HUBUNGAN BODY SHAMING DENGAN INTERAKSI SOSIAL TEMAN SEBAYA DI SMKN 7 TANGERANG SELATAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Disusun Oleh: Ridha Putriana Sari NIM. 11140541000020 PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2020
Text of HUBUNGAN BODY SHAMING DENGAN INTERAKSI SOSIAL …
Skripsi
Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Teman Sebaya di SMKN 7 Tangerang Selatan, 2020
Di zaman sekarang ini masyarakat begitu mudahnya menilai orang
lain
salah satunya dengan melakukan body shaming. Body shaming
adalah
tindakan mengkritik, mengomentari, menghina fisik diri sendiri
maupun
orang lain. Body shaming termasuk ke dalam kategori perundungan
secara
verbal, yang bisa terjadi pada siapa saja terutama kaum remaja yang
paling
rentan mengalaminya, karena remaja selalu ingin mengikuti tren
sehingga
remaja sangat memperhatikan penampilannya. Namun sayangnya,
masyarakat masih menganggap bahwa body shaming merupakan hal
yang
sepele, sehingga perlakuan body shaming sudah menjadi suatu
kebiasaan
meskipun dalam konteks candaan. Padahal terdapat dampak buruk yang
akan
ditimbulkan bagi korbannya seperti ketidakpercayaan diri
(Sripurwaningsih,
2017), gangguan makan (Chairani, 2018), depresi dan menutup diri
dari
lingkungannya (Alexandara, 2018).
dengan jenis penelitian studi korelasional dan dilaksanakan di SMKN
7
Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat
hubungan
yang signifikan antara body shaming dengan interaksi sosial teman
sebaya di
SMKN 7 Tangerang Selatan. Tingkat body shaming siswa di SMKN
7
Tangerang Selatan berada dalam kategori sedang dengan presentase
60% dan
interaksi sosial teman sebaya berada dalam kategori sedang
dengan
presentase 64,32%. Hasil korelasi menunjukkan arah hubungan
negatif
antara body shaming dengan interaksi sosial teman sebaya
berdasarkan data
yang diperoleh nilai sebesar 0,865 dengan nilai Sig. sebesar
0,000
dan nilai sebesar 1,765. Artinya i (0,865) > i (1,765) dan
nilai probabilitas Sig (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak dan Ha
diterima. Artinya
semakin tinggi perlakuan body shaming yang diterima maka semakin
rendah
interaksi sosial.
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dalam memberikan
banyak
kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi
dengan baik. Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan
kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang senantiasa
berjalan
di jalan Allah hingga akhir zaman dan membawa rahmat bagi semesta
alam.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa selesainya
skripsi
ini tidak terlepas dari dukungan serta bimbingan dari berbagai
pihak, baik
bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Suparto, M.Ed., Ph.D sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ibu Dr. Siti
Napsiyah
Ariefuzzaman, MSW sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik. Bapak
Dr. Sihabuddin Noor, M.A sebagai Wakil Dekan Bidang
Administrasi Umum. Bapak Drs. Cecep Sastrawijaya, MA sebagai
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
Nunung Khoiriyah, MA sebagai Sekretaris Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terimakasih
atas kesediaan waktunya dalam membantu dan menerima penulis
untuk mengurus segala persyaratan dalam proses penyusunan
skripsi
dari awal hingga akhir. Semoga bapak dan ibu dapat terus
memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan program
studi.
iv
Skripsi yang meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
nasihat, serta motivasi kepada Penulis selama proses
pengerjaan
skripsi ini. Terima kasih karena ibu sudah sangat sabar dalam
membimbing dan membantu.
memberikan ilmu, bimbingan serta arahannya selama proses
perkuliahan saya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta
dalam
proses penyusunan skripsi ini. Semoga bapak dan ibu selalu
diberikan
rahmat oleh Allah.
Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terimakasih
telah
membantu penulis dalam memberikan referensi buku, jurnal,
maupun
skripsi.
7. Kedua orang tua yang Penulis hormati dan Penulis cintai, tanpa
doa
dan dukungan mereka Penulis tidak bisa sampai di titik ini.
Yang
tidak pernah bosan memberikan semangat dan menjadi grada
terdepan untuk mendukung baik secara moril maupun materi
kepada
Penulis. Tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan rasa
terima
kasih Penulis kepada mereka, tidak sanggup rasanya membalas
segala
kebaikan dan cinta tanpa syarat yang mereka berikan kepada
Penulis.
Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan keberkahan
umur sehingga Penulis memiliki kesempatan untuk berbakti dan
membahagiakan mereka.
8. Kepada teman-teman, Ika Dwi Sayekti, Masliyah Anggi Purba,
Sonia
Putri Partama, dan Inge Cyntiasari. Terima kasih sudah
menjadi
v
tempat berbagi keluh kesah, duka, dan canda tawa. Terimaksih
atas
dukungan yang telah kalian berikan.
9. Kepada teman-teman Kesejahteraan Sosial UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta 2014, atas dukungan dan memori zaman kuliah yang
tidak
akan penulis lupakan.
terima kasih atas informasi dan partisipasinya dalam
pengumpulan
data untuk penelitian skripsi ini.
11. Kepada semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per
satu
atas bantuan dan dukungan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan
penelitian skripsi ini dengan baik.
vi
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
........................................................... 8
1. Pembatasan Masalah
..................................................................................
8
2. Perumusan Masalah
...................................................................................
8
C. Tujuan Penelitian
..........................................................................................
8
D. Manfaat Penelitian
........................................................................................
9
E. Tinjauan Pustaka
...........................................................................................
9
A. Body Shaming
.............................................................................................
14
B. Interaksi Sosial
............................................................................................
21
vii
C. Teman Sebaya
.............................................................................................
29
2. Aspek-aspek Interaksi Teman Sebaya
..................................................... 30
3. Fungsi Teman sebaya
...............................................................................
30
4. Penerimaan dan Penolakan Teman Sebaya
.............................................. 31
5. Pentingnya Teman Sebaya bagi Perkembangan Remaja
......................... 33
D. Kerangka
Pemikiran....................................................................................
35
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
.............................................................
38
B. Ruang Lingkup Penelitian
...........................................................................
39
1. Subjek dan Objek Peneletian
...................................................................
39
2. Tempat dan Waktu Penelitian
..................................................................
39
3. Populasi dan Sampel
................................................................................
39
C. Metode Pengumpulan Data
.........................................................................
40
D. Variabel Penelitian
......................................................................................
41
F. Instrumen Penelitian
...................................................................................
43
3. Uji Hipotesis
............................................................................................
54
A. Deskripsi Data Penelitian
............................................................................
39
1. Body Shaming
..........................................................................................
39
B. Analisis Data
...............................................................................................
59
Tabel 3.3 Blue Print Skala Body Shaming (Variabel X)
....................................... 49
Tabel 3.4 Blue Print Skala Interaksi Sosial (Variabel Y)
...................................... 50
Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Body Shaming
......................................................... 52
Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Interaksi Sosial Teman Sebaya
............................... 53
Tabel 3.7 Hasil Uji Reliabilitas Body Shaming
..................................................... 55
Tabel 3.8 Hasil Uji Reliabilitas Interaksi Sosial Teman Sebaya
........................... 56
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Body Shaming SMKN 7
Tangerang Selatan
.................................................................................
61
SMKN 7 Tangerang
Selatan..................................................................
64
Tabel 4.4 Gambaran Umum Subjek Berdasararkan Jenis Kelamin
....................... 67
Tabel 4.5 Deskripsi Data Uji Normalitas
...............................................................
68
Tabel 4.6 Deskripsi Data Uji Reliabilitas
Anova................................................... 69
Tabel 4.7 Hasil Uji Korelasi
..................................................................................
70
x
Lampiran 2. Surat Tugas Bimbingan oleh Dosen Pembimbing
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian Skripsi
Lampiran 4. Surat Permohonan Judgment Instrument
Lampiran 5. Surat Keterangan Validasi Instrument Penelitian
Lampiran 6. Kuesioner Penelitian
Lampiran 9. Hasil Uji Normalitas
Lampiran 10. Hasil Uji Reliabilitas
Lampiran 11. Hasil Uji Korelasi
Lampiran 12. Dokumentasi
semua kemampuan lainnya. Kondisi tubuh adalah salah satu bagian
yang
mudah dilihat dari diri seseorang. Tubuh menjadi bagian yang
pertama
dilihat dan sangat mudah dinilai oleh diri sendiri maupun orang
lain. Adanya
fenomena mengenai standar tubuh yang ideal yaitu pria tampan
memiliki
tubuh yang tegap dan berbadan tinggi, atau wanita yang cantik
memiliki
tubuh yang langsing dan berkulit putih. Karena munculnya standar
tubuh
ideal tersebut, terkadang orang lain menuntut dirinya atau
seseorang untuk
merubah penampilannya sesuai dengan standar ideal yang
diinginkan
masyarakat.
pada media mengenai gaya hidup, kecantikan, dan perawatan tubuh
mampu
mengubah pandangan masyarakat terkait tubuh yang ideal sesuai
dengan
konten iklan tersebut. Media memiliki peran yang besar dalam
mengubah
persepsi masyarakat, dari berbagai tayangan iklan baik di telivisi
maupun
media sosial, seolah menyampaikan pesan bahwa memiliki tubuh
gemuk
atau tubuh pendek adalah hal yang memalukan. Ketika individu yang
merasa
tubuhnya tidak ideal dan dengan mudah menerima penilaian yang
disampaikan oleh iklan atau media tersebut, hal ini akan
menimbulkan
ketidakpuasan individu terhadap bagian tubuhnya (Knauss, Paxton
&
Alsaker, 2008). Disamping itu dengan banyaknya iklan yang sedang
gencar-
gencarnya menampilkan tubuh yang ideal, dunia memang sudah
mempunyai
2
penilaian terkait adanya bentuk tubuh yang dianggap ideal dan tidak
ideal.
Akibatnya ketika individu tidak sesuai dengan standar tubuh ideal
yang
ditetapkan oleh masyarakat akan timbulah penilaian dari orang lain
dengan
cara mengkritik, mengomentari, bahkan menghina fisik yang disebut
dengan
body shaming.
menghina fisik, penampilan, atau citra diri seseorang yang
dilakukan oleh
orang lain ataupun diri sendiri yang akan menimbulkan perasaan
malu
(Chaplin, 2005). Body shaming terjadi dalam tiga cara yang utama,
yaitu
mengkritik diri sendiri, mengkritik orang lain, dan mengkritik
orang lain
dibelakang mereka. Body shaming merupakan ketidakmampuan
untuk
memenuhi standar-standar yang kemudian menghasilkan perasaan
negatif
tentang tubuh seseorang dan melemahkan persepsi seseorang tentang
dirinya
sendiri. Beberapa kasus body shaming yang dialami individu menjadi
bahan
ejekan orang lain seperti terlalu pendek, terlalu kurus, gendut,
berjerawat,
berkulit hitam, dan kalimat lain yang ditujukan untuk mengkritik
fisik.
Dalam Islam menghina adalah hal yang dilarang. Ini dibuktikan
dengan
ayat Al-Quran pada surat Al-Hujurat ayat 11 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-ngolok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu
lebih
baik dari mereka (yang mengolok-ngolok). Dan jangan pula
wanita-wanita
(mengolk-ngolok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi
wanita-wanita
3
dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Dan janganlah kamu
saling
memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan
ialah
(panggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang
tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”.
