56
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen (O 2 ) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO 2 ) dari tubuh. Fungsi respirasi merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O 2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO 2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh. Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO 2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO 2 ) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO 2 ) > 45 mmHg. Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas 1

Gagal Nafas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gagal nafas

Citation preview

Page 1: Gagal Nafas

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan

lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen

(O2) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi

merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O2 merupakan sumber tenaga

bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan

bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh.

Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan

pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan

kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem

pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO2 dan

oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) <

60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg.

Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal

napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg

dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan

PaCO2 > 45 mmHg. Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal

napas akut dan gagal napas kronik.

Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan

neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan

penangan yang cepat dan tepat. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas

akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi

1

Page 2: Gagal Nafas

jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari

gagal nafas tersebut.

1.2 TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum :

a. Untuk memahami lebih jauh tentang fisiologi pernapasan.

b. Untuk memahami lebih jauh tentang definisi, patofisiologi, gambaran klinis,

etiologi, diagnosis serta tatalaksana gagal napas.

2. Tujuan Khusus :

Untuk menyelesaikan referat dari kepaniteraan klinik Anestesi di SMF Ilmu

Bedah RSUD Dr. Mohammad Saleh, Probolinggo.

2

Page 3: Gagal Nafas

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI PERNAPASAN

Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan Oksigen

(O2) bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini,

pernapasan dapat dibagi menjadi empat peristiwa fungsional pertama, yaitu: (1)

ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli

paru; (2) difusi O2 dan karbon dioksida antara alveoli dan darah; (3) transport O2

dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel dan (4)

pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan.

A.1. Ventilasi

Ventilasi Paru

Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh ke

alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli-alveoli. Proses ini terdiri

dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi. Paru-paru dapat dikembang kempiskan

melalui dua cara, yaitu diafragma naik turun untuk memperbesar atau memperkecil

rongga dada, dan (2) depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau

memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Selama inspirasi, kontraksi

diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian selama

ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat elastis daya lenting paru

(elastic recoil), dinding dada, dan struktur abdominal akan menekan paru-paru.

Selama inspirasi otot yang paling membantu adalah otot interkostalis eksterna, otot

lain yang membantu adalah otot sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum

ke atas, otot serratus anterior yang mengangkat sebagian besar iga, dan otot

skalenus yang mengangkat dua iga pertama. Sedangkan otot-otot yang berperan saat

ekspirasi adalah otot rektus abdominis dan otot interkostalis interna. Kontraksi otot

3

Page 4: Gagal Nafas

inspirasi memerlukan energi, jadi inspirasi adalah proses aktif, tetapi ekspirasi

adalah proses pasif pada bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan

elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energi.

Inspirasi

Terjadi bila tekanan intrapulmonal (intra alveolar) lebih rendah dari tekanan

udara luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan dapat berkisar antara -1mmHg

sampai dengan -3mmHg. Pada saat inspirasi dalam tekanan intra alveolar

dapat mencapai -30mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonar pada waktu

inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga thorax karena

berkontraksinya otot-otot inspirasi.

Proses inspirasi:

Kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna Volume thorax

membesar Tekanan Intra pleura menurun Paru mengembang

Tekanan intra alveolar menurun Udara masuk ke dalam paru

Ekspirasi

Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada tekanan udara luar

sehingga udara bergerak keluar paru. Tekanan intrapulmonar meningkat bila

volume rongga paru mengecil yang terjadi saat otot-otot inspirasi

berelaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intraalveolar berkisar antara

+1mmHg sampai +3mmHg

Proses ekspirasi:

Otot inspirasi relaksasi volume thorax mengecil tekanan intrapleura

meningkat volume paru mengecil tekanan intra alveolar meningkat

udara bergerak keluar paru.

Tekanan Intrapleura

Adalah tekanan di dalam rongga pleura (antara pleura parietalis dan pleura

viseralis). Dalam keadaan normal ruang ini hampa udara dan mempunyai

tekanan negatif kurang lebih -4mmHg dibandingkan dengan tekanan

intraalveolar.

4

Page 5: Gagal Nafas

Volume Pernapasan semenit

Adalah jumlah total udara baru yang masuk ke dalam saluran pernapasan

tiap menit, dan ini sesuai dengan volume alun napas (volume Tidal/VT)

dikalikan dengan frekuensi pernapasan. VT normal kira-kira 500ml dan

frekuensi pernapasan normal kira-kira 12 kali permenit. Oleh karena itu,

volume pernapasan semenit rata-rata sekitar 6 liter/menit

Ventilasi Alveolar (VA)

Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena O2 pada tingkat

alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya ventilasi

alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk atau keluar paru,

laju napas, udara dalam jalan napas serta keadaan metabolik. Banyaknya udara

masuk atau keluar paru dalam setiap kali bernapas disebut sebagai Volume Tidal

(VT) yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai VT normal pada orang

dewasa berkisar 500 – 700 ml. Volume napas yang berada di jalan napas dan tidak

ikut dalam pertukaran gas disebut sebagai Dead Space (VD) atau Ruang Rugi

dengan nilai normal sekitar 150 – 180 ml yang terbagi atas tiga yaitu : (1) Anatomic

Dead Space, (2) Alveolar Dead Space, (3) Physiologic Dead Space.

