Upload
vucong
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan Dan Sistem Pembinaan
1. Pengertian Pidana Dan Pemidanaan
Hukum pidana merupakan istilah yang berasal dari Negara
Belanda yaitu istilah straafrecht, straaf berarti pidana dan recht berarti
hukum.Pengertian hukum pidana banyak dikemukakan oleh para sarjana
hukum, diantaranya adalah Soedarto yang mengemukakan bahwa hukum
pidana memuat aturan-aturan hukum yang meningkatkan kepada
perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu sebab-akibat
yang berupa pidana.1
Menurut Simon pidana adalah suatu penderitaan yang ditimpakan
kepada seseorang. Penderitaan tersebut oleh undang-undang pidana
dikaitkan dengan telah terjadinya pelanggaran terhadap suatu norma,
yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang
bersalah.2
Setelah dipahami pengetian pidana (straf), pertanyaan selanjutnya
adalah apa yang dimaksud dengan pemidanaan (veroordeling). Seperti
yang telah di kemukakan di muka, bahwa menurut Sudarto perkataan
pemidanaan adalah sinonim dari istilah penghukuman. Penghukuman itu
berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartiakn
sebagai,”menetapkan hukuman” atau “memutuskan tentang hukumannya.
1Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 2005) Hlm. 12.
2 Ibid, Hlm. 13.
Dengan demikian,pemidanaan dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana
oleh hakim yang merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan
pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak.3
2. Pengertian sistem pembinaan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yang telah
melakukan tindak pidana dan jatuhi vonis oleh pengadilan akan
menjalani hari-harinya didalam rumah tahanan atau Lembaga
Pemasyarakatan sebagai perwujudan dalam menjalankan hukum yang
diterimanya. Dalam Lembaga Pemasyarakatan itu, orang tersebut akan
menyandang status sebagai narapidana dan menjalani pembinaan yang
telah di programkan.
Dalam pasal 1 ayat 1 peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 1999
tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga binaan Pemasyarakatan
disebutkan bahwa “pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan
kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan
perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak
didik pemasyarakatan”.
Pembinaan narapidana yang dikenal dengan pemasyarakat untuk
peratama kalinya dikemukan oleh Suhardjo, pada waktu diadakan
konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembaga, mengenai perubahan tujuan
pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakat.4
3Ibid, Hlm. 19.
4 Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Cetakan Kedua,
Universitas Dipenogoro, 2005) Hlm. 45.
Efektivitas pidana penjara terletak pada aspek pencegahan, yaitu
seberapa jauh pidana penjara berpengaruh terhadap narapidana sehingga
dapat mencegah narapidana tersebut untuk mengulangi kejahatannya
menjadi residivis R.M Jackon menyatakan, bahwa suatu pidana adalah
efektif apabila si pelanggar tindak pidana lagi dalam suatu periode
tertentu. Selanjutnya ditegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu
pengukuran dari perbandingan anatar jumlah pelanggar yang dipidana
kembali dan tidak dipidana kembali.5 Sistem pembinaan inilah yang
menjadi alternative untuk meningkatkan efrektivitas piadana penjara
sehingga jumlah narapidana meningkatkan efektivitas pidana penjara
sehingga jumlah narapidana menjadi residivis akan semakin menurun.
Satu hal yang harus selalu diingat bahwa tindakan apapun yang
dilakukan terhadap narapidana baik dalam rangka pembinaan atau
lainnya harus bersifat mengayomi dan tidak bertentangan dengan tujuan
pemasyarakatan. Seperti yang di ungkapkan oleh bahrudin surjobroto:
dengan merupakan sistem pemasyarakatan, narapidana harus diayomi
dengan cara memberikan bekal hidup supaya ia menjadi warga yang
berguna dalam masyarakat. Dengan memberikan pengayoman tersebut
jelas bahwa penjatuhan narapidana penjara bukanlah dimaksud sebagai
tindakan balas dendam dari negara.6
5 Ibid,.
6 Bahrudin Sujobroto, Suatu Tujuan Tentang Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta:
Depertem,En Kehakiman RI, 1999) Hlm .45.
Mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem
kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Dasar hukum sistem perlakuan
terhadap narapidan ialah:
1. Kita Undang-Undang Hukum pidana;
2. Gestrichen Reglemen (Reglemen Penjara);
3. Dwangopvoeding regeling (DOR).
Sistem penjara bertujuan untuk membuat narapidana jera dan
tidak mengulangi perbuatannya lagi, maka orientasi pembinaannya lebih
bersifat “top down approach” yaitu program-program pembinaan yang
diberikan kepada narapidana, penetuan program yang bersifat “top down
approach” ini landasi pertimbangan keamanan, keterbatasan sarana
pembinaan, dan pandangan bahwa narapidana hanyalah objek semata,
dimana narapidana sebagai objek tidak dapat mengembangkan dirinya
sesuai dengan kebutuhannya.
Lahirnya Undang-Undang pemasyarakatan telah melalui proses
perjalanan yang panjang, rancangan, rancangan Undang-Undang
pemasyarakatan sesungguhnya telah selesai pertama kali pada tahun
1972, tetapi karena dianggap belum mendesak oleh pemerintah yang
berkuasa saat itu, maka rancangan Undang-undang tersebut tidak
dilanjutkan kembali oleh lingkungan masyarakat. Adapun pembinaan
kemandirian yang di arahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan
agar warga binaan permasyarakatan berperan kembali warga masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab.
3. Pola Pembinaan Narapidana
Sistem pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dilakukan
dengan berbagai tahapan dan dilakukan oleh para Pembina ada Pembina
khusus dibagian anak dan Pembina yang tidak khusus. Sejak narapidana
masuk ke dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, maka saat itu
narapidana menjalani pembinaan yang dalam pelasanaan programnya
tidak terlepas dari unsur masyarakat dan bersama-sama dengan
masyarakat itu dapat sembuh kembali dari segi-segi negatif. Jangka
waktu dari masing-masing tahap yang satu kepada tahap berikutnya tidak
sama serta dalam pelaksanaan proses pembinaan ini maju mundur
tergantung dari narapidana yang bersangkutan dan kadang-kadang ada
kalanya mengulangi lagi sebagian dari proses atau tahap yang dilalui
terutama jika belum belum mencapai hasil yang memadai. Artinya
masing-masing narapidana membutuhkan waktu yang berbeda-beda
tergantung dari keadaan narapidana yang bersangkutan.
Peraturan pemerintah Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pembinaan
dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan menyebutkan bahwa
Pembina pemasyarakat adalah petugas pemasyarakatam yang
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di
Lapas. Jadi hanya Pembina pemasyarakat inilah yang berhak untuk
memberikan pembinaan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam sistem pemasyarakatan pembinaan dan bimbingan yang
dilakukan oleh para Pembina, melalui tahap-tahap admisi atau orientasi,
pembinaan dan asimilasi antara lain:7
a. Tahap admisi dan orientasi, dimulai sejak warga binaan
pemasyarakatan memasuki lembaga dengan suatu kegiatan, meliputi
pengenalan terhadap suasana lembaga denga suatu kegiatan, meliputi
pengenalan terhadap suasan lembaga, petugas-petugas lembaga atau
pembina tata tertib atau disiplin, hak dan kewajiban selama berada
dilembaga. Jangka waktu tahap admisi ini adalah 1 (satu) minggu bagi
tahanan dan 1 (satu) bulan bagi warga binaan pemasyarakatan. Pada
tahapan ini di kenal sebagai pengenalan dan penelitian
lingkungan(MAPENALING).
b. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai ½
(satu per dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan
sangat ketat (maximum security) dengan tujuan agar warga binaan
pemasyarakatan dapat menyesusaikan diri dengan lingkungan dan
peraturan-peraturan yang berlaku terutama dalam hal perilaku.
c. Tahap asimilasi, pelaksanaannya dimulai 1/2 (satu per dua) sampai 2/3
(dua per tiga) dari masa pidananya, pada tahap ini mulai perkenalkan
warga binaan pemasyarakatan dengan jati diri (kecerdasan, mental,
dan iman) secara lebih mendalam pada masyarakat sekeliling lembaga
7 Pasal 6 surat keputusan menteri kehakiman R.I Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007
melalui olahraga, pramuka dan lain-lain. Pada tahap ini pengawasan
agak berkurang (medium security).8
d. Tahap intergrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan
menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya
masa pidana. Pada tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang.