Dalam kandungan ayat tersebut sangat jelas bahwa Allah SWT
melarang
seseorang menghina ataupun merendahkan orang lain karena akan
menimbulkan perasaan malu yang dapat menjatuhkan harga diri
orang
tersebut. Menurut (Fredrickson & Robert, 1997:180) penilaian
terhadap
tubuh sendiri seperti “bagaimana aku dipandang orang lain” hal
itu
menyebabkan individu hanya berfokus pada kekurangannya dan
tidak
melihat kelebihan dalam dirinya atau potensi apa yang bisa
dilakukan oleh
tubuhnya. Sehingga mencela diri sendiri hanya akan meningkatkan
perasaan
malu pada suatu tubuh.
candaan yang mengarah pada body shaming. Body shaming bisa
terjadi
dimana saja, seperti di lingkungan keluarga, sekolah, atau di
lingkungan
pertemanan. Body shaming bisa terjadi pada siapapun terutama pada
kaum
remaja yang paling rentan mengalami body shaming. Menurut Papalia
dan
Olds (dalam Budiargo, 2015:3) pada saat remaja adalah waktu
dimana
remaja akan mengalami masa transisi, hal itu pula yang menjadikan
remaja
cenderung akan mengikuti tren agar tidak ketinggalan terkait soal
gaya
hidup, perawatan tubuh, dan kecantikan. Dari tren tersebut yang
berkembang
dikalangan remaja memungkinkan terjadinya tindakan body shaming
bagi
mereka yang dianggap temannya tidak sesuai dengan tren.
4
Bagi remaja mendapat perlakuan body shaming dari teman atau
lawan
jenisnya memberi kesan buruk dan paling membekas dalam hidup
mereka.
Misalnya saja ketika remaja berada di lingkungan sekolah yang baru
dan
teman-teman yang baru pula, adanya intimidasi tidak langsung
yang
mengarah pada body shaming karena merasa berbeda dengan yang
lainnya..
Terlebih saat berada di tempat ramai dan orang lain pun turut
mendengar
ucapan body shaming kepada korban, hal itu akan semakin membuat
korban
tertekan dan memberi ingatan yang buruk pada korban. Menghadapi
body
shaming membutuhkan proses dan tidak cepat berakhir. Namun
sayangnya,
baik masyarakat maupun remaja masih menganggap sepele terkait
permasalahan ini, mereka tidak menyadari terkait resiko yang
ditumbulkan
dari body shaming. Seseorang akan mengalami perasaan malu, sakit
hati,
tidak percaya diri, depresi, pendiam dan menutup diri dari
lingkungannya
(Alexandra, 2018:7-8).
Bartky (dalam Stephen dan Dina, 2009:2) berpendapat bahwa rasa
malu
tubuh yang dialami seseorang sesuai dengan sejauh mana ia
telah
menginternalisasi standar budaya. Perasaan malu yang disebabkan
penilaian
dari orang lain dan dirinya dapat mempengaruhi perilaku,
kepribadian,
pikiran, perasaan serta situasi. Seseorang yang merasa tidak puas
akan
bentuk tubuhnya akan memandang negatif terhadap tubuh, dengan
melakukan body checking, usaha kamuflase tubuh, merasa malu,
dan
mejauhkan diri dari aktivitas sosial atau kontak fisik dengan orang
lain
(Rosen dan Reiter.1995:263). Menurut dr. Yunias Setiawati (dalam
BAS
Putri, et al, 2018:2) body shaming adalah salah satu bentuk dari
perundungan
secara verbal dimana pelakunya sering kali tidak menyadari bahwa ia
sedang
mendapat perlakuan body shaming karena dianggap wajar,
padahal
kekerasan verbal yang mengandung kata-kata menyakitkan atau
tidak
menyenangkan dapat menyebabkan trauma psikis.
5
secara verbal, Sejiwa menjelaskan bahwa perilaku perundungan
penghambat
besar bagi individu untuk mengaktualisasi diri. Sehingga orang yang
pernah
mengalami perundungan tidak bisa mengeksploitasi dirinya dengan
baik dan
menghambat interaksi sosialnya menyebabkan hubungan sosial
dengan
teman sebaya menjadi renggang. Begitu pula yang terjadi saat
individu
mendapat perlakukan body shaming, ketika orang-orang di
lingkungan
sekitarnya sering melontarkan kalimat-kalimat buruk yang mengarah
pada
fisik seperti menghina dan merendahkan, yang kemudian semua
hinaan
tersebut akan menumpuk dalam hati seseorang dan akan membuat
mereka
merasa kurang percaya diri, selain itu juga akan berpengaruh pada
aspek
kehidupan pribadi maupun kehidupan sesialnya.
Bonner (dalam Gerungan, 2004:62) menyebutkan interaksi sosial
adalah
suatu hubungan antara dua orang individu atau lebih, dimana tingkah
laku
individu yang satu mempengaruhi, mengubah, memperbaiki tingkah
individu
yang lain. Ketidakmampuan atau permasalahan siswa dalam
melakukan
interaksi sosial akan berdampak besar terhadap kenyamanan.
Interaksi sosial
yang baik sangat diperlukan oleh siswa sehingga siswa mampu
bersosialisasi
dan bergaul dengan lingkungannya tanpa ada tekanan. Oleh karena itu
dapat
diterima oleh kelompok teman sebaya merupakan bagian yang
sangat
penting bagi siswa, penerimaan atau penolakan berkontribusi besar
terhadap
kehidupan sosial remaja itu sendiri. Ketika remaja dapat diterima
oleh
lingkungan teman sebayanya, hal tersebut berpengaruh terhadap
kesempatan
remaja untuk belajar berinteraksi dengan teman sebayanya dan
ikut
berpartisipasi dalam kelompok. Sedangkan, remaja yang
mendapat
penolakan akan menyebabkan remaja sulit berinteraksi dengan
teman
6
tertutup, dan sulit bekerjasama dengan teman sebaya lainnya.
Survey yang dilakukan di Amerika menunjukkan 94% remaja
perempuan
dan 64% remaja laki-laki pernah mengalami body shaming,
pengalaman
mendapat ejekan mengenai penampilan mereka dari orang-orang
dalam
kehidupan mereka, seperti orang tua hingga teman yang membuat
mereka
merasa lebih buruk tentang diri mereka sendiri (WCNC, 2017). Kasus
body
shaming yang terjadi di Thailand pada tahun 2018 remaja berusia 17
tahun
bunuh dari akibat tidak tahan karena selalu diejek gendut oleh
teman-teman
di sekolahnya. Di Indonesia sendiri telah dilaporkan dari seluruh
Indonesia
sepanjang tahun 2018 terdapat 966 kasus penghinaan fisik yang
ditangani
polisi, sebanyak 374 kasus telah diselesaikan, baik melalui
penegakan hukum
maupun pendekatan mediasi antara korban dan pelaku. Komisioner
KPAI
Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan kekerasan fisik
dan
perundungan adalah kasus yang terbanyak terjadi di sepanjang tahun
2018,
salah satunya adalah kasus Cyberbully yang meningkat cukup
signifikan
dikalangan para siswa seiring dengan penggunaan internet dan media
sosial
dikalangan anak-anak, termasuk kasus body shaming (Lazuardi,
2018).
Penelitian lain yang dilakukan Brigittan Anggraeni di Surabaya
dalam
kampanye “Sister’s Project” sebagai upaya pencegahan body
shaming,
ditemukan fakta sebanyak 96% siswa SMA negeri maupun swasta
pernah
menjadi korban body shaming dalam lingkup pergaulan mereka (BAS
Putri,
et al, 2018).
dalam jurnalnya “Weight Shame, Social Connection, and
Depressive
Symptoms” di salah satu Universitas Amerika menujukkan hasil
yang
signifikan bahwa mereka yang pernah mengalami body shaming
memiliki
7
oleh Rizki Nur Khalifah dalam jurnalnya yang berjudul “Hubungan
Perilaku
Bullying dengan Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Sekolah Dasar”.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara
perilaku perundungan dengan kemampuan interaksi sosial.
Perilaku
perundungan memberikan dampak bagi interaksi sosial siswa
sehingga
membuat anak yang tidak memiliki teman semakin terkucil serta tidak
dapat
berinteraksi dengan baik dilingkungannya. Hal ini juga dijelaskan
oleh
Dolezal (2015) rasa malu tubuh memainkan peran penting dalam
hubungan
sosial. Dimana penerimaan dan pengakuan diri sendiri menjadi suatu
hal
yang penting.
Salah satu contoh kasus body shaming yang baru baru ini terjadi
pada
Agustus 2019 di SMKN 7 Tangerang Selatan, remaja usia 16
tahun
berinisial HV mengalami perlakuan body shaming oleh kakak
kelasnya
karena seragam sekolahnya terlalu ketat, karena kakak kelasnya
tidak senang
akhirnya mereka menegur korban yang diperparah dengan kekerasan
fisik.
perlakuan yang didapatkan korban di tampar oleh 8 kakak kelasnya.
Yang
lebih parahnya lagi berawal dari perilaku body shaming ini merambah
pada
kekerasan fisik. (Hambali, 2019).
mengenai “Hubungan Body Shaming Dengan Interaksi Sosial Teman
Sebaya di SMKN 7 Tangerang Selatan”.
8
1. Pembatasan Masalah
mencoba memberikan batasan permasalahan yang akan diteliti.
a. Responden yang penulis teliti adalah siswa baik laki-laki
maupun
perempuan kelas 3 di SMKN 7 Tangerang Selatan.
b. Penulis hanya meneliti apakah body shaming berhubungan
dengan interaksi sosial teman sebaya di SMKN 7 Tangerang
Selatan.
Teman Sebaya di SMKN 7 Tangerang Selatan?
2. Bagaimana tingkat body shaming siswa kelas XII SMKN 7
Tangerang Selatan?
3. Bagaimana tingkat interaksi sosial siswa kelas XII SMKN 7
Tangerang Selatan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat body shaming siswa kelas XII SMKN
7
Tangerang Selatan.
2. Untuk mengetahui tingkat interaksi sosial siswa kelas XII SMKN
7
Tangerang Selatan.
teman sebaya di SMKN 7 Tangerang Selatan.
9
memberikan sumbangan kepada bidang Ilmu Kesejahteraan
Sosial
c. Dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan teori,
konsep, dan metodologi penelitian
masyarakat untuk lebih menerima perbedaan, agar masyarakat
bisa
melihat dan menilai diri sendiri ataupun menilai orang lain
bahwa
setiap manusia mempunyai keunikan masing-masing.
3. Manfaat praktis
menjadi bahan bacaan serta masukan bagi peneliti dan
masyarakat
mengenai gambaran body shaming, dampak yang akan ditimbulkan,
bagaimana menyikapi perlakuan body shaming. Dengan begitu
baik
peniliti maupun masyarakat bisa menyadari dan memberikan
perhatian lebih terkait body shaming.