Anatomic Dead Space yaitu volume napas yang berada di dalam mulut, hidung

dan jalan napas yang tidak terlibat dalam pertukaran gas. Alveolar Dead Space

yaitu volume napas yang telah berada di alveoli, akan tetapi tidak terjadi pertukaran

gas yang dapat disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai darah. Dan

atau udara yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada aliran darah

pada alveoli tersebut.

Ventilasi alveolus setiap menit adalah volume total udara yang masuk dalam

alveoli (dan daerah pertukaran gas yang berdekatan lainnya) setiap menit. Ini sama

dengan frekuensi napas dikalikan dengan jumlah udara baru yang memasuki alveoli

setiap kali bernapas:

VA = (VT – VD) x RR

5

Page 6: Gagal Nafas

Gambar 1. Proses pertukaran gas di alveolus

VA: Ventilasi Alveolar

VT: Volume Tidal

VD: Volume dead space/ ruang rugi

RR: Respiration Rate

Pada orang sehat tekanan CO2 (PaCO2) normal dipertahankan kurang lebih

40mmHg dengan mengatur VA melalui proses regulasi ventilasi. Hiperventilasi

alveolar adalah VA yang diperlukan untuk kebutuhan metabolisme tubuh dan

direfleksikan dengan PaCO2 kurang dari 40mmHg, sedangkan hipoventilasi alveolar

adalah VA yang diperlukan untuk metabolism tubuh dengan PaCO2 lebih dari

40mmHg.

A.2. Difusi (Pertukaran Gas Paru)

Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar,

langkah selanjutnya dalam proses pernapasan adalah

difusi O2 dari alveoli ke pembuluh darah paru dan

difusi karbondioksida dari arah sebaliknya melalui

membrane tipis antara alveolus dan kapiler. Pada

paru normal kurang lebih dua pertiga udara

pernapasan sampai di alveoli untuk mengadakan

pertukaran gas. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh 4

faktor utama:

1. Karakteristik gas, perbedaan tekanan parsial antar

gas di alveoli dan di dalam plasma.

2. Jarak yang harus dilalui proses difusi

- Variable membrane dinding alveolar dan

kapiler

- Ketebalan jaringan

- Permukaan area

- Sifat membrane dan koefisien difusi gas,

kelarutan gas, sifat fisikokimia

6

Page 7: Gagal Nafas

3. Konsentrasi eritrosit di kapiler bed dan volume rata-rata di dalam kapiler.

4. Kecepatan uptake gas oleh kapiler darah normal atau rata-rata eritrosit atau

volume kapiler/mmHg

Terjadinya difusi O2 dan CO2 ini karena adanya perbedaan tekan parsial.

Tekanan udara luar sebesar 1 atm (760 mmHg), sedangkan tekanan parsial O2 di

paru-paru ±760 mmHg. Tekanan parsial pada kapiler darah arteri ±100 mmHg, dan

di vena ± 40mmHg. Hal ini menyebabkan O2 berdifusi dari udara ke dalam darah.

Sementara itu, tekanan parsial CO2 dalam vena ±47 mmHg, tekan parsial CO2 dalam

arteri ±41 mmHg dan tekan parsial dalam alveolus ±40mmHg. Oleh karena itu CO2

berdifusi dari darah ke alveolus.

Difusi netto O2 mula-mula terjadi antara alveolus dan darah, kemudian antara

darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang tercipta oleh pemakian

terus menerus O2 oleh sel-sel dan pemasukan teru-menerus O2 segar melalui

ventilasi. Difusi netto CO2 terjadi dalam arah yang berlawanan, pertama-tama antara

jaringan dan darah, kemudian antara darah dan alveolus, akibat gradien tekanan

parsial CO2 yang tercipta oleh produksi terus-menerus CO2 oleh sel dan pengeluaran

terus-menerus CO2 alveolus oleh proses ventilasi.

A.3. Transport O2 dan Karbondioksida

Bila O2 telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, O2 terutama

ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan, dimana

O2 dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin di dalam sel darah

merah memungkinkan darah untuk mengangkut 30-100 kali jumlah O2 yang dapat

ditranspor dalam bentuk O2 terlarut di dalam cairan darah (plasma). Dalam sel

jaringan, O2 bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah

besar karbondioksida (CO2). CO2 masuk ke dalam kapiler jaringan dan ditranspor

kembali ke paru-paru

Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu (1) secara fisik

larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% (2) secara kimiawi berikatan dengan

7

Page 8: Gagal Nafas

hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira sebesar 97% O2 ditranspor

melalui cara ini.

Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible, dan jumlah sesungguhnya

yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan

parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara

fisik larut dalam plasma darah.

Jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai hubungan

langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2). Jumlah O2 juga

bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Cara transport seperti ini tidak

memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam keadaan istirahat

sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat dalam sel darah

merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya keracunan karbon monoksida atau

hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk mempertahankan

hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O2

bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik).

Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan

berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan

yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar

75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk

darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan

untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat jaringan

disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna

kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan

menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri.

Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara.

Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O2, CO2

mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada

Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut

dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi

berikut ini :

8

Page 9: Gagal Nafas

CO2 + H2O ↔ H2CO3↔ H+ + HCO3-

Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-karbonat.

Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan

homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam keadaan

kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan alkalosis (peningkatan pH

darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi CO2 berlebihan dari paru;

hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat memenuhi kebutuhan

metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi CO2 oleh paru. Penurunan PCO2

seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi bergeser ke kiri

sehingga menyebabkan penurungan konsentrasi H+(kenaikan pH), dan peningkatan

PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+

(penurunan pH).

Kurva Dissosiasi Oksi-Hemoglobin

Untuk dapat memahami kapasitas angkut O2 dengan jelas harus diketahui

afinitas Hb terhadap O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun pengambilan O2

oleh paru sangat bergantung pada hubungan tersebut. Jika darah lengkap dipajankan

terhadap berbagai tekanan parsial O2 dan persentase kejenuhan Hb diukur, maka

didapatkan kurva berbentuk huruf S bila kedua pengukuran tersebut digabungkan.

Kurva ini dikenal dengan nama kurva disosiasi oksihemoglobin yang menyatakan

afinitas Hb terhadap O2 pada berbagai tekanan parsial. Pada kurva ini, bagian

atasnya mendatar dan dikenal sebagai arteri, dan bagian yang lebih ke bawah

berbentuk curam dan dikenal sebagai bagian vena. Kurva ini menunjukkan saturasi

O2 akan mencapai 100% saat tekanan parsial O2 (PO2) 100 mmHg. Hal ini

menunjukkan bahwa tekanan oksigen sangat penting untuk tercapainya saturasi

oksigen yang baik.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi afinitas oksihemoglobin

dan akan menggeser kurva dissosiasi oksihemoglobin ke kanan dan ke kiri, faktor-

faktor tersebut dapat dilihat pada table berikut:

9

Page 10: Gagal Nafas

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin (HbO2)

Kurva disosiasi HbO2

Pergeseran ke kiri

(P50 menurun)

Pergeseran ke kanan

(P50 meningkat)

pH ↑ pH ↓

PCO2 ↓ PCO2 ↑

Suhu ↓ Suhu ↑

2,3 DPG ↓ 2,3 DPG ↑

P50 = tegangan oksigen dibutuhkan untuk menghasilka kejenuhan 50%

Gambar 2. Kurva dissosiasi

oksihemoglobin

Kurva bergeser ke kanan apabila pH darah menurun atau PCO2 meningkat.

Dalam keadaan ini, pada PO2 tertentu afinitas Hb terhadap O2 berkurang, sehingga

O2 yang dapat diangkut oleh darah berkurang. Keadaan patologis yang dapat

menyebabkan asidosis metabolic, seperti syok (pembentukan asam laktat berlebihan

akibat metabolisme anaerobic) atau retensi CO2 (seperti yang ditemukan pada

banyak penyakit paru) akan menyebabkan pergeseran kurva ke kanan. Pergeseran

kurva sedikit ke kanan seperti pada bagian vena kurva normal (pH 7,38) akan

10

Page 11: Gagal Nafas

membantu pelepasan O2 ke jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama efek Bohr.

Faktor lain yang menyebabkan pergeseran kurva ke kanan adalah peningkatan suhu

dan 2,3 difosfogliserat (2,3-DPG) yaitu fosfat organic dalam sel darah merah yang

mengikat Hb dan mengurangi afinitas Hb terhadap O2. Pada anemia dan hipoksemia

kronik, 2,3-DPG sel darah merah meningkat. Meskipun kemampuan transport O2

oleh Hb menurun bila kurva bergeser ke kanan, namun kemampuan Hb untuk

melepaskan O2 ke jaringan dipermudah. Karena itu, pada anemia dan hipoksemia

kronik pergeseran kurva ke kanan merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva

ke kanan yang disertai kenaikan suhu, selain menggambarkan adanya kenaikan

metabolisme sel dan peningkatan kebutuhan O2, juga merupakan proses adaptasi

dan menyebabkan lebih banyak O2 yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah.

Kurva disosiasi oksihemoglobin bergeseer ke kiri apabila terdapat peningkatan

pH darah (alkalosis) atau penurunan PCO2, suhu, dan 2,3-DPG. Pergeseran ke kiri

menyebabkan peningkatan afinitas Hb terhadap O2. Akibatnya ambilan O2 paru

meningkat pada pergeseran ke kiri, namun pelepasan ke jaringan terganggu. Karena

itu secara teoritis dapat terjadi hipoksia (insufisiensi O2 jaringan guna memenuhi

kebutuhan metabolisme) pada keadaan alkalosis berat, terutama bila disertai

dengan hipoksemia. Keadaan ini terjadi selama proses mekanisme overventilasi

dengan respirator atau pada tempat yang tinggi akibat hiperventilasi. Karena

hiperventilasi juga diketahui dapat menurunkan aliran darah serebral karena

penurunan PaCO2, iskemia serebral juga bertanggung jawab atas gejala berkunang-

kunang yang sering terjadi pada kondisi demikian. Darah yang disimpan akan

kehilangan aktifitas 2,3-DPG, sehingga afinitas Hb terhadap O2 akan meningkat.

