Upload
dara-purnamasari-dersya
View
54
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
spondilolistesis
Citation preview
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Vertebrae
Kolumna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang
memungkinkan untuk bergerak. Kolumna vertebralis terbentang dari kranium
sampai ujung os coccygis. Kolumna vertebralis melindungi medulla spinalis,
menyangga berat tubuh dan merupakan sumbu bagi tubuh yang sebagian kaku dan
sebagian lentur, serta berfungsi sebagai poros untuk kepala berputar.6
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 vertebra, hanya 24 dari jumlah tersebut
(7 vertebra servikalis, 12 vertebra torakalis dan 5 vertebra lumbalis) yang dapat
digerakkan pada orang dewasa. Lima vertebra sakralis melebur untuk membentuk
os sacrum dan keempat vertebra coccygea melebur untuk membentuk os coccygis.
Korpus vertebra berangsur menjadi lebih besar ke ujung kaudal kolumna
vertebralis dan kemudian berturut-turut menjadi makin kecil ke ujung os coccygis.
Perbedaan struktural ini berhubungan dengan keadaan bahwa daerah lumbal dan
sakral menanggung beban yang lebih besar daripada servikal dan torakal.
Lengkung torakal dan sakrokoksigeal mencekung ke arah ventral. Sedangkan
servikal dan lumbal mencekung ke arah dorsal.6,7
Gambar 3.1. Anatomi Vertebrae
10
Vertebra yang khas terdiri dari corpus vertebra dan arcus vertebra. Korpus
vertebra adalah bagian ventral yang memberi kekuatan pada kolumna vertebralis
dan menanggung berat tubuh. Korpus vertebra terutama dari vertebra torakalis IV
ke kaudal berangsur bertambah besar supaya dapat memikul beban yang makin
berat. Arkus vertebrae adalah bagian dorsal vertebra yang terdiri dari pedikel dan
lamina arkus vertebra. Pedikel adalah taju pendek yang kokoh dan
menghubungkan lengkung pada korpus vertebrae, incisura vertebralis merupakan
torehan pada pedikulus arkus vertebrae. Incisura vertebralis superior dan incisura
vertebralis inferior pada vertebra-vertebra yang bertetangga membentuk sebuah
foramen intervertebalis. Pedikulus menjorok kearah dorsal untuk bertemu dengan
dua lempeng tulang yang lebar dan gepeng, yakni lamina arkus vertebra. Arkus
vertebra dan permukaan dorsal korpus vertebra membatasi foramen vertebralis.
Foramen vertebralis berurutan pada kolumna vertebralis yang utuh membentuk
kanalis vertebralis yang berisi medulla spinalis, meningen, jaringan lemak, akar
saraf dan pembuluh darah. Tujuh prosesus menonjol dari arkus vertebra, yaitu:7
- Prosesus spinosus menonjol dari tempat persatuan kedua lamina dan
bertumpang di sebelah dorsal pada prosesus spinosus vertebra di bawahnya.
- Dua prosesus transversus menonjol ke arah dorsolateral dari tempat
persatuan pedikulus dan lamina arkus vertebra.
- Prosesus artikularis superior dan inferior, masing-masing terdapat di kanan
dan kiri juga berpangkal pada tempat persatuan pedikulus dan lamina.
Sendi korpus vertebralis termasuk jenis sendi kondral (simfisis) yang
dirancang untuk menanggung beban dan kekuatan. Permukaan vertebra-vertebra
berdekatan yang bersendi memperoleh hubungan melalui sebuah diskus dan
ligamentum. Setiap diskus intervertebralis terdiri dari anulus fibrosus yang
terbentuk dari lamel-lamel fibrokartilago yang teratur konsentris mengelilingi
nukleus pulposus yang berkonsistensi jeli. Antara vertebra servikalis I (atlas) dan
II (axis) tidak terdapat diskus intervertebralis. Ketebalan diskus intervertebralis di
berbagai daerah berbeda satu dari yang lain. Diskus intervertebralis yang paling
tebal terdapat di daerah lumbal dan yang paling tipis di daerah torakal sebelah
kranial.6
11
Facet joint (articulatio zygapophysealis) adalah persendian kecil yang
menghubungkan tulang vertebra dengan yang lainnya. Facet joint merupakan
sendi diartrosis yang memungkinkan tulang belakang bergerak. Oleh karena
kelenturan kapsul sendi, tulang belakang mampu bergerak dalam batas wajar
dengan arah yang berbeda-beda.6
3.2 Definisi Spondilolistesis
Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas kata
spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)”, dan listhesis yang berarti
“bergeser”. Maka spondilolistesis merupakan istilah deskriptif untuk pergeseran
(biasanya ke anterior) dari vertebra terhadap vertebra yang dibawahnya.1
Spondilolistesis pertama kali digambarkan pada tahun 1782 oleh Herbinaux ahli
kandungan belgia yang menemukan suatu keadaan dislokasi lumbal kedepan
terhadap sakrum yang menghambat proses persalinan. Pembahasan mengenai
spondilolistesis tidak bisa dipisahkan dari spondilolisis (gambar 2.2a dan b).