E. Tinjauan Pustaka
berhubungan dengan topik pembahasan suatu penelitian yang dilakukan
pada
penulisan skripsi. Tinjauan pustaka digunakan sebagai referensi
untuk
membantu dan mengetahui dengan jelas penelitian yang akan
dilakukan
untuk penulisan skripsi (Hamid Nasuki, et al, 2007). Dalam
melakukan
10
peninjauan pustaka terhadap beberapa karya ilmiah sebelumnya
yang
menjadi ide awal dilakukannya penelitian ini dan menjadi tolak ukur
dalam
penulisan karya ilmiah ini. Adapun tinjauan pustaka dalam penulisan
skripsi
ini sebagai berikut;
Mengalami Body Shame” yang ditulis oleh Tuti Marianna Damanik
dari
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Hasil
penelitian ini menunjukkan body shaming berpotensi menjadi
gangguan
mental jika dilakukan terus menerus dan kebiasaan
menginteralisasi
pengamatan dapat menyebabkan perempuan mengalami kondisi
kehilangan diri (loss of self).
2. Jurnal ilmiah dengan judul “Hubungan Perilaku Bullying
dengan
Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Sekolah Dasar” yang ditulis
oleh
Rizki Nur Khalifah dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lampung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat
hubungan yang signifikan antara perilaku bullying dengan
kemampuan
interaksi sosial. Hasil uji hipotesis sebesar 0,0832 termasuk
dalam
kategori sangat kuat, hal ini menunjukkan bahwa apabila
perilaku
bullying tinggi maka kemampuan interaksi sosial rendah.
3. Jurnal ilmiah dengan judul “Hubungan antara Perilaku Bullying
(Korban
Bullying) dengan Kemampuan Interaksi Sosial Pada Remaja SMA”
yang
ditulis oleh Wahyu Endang Setiowati dkk dari Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Tirtayasa. Hasil
penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara perilaku bullying (korban
bullying) dengan kemampuan interaksi sosial.
4. Jurnal Internasional dengan judul “Why Weight Matters:
Addressing
Body Shaming in the Social Justice Community” yang ditulis oleh
Farah
11
Fathi dari Columbia Social Work Review. Hasil penelitian ini
berfokus
pada individu yang mengalami kelebihan berat badan dan
mengalami
diskriminasi di lingkungan dimanapun mereka berada. Dalam
penelitian
ini penulis berupaya menyoroti diskriminasi yang dilakukan
terhadap
individu yang mempunyai berat badan berlebih sebagai masalah
keadilan
sosial. Stigma yang diberikan akan berdampak buruk pada
kesejahteraan
orang gemuk.
5. Jurnal Internasional dengan judul “Is Body Shaming Predicting
Poor
Physical Health and Is There a Gender Difference?” yang ditulis
oleh
Eva Lind Fells Eliasdottir dari Departement of Psychology.
Dalam
penelitian ini menjelaskan dampak body shaming bagi kesehatan
fisik,
selain itu dalam penelitian ini juga menunjukkan perbedaan
gender,
dimana wanita lebih tinggi mengalami body shaming
dibandingkan
dengan pria. Perempuan lebih mungkin melaporkan kesehatan
fisik
mereka dibandingkan dengan pria.
penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
permasalahan penelitian. Membahas landasan teori tentang
12
pengertian interaksi sosial, bentuk-bentuk interaksi sosial,
pengertian teman sebaya serta penerimaan dan penolakan antar
teman sebaya.
desain penelitian, definisi dan operesional variabel,
pengukuran
variabel, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data,
hipotesis
penelitian, uji instrument, dan teknik analisa data,
rekapitulasi
validitas dan reabilitas instrument.
BAB IV: HASIL PENELITIAN
penelitian.
13
mengkritik, mengomentari, atau membandingkan fisik orang lain
maupun
dirinya sendiri. Dalam kamus Oxford dijelaskan bahwa body shaming
ialah
tindakan menghina, mengomentari, dan mengkritik tentang tubuh
atau
ukuran tubuh baik dilakukan oleh orang lain maupun diri sendiri
yang
bertujuan untuk mempermalukan individu. Menurut Fredikson &
Robert
(1997:182) body shaming adalah ketika individu memiliki kesadaran
diri
akan tubuhnya yang tidak sesuai dengan standar ideal dan
memiliki
pandangan negatif terhadap dirinya sendiri karena merasa gagal
untuk
memenuhi standar ideal. Bagi sebagian orang memenuhi standar ideal
suatu
bagian yang penting terutama bagi remaja yang mudah
menginternalisasi
atau merealisasikan sendiri standar-standar tersebut. Banyak
individu merasa
tidak dapat memenuhi standar sehingga menimbulkan perasaan negatif
yang
diarahkan pada diri sendiri yang kemudian tanpa disadari akan
timbul
perlakuan body shaming.
menyakitkan karena merasa mendapat penolakan sosial dari orang
lain, serta
perasaan muak pada diri sendiri (Roberts & Goldenberg,
2007:389). Body
shaming merupakan bagian yang berpotensi menjadi rasa malu
karena
seseorang tidak hanya mengamati tubuh sebagai bagian dari diri kita
tetapi
orang lain juga akan memberikan penilain subyektif pada tubuh kita.
Rasa
14
malu adalah perasaan emosi yang membuat individu tidak nyaman
dan
sangat tidak menyenangkan, individu akan merasa dalam dirinya ada
sesuatu
yang tidak terhormat, tidak sopan, atau tidak senonoh (APA
dictionary,
2015). Rasa malu ini biasanya ditandai dengan menutup diri dari
lingkungan
sosial, seperti menghindari atau mengalihkan perhatian orang lain
dari
tindakan yang memalukan yang dapat memiliki dampak yang
mendalam
pada psikisnya dan hubungan interpersonal. Seseorang yang mengalami
body
shaming akan berdampak tidak hanya pada perilaku menghindar, tetapi
juga
merasa terancam, hingga melampiaskan amarah. Penelitian psikologi
secara
konsisten menginformasikan resiko seseorang yang mengalami
body
shaming akan berimbas pada psikologis, seperti gejala depresi,
gangguan
makan, kecemasan, dan harga diri yang rendah (APA dictionary,
2015).
Perempuan, yang mengalami body shaming sebagai akibat dari
standar
budaya, mereka secara terus-menerus diposisikan seolah tidak
memadai atau
tidak sesuai jika dibandingkan dengan standar ideal tubuh yang
sudah
ditetapkan oleh masyarakat. Rasa malu tubuh menjadi
kemungkinan
permanen yang akan terus diingat. Akibatnya, perempuan sudah
terbiasa
dengan perasaan rasa malu tubuh, mereka merasa bagian tubuh
mereka
memiliki kekurangan, tidak sesuai dengan ekspetasi, dan tidak
terlihat dari
apa yang seharusnya standar tubuh ideal. Gagal mencapai tubuh
ideal
menandakan penguasaan tubuh dan kontrol tubuh yang gagal lebih
dalam.
Sikap memalukan ini begitu meresap dan tidak pasti sehingga
seringkali
berada di luar jangkauan kesadaran. Karena nilai-nilai
normatif
diinternalisasi secara menyeluruh untuk memastikan rasa pengakuan
dan
kepemilikan dalam kelompok sosial. Perempuan bahkan mungkin
tidak
menyadari bahwa mereka mengalami body shaming atau bahwa
mereka
mengerahkan upaya yang berlebihan untuk menghindarinya.
Sebaliknya
mereka sibuk berusaha menyusaikan tubuh mereka dengan standar
ideal,
15
kecewa pada tubuh, individu akan merasa bahwa apa yang
diinginkan
harusnya ada pada tubuhnya bukan sebaliknya. Misalnya, individu
akan
merasa kecewa dengan warna kulitnya sendiri karena tidak sesuai
dengan
apa yang ditampilkan oleh media saat itu. (Dolezal, 2015).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa body
shaming
merupakan tindakan mengkritik, mengomentari, atau membandingkan
fisik
orang lain maupun dirinya sendiri yang kemudian bisa
menimbulkan
perasaan yang sangat menyakitkan dan perasaan malu ketika tubuhnya
tidak
sesuai dengan yang diharapkannya.
2. Aspek-aspek Body Shaming
dengan aspek-aspek yang meliputi:
gemuk daripada orang lain.
2. Mengomentari penampilan atau fisik seseorang di depan orang
tersebut
dan membandingkannya dengan orang lain. Seperti mengatakan
bahwa
orang tersebut memiliki kulit yang gelap sehingga harus
memakai
pemutih wajah.
orang tersebut. Seperti mengosipkan penampilan teman yang
pakaiannya terlihat kurang bagus atau tidak pantas.
16
Menurut (Dolezal, 2015:8-10) body shaming terdiri dari dua jenis
yaitu
acute body shame dan chronic body shame:
a. Acute body shame
Acute body shame berkaitan dengan aspek perilaku dari tubuh,
seperti
gerakan, gaya berbicara, tingkah laku, dan kenyamanan yang
berhubungan dengan presentasi diri. Biasanya hal ini disebut
dengan
embarrassment atau rasa malu. Acute body shame terjadi pada
kasus-
kasus dalam interaksi sosial, seperti ketika seseorang sedang
berbicara
kemudian mengalami kegagapan atau gagal dalam berperilaku
yang
diharapkan di lingkungan sosial, sering muncul sebagai akibat
dari
pelanggaran perilaku, penampilan, atau hilangnya kendali sementara
atas
tubuh dan fungsi tubuh seseorang.
Acute body shame biasanya terjadi secara tak terduga dan
tanpa
persiapan yang tidak pasti. Contoh dari jenis body shame ini
mungkin
terkait dengan beberapa aspek fisik tubuh atau pada waktu lain
berkaitan
dengan perilaku atau tingkah laku. Acute body shame bertindak
sebagai
pengatur keberhasilan dalam interaksi sosial. Ketika
seseorang
mengalami acute body shame, itu menandakan individu tersebut
telah
melampaui batas sosial mengenai penampilan dan kenyamanan
yang
dapat diterima lingkungannya. Akibatnya, acute body shame
menghambat interaksi sosial yang diwujudkan.
Acute body shame adalah sesuatu yang normal dialami dan
kadang
diperlukan. Tidak ada yang terhindar dari kasus-kasus rasa malu
tubuh
ini. Acute body shame terjadi secara rutin dan menjadi bagian dari
proses
sosial. Acute body shame memainkan peran penting dalam
keterampilan,
17
belum lagi dalam masalah-masalah yang lebih luas dari kontrol
sosial
dan ketertiban tubuh.
Chronic body shame ini berkaitan dengan tubuh seseorang yang
lebih
berkelanjutan atau permanen, seperti berat badan, tinggi badan,
atau
warna kulit. Chronic body shame juga dapat timbul karena
beberapa
stigma atau kelainan tubuh, seperti bekas luka atau cacat. Di
luar
penampilan, chronic body shame sering dikaitkan dengan fungsi
dan
kecemasan tubuh di sekitar bagian tubuh seperti jerawat, penuaan,
dan
sebagainya. Selain itu, mungkin timbul dalam masalah kontrol
tubuh,
seperti dalam kasus gagap atau kekakuan kronis. Apa pun yang
menyebabkannya, jenis body shaming ini datang secara kronis
dan
berulang-ulang ke dalam kesadaran seseorang dan membawa rasa
sakit
yang berulang atau mungkin terus-menerus. Rasa malu dalam hal
ini
akan menjadi lebih akut mungkin pada saat seseorang
menginternalisasi
penilaian diri, menyebabkan pengalaman tubuh berkurang
sehingga
mempengaruhi harga diri dan penilaian diri.
