Upload
leliem
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK
PEREMPUAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
RIA AMALIYAH
105044201463
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2009 M
DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK
PEREMPUAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
RIA AMALIYAH
105044201463
Dibawah bimbingan:
Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA
NIP : 19955050 519820 31012
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK
PEREMPUAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5
Oktober 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah.
Jakarta, 5 Oktober 2009
Megesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA,MM.
NIP. 19550505 198203 1012
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA (……………………)
NIP :19955050 519820 31012
Sekretaris : Kamarusdiana, S. Ag, MH (……………………)
NIP : 19720224 19980 31003
Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA (……………………)
NIP : 19955050 519820 31012
Penguji I : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi (……………………)
NIP : 19940080 519620 21001
Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag, MH__ (……………………)
NIP : 19720224 199980 31003
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima hukuman dan sanksi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Agustus 2009
Ria Amaliyah
105044201463
KATA PENGANTAR
��� ا���� ا� ا����
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT
karena atas rahmat dan inayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Selanjutnya
shalawat dan salam senantiasa kami persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar sekaligus menyempurnakan
akhlak manusia melalui petunjuk illahi.
Rasa syukur saya persembahkan kepada Allah atas nikmat yang tak terhitung
jumlahnya yang telah dianugerahkan kepada penulis. Salah satunya nikmat Iman dan
Islam, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Selama masa perkuliahan hingga tahap penyusunan skripsi ini, banyak pihak
yang telah memberikan bantuan dan motifasi bagi penulis. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan dan motivasi. Ucapannya terima kasih penulis haturkan
kepada Bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dibawah kepemimpinannya
telah banyak membantu dalam menyelesaikan proses belajar mengajar di
Fakultas Syariah dan Hukum tempat penulis menimba ilmu.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Selaku ketua Program Studi Ahwal Al-
Syakhshiyah, yang sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah
mentransformasi ilmunya serta memotivasi penulis sehingga penulis bisa
terselesaikan skripsi ini.
3. Kamarusdiana, S. A.g. MH, Sekretaris Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah, yang
sekaligus juga bertindak Penguji II (dua) dalam sidang munaqasyah.
4. Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, selaku Penguji I (satu) dalam sidang
munaqasyah, yang telah memberikan saran-saran dan kritik yang sangat
berguna untuk lebih sempurna dalam tulisan ini.
5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dosen Ahwal Al-
Syakhsiyah yang telah memberikan materi perkuliahan, ilmu, dan bimbingan
akhlak semua kuliah hingga selesai skripsi ini.
6. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Teristimewa kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda Amarullah S.pd
dan Ibunda Maswanih S.pd yang tidak henti-hentinya mendoakan dan
memberikan pengorbanan yang telah memberikan segenap kesabaran, ketulusan
dan keikhlasan serta cinta dan kasih sayang, serta dukungan baik moril maupun
materil yang tiada terhitung nilainya, serta senantiasa mendoakan dan
membimbing penulis. Serta kakak kandungku Richa Widuri Amd. Keb yang
telah memberi semangat penulis, dan untuk adik tersayang Refiyanti,
Rohmatunisa, Rain radithiyah Al-Kahfi Putra Terima kasih telah memberikan
banyak bantuan, semoga dari Allah SWT dapat balasan yang lebih baik. Amin.
8. Abdul Harits Muhammad, S.Kom dan keluarga yang telah memberikan
dukungan dan motivasi kepada penulis hingga terselesaikannya penulisan
skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat MAHAD AL-ZAYTUN, meirly zaiwarni, S.E yang telah
memberikan motivasi, saran, dan teman-teman penyejuk hati dalam suka
maupun duka yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
10. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum, khusunya Konsentrasi
Administrasi Keperdataan Islam Angkatan 2005, Kawan-kawan KKS cijulang
2008. Terima kasih telah banyak membantu serta bertukar pikiran baik selama
belajar hingga detik pelaksanaan wisuda.
Jakarta, 14 Agustus 2009
Ria Amaliyah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................. 7
D. Kajian Terdahulu ...................................................................... 8
E. Metodelogi Penelitian............................................................... 10
F. Sistematika Penulisan............................................................... 13
BAB II ITSBAT NIKAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Nikah dan Itsbat nikah ............................................ 15
B. Dasar Hukum Itsbat Nikah ....................................................... 17
C. Akibat Hukum Itsbat Nikah...................................................... 18
D. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan ............ 20
BAB III HAK-HAK PEREMPUAN DALAM PERKWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
A. Keberpihakkan Hukum Terhadap Perempuan ............................ 30
B. Perempuan Dalam Undang-Undang Perkawinan........................ 38
BAB IV IMPLIKASI ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK PEREMPUAN
A. Itsbat Nikah Dan Posisi Perempuan Dalam Pernikahan.............. 43
B. Implikasi Itsbat Nikah Terhadap Perempuan.............................. 48
BAB V PENUTUP
A. Penutup .................................................................................... 59
B. Saran-saran............................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 62
LAMPIRAN
1. Lampiran Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa dengan
Nomor: 46/Pdt.P/2008/PA. TigaRaksa .................................... 65
2. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing
Skripsi...................................................................................... 72
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan menurut Hukum Islam sebagaimana di tegaskan dalam Kompilasi
Hukum Islam sama artinya dengan pernikahan, yaitu aqad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya
sebagai ibadah.1
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 ayat (1)
dinyatakan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Dalam Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau
ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) maka perkawinan tersebut adalah sah
terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini
di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang
dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Perkawinan
1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
bandung: Citra Umbara, 2007. h. 282.
2 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal. 1.
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang didalamnya terdapat tentang pencatatan
perkawinan.3
Untuk mencapai ikatan lahir batin yang kuat seperti yang dimaksud di atas,
undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (2) telah menentukan keharusan adanya
pencatatan pada tiap-tiap perkawinan, pencatatan perkawinan bertujuan untuk
menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Pasal tersebut berbunyi : “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.4
Bagaimanapun juga pencatatan perkawinan itu sangat besar mashlahahnya
bagi umat manusia, lebih-lebih di era globalisasi seperti sekarang ini. Adapun oknum-
oknum yang tidak mencatat perkawinannya karena mungkin perkawinan yang
dilakukan bermasalah, misalnya melaksanakan nikah mut’ah, kawin sirri, atau
melakukan poligami liar dan sebagainya, pasangan tersebut tidak mempunyai akta
perkawinan yang sah, untuk itu memerlukan pengukuhan kembali terhadap
perkawinan yang sudah dilakukan yang lebih dikenal dengan istilah Itsbat Nikah.5
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang
masing-masing suami istri mempunyai salinannya. Namun dalam prakteknya, tak
dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang masih sering terjadi perkawinan yang
3 “Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan Berdasarkan
Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan”, artikel ini diakses pada 17 Juli 2009 dari
http://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-hukum-istri-yang-menikah-di-
bawah-tangan-berdasarkan-ketentuan-yang-berlaku-tentang-perkawinan.
4 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat 2.
5 Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah Diberlakukan
UU No. 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Ahkam IV, no. 8 (2002): h. 70.
dilakukan secara “ilegal” yang sering juga disebut dengan “perkawinan dibawah
tangan” karena tidak dicatat secara resmi oleh pegawai pencatat nikah.6
Perkawinan telah cukup dan memenuhi, apabila syarat dan rukunnya menurut
ketentuan fiqh terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan, apalagi akta nikah kondisi
semacam ini di praktekkan sebagian masyarakat dengan menghidupkan praktek nikah
sirri tanpa melibatkan petugas pegawai pencatat nikah (PP3N) sebagai petugas resmi
yang diserahi tugas itu belum lagi, apabila ada oknum yang memanfaatkan “peluang”
ini, untuk mencari keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan sisi dan nilai
keadilan yang merupakan misi utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar tanpa
izin istri pertama, atau tanpa izin dari Pengadilan Agama kenyataan semacam ini,
menjadi hambatan besar suksesnya pelaksanaan Undang-undang perkawinan No.1
Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut.7
Sebagaimana dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ayat
2. Dan apabila tidak mendapatkan izin dari pengadilan, maka perkawinan tersebut
tidak mendapatkan kekuatan hukum. Hal ini tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 56 ayat 3 sebagai berikut: ”Perkawinan yang dilakukan dengan istri
kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum”.8
6 Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan, h. 69.
7 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet.
Ke-1, h. 90.
8 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 1998, h. 34.
Dalam hal ini ada peraturan yang mengatur masalah pencatatan perkawinan
yang menjadi tuntutan perkara. Maka, apabila pencatatan tidak dilakukan, ada akibat
hukum bagi perkawinan tersebut dan yang dirugikan adalah pihak perempuan.
Hukum perkawinan hanya mengakui sah perkawinan yang tercatat. Konsekuensinya,
akses perempuan pada keadilan juga dibatasi, hanya perempuan yang menikah secara
tercatat yang dilindungi haknya oleh hukum.9
Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana itsbat nikah yang
diakibatkan karena tidak mempunyai surat izin poligami. Dalam masalah ini terdapat
kasus itsbat nikah yang diajukan oleh pihak perempuan, tetapi permohonan itsbat
nikah tersebut ditolak oleh pihak Pengadilan Agama. Terkait dengan hal tersebut
bagaimana kedudukan kaum perempuan serta anak yang disebabkan karena tidak
adanya surat izin poligami.