Oleh karena itu, pasien yang menerima transfuse darah yang disimpan dalam jumlah

banyak kemungkinan akan mengalami gangguan pelepasan O2 ke jaringan karena

adanya pergeseran kurva disosiasi HbO2 ke kiri.

A.4. Pengaturan Ventilasi

11

Page 12: Gagal Nafas

Tujuan kontrol ventilasi adalah untuk menjaga homeostasis tekanan parsial

oksigen dan karbondioksida arterial (PaO2 dan PaCO2) serta PH. Tiga unsur dasar

pengaturan ventilasi adalah:

1. Sensor (sentral maupun perifer) yang menerima informasi dan

mengirimkan melalui serabut saraf afferent ke pusat kontrol di otak

2. Pusat kontrol, di otak memproses informasi dan mengirim impuls ke

effektor

3. Effektor (otot-otot pernapasan) sehingga timbul ventilasi.

Skema regulasi ventilasi:

Tidak seperti peacemaker jantung, peacemaker pernapasan tidak dijumpai di

paru tetapi terletak di medulla batang otak, yang terdiri dari beberapa komponen

dan subsentral yang berinteraksi sehingga menghasilkan napas yang ritmik. Output

dari central pernapasan ini ditransmisikan melalui nn.phrenicus ke diafragma dan

melalui saraf-saraf lain ke otot-otot pernapasan. Output dari central ini dipengaruhi

oleh sentra yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi mekanik maupun kemis.

Proses autonomic normal dari pernapasan mula-mula berasal dari batang otak.

Korteks bisa mengambil alih kontrol ventilasi jika diperlukan (kontrol volunteer).

Input dari bagian otak yang lain dapat terjadi pada kondisi tertentu.

12

Central Control

Sensor Effector

Pons, medulla, other parts

input output

Chemoreceptors, lung, and other receptors

Respiratory muscle

Page 13: Gagal Nafas

1. Pusat Pernapasan

Ada tiga kelompok utama neuron pengatur pernapasan di batang otak yaitu:

a. Medullary Respiratory Centre

Pusat ini terletak di reticulum formatio medulla, terdiri dari dua bagian,

yaitu:

- Inspiratory area: sel-sel neuron terletak di region dorsalis medulla yaitu

nucleus ductus solitaries, bertanggung jawab pada pengaturan ritme

ventilasi.

- Expiratory area: sel-sel neuron terletak di region anterior medulla (nucleus

ambiguous dan nucleus retroambiguous). Nuclei ini tidak aktif pada

pernapasan normal, karena ventilasi dicapai dengan kontraksi otot-otot

inspirasi (terutama diafragma) diikuti relaksasi pasif sampai terjadi

keseimbangan. Pada k ponsondisi tertentu (misalnya olah raga) ekspirasi

akan aktif sebagai aktifitas sel-sel ekspirasi.

- Apneustic centre: terletak di bagian bawah pons. Akibat aktifitas impuls

dari bagian ini, akan berakibat perpanjangan waktu inspirasi. Pada kondisis

normal kerja apneustic centre pada manusia tidak diketahui, namun pada

trauma otak yang berat tipe pernapasan ini akan tampak.

- Pneumotaxic Centre: terletak di atas pons di regio nucleus para brachialis.

Aktifitas sentra ini mengatur volume inspirasi dan rate inspirasi. Beberapa

peneliti mengemukakan bahwa kerja bagian ini adalah sebagai “fine tuning”

dari irama pernapasan.

Gambar 3.

Area pusat

pernapasan

13

Page 14: Gagal Nafas

b. Cortical Center

Input kortikal pada sentra respirasi akan menghasilkan respirasi yang

bersifat kontrol voluntary.

c. Bagian Lain Otak

Bagian lain dari otak seperti sistim limbic dan hipotalamus dapat merubah

pola pernapasan. Contoh: affektif state seperti marah dan ketakutan.

2. Efektor

Otot-otot efektor respirasi termasuk di dalamnya adalah diafragma,

mm.intercostalis, mm.Abdominalis, dan m.sternokleidomastoideus, berada

dalam kendali setara pernapasan. Bayi baru lahir, terutama premature, otot-otot

respirasi belum terkoordinasi, terutama selama tidur.