Spondilolisis merupakan penyebab tersering spondilolistesis. Kata “lysis” berarti
defek atau rusak, istilah spondilolisis menggambarkan defek pars interartikularis
vertebra. Spondilolisis paling sering terjadi pada L5, sehingga L5 tergelincir
terhadap S1.2
Gambar 3.2a Spondilolisis, b. spondilolistesis3
3.3 Epidemiologi
Prevalensi spondilolistesis berkisar 6%- 9% dari populasi, tergantung pada
etiologi. Spondilolistesis dan spondilolisis terjadi pada 4% anak-anak usia 6
tahun, 6% pada usia dewasa dan sebanyak 47% pada atlet olahraga berisiko tinggi
seperti gymnastic. Insidensi spondilolistesis tipe ismik berkisar 5% berdasarkan
12
studi otopsi. Spondilolistesis degeneratif memiliki frekuensi tersering karena
secara umum populasi pastinya akan mengalami penuaan. Paling sering
melibatkan level L4-L5, sekitar 5,8% pria dan 9,1% wanita memiliki listesis tipe
ini.8
3.4 Etiologi dan Klasifikasi
Etiologi spondilolistesis multifaktorial. Ada lima jenis utama dari
Spondilolistesis dikategorikan oleh sistem klasifikasi Newman yang dinyatakan
lagi oleh Wiltse et al. berdasarkan etiologi dan anatomi:2,4
1. Tipe I : Displatik/Kongenital, defisiensi facet joint L5-S1, tanpa ada
kerusakan dan pemanjangan pars. Jenis displastik adalah spondilolistesis
kongenital murni karena anomali kongenital artikulasi lumbosacral dan
facet joint sehingga tidak dapat mencegah tergelincirnya L5 pada sakrum.
Facet dapat memiliki orientasi melintang, sagital atau melibatkan kifosis
lumbosakral akibat kegagalan pembentukan vertebrae anterior.
Gambar 3.3 Tipe I : Displastik Spondilolistesis
2. Tipe II : Ismik/Spondilolitik, lesi terletak pada bagian ismus atau pars
interartikularis, facet joint normal. Mempunyai angka kepentingan klinis
yang bermakna pada individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars
interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan
spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran kedepan dari
vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan spondilolistesis. Tipe II
dibagi dalam tiga subkategori :
- Tipe IIA yang disebut dengan litik atau stress spondilolisthesis dan
umumnya diakibatkan oleh mikrofraktur rekuren yang disebabkan oleh
13
hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fracture pars interarticularis
dan paling sering terjadi pada laki-laki.
- Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru.
- Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.
Gambar 3.4 Type II : Isthmik/Spondilolitik
3. Tipe III : Degeneratif, spondilolistesis bisa disebabkan oleh penuaan dan
keausan tulang, jaringan, otot-otot dan ligamen tulang belakang disebut
sebagai spondilolistesis degeneratif. Termasuk artritis degeneratif pada facet
joint.
4. Tipe IV : Trauma, termasuk fraktur akut pada bagian vertebra lainnya selain
pars.
5. Tipe V : Patologis lesi pada pars atau pedikel karena penyakit tulang
sistemik seperti metastasis atau penyakit tulang metabolik. Jenis ini telah
dilaporkan dalam kasus-kasus penyakit Paget, tuberkulosis dan tumor sel
raksasa.