4. Dampak Body Shaming
perlakuan body shaming, begitu pula dampak yang muncul pun
berbeda.
Body shaming memberikan dampak bagi individu ketika orang lain
ataupun
dirinya sendiri secara terus-menerus memandang negatif pada
tubuhnya.
Dampak tersebut antara lain:
seringkali salah memandang bentuk tubuhnya. Seseorang yang
menilai
tubuhnya dan merasa tidak sesuai dengan bentuk tubuh ideal
cenderung
akan mengupayakan berbagai cara agar tubuhnya idal dengan
melakukan
diet untuk menurunkan berat badan atau sebaliknya
mengkonsumsi
berbagai makanan tanpa memperhatikan resikonya untuk
menaikkan
berat badan, dengan begitu diharapkan dirinya bisa diterima
di
lingkungannya bisa menghindari body shaming. Namun, di samping
itu
tindakan mengubah bentuk tubuh menyebabkan seseorang hanya
berfokus pada keinginan untuk mengubah bentuk tubuhnya tanpa
memperhatikan efek dari diet tersebut bagi kesehatannya. Selain
itu
tindakan mengubah bentuk tubuh berpotensi mencapai kegagalan
yang
justru akan mendapatkan perlakuan body shaming yang lebih
dari
sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh Noll & Fredrickson
(1998:623)
bahwa kegagalan mencapai tubuh ideal karena melakukan
usaha-usaha
seperti menurunkan berat badan dapat menjadi penyebab semakin
tinggi
terjadinya body shaming.
perubahan-perubahan pada tubuhnya. Penelitian sebelumnya
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara body shame
dengan gangguan makan (Chairani, 2019). Hal ini memberikan
gambaran
bahwa body shaming dapat menjadi antisipasi yang meyakinkan
dalam
memprediksi gangguan makan. Sejalan dengan penelitian
(Mustapic,
Marcinko, Vargek, 2015) terdapat hubungan yang positif body
shaming
dan perilaku makan. Dimana semakin tinggi tingkat body shaming
maka
cenderung memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
perilaku
19
diet mati-matian, minum obat pelangsing, memakai obat pemutih
instan,
dan berbagai macam upaya lain yang justru akan berdampak lebih
serius
pada tubuhnya. Lamont (2018) dalam penelitiannya menjelaskan
adanya
hubungan yang positif antara body shame dengan infeksi maupun
gejala
dari suatu penyakit yang disebabkan karena perhatian pada
kesehatan
tubuh yang rendah.
Hidup di budaya yang memiliki penilaian adanya tubuh ideal
dan
tidak ideal, memberikan kecendrungan seseorang untuk menerima
pandangan orang lain tentang tubuhnya. Sehingga ketika orang
lain
melontarkan kalimat buruk tentang tubuhnya, indvidu tersebut
akan
mendengarkan sepenuhnya komentar buruk itu dan melemahkan
perspektif dirinya sendiri tentang tubuhnya. Komentar buruk yang
terus-
menerus diterima membuat indvidu merasa dirinya tidak
berharga,
kondisi ini memungkinkan individu mengalami stress yang
berujung
depresi. Tindakan yang lebih ekstrem korban body shaming
dapat
berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
c. Body Shaming dan Self-Esteem
Individu yang mengalami body shaming akan melakukan penilaian
diri dengan terus melakukan body checking pada tubuhnya atau
penampilanya, selain itu tentunya individu juga akan
melakukan
penilaian terhadap keberhargaan dirinya. Ketika individu merasa
malu
dengan kondisi tubuhnya maka individu tersebut akan merasa
tidak
20
percaya diri dan memiliki harga diri yang rendah. Menurut (Noser
&
Zeigler-Hill, 2014:703) ketika seseorang sering melakukan
penilaian
terhadap penampilan diri mereka sendiri, kondisi tersebut
cenderung
akan berdampak pada tingkat self-esteem yang rendah. Menurut
Baumeister (dalam Santrock, 2007) menjelaskan individu dengan
harga
diri rendah akan beranggapan dirinya memiliki keterbatasan,
merasa
bersalah karena kekurangannya, dan berada dalam kondisi yang
tidak
aman.
ideal dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi, dan
ekologi
yang mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap konsep tubuh
ideal.
Kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia memiliki
penilaian
berbeda-beda dalam kriteria yang dianggap menarik atau tidak
menarik,
tinggi atau pendek, gemuk atau kurus, berkulit gelap atuh putih.
Menurut
Wolf (dalam Bestiana, 2012:2) mitos-mitos kecantikan yang berlaku
dalam
masyarakat juga ikut mempengaruhi konsep tubuh ideal. Standar tubuh
ideal
dalam msyarakat bisa saja berbeda, misalnya individu yang
dianggap
berkulit gelap oleh masyarakat di lingkungannya, bisa jadi dianggap
normal
oleh masyarakat di luar lingkungannya. Media ikut memberikan
pengaruh
besar dalam pandangan masyarakat terkait standar tubuh ideal,
iklan-iklan
yang ditampilkan oleh media seolah memberi kesan memiliki tubuh
gemuk
atau berkulit gelap adalah sesuatu yang memalukan dan harus
diubah
(Bestiana, 2012:8). Menurut Kulick dan Meneley (dalam Kholifah
dan
Kuncoro, 2019:682). Tanpa disadari hal tersebut mengubah persepsi
konsep
tubuh ideal di masyarakat sehingga menciptakan ketidakpuasan
individu
21
berlaku dalam lingkungan sosial dan budayanya.
B. Interaksi Sosial
individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat
mempengaruhi
individu yang lain atau sebaliknya, sehingga terdapat hubungan yang
saling
timbal balik. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang
dinamis yang
menyangkut hubungan antar orang perorangan, antar
kelompok-kelompok
manusia dan antar orang dengan kelompok-kelompok masyarakat.
Interaksi
terjadi apabila dua orang atau kelompok saling bertemu dan
pertemuan
antara individu dengan kelompok dimana komunikas terjadi diantara
kedua
belah pihak (Yulianti, 2003:91). Sedangkan pengertian lain dari
interaksi
sosial menurut Thibaut dan Kelly (dalam Mohammad Ali dan
Mohammad
Asrori, 2004:87) adalah peristiwa saling mempengaruhi satu sama
lain ketika
dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil
satu
sama lain, atau berkomunikasi satu sama lain.
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial oleh
karena itu
tanpa adanya interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan
bersama.
Interaksi sosial dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antar
individu
dengan golongan didalam usaha mereka untuk memecahkan persoalan
yang
diharapkan dan dalam usaha mereka untuk mencapai tujuannya
(Ahmadi,
2004:49). Kemampuan individu dalam berinteraksi dengan lingkungan
sosial
akan menjadikan seseorang menentukan sikap sosialnya untuk
bereaksi
terhadap fenomena-fenomena sosial di lingkungannya.
22
sosial adalah hubungan antara individu dengan individu atau
individu dengan
kelompok yang didalamnya individu mempengaruhi, mengubah,
atau
memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya
sehingga
memunculkan hubungan timbal balik.
2. Aspek-aspek Interaksi Sosial
aspek tersebut meliputi:
kelompok dengan kelompok. Hubungan ini ditandai dengan adanya
komunikasi seperti saling bertegur sapa atau berjabat tangan.
b. Adanya individu, peran serta individu dengan individu lain
maupun
individu dengan kelompok memainkan peran penting dalam
melaksanakan proses hubungan sosial.
c. Adanya tujuan, interaksi sosial terjadi tentu karena adanya
tujuan
seperti saling bertukar informasi, atau untuk mempengaruhi
individu
lain.
individu memiliki peran dalam kelompoknya. Karena dalam
kehidupan individu-individu tidak terlepas untuk membentuk
suatu
kelompok, oleh karena itu individu dikatakan sebagai makhluk
sosial
yang memiliki fungsi dalam kelompoknya.
23
Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2007:65) mengkategorikan
interaksi
sosial ke dalam dua bentuk, yaitu proses asosiatif dan disosiatif.
Proses
asosiatif adalah proses yang mengarah untuk menciptakan suatu
kesatuan,
sedangkan disosiatif adalah proses yang bersifat bertentangan
karena
memiliki tujuan yang berbeda.
a. Kerja sama
tindakan guna memenuhi tujuannya tersebut. Dalam bentuk
kerjasama
ada peran atau fungsi dari masing-masing anggota kelompok
karena
kegiatan yang dilaksanakan saling bergantung dengan kegiatan yang
lain
dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan bersama.
b. Akomodasi
pertentangan antara individu dengan individu lain atau antara
kelompok
dengan kelompok dalam masyarakat akibat pandangan atau
pemahaman
yang berbeda. Akomodasi juga berfungsi untuk mencegah
munculnya
suatu pertentangan dalam waktu jangka pendek maupun jangka
panjang.
Selain itu akomodasi berupaya menyatukan kelompok-kelompok
yang
sebelumnya sudah saling bertentangan dan memungkinkan
terjadinya
sebuah kerjasama didalamnya.
mendahulukan tujuan dan kepentingan bersama. Dalam situasi ini
adanya
sebuah toleransi di setiap anggota kelompoknya akan mendukung
proses
asimilasi walaupun terkadang tidak mudah dalam menjalankan
proses
asimilasi ini karena adanya hambatan seperti kehidupan masyarakat
yang
terisolasi, yang pada umumnya cenderung memiliki pengetahuan
yang
relatif rendah.
biasa terjadi dalam kehidupan yaitu:
a. Persaingan
bersaing berusaha untuk mengungguli pihak lain. Contoh
persaingan
yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti
persaingan
ekonomi, kedudukan, dan peran. Upaya-upaya yang dilakukan
seperti
menarik perhatian atau mencari kelemahan lawan dengan cara
memperkuat prasangka yang telah ada. Biasanya persaingan
dilakukan
tanpa adanya kekerasan ataupun ancaman. Adapun fungsi dari
persaingan
salah satunya adalah untuk menyalurkan sebuah keinginan individu
yang
bersifat kompetitif dalam masyarakat.
persaingan dan pertentangan. Kontraversi menunjukkan sikap
25
lain.
memberikan sebuah ancaman atau kekerasan pada pihak lawan. Pada
diri
seseorang biasanya mempunyai keinginan yang ingin saling
berkompetisi
dalam mengekspresikan perannya atau pendapatnya. Biasanya
pertentangan terjadi disebabkan adanya suatu perbedaan yang
sangat
nyata, seperti perbedaan paham antar individu, kepentingan
hingga
perbedaan sosial. Selain itu konflik dalam kelompok pun
sering
disebabkan oleh perbedaan tujuan pada anggota kelompok,
perbedaan-
perbedaan pendapat, ketidasetujuan yang didasarkan karena
ekspetasi
individu yang tidak sesuai pada individu lain. Namun di samping
itu
pertentangan tidak selalu bersifat negatif, adapula sifat positif
yang bisa
menguatkan suatu kelompok. Contoh yang bersifat positif akibat
dari
pertentangan adalah meningkatkan solidaritas antar anggota dalam
suatu
kelompok dan memungkinkan terjadinya perubahan kepribadian
kearah
yang lebih baik. Sedangkan contoh negatif sebagai akibat dari
pertentangan yaitu retaknya kesatuan antar anggota kelompok
yang
berdampak pada perpecahan atau putusnya hubungan sosial.
