sejarah perkembangan sosial, budaya dan politik di Desa Barantah dan masuknya pengaruh budaya politik nasional beserta institusi dan aparat-aparatnya. Posisi penghulu di dalam masyarakat Desa Barantah dijelaskan dengan menghadirkan rangkaian berbagai fakta. Sekalipun pada Bagian Ketiga saya sebenarnya telah memberikan banyak interpretasi, pada Bagian Keempat (BAB V) saya menyajikan diskusi yang sifatnya lebih analitis. Pada bagian ini dilakukan olah pikir mengenai deskripsi yang dipaparkan pada Bagian Ketiga dengan memfokuskan perhatian kepada konstruksi sosial identitas penghulu. Apa yang ingin saya hadirkan adalah cara pandang, konsep, dan berbagai harapan orang Minangkabau -- dalam hal ini secara khusus orang Desa Barantah -- terhadap penghulu yang berkembang dalam periode 1980 hingga akhir 1990-an.

15

Adat Selingkar Desa

BAB II PENGHULU DALAM KONTEKS PERGESERAN ARENA SOSIAL-POLITIK

Penghulu dan Konstruksi Pergeseran Identitas

P

enelitian ini diilhami oleh ide-ide George Herbert Mead, Herbert Blumer, Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Karena itu, dua aliran pemikiran dipadukan dalam penelitian ini, yaitu interaksionisme simbolik dan kontstruktivisme (fenomenologi). Saya berhutang kepada Mead dan Blumer karena menggunakan konsep tentang makna, interaksi simbolik, pengambilan peran (role taking) dan diri (self)7, sementara kepada Berger dan Luckmann karena menggunakan konsep identitas dan konstruksi sosial dari realitas8.

Dengan perspektif tersebut dipahami bahwa makna, peran, dan identitas penghulu terbentuk dalam lingkungan masyarakat Minangkabau melalui serangkaian7

8

Lihat tulisan G.H.Mead, The Self dalam Peter Worsley (ed.), Modern Sociology, Penguin, Harmondsworth, 1970. Dibicarakan secara mendalam oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan (diterjemahkan dari The Social Construction of Reality. A Treatise in the Sociology of Knowledge oleh Hasan Basari), LP3ES, Jakarta, 1990.

16

Adat Selingkar Desa

proses interaksi intersubjektif. Identitas adalah produk sosial, diproduksi melalui proses negosiasi (McCall dan Simmons, 1971), kemudian disosialisasikan. Dalam masyarakat yang pembagian kerjanya sangat sederhana dan distribusi pengetahuan masih minim, sosialisasi menghasilkan identitas yang telah didefinisikan terlebih dahulu dan garis-garis besarnya telah ditetapkan dengan sangat seksama (Berger dan Luckmann, 1990: 234). Konsep identitas dapat dielaborasi menjadi identitas individual dan identitas kelompok atau kolektif (collective identitiy). Keduanya merujuk pada dua entitas sosial yang berbeda (yang pertama kepada individunya dan integrasi psikososial dari kepribadiannya, sedang yang kedua kepada suatu kelompok dan apa yang diasumsikan sebagai collective self-conception), tapi kedua konsep tersebut berkaitan erat satu sama lainnya (Heidt, 1987: 73). Oleh karena ia muncul dari collective self-conception, identitas kelompok merupakan hasil produksi internal sejumlah anggota yang telah menyamakan pengertian serta pandangan tentang diri sendiri maupun dunia luar, kemudian mensosialisasikan pengertian dan pandangan tersebut ke dalam jaringan intenal yang lebih luas. Pandangan itu diikat dan dipertahankan melalui serangkaian norma dan aturan yang harus dipatuhi oleh segenap anggota kelompok. Akan tetapi identitas sebuah kelompok juga bisa merupakan hasil produksi eksternal: sesuatu yang secara sengaja diciptakan oleh anasir-anasir di luar kelompok dengan segenap pandangan subyektif dan bias-bias.17

Adat Selingkar Desa

Sebuah kelompok orang-orang bersenjata, misalnya, mungkin menamakan diri mereka pejuang, tapi anasir luar mengidentifikasi mereka sebagai teroris atau perusuh. Dalam konteks identitas yang merupakan hasil produksi internal, komunitas-komunitas dalam masyarakat Minangkabau secara relatif memiliki pandangan yang sama terhadap penghulu. Secara kolektif status dan peranan penghulu dirumuskan, selanjutnya setiap penghulu dituntut oleh komunitasnya agar bertindak dan berprilaku menurut makna yang dipahami anggota komunitas. Penghulu sendiri dituntut untuk tunduk dan bertindak mengikuti makna, peran dan norma yang disosialisasikan kepada mereka. Karena itu, di satu pihak perubahan makna dapat merubah harapan terhadap penghulu, dan dipihak lain tindakan sosial penghulu sehari-hari dapat membentuk makna baru. Bagi orang Minangkabau penghulu adalah salah satu simbol dari budaya politik lokal yang sangat mengutamakan kesetaraan hak dalam berpendapat dan mengambil keputusan (diperkirakan berakhir setelah Plakat Panjang, 1833). Penghulu memerintah dengan kekuasaan terbatas, dan dituntut untuk mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Sudah cukup banyak penulis mengetengahkan aspekaspek ideal dari gaya kepemimpinan penghulu, dan sebagian tampak yakin bahwa gaya tsb -- sekalipun kini telah mengalami banyak penyimpangan dalam prakteknya -- masih relevan dengan masyarakat Minangkabau sekarang. Bagi kebanyakan orang Minangkabau, keputusan yang diambil secara sepihak oleh pemerintah

18

Adat Selingkar Desa

masih diterima dengan rasa kecil hati, terutama di wilayah pedesaan, tapi pengambilan keputusan bercorak demikian cukup sering terjadi sekarang. Sebagaimana disebutkan George Herbert Mead dan tokoh-tokoh sosiologi yang satu aliran dengannya (symbolic interactionism), simbol-simbol itu terutama tersimpan dalam kata-kata, tapi juga bisa ditemukan dalam kial-kial (gestures), gambar-gambar, bunyi musik atau obyek natural seperti perhiasan (Geertz, 1973: 45). Simbol juga ditemukan dalam obyek sosial seperti pelajar, presiden, teman, ibu, dan obyek abstrak seperti prinsipprinsip moral, doktrin filosofis, atau ide-ide tentang keadilan, eksploitasi dan rasa kasihan (Blumer, 1969: 1011). Untuk memahami simbol-simbol itu musti bisa ditemukan rangkaian logis dari satu simbol kepada simbol yang lain, atau dalam suatu sistem simbol. Makna sebuah simbol mungkin tidak bisa diterangkan oleh simbol itu sendiri, tapi sistem-simbol lain akan mengungkapkannya. Dengan demikian, kekeliruan dalam menginterpretasikan sebuah simbol sulit diketahui kalau tidak ada usaha melihat kaitannya dengan sistem simbol yang ada dalam masyarakat. Dari simbol rumah gadang, misalnya, dapat diterangkan bagaimana makna dari simbol lain dalam masyarakat Minangkabau seperti laki (suami), bini (istri), anak padusi (anak perempuan), kamanakan (kemenakan atau keponakan), biliak (kamar) dan sebagainya. Sebaliknya simbol-simbol yang disebutkan terakhir juga bisa menerangkan makna rumah gadang bagi masyarakat19

Adat Selingkar Desa

Minangkabau. Sedangkan dari simbol nagari dapat pula dijelaskan sejumlah makna sejumlah simbol yang mengacu kepada obyek-obyek fisik, sosial, dan abstrak seperti tanah, rumah gadang, tapian (tepian mandi), suku, penghulu, parentah (perintah), budi, aka (akal), dan sebagainya. Masing-masing simbol dimaknai dalam kedudukannya di antara simbol lainnya dalam sistem. Simbol mamak, misalnya, tidak bisa diterangkan bila tidak dikaitkan dengan simbol kemenakan dan kaum. Mamak tanpa kemenakan tidak ada artinya bagi orang Minangkabau, karena mamak menyandang kewajiban sosial yang berkenaan dengan kehidupan kemenakan dan kaumnya. Makna sebuah simbol kemudian jadi dasar bagi tindakan individu dan pengambilan peran (role taking). Kenapa orang harus bersikap ekstra-sopan berhadapan dengan pejabat? Tidak lain sebabnya karena makna simbol pejabat bagi kebanyakan orang terkait dengan simbol-simbol lain yang ada dalam suatu sistem seperti kekuasaan, wibawa, aparat keamanan, penjara, penyiksaan dan sebagainya. Kalau simbol-simbol yang terakhir itu tidak lagi ada maknanya, maka makna simbol pejabat juga akan berubah dan akibatnya orang tidak merasa perlu bersikap ekstra-sopan lagi ketika berhadapan dengan seorang pejabat. Proses yang sama terjadi pula ketika mamak9 bertindak terhadap kemenakan-kemenakannya10. Bila mamak9

Dalam ikatan geneologis, penghulu adalah mamak dalam kaumnya. Oleh sebab itu penghulu kadang-kadang juga dipanggil mamak. Namun tidak setiap mamak menyandang gelar penghulu.