Kendati belum ditopang oleh penelitian resmi, fakta dilapangan menunjukkan
banyaknya pasangan khususnya para perempuan yang baru menyadari akan
pentingnya pencatatan perkawinan ketika dihadapkan oleh problematika hukum
misalnya, ketika terjadi perceraian, pihak perempuan tidak dapat menuntut
pembagian harta gono-gini, hak waris, perwalian anak dan lain sebagainya.
Masyarakat sering bersikap yang penting sah menurut agama. Setelah menikah di
bawah tangan pasangan baru menyadari bahwa ada akibat hukum apabila perkawinan
tidak dicatatkan dan akan merugikan perempuan dan anak baik materil maupun moril.
9 Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar
Hukum No. 26 Tahun IVV (Mei-Juni, 1996), h. 50.
Dengan demikian eksistensi itsbat nikah sangat perlu pada setiap warga negara
yang tidak dicatatkan dan didaftarkan di kantor urusan Agama (KUA) setempat
karena akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak dilakukan, terlebih lagi
terhadap istri dan anak-anaknya.
Terkait dengan dampak negatif dari maraknya peraktek pernikahan sirri,
terutama pihak perempuan dan anak dengan adanya beberapa kasus, termasuk
diantaranya tentang penolakan permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan
Agama, maka penulis tertarik untuk mengangkat dalam sebuah penelitian dengan
judul “DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK
PEREMPUAN”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa sangat perlu untuk
membatasi, agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas serta
menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka dalam
penulisan ini penulis memfokuskan dan membatasi masalah hanya dalam ruang
lingkup: Implikasi itsbat nikah yang ditolak terhadap kaum perempuan
2. Perumusan Masalah.
Mestinya Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan
Pasal 2 menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”, dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 5,
namun pada kenyataannya masyarakat masih banyak yang tidak mencatatkan
pernikahannya di Pegawai pencatatan nikah karena pernikahan yang dilakukan
bermasalah dengan tidak adanya dokumen formal dilihat dari dampaknya sangat
merugikan kaum perempuan dan anak.
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis akan merinci masalahnya
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana Implikasi Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Perempuan?
b. Apakah Setiap Perkawinan Yang di Lakukan di Luar Peraturan Undang-undang
Dapat Di Itsbatkan di Pengadilan Agama?
c. Bagaimana Kedudukan Perkawinan Yang tidak Dapat Di Itsbatkan di
Pengadilan Agama?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini
adalah:
a. Untuk mengetahui seberapa jauh hukum positif di indonesia yang dapat
mendukung keberadaan kaum perempuan
b. Untuk mengetahui kedudukan perkawinan yang dilakukan di luar undang-
undang menurut hukum formal.
c. Untuk mengetahui implikasi penolakan itsbat nikah.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Secara akademik menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta
mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang perkawinan.
b. Mengetahui kedudukan perkawinan yang itsbat nikahnya ditolak oleh
Pengadilan Agama dan mengetahui implikasi terhadap perempuan. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis khususnya dan masyarakat
pada umumnya, tentang kaum perempuan yang itsbat nikahnya ditolak.
c. Sebagai pengingat, bahwa pencacatan ataupun pengesahan perkawinan adalah
kekuatan atau kepastian hukum sebagai bukti yang sangat penting.
D. Kajian Terdahulu
Tinjauan kajian terdahulu sudah cukup banyak studi yang di lakukan seputar
hukum perkawinan yang nikah di bawah tangan baik ditinjau menurut perspektif
hukum islam maupun perundang-undangan. Namun, sepanjang yang penulis ketahui,
belum ada seorangpun yang menulis tentang penolakan Permohonan itsbat nikah.
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang
secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat oleh penulis. Biarpun objek
kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar. Misalnya “Analisa
Penetapan hakim No. 74/P2/1990/PA. Sumber Cirebon Tentang Pengesahan
perkawinan (Itsbat nikah) yang dilaksanakan malalui kawin gantung di PA”. Sumber
cirebon. Yang di susun oleh Imroah Pada Tahun 2007. Skripsi ini lebih fokus kepada
itsbat nikah sebelum adanya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
yang dilakukan melalui kawin gantung yang perkawinannya di itsbatkan di
Pengadilan Agama Sumber Cirebon dengan membahas analisis Penetapan hakim
pada perkara No. 74/P.2/1990/PA. Sumber cirebon.10
Kemudian yang kedua “Itsbat nikah sesudah berlakunya undang-undang No. 1
Tahun 1974 Tentang perkawinan (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)
yang disusun oleh Ahmad Taridi pada Tahun 2005. Skripsi ini lebih fokus kepada
itsbat nikah yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang
terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur.11
Kemudian yang ketiga “Itsbat nikah dan proses penyelesaiannya di
Pengadilan Agama (Studi analisis Jakarta Timur) yang disusun oleh Ulfa Fouziyah
pada Tahun 2008. Skripsi ini lebih fokus kepada banyaknya kasus itsbat nikah yang
terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan ingin mengetahui bagaimana proses
10 Imroah, “Analisa Penetapan Hakim No. 74/P2/1990/PA. Sumber Cirebon Tentang
Pengesahan perkawinan (Itsbat nikah) yang dilaksanakan malalui kawin gantung di PA”. Skripsi,
(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2007), h. 58, t.d
11 Ahmad Taridi, “Itsbat Nikah Sesudah Berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)”, Skripsi, (Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2005)”, h. 60, t.d
persidangan itsbat nikah sesudah dan sebelum adanya undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.12
Dari beberapa kajian terdahulu, seluruhnya mengambil dari kajian itsbat
nikah, sepengetahuan penulis hingga saat ini belum ada penelitian ini yang
menjadikan judul penelitian “Penolakan Permohonan Itsbat Nikah dan Implikasinya
Terhadap hak Perempuan”.
E. Metodelogi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan
Jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yaitu dalam penelitian
ini pada umumnya menganalisis fakta-fakta atau kejadian-kejadian yang relevan
dengan norma-norma hukum. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe
penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (state approach) yaitu melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian.13
Oleh karenanya langkah
12 Ulfa Fouziyah, “Itsbat Nikah dan Proses Penyelesaiannya di Pengadilan Agama (Studi
analisis Jakarta Timur)”, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2008)”, h. 63,
t,d
13 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang-Jawa Timur:
Bayu Media Publishing, 2007), h. 295.
awal dalam analisis ini adalah identifikasi fakta-fakta hukum berupa perbuatan,
peristiwa atau keadaan-keadaan.14
2. Sumber Data
Pengumpulan data yang diperoleh melalui bahan hukum primer yakni bahan
hukum terdiri atas peraturan perundang-undangan No. 1 Tentang Perkawinan Tahun
1974 tentang perkawinan Pasal 2, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7, Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, buku-buku Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk
mewujudkan Keadilan Gender, dan buku Perempuan dan Hukum Menuju Hukum
Yang berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. Dan bahan hukum sekunder yakni
buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, studi kepustakaan
(library researsch) dari buku-buku literature dan tulisan-tulisan majalah, internet dan
hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini.15
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam menghimpun
seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah sebagai berikut Studi
kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh landasan teoritis berupa konsep dari
14 M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
h. 143.
15 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 295.
berbagai literatur yang terkait dengan materi pokok permasalahan yang akan penulis
bahas, baik dari buku-buku karangan ilmiah, undang-undang perkawinan No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam, laporan penelitian serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan
masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Pada penelitian normatif, pengolahan data hakikatnya kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis, sistematisasi berarti
membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk mengadakan
pekerjaan analisis dan konstruksi. Adapun kegiatan-kegiatan dalam analisis data
yaitu:
a. Mengelompokkan dan membuat sistematika dari data-data yang dikumpulkan
sesuai dengan rumusan masalah.
b. Memilih pasal-pasal dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaan untuk menganalisis data-data
yang telah dikelompokkan dan sistematika sesuai rumusan masalah tersebut.
c. Kemudian data dianalisis secara hukum dengan metode induktif. Metode
induktif yaitu mempelajari suatu yang bersifat khusus kemudian
dikembangkan manjadi kesimpulan yang bersifat
5. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007. Serta
untuk penulisan ayat Al-Qur’an dan al-Hadits ditulis satu spasi termasuk
terjemahan Al-Qur’an dan Hadits dalam penulisannya diketik 1 spasi meskipun
kurang dari enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan ejaan yang
disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang, daftar pustaka ditulis di awal.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut:
Bab Pertama membahas tentang Pendahuluan yang berisi Tentang Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Kajian Terdahulu, Metodelogi Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua Mengenai Itsbat Nikah dalam Prespektif Hukum Islam yang
meliputi: Pengertian Nikah dan Itsbat Nikah, Dasar Hukum Itsbat Nikah, Akibat
Hukum dari Itsbat Nikah, Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan.
Bab Ketiga Mengenai Prosedur Mengajukan Itsbat Nikah yang meliputi:
Alasan-alasan Permohonan Itsbat Nikah, Nikah yang Dapat Diitsbatkan, Syarat dan
Prosedur Itsbat Nikah.