Masalah
sosial tidak muncul secara alami, namun masalah sosial hadir
disebabkan
26
oleh “social creation” yang tercipta sebagai hasil dari pemikiran
manusia
dalam kebudayaan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Interaksi Sosial Siswa
Menurut Santoso (2010: 166-167) interaksi sosial dapat
berlangsung
karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang mendasari interaksi
sosial yaitu
Imitasi, Sugesti, Identifikasi, Simpati, dan Motivasi, yang
diuraikan sebagai
berikut:
mengungkapkan terdapat segi-segi negatif dan postif dalam
peranan
faktor imitasi. Proses imitasi dikatakan negatif ketika role model
yang
diimitasi itu memberi pengaruh yang tidak baik, hal itu akan
menimbulkan kesalahan besar, terkadang orang dengan mudahnya
menerima apa yang dilihat dan langsung mengimitasi hal tersebut
tanpa
di kritisi terlebih dahulu. Sedangkan proses imitasi dikatakan
positif
apabila mampu membawa individu memperoleh keahlian dan
mendorong
individu untuk bertingkah laku sesuai dengan norma.
b. Faktor Sugesti
Ahmadi (dalam Santoso, 2010) menjelaskan bahwa sugesti adalah
keadaan di mana orang lain ataupun dinvidu itu sendiri berusaha
untuk
memberikan dorongan pada pikiran. Sugesti yang datang baik
dari
dirinya sendiri maupun dari orang lain biasanya dengan mudah
diterima.
Adapun perbedaan antar jenis auto-sugesti dan hetero-sugesti.
Auto-
sugesti adalah sugesti yang datang dari dirinya sendiri, contoh
dari jenis
27
ini bisa diambil dari seseorang yang sedang sakit, ia selalu
mensugesti
dirinya bahwa ia bisa sembuh dari penyakitnya. Hetero-sugesti
adalah
sugesti yang datang dari orang lain, contohnya bisa diambil dari
seorang
motivator yang memberikan semangat untuk audiensnya dengan
kata-
kata positifnya.
berhubungan, yang membedakannya bahwa dalam imitasi individu
mengikuti orang lain yang menjadi role modelnya, sedangkan
pada
sugesti seseorang mencoba memberikan arahan atau pandangan
yang
dilakukan oleh dirinya sendiri atau orang lain yang nantinya
akan
diterima oleh individu tersebut (Janu, 2007). Maka dapat
dikatakan
bahwa sugesti akan mendorong seseorang untuk bersikap sesuai
dengan
apa yang ada dipikirannya .
psikologi artinya dorongan untuk menjadi sama dengan orang lain
baik
secara lahiriah maupun secara batiniah. Proses identifikasi dapat
terjadi
ketika seseorang memberikan contoh yang baginya ideal dalam
kehidupannya. Proses ini dapat terjadi dengan sendirinya tanpa
disadari
ataupun sengaja. Secara tidak sadar individu yang mengidentifikasi
itu
akan menirukan sikap, penampilan, tingkah laku, dan kebiasaan
lainnya
dari sosok yang ia identifikasi. Maka pada jangka waktu tertentu
akan
muncul perasaan untuk menjadi identik dan memainkan peran
sebagai
sosok yang diidentifikasi tersebut.
maupun suatu kelompok (Janu, 2007). Proses simpati timbul
mencakup
adanya akal rasional, dan juga perasaan. Proses ini bisa berjalan
dengan
perlahan-lahan seiringnya waktu atau secara tiba-tiba bahkan
secara
sadar antar kedua belah pihak. Dorongan utama pada proses simpati
yaitu
ingin mengerti orang lain, berbeda halnya dengan identifikasi
yang
didorong dengan perasaan meniru dan ingin menjadi sama.
Contoh
identifikasi adalah memberi bantuan pada orang lain yang
sedang
kesulitan.
suatu tindakan bagi individu memberikan dorongan, pengaruh,
atau
stimulasi untuk individu lain. Kemudian seseorang yang diberi
motivasi
tersebut akan menuruti atau melaksanakan apa yang ia terima dan
dengar
itu secara kritis, rasional, dan penuh rasa tanggung jawab.
Motivasi
adalah suatu tindakan yang terbentuk dari dorongan yang
berupa
desakan, motif, kebutuhan dan keinginan. Wujud motivasi dapat
berupa
perilaku, sikap, saran, pendapat, dan pertanyaan.
Dari penjelasan berbagai faktor di atas dapat diambil
kesimpulan
bahwa interaksi merupakan suatu proses yang cukup kompleks
yang
didasari atau dilandasi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor
tersebut
mampu bergerak dengan sendiri secara terpisah ataupun saling
berkaitan.
29
kelompok teman sebaya adalah tempat kaum remaja yang
menyediakan
panggung dimana remaja dapat menilai, menganalisis, dan
memperbaiki
konsep dirinya. Teman sebaya adalah anak-anak atau remaja
yang
memiliki usia atau tingkat kedewasaan yang relatif sama. Remaja
akan
saling memberikan dorongan dengan teman sebayanya mengenai
kemampuan mereka. Remaja belajar dari teman sebayanya untuk
menilai,
membandingkan tentang dunia di luar keluarga. Dari proses
belajar
tersebut akan berpengaruh pada remaja, apa yang dilakukan mereka
bisa
lebih baik, sama baiknya atau bahkan lebih buruk dari apa yang
dilakukan
teman sebayanya (Santrock, 2007:55). Menurut Slamet Santoso (2004:
79)
menjelaskan bahwa teman sebaya ialah perkumpulan remaja dengan
usia
yang sama yang anggotanya mampu bersosialisasi dan
berkomunikasi
dengan baik. Hal-hal yang dilakukan oleh anak-anak usia tersebut
adalah
hal-hal yang menyenangkan saja.
Dari penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan apa
yang
dimaksud dengan teman sebaya adalah anak-anak atau remaja
yang
mempunyai usia dengan tingkat kematangan yang relatif sama.
Remaja
menjadikan teman sebaya sebagai tempat untuk menilai dan yang
mereka
dapatkan dari teman sebaya akan berpengaruh pada apa yang akan
mereka
lakukan bisa lebih baik atau lebih buruk.
30
Aspek-aspek interaksi teman sebaya menurut Monks dkk (dalam
Santoso, 1994:187) adalah:
2. Saling bertukar informasi antara teman sebaya.
3. Saling membantu satu sama lain.
4. Saling menghargai dan menerima.
5. Menunjukan rasa simpati dan kasih sayang
3. Fungsi Teman sebaya
Teman sebaya bisa memberikan fungsi yang positif bagi remaja,
terdapat
6 fungsi positif teman sebaya yang dijelaskan oleh Kelly dan Hansen
(dalam
Desmita, 2009:220-221) yaitu:
dorongan agar remaja tidak melakukan pertentangan atau
pertikaian,
melalui interaksi dengan teman sebayanya remaja dapat belajar
menyelesaikan pertentangan tanpa harus melakukan agresi
langsung.
b. Membuat remaja menjadi mandiri dan peduli pada lingkungan
sekitarnya. Kelompok teman sebaya dapat memberi dorongan pada
remaja untuk bisa menjalankan peran baru mereka dan
bertanggung
jawab. Dorongan dari teman sebaya ini pula bisa berarti bagi
remaja,
ketika remaja bisa mandiri hal itu bisa berdampak baik pada
remaja
sehingga tidak selalu bergantung pada dorongan keluarga
mereka.
c. Meningkatkan kamampuan-kemampuan sosial, meningkatkan
kemampuan penalaran. Dari sinilah melalui interaksi dengan
teman
sebaya, remaja belajar untuk mengekspresikan perasaannya
dengan
cara yang lebih matang, mengekspresikan ide-ide dan gagasan
31
menyelesaikan masalah.
belajar tentang tingkah laku dan kemudian mereka asosiasikan
dengan menjadi laki-laki dan perempuan muda.
e. Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai, dalam
kelompok
teman sebaya, remaja berusaha menggambil keputusan atas diri
mereka sendiri. Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang
dimilikinya
dan yang dimiliki oleh teman sebayanya, serta memutuskan mana
yang dianggap benar. Proses mengevaluasi ini dapat membantu
remaja mengembangkan kemampuan penalaran moral mereka.
f. Menigkatkan harga diri (self-esteem). Menjadi individu
yang
disenangi oleh teman sebayanya bisa membuat remaja merasa
senang
mengenai dirinya sendiri
Dalam lingkungan teman sebaya memungkinkan remaja dapat
diterima
atau mendapat penolakan. Menurut Mappiare (1982: 170) terdapat
faktor-
faktor yang membuat remaja diterima atau mendapat penolakan dari
teman
sebayanya, yaitu:
sebayanya:
terkait penampilan dan perilaku remaja seperti tampang yang
baik,
32
kegiatan kelompok.
kelompok teman sebaya karena kemampuan berpikirnya,
sepertidapat berinisiatif, memikirkan kepentingan kelompoknya
dan
mengemukakan ide-idenya.
- Sifat, cara bersikap, dan perasaan. Sikap ini sangat diperlukan
agar
remaja bisa diterima oleh kelompok teman sebayanya, seperti
peduli pada orang lain, memiliki sifat sabar dan mampu
menahan
amarah ketika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan.
- Kerpibadian yang baik, remaja yang memiliki kepribadian
yang
baik akan mudah diterima bahkan disenangi oleh kelompok teman
sebaya, kepribadian yang baik menjadi poin utama seperti jujur
dan
dapat dipercaya, bertanggung jawab dan mampu menjalankan
perannya, mengikuti peraturan-peraturan kelompok, mudah
beradaptasi dalam berbagai situasi.
sebaya:
sering menantang, dan senang menyendiri adalah hal yang
kurang
disukai oleh teman sebayanya, maka ketika remaja memiliki
sifat
tersebut kemungkinan akan ditolak teman sebaya.
- Kemampuan berpikir, setiap remaja mempunyai kemampuan
berpikir yang berbeda-beda remaja yang dianggap bodoh oleh
teman sebayanya akan mudah mendapatkan penolakan.
- Cara bersikap, memiliki sifat yang buruk, seperti suka
melanggar
norma dan tidak mengikuti peraturan-pertaturan kelompok, suka
33
kehendaknya sendiri tanpa mau mendengarkan orang lain.
- Faktor lainnya seperti rumah sulit dijangkau karena terlalu jauh
dari
tempat teman sekelompok.
penolakan teman sebaya sangat berarti dalam kehidupan remaja.
Penerimaan
dan penlokan itu pula yang dapat membentuk kedewasaan remaja dalam
cara
berpikir, bersikap, peduli terhadap sekitarnya, perlakuan dan
adaptasi remaja.
Dari hasil penerimaan dan penolakan teman sebaya dapat
memberikan
dampak positif maupun negatif pada diri remaja, tergantung remaja
dalam
menyikapinya. Arti penting penerimaan dan penolakan teman sebaya
erat
kaitannya dengan penelitian ini adalah sebagai bahan referensi
peneliti untuk
meningkatkan interaksi sosial siswa dengan teman sebayanya.