20

Adat Selingkar Desa

memimpin kemenakannya, tindakan itu sesuai dengan makna simbol tadi. Sebaliknya bila kemenakan melawan kepada mamak, muncullah tafsiran bahwa makna mamak bagi kemenakan telah berubah, atau mamak tidak lagi bertindak menurut makna yang dipahami kemenakan karena bagi mamak itu sendiri makna simbol mamak juga sudah berubah. Untuk mengetahui pergeseran makna dari setiap simbol tidak cukup dengan sekedar mengetahui pendapat individu. Pendapat seseorang dapat saja berbeda dengan tindakannya. Tidak ada keharusan bagi individu bertindak persis sama dengan makna simbol yang dia pahami karena seringkali individu dihadapkan pada faktor kesempatan yang tidak memungkinkannya bertindak. Kesempatan individu bertindak sesuai dengan pemahamannya semakin berkurang kalau orang-orang disekelilingnya ternyata memiliki pemahaman yang berbeda dan berusaha menghalang-halanginya. Seseorang bisa saja memahami makna sertifikat hak milik sebidang tanah sebagai bukti kepemilikan mutlak yang terlindungi oleh hukum, dan di atas tanah itu ia bisa membangun apa saja karena memang miliknya. Namun kenyataannya ia tidak bisa menggunakan tanah itu sesuai dengan apa yang dipahami secara subyektif karena aparat instansi perizinan membatasinya. Pembatasan itu merupakan tindakan sosial yang berpijak pada pemaknaan sertifikat hak milik di10

Secara geneologis kemenakan adalah anak dari saudara perempuan seorang laki-laki. Dalam kaitannya dengan penghulu, kemenakan menjadi simbol dari rakyat atau orang-orang yang berada di bawah pimpinan penghulu.

21

Adat Selingkar Desa

kalangan aparat yang tidak sama dengan pemaknaan yang dilakukan pemilik tanah. Dalam upaya mengetahui pergeseran makna dan identitas penghulu, perubahan-perubahan tindakan sosial menjadi sangat penting. Seorang anak Minangkabau yang dibesarkan dalam lingkungan urban dapat saja mengatakan penghulu tidak lagi penting bagi masyarakat modern. Tapi bila ia kemudian ia berusaha membujuk orang kampungnya agar mengangkatnya menjadi penghulu, maka pendapatnya tadi tidak lagi penting bagi penelitian simbolik, karena makna yang sebenarnya tidaklah bercokol dalam pendapat semula, melainkan di belakang tindakannya yang terakhir. Tindakannya dapat diinterpretasikan tidak didasari oleh makna simbol tradisional, tapi oleh makna simbol yang sama sekali baru. Dengan kata lain, makna simbol tradisional sudah tidak utuh, bahkan mungkin sudah hilang di alam pikiran orang tadi. Lain halnya bila ia bersikukuh untuk tidak berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa apapun yang masih kuat warna adat-istiadatnya. Penghulu: Pemimpin tanpa Individualitas Salah satu keunikan dari sistem kepemimpinan tradisional Minangkabau adalah pemisahan secara sedemikian rupa antara identitas individual pemimpin (penghulu) dengan identitas kelompok. Identitas individual dihapus dan diganti dengan identitas kelompok ketika seseorang dinobatkan menjadi penghulu dalam kelompoknya.

22

Adat Selingkar Desa

Kelompok atau komunitasnya itu tidak terikat oleh waktu dan tidak memiliki aspek kesejarahan: ia sudah ada sejak dulu kala yang tidak lagi diketahui secara pasti dan terus ada pada masa kini. Oleh sebab itu bukanlah suatu kelaziman dalam budaya Minangkabau memberi tanda khusus kepada seorang penghulu untuk menunjukkan identitas pribadinya, misalnya nomor yang menunjukkan generasi (seperti Amangkurat IV, Ratu Elizabeth II, Louis IV, dsb.). Tanda khusus hanya diberikan kepada penghulu yang sukunya mengalami pembelahan atau pemekaran, tapi tanda itu tetap tidak menunjukkan identitas pribadi. Bila pada suku awal, misalnya, gelar penghulunya Datuk Rajo Malano, maka pada suku belahan penghulunya diberi gelar Datuk Rajo Malano Nan Kuniang, Nan Hitam, Nan Bakaruik, dsb. Tidak adanya hubungan gelar dengan identitas pribadi menyebabkan orang-orang yang pernah menyandang gelar Datuk Rajo Malano Nan Kuniang bisa saja berkulit hitam, sawo matang, atau memang kuning langsat. Dalam jabatannya sebagai pemimpin komunitas, seorang penghulu tidak lagi menjadi individu yang bebas dalam berprilaku, tetapi terikat penuh kepada normanorma kepenghuluan. Dengan demikian penghulu berpeluang sedikit sekali, bahkan boleh dikatakan tidak ada, untuk bersuara atas kepentingan dirinya sendiri atau menunjukkan sikap-sikap anarkis. Implikasi lebih luas dari sistem yang unik ini dibahas dalam sub-bab berikutnya. Dengan hilangnya identitas individual seorang penghulu, kepemimpinan di tingkat nagari maupun jorong, sekalipun dilaksanakan secara bersama-sama,23

Adat Selingkar Desa

tidak dapat dikatakan sebagai kepemimpinan kolektif, melainkan kepemimpinan institusional. Dalam kepemimpinan kolektif identitas individual masih dapat dilacak, dan keputusan kolektif merupakan kesepakatan individu yang ada di dalamnya. Sementara dalam kepemimpinan institusional individu hanya sekedar menjadi motor agar institusi itu bergerak. Dengan model kepemimpinan seperti itu, penghulu yang meninggal atau tidak berfungsi lagi dalam institusi tidak membawa pergi aspirasi yang diperjuangkannya, karena aspirasi itu bukan miliknya pribadi. Bila ia meninggal, secara otomatis aspirasi tadi diwariskan kepada penghulu penggantinya. Jadi, dalam kepemimpinan model ini individu boleh datang dan boleh pergi, tapi institusi tetap berjalan karena tidak tergantung pada berfungsi atau tidaknya individu. Seorang penghulu - dengan meminjam istilah Ralf Dahrendorf -- tidak lebih dari a passing guest in history (Giddens, 1982: 39). Bagi seorang penghulu tidak selalu mudah berhadapan dengan keadaan demikian. Tidak begitu mudah menghilangkan aspirasi pribadi meskipun sudah diinisiasi menjadi bagian dari institusi. Namun sudah menjadi tuntutan dan resiko baginya untuk meninggalkan kepentingan pribadinya ketika menjabat sebagai seorang pemimpin, baik di tingkat paruik/jurai maupun payuang. Adat membuat kecenderungan seorang pemimpin menjadi wakil bagi dirinya sendiri, bukan wakil dari komunitasnya, mengalami hambatan serius. Sistem pemerintahan nagari menjadi rusak bila pakem ini dilanggar. Dengan memberikan gelar sebagai pengganti

24

Adat Selingkar Desa

nama bagi penghulu, nagari mempertahankan pola kepemimpinan institusionalnya. Meskipun demikian, sesuatu yang ideal tidak seluruhnya terjadi di tingkat realitas. Kemungkinan terjadinya pelanggaran pakem kepenghuluan ini tetap saja ada, tapi sangat sulit ditelusuri kembali. Posisi Penghulu dalam Nagari Kepemimpinan nagari11 bermula dari kepemimpinan geneologis yang berkembang menjadi kepemimpinan teritorial. Adanya pembagian wilayah dalam nagari berupa jorong, kampuang (kampung) dan taratak bukan berarti pola kepemimpinan geneologis tidak lagi digunakan. Jorong (dalam istilah lain: koto) dan kampuang (bagian dari jorong12) terbentuk atas dasar konsentrasi pemukiman penduduk yang didalamnya terdapat komunitas yang memiliki hubungan darah. Komunitas ini hidup bersama dengan komunitas lain di atas prinsip kesetaraan hak dan kewajiban politis. Masing-masing komunitas dipimpin oleh tungganai, penghulu andiko, penghulu payuang dan penghulu kaampek suku13. Didasari oleh adanya prinsip kesetaraan tadi, pada akhirnya setiap jorong memerlukan pemerintahan tersendiri di bawah sebuah dewan permufakatan tingkat11

12

13

Luas wilayah sebuah nagari sangat variatif, bisa lebih sempit dari sebuah kecamatan, tapi bisa juga bisa meliputi dua kecamatan. Dalam konsep teritorial, kampuang adalah pemukiman yang lebih luas daripada jorong yang didalamnya tinggal lebih dari satu suku (superclan). Perhatikan dua tabel di halaman berikutnya.

25

Adat Selingkar Desa

jorong (Rapek Jorong) yang dipimpin oleh seorang kapalo (kepala) atau wali jorong yang tidak harus berstatus penghulu14. Tapi jorong, kampuang dan taratak tidak seluruhnya muncul setelah nagari ada. Justru kalau diurut dari proses awal pembentukan nagari, taratak, kampuang dan jorong adalah cikal bakal nagari. Setelah nagari terbentuk barulah jorong dan kampung-kampung lain dibentuk. Taratak yang baru itu muncul karena sebagian warga pusat nagari membentuk komunitas kecil di luar pusat nagari untuk dapat membuka hutan (manaruko) dan membuat lahan pertanian baru. Komunitas ini selanjutnya berkembang dan taratak berubah jadi koto atau jorong. Penduduk jorong ini suatu ketika mungkin pula pindah ke kawasan lain dan membentuk kawasan pemukiman baru yang kelak jadi jorong pula 15 bahkan tidak tertutup kemungkinan menjadi sebuah pusat nagari baru. Dengan demikian pertumbuhan jorong dalam sebuah nagari terjadi melalui suatu proses evolusi yang terutama sekali ditentukan oleh tingkat mobilitas penduduknya.