Bab Keempat Menguraikan Implikasi Itsbat Nikah Terhadap Hak perempuan
yaitu Keberpihakan Hukum Terhadap Hak Perempuan, Itsbat Nikah dan Posisi
Perempuan dalam Pernikahan.
Bab Kelima ini Merupakan Bab Penutup yang terdiri dari; Kesimpulan dan
Saran-saran.
BAB II
ITSBAT NIKAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Nikah dan Itsbat Nikah
Perkawinan dalam ilmu Fiqh menggunakan kata nikah yang
berasal dari bahasa arab “ ��� ” atau “ ���� ”yang berarti kawin atau
mengawini.16
Sedangkan kata nikah berarti “ Ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa.17
Sedangkan menurut Ulama Fiqih nikah adalah Akad yang
membolehkan terjadinya istimna (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau
melakukan wat’i, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang
diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.18
Nikah suatu
ikatan keagamaan yang dianjurkan syara’.19
Masalah dalam kaitan dengan pernikahan (perkawinan) kita juga bisa
lihat peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia dalam kaitan ini
Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan instruksi
16 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 1461.
17 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,
(Jakarta: Intermasa, 1991), h. 187.
18 Wahbah al -Zuhaily, al Fiqh al Islami wa al Adillatuhu, (Damsyiq, Dar Fikr, 1998), h. 29.
19 Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqiy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), cet ke-2, h. 222.
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
merumuskan “Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.20
Al-Qur’an menggambarkan perkawinan atau pernikahan sebagai
hubungan yang dalam dan kuat. Suami istri harus bergaul dengan baik dalam
rumah tangga. Islam benar-benar menghalalkan pernikahan, karena ia
merupakan perlindungan dari keburukan seksual, pernikahan juga berfungsi
kesinambungan umat manusia. Pernikahan harus dipublikasikan agar diketahui
oleh masyarakat banyak, hal ini di maksudkan untuk menghindari kecurigaan
dan fitnah. Seluruh makhluk di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan, dan
hal ini telah menjadi tanda atas kekuasaannya kehendak tuhan, sesuai hubungan
antara pria dan wanita merupakan pelaksanaan kehendaknya.21
Itsbat nikah merupakan gabungan dari dua kalimat yakni itsbat dan
nikah. Itsbat merupakan kata masdar yang terambil dari kata ��� - ���� - ا
�� .yang mempunyai makna penetapan atau pembuktian ا22
20 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
bandung: Citra Umbara, 2007. h. 2.
21 Abdul Wahab Bauhdiba, Sexuality In Islam. Yogyakarta, 2004, Cet. Pertama, h. 54.
22 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawir Arab-Indonesi., h. 147.
Dari dua kalimat di atas dapat digabungkan bahwa itsbat nikah adalah
penetapan oleh pengadilan agama atas ikatan atau akad yang membolehkan
terjadinya hubungan suami istri, sebagaimana yang dirumuskan dalam kamus
besar bahasa indonesia bahwa, itsbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran
(keabsahan) nikah. Singkatnya itsbat nikah adalah penetapan oleh pengadilan
atas perkawinan yang sah, tetapi tidak mempunyai akta nikah.23
B. Dasar Hukum Itsbat Nikah
Itsbat nikah berasal dari bahasa arab ( ا ��ت ) yang merupakan masdar
dari kata �� ,yang mempunyai makna penetapan ا ��- ���� - ا
penentuan atau pembuktian. Yang dimaksud dengan itsbat nikah adalah suatu
penetapan, penentuan, pembuktian atau pengabsahan Pengadilan terhadap
pernikahan yang telah dilakukan karena alasan-alasan tertentu.24
Yang menjadi dasar hukum dari itsbat nikah adalah Bab XIII Pasal 64
ketentuan peralihan Undang-undang perkawinan yaitu untuk perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum
undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan lama
23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka,1999).
24 Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah Diberlakukan
UU No. 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Ahkam IV, no. 8 (2002): h. 75.
adalah sah. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku 1 Pasal 7,
yang terkandung dalam pasal 64 undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974
Tentang perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang
disebut dengan “itsbat nikah”.25
Seperti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ayat 1 dan 2
menyebutkan:
1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuktikan
dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.26
C. Akibat Hukum Itsbat Nikah
Setelah dikabulkannya itsbat nikah, maka yang berkepentingan akan
mendapatkan bukti otentik tentang pernikahannya yang bisa dijadikan sebagai
dasar untuk menyelesaikan persoalan di Pengadilan Agama nantinya. Dengan
demikian pencatatan pernikahan merupakan persyaratan formil sahnya
perkawinan, persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Isbat
25 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal: 64, h. 25.
26 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 7 ayat 3, h. 229.
nikah punya implikasi memberi jaminan lebih konkret secara hukum atas hak
anak dan perempuan jika pasangan suami-istri bercerai.27
Dengan adanya pencatatan perkawinan maka eksistensi perkawinan
dianggap syah apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Telah memenuhi ketentuan hukum materil. Yaitu telah dilakukan dengan
memenuhi syarat dan rukun menurut hukum islam
2) Telah memenuhi ketentuan hukum formil yaitu telah dicatatkan pada
pegawai pencatat nikah yang berwenang.
Sebaliknya perkawinan yang tidak tercatatkan dan tidak pula dimintakan
itsbat nikahnya maka kedudukan perkawinan itu adalah:
1) Tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada
perkawinan sehingga tidak menimbulkan akibat hukum.
2) Tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan yang baru
sebagaimana diatur dalam pasal 24 undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang perkawinan yaitu “Barang siapa karena perkawinan masih teirkat
dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-
undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.
27 Kompas Cetak, Isbat Nikah Upaya Menjamin Hak Anak dan Perempuan, artikel ini diakses
pada tanggal 12 Juni 2008 dari http://64.203.kompascetak/0609/18/swara/2950477htm.
3) Tidak dapat dijadikan dasar hukum menjatuhkan pidana berdasarkan
ketentuan pasal 219 KUHP (kitab undang-undang hukum perdata).
4) Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak oleh pihak wanita sebagai
istri dan juga anak-anaknya.28
D. Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan Perkawinan
Pencatatan Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, untuk
melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan
yang dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat
salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau
salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya
hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing.
Karena dengan akta tersebut, memiliki bukti otentik perbuatan hukum yang
telah mereka lakukan. Di dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3
28 Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar
Hukum No. 26 Tahun IVV (Mei-Juni, 1996), h. 51-52.
dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.29
Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan
rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sebagaimana disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam
tentang pencatatan perkawinan, menjelaskan dalam pasal 5 yaitu:
Pasal 5 ayat (1): Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
islam setiap perkawinan harus dicatat.
Pasal 5 ayat (2): pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan
oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang
No. 22 tahun1946 jo dan Undang-undang No. 32 tahun 1954 tentang penetapan
berlakunya undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 november No. 22
tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk di seluruh daerah luar
jawa dan madura.30
Tehnik pelaksanaannya, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 6 yang menyebutkan :
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan dibawah pegawai pencatat nikah
29 Ahmad Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. V,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 251-252. 30 Kompilasi Hukum Islam, Pasal: 5, h. 229.
2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.31
Secara rinci peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Bab II
pasal 2 menjelaskan tentang :
1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
dimaksudkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan,
nikah, talak, dan rujuk.
2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam, dilakukan
oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-perundangan mengenai pencatatan
perkawinan.
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata
cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata
cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3
Peraturan Pemerintah sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah PP No. 9
31Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet.
Ke-1, h. 109.
Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan ini.32
Dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menjelaskan:
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan yang akan
dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan
yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.33
Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara
lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal
4 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yang
diberitahukan meliputi: Nama, Umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan,
tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya
pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5
32 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,
h. 32.
33 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Pasal: 3, h. 42.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan adanya pemberitahuan
ini, kemungkinan terjadinya pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat di
hindari. 34
Tindakan yang harus diambil oleh Pegawai Pencatat nikah setelah
menerima pemberitauan, diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan sebagai berikut:
1. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan
apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.
2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai
pencatat meliputi pula:
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai dalam hal
tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat
keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang
diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
tinggal orang tua calon mempelai.
34 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 112-114.
c. Izin tertulis atau izin Pengadilan sebagai dimaksud pasal 6 ayat (2), (3),
(4) dan (5) undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 undang-undang, dalam hal
calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.
e. Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2)
undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
f. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian
surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau
lebih.
g. Izin tertulis dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM atau
PANGAB, apabila salah seorang anggota calon mempelai atau keduanya
anggota Angkatan Bersenjata.
h. Surat kuasa otentik atau diawah tangan yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat nikah, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya
tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga
mewakilkan kepada orang lain.35
Ketentuan dalam klausul Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 6 ayat (1)
dan (2) di atas memberi manfaat, Pertama: memelihara ketertiban hukum yang
menyangkut kompetensi relatif, kewilayahan dari pegawai pencatat nikah.
35 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Pasal: 6, h. 43.