Klasifikasi lainnya berdasarkan keparahan pergeseran vertebra, sistem
grading yang umum dipakai adalah sistem grading Meyerding (Gambar 2.5).
14
Kategori ini didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior korpus vertebra
superior hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior yang terletak berdekatan
dengannya pada foto rontgen lateral. Jarak tersebut kemudian dibagi dengan
panjang korpus vertebra superior total (Gambar 2.6) :3
- Grade 1 adalah 0-25 %
- Grade 2 adalah 25-50 %
- Grade 3 adalah 50-75 %
- Grade 4 adalah 75-100 %
- Spondiloptosis lebih dari 100 %
15
Gambar 3.5 Grade Spondilolistesis
16
Gambar 3.6. Pengukuran Derajat Spondilolistesis
3.5 Patofisiologi
Spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa akibat peningkatan
aktivitas fisik pada usia ini. Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe
utama, masing-masing mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara
lain tipe displastik, ismik, degeneratif, traumatik dan patologik.9,10
Spondilolistesis displastik merupakan kelainan kongenital yang terjadi
karena malformasi sendi lumbosakral dengan permukaan sendi yang kecil dan
inkompeten. Spondilolistesis displastik sangat jarang terjadi, akan tetapi
cenderung berkembang secara progresif dan sering berhubungan dengan defisit
neurologis berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan
prosessus transversus cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area
permukaan kecil untuk fusi pada bagian posterolateral. Spondilolistesis displastik
terjadi akibat defek arkus neural, seringnya pada sakrum bagian atas atau L5. Pada
tipe ini, 95 % kasus berhubungan dengan spina bifida occulta. Terjadi kompresi
serabut saraf pada foramen S1, meskipun peregserannya minimal.4
Spondilolistesis ismik merupakan bentuk spondilolistesis yang paling
sering. Spondilolistesis ismik (juga sering disebut spondilolistesis spondilolitik)
merupakan kondisi yang paling sering dijumpai dengan prevalensi 5-7%.
Fredericson et al menunjukkan bahwa defek spondilolistesis biasanya didapatkan
pada usia 6-16 tahun dan pergeseran sering lebih cepat. Ketika pergeseran terjadi,
jarang berkembang progresif. Spondilolistesis ismik umumnya tidak bergejala.
Sekitar 90% pergeseran ismus merupakan pergeseran tingkat rendah (low grade,
kurang dari 50%) dan sekitar 10% bersifat high grade (lebih dari 50% yang
mengalami pergeseran).4,9 Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam
perkembangan spondilolisis menjadi spondilolistesis. Tekanan / kekuatan
gravitasional dan postural akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars
interartikularis. Lordosis lumbal dan tekanan rotasional dipercaya berperan
penting dalam perkembangan defek litik pada pars interartikularis dan kelemahan
17
pars interartikularis pada pasien muda. Terdapat hubungan antara tingginya
aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek pada pars
interartikularis.9
Pada tipe degeneratif, instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit
diskus degeneratif atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan
spondilosis. Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3
kompleks persendian tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5 dan wanita usia tua
umumnya terkena. Cabang saraf L5 biasanya terkena akibat stenosis resesus
lateralis sebagai akibat hipertrofi ligament atau permukaan sendi.10
Pada tipe traumatik, banyak bagian arkus neural yang terkena / mengalami
fraktur, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak stabil.
Spondilolistesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai tulang, atau
berasal dari metastasis atau penyakit metabolik tulang, yang menyebabkan
mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan bagian posterior
sehingga menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan ini dilaporkan terjadi
pada penyakit Pagets, tuberculosis tulang, Giant cell Tumor dan metastasis
tumor.4,9
3.6 Gejala klinis
Presentasi klinis dapat bermacam-macam, tergantung pada jenis pergeseran
dan usia pasien. Selama tahun-tahun awal kehidupan, presentasi klinis dapat
berupa nyeri punggung bawah ringan yang sesekali dirasakan pada panggul dan
paha posterior, terutama saat beraktivitas. Gejala jarang berkorelasi dengan
tingkat pergeseran, meskipun disebabkan ketidakstabilan segmental. Tanda
neurologis seringkali berkorelasi dengan tingkat pergeseran dan melibatkan
motorik, sensorik dan perubahan refleks yang sesuai untuk terlibatnya akar saraf
(biasanya S1).11
Gejala yang paling umum dari spondilolistesis adalah:4,11
1. Nyeri punggung bawah.
Hal ini sering lebih memberat dengan latihan terutama dengan ekstensi
vertebra lumbal.