5. Pentingnya Teman Sebaya bagi Perkembangan Remaja
Teman sebaya memiliki pengaruh penting dalam perkembangan
remaja,
adanya kelompok teman sebaya akan memudahkan individu untuk
saling
berinteraksi, bergaul dan memberikan dukungan serta peduli
terhadap
individu yang lain secara emosional. Kehadiran kelompok teman
sebaya
memberikan pengaruh dalam perkembangan remaja yaitu (Santoso,
2009:77):
a. Pengaruh positif dari teman sebaya
- Mendorong kemandirian pada individu
34
lebih siap menghadapi kehidupan yang akan datang
- Individu dapat memiliki rasa solidaritas antar teman
- Ketika individu masuk dalam kelompok teman sebaya, maka
setiap anggota akan siap membentuk masyarakat yang
direncanakan sesuai dengan kebudayaan yang mereka anggap
baik
memperoleh pengetahuan
- Memungkinkan individu sulit menerima individu lain yang
tidak
mempunyai kesamaan, sehingga lingkungan pertemanan mereka
hanya akan berputar dengan kelompok teman sebayanya yang
mereka anggap memiliki kesamaan dengan mereka.
- Menimbulkan rasa iri, dalam kelompok kemungkinan ada
beberapa anggota yang akan terlihat sangat akrab dikarenakan
memiliki kesamaan, kemudian akan ada anggota lain yang merasa
iri karena merasa berbeda dan tidak bisa seakrab itu dengan
mereka.
- Timbul persaingan antar anggota kelompok
2) Membentuk persepsi citra tubuh
Menurut Winzeler (2005) menjelaskan bahwa citra tubuh adalah
gambaran, pikiran, atau perasaan seseorang akan penampilan
fisiknya.
Lingkungan atau kelompok teman sebaya berpengaruh besar
terhadap
pandangan remaja terhadap citra tubuh, kelompok teman sebaya
yang
mempersepsikan standar tubuh ideal yang kemudian remaja akan
menerima
persepsi dari kelompok teman sebayanya tersebut menjadi persepsi
pribadi
35
agar mendapat penerimaan dari kelompoknya. Remaja akan merasa puas
jika
kesan fisik yang dia tampilkan sesuai dengan kesan yang diberikan
oleh
lingkungannya,
Harry Stack (dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa seorang
sahabat
menjadi sangat penting dalam memenuhi kebutuhan sosial akan
intimasi
persahabatan meningkat di masa remaja awal. Ketika remaja tidak
mampu
menjalin hubungan persahabatan yang dekat, mereka akan mengalami
rasa
kesepian dan turunnya harga diri mereka. Persahabatan
mencerminkan
perilaku kerjasama dan saling mendukung antara dua atau lebih
identitas
sosial. Semakin dekat pengalaman yang mereka miliki maka akan
berpengaruh pada penerimaan sosial.
interaksi sosial teman sebaya. Body shaming muncul disebabkan
karena
adanya pandangan masyarakat yang membentuk standar tubuh ideal.
Standar
tubuh ideal dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekologi,
ekonomi, dan
standar budaya.
berkeinginan sesuai dengan standar ideal yang berlaku di masyarakat
adalah
faktor imitasi dan faktor sugesti. Individu mencoba untuk meniru
penampilan
orang lain contohnya dengan meniru apa yang ditampilkan oleh
media
seperti ingin langsing, tinggi, dan berkulit putih, maka terjadi
proses imitasi
dalam hal ini. Selain itu, orang lain mencoba untuk mempengaruhi
pikiran
atau mengubah pandangan individu terkait konsep tubuh ideal dan
individu
36
akan terdorong bersikap untuk sesuai dengan apa yang ada
dipikirannya
Pengaruh teman sebaya bagi perkembangan remaja salah satunya
adalah
membentuk persepsi citra tubuh, dimana ketika kelompok teman
sebaya
mempersepsikan standar tubuh ideal kemudian remaja menerima
persepsi
tersebut dan menjadikannya persepsi pribadi agar diterima
oleh
kelompoknya. Di samping itu, dalam lingkungan kelompok teman
sebaya
ada penerimaan dan penolakan, salah satu faktor yang menyebabkan
remaja
diterima atau ditolak oleh teman sebayanya adalah faktor
penampilan,
penampilan yang baik membuat remaja mudah diterima dan
sebaliknya
penampilan yang kurang menarik memungkinkan remaja ditolak atau
sulit
diterima oleh kelompok teman sebaya. Maka ketika remaja
mendapat
perlakuan body shaming artinya remaja mendapat penolakan dari
teman
sebayanya sehingga interaksi sosialnya pun akan menjadi terganggu.
Seperti
yang dikatakan oleh Dolezal (2015) bahwa body shaming menentukan
proses
hubungan sosial.
Dari kerangka pemikiran di atas untuk melihat apakah variabel
body
shaming dan interaksi sosial teman sebaya memiliki hubungan atau
tidak,
jika digambarkan dengan model akan tampak seperti pada bagan
berikut ini
Tabel 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran
Body Shaming
diperhatikan yaitu merumuskan hipotesis nol (Ho) dan harus disertai
pula
dengan hipotesis (Ha). Berdasarkan penelitian yang direncanakan,
dapat
dibuat hipotesis sebagai berikut.
1. Ho : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara body
shaming
dengan interaksi sosial teman sebaya
2. Ha : Terdapat hubungan yang signifikan antara body shaming
dengan
interaksi sosial teman sebaya
Pendekatan yang digunakan dalam penilitian ini yaitu
pendekatan
kuantitatif. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data
berupa
angka, kemudian diolah dan dianalisis untuk mendapat suatu
informasi
ilmiah dibalik angka-angka tersebut. Sedangkan menurut Azwar
(2005)
penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya
pada data-
data numerikal atau angka yang diolah dengan metode statistika.
Dengan
pendekatan kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan
kelompok atau
signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti.
Sedangakan metode yang digunakan peneliti adalah
korelasional.
Penelitian korelasional adalah penelitian yang melihat hubungan
antara
variabel. Penelitian yang dirancang untuk mengetahui tingkat
hubungan
antara variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi
(Kountur, 2009).
Pengukuran korelasional digunakan untuk menentukan besarnya
arah
hubungan. Alasan peneliti menggunakan penelitian korelasional
adalah
karena peneliti ini bertujuan untuk melihat hubungan antara 2
variabel, yaitu
antara hubungan body shaming dengan interaksi sosial teman
sebaya.
Pengukuran dalam korelasi ini digunakan untuk mengetahui
tingkat
hubungan antara variabel-variabel yang berbeda dalam suatu
populasi.
Pengukuran dalam korelasi ini digunakan untuk menemukan besarnya
arah
hubungan antara satu variabel dengan variabel lain.
39
Subjek dalam penelitian ini adalah sekelompok yang dapat
memberikan informasi, yaitu siswa SMKN 7 Tangerang Selatan.
Objek
dalam penelitian ini adalah perlakuan body shaming yang diterima
dan
interaksi sosial siswa di SMKN 7 Tangerang Selatan.
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Waktu, penelitian ini dilaksankan dari bulan Oktober 2019
sampai
dengan Februari 2020. Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di
SMKN
7 Tangerang Selatan yang berlokasi di Ciputat. Alasan pemilihan
lokasi
karena di lokasi tersebut pernah terjadi kasus perundungan yang
berawal
dari body shaming kemudian diperparah dengan adanya kekerasan
fisik.
3. Populasi dan Sampel
objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi
syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian
(Bambang
Prasetyo, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa
kelas XII SMKN 7 Tangerang Selatan yang berjumlah 160 siswa.
b. Sampel
penelitian. Penelitian ini menggunakan Probability Sampling
yaitu
teknik pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang
sama
bagi seluruh anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota
sampel.
40
rumus Slovin sebagai berikut.
Berdasarkan rumus di atas maka peneliti menghitung sampel
dengan
tingkat kesalahan 5% maka dari populasi 160 siswa kelas XII SMKN
7
Tangerang Selatan diperoleh sampel sebanyak 115 siswa baik
laki-laki dan
perempuan. Dengan perhitungan sampel sebagai berikut:
C. Metode Pengumpulan Data
penelitian ini, peneliti melakukan kegiatan penelitian yang
bersumber dari:
1. Penelitian kepustakaan (library research). Metode ini digunakan
untuk
mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan teori yang
dibahas
41
sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
2. Penelitian lapangan (field research). Dalam melakukan
pengamatan
lapangan peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian untuk
memperoleh data yang obyektif berdasarkan kebenaran yang terjadi
di
lapangan. Dalam hal ini peneliti menggunakan kuesioner.
Kuesioner
adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberi
seperangkat pertanyaan atau pernyataan penulis kepada
responden
untuk menjawabnya (Sugiyono, 2010).
variabel sebagai atribut seseorang atau subjek yang mempunyai
“variasi”
antara satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan objek
lain. Dalam
penelitian ini terdapat dua variabel yaitu:
1. Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi
atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
terikat. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel
independen
(variabel bebas) adalah body shaming.
2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadi akibat karena variabel bebas. Pada penelitian ini
yang
menjadi variabel dependen (variabel terikat) adalah interaksi
sosial
teman sebaya .
1. Body Shaming
a. Definisi Konseptual
atau membandingkan fisik orang lain maupun dirinya sendiri
yang
menimbulkan perasaan bahwa tubuhnya tidak sesuai dengan yang
diharapkannya.
b. Definisi Operasional
Skor total dari skala body shaming yang terdiri dari aspek
yaitu
mengomentari dan membandingkan diri sendiri, mengomentari
penampilan orang lain (didepan orang tersebut), mengomentari
fisik
dan membandingkan fisik orang lain (dibelakang orang
tersebut).
2. Interaksi Sosial
a. Definisi Konseptual
yang saling mempengaruhi atau mengubah, baik secara tindakan
maupun pikiran individu yang lain atau sebaliknya.
b. Definisi Operasional
Skor total dari interaksi sosial teman sebaya yang didasarkan
pada
aspek-aspek interaksi sosial yaitu membina hubungan yang baik
dengan teman, saling menghargai dan menerima, saling bertukar
Body Shaming
( Variabel X )
Interaksi Sosial
( Variabel Y )
kasih sayang.
F. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan dibahas yaitu
body
shaming dan interaksi sosial teman sebaya. Oleh karena itu terdapat
dua
instrumen yang digunakan yaitu instrumen body shaming dan
instrumen
interaksi sosial teman sebaya. Yang dimana kedua instrumen
tersebut
dikembangkan berdasarkan skala Likert. Skala Likert digunakan
untuk
mengukur sikap, persepsi, dan pendapat seseorang atau sekelompok
orang
mengenai fenomena sosial. Maka peneliti membuat alternatif jawaban
yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah Selalu (SL), Sering (S),
Kadang-
kadang (KD), Jarang (J), Tidak Pernah (TP),
Tabel 3.2 Skala Likert
sebelu melakukan penyusunan angket. Kisi-kisi instrumen dilakukan
sebagai
pedoman peneliti dalam membuat atau menyusun angket agar
penyusunan
angket dapat berjalan dengan tujuan penelitian yang sedang
dilakukan.
44
sebagai berikut:
Aspek Indikator Item
Jumlah Favo Unfavo
Membandingan
fisik
pada fisik
11,12, 13
14,15,1 6
Aspek Indikator Item Juml
3. Penyesuaian diri remaja 5 6
Saling bertukar
8
Saling
menghargai
8 2. Berbicara sopan ketika
berhadapan dengan teman 25 26
46
kevalidan atau kesahihan suatu instrument, uji validitas dilakukan
setiap
butir soal. Hasilnya dibandingkan dengan r table | df = n k dengan
margin
= ∑
√{ ∑ ∑ ∑ ∑ }
dahulu oleh para ahli untuk melihat kesesuaian antara item-item
pernyataan.