3. Sensor

a. Central Chemoreceptor

Sel yang berada pada sentrum ventilasi, yang mana sensitive terhadap

perubahan PH cairan ekstraseluler. Perubahan cairan ekstraseluler

diperngaruhi oleh PaCO2, karena CO2 akan diubah menjadi HCO3. Aktivitas

ventilasi akan meningkat yang merupakan akibat dari kenaikan CO2 atau

sebaliknya. Karbondioksida akan dengan mudah melintasi sawar darah otak,

sehingga perubahan sedikit saja pada PaCO2 (2-3 mmHg) akan dengan cepat

merubah ventilasi permenit.

b. Peripheral Chemoreceptor

Terletak di bifucartio carotis dan sepanjang arcus aorta. Kecepatan aliran

darah pada badan carotis berhubungan dengan diameter pembuluh darah,

14

Page 15: Gagal Nafas

yang akan diikuti respon ventilasi pada perubahan PaO2 dan kurang tanggap

terhadap perubahan PaCO2.

2.2 DEFINISI GAGAL NAPAS

Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat ketidakmampuan

sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme (eliminasi CO2 dan

oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk mempertahankan suatu keadaan

pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan

kebutuhan normal.

Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2

arterial (PaCO2) > 45 mmHg (ada yang mengatakan PaCO2 > 50 mmHg), kecuali

jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis metabolic.

PaO2 < 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia, berlaku bila

bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21), maupun saat

mendapat bantuan oksigen.

PCO2 > 45 mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan

asidosis metabolic. Tubuh pasien yang asidosis metabolic secara fisiologis akan

menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah. Tetapi jika

ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih dibawah 45

mmHg pada keadaan asidosis metabolic, hal ini dianggap sebagai gagal napas tipe

hiperkapnia.

2.3 KLASIFIKASI GAGAL NAPAS

Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal

napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut

dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai

jam, PH darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam beberapa

hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan

15

Page 16: Gagal Nafas

meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya menurun

sedikit.

1. GAGAL NAPAS HIPOKSEMIA / GAGAL NAPAS TIPE I / GAGAL

OKSIGENASI

Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas

hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2

normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas

hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada

lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang

sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara

lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi

parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan

hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung,

emboli paru, asma, dan ARDS.

Patofisiologi gagal napas hipoksemia

Hipoksemia dan hipoksia

Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri

(PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan

kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya

kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin.

Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau

efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan.

Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula

terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah

jantung, anemia, syok septic atau keracunan karbon monoksida, dimana

PaO2 dapat meningkat atau normal.

16

Page 17: Gagal Nafas

Mekanisme hipoksemia

Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama,

yaitu 1) berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh

campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi

rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan

di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki

kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah

vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah

PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru

dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO2 =

PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua

nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.

Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau

peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan

darah kapiler pulmonal (campuran vena).

Penurunan PO2Alveolar

Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan

PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada

PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar

menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila

darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan

gas alveolar, bila disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan

PCO2 alveolar:

PAO2 = FiO2 x PB - PACO2

RFiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan

barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan

rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar.

Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar

17

Page 18: Gagal Nafas

(PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi

alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2).

Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan

terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau

bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana

sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO2.

Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2

alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.

Pencampuran Vena (Venous Admixture)

Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang

mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar.

Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia

karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara

ruangan, perbedaan PO2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20

mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak.

Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya

pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-

shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur

dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah percampuran arterial

dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO2 diantara PAO2

dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau

atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan.

2). Penyakit jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana

dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar

sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.

Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam

pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2 jika

diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai

PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika

18

Page 19: Gagal Nafas

PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi

pirau kanan ke kiri.

Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi ( ventilation-perfusion mismatching =

V/Q mismatching)

Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian

ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena

tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi

pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat

ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke

area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat

ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relative sedikit.

Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan

kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut

menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap

pertukaran gas antara kapiler-alveolus seringkali kompleks. Contoh dari

penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga

terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif

kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung

mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti

tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan

adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang dapat

ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan.

Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)

Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang.

Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal,

terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua

paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun

jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak

cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan

19

Page 20: Gagal Nafas

PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAO2

sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler

melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa

keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai

penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary

alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan

mengandung protein dan lipid.

Gambaran Klinis

Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari

gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial

meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus,

diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat

respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan

kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi

glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap

hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal,

tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan

bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan

perfusi pasien.

Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke

jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan

pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam

laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang

ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental,

terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang

lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut,

seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen.

Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan

terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti

20

Page 21: Gagal Nafas

hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia,

vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark,

aritmia dan gagal jantung.

Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan

hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah

jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan

akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia

yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan

tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.

2. GAGAL NAPAS HIPERKAPNIA / GAGAL NAPAS TIPE II / GAGAL

VENTILASI

Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai

kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang

alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya

didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara

inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien

dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian

nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak.

Penyakit paru obstruktif kronis yang parah sering mengakibatkan gagal napas

hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS

(Acute Respiratory Distres syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas

hiperkapnia.

Patofisiologi gagal napas hiperkapnia

Hipoventilasi alveolar

Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses

metabolic setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari

kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan

CO2 ke ruang pertukaran gas di kedua paru, sedangkan VA adalah volume

21

Page 22: Gagal Nafas

udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar),

didapatkan rumus:

VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VA (L/men) x 1__ 863

Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA

menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 dan VA berhubungan

terbalik. Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan

hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar

tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan

menggunakan PaCO2 rumus diatas.