Kedua: menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan hukum lainnya,
seperti : identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka. Penelitian
pegawai pencatat nikah juga bermaksud untuk meneliti status perkawinan
seseorang baik calon suami atau calon istri oleh karena itu, jika diperlukan
calon mempelai melampirkan surat-surat yang telah disebutkan diatas.36
Mengingat kesadaran masyarakat yang menjadi subyek hukum tidak
sama, mungkin karena tidak tahu atau karena hal lain, sehingga ketentuan-
ketentuan tersebut di atas belum dapat berjalan dengan baik, peraturan
perundang-undangan memberi alternatif atau kelanggaran kepada pihak-pihak
karena suatu hal harus segera melangsungkan perkawinan. Yaitu mengajukan
izin tertulis, izin pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya belum mencapai umur 21 tahun.37
Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah
karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membuka
kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah
(penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga bersangkutan
mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Dalam pasal 7
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengungkapkan sebagai berikut:
1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh
pegawai pencatat nikah.
36 Kompilasi Hukum Islam, Pasal: 7, h. 15.
37 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 113.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya Akta Nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkwinan.
4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami istri, anak-
anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan
itu.38
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan suatu hal yang sangat
penting, dalam Al-Qur’an masalah hutang piutang Allah menganjurkan kepada
kita untuk mencatatkan seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
��������� �� ������ ���������� ����� �� ����!�"
38 Kompilasi Hukum Islam, Pasal: 7, h. 229.
#$% �!�& �'()�� *+�,�- ./012�� (�4567���8
9 :;<=�>%*�� ?@�=��BC& 4:�"�D7 E#F!�G%*���& 9 D/�� HI8�� J:�"�⌧L
M�- 1:5<=� ��☺D7 O�☺�:� P��� 9 :;6R�>8:�8
S+�:F☺�T%*�� U������ �O%>(:� .V��%*�� SVC;�>%*�� ���� WOC&�.
)282:ا����ة (
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaknya seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya” (Al-Baqarah: 2/282).
Para pemikir islam (Faqih) dahulu tidak ada yang menjadikan dasar
pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan ada aktanya, sehingga
mereka menganggap hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan
pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya
mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah Fiqh:
��,��� ا� +$*( م��'م %$درء ا� ��
”Menolak kemudhoratan lebih didahulukan dari pada memperoleh
kemaslahatan ”.39
39Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqih, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004), Cet Ke-1, h. 148.
Dengan demikian, pelaksanaan Peraturan Pemerintah yang mengatur
tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan
tuntutan dari perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di
Negara Republik Indonsia.40
Dan Usaha ini dimaksudkan agar setiap pihak
dapat mengerti dan menyadari betapa pentingnya nilai ketertiban dan keadilan
dalam perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan berumah tangga.
Menurut ahmad Rofiq pencatatan perkawinan merupakan syarat
administratif perkawinan. Tetapi walaupun hanya sebagai suatu kewajiban
administratif saja, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi
kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Manfaat dari pencatatan
perkawinan ini adalah:
Pertama: Manfaat yang bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi
agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat
perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut
perundang-undangan yang berlaku di indonesia. Dengan ini dapat dihindari
pelanggar terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat perkawinan. Atau
menghindari terjadinya pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas
calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai
tersebut.41
40 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Cet. Ke-
1, h. 29-30. 41 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 111-112.
Kedua: Manfaat akta nikah yang bersifat refresif yaitu bagi suami istri
yang karena sesuatu perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah,
Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk
mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan) kepada Pengadilan Agama,
pencatatan inilah disebut sebagai tindakan refresif, yang dimaksudkan untuk
membentuk masyarakat, agar didalam melangsungkan perkawinan tidak hanya
mementingkan aspek-aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek-aspek
keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang.42
Dalam pembahasan diatas tampaklah hubungan itsbat nikah dengan
pencatatan perkawinan. Dimana esensi dari itsbat nikah itu sendiri adalah
pencatatan perkawinan. Dengan tercatatnya suatu perkawinan, maka pihak yang
bersangkutan akan mendapatkan bukti otentik, telah terjadinya perkawinan
tersebut yang berwujud dalam bentuk akta nikah, maka bagi yangbelum
mendapatkan dapat dimintakan itsbat nikah (Pengesahan Nikah).
42 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 117.
BAB III
HAK PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Keberpihakan Hukum Terhadap Kaum Perempuan
Selama abad ke-19 sejarah hukum cenderung merupakan pencatatan
peningkatan pengakuan hak-hak pribadi yang seringkali dianggap hakiki dan
mutlak. Untuk abad ke-20 sejarah itu dirombak dengan cara menetapkan
kerangka dasar lain yang memperhatikan pengakuan yang lebih luas terhadap
kebutuhan, permintaan, maupun kepentingan-kepentingan sosial.43
Kepentingan merupakan suatu keinginan atau permintaan yang ingin
dipenuhi manusia, baik secara pribadi maupun melalui hubungan antar-pribadi,
atau melalui kelompok. Menurut Roscoe Pound seseorang ahli hukum dari
Amerika dan mantan dekan Harvard Law School, pound beranggapan keadilan
dapat dilaksanakan menurut maupun tanpa hukum. Keadilan menurut hukum
bersifat yudisial, sedangkan keadilan tanpa hukum mempunyai ciri
administratif. Di satu sisi hukum memang bisa digunakan sebagai acuan yang
paling adil dan paling mengayomi, namun pihak lain, janganlah diabaikan
bahwa hukum juga bisa digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan kekuasaan
43 Soejono, Soekanto, Prespektif Sosiologis Studi Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:
Rajawali, 1985), h. 30.
dan kepentingan, dan tentunya akan ada pihak menjadi korban dari hukum yang
tidak adil.44
Sifat hakiki dari hukum adalah kepastian dan formal keadilan menuntut
bahwa hukum berlaku umum, dalam arti materi hukum dituntut agar sesuai
dengan mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Bagaimana
menentukan apakah hukum itu adil atau tidak, perlu kita perhatikan bahwa kita
bergerak di tingkat faktual Oleh karena itu, tuntutan keadilan dapat
diterjemahkan bahwa hukum harus sesuai mungkin dengan cita-cita keadilan
masyarakat yang bersangkutan. Jika keadilan dapat dilaksanakan dengan
maupun tanpa hukum asalkan ada keseimbangan antara kepentingan umum dan
kepentingan pribadi. Salah satu bentuk ketidakadilan yang menimpa laki-laki
dan perempuan adalah ketiadakadilan jender.45
Uraian di atas dapat memberi sedikit gambaran bahwa masalah keadilan
tidak mudah untuk dirumuskan apalagi kalau dikaitkan dengan hubungan antara
laki-laki dan perempuan. Dalam lapangan hukum yang berbeda atau dalam
kondisi tempat atau waktu yang berlainan, dalam hubungan laki-laki dan
perempuan justru mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan. Rumusan
keadilan ulpianus seorang pakar hukum klasik berpendapat lebih sesuai untuk
diterapkan pada hubungan antara laki-laki dan perempuan karena harus
44 Sulistyowati, Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berprespektif
Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Universitas Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 45 Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005),
Cet. 1. h. 59.
memenuhi tiga unsur yaitu; (1) sikap batin dan perilaku yang sesuai dengan
kesusilaan, (2) tidak merugikan orang lain secara sewenang-wenang, (3)
memberikan pada semua orang bagiannya.46
Indonesia mendukung Undang-undang atau pun peraturan-peratuan yang
berpihak pada kaum perempuan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
“Undang-undang tersebut sangat penting untuk meningkatkan harkat dan
martabat kaum perempuan, serta melindungi mereka dari kekerasan”, adanya
Undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga tersebut merupakan upaya
memberi perlindungan bagi kaum perempuan dan anak-anak hingga dalam
urusan domestik suatu keluarga, Namun Perlindungan hukum terhadap wanita
dalam sistem hukum nasional belum begitu menggembirakan. Kita masih dapat
melihat adanya peraturan perundang-undangan yang menempatkan wanita
sebagai subordinasi dari pria. Salah satunya adalah peraturan perundang-
undangan di bidang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sebuah
kebijakan termasuk di dalamnya hukum dan peraturan perundang-undangan
dikeluarkan adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan untuk
kepentingan golongan tertentu.47
Dalam masyarakat di mana terdapat nilai-nilai kultural perempuan
mencerminkan ketidakadilan jender akan sangat berpengaruh hukum. Substansi
46 Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, h. 56.