14

15

Wali Jorong terakhir di Desa Barantah bukanlah seorang penghulu. Keberadaan wali jorong ini kemungkinan tidak ada dalam struktur politik Minangkabau pra-kolonial dan baru dimulai sejak Belanda menunjuk penghulu kepala di tiap nagari. Di Desa Barantah wali jorong tidak pernah dipilih secara demokratis, melainkan ditunjuk langsung oleh kepala atau wali nagari. Di Nagari Baringin dan Sungai Puar (Kecamatan Palembayan) pecahan jorong ini disebut Data, seperti pecahan jorong Sungai Taleh (Nagari Baringin) disebut Data Sungai Taleh, pecahan jorong Sungai Puar (Nagari Sungai Puar) disebut Data Sungai Puar.

26

Adat Selingkar Desa

Dalam struktur pemerintahan nagari, para penghulu pucuak16 berfungsi sebagai pemimpin Rapek Nagari, sekaligus sebagai anggotanya. Kekuasaan tertinggi tidak terletak pada individu penghulu pucuak, dan tidak pula dibagi-bagi di antara individu penghulu payuang atau suku. Kekuasaan berada pada institusi Rapek Nagari yang didalamnya berhimpun para penghulu. Berarti setiap individu tanpa mengenal status harus tunduk pada setiap keputusan (mufakat) yang dihasilkan Rapek Nagari. Tak seorang penghulu pun dapat membuat peraturan atau undang-undang menurut kemauannya sendiri. Penghulu pucuak tidak menjadi personifikasi lembaga musyawarah tersebut, meskipun dalam prakteknya mungkin terjadi perbedaan-perbedaan antara satu nagari dengan nagari lain17. De Jong menjelaskan bahwa dalam tradisi kelarasan Koto Piliang istilah yang lazim digunakan untuk penghulu pucuak nagari adalah Datuak Kaampek Suku ( Jong, P.E. , 1980: 20). Penjelasan ini bukan saja kurang membantu dalam memahami posisi penghulu pucuak dalam nagari, tapi juga bisa menyesatkan. Pertama, karena de Jong hanya melihat keberadaaan penghulu dalam kerangka sistem pemerintahan monarki yang diciptakan Belanda. Ia bukan tidak memahami bahwa dalam nagari ada yang disebut sebagai dewan16

17

Untuk menghindari kesimpangsiuran, dalam tulisan ini saya hanya menggunakan sebutan penghulu pucuak untuk penghulu yang memimpin sebuah nagari. Di daerah rantau yang tegas-tegas dijelaskan dipimpin oleh raja kemungkinan terjadi personifikasi dan tumpang tindih (overlap) kekuasaan antara institusi musyawarah dengan individu raja.

27

Adat Selingkar Desa

permufakatan atau rape (Jong, P.E, 1980: 53) yang memiliki peran besar, namun ia tidak menaruh cukup banyak perhatian kepada keberadaan dewan ini. Kedua, dalam sebuah nagari tidak hanya ada satu penghulu pucuak. Di Nagari Kubang yang adatnya cenderung berafiliasi kepada tradisi Koto-Piliang, sukusuku yang ada dikelompokkan ke dalam empat suduik (sudut) yang disebut Suduik Nan IX, Suduik Nan V, Suduik Nan VI, Suduik Nan IV. Setiap suduik memiliki tiga golongan penghulu. Penghulu paruik disebut sebagai penghulu andiko. Penghulu-penghulu andiko dikelompokkan di bawah pimpinan seorang penghulu kaampek suku. Dalam satu suduik kelompok penghulu andiko ini bisa sampai lima (seperti dalam Suduik Nan VI), sehingga suduik itu memiliki lima orang penghulu kaampek suku. Seterusnya penghulu kaampek suku disatukan di bawah pimpinan seorang pucuak kaampek suku. Namun tidak semua suduik di nagari tersebut memiliki pucuak kaampek suku karena ada satu suduik yang mempertahankan ciri khas kelarasannya yaitu Suduik Nan V. Dalam suduik ini bergabung suku-suku yang menganut filsafat adat Datuak Suri Nan Banego-nego atau Sikalab Dunie (jadi bukan dari kelarasan Bodi-Caniago dan bukan pula Koto-Piliang), seperti suku Jambak, Kutianyie dan Pitopang. Bila dalam tiga suduik lainnya yang dianggap pucuak adalah pucuak kaampek suku, maka dalam Suduik Nan V pucuknya adalah para penghulu kaampek suku. Dengan demikian, dalam tubuh Suduik Nan V terdapat beberapa orang pucuak yang jumlahnya tergantung

28

Adat Selingkar Desa

kepada berapa banyak kelompok kaum dalam suduik tersebut. Tabel I Stuktur Pemerintahan NagariLevel Nagari Sebutan untuk Pemimpin Pucuak (Penghulu Pucuak) atau Tiang Panjang18, Sandi Padek, Rajo Adat19 Penghulu/ Datuak Nan Kaampek Suku20 Kapalo Payuang/Penghulu Payuang/ Penghulu Suku/ Penghulu Kampuang/ Gadang Tuah21 Penghulu Andiko22 Tungganai/Mamak Kapalo Warih

Payuang/suku/kampuang

Paruik/jurai Mande/kaum

Tabel II Sandi/Panungkek Setiap Jabatan dalam Nagari Jabatan Penghulu pucuak (nagari) Sandi/Panungkek semua yang dibawahnya, termasuk manti, dubalang, khatib andiko, dan malim idem idem

Penghulu payuang/suku/ kampuang Penghulu andiko

18

19

20

21 22

Dt.Sangguno Dirajo, Curaian Adat Alam Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukittinggi, 1987 hal 122. Biro Bina Pemerintahan Desa Kantor Gubernur KDH Tk.I Sumatera Barat, Proses Lahirnya Perda No.13 tahun 1983 tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Padang, Juni 1985 hal. 32. Jong, P.E. de Josselin de, Minangkabau and Negri Sembilan, Socio-Political Structure in Indonesia, Martinus Nijhoff, S-Gravenhage, 1980, hal 53. Ibid, hal 121 Lihat Dt.Sangguno Dirajo, ibid hal 120-123. Lihat juga Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang, Sinar Harapan, Jakarta, 1985 hal. 192.

29

Adat Selingkar Desa

Tungganai

kemenakan perempuan.

dan

saudara

Ketiga, pucuak tidak ditentukan pada tingkat nagari, tapi pada tingkat jorong. Keempat suduik ditemukan pada setiap jorong (desa) dengan penghulu yang berbeda-beda. Struktur seperti ini makin mempertegas anggapan bahwa jorong memiliki otonomi dalam urusan adat: penghulupenghulu yang ada di pusat nagari bukanlah superordinat bagi penghulu-penghulu yang ada di jorong. Pemerintah kolonial Belanda kemudian membuat lapisan baru di atas nagari (lembaga supra nagari), yaitu laras (lareh) yang dipimpin oleh kepala lareh atau tuanku lareh. Lareh merupakan gabungan dua atau lebih nagari (Rusli Amran, 1981: 193). Sementara itu di tingkat nagari Belanda mengangkat pemimpin nagari baru dengan sebutan kepala nagari. Sebelumnya Belanda menciptakan jabatan khusus yang disebut penghulu kepala. Di samping itu Belanda juga membuat jabatan-jabatan baru seperti penghulu suku rodi, penghulu pasar dan demang23 (Rusli Amran, 1981: 189). Setiap pangulu angkatan Belanda ini memperoleh gaji dari Belanda di samping komisi penjualan kopi dan pajak. Penghulupenghulu ciptaan tersebut diharuskan bertindak seperti raja-raja di Jawa yang hidup dalam suasana aristokratis dan feodal. Penghulu-penghulu ciptaan Belanda jelas tidak memiliki basis kultural apa-apa karena dalam proses23

Lihat Rusli Amran, ibid hal 189. Demang lebih tinggi kekuasaannya dari Kepala Nagari. Di bawah demang ada lagi yang disebut asisten demang yang kedudukannya juga lebih dari Kepala Nagari.

30

Adat Selingkar Desa

pengangkatannya kepentingan Belanda berada pada urutan teratas. Tujuan Belanda mengangkat mereka memang untuk perpanjangan tangan Belanda ke lapisan masyarakat paling bawah yang selama ini hanya memberikan kesetiaan kepada penghulu yang mereka angkat. Pengangkatan penghulu versi baru ini berakibat munculnya ketegangan dan reaksi menolak dari warga nagari, terutama pada awal-awal jabatan itu diperkenalkan. Namun karena jabatan penghulu basurek24 menjanjikan imbalan material yang lebih baik (karena digaji oleh Belanda) serta kehidupan seperti kehidupan para raja, penghulu yang mulanya menolak akhirnya berbalik menginginkan jabatan tersebut Akibat yang paling fatal dari intervensi Belanda terhadap kehidupan nagari ialah hancurnya makna lembaga Rapek Nagari25 sebagai bagian yang integral dari sistem sosial-politik nagari, sekaligus kebudayaan. Kepala nagari atau penghulu kepala bentukan Belanda dijadikan personifikasi lembaga Rapek Nagari, dan oleh sebab itu musyawarah para penghulu setelah itu lebih banyak diwarnai kepentingan kepala nagari (sekaligus Belanda sebagai sponsornya) daripada kepentingan warga nagari yang sebenarnya.

24

25

Makna hafiahnya, penghulu bersurat. Artinya, penghulu yang diangkat oleh Belanda dengan memberikan besluit (surat keputusan pengangkatan). Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk lembaga yang sama ialah Kerapatan Adat Nagari. Lihat Hasbi, Intervensi Negara terhadap Komunitas Nagari di Minangkabau dalam Edy Utama (ed.), Nagari, Desa dan Pembangunan Pedesaan di Sumatera Barat, Yayasan Genta Budaya Sumatera Barat, Padang, 1990, hal 5-7.