Ventilasi Semenit

Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan PaCO2

meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langung, jumlah total

udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur

dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi

semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE merupakan

penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran

gas) dan ventilasi ruang rugi (dead spce ventilation, VD) :

VE = VA + VD VA = VE - VD

VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VE (L/men) x (1-VD/VT)

863

VD/VT menunjukkan derajad insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada

orang normal yang sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi semenit tidak

ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru

proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT

meningkat juga.

Hiperkapnia (hipoventilasi Alveolar) terjadi saat:

1. nilai VE dibawah normal.

2. nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat.

3. nilai VE di bawah normal, dan rasio VD/VT meningkat.

22

Page 23: Gagal Nafas

Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara

dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut

berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi).

Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan dan

bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan

ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit

paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi

fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi

jumlah aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching).

Walaupun V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme

hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching juga akan

menyebabkan peningkatan PaCO2. Kenyataannnya dalam hampir semua

kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat, hiperkapnia merangsang

peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q

mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia

dengan peningkatan VE.

Gambaran Klinis

Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.

Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya

terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena

peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke

dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena

hiperkapnia akut.

Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga

bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi

terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih

berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain

daripada nilai PaCO2 mutlak.

23

Page 24: Gagal Nafas

Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia.

Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan

hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau

menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas.

Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat

berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea.

Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk

menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas

hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan

penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan

derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO2

alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula

mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuscular

(sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi.

Kelainan pada paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya

sering menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien

yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui takipneu. Efek

dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan neurologis,

pengobatan berlebih dengan sedative, mixedema, atau trauma kepala.

2.4 PENYEBAB GAGAL NAPAS

Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta system kardiovaskuler.

24

Page 25: Gagal Nafas

1. Otak- Neoplasma

- Epilepsi

- Hematoma Subdural

- Keracunan Morfin

- CVA2. Susunan Neuro-muskular

- Miastenia Gravis

- Polyneuritis, demyelinisasi

- Analgesia spinal tinggi

- Pelumpuh otot3. Dinding Thoraks dan Diafragma

- Luka tusuk Thoraks

- Ruptur diafragma

4. Paru- Asma

- Infeksi paru

- Benda asing

- Pneumothoraks, hemathoraks

- Edema Paru

- ARDS

- Aspiras5. Kardiovaskuler

- Renjatan, Gagal jantung

- Emboli paru 6. Pasca Bedah Thoraks

2.5 DIAGNOSIS GAGAL NAPAS AKUT

Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan

mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada

setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari

sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi

perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas

adalah dengan mengukur gas darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2 dan

PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui

apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat

dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya).

2.6 TATALAKSANA GAGAL NAPAS AKUT

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,

penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di

rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala

perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan

penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri

25

Page 26: Gagal Nafas

adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying

disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.

Dasar-dasar fisiologis terapi

Gagal napas hiperkapnea

Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif bertujuan

memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga diketahui dan diterapi penyakit

yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan

mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret,

stimulasi batuk, drainase postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan

selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk

mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai masalah primer

diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi

sesuai yang diinginkan, namun pada pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati

dalam menurunkan hiperkapnia, karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus

tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah

terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum.

Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia, terutama yang didasari

oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan. Tetapi pada

beberapa pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak

dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati.

Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau botulisme,

dan kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik seiring dengan berjalannya

waktu, dan penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan terapi

khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive

sleep apnea, dan miksedema.

Gagal Napas Hipoksemia

Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik. Pada

penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive end-

expiratory pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak

didapatkan hiperkapnea, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan

26

Page 27: Gagal Nafas

kelelahan otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada

anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus dipertahankan.

Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik harus diatasi.

Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua bagian

paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi dimana area paru

yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat meningkatkan

oksigenasi, hal ini karena adanya gaya gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau

sekretnya banyak tidak boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah

atau sekret ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS dengan edema paru

nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi (tengkurap), paru akan jarang

mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit area paru yang

mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen.

Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan nonspesifik dan yang

spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah

tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan

pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.

Pengobatan nonspesifik

Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala

yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Sambil

menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.

Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut:

1. Atasi hipoksemia: terapi oksigen

2. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi

a. Perbaiki jalan napas

b. Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and mask),

IPPB

3. Ventilasi kendali

4. Fisioterapi dada

27

Page 28: Gagal Nafas

Terapi Oksigen

Pada prinsipnya, oksigen harus diberikan dengan cara sesederhana mungkin dan

fraksi insipirasi oksigen (FiO2) yang serendah mungkin, namun tetap dapat

mempertahankan nilai PaO2 dan SaO2 lebih dari 60 mmHg dan 90%, berturut-turut. Hal

ini perlu diperhatikan mengingat pemberian terapi oksigen tidak sepenuhnya aman,

melainkan oksigen yang diberikan dengan konsentrasi tinggi (100%) berhubungan

dengan berbagai efek samping dan toksisitas yang justru memperburuk kondisi pasien.