Dalam penelitian ini para ahli yang diminta pendapatnya yaitu Bpk
Ismet
Firdaus selaku dosen Kesejahteraan Sosial. Berdasarkan hasil dari
uji ahli
skala body shaming menerangkan bahwa pernyataan yang kurang
jelas
kalimatnya bisa diperbaiki, jangan sampai ketika membaca
pernyataan
responden berpikir apa maksud dari pernyataan tersebut. Karena
pernyataan
yang tepat itu yang bisa langsung dimengerti oleh responden
tanpa
menimbulkan pertanyaan. Selanjutnya hasil pertimbangan uji ahli
tersebut
dijadikan landasan dalam penyempurnaan instrument yang disusun
oleh
penulis.
47
No Butir Keterangan
Uji validitas skala body shaming menggunakan pearson product
moment
pada 26 item soal yang diujikan, diperoleh hasil bahwa seluruh item
soal
48
memiliki nilai r > 0.176 maka dapat diambil kesimpulan seluruh
item soal
valid.
No Butir Keterangan
Uji validitas pada skala interaksi sosial teman sebaya
menggunakan
pearson product moment pada 30 item soal yang diujikan, diperoleh
hasil
49
bahwa seluruh item soal memiliki nilai r > 0.176 maka dapat
diambil
kesimpulan seluruh item soal valid.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah untuk sejauh mana hasil pengukuran tetap
konsisten,
apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala
yang sama
dengan menggunakan alat pengukur yang sama pula. Sedangkan
reliabilitas
instrument menunjuk pada suatu pengertian bahwa adanya konsistensi
dan
stabilitas nilai hasil skala pengukuran tertentu. Jika nilai
Croncbach Alpha’s
> 0.60 disebut reliabel.
skor Alpha sebesar 0,918. Item-item kuesioner dikatakan reliabel
apabila
nilai Alpha Cronbach dari setiap item lebih besar dari nilai .
Sehingga
skor yang diperoleh dapat dikatakan reliabel dengan taraf
signifikansi 0,05.
Berikut ini hasil perhitungan uji reliabilitas:
Tabel 3.7 Hasil Uji Reliabilitas Body Shaming
Dari gambar output di atas, diketahui bahwa nilai Alpha sebesar
0,918
kemudian nilai ini dibandingkan dengan dengan nilai N= 115
dilihat
pada distribusi nilai signifikansi 5% diperoleh nilai 0,176.
Kesimpulannya nilai Alpha = 0,918 > = 0,176 artinya item-item
dari
variabel body shaming dikatakan reliabel atau terpercaya sebagai
alat ukur
pengumpulan data dalam penelitian.
Tabel 3.8 Hasil Uji Reliabilitas Interaksi Sosial Teman
Sebaya
Dari gambar output di atas, diketahui bahwa nilai Alpha sebesar
0,923
kemudian nilai ini dibandingkan dengan dengan nilai N= 115
dilihat
pada distribusi nilai signifikansi 5% diperoleh nilai 0,176.
Kesimpulannya nilai Alpha = 0,923 > = 0,176 artinya item-item
dari
variabel interaksi sosial teman sebaya dikatakan reliabel atau
terpercaya
sebagai alat ukur pengumpulan data dalam penelitian.
I. Teknik Analisis Data
Analisis unit ini merupakan analisis yang digunakan untuk
mengetahui
nilai mean, median, modus, nilai maksimal dan nilai minimal dari
masing
masing variabel yang diteliti. Untuk lebih jelasnya dapat
dikemukakan
sebagai berikut:
a. Mean
nilai rata-rata dari kelompok tersebut. Nilai mean dapat dicari
dengan
rumus:
= ∑
Keterangan :
= Jumlah frekuensi atau sampel
didasarkan atas nilai tengah dari kelompok data yang telah
disusun
urutanya dari yang terkecil hingga yang terbesar. Rumus yang
digunakan
adalah:
p = Panjang kelas interval
F = Jumlah semua frekuensi sebelum kelas median
f = frekuensi kelas median (Hardi, 2014:48)
c. Modus
Modus merupakan teknik penjelasan kelompok yang didasarkan
atas
nilai yang sedang popular (yang sedang menjadi mode) atau nilai
yang
sering muncul dalam kelompok tersebut. Rumus yang digunakan
adalah:
= + (
1 = Frekuensi pada kelas modus (frekuensi pada interval yang
terbanyak) dikurangi frekuensi kelas interval terdekat
sebelumnya.
berikutnya
menjelaskan homogenitas dalam suatu kelompok. Rumus yang
digunakan adalah:
berdistribusi normal atau tidak. Uji ini perlu dilakukan karena
semua
perhitungan statistik parametric memiliki asumsi normalitas
sebaran
(Santoso, 2010). Jika nilai p > 0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa
hipotesis nol diterima. Hal ini berarti data yang di uji memiliki
distribusi
yang tidak berbeda dengan data yang normal, atau data yang
diuji
memiliki distribusi normal. Sebaliknya, jika nilai p < 0,05 maka
hipotesis
nol ditolak. Hal ini berarti data yang diuji memiliki distribusi
yang
berbeda dari data normal.
korelasi sederhana untuk mengetahui apakah antara variabel X dan
Y
bebas mempunyai hubungan linear dengan taraf signifakansi 0,05.
Dua
variabel dikatakan mempunyai hubungan yang linear bila
signifikansinya
kurang dari 0,05.
Uji linearitas yang dilakukan dengan bantuan SPSS 22 untuk
menguji
linearitas antara variabel body shaming dan interaksi sosial teman
sebaya,
berdasarkan hasil perhitungan pada output tabel anova diketahui
bahwa
nilai sig linearity sebesar 0,000 < 0,05 sehingga dapat
disimpulkan
bahwa antara variabel body shaming dan interaksi sosial teman
sebaya
terdapat hubungan yang linear.
analisis product moment, rumus yang di gunakan yaitu:
= ∑
√{ ∑ ∑ ∑ ∑ }
N = Jumlah individu dalam sampel
∑ = Jumlah skor variabel X
∑ = Jumlah skor variabel Y
∑ = Kuadrat dari skor variabel X
∑ = Kuadrat dari skor variabel Y
Untuk mengetahui harga signifikan atau tidak, maka
dikonsultasikan dengan r tabel. Dikatakan signifikan apabila
lebih
besar dari r tabel dengan signifikansi 5%. Jika nilai >
maka
terdapat korelasi yang signifikan. Berarti terdapat hubungan
antara
variabel X dengan variabel Y. Sebaliknya jika < maka
korelasinya tidak signifikan, berarti tidak terdapat hubungan
antara
variabel X dengan variabel Y.
55
Dalam penelitian ini akan disajikan data hasil penelitian yang
telah
dilaksanakan di SMKN 7 Tangerang Selatan. Responden pada penelitian
ini
dilakukan pada siswa yang duduk di bangku kelas XII tahun
ajaran
2019/2020 sebanyak 115 responden. Dimana komposisi responden
40
berjenis kelamin laki-laki dan 75 berjenis kelamin perempuan.
Tahap proses penyebaran kuesioner yang telah lakukan, peneliti
datang
terlebih dahulu menemui bagian humas di sekolah tersebut,
kemudian
meminta izin untuk melakukan penyebaran kuesioner. Terdapat 5
kelas
untuk siswa kelas XII, sehingga peneliti menyebar kuesioner ke
setiap kelas
secara random. Adapun perhitungan diperoleh data sebagai
berikut:
1. Body Shaming
Data body shaming diperoleh dari 26 item pernyataan yang telah
diuji
validitasnya. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 115
responden.
Hasil pengumpulan data body shaming diperoleh skor terendah 82
dan
skor tertinggi 128. Selanjutnya deskripsi ditampilkan pada tabel
berikut:
Tabel 4.1 Hasil Distribusi Frekuensi Body Shaming
Kategori Interval Frekuensi Presentase
Rendah 82-95 19 16,54%
Sedang 96-116 69 60%
Tinggi 117-128 27 23,46%
56
Dari tabel di atas dapat diketahui dari 115 responden yang
berpartisipasi
bahwa distribusi frekuensi body shaming siswa SMKN 7 Tangerang
Selatan
terdapat 19 siswa yang mendapat perlakuan body shaming yang
diterima
dengan kategori rendah, 69 siswa mendapat perlakuan body shaming
yang
diterima dengan kategori sedang, dan 27 siswa mendapat perlakuan
body
shaming yang diterima dengan kategori tinggi. Sehingga hal
tersebut
menunjukkan bahwa tingkat body shaming yang diterima paling
banyak
berada dalam kategori sedang. Maka dapat disimpulkan body shaming
di
SMKN 7 Tangerang Selatan yang menerima perlakuan body shaming
masuk
dalam kategori sedang. Selanjutnya dari data distibusi frekuensi
tersebut
dapat digambarkan dalam grafik berikut ini:
Adapun untuk presentase body shaming siswa SMKN 7 Tangerang
Selatan tahun ajaran 2019/2020 dalam kategori rendah sebanyak
16,54%, sedang 60%, dan kategori tinggi sebanyak 23,46%.
Presentase tersebut dapat dilihat dalam diagram berikut ini:
Adapun untuk presentase perlakuan body shaming yang diterima
siswa SMKN 7 Tangerang Selatan dalam kategori rendah sebanyak
16,54%, dalam kategori sedang sebanyak 60%, dan dalam kategori
tinggi
sebanyak 23,46%. Presentase tersebut dapat dilihat dalam
diagram
berikut ini:
yang digunakan untuk mengetahui hubungan body shaming dengan
interaksi sosial teman sebaya siswa SMKN 7 Tangerang Selatan.
2. Interaksi Sosial Teman Sebaya
Data interaksi sosial teman sebaya diperoleh dari 30 item
pernyataan
yang telah diuji validitasnya. Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 115
responden. Hasil pengumpulan data interaksi sosial diperoleh
skor
terendah 96 dan skor tertinggi 147. Selanjutnya deskripsi
ditampilkan
pada tabel berikut:
Kategori Interval Frekuensi Presentase
Rendah 96-108 22 19,16%
Sedang 109-134 73 63,46%
Tinggi 135-147 20 17,38%
Jumlah 115 100%
Dari tabel di atas dapat diketahui dari 115 responden bahwa
interaksi
sosial teman sebaya siswa SMKN 7 Tangerang Selatan dalam
kategori
rendah terdapat 22 siswa, dalam kategori sedang terdapat 73 siswa,
dan
dalam kategori tinggi terdapat 20 siswa. Sehingga hal
tersebut
menunjukkan bahwa interaksi sosial teman sebaya paling banyak
berada
dalam kategori sedang. Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi
sosial
teman sebaya di SMKN 7 Tangerang Selatan berada dalam
kategori
sedang. Selanjutnya dari data distibusi frekuensi tersebut
dapat
digambarkan dalam grafik berikut:
diagram berikut ini:
yang digunakan untuk mengetahui hubungan body shaming dengan
interaksi sosial teman sebaya siswa kelas XII SMKN 7
Tangerang
Selatan.
rata/mean, median, modus, dan standar deviasi. Setelah
melakukan
perhitungan, maka diperoleh hasil analisis unit untuk body
shaming
dengan skor mean = 106.9739, median = 106,5869, modus
=106,913,
19.16%
64.36%
17.38%
bahwa tingkat body shaming yang diterima di SMKN 7 Tangering
Selatan dikategorikan sedang. Standar deviasi menjelakan
tentang
simpangan baku dari data body shaming.
b. Interaksi Sosial Teman Sebaya
Hasil dalam penelitian ini ditampilkan ditampilkan dalam
bentuk
skor rata-rata/mean, median, modus, dan standar deviasi.