18
2. Beberapa pasien dapat mengeluhkan nyeri, mati rasa, kesemutan atau
kelemahan pada kaki karena kompresi saraf. Kompresi parah dari saraf
dapat menyebabkan hilangnya kontrol dari usus atau fungsi kandung kemih.
3. Ketegangan paha belakang dan penurunan jangkauan gerak punggung
bawah.
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya lebih tua dan datang
dengan nyeri punggung, radikulopati, klaudikasio neurogenik atau kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Pergeseran paling umum adalah di L4-5 dan kurang umum
di L3-4. Gejala-gejala akibat stenosis recessus lateral facet, ligamen hipertrofi
dan/ atau herniasi diskus. Radix L5 paling sering terkena dan menyebabkan
kelemahan ekstensor halusis longus.11
Penyebab gejala klaudikasio selama pergerakan, multifaktorial. Rasa sakit
berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk atau
bersandar. Fleksi memperbesar ukuran kanal oleh peregangan ligamentum
flavum. Hal ini mengurangi tekanan pada radix saraf sehingga mengurangi rasa
sakit.11
3.7 Pemeriksaan Fisik12
a. Inspeksi
Inspeksi pada tulang belakang dapat ditemukan skoliosis dan kifosis,
pastikan juga memeriksa postur, menilai kesimetrisan dan mengamati
setiap cacat pada garis tengah tubuh. Hemangioma atau kondisi abnormal
lainnya di sepanjang sumbu vertikal tubuh mungkin menandakan adanya
anomali intraspinal.
b. Palpasi
Seluruh tulang belakang harus dipalpasi untuk mengkonfirmasi lokasi
rasa sakit. Perhatikan jika nyeri dirasakan lebih pada struktur tulang dari
tulang belakang atau di otot paraspinal.
c. Rentang gerak
19
Setelah lokus nyeri dikonfirmasi, pasien diinstruksikan untuk fleksi dan
ekstensi tulang belakang untuk menilai perburukan nyeri. Temuan ini
patognomonik untuk spondilolisis dan spondilolistesis. Tes lain yang
berguna untuk membuat diagnosis adalah tes hiperekstensi satu kaki.
Pasien diminta untuk menaikkan satu kaki dari tanah dan bersandar ke
belakang. Jika nyeri timbul selama gerakan, mengindikasi adanya cedera
punggung, termasuk spondilolisis atau spondilolistesis. Hasil positif
dengan uji hiperekstensi satu kaki saja, bukan penanda klinis untuk
spondilolisis.
d. Tanda-tanda dan gejala otot
Hamstring tightness merupakan gejala yang 80% dikeluhkan pasien.
Akibatnya, pasien tidak mampu memfleksikan pinggul dan ekstensi lutut
secara bersamaan.
e. Fungsi motorik dan sensorik
Pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik penting untuk membedakan
kondisi neurologis dari kondisi ortopedi. Refleks tendon dalam, kekuatan
motorik ekstremitas bawah dan kemampuan sensorik juga perlu penilaian
hati-hati. Sensasi diregio cauda equina perlu evaluasi lebih lanjut karena
kemungkinan kompresi cauda equina. Hiperefleks menunjukkan lesi
upper motor neuron, sedangkan hiporefleks menunjukkan lesi lower
motor neuron. Seorang pasien dengan tanda-tanda neurologis positif
harus dirujuk ke spesialis neurologi.