Pilihan metode terapi bergantung pada berapa besar FiO2 yang dibutuhkan, faktor

kenyamanan pasien, tingkat kelembaban yang dibutuhkan, serta kebutuhan terapi

nebulisasi. Terdapat dua macam klasifikasi alat berdasarkan perbedaan konsentrasi

oksigen yang disuplai oleh alat dan yang masuk ke dalam paru.1

- Low-flow (variable performance) devices

Alat-alat yang berdasarkan metode ini memberikan konsentrasi oksigen yang lebih

sedikit daripada yang dihirup oleh pasien, serta bervariasi menurut gas yang keluar

dari alat dan pola pernapasan pasien. Alat-alat yang tergolong low-flow devices,

antara lain kanula hidung dan sungkup oksigen.

- High-flow (fixed perfomance) devices

Konsentrasi oksigen yang masuk bersifat stabil dan sesuai dengan yang dihirup oleh

pasien. Termasuk dalam golongan ini antara lain sungkup venturi dan continuous

positive airway pressure (CPAP).

Cara pemberian oksigen arus rendah ( low flow ):

a. Kanula hidung

Pada pasien di rumah sakit, kanula hidung adalah suatu pipa plastik lunak dengan

dua ujung buntu yang dimasukan kurang lebih 1 cm, masuk kedalam tiap naris.

Penggunaan alat ini nyaman dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. Kanula

hidung ditujukan untuk pasien tanpa hiperkapnia yang memerlukan oksigen suplementasi

hingga 40%.11 Kanula dihubungkan dengan pipa yang dihubungkan ke humidifier dengan

kecepatan antara 2-6 l/menit, dengan FiO2 0,28-0,4. Pengunan pelembab pada kanula

hidung ini diperlukan pada kecepatan diatas 2 l/menit dikarenakan cepatnya aliran

oksigen hingga dapat mengiritasi permukaan kulit dan mukosa saluran pernapasan.1

28

Page 29: Gagal Nafas

Gambar . Kanula Nasal12

b. Masker

Pada pemberian oksigen dengan kecepatan lebih tinggi dari 6l/menit dipergunakan

masker. Masker adalah perangkat dari plastic tingan yang pemakaiannya menutupi mulut

dan hidung.

Terdapat beberapa macam masker yaitu:

Masker sederhana (simple mask)

Masker digunakan pada wajah dengan mengikatkan pita kepala plastik, biasanya

dengan pengikat logam yang lunak sesuai dengan bentuk hidung. Pemakaian masker

harus diperhatikan kenyamanannya agar tidak terlalu kuat memberikan tekanan

kepada tulang pipi.1 Masker tipe simple ini memberikan FiO2 sebesar 0,4-0,5% dengan

kecepatan 5-12 l/menit. Dalam penggunaannnya, kecepatan oksigen harus berada

diatas 5l/menit untuk memastikan CO2 dapat dikeluarkan dari dalam masker.

Penggunaan masker tipe simple ini juga berguna untuk pasien dengan obstruksi pada

saluran napas hidung dan bernapas lewat mulut walaupun sulit digunakan untuk

makan.12

Gambar . Masker Oksigen tipe Simple3

29

Page 30: Gagal Nafas

Masker rebreathing dan masker nonrebreathing

Kedua masker tersebut memiliki berat ringan dan reservoir dibawah dagu. Perbedaan

kedua masker ini adalah pemakaian katup pada masker nonrebreathing. Resevoir

umumnya menampung sampai 600 ml. Pemakaian katup pada masker nonrebreathing

ini digunakan untuk memastikan udara yang masuk pada saat inspirasi adalah udara

oksigen, sementara udara ekspirasi dapat keluar melalui lubang samping antaras katup

dan reservoir.1 Pada masker nonrebreathing, memiliki FiO2 90-100%. Aliran udara

dapat diatur untuk dapat sesuai dengan kebutuhan inspirasi maksimum pasien

sehingga kantung reservoir tidak akan mengempis sempurna saat inspirasi. Sedangkan

pada masker rebreathing, udara inspirasi dan ekspirasi tercampur karena tidak adanya

katub, sehingga FiO2 untuk masker rebreathing lebih rendah yaitu 40-60%. masker

nonrebreathing dapat dijadikan masker rebreathing dengan melepas katup antara

masker dan reservoir.12

Gambar . Masker Rebreathing (kiri) dan Masker Nonrebreathing (kanan)12

Cara pemberian oksigen arus tinggi ( high flow )

a. Masker venturi

Maker venturi memiliki berat yang ringan dan sesuai dengan bentuk mulut dan

hidung. Oksigen pada masker ini mengalir pada kecepatan yang tinggi melalui lubang

kecil di basis masker sehingga membentuk tekanan negatif yang dapat mendesak keluar

udara atmosfir sehingga oksigen yang diberikan dengan angka pasti. Dengan

menggunakan kecepatan oksigen 1,2,3 l/menit, masker venturi dapat memberikan

30

Page 31: Gagal Nafas

persentasi pasti yaitu 0,24; 0,28; dan 0,35. FiO2 dapat dihitung dengan rumus 20 + 4 x

kecepatan O2(l/menit)11

Gambar. Masker Venturi12

b. Tekanan saluran pernapasan positif terus menerus (Continous Positive Airway

Pressure/CPAP)