47 “Perlindungan Hukum Bagi Perempuan dalam Perkawinan”, artikel ini diakses pada 17 Juli
2009 dari http://wap.fajar.co.id/index.php.
hukum di indonesia juga mendukung dan memperkuat jender. Acuan pertama
untuk menyatakan bahwa indonesia telah menganut dan menerapkan asas
persamaan antara laki-laki dan perempuan adalah pasal 27 Undang-undang
dasar 1945 tentang amandemen (ayat 1) yang meletakkan hak-hak dasar bahwa:
“Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah
itu dengan tidak ada kecualinya”. Atas dasar pasal tersebut indonesia telah
meratifikasi beberapa konvensi internasional yang bertujuan untuk menghapus
diskriminasi dan meningkatkan status perempuan.48
Terutama mengingat bahwa isi Konvensi Wanita memuat hak-hak
Perempuan yang harus dipenuhi agar tindak diskriminasi terhadap perempuan
disemua bidang kehidupan dapat dihapus, seperti dalam pasal 16 konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan tentang kesetaraan
dalam perkawinan dan hubungan keluarga pasal 15 ayat (1) Negara-negara
pihak wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di
muka hukum. (2) Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan,
dalam hal sipil, kecakapan hukum yang sama dengan laki-laki dan kesempatan
yang sama untuk menggunakan kecakapan tersebut. Secara khusus, negara
harus memberikan kepada perempuan persamaan hak untuk mengikat kontrak
dan untuk mengelola kepemilikan dan wajib memberi perlakuan yang sama
48 Agnes Widanti, Hukum berkeadilan Jender, h. 18.
kepada laki-laki dan perempuan di semua tingkat prosedur di muka hakim dan
peradilan. Sesuai Dalam pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 yaitu;
1. Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah tindakan yang tepat
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal yang
berkaitan dengan perkawinan dan hubungan dalam keluarga dan khususnya
harus menjamin, berdasarkan kesetaraan laki-laki dan perempuan;
a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan
b) Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan memasuki jenjang
perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan penuh darinya.
c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan pada
pemutusan perkawinan.
d) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari
status perkawinan mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan
anak-anak mereka dalam semua hal kepentingan anak-anak harus
diutamakan.
e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab
mengenai jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka dan untuk
memperoleh akses, pada informasi, pendidikan dan sarana agar mereka
dapat menggunakan hak tersebut.
f) Hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal pemeliharaan, perwalian,
pengasuhan dan pengangkatan anak, atau lembaga-lembaga sejenis di
mana konsep-konsep ini ada dalam perundang-undangan nasional dalam
semua hal kepentingaan anak wajib diutamakan.49
Sejalan dengan peratifikasian konvensi-konvensi internasional tersebut,
kebebasan pemerintah indonesia pada tahun 1974 tentang perkawinan
melakukan reformasi hukum keluarga (Undang-undang Perkawian No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan). Tetapi, dalam pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dikatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Ini berarti
dalam soal perkawinan perempuan harus tunduk pada hukum agamanya,
sedangkan kawasan hukum agama menyentuh mengenai hak-hak kewarisan,
hak atas kekayaan, pemeliharaan anak, perceraian, pengangkatan anak,
perwalian anak, dan poligami. Jadi, negara memberi persamaan kepada
perempuan, tetapi kalau agama menentukan lain, negara tidak ikut campur.50
Terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak responsif dan
terdapat peraturan perundang-undangan yang menjamin kesetaraan dan
keadilan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi tidak sedikit peraturan perundang-
undangan, termasuk kebijakan, dan rancangan undang-undang sekalipun, yang
tidak responsif terhadap kepentingan perempuan, malahan berimplikasi
terhadap terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Hal ini
49 Kelompok Kerja convetion Watch, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk
Mewujudkan Keadilan Gender/Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia; edisi III.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2007), h. 65.
50 Agnes Widanti, Hukum berkeadilan Jender, h. 19.
menunjukkan bahwa terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang
saling bertentangan satu sama lain, baik secara vertikal maupun horizontal.
Mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang sangat dikenal sarjana
hukum, sebenarnya keadaan ini tidak boleh terjadi. Peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, apalagi undang-undang dasar. Namun, inilah yang
terjadi di indonesia.51
Padahal Undang-undang dasar 45 Pasal 27 (b) menyebutkan telah
menyatakan kesamaan di muka hukum bagi setiap warga negara, tetapi terdapat
banyak undang-undang sampai peraturan daerah, yang mengandung rumusan
yang berstandar ganda. Contohnya dalam pasal 34 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenai perkawinan memberikan status
kepada suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga,
dengan berbagai implikasinya, terutama bagi perempuan bekerja karena tidak
dianggap sebagai pencari nafkah utama. Kondisi diatas menunjukkan bahwa
hukum sesungguhnya tidak netral (tidak berpihak) dan objektif (secara tepat).
Perbedaan jender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak
melahirkan ketidakadilan jender. Namun ternyata perbedaan jender baik
melalui mitos-mitos, sosialisasi, kultur, dan kebijakan pemerintah telah
51 Sulistyowati, Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berprespektif
Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Universitas Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 33.
melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan. Sedangkan hukum adalah
pencerminan dari standar nilai yang dianut oleh masyarakat.52
Bias jender dari pemahaman keagamaan ini menyebabkan terjadinya
ketimpangan peran sosial wanita dalam posisi dan interaksinya di masyarakat.
Karena itulah dengan adanya justifikasi teologis tersebut banyak kaum hawa
yang merasa dirinya tidak bisa disejajarkan dengan kaum pria. Kaum pria
dianggap lebih pintar, lebih hebat, dan lebih segalanya. Kalau kaum wanita
meminta sekedar untuk “disejajarkan” kaum pria tidak akan keberatan, namun
akan keberatan bila “didominasi” oleh kaum hawa sebagaimana dalam sistem
matriarchal. Keberatan tersebut kembali didasarkan pada tafsir teologis agama,
bahwa pria adalah pemimpin wanita. Tuntutan kaum hawa untuk mensejajarkan
diri dengan kaum pria bukan berarti ingin “mendominasi” pria sebagaimana
dalam sistem matriachal, melainkan untuk menuntut hak agar bisa diberikan
peran dan kesempatan yang sama dengan pria untuk berkiprah dalam bidang
kemasyarakatan dan pemerintahan.53
B. Hak Perempuan Menurut Undang-Undang Perkawinan
Allah SWT telah memberikan kepada perempuan hak untuk memilih
baik dalam aqidah, pernikahan, dan semua isi kehidupan lainnya. Bahkan
52 Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, h. 20.
53 Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 238.
perempuan diberikan kebebasan dalam memiliki harta benda. Melakukan
transaksi jual beli, hibah, dan sebagainya. Islam benar-benar menjaga hak-hak
kaum perempuan. Islam menempatkan seorang perempuan sebagai ibu, saudara
perempuan, istri dan anak dan Islam telah menempatkan mereka dalam posisi
yang sangat agung.54
Seorang perempuan muslimah akan selalu bergandeng tangan suaminya
dalam mengarungi bahtera kehidupan dengan saling tolong menolong,
menunjukkan kejalan yang benar. Islam telah mengakhiri perbudakan terhadap
kaum perempuan, secara tidak langsung telah memberikan kesempatan bagi
mereka untuk mendapatkan kembali kehormatan, kemudian memiliki suami
dan anak dalam sebuah keluarga yang utuh. Islam juga telah memberikan hak
untuk meminta talak ketika hal tersebut memang harus dilakukan.55
Karena itu, merupakan hal yang amat penting untuk disadari oleh semua
pihak. Lebih-lebih perempuan sendiri bahwa harkah dan martabat mereka sama
sekali tidaklah berbeda dengan laki-laki. Penekanan ini perlu karena sebagian
kita, laki-laki atau perempuan tidak menyadari hal tersebut dan menduga agama
yang menetapkan adanya perbedaan martabat itu.56
54 Ali Hosein Hakeem, Membela Perempuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama,
(Jakarta, Al-Huda, 2005), h. 44. 55 Ali Hosein Hakeem, Membela Perempuan, h. 44. 56 M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta:Lentera Hati, h. 108.
Betapapun, kita harus berkata dan yakin bahwa laki-laki dan perempuan
adalah sepasang makhluk Tuhan yang memiliki martabat dan kadar yang sama,
tetapi harus diakui pada bahwa terdapat perbedaan-perbedaan diantara mereka,
melalui perbedaan-perbedaan itu, masing-masing memiliki kemandirian yang
pada akhirnya bertujuan mengantar kepada terciptanya hubungan yang
harmonis diantara keduanya sebagai prasyarat bagi terwujudnya masyarakat
yang penuh kedamaian dan kesejahteraan bagi semua pihak.57
Semua manusia setara dihadapan Allah SWT dan tidak ada pembedaan
yang dibuat antara laki-laki dan perempuan. Manusia karena fitrahnya mampu
mendaki rangkaian gradasi (tingkat-tingkat) kesempurnaan spritual yang
berpuncak pada kedekatan maksimum dihadapan illahi.
Perempuan (pada umumnya) adalah merupakan jenis manusia yang
paling banyak memerlukan perlindungan pada masa-masa yang lalu, dikala
laki-laki menggunakan hak cerai secara semena-mena perempuanlah yang
banyak mengalami penderitaan akibat perceraian semacam ini bukan saja
merupakan pukulan moril bagi perempuan tetapi juga sangat memberatkan
hidupnya. Ia harus mencari nafkah untuk dirinya sendiri, dan tidak jarang juga
nafkah untuk anak-anaknya yang seharinya adalah tanggung jawab si mantan
suami. Pada umumnya perempuan enggan menuntut mantan suaminya untuk
57 M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 109.
membayar nafkah tersebut. Ia lebih suka bersikap diam walaupun dengan
konsekwensi penderitaan.58
Bahwa dalam hukum keluarga islam khususnya dalam pernikahan ada
titik-titik perbedaan aturan hukum berkenaan dengan soal kewajiban antara hak
pria (suami) serta kewajiban dan hak perempuan (istri). Itu bukan perbedaan
yang diproyeksikan untuk melakukan tindakan diskriminatif oleh siapa dan
terhadap siapapun, melainkan harus dipahami semata-mata sebagai pembagian
tugas (job deskription) yang sangat sistematik dan teratur guna mencapai tujuan
dari pelaksanaan akad nikah dan pembentukan rumah tangga yang
dikehendaki.59
Perbedaan biologis hormonal dan patalogis antara perempuan dan laki-
laki melahirkan seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan
perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan
pembentukan budaya atau lingkungan masyarakat pada tempat manusia itu
tumbuh dan dibesarkan sehingga pembentukan karakter melekat pada diri
perempuan dan laki-laki. Dengan perbedaan anatomi tunuh biologis hormonal
dan patalogis, mengakibatkan perbedaan psikis terhadap psikologi perempuan
dan laki-laki. Dengan kosrat wanita seperti melahirkan, haid, menyusui, maka
banyak keadaan-keadaan labil yang merupakan sifat dari perempuan. Ketika
58 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004, h. 170.