3.8 Diagnosis Banding
Spondilolistesis bermanifestasi sebagai nyeri punggung bawah dengan
diagnosis banding luas. Penyebab patologis nyeri pinggang jauh lebih umum
daripada penyebab berhubungan dengan kelemahan struktural atau trauma. Perlu
kehati-hatian dalam membedakan keadaan ini, sehingga patologi dapat
diidentifikasi dan diobati dengan tepat. Diagnosis banding untuk nyeri punggung
bawah pada pasien termasuk:12
20
- Nyeri di malam hari atau dengan demam atau gejala umum lainnya: tumor atau
infeksi
- Nyeri akut: herniasi diskus, spondilolisis, fraktur tulang belakang atau
ketegangan otot
- Nyeri kronis: kyphosis Scheuermann, spondiloarthropati, inflamasi atau
masalah psikologis
- Nyeri dengan fleksi ke depan tulang belakang : herniasi diskus atau tergelincir
apofisis
- Nyeri tulang belakang dengan ekstensi: spondilolisis, spondilolistesis, lesi atau
luka di pedikel atau lamina (lengkung posterior)
- Nyeri dengan onset baru skoliosis: tumor, infeksi, hernia diskus atau skoliosis
idiopatik
3.9 Pemeriksaan Penunjang
Spondilolistesis mudah didiagnosis dengan menggunakan foto polos tulang
belakang. X-ray lateral akan menunjukkan kelainan apabila terdapat vertebra yang
bergeser ke depan dibandingkan dengan vertebra di dekatnya. Jika pasien
mengeluh nyeri, kebas-kebas, kelemahan pada tungkai, pemeriksaan penunjang
tambahan mungkin diperlukan. Gejala-gejala ini dapat disebabkan stenosis atau
penyempitan ruang tempat lewatnya saraf pada tungkai. CT scan atau MRI dapat
membantu mengidentifikasi kompresi saraf yang berhubungan dengan
spondilolistesis. Pada keadaan tertentu, PET scan dapat membantu menentukan
adanya proses akftif pada tulang yang mengalami kelainan. Pemeriksaan ini juga
berperan dalam menentukan terapi pilihan untuk spondilolistesis.11
1. Foto Polos Vertebrae
Empat proyeksi x-ray tulang belakang yang diperlukan untuk evaluasi
radiologi lengkap: antero-posterior (AP) (gambar 4.1), lateral (gambar 4.2) dan
obliq bilateral (4.3). Dibawah ini merupakan foto lumbosakral proyeksi
anteroposterior pasien laiki-laki 21 tahun dengan spondilolistesis derajat berat
menunjukkan gambaran densitas curvilinier pada daerah sacrum membentuk
gambaran topi Napoleoon terbalik (Inverted napoleon’s hat sign). Bentukan ini
akibat listesis L5 terhadap S1.11
21
Gambar 4.1 Inverted Napoleon’s Hat sign
Foto lateral pada gambar di bawah ini berguna dalam mendeteksi
spondilolistesis dan menunjukkan bagian yang mengalami kerusakan.3
Gambar 4.2 Spondilolistesis grade I. Radiografi lateral yang setentang vertebrae L4-S1 menunjukkan lusensi di daerah pars (panah). Pars bilateral mengalami kerusakan
sehingga tampak dalam proyeksi lateral1.
Proyeksi obliq sangat berguna dalam memvisualisasikan kerusakan pars
interarticularis, yang memiliki penampilan Scottie dog sign karena terlihat seperti
kerah di leher anjing terrier Skotlandia. Pemanjangan pars juga dapat terlihat.
Gambar 4.3a menunjukkan adanya pars cacat bilateral (panah), dengan
penampilan menyerupai Scottie dog with a collar (leher adalah kerusakan pars).
Gambar 4.2b Diagram dalam proyeksi miring menunjukkan komponen tulang
belakang yang mengakibatkan munculnya Scottie dog with a collar.1,3
22
Grade spondylolistesis dapat diukur dengan menggunakan tampilan lateral
(seperti yang terlihat pada gambar di bawah).