31

Adat Selingkar Desa

Penghulu hidup dalam arena sosial-politik yang sangat spesifik dan keberadaan arena itu semakin mengalami degradasi pemahaman dari satu generasi ke generasi lain. Tampaknya, mengapa keunikan sistem sosial dan politik Minangkabau seringkali tidak dipahami secara utuh oleh banyak kalangan, bersumber dari frame kehidupan politik masyarakat Minangkabau masa lalu yang memang sukar dibandingkan dengan sistem politik masyarakat lain yang sezaman. Umumnya pada masa itu negara diperintah oleh raja dengan sistem pemerintahan monarki absolut. Negara yang diperintah oleh sebuah presidium atau kerapatan para penghulu, seperti halnya nagari-nagari di Minangkabau, merupakan penyimpangan dari pola umum. Sistem politik yang berkembang di Majapahit, atau di Jawa umumnya, sangat berbeda dengan apa yang berkembang di Minangkabau. Di Jawa para raja senantiasa eksis, dan setiap kerajaan yang pernah ada lebih menonjol dalam hal feodalisme dan penggunaan kekuasaan oleh raja secara tanpa batas. Kehidupan para raja Jawa -- seperti halnya juga raja-raja di kawasan dunia lain -- sedemikian rupa menciptakan suasana mistis bagi masyarakat di bawahnya. Para raja melakoni kehidupan seseorang yang amat istimewa dari strata sosial paling atas dan menguras banyak energi masyarakat biasa untuk senantiasa mematuhi perintah serta melayani kehendaknya. Dalam diri raja tersimpan spirit para dewa, dan sejak Islam masuk mereka dianggap wakil Allah (khalifatullah) di bumi. Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya, dikemukakan oleh Pangeran Poeger yang

32

Adat Selingkar Desa

menyebut raja sebagai warananing Allah, wakil/penjelmaan Tuhan (Tamadaru Tjokrowerdoyo dalam M. Najib, 1996: 265). Akibatnya, pengkultusan raja menjadi corak khas hubungan kekuasaan antara raja dengan rakyatnya. Orang Minangkabau boleh heran mengetahui bahwa kekuasaan raja yang tanpa batas itu tidaklah bagian dari zaman nenek moyang mereka, atau setidak-tidaknya keadaan itu tidak mengakar meskipun pernah berdenyut dalam sejarahnya. Oleh sebab itu rekonstruksi kehidupan feodal monarkis raja Minangkabau yang mulai berkembang sejak tahun 70-an tak lebih dari sekedar mengkongritkan ilusi. Sehingga cukup beralasan bila tanpa dukungan bukti sejarah yang memadai sekalipun tetap diupayakan membangun kembali istana raja-raja itu, lengkap dengan tradisi dan seremoni feodalnya. Berlawanan dengan ilusi tentang kebesaran kerajaan Minangkabau, otonomi nagari pun tak luput dari ilusi yang lain arah dan tujuannya. Banyak penulis -- yang kemungkinan karena tidak percaya pada eksistensi sebuah kerajaan hegemonik -- kemudian menyebut nagari sebagai republik-republik kecil atau republik desa. Kata republik menggiring perhatian dan pikiran pada suatu konsep pemerintahan yang relatif demokratis dibandingkan pemerintahan kerajaan dan tidak dipimpin oleh seorang tokoh yang dikultuskan26.

26

Istilah ini antara lain dikemukakan oleh ilmuwan Belanda B. Schrieke. Lihat Akira Oki, Social Change in the West Sumatran Village 1908 - 1945, PhD Thesis, National University, Australia 1977, hal.2.

33

Adat Selingkar Desa

Pemberian label republik tampaknya dilatari kesengajaan untuk menguatkan ciri yang diajukan sebelumnya -- yaitu kehidupan demokratis -- meskipun konsep otonomi tidak musti berkonotasi adanya demokrasi serta tidak pula harus menjelma jadi negara berbentuk republik. Negara yang otonom juga bisa berbentuk kerajaan yang tidak diperintah secara demokratis, dan yang berbentuk republik juga mungkin memiliki ciri yang sama. Bila label republik digunakan kepada nagari sekedar untuk menunjukkan adanya kehidupan demokratis didalamnya, tentu boleh saja. Akan tetapi label itu juga bisa menimbulkan gambaran yang serba tidak jelas karena tidak mengungkapkan struktur kepemimpinan nagari dalam realitasnya yang utuh. Pemimpin dalam sebuah nagari tidak mugkin disetarakan dengan seorang presiden atau perdana mentri karena proses pengangkatannya yang sangat spesifik dan tidak tidak ditemukan dalam sistem negara republik. Nagari tidak mengenal pemilihan umum untuk menentukan partai yang akan berkuasa. Institusi kepartaian mungkin dapat dianalogikan sebagai suku-suku yang ada dalam sebuah nagari, namun dalam tata pemerintahan nagari semua partai ini diikat dalam norma duduak samo randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) atau norma kesetaraan absolut. Semua punya kekuasaan atau sebaliknya. Sehingga kalau dibandingkan dengan sebuah negara republik, maka nagari akan menjadi republik dengan banyak presiden (sebanyak partai yang ada)

34

Adat Selingkar Desa

yang satu dengan lainnya memiliki kekuasaan yang setara. Sedang kekuasaan tertinggi terletak pada institusi permufakatan yang dijelmakan dengan nama Rapek Nagari27. Kehidupan demokratis di nagari dapat menjadi sebab sekaligus akibat dari sistem pemerintahannya. Gagasan untuk melibatkan banyak orang dalam mengurusi nagari tampak jelas dari dua simbol: mamak dan kemenakan28 Meskipun makna keduanya mengacu kepada garis keturunan (hubungan geneologis), keduanya merupakan komponen dasar dari pemerintahan nagari. Makna yang tersimpan dalam simbol mamak kemudian diperkaya menurut perluasan fungsinya dengan menghadirkan simbol baru, yang sekaligus mengandung makna teritorial, yaitu pangulu (penghulu). Seseorang mustahil dapat menjadi penghulu kalau tidak ada yang dipimpinnya, yaitu kemenakan. Rakyat para penghulu tidak lain adalah kemenakan dan kerabat-kerabatnya sendiri. Individu tidak dapat mengangkat dirinya sendiri atau menyuruh orang di luar lingkungan kerabatnya untuk menobatkannya menjadi penghulu. Oleh karena mamak dan kemenakan adalah komponen dasar pemerintahan nagari, pola hubungan antara yang27

28

Struktur kekuasaan dalam nagari tercermin dalam ungkapan adat: kemenakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana manuruik alua jo patuik (kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja kepada yang benar, yang benar mengikuti alur dan patut). Mamak adalah paman dari pihak ibu atau saudara laki-laki ibu, sedang kemenakan adalah anak dari saudara perempuan (Ind. keponakan atau kemenakan).

35

Adat Selingkar Desa

memimpin dan yang dipimpin akhirnya jauh dari sekedar hubungan kekuasaan. Hubungan keduanya lebih menjurus kapada hubungan batin atau hubungan orang-orang yang sedarah. Setiap kemenakan laki-laki punya akses untuk menjadi mamak, karena kedudukan itu otomatis diperolehnya bila saudara perempuannya melahirkan anak. Dalam tradisi Bodi-Caniago, setiap mamak malah memiliki akses jadi penghulu sepanjang dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh adat. Dengan kata lain, dalam kelarasan ini setiap laki-laki yang memenuhi syarat berpeluang untuk menjadi pemimpin dalam nagari. Tradisi yang berlaku dalam kelarasan Koto Piliang memang berbeda karena ada garis pewarisan sako yang linear ke bawah. Namun pola pewarisan itu tidak berdampak kepada kepimpinan nagari. Sebab, tidak ada nagari yang seluruh penduduknya beradat Koto Piliang atau nagari yang seluruh mekanisme pemerintahannya bersemangat tradisi Koto Piliang. Yang ada hanyalah nagari yang mendapat pengaruh besar dari tradisi Koto Piliang, seperti banyak ditemukan di Kabupaten Limapuluh Kota, namun mekanisme pemerintahannya tetap berasal dari sintesa (percampuran) tradisi kelarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang. Rapek Nagari, Kepemimpinan Institusional dan Eksistensi Individu dalam Nagari

36

Adat Selingkar Desa

Dalam pemerintahan nagari tidak dikenal pembagian kekuasaan yang tegas, kecuali sejak Belanda merubah sistem pemerintahan nagari menjadi mirip sistem monarki dengan menunjuk salah seorang penghulu menjadi raja kecil yang disebutnya penghulu kepala. Oleh Belanda seorang penghulu kepala mulanya diberi fungsi di luar kerapatan adat dan tidak boleh mengikuti rapat-rapat adat (Rusli Amran, 1985: 194). Namun kemudian fungsi ini berubah. Setelah Belanda mengeluarkan Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B) tanggal 3 September 1938 seorang penghulu kepala yang diangkat menjadi kepala nagari merupakan pemimpin tertinggi dari kerapatan atau dewan eksekutif sekaligus legislatif dan yudikatif dalam nagari. Ia menjadi penguasa tunggal yang bertanggung jawab kepada pemerintah Belanda, dan karena itu dalam setiap perannya dalam nagari seorang kepala nagari harus lebih dulu mengedepankan kepentingan Belanda. Seorang penghulu kepala atau kepala nagari mempunyai hak dan kewajiban berganda: sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan ia memimpin sidang yang berhubungan dengan pelaksanaan pemerintahan nagari. Sidang yang sama sebenarnya juga sidang dewan legislatif, pembuat undang-undang (peraturan) dalam nagari, dan sidang yudikatif yang membicarakan berbagai perkara perdata (penanganan perkara pidana menjadi kewenangan Belanda). Sehingga dalam satu sidang seorang penghulu kepala memainkan peran sebagai pemimpin legislatif dan yudikatif sekaligus. Dengan sendirinya anggota persidangan yang terdiri dari37