59 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 169.
haid, emosional perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, ketika melahirkan
banyak waktu-waktu yang tersita untuk mengurusi dirinya dan bayi didalam
kandung. Pada dasarnya peran untuk meraih prestasi maksimum, tidak ada
pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Karena perempuan memiliki sebuah status khusus. Agar sukses meniti
langkah dijalan ilahiah yang dianutkan, ia harus menampilkan dirinya dalam
suatu cara yang membuatnya tidak akan disalahpahami dan dilecehkan oleh
kaum laki-laki.60
Dalam pasal 31 undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan menyatakan: Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum dan pihak suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah
tangga.61
Kewajiban perempuan yang telah memiliki suami yaitu kewajiban
utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan bathin kepada suami di dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Islam, dan kewajiban istri juga
60 Ali Hosein Hakeem, Membela Perempuan, h. 276.
61 Kompilasi Hukun Islam, Pasal. 31.
menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan
sebaik-baiknya.62
62 Kompilasi Hukun Islam, Pasal. 34.
BAB IV
IMPLIKASI ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK PEREMPUAN
A. Itsbat Nikah Dan Posisi Perempuan Dalam Pernikahan
Perkawinan yang sah telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dalam pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu” dihubungkan dalam pasal 2 ayat 2 yaitu: “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.63
Sebuah perkawinan akan memiliki kekuatan hukum dimata negara
apabila dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di negara ini. Adapun
mengenai keabsahan status perkawinan yang dilaksanakan sebelum berlakunya
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur di dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 64 yang berbunyi:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang terjadi sebelum undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini
berlaku dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah.64
Dari ketentuan ini maka perkawinan yang ada sebelum undang-undang
ini berlaku adalah sah. Begitu juga masalah itsbat nikah pun tetap sah. Karena
63 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 1, h. 2.
64 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,
(Jakarta: Intermasa, 1991), h. 99.
itsbat nikah ini sudah ada dan melembaga dalam himpunan penetapan dan
putusan Pengadilan Agama tahun 50-an. Kemudian setelah diundangkannya
Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang menggantikan segala landasan hukum
Peradilan Agama, sebenarnya memang lembaga itsbat nikah tidak dimekarkan
tetapi tidak berarti hilang.65
Kelemahan dalam Undang-undang ini kemudian dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama”. Dan pada ayat (3) Berbunyi: Itsbat nikah yang
dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan itsbat nikah yaitu:
2) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
b. Hilangnya Akta Nikah
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
65 Damsyi Hanan, Permaalahan Istbat Nikah: kajian terhadap pasal 2 uu No. 1/1974 dan
pasal 7 KHI, (Jakarta, Alhikmah & Ditbinbapera,1997), h, 77.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
3) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami istri, anak-
anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan
itu.66
Pemberian mahar merupakan lambang (tanda) kecintaan suami terhadap
istrinya. Kewajiban pemberian mahar yang dibebankan kepada suami dan
bukan kepada istri pada hakekatnya berkaitan dengan realitas sosial bahwa laki-
laki biasanya berinisiatif mengungkapkan perasaan cintanya kepada perempuan
dan meminangnya, bukan sebaliknya. Untuk menegaskan ketulusannya dan
untuk perhatian si perempuan (calon istri), si laki-laki perlu memberikan
sesuatu kepadanya sebagai mahar. Karena perempuan memiliki kecantikan,
kelembutan dan daya tarik tersendiri, menyebabkan laki-laki terpikat hatinya
untuk melamarnya.67
Hukum Islam, pada umumnya mempunyai tujuan “melindungi” wanita,
Hukum Islam memberi batasan yang tepat tentang hak-hak wanita dan
menunjukkan perhatian yang mendalam untuk menjaminnya dalam Al-Qur’an
dan hadits memerintahkan kepada suami untuk memperlakukan istri dengan
66 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 7, h. 16.
67 Hadidjah dan La jamaa, Hukum Islam & Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, (STAIN: Ambon Press, 20007), h. 71.
adil, baik dan perhatian. Al-Qur’an dan hadits juga memberi konsepsi yang
lebih bermoral mengenai pernikahan dan menuju untuk mempertinggi
kedudukan perempuan muslimah dengan memberinya hak-hak yuridis sekitar
pernikahan dan kerumahtanggaan dimana pihak istri mutlak berhak memperoleh
mahar (mas kawin) dimana syarat, hak mendapatkan tempat tinggal dan
terutama hak belanja dan hak-hak kesejahteraan kerumahtanggaan lainnya68
Kewajiban suami kepada istrinya setelah dilangsungkan akad
pernikahan adalah memberikan mahar atau sidaq, seperti dalam Al-Qur’an ini:
XYZ[1\�☺%*���� H^�� ����12�_[*�� `/�� �� FY�=(:� ?@XR�[�☺��- � 1:;�L a���
?@�=%>(:b 9 c+�Od-�� @�=�* �c� �����.�� ?@XR�*e�� M�-
����5?R�" @�=�*e��%����& $f�[g\%'h �i?j⌧k ��fg��l12�� 9
��☺�8 �� G;F☺;m�� n�O�& o^qr�� o^Gs�G"�a�8
tuGs�.��,d- �vDw�xj�8 9 D/�� ���Z[�, ?@�=%>(:b ��☺T�8
y5B1zej�" n�O�& L^�� �!G& �vDw�xj⌧l%*�� 9 cM�� ����
M�⌧L �{☺T�:� �|☺Tg=�O ) 24: ا�.-�ء(
Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum
itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang Telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
68 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 170.
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. (Qs. An-Nisa: 24)
Islam telah menetapkan dengan tepat dan pasti bahwa orang laki-laki
mempunyai kelebihan satu derajat diatas perempuan. Ilmu biologi dan psikologi
membuktikan adanya perbedaan kedua jenis tersebut. Islam memperlihatkan
standar yang benar. Kemudian membatasi tugas-tugas kedua jenis itu derajat
mereka sesuai dengan perbedaan keadaannya. Islam telah memperhatikan tiga
perkara dalam menetapkan hak-hak perempuan.69
Pertama: Larangan kepada laki-laki untuk menyalahgunakan wewenang
yang diberikan kepadanya dalam memimpin keluarga dan mengurusi keluarga
dan menjadikannya sebagai alat untuk menganiaya perempuan sehingga
hubungan antara perempuan dan laki-laki seperti pelayan dan tuannya.
Kedua: Semua kesempatan wajib diberikan kepada perempuan untuk
mengembangkan keahlian dan bakatnya yang asli dalam batas-batas tatanan
sosial secara optimal dan melakukan pekerjaan untuk mengembangkan
peradaban dengan cara sebaik-baiknya.
Ketiga: Bagi perempuan mudah untuk mencapai tingkat keberhasilan
dan kemajuan tertinggi. Disamping itu setiap kemajuan dan kesuksesan harus
dicapai dengan tetap sebagai perempuan.
69 Muhammad Ibrahim, Al-Jamal Fiqhul Mar’atil Muslimah. (Jakarta: Pustaka Amani, 1995),
h. 403.
Apa yang telah diberikan Islam kepada perempuan berupa hak-hak
peradaban dan ekonomi yang luas dengan memperlihatkan ketiga perkara ini
secara penuh disamping derajat kemuliaan yang tinggi dan hukum moral adalah
termasuk jaminan yang tetap dan kekal untuk memelihara hak-hak dan
derajatnya ini.70
B. Implikasi Itsbat Nikah Terhadap Perempuan
Sesuai dengan tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan
kemaslahatan, hukum keluarga di Indonesia mengaturnya dalam pencatatan
perkawinan, pentingnya pencatatan pernikahan bagi kehidupan berumah tangga
pada pasangan suami istri, maka pemerintah membuat suatu aturan tentang
pencatatan perkawinan yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban
perkawinan di masyarakat dan kepastian hukum ini merupakan suatu upaya
yang diatur dalam perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan
kesucian (Mitsaqon al Gholidhon) perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi
perempuan dan anak-anak71
dalam kehidupan rumah tangga.