2. CT Scan
Gambar 4.3a1 Gambar 4.3b1
Gambar 4.3a Spondilolisis dan Spondilolistesis gr. I pada
pasien anak1
Gambar 4.3b Gr IV traumatik spondilolishesis1
Gambar 4.3c. Spondilolisis (panah)3
Gambar 4.3d. Scotty dog sign3
23
Visualisasi spondilolistesis pada radiografi polos terutama lateral,
menegaskan adanya spondilolistesis. Etiologinya mungkin tidak mudah terlihat
sehingga dibutuhkan modalitas lainnya untuk memperjelas. CT Scan dapat
membantu memperlihatkan gambar dalam berbagai potongan tubuh sehingga
dapat menentukan etiologi yang mungkin. Pada anak yang mengalami trauma,
pseudosubluksasi vertebra servikal dapat terjadi, temuan tersebut dapat
menyebabkan kebingungan dengan spondilolistesis traumatis. Korelasi klinis
dapat membantu dan CT scan mungkin diperlukan. CT scan tulang belakang dapat
dilakukan dengan atau tanpa kontras intratekal.12
Gambar 4.4a,b,c Potongan Sagital CT scan menunjukkan spondylolisthesis grade I dengan defek pars interartikulris.1
24
Gambar 4.5 CT Scan potongan axial menunjukkan spondilolisis bilateral (panah) tanpa elongasi kanalis spinalis.1
3. Single-photon-emission CT (SPECT)
Standaert dan Herring menyarnkan CT dikombinasikan dengan SPECT
sebagai standar untuk diagnosis lesi pars interartikularis. Banyak kasus
dilaporkan, hasil CT negatif bahkan ketika hasil SPECT abnormal, yang
menunjukkan bahwa kedua studi ini dibutuhkan. Pada kasus lain, CT dapat
membantu mengidentifikasi asal kelainan yang terlihat pada SPECT. Kerugian
untuk menggunakan kedua modalitas adalah pasien terkena radiasi tambahan. Jika
hanya satu metode yang akan digunakan, SPECT lebih direkomendasikan.3
Gambar 4.6 Spondilolistesis. Vertebra lumbal pasien 14 tahun dengan nyeri punggung. note hot spot di L5.5
Gambar 4.7 Spondilolistesis. Axial single-photon emission CT (SPECT) menunjukkan bilateral hot spots pada pars, mengindikasikan spondilolisis.1
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI lebih disukai dari CT dan SPECT karena tidak menggunakan radiasi
pengion. MRI kurang efektif mendeteksi spondilolisis dan spondilolistesis.
Literatur menunjukkan bahwa MRI tidak sensitif seperti SPECT dalam
mengidentifikasi stress fracture pada pars interartikularis. Secara umum, MRI
lebih unggul untuk memvisualisasikan patologi jaringan lunak (misalnya,
25
penyakit disk, kompresi akar saraf, peradangan), sedangkan CT lebih unggul
untuk visualisasi tulang. Dalam konteks nyeri punggung, MRI dapat informatif
bila diduga etiologi selain spondilolsis dan spondilolistesis. Feldman et al
merekomendasikan MRI untuk pasien dengan nyeri punggung menetap, nyeri
radikuler, nyeri malam hari dan / atau disertai keabnormal pemeriksaan
neurologis.3
Gambar 4.8 Pra operasi MRI T2 menunjukkan stenosis kanalis spinalis berat pada L59
2.11 Penatalaksanaan
2.11.1 Nonoperatif
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservatif. Pengobatan non
operatif diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit
neurologis yang stabil. Hal ini dapat berupa pengurangan berat badan, stretching
exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam
manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.3,4
2.11.2 Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas,
yang gagal dengan non operatif manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila
radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray disarankan
untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip
50% pada waktu diagnosis, indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis
26
walaupun tanpa gejala, fusi tetap harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi
dilakukan pada pasien dengan gejala neural kompresi. Bila manajemen operatif
dilakukan pada dewasa muda maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi
peningkatan slip yang bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi
fusi antara lain: usia muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat
aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi dievaluasi melalui lateral x-ray. Fusi
tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah,
osteoporosis, habitual tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka
kesuksesan fusi menurun. Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non
union) rate 40% pada perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan:3,4
1. anterior approach
2. posterior approach (yang paling sering dilakukan)
3. posterior lateral approach
2.12 Komplikasi
Progresifitas pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan
(traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang
membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk menstabilkan
spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root injury (<1%),
kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), kegagalan melakukan fusi (5%-25%),
infeksi dan perdarahan dari prosedur pembedahan (1%-5%). Pada pasien yang
perokok, kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat melakukan fusi ialah
(>50%). Pasien yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk
menderita spondilolistesis ismik atau kongenital yang lebih progresif. Radiografi
serial dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui
perkembangan pasien ini.5
2.13 Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal
kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien
27
dengan perubahan vertebra yang progresif dan degeneratif kemungkinan akan
mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya
spondilolistesis degeneratif meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan
pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila pergeseran
vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat dan menyebabkan
penekanan pada saraf (nerve compression) atau sciatica hal ini akan
membutuhkan pembedahan dekompresi.7