Bagi warga binaan pemasyarakatan betul-betul sadar dan berkelakuan
baik berdasarkan pengamatan tim pengamat pemasyarakatan dapat
mengusulkan: citi biasa, cuti menjelang bebas, dan bebas bersyarat.
Sedang ruang lingkup prmbinaan berdasarkan keputusan Menteri
Kehakiman Tahun 1990 No. M-02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola
Pembinaan Narapidana/Tahanan, dapat dibagi dalam 2 (dua) bidang
yakni:
1. Pembinaan kepribadian yang meliputi:
a. Pembinaan kesadaran beragama
Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama
memberikan pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat
menyadari akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang benar-
benar dan perbuatan –perbuatan yang salah. Pembinaan kesadaran
Bergama ini bertujuan agar para narapidana dapat meningkatkan
kesadaran terhadap agama yang merka anut.
b. Pembinaan kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Usaha ini dilaksanakan melalui pembinaan pengenalan pancasila.
Untuk itu pembinaan ini diberikan dengan tujuan untuk
menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara dalam diri
para narapidana. Dengan tumbuhnya kesadaran berbangsa dan
bernegara dalam diri para narapidanaa. Dengan tumbuhnya
kesadaran berbangsa dan bernegara, diharapkan setelah para
narapidana keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka dapat
menjadi warga binaan yang baik dapat memberikan sesuatu yang
berguna bagi bangsa dan negaranya.
c. Pembinaan kemampuan Intelektual (Kecerdasan)
Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berpikir
warga binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat
menunjang kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama
masa pembinaan. Pembinaan intelektual dapat dilakukan baik
melalui pendidikan formal seperti belajar disekolah anak pada
umumnya hanya saja tempat dan ruang kelasnya berbeda masih
tetap di dalam lingkungan lembaga pemasyaratan pendidikan
formal, diselengarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
telah ada yang ditetapkan oleh pemerintah agar dapat ditingkatkan
semua warga binaan pemasyarakataan dan melalui pendidikan
non formal.
d. Pembinaan kesadaran hukum
Pembinaan kesadaran hukum warga binaan pemasayarakataan
dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan hukum yang
bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi
sehingga sebagai anggota masyarakat, meraka menyadari hak
dan kewajibannya dalam rangka turut menegakan hukum dan
keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbantuknya
perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat pada hukum.
Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk
keluarga sadar hukum (KADARKUM) yang dibina selama berada
di dalam lingkungan pembinaan maupun setelah berada kembali
di tengah-tengah masyarakat.
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat
Pembinaan dibidang ini dapat dikatakan juga pembinaan
kehidupan sosial kemasyarakatan yang bertujuan pokok agar
bekas narapidana mudah dapat diterima kembali oleh masyarakat
lingkungannya. Untuk mencapai ini, kepada meraka selama
dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina terus untuk patuh
beribadah dan dapat melakukan usaha-usaha sosial secara gotong
royong, sehingga pada waktu mereka kembali kemasyarakat
mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi
dalam pembangunan masyarakat lingkungannya.
2. Pembinaan Kemandirian
a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya
kerajinan tangan, industri rumah tangga dan sebagainya
b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil,
misalnya pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan
bahan alam menjadi bahan setengah jadi
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya
masing-masing, dalam hal ini bagi mereka yang memiliki
bakatnya itu. Misalnya kemampuan dibidang seni, maka
diusahakan untuk disalurkan ke perkumpulan seniman.
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan tidak
hanya memperhatikan ke masa depan mereka setelah keluar dari
Lapas. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan dan bimbingan yang
diberikan kepada narapidana meliputi bidang yang bersifat
kepribadian dan kemandirian (keterampilan).