Adat Selingkar Desa

penghulu-penghulu, malim, khatib, cadiak-pandai (cerdik pandai), manti, dan dubalang, juga memainkan peran di ketiga lembaga pemerintahan yang disatukan tersebut29 Dalam sistem pemerintahan pra-Belanda, sekalipun roda pemerintahan di tingkat nagari dijalankan30 oleh penghulu pucuak, kekuasaan sebenarnya tidak berada dalam genggaman mereka, melainkan dalam rapek (institusi). Rapek juga berfungsi sebagai lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus, sehingga para penghulu memiliki tiga jabatan sekaligus. Namun dengan melihat jabatan rangkap yang diduduki penghulu sistem pemerintahan nagari pra-Belanda tidak dapat disamakan dengan sistem pemerintahan totalitarian. Secara real wewenang untuk mengambil keputusan telah terbagi-bagi di antara para penghulu, tapi tak seorangpun di antara mereka dapat menggunakannya dalam bentuk kekuasaan yang melingkupi seluruh anak nagari tanpa persetujuan dari penghulu lain. Hal ini disebabkan masing-masing penghulu memiliki wilayah kepemimpinannya sendiri. Seorang penghulu payuang memimpin beberapa paruik, dan kepemimpinannya tidak dapat dicampuri oleh penghulu payuang yang lain. Kalau29

30

Keadaan yang sama berlangsung hingga akhir keberadaan nagari (lihat SK Gubernur Sumatera Barat No. 156/GSB/1974 Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 2 ayat 1). Akan tetapi istilah cadiak pandai yang semula digunakan untuk sumando (semenda) yang dapat diajak berunding sekarang digantikan oleh orangorang yang berpendidikan atau kaum intelektual. Sehingga status cadiak pandai yang dulunya hanya berlaku bagi seseorang di kampung istrinya, kini sudah melewati batas-batas tersebut. Arti dijalankan di sini lebih tepatnya adalah dimusyawarahkan, ditetapkan, (hasil musyarah) disebarluaskan, dan diawasi pelaksanaannya.

38

Adat Selingkar Desa

terjadi perselisihan dalam sebuah payuang, hak dari penghulu payuang lain hanya sebatas boleh mendengar, karena perselisihan itu dianggap masalah internal sebuah payuang belaka. Prinsip demikian terus berlanjut ke tingkat yang lebih rendah, yaitu paruik dan kaum. Pembagian wilayah kepemimpinan seperti ini menyebabkan setiap penghulu wajib menyuarakan kepentingan kemenakan atau sandi panungkek-nya sendiri dalam rapat-rapat penghulu sekalipun kepentingan itu tidak persis sama dengan kepentingan pribadinya. Dalam Rapek Nagari para penghulu payuang berperan layaknya pemimpin partai, pemimpin yang siap berdebat dengan penghulu lain bila substansi perundingan dianggap akan merugikan kepentingan kemenakannya. Secara otomatis dalam kondisi demikian setiap penghulu payuang adalah oposan bagi penghulu payuang yang lain. Rapek Nagari tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai lembaga negara tertinggi dan satu-satunya lembaga pemerintahan bagi sebuah nagari, tapi sekaligus menjadi lembaga yang mengakomodasikan berbagai kepentingan dan konflik yang timbul akibat perbedaan kepentingan dalam masyarakat. Sebagai lembaga tertinggi tentu saja tidak semua konflik yang terjadi harus dihadirkan dalam sidang para penghulu di tingkat nagari. Konflik yang terjadi di kalangan orang semande (level samande atau sekaum) menjadi tanggung jawab tungganai untuk menyelesaikannya. Bila konflik melibatkan unsur luar lingkungan semande, seperti antara orang separuik atau sepayuang, maka tanggung jawab penyelesaian dibebankan kepada penghulu di tingkatan39

Adat Selingkar Desa

itu (penghulu payuang atau penghulu suku) bersama pemimpin-pemimpin di lapisan bawahnya. Seseorang yang berstatus sebagai penghulu suku tidak dengan sendirinya dapat mencampuri urusan suatu kaum atau paruik meskipun kaum atau paruik itu berada di bawah kepemimpinannya, terkecuali bila perselisihan terjadi dalam kaumnya sendiri. Pada Rapek Nagari biasanya yang dibicarakan adalah masalah yang bersentuhan dengan kepentingan warga nagari secara umum, bukan masalah yang sesungguhnya dapat diselesaikan di tingkat paruik atau payuang. Pada tataran ideal, keputusan yang diambil dalam nagari menjalani proses sirkuler yang dimulai dari kemenakan. Perbedaan pandangan di tingkat kemenakan ditampung oleh penghulu dan dibawa ke Rapek Nagari. Rapek Nagari kemudian memutuskan solusinya. Seterusnya para penghulu bersama manti, malim, khatib dan dubalang menjalankan tugas sebagai pembawa (penyampai) keputusan kembali kepada kemenakan sekaligus sebagai pengawas pelaksanaan keputusan tersebut Penerimaan anak nagari terhadap Rapek Nagari yang sedemikian rupa, sehingga institusi tersebut sangat berwibawa, dilandasi oleh kerangka pemikiran bahwa: a.konflik tidak mungkin dielakan, b.konflik dapat mendinamisir masyarakat karena itu konflik, perlu dipelihara dan dikendalikan melalui perundingan c.akal lebih penting dalam upaya pemecahan masalah,

40

Adat Selingkar Desa

d.kata adalah instrumen menyelesaikan konflik 31.

penting

dalam

Rapek Nagari sekaligus melambangkan kekurangsukaan masyarakat Minangkabau kepada penyelesaian masalah dengan mengandalkan kekuatan fisik. Makna yang tersembunyi dalam mitos adu kerbau32 yang hingga kini masih populer dalam masyarakat Minangkabau tidak lain adalah bahwa pada dasarnya orang Minangkabau lebih menyukai pengalihan konflik dari medan terbuka (yang berarti perang atau kekerasan fisik) kepada medium lain yang sifatnya adu kecerdikan, adu kekuatan akal. Dalam alam pikiran orang Minangkabau tradisional terhadap sesama orang Minangkabau, eksistensi individu hanya dapat diakui sepanjang ia masih terkait dengan komunitasnya, terutama paruik dan suku. Dengan kata lain, orang Minangkabau mustilah punya suku, dan konsekuensinya ia musti punya penghulu, nagari, mamak, bako dan sebagainya.31

32

Pengakuan terhadap eksistensi konflik ini dalam masyarakat Minangkabau diekspresikan melalui pepatah dan mamangan adat seperti: basilang kayu dalam tungku mako api manyalo, api manyalo nasi masak (api baru bisa memasak nasi bila kayu diletakkan bersilang-silang dalam tungku. Maknanya, perbedaan pendapat akan menghasilkan energi yang berguna); bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakaik (kata sepakat akan tercapai bila di-gunakan perundingan); duduak surang basampik-sampik, duduak sorang balapang-lapang, kato surang dibulati, kato basamo dipaiyokan (artinya, berbagai masalah yang timbul akan mudah diselesaikan secara bersama-sama), dsb. Konon, menurut mitos itu bala tentara sebuah kerajaan dari Jawa ditaklukan orang Minangkabau setelah kerbau mereka yang besar dikalahkan oleh kerbau orang Minangkabau yang kecil bertanduk besi dalam sebuah arena pertandingan adu kerbau. Jadi, penaklukan berlangsung tanpa perang.

41

Adat Selingkar Desa

Orang Minangkabau yang terbuang sepanjang adat sebenarnya tidak lagi berhak menyandang identitas suku tertentu, karena tindakannya sudah sangat bertentangan dengan adat. Namun pengawasan terhadap tindakan orang ini setelah terusir dari nagari asalnya sangat sulit. Ia bisa pindah ke nagari lain dan mengaku mamak33 kepada penghulu sebuah suku di nagari tersebut Tapi, meskipun ia dapat memperoleh identitas suku baru, di dalam sukunya yang baru itu kedudukannya relatif marjinal karena tidak masuk ke dalam kategori kemenakan bertali darah34. Bagi laki-laki, pentingnya identitas suku ini lebih terasa lagi bila ia telah kawin dan telah boleh menjadi penghulu atau penyandang gelar pusaka (sako) dari suku tersebut Identitas individual dihapus dan diganti dengan identitas kelompok ketika ia sudah layak diterima sebagai anggota kelompok. Gelar yang diberikan kepada seorang penghulu baru bukan gelar yang sengaja dibuat pada saat ia dinobatkan, tapi gelar yang sudah disandang oleh penghulu-penghulu sebelumnya. Karena itulah gelar itu disebut sebagai gelar33

34

Mangaku mamak (istilah lain yang juga digunakan ialah malakok dan inggok mancangkam) berarti mengakui orang lain yang bukan dari sukunya sebagai mamak. Setelah mangaku mamak seseorang akan diterima sebagai kemenakan, tapi bukan kemenakan bertali darah (lihat catatan berikutnya). Proses ini dilakukan menurut adat di mana mamak berada dan berlaku bagi setiap pendatang baru di sebuah nagari, tak peduli apakah ia orang Minangkabau atau bukan. Ada beberapa jenis kemenakan di luar yang berhubungan darah dengan mamak, yaitu kemenakan batali ameh, kemenakan batungkek budi, dan kemenakan di bawah lutuik. Pembagian ini menunjukkan bahwa faktor keturunan (hubungan geneologis) tetap penting bagi seseorang untuk bisa menyandang gelar penghulu.