Melakukan pernikahan sesuai dengan prosedur administrasi pernikahan
yang sah berguna untuk menjamin terpeliharanya hak-hak dan kewajiban para
pihak, baik hak suami, hak istri maupun hak anak. Melalui pencatatan
70 Muhammad Ibrahim, Al-Jamal Fiqhul Mar’atil Muslimah, h. 406
71 Atho Muzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberelisasi, (Jakarta:Titian
Ilahi Pers, 1998), h. 180.
pernikahan, suami atau istri akan cenderung lebih bertanggung jawab
menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam berumah tangga. Apabila salah
satu suami atau istri tidak bertanggung jawab, maka dengan akta nikah yang
dimilikinya, pihak yang dirugikan dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau memperoleh haknya.72
Dalam pencatatan perkawinan, Perbedaan yang dapat diungkap dari
pandangan Hukum Islam dan hukum positif mengenai kedudukan hukum
pencatatan perkawinan adalah tidak ada, karena keduanya sama-sama
memandang pencatatan perkawinan adalah tidak ada, karena keduanya sama-
sama memandang pencatatan perkawinan sebagai perkara yang wajib dilakukan
oleh pasangan yang hendak menikah.
Sedangkan dalam hal akibat hukumnya terdapat perbedaan antara
keduanya, yaitu bahwa dalam Hukum Islam, pencatatan perkawinan itu tidak
berakibat pada legalitas perkawinan itu sendiri dimata hukum perkawinan yang
tidak dicatatkan dalam pandangan hukum Islam tetap mendapat pengakuan
hukum mengenai telah terjadinya perkawinan tersebut, sepanjang perkawinan
itu memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh hukum agama. Salah
satu wujud pengakuan itu yaitu hubungan seksual antara suami-istri yang
dianggap halal, dan anak keturunannya dinasabkan kepada nasab suami.
72 A. Sutarmadi, Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga,
(Jakarta:Anggaran DOP/DIPA/Non reguler Fakultas Syariah dan Hukum, 2006), h. 1.
Sedangkan akibat hukum pencatatan perkawinan dalam hukum positif
berakibat pada legalitas perkawinan itu sendiri di mata hukum. Dalam
pandangan hukum positif perkawinan yang tidak dicatat dan tidak mendapatkan
pengakuan hukum, karenanya perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi
dimata hukum, walaupun perkawinan tersebut telah dilakukan berdasarkan
ketentuan agama atau kepercayaan yang dianut. Hal ini secara otomatis juga
menyebabkan anak yang dilahirkan dari pernikahan itupun juga diakui oleh
hukum sebagai anak orang tuanya, apalagi anak itu tidak memiliki akta lahir,
karena dalam pembuatan akta lahir diharuskan menyerahkan akta nikah sebagai
bukti adanya perkawinan sebagai sebab adanya anak tersebut.
Perkawinan yang dilakukan di luar peraturan perundang-undang tidak
mempunyai kekuatan hukum status perkawinannya dan harus disahkan
nikahnya di pengadilan agama yaitu dengan itsbat nikah, itsbat nikah yang
dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas pada pasal 7 ayat 3, yaitu Adanya
perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah,
adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan,
adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang
perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dengan disahkannya
pernikahan tersebut maka akan memperoleh bukti otentik dan sah dimata
hukum dan negara dalam perwujudan akta nikah.
Menurut pandangan penulis bagi pasangan suami istri yang itsbat
nikahnya diterima oleh pengadilan agama maka perkawinannya mempunyai
kekuatan hukum dan kepastian hukum, seperti dalam kaidah hukum Islam,
apabila perkawinannya itu dicatatkan lewat pencatatan perkawinan dan
membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi
tegaknya rumah tangga. Dimana esensi dari itsbat nikah itu sendiri adalah
pencatatan perkawinan. Dengan dicatatkannya perkawinan maka pihak tersebut
akan mendapatkan bukti otentik telah terjadinya perkawinan tersebut yang
berwujud dalam bentuk akta nikah.
Sehingga dampaknya anak-anak yang terlahir dari pernikahan itu
mendapatkan hak-haknya, seperti akta kelahiran, yang nantinya dapat
bermanfaat untuk kehidupannya dimasa depan, seperti didaftarkan pada sebuah
sekolahan. Dan bisa mendapatkan hak atas harta gono-gini dan harta warisan,
dan anak akan lebih kuat hubungan hukum terhadap ayah kandungnya.
Dan seorang istri juga dapat kelakuan yang baik dari hukum dengan
status pernikahannya dianggap sah oleh Negara, dan dipandang oleh
masyarakatpun bukan isrti simpanan tetapi istri yang sah dimata hukum Negara,
dan berhak mendapatkan harta gono-gini, harta warisan dari perkawinan yang
dilakukan dengan mencatatkan pernikahannya lewat pegawai pencatat nikah
yang disingkat (PPN).
Apabila tidak diitsbatkan nikahnya maka pasangan suami istri tidak bisa
melakukan upaya hukum karena itsbat nikah merupakan saluran hukum yang
bisa dipergunakan pasangan suami istri bila terjadi konflik perkawinannya,
serta pernikahan yang tidak dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat nikah
atau yang dikenal dengan nikah sirri (dibawah tangan). Sebab dari awal
perkawinan mereka memang dianggap tidak pernah terjadioleh negara karena
tidak dicatatkan. Sebaliknya perceraian yang terjadi yang tidak didepan
pengadilan agama sementara perkawinannya sah secara hukum negara juga
tidak akan membawa dampak hukum, mereka masih dianggap sebagai
pasangan yang sah walaupun menurut agama mereka sudah sah bercerai ketika
syaratnya terpenuhi.
Menurut pandangan penulis, adanya itsbat nikah yang ditolak oleh
hakim karena tidak adanya surat izin poligami dimana ketentuan surat izin
poligami tidak terakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7,
namun hakim tidak melihat kemudharatan perempuan dan anak akan
berdampak sangat merugikan bagi perempuan dan anak.
Apabila hal tersebut terjadi, maka pihak yang paling dirugikan adalah
perempuan dan anak dari hasil perkawinan tersebut, implikasi dari itsbat nikah
ditolak terdapat dari segi sosial, hukum, psikologi yaitu:
a. Secara sosial
Jika dilihat dari segi aspek sosial banyaknya perkawinan yang dilakukan
oleh masyarakat dengan melanggar undang-undang perkawinan No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan berbagai
alasan seperti halnya perkawinan poligami tanpa izin dan melakukan
perkawinan bawah tangan, sehingga korban dari perkawinan tersebut adalah
anak-anak yang tidak berdosa baik secara sosial maupun psikologinya, antara
lain kurangnya mendapatkan perhatian dari kedua orang tua seperti orang tua
pada umumnya sebuah keluarga yang sakinah mawadah warahman. Pasangan
yang melakukan perkawinan dibawah tangan akan sulit bersosialisasi karena
mereka yang telah melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah
tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo)
atau dianggap menjadi istri simpanan.
b. Secara hukum
Perempuan tidak dianggap sebagai istri sah, Perempuan tidak berhak
atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia, Perempuan tidak
berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan
yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah
tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.73
c. Secara psikologis
Keberadaan akta kelahiran bagi seorang anak akan memiliki arti yang
sangat penting. Apabila anak akan didaftarkan pada sebuah sekolah, maka
syarat utamanya harus disertakan akta lahir. Jika akta lahir tidak ada, anak
tersebut akan kesulitan untuk terdaftar pada sekolah. Oleh karena itu setiap
orang tua harus memiliki kesadaran membuat akta lahir bagi anaknya. Hal lain
yang perlu diperhatikan dengan adanya akta kelahiran adalah pengakuan secara
hukum yang dimiliki oleh orangtua dan anak. Dalam kasus ketika orangtua
terpisah dari anaknya akibat bencana alam misalnya, akta kelahiran akan
membantu orangtua si anak untuk membuktikan kembali bahwa anak yang
terpisah adalah anak mereka.74
Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan
menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang
dilahirkan di mata hukum, yakni: Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai
anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan
73 “LBH Apik”. Di akses pada tanggal 20 Juli 2009 dari http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh
tangan.htm.
74 “Pentingnya Akta Kelahiran Anak”, Di akses pada tangga l 9 Juli 2009 dari
http://www.idlo.int/docNews/256DOC1.pdf.
hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 Undang-undang Perkawinan
N0. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 100 Kompilasi Hukum Islam).
Dalam pasal 42 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yaitu Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian pasal 43 yaitu ayat 1) Anak
yang sah dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di
atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Dan dalam pasal 100
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.75
Di dalam akta kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar
nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan
berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah
akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan
ibunya. Ketidakjelasan status si anak di mata hukum, mengakibatkan hubungan
antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya
menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Yang jelas
merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan,
nafkah dan warisan dari ayahnya.76
75 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal: 42, h. 17.
76 “Pentingnya Akta Kelahiran Anak”, artikel ini Di akses pada tanggal 9 Juli 2009 dari
http://www.idlo.int/docNews/256DOC1.pdf.
d. Terhadap anak
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dimana dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga
merupakan tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita hidup keluarga
khususnya, dan masyarakat umumnya serta memiliki peran strategis dalam
menjamin kelangsungan kehidupan di masyarakat. Agar setiap anak mampu
memikul tanggung jawab tersebut, maka anak perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik maupun
mental.
Penting juga adanya perlindungan untuk anak serta memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak-haknya yang jauh dari segala bentuk diskriminasi.
Kelahiran seorang anak di tengah-tengah keluarga, tentu akan memberi
kebahagian tersendiri bagi keluarga tersebut. Kehadiran anak sebagai anggota
keluarga yang baru, menjadi bagian dari tanggung jawab orang tua untuk
mendidik anak tersebut menjadi orang yang berguna.