Setelah
melakukan perhitungan, maka diperoleh hasil analisis unit
untuk
interaksi sosial teman sebaya yaitu dengan skor mean =
121,8435,
median = 121,1438, modus =121,25, dan standar deviasi =
12,796.
Dilihat dari hasil tersebut, menunjukkan bahwa interaksi sosial
teman
sebaya di SMKN 7 Tangering Selatan dikategorikan sedang.
Standar
deviasi menjelakan tentang simpangan baku dari data interaksi
sosial
teman sebaya.
Variabel Body Shaming Interaksi Sosial Teman
Sebaya
kriteria responden berdasarkan jenis kelamin antara lain:
Tabel 4.4 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa responden
terbanyak
yaitu berjenis kelamin perempuan sebanyak 75 responden atau
sebesar 65,3% dan responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak
40
responden atau sebesar 34,7%.
yang digunakan berasal dari populasi yang berdistribusi normal
atau
tidak. Dalam penelitian ini uji normalitas yang digunakan
peneliti
adalah uji kolmogorov-smirno dengan taraf signifikansi 0,05.
Data
dikatakan berdistribusi normal jika memperoleh nilai
signifikansi
lebih besar dari 0.05 maka asumsi normalitas terpenuhi. Hasil
uji
normalitas dapat dilihat pada tabel uouput sebagai berikut:
Identitas Subjek Frequensi Presentase
Berdasarkan output diatas diperoleh bahwa variabel body
shaming memperoleh nilai signifikansi sebesar 0.058 > 0.05 dan
pada
variabel interaksi sosial teman sebaya memperoleh nilai
signifikansi
sebesar 0.088 > 0.05, sehingga dapat diambil kesimpulan
bahwa
seluruh data yang diuji pada kedua variabel berdistribusi
normal.
b. Uji Linearitas
signifikan antara variabel X dan Y. Dalam penelitian uji
linearitas
yang digunakan peneliti adalah deviation of linearity dengan
taraf
signifikansi 0,05. Data dikatakan memiliki hubungan yang
linear
secara signifikan apabila memperoleh nilai signifikansi lebih
besar
dari 0.05. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
63
Berdasarkan output di atas pada deviation from linearity
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.392 > 0.05 maka dapat
dikatakan
bahwa terdapat hubungan linear signifikan antara body shaming
dan
interaksi sosial teman sebaya.
metode Pearson atau sering disebut Product Moment Person. Uji
Koefisien
Korelasi Pearson adalah uji statistik untuk menguji 2 variabel yang
berdata
rasio ataupun data yang berisi angka riil yaitu data sesungguhnya
yang
diambil langsung dari angka asli. Untuk mengetahui terdapat
hubungan atau
tidak dapat dilihat dari nilai signifikansi dan seberapa kuat
hubungan tersebut
dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi atau r. Nilai korelasi
(r) berkisar
antara 1 sampai -1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti
hubungan
antara dua variabel semakin kuat, sebaliknya nilai mendekati 0
berarti
hubungan antara dua variabel semakin lemah. Nilai positif
menunjukkan
hubungan searah (X naik maka Y naik) dan nilai negatif
menunjukkan
hubungan terbalik (X naik maka Y turun). Jika dilihat dari nilai
signifikansi,
kedua variabel kedua variabel yang diuji dikatakan memiliki
hubungan
apabila nilai signifikansi < 0.05 dan tidak terdapat hubungan
apabila nilai
signifikansi > 0.05. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 4.7 Hasil Uji Korelasi
Berdasarkan output uji korelasi di atas diperoleh nilai
signifikansi sebesar
0.000 < 0,05 sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
hubungan
signifikan antara body shaming dengan interaksi sosial teman sebaya
dengan
nilai korelasi sebesar 0,865. Selanjutnya untuk menentukan
hipotesis
diperoleh nilai = 0.865, 0,176 , maka diperoleh nilai
signifikansi 0,865 > 0,176. Maka Ha diterima dan Ho
ditolak,
berarti terdapat hubungan secara signifikan antara body shaming
dengan
interaksi sosial teman sebaya dan menunjukkan arah hubungan
negatif,
artinya semakin tinggi perlakuan body shaming yang diterima maka
semakin
rendah interaksi sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
terdapat
hubungan body shaming dengan interaksi sosial teman sebaya siswa
SMKN
7 Tangerang Selatan.
C. Pembahasan
Perilaku body shaming yang terjadi di SMKN 7 Tangerang Selatan
yaitu
berupa mengkritik tingkah laku, menghina fisik, dan membandingkan
fisik.
Korban. Hasil angket yang telah disebarkan kepada responden
menunjukkan
hasil bahwa mereka korban body shaming lebih memilih menyendiri
di
rumah daripada bermain bersama temannya, hal itu disebabkan
karena
mereka merasa tidak percaya diri. Bagi mereka korban body shaming
akan
merasa tersinggung dan malu ketika menjadi bahan ejekan dan
ditertawakan
oleh teman-temannya, hal ini sesuai dengan jawaban responden yang
banyak
menjawab sering pada angket yang telah diberikan kepada
responden.
Adapun perbedaan antara siswa laki-laki dan perempuan dalam
menyikapi perlakukan body shaming. Siswa laki-laki ketika
mendapatkan
perlakuan body shaming, mereka cenderung menganggap bahwa hinaan
fisik
hanya sebagai candaan saja hal ini didasarkan pada jawaban mereka
yang
lebih banyak memilih jarang. Sedangkan siswa perempuan cenderung
merasa
sakit hati ketika mendapat perlakukan body shaming terbukti dari
jawaban
mereka yang banyak memilih sering, hal ini didasarkan pada
jawaban
responden nomor 11 dan 16 terkait dengan angket body shaming.
Namun, di
sisi lain siswa perempuan ketika mendapat perlakuan body shaming
mereka
tidak akan membalas, mereka lebih memilih untuk diam. Sedangkan
siswa
laki-laki mereka memberikan perlawanan dengan cara balas mengejek
si
pelaku body shaming.
Dari hasil pengolahan data interaksi sosial teman sebaya dalam
indikator
memperkenalkan diri dan menyapa teman ketika bertemu mendapatkan
nilai
rendah, kebanyakan responden memberi jawaban bahwa mereka tidak
pernah
bercerita atau curhat masalah mereka kepada teman, lebih baik
mereka
menyimpannya sendiri. Kemudian ketika bertemu di jalan mereka
jarang
66
menyapa temannya, hal ini terlihat banyaknya jawaban jarang dan
kadang-
kadang, mereka lebih memilih membuang muka dan menghindar
saat
bertemu dengan temannya. Kemudian dalam indikator memaafkan
teman
mendapatkan nilai tinggi, artinya responden akan memaafkan
temannya
meskipun pernah membuat kesalahan kepada dirinya.
71
yang telah diuraikan mengenai hubungan body shaming dengan
interaksi
sosial teman sebaya di SMKN 7 Tangerang Selatan, maka dapat
disimpulkan
berikut ini:
interaksi sosial teman sebaya pada siswa SMKN 7 Tangerang
Selatan
diperoleh hasil Diperoleh hasil (0,865) > (1,765) maka
diterima dan ditolak yang berarti ada hubungan yang
signifikan antara body shaming dengan interaksi sosial teman
sebaya
dan menunjukkan arah hubungan negatif yaitu semakin tinggi
body
shaming yang diterima maka semakin rendah interaksi sosial.
Jadi
body shaming memberi sumbangan kepada interaksi sosial teman
sebaya sebesar 0,865. Menurut tabel koefisien korelasi 0,865
berarti
pengaruhnya sangat kuat terhadap interaksi sosial teman
sebaya.
2. Tingkat body shaming di SMKN 7 Tangerang selatan hasil
menunjukkan bahwa body shaming yang dialami siswa berada
dalam
kategori sedang dengan presentase 60% dari total sampel 115
siswa,
artinya cukup banyak siswa yang mendapat perlakuan body
shaming
dari teman sebayanya. Berarti secara umum kondisi ini
72
untuk mengejek temannya dan akan terus dilakukan jika tidak
ada
kontrol dari pihak sekolah. Perlakuan body shaming yang
diterima
umumnya seperti menerima kritik tingkah laku, mendapat hinaan
mengenai fisik dan dijadikan bahan ledekan, digosipkan, dan
membandingkan fisik dengan orang lain.
3. Tingkat interaksi sosial pada siswa SMKN 7 Tangerang
Selatan
berada dalam kategori sedang dengan presentase 64,36% dari
total
sampel 115 siswa. Hal ini berarti bahwa secara umum siswa
telah
mampu menjalin suatu interaksi sosial yang cukup baik.
B. Saran
mengemukakan beberapa saran yaitu:
terhadap permasalahan body shaming, dapat memahami resiko
yang ditimbulkan dari perlakuan body shaming, sehingga tidak
lagi menganggap body shaming adalah hal yang spele dan tidak
menjadikan suatu kebiasaan yang mudah dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari.
terhindar dari perilaku mengejek atau menghina, memberikan
kesadaran dan bimbingan kepada semua siswa bahwa setiap
manusia itu unik mempunyai kelebihan dan kekurangannya
masing-masing, belajar untuk menghargai orang lain maupun
diri
sendiri.
2. Untuk responden yang pernah mengalami body shaming lebih
baik
melihat potensi apa yang bisa dilakukan oleh diri sendiri dan
berhenti
membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang justru akan
membuat lebih tidak percaya diri.
3. Saran Praktis
jenis kelamin dan usia. Kemudian dapat memperdalam alat ukur
dengan interview. Karena sekarang ini body shaming sedang
manjadi
suatu permasalahan yang krusial di masyarakat, sehingga
diharapkan
melakukan penelitian dengan faktor-faktor lain yang
dimungkinkan
berpengaruh lebih besar terhadap individu yang mengalami body
shaming.
74
(Perkembangan Peserta Didik). Jakarta: Bumi Aksara.
Azwar, S. (2005). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Bambang, Prasetyo dan Lina Miftahul. (2006). Metode Penelitian
Kuantitatif
Teori dan Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Budiargo, D. (2015). Berkomunukasi ala Net Generation. Jakarta: PT.
Elex
Media Komputindo Kompas Gramedia.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung:
PT
Remaja.
Doleza, l. L. (2015). The Body and Shame, Phenomonology, Feminism,
and
The Socially Shame Body. London: Lexington Book.
Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Janu, M. (2007). Sosiologi: Memahami dan Mengkaji Masyarakat.
Bandung:
Grafindo Media Pratama.
Kountur, R. (2009). Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan
Tesis.
Jakarta: Manajemen PPM.
Gajah Mada.
Santrock, J