42

Adat Selingkar Desa

pusaka. Meskipun mungkin sudah beratus orang yang menyandangnya, gelar tersebut tidak pernah ditambahtambah dengan nomor, sehingga nama kecil penyandangnya sulit diidentifikasi. Dengan demikian identitas individualnya hilang lenyap35. Adat dan sistem kekerabatan tradisional Minangkabau juga tidak memberi kekuasaan pada laki-laki atas anaknya sendiri, yang menyebabkan ia jadi hamba bagi kemenakannya36. Laki-laki dapat kawin seorang atau beberapa orang perempuan tanpa harus menanggung beban ekonomi keluarga istrinya, sehingga dorongan memanfaatkan kedudukan pentingnya di tingkat teritorial (nagari, jorong) atau di jalur geneologis (suku, paruik, kaum, dsb.) untuk memperoleh kekayaan secara ilegal guna membiayai rumah tangganya dapat ditekan. Dengan kata lain, tidak ada alasan yang kuat baginya melakukan korupsi. Ia tidak memerlukan kekayaan yang berlimpah

35

36

Pada tahun 60-an masih berlaku ketentuan denda satu ekor kerbau bagi siapa saja yang berani memanggil penghulu dengan nama kecilnya. Tradisi denda itu kini praktis telah hilang. Tapi tradisi memberi gelar kepada lakilaki yang sedang melangsungkan pernikahan masih berlanjut. Gelar penghulu selalu dimulai dengan kata Datuk, tapi gelar ketika menikah umumnya dimulai dengan kata Sutan, Sidi, Malin, Katik, dan sebagainya. Dalam pepatah adat Minangkabau dikatakan: kemenakan manyambah lahie, mamak manyambah batin (kemenakan menyembah secara lahiriah kepada mamak, mamak menyembah kepada kemenakan secara batiniah). Lihat Hamka,1984: 23. Versi lain yang dijumpai dalam masyarakat ialah kemenakan barajo ka mamak, mamak basutan ka kemenakan (kemenakan menganggap mamak sebagai raja, mamak menganggap kemenakan sebagai sultan).

43

Adat Selingkar Desa

untuk bisa punya istri lebih dari satu atau berganti-ganti istri37. Kebebasan ini diberikan sebagai kompensasi berbagai pengekangan yang dialaminya. Ia memang memperoleh ganjaran sosial (social reward) bila dapat menambah kekayaan keluarga asalnya (kaumnya), karena penguasaan harta benda (terutama tanah dan emas) menjadi salah satu ukuran martabat bagi setiap kaum di Minangkabau. Tapi peluang mengkorup kekayaan keluarga istrinya untuk memperkaya kaumnya sangat terbatas pula lantaran seluruh kerabat istrinya bertanggung jawab mempertahankan kekayaan tersebut. Meskipun ruang gerak penghulu cenderung serba tidak bebas, dalam adat Minangkabau tidak dikenal mekanisme pemecatan penghulu oleh kemenakan bila penghulu tidak lagi menjalankan fungsinya dengan baik (mungkin karena sakit atau tidak bisa mengikuti aturan kepenghuluan). Secara umum boleh dikatakan bahwa jabatan penghulu adalah jabatan seumur hidup. Namun bukan berarti masa kepenghuluan seseorang tidak bisa berakhir sebelum ia meninggal. Caranya bukan dengan memecat, tapi dengan mengharapkan kesediaan penghulu mengarifi keadaannya sendiri, kemudian menunjuk penggantinya, atau mengatur munculnya penghulu baru. Oleh karena lembaga adat tidak menawarkan keistimewaan berlebih-lebihan kepada seorang penghulu, kecenderungan terjadinya post-power37

Fenomena penghulu beristri banyak ini sangat lazim pada masa silam. Seorang penghulu kadang disebut sebagai orang jemputan karena banyak yang menginginkannya sebagai menantu.

44

Adat Selingkar Desa

syndrom yang menyebabkan penghulu cenderung mempertahankan status quo juga bisa dihindarkan38.

Dari Kepemimpinan Institusional ke Kepemimpinan Individual Jejak pemerintahan nagari tempo doeloe yang masih bisa dilihat hingga kedatangan Belanda adalah sifatnya yang otonom atau berhak mengurus kepentingannya sendiri. Ketika Belanda datang, nagari bukan vassal dari sebuah kerajaan hegemonik tertentu. Apa yang disebut sebagai Kerajaan Minangkabau dengan ibukotanya Pagaruyung sangat diyakini pernah menjadi kerajaan kuat, tapi di balik kaca mata ilmiah ia mungkin tidak lebih dari sekedar fakta imajiner yang menjadi simbol pemersatu dari ratusan nagari yang ada, dan yang secara praktis tak memiliki kekuasaan atas nagari-nagari.

38

Memang dalam adat Minangkabau tidak ada mekanisme pemecatan penghulu. Tapi bila seorang penghulu tidak bisa lagi menjalankan fungsinya oleh karena berbagai sebab (dikiaskan sebagai bukik lah tinggi, lurah lah dalam, bukit telah tinggi, lurah telah dalam), ia boleh mengusulkan kepada kaumnya untuk mengangkat penghulu baru dengan gelar yang sama. Bila disetujui kaum itu akan mengangkat penghulu baru tanpa mencabut gelar yang telah diberikan pada penghulu sebelumnya. Untuk membedakan antara penghulu baru dengan yang lama biasanya yang tua diberi tambahan sebutan nan tuo di belakang gelarnya.

45

Adat Selingkar Desa

Bagi nagari fungsi nyata dari penguasa di Kerajaan Minangkabau adalah untuk menengahi pertikaian antar nagari (Rusli Amran, 1981: 54). Tapi sumber Belanda, seperti dikemukakan Gusti Asnan, menjelaskan ikatan yang unik antara daerah rantau dengan penguasa di Kerajaan Minangkabau (Gusti Asnan, 1996) Pembesar Basa Ampek Balai (Datuak Bandaro, Tuan Kadi, Makhudum dan Datuak Indomo) punya daerah rantau masing-masing dan setiap mereka memperoleh mas manah atau upeti dari rantau tersebut39 Secara agak spekulatif dapat dikatakan boleh jadi nagari pernah menyandang status vassal seperti halnya daerahdaerah rantau, hanya saja umurnya relatif pendek, tidak lebih sepanjang masa kekuasaan Adityawarman (lebih kurang 26 tahun)40. Dugaan Imran Manan (1995: 40) bahwa otonomi nagari kembali menguat setelah Adityawarman meninggal, bisa saja mendekati sebuah kenyataan. Setelah revitalisasi nagari terjadi, segala atribut politik yang berhubungan dengan kekuasaan Adityawarman segera kehilangan popularitasnya.

39

40

Rantau milik Datuak Bandaro adalah bagian selatan Padang atau Bandar X, untuk Tuan Kadi daerah sekitar Sawahlunto Sijunjung, Datuak Makhudum di sebelah timur Luhak Nan Tigo dan Semenanjung Malaysia, dan Datuak Indomo di utara Padang. Lihat Gusti Asnan, ibid. Masalah ini juga diuraikan oleh Rusli Amran, loc cit, hal 52, namun penerimaan pembesar Basa Ampek Balai tadi disebut sebagai sumbangan ala-kadarnya, istilah yang lebih lunak pengertiannya dibandingkan upeti. Adytiawarman adalah seorang pangeran dari Dharmasraya yang dididik di Jawa. Ia kemudian kembali ke Sumatera dan mendirikan kerajaannya sendiri di Minangkabau. Bukti bahwa ia pernah berkuasa didaerah ini terbaca dari inskripsi Padang Candi (1347), Bukit Gombak (1347 dan 1356), dan Saruaso (1375). Lihat Jong, PE, op cit., hal 8.

46

Adat Selingkar Desa

a. Majapahitisasi yang Gagal Barangkali di abad ke-14 Kerajaan Minangkabau memang pernah berusaha menaklukkan nagari-nagari dan menempatkannya di bawah suatu sistem pemerintahan monarki, karena rajanya, Adityawarman yang dibesarkan dalam lingkungan keraton Majapahit memiliki karakter sebagai penguasa penakluk. Semasa masih jadi pejabat penting di Majapahit ia adalah tokoh utama di samping Gajah Mada yang melancarkan beberapa agresi militer ke kerajaan lain. Akan tetapi, bagaimana persisnya langkah-langkah politik yang diambil Adityawarman dalam menundukkan nagari-nagari di Minangkabau, tenggelam dalam misteri sejarah. Peninggalan Adityawarman yang berupa prasasti dan sedikit arca sudah banyak digunakan sebagai sumber spekulasi kebesarannya, tapi sebenarnya peninggalanpeninggalan itu bukanlah bukti kebesaran yang utuh dan bisa dipercaya sepenuhnya. Satu hal yang menarik, Adityawarman tidak akan pernah dikenal dalam masyarakat Minangkabau kalau arkeolog dan sejarawan tidak menemukan prasastiprasasti dan patung peninggalannya. Ia tidak muncul dalam kaba, gurindam, pantun, dan tambo. Beberapa penulis berspekulasi, mungkin ia sengaja dilupakan oleh orang Minangkabau turun temurun karena dianggap kafir, tidak beragama Islam (Mansyur, 1970: 59). Namun pendapat ini sulit diterima karena tidak melihat pemahaman masyarakat terhadap agama secara