Satu hal paling penting lainnya, yang harus dipikirkan oleh orang tua
setelah kelahiran anaknya adalah membuatkan akta lahir bagi anaknya.
Persoalan ini terkadang sering terlupakan oleh orang tua. Padahal selaku warga
negara, kelahiran seorang anak haruslah tercatat sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Pencatatan ini dilakukan dengan prosedural tertentu dan
diarsipkan dalam lembaran yang dikenal dengan nama Akta Kelahiran. Akta
kelahiran ini merupakan awal dari pencatatan terhadap diri seseorang di mata
hukum di Indonesia.
Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 23 tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan disebutkan bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan
oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa
kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Selanjutnya, Pasal
27 ayat (2) tentang administrasi kependudukan menyebutkan bahwa
berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan
Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta
Kelahiran. Berdasarkan undang-undang tersebut, para orangtua wajib segera
membuat akta kelahiran bagi anak mereka. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 5
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri
dan status kewarganegaraan.”77
Seharusnya hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara pasal 1 ayat 12 undang-undang tentang perlindungan
anak (UUPA) No. 23 Tahun 2002.78
77 Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, Pasal 5.
78 Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, Pasal 1.
e. Terhadap laki-laki atau suami
Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri
laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan.
Yang terjadi justru menguntungkan si suami, karena Suami bebas untuk
menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap
tidak sah dimata hukum Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya
memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya, Tidak
dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.79
Pada prinsipnya permohonan itsbat nikah dilakukan untuk kepentingan
kemaslahatan baik itu untuk istri, suami, ataupun anak. Itsbat nikah juga
merupakan suatu cara untuk melindugi hak-hak perempuan dalam pernikahan.
79 “LBH Apik”. Artikel ini di akses pada tanggal 20 Juli 2009 dari http://www.lbh-
apik.or.id/fact51-bwh tangan.htm.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Apabila terjadi penolakan itsbat nikah maka implikasi penolakan itsbat nikah
terhadap hak perempuan adalah perempuan sulit untuk mendapatkan hak
atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum perkawinan
tersebut dianggap tidak pernah terjadi, istri juga tidak berhak atas nafkah dan
warisan dari suami, dan jika suami meninggal dunia dan terdapat warisan
maka istri dan anak sulit mendapatkan hak dari harta warisan, dan anak
kesulitan mendapatkan akta kelahiran sebab orang tuanya tidak memiliki
akta nikah dan hak-hak anak sulit atas biaya pendidikan dan kebutuhan si
anak.
2. Bahwa perkawinan yang dilakukan diluar peraturan undang-undang atau
dibawah tangan dapat diitsbatkan di pengadilan agama dengan syarat-syarat
yang sesuai dengan pasal 7 kompilasi hukum islam (KHI) ayat 3,
perkawinan yang dilakukan diluar peraturan undang-undang sama juga
perkawinan yang tidak tercatat tidak mempunyai kepastian hukum dan
kekuatan hukum, sesuai pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang intinya perkawinan itu sah apabila dilakukan
menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan perkawinan
harus dicatat menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku
diindonesia yaitu undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
pasal 2, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 5 dan 6, dan peraturan
pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang no.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 2.
3. Kedudukan perkawinan yang tidak bisa diitsbatkan tidak mempunyai
kekuatan hukum sehingga suatu saat bila didatangkan masalah maka
pasangan suami istri tidak dapat melakukan upaya hukum. yang tidak bisa
diitsbatkan karena melanggar undang-undang dan tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan undang-undang. Dalam pasal 7 ayat 1 Kompilasi
Hukum Islam (KHI), Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah dan dalam ayat 2 dijelaskan dalam
hal perkawinan tidak dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat
nikahnya ke pengadilan Agama, dan untuk mengajukan itsbat nikah di
Pengadilan Agama terdapat batasan-batasan sebagaimana ditegaskan pasal 7
ayat 3 Kompilasai Hukum Islam (KHI).
B. Saran-saran
Untuk Mengakhiri tulisan ini, penulis ajukan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan hendaklah mencatat
perkawinannya. untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam
masyarakat dan melindugi hak-hak pasangan suami istri, baik administrasi
maupun tertib nasab.
2. Kepada penegak keadilan atau hakim, dan kepala pelaksana petugas
pencatatan nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA) disarankan untuk perlu
mensosialisasikan Undang-undang Tentang perkawinan pada masyarakat
melalui seminar dan penyuluhan, agar tidak terjadi perkawinan dibawah
tangan melalui khatib, dan ceramah.
3. Kajian ini tentang itsbat nikah (Pengesahan nikah) diharapkan dapat
dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran mulai dari tingkat Madrasah
Tsanawiyah (SMP) hingga Madrasah Aliyah (SMA). Dengan demikian
seputar itsbat nikah (Pengesahan nikah) dapat dipahami masarakat sejak
dini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemah
A. Sutarmadi, Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga,
(Jakarta:Anggaran DOP/DIPA/Non reguler Fakultas Syariah dan Hukum,
2006)
Abbas, Ahmad Sudirman. Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqih, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya denga Anglo Media, 2004.
Abdul Wahab Bauhdiba, Sexuality In Islam. Yogyakarta, 2004, Cet. Pertama, h. 54.
Abdullah, Gahani, Abdul, Dr., Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan
Pengadilan Agama, Jakarta: Internusa, 1991.
Ali, Zainuddin. “Hukum Perdata Islam Di Indonesia”. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Ibrahim, Muhammad, Fiqhul Mar’atil Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani , 1995.
Arto, A Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
____________, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar
Hukum No. 26 Tahun IVV (Mei-Juni, 1996).
Az-Zuhaily, Wahba. al Fiqh al Islami Wa Adillatuhu, Damsiq: Dar al Fikr,. 1989:
Mizan, 1999.
Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia. Hak
Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1999
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam,
1998.
“Dampak Perkawinan dibawah Tangan” artikel ini di akses pada tanggal 7 Juli 2009
dari http://wap.indosiar.com/berita-3.asp?id=21434&idjenis=6.
Di akses pada tanggal 17 Juni 2009 dari http://nasevi.blogspot.com/2009
0401archive. html
Faouziyah, Ulfah, “Itsbat Nikah dan Proses Penyelesaiannya di Pengadilan Agama
(Studi analisis Jakarta Timur)”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Hadidjah, dan La jamaa. Hukum Islam & Undang-undang Anti kekerasan dalam
Rumah Tangga, STAIN Ambon Press, 2007, Cet. 1.
Hanan, Damsyi, Permasalahan Itsbat Nikah, Kajian terhadap pasal 2 UU No. 1
Tahun 1974 dan Pasal 7 KHI, Mimbar Hukum, No. 31. Jakarta: Alhikmah &
Ditbinbapera, 1997.
Hakeem, Hosein, Ali, Membela Perempuan Menakar Feminisme dengan Nalar
Agama, Jakarta: Al-Huda, 2005
Indra, Hasbi, Dr, MA, dkk, Potret Wanita Shalehah, Jakarta: Penamadani, cet. II,
2004.
Imroah, “Analisa Penetapan Hakim No. 74/P2/1990/PA. Sumber Cirebon Tentang
Pengesahan perkawinan (Itsbat nikah) yang dilaksanakan malalui kawin
gantung di PA Sumber Cirebon”. Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang berprespektif
Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Universitas
Indoensia , 2006)
Kelompok Kerja convetion Watch, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk
Mewujudkan Keadilan Gender/Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas
Indonesia; edisi III. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2007.
LBH Apik. Di akses pada tanggal 20 Juli 2009 dari http://www.lbh-apik.or.id/fact51-
bwh tangan.htm
M. Hasbi Ash Shiddieqiy, Teungku, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar
Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta, Lentera Hati, 2005.
Mudzar, Atho. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisional dan Liberalisasi,
Jakarta: Titian Ilahi Pers, 1998.
Munawir, Ahmad Warson. “Al Munawir Kamus Arab-Indonesia”. Cet. Ke- 14.
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Nasution, Khairuddin, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,
Jakarta: INIS, 2002.
“Perlindungan Hukum Bagi Perempuan dalam Perkawinan”, artikel ini diakses pada
17 Juli 2009 dari http://wap.fajar.co.id/index.php.
“Pentingnya Akta Kelahiran Anak”, artikel ini di akses pada tanggal 9 Juli 2009 dari
http://www.idlo.int/docNews/256DOC1.pdf.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-1,
1995.
Soekanto, Soerjono, Prespektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta,
Rajawali, 1985.
Sofyan, Yayan, Itsbat Nikah bagi Perkawinan yang tidak dicatat, setelah
diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, “Ahkam IV”. No. 08 (2002).
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
Syamsudin, M. Operasional Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007.
Taridi, Ahmad, “Itsbat Nikah Sesudah Berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)”.
Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam bandung: Citra Umbara, 2007.
Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, Jakarta: Asa Mandiri,
cetakan pertama, 2007.
Widanti, Agnes, Hukum Berkeadilan Gender, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2005.
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: Undang-
undang N0. 7 tahun 1989, Jakarta: Pustaka Kartini: 1993.