Continous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan pemberian tekanan positif

untuk seluruh siklus respirasi (inspirasi dan ekspirasi) pada saat bernapas secara

spontan.13 Sistem CPAP dengan regulator digunakan melalui sebuah flow meter menuju

masker dan diakhiri dengan sebuah alat yang dapat mengukur tekanan antara 2,5 -20

cmH2O. Masker dipasang pada wajah dengan menggunakan pengikat kepala.1 CPAP

merupakan terapi tambahan untuk terapi oksigen konvensional dan ventilasi terkontrol.

Penggunaannya dapat mengurangi kerja untuk bernapas, mengeliminasi atau mengurangi

hipoksia dan mencegah atelektasis. Pada edema pulmoner, CPAP dapat meningkatkan

kardiak output, walaupun pada orang normal pemberian CPAP dapat mengurangi

performa kardiak.13

Gambar . Continous Positive Airway Pressure14

Tabel.2 Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan konsentrasi

O2 Inspirasi.

31

Page 32: Gagal Nafas

JENIS ALAT ALIRAN OKSIGEN (LPM) KONSENTRASI OKSIGEN

Nasal kanula 12345

24%28%32%36%40%

Simple Face Mask 6-8 LPM 35-60%Partial Rebreather 8-12 LPM 35-80%Non Rebrether 8-12 LPM 90-100%Venturi 4-10 LPM 24-50%Bag-Valve-Mask (Ambubag)Tanpa oksigen 21% (udara)Dengan oksigen 8-10 LPM 40-60%Dengan reservoir 8-10 LPM 100%

Atasi Hiperkapnia, perbaiki Ventilasi

Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari cara sederhana

hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan mengakibatkan gangguan PH

darah atau asidosis respiratorik, hal ini harus diatasi segera dan biasanya diperlukan

ventilasi kendali dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru

kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan hiperkapnia kronik dengan

PH darah tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal atau dikenal

sebagai asidosis respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh.

Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan PH darah

meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat

menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan

32

Page 33: Gagal Nafas

pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO2 harus

secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam.

a. Perbaiki jalan napas (Air Way)

Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala

mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum

menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway

maneuver), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas.

Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi

apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan

lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa

nasofaring atau pipa trakea.

b. Ventilasi Bantu

Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat

dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose).

Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi

menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB

(Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui

mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali

pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan

menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang

diatur.

c. Ventilasi Kendali

Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.

Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan

obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak

berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.

Fisioterapi Dada

33

Page 34: Gagal Nafas

Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum. Tindakan ini

selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan

bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan

menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang

baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian

perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan

seperti mukolitik, bronchodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator.

Pengobatan Spesifik

Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan untuk

masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang memerlukan persiapan yang

membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkhoskopi. Macam-macam

pengobatan spesifik dapat dilihat pada tabel.

Tabel.3 Macam-macam pengobatan spesifik penyebab gagal napas akut

Etiologi Pengobatan Spesifik7. Otak

- Neoplasma- Epilepsi- Hematoma Subdural- Keracunan Morfin- CVA

- Rawat Operasi- Antikonvulsi- Operasi- Nalokson- Rawat Intensif

8. Susunan Neuro-muskular- Miastenia Gravis- Polyneuritis,

demyelinisasi

- Analgesia spinal tinggi

- Pelumpuh otot

- Prostigmin, Piridostigmin- Rawat dan bantuan napas

ventilasi terkendali

9. Dinding Thoraks dan Diafragma- Luka tusuk Thoraks- Ruptur diafragma

- Operasi- Operasi

34

Page 35: Gagal Nafas

10. Paru- Asma- Infeksi paru- Benda asing- Pneumothoraks,

hemathoraks- Edema Paru- ARDS- Aspirasi

- Steroid, Bronkodilator- Antibiotik- Bronkhoskopi- Drainase paru

- Diuretika, Ventilasi kendali

11. Kardiovaskuler- Renjatan, Gagal jantung- Emboli paru

- Obat-obatan- Terapi cairan

12. Pasca bedah Thoraks - Bantuan napas

BAB IIIKESIMPULAN

Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan

suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan

kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan

35

Page 36: Gagal Nafas

gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg

dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45

mmHg. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan

neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.

Penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi

arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying

disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 25 Juni 2010 dari

http://www.faqs.org/health/topics

Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada tanggal 24 Juni 2010 dari

http://www.healthnewsflash.com

36

Page 37: Gagal Nafas

Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9, Jakarta: EGC.

Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 23 Juni

2010 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview

Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intesif, Jakarta: FK UI.

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.

Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

37