47

Adat Selingkar Desa

kontekstual. Apakah memang alasan agama yang membuat Adityawarman tidak populer bagi masyarakat Minangkabau? Bagaimana kita bisa mengerti bahwa pada masa itu Islam sudah begitu kuat dalam masyarakat, sehingga seorang raja yang tidak beragama Islam begitu dibenci? Jika Adityawarman sempat berkuasa selama 26 tahun, bahkan kemudian bisa mewariskan tahtanya di bawah kebencian masyarakat, setidaknya ada dua tafsiran yang bisa dikemukakan. Pertama, ia telah memerintah dengan tangan besi, dan bersandar pada kekuatan militer, tak peduli apakah masyarakat tidak suka kepadanya. Ia bisa mengontrol semua nagari dengan melancarkan tekanan politik dan militer secara konsisten. Untuk itu, sepanjang kekuasaannya berlangsung, ia memerlukan banyak tentara agar bisa meredam keinginan masyarakat melakukan pemberontakan. Namun tafsiran ini dengan mudah bisa dilumpuhkan karena tak satupun bukti sejarah maupun simbol-simbol yang bisa membenarkannya. Dalam sistem simbol Minangkabau satu-satunya simbol yang identik pengertiannya dengan militer adalah dubalang, sebuah simbol yang sangat lengket dengan simbol nagari. Dubalang adalah sebutan bagi orang yang bertugas mengamankan nagari dari perbuatan sumbang dan salah, percabulan, pencurian, dan pelanggaran garis 41 . Kesetiaan maupun orientasi tugas dubalang adalah41

Lihat Idrus Hakimi Dt. Rajo Panghulu, 1984: 172. Kata garis yang digunakan di sini dapat bermakna teritorial, berhubungan dengan batas-batas nagari. Jadi salah satu tugas dubalang adalah mengamankan nagari dari ancaman pelanggar batas atau intervensi pihak luar. Garis mungkin juga bermakna aturan, norma, atau undang-undang. Dengan demikian dubalang berfungsi

48

Adat Selingkar Desa

pada keselamatan nagari dan kewibawaan pemimpin nagari, bukan kepada pihak luar. Dapat saja ditimbulkan spekulasi bahwa dubalang adalah warisan Adityawarman, tapi tidak mudah menemukan alasan logis untuk spekulasi seperti itu. Sebab, tanpa Aditywarmanpun kebutuhan nagari akan fungsi dubalang tetap ada. Bila dubalang memang warisan Adityawarman yang dibenci itu, tentu nasibnya juga tidak akan jauh berbeda dengan tuannya: keberadaannya akan segera dihapus begitu tuannya tidak ada lagi. Namun buktinya hingga berabad-abad kemudian dubalang tetap eksis dalam pemerintahan nagari. Meskipun demikian, penulis tidak mengenyampingkan begitu saja spekulasi adanya penggunaan simbol yang sama untuk makna yang sangat berbeda. Dalam perjalanan sejarah simbol lazim terjadi penjungkirbalikan makna terhadap sebuah simbol, sementara simbolnya dipertahankan. Makna simbol cadiak pandai (cerdik pandai), misalnya, sekarang ini cenderung mengacu pada status orang-orang yang berpendidikan, orang yang pernah menduduki pendidikan formal. Padahal ketika sistem pendidikan formal belum memasyarakat simbol ini juga sudah dikenal, dan maknanya tidak bersangkut-paut dengan status pendidikan seseorang. Beberapa sumber lisan mengungkapkan, mulanya yang dianggap cerdik pandai adalah urang sumando (semenda), individu yang secara geneologis tidak berhubungan dengan warga sebuah payuang, tapi karena kawin dengansebagai kekuatan pemaksa agar setiap anak nagari tetap mematuhi aturanaturan yang diberlakukan dalam nagari tersebut

49

Adat Selingkar Desa

perempuan dari payuang itu dan telah dianggap sebagai bagian dari keluarga istrinya, ia memperoleh kesempatan menyumbangkan keahlian dan pemikiran yang bermanfaat bagi kaum, suku dan nagari istrinya. Di tingkat kekerabatan (hubungan geneologis), ia disebut sebagai urang sumando saja, tapi di tingkat nagari, ia menerima julukan sebagai cadiak pandai42 . Dengan demikian, status cerdik pandai hanya berlaku dalam lingkungan kehidupan istrinya, tidak di lingkungan lain di mana ia tidak pernah punya istri. Oleh karena telah terjadi penjungkirbalikan makna, sekarang dikenal cerdik pandai yang wilayah pengakuannya seluas Sumatra Barat. Sementara urang sumando niniak mamak kehilangan sebutan sebagai cerdik pandai dan segera menjadi kelompok baru dalam masyarakat. Proses yang sama mungkin juga terjadi dalam simbol dubalang. Pendeknya, dubalang zaman Adityawarman tidak sama dengan dubalang sesudah ia berkuasa. Bila spekulasi ini diterima, maka tetap saja akhirnya kita berkesimpulan bahwa kehidupan militer yang dikembangkan Adityawarman (kalau memang ada) tidak ada jejaknya di Minangkabau.42

Adat Minangkabau mengenal empat macam sumando: 1. urang sumando niniek mamak, yang dapat dibanggakan keluarga istrinya karena kepemimpinan, kecerdasan, kekayaan dan budi pekerti; 2. urang sumando lapiak buruak, yang suka menguras kekayaan keluarga istrinya; 3. urang sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai pejantan dan tidak punya apa-apa untuk dibanggakan keluarga istrinya; 4. urang sumando kacang miang, yang suka membuat onar baik di lingkungan keluarga istrinya maupun di dalam nagari. Yang bisa disebut cerdik pandai hanyalah urang sumando niniek mamak. Sebutan ini sangat formal, diucapkan hanya dalam pertemuan formal, Dalam kehidupan sehari-hari hanya disebut urang sumando atau sumando, tanpa klarifikasi mengenai golongannya.

50

Adat Selingkar Desa

Kedua, Adityawarman mungkin mengalami isolasi sepanjang hidupnya dari masyarakat Minangkabau dan secara real hanya memerintah di sekitar Pagarruyung, di tempat mana peninggalan-peninggalannya banyak ditemukan. Orang Minangkabau tidak mengusiknya karena ia bukan ancaman secara politis maupun ideologis. Tapi tafsiran ini juga bermasalah kalau memang benar kerajaan Minangkabau (yang menurut buku-buku sejarah ia dirikan) dianggap sebagai simbol pemersatu bagi berbagai nagari di Minangkabau. Dalam keadaan terisolasi, kekuatan dan legitimasi politik apa yang membuatnya bisa menjadi simbol pemersatu? Apakah posisinya sebagai orang yang sangat dekat dengan penguasa Majapahit --- yang menimbulkan kengerian tertentu di hari masyarakat karena Majapahit adalah sebuah kerajaan besar -- bisa menjadi sumber legitimasi? Dalam logika kekuasaan yang berkembang semasa Orde Baru, adanya legitimasi akibat dukungan kekuasaan pusat memang tidak aneh. Siapa saja yang dekat dengan lingkaran kekuasaan pusat pasti diperlakukan secara istimewa di daerah, kendatipun sebenarnya masyarakat daerah tidak menyukai. Persoalannya, apakah logika demikian telah berkembang pada masa Adityawarman hidup? Patung Adityawarman yang ditemukan di Padang Roco mungkin termasuk patung terbesar yang pernah dibuat oleh raja-raja Hindu di Nusantara. Tentu saja berlebihlebihan jika ukuran patung dikorelasikan dengan besarnya kekuasaan seorang raja. Namun patung itu mengisyaratkan adanya sebuah ide tentang kekuasaan

51

Adat Selingkar Desa

individual, sekalipun realitasnya tidak musti sesuai dengan idenya. Setidaknya, di sana terbaca bahwa Adityawarman menganggap dirinya besar, figur sentral dalam sebuah negara, bahkan Bhairawa, dewa dalam sekte Hindu Tantrayana. Ia juga mengidentifikasikan dirinya seperti raja-raja Hindu Jawa yang gemar membangun simbol kekuasaannya melalui arca diri sendiri dan tulisan-tulisan di atas bahan yang diperkirakan akan bertahan lama seperti batu. Identifikasi diri demikian dapat berlanjut pada sejumlah tindakan politik, lepas dari berhasil atau tidaknya tindakan itu. Tampaknya Adityawarman berkeinginan mengimpor konsep pemerintahan monarki Majapahit yang sangat ia pahami ke Minangkabau. Namun kenyataannya nagari tetap bertahan untuk tidak menerima imbas model pemerintahan yang terpusat pada kekuasaan individual itu. Bukti yang paling bisa dipahami muncul dari tidak populernya pengabadian nama di atas batu di kalangan tokoh-tokoh masyarakat Minangkabau yang lahir kemudian43. Masalahnya tidak terletak pada rasa suka atau tidak suka menulis, tapi pengabadian itu tidak memiliki makna apa-apa dalam budaya politik Minangkabau yang tidak memusat pada individu, sehingga sia-sia saja dilakukan.

43

Saya menolak anggapan bahwa keengganan ini disebabkan oleh pengaruh Islam. Sultan Malik Al-Saleh yang memerintah di Aceh cicitnya Putri Pasai meninggalkan mejan yang sangat indah dimakamnya. Padahal Malik AlSaleh memerintah hampir satu abad lebih dulu daripada Adityawaman (meninggal tahun 1297). Penulisan nama di atas batu tampaknya lebih dekat pada tradisi politik daripada tradisi keagamaan.

52

Adat Selingkar Desa

Bertahannya sistem nagari yang unik itu bisa menjadi pertanda kegagalan Adityawarman melakukan majapahitisasi di Minangkabau. Sejalan dengan tafsiran kedua di atas, ia mungkin tidak memiliki perangkat politik dan militer untuk benar-benar mengendalikan nagari. Di sisi lain, resistensi nagari terhadap majapahitisasi yang dilakukannya dengan kekuatan militer -- bila tafsiran pertama benar -- menyiratkan adanya suatu mekanisme pertahanan diri (self defence) dari struktur pemerintahan nagari yang terus bertahan, bahkan sampai periode penjahan Belanda dan Jepang. Mekanisme yang menjadi akar keunikan sistem nagari itulah yang tidak pernah tuntas dibahas dalam banyak penelitian tentang nagarinagari di Minangkabau. Namun kita perlu menghindari adanya jebakan interpretasi yang datang dari kekeliruan asumsi dasar. Teka-teki kehidupan Adityawarman tetap sulit dijawab sepanjang kita masih memegang asumsi bahwa ia adalah pendiri kerajaan Minangkabau. Akan tetapi persoalannya segera jadi lain seandainya asumsi itu ditolak, dan keberadaan Adityawarman hanya dianggap sebagai penyimpangan sejarah yang terjadi secara terpaksa. Artinya, kerajaan Minangkabau yang kharismatis itu sudah berdiri sebelum Adityawarman datang, dan tetap lengket di hati masyarakat setelah ia mangkat. Adityawarman hanya sekedar mengisi perjalanan sejarah dari sebuah simbol pemersatu (kerajaan Minangkabau itu), dan secara real ia tidak memainkan peran apa-apa di dalamnya, sehingga begitu mudah dilupakan.53

Adat Selingkar Desa

b. Berakhirnya Era Kepemimpinan Institusional Sejalan dengan isi Plakat Panjang (1833) Belanda membuat lapisan baru di atas nagari (lembaga supra nagari), yaitu laras (lareh) yang dipimpin oleh kepala lareh atau tuanku lareh. Lareh merupakan gabungan dua atau lebih nagari44. Sementara itu di tingkat nagari Belanda mengangkat pemimpin nagari baru dengan sebutan kepala nagari. Tampaknya dengan sistem pemerintahan nagari yang tidak terpusat kepada individu itu Belanda tidak melihat jalan yang mudah untuk berkomunikasi dan mempengaruhi institusi kepemimpinan nagari guna kepentingan mereka. Belanda lalu mengangkat penghulu dengan besluit (Surat Keputusan) karena ingin mengendalikan nagari melalui individu. Orang Minang menyebut penghulu buatan Belanda itu Angku Basurek atau Pangulu Basurek. Surat Keputusan itu menunjukkan terjadinya penguatan identitas individual dalam pemerintahan nagari, dan memperlemah kekuatan kepemimpinan institusional. Fenomena itu ini akhirnya diterima dan tidak mengalami banyak perubahan setelah masa kolonial. Implikasi dari hancurnya kepemimpinan institusional dan menguatnya kepemimpinan individual adalah44

Rusli Amran, op cit, hal 193. Istilah lareh sendiri dalam kosakata Minangkabau digunakan untuk menunjukkan jenis adat, yakni Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago. Kedua lareh ini tidak dipimpin oleh individu atau lembaga tertentu.

54

Adat Selingkar Desa

munculnya iklim pemerintahan nagari yang sama sekali lain dari sebelumnya. Dalam kepemimpinan individual aspirasi individu cenderung mendominasi prilaku organisasi. Yang terjadi bukan lagi individu sebagai alat organisasi (nagari), tapi cenderung organisasi yang menjadi alat individu pimpinan untuk mencapai kehendak-kehendak pribadinya. Kehancuran institusi berarti juga lumpuhnya segala elemen sistem yang selama ini bertugas mengontrol dan mengendalikan prilaku individu. Ketika individu terlalu kuat, segala upaya akan dilakukan agar sistem kontrol tidak dapat berfungsi kembali. Sehingga tidak terlalu berlebihan bila korupsi dan penyalahgunaan wewenang muncul sebagai salah satu akibat yang bisa dirasakan dari menguatnya identitas individual tersebut Kedua, accoutability penghulu kini ditentukan oleh power, kedekatan dengan pemerintah kolonial, bukan karena kualitas kepemimpinan atau kepercayaan yang diberikan oleh kemenakan. Sejak Plakat Panjang, komitmen penghulu terbelah menjadi ke atas dan ke bawah: ke atas kepada pemerintah kolonial, ke bawah kepada kemenakan atau anak nagari. Dari surat-surat yang dilayangkan penghulu kepada pemerintah Belanda dapat dipahami, sebagian penghulu bahkan menempatkan dirinya tidak lebih dari hamba sahaya belaka dari pemerintah kolonial 45.45

Mengenai surat-surat ini, harap periksa beberapa arsip surat petinggi Minangkabau kepada aparat kolonial yang tersimpan di perpustakaan Yayasan Genta Budaya. Perhatikan penggunaan kata-kata sembahnya.

55

Adat Selingkar Desa

c. Nagari dan Penghulu Sejak Tahun 1980-an Sejalan dengan diterapkannya Perda No. 13 Th. 1983 berakhirlah riwayat nagari sebagai sebuah kesatuan administratif dan unit pemerintahan terendah di Sumatera Barat. Sebanyak 543 nagari dipecah menjadi 3000-an desa yang secara administratif langsung berada di bawah pemerintah kecamatan. Eksistensi nagari tetap diakui, tapi hanya sebagai sebuah kesatuan masyarakat adat yang berfungsi sebagai penyangga dan pemelihara tradisi serta nilai-nilai budaya Minangkabau. Sebagai kompensasi dari hilangnya fungsi administratif nagari, pemerintah membentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang bertugas memelihara kekayaan nagari seperti hutan, tanah, batang air, pasar, dan sebagainya46. Pemecahan nagari ini sejak mula sudah mengandung kontroversi karena menyangkut banyak aspek kehidupan masyarakat Minangkabau, seperti tanah ulayat, sistem pemerintahan, kekuatan desa untuk mandiri, sentimen kenagarian, pelestarian adat, dan sebagainya. Sentimen kenagarian sebenarnya sudah dalam keadaan menurun ketika terjadi pemecahan nagari. Proses integrasi masyarakat nagari ke masyarakat nasional sedang berlangsung, ditandai dengan makin memasyarakatnya institusi nasional seperti sekolah negeri yang sekuler, media massa, pengadilan negri, dsb. Penerapan Perda 13/83 tanpa terduga sebelumnya46

Pasal 14 ayat 1 Perda Sumatera Barat No. 13 Th. 1983.

56

Adat Selingkar Desa

menyebabkan terjadinya penguatan romantisme kehidupan bernagari yang dipelopori oleh tokoh-tokoh adat yang melihat makin suramnya peran mereka di masa depan. Tapi sentimen kenagarian ini tidak pula bangkit secara merata. Sebagian desa yang mulanya daerah periferi dari sebuah nagari justru merasa diuntungkan oleh pemecahan nagari tersebut(E. Chatra, 1996). Kalau nagari tidak lagi eksis seperti semula, istilah adat salingka (selingkar) nagari semakin sulit dipertahankan. Konsekuensi hilangnya nagari sebagai wilayah administratif adalah hilangnya landasan yuridis dari semua aturan-aturan yang pernah dibuat nagari. Aturan itu hanya bermakna secara moral, dan nagari tidak lagi memiliki kekuatan memaksa ke segenap anak nagari. Peraturan pemerintah tersebut sebenarnya tidak bermaksud mengusik kedudukan penghulu di tingkat geneologis (kaum). Akan tetapi karena peraturan itu membuka pintu yang cukup lebar bagi intervensi tata cara kehidupan bermasyarakat yang tidak berlandaskan kepada prinsip adat Minangkabau, guncangan yang dihadapi kaum penghulu semakin keras. Penghulu semakin repot memastikan kedudukan mereka di antara anggota kaumnya sendiri. Namun ternyata sistem pemerintahan desa tidak langsung memberikan jawaban terhadap masalah yang dihadapi warga karena kurangnya kemampuan sistem itu mengakumulasikan kekuatan untuk mengembangkan diri sendiri. Cukup banyak desa yang tidak memiliki resources, terutama sumber daya manusia, seperti dialami

57

Adat Selingkar Desa

kebanyakan desa yang mulanya merupakan daerah atau jorong periferi dalam wilayah nagari. Di samping itu, partisipasi warga desa ternyata tidak menggembirakan karena status kepemimpinan desa dirasakan asing dalam waktu yang relatif panjang. Menanggapi masalah ini, pemerintah kemudian mengevaluasi keberadaan desa yang berakhir dengan kebijakan regrouping (penggabungan) beberapa desa, sehingga tahun 1993 jumlah desa menyusut menjadi 929. Sebanyak 1.395 desa hilang dari peta Sumatra Barat47 . Kebanyakan pemimpin desa terbukti tidak mampu merangsang minat warganya berpartisipasi dalam konteks desa karena sentimen kenagarian masih dapat menggeliat dan digeliatkan. Tapi tidak berarti secara serta merta tokoh-tokoh adat memperoleh kembali kewibawaan mereka yang sejak sebelum pemecahan nagari telah terus menerus mengalami kemerosotan. Masyarakat masih terobsesi oleh kehadiran pemimpin panutan, sementara tokoh-tokoh adat t