B. Tinjauan Umum Tentang Anak
1. Pengertian anak
Anak adalah manusia yang berumur dibawah 8 (delapan) tahun,
demikian Konvensi Hak Anak (KHA) memaknai defenisi anak. Karna
usianya masih belia (menuju kedewasaan) maka anak memiliki
keterbatasan-keterbatasan dalam hal fisik dan psikologis. Oleh karnanya
KHA mengamanahkan beberapa hak anak yang harus diakui, dilindungi,
dan dipenuhi.Tidak seorangpun ataupun kekusaan apapun boleh
melanggar hak-hak tersebut.9
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pengertian anak atau
kedudukan anak yang ditetapkan dalam kebijakan pasal 34, pasal ini
mempunyai makna khusus terhadap pengertian anak dan status anak.
karna yang menjadi esensi dasar kedudukan anak, anak adalah subjek
hukum dan dibina untuk kesejahteraan anak. Pengertian anak menurut
UUD 1945 melahirkan atau menonjolkan hak-hak yang harus diperoleh
anak dan masyarakat, bangsa dan Negara. Terdapat pluralisme mengenai
kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan
mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak-anak. Pasal 45 KUHP,
mendefenisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16
(enam belas) tahun. Oleh karna itu, apabila tersangkut dalam perkara
pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan
kepada orang tuanya, wilayah atau pemeliharaanya dengan tidak
dikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan
kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah yang dalam
9Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2012) Hlm. 25.
perkara anak nakal telah berusia berumur 12 tahun tetapi belum berumur
18 tahun.
2. Pengertian Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang
telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan
anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1
angka 4 UU SPPA);
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5
UU SPPA)
Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori
Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak
Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan
banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak
dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem
peradilan pidana.
3. Hak-hak Anak
Anak merupakan bagian dari bangsa Indonesia, yang juga
merupakan generasi penerus bangsa memiliki hak konstitusional untuk
mendapatkan perlindungan oleh Negara Oleh karena Setiap anak dalam
proses peradilan pidana berhak:10
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh anak
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani
masa pidana berhak atas:
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;
c. Cuti mengunjungi keluarga;
d. Pembebasan bersyarat;
e. Cuti menjelang bebas;
f. Cuti bersyarat;
g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan Umur Terdakwa dan Tersangka Anak
10
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Dapat dipastikan bahwa terdakwa dalam sidang anak adalah anak
nakal. Pengertian anak nakal ini ada dua kelompok yakni anak yang
melakukan tindak pidana dan yang melakukan perbuatan yang terlarang
bagi anak. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah merumuskan
anak nakal ini yaitu, sebagai berikut:
1) Anak yang melakukan tindak pidana; atau
2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal
adalah umur. Dalam hal ini, masalah umur merupakan masalah yang
urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Umur
dapat berupa umur minimum maupun maksimum. Masalah umur
tentunya juga harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana.
Sehubungan masalah umur. Pasal 4 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 menetapkan sebagai berikut:
1) Dalam pasal 1 angka 3 yaitu, Anak yang berkonflik dengan hukum
yang selanjutnya disebut sebagai anak adalah anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 UU SPPA diajukan ke sidang
setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan
belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun,
anak tetap diajukan ke sidang anak.
Penjelasan rumusan di atas, bahwa batas umur anak nakal minimal
adalah 8 (delapan) tahun dan maksimal 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke
sidang anak adalah umur 18 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana
belum melampaui umur 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai
umur 21 (dua satu) tahun.
Pada praktek membuktikan terjadi tindak pidana sering ada unsur
penyertaan (deelneming). Dalam hal terjadi anak melakukan tindak
pidana bersama-sama dengan orang dewasa, sebagai berikut:
1) Anak tetap diajukan ke sidang anak.
2) Orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
3) Anggota ABRI diajukan ke Mahkamah Militer.
C. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Pidana Indonesia
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Berbicara tentang hukum, maka kita berbicara tentang sebuah
sistem memandang sebuah sistem sebagai keseluruhan yang terkait dan
saling berhubungan antara bagian-bagiannya. Hukum sebagai sistem
adalah serangkaian komponen-komponen yang saling terhubung satu
sama lain baik secara langsung maupun tidak langsung dan membentuk
suatu pola. Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang
terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain.11
Berbicara tentang persidangan kasus pidana, maka kita juga
berbicara tentang sebuah sistem, yakni sistem peradilan pidana. Sistem
peradilan pidana merupakan subsistem dari sistem peradilan di Indonesia
di mana peradilan Indonesia juga merupakan subsistem dari sistem
hukum di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan adanya suatu
hierarki sistem, di mana subsistem-subsistem dari sebuah sistem tertentu
menunjukkan ciri berupa adanya interelasi satu sama lainnya.12
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh
pakar hukum pidana dan para ahli dalam “criminal justice system” di
Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja
aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini
terbukti dengan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada
tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam
penegakan hukum adalah hukum dan ketertiban (law and order
approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut di
kenal denga istilah “law enforcement”. Istilah tersebut menunjukkan
bahwa aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan
dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Keberhasilan
11
Tolib Effendi, Praktik Peradilan Pidana, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2014, Hal.2. 12
Ibid.,
penanggulangan kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada
efektifitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian.13
Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang
memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui
pendekatan sistem (system approach) dan gagasan mengenai sistem ini
terdapat pada laporan pilot proyek tahun 1958. Gagasan ini kemudian
diletakkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi
nama “Criminal Justice System”.14
Istilah ini kemudian diperkenalkan
dan disebarluaskan oleh “The President’s Crime Commision”. Dalam
kurun waktu akhir tahun 1960-an dan pada tahun 1970, Criminal Justice
sebagai disiplin studi tersendiri telah muncul menggantikan istilah “law
enforcement” atau “police studies”. Perkembangan sistem ini di Amerika
Serikat dan di beberapa Negara Eropa menjadi model yang dominan
dengan menitikberatkan pada “The Adminitrasi of Justice” serta
memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam
penegakan hukum.15
Sistem peradilan pidana atau criminal justice system, menurut
Ecyclopedia Crime and Justice, dibedakan menjadi tiga batasan
pengertian yaitu batasan normatif, administratif, dan sosial. Sistem
peradilan pidana dilihat dari aspek norma atau sebagai sitem normatif
adalah a body of legal rules expressing social values through
prohibitions backed by penal sanction against conduct viewed as
13
Yesmil Anwar, Op.Cit.,Hal.33.
14
Ibid., 15
Ibid.,
seriously wrong or harmful. Dari sistem administratif, melihat sistem
peradilan pidana sebagai comprehends the official apparatus for
enforcing the criminal law, including the police and the other frontline
enforcement agencies, procecutorial authorities, the juciciary, and penal
and correctional facilities and service. Sedangkan sistem peradilan
pidana dari sudut sosial atau sebagai sistem sosial merupakan
pendefinisian pengungkapan yang terkait dengan seluruh unsur dalam
masyarakat dan cakupannya tidak hanya dalam lingkup hukum pidana
yang diundangkan oleh pembentuk undang-undang, melainkan meliputi
ketentuan yang ada dalam masyarakat pada semua tingkatan.16
Remington dan Ohlin mengemukakan bahwa Criminal Justice
System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai
suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-
undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses
interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.17
Mardjono
memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan
pidana adalah, sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-
16
Parman Soeparman, Op.Cit.,Hal.23. 17
Romli Atmasasmita, Loc.Cit.,
lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan
terpidana.18
Adnan Buyung Nasution melihat bahwa konsekuensi dari
pandangan yang sempit terhadap sistem peradilan pidana kan melahirkan
sistem hukum acara pidana yang hanya berorientasi pada punishment
semata. Padahal seharusnya fungsinya lebih dari itu. Hukum acara pidana
diadakan untuk menegakkan keadilan, memberantas kejahatan dan
mencegah kejahatan. Sebagai konsekuensi logis dari pemikiran yang luas
ini maka hukum acara pidana akan berorientasi pada kesisteman, suatu
sistem untuk menegakkan keadilan, memberantas kejahatan dan
mencegah kejahatan. Penerapan hukum acara pidana sebagai rangkaian
penegakkan hukum yang diarahkan untuk mencapai ketiga tujuan
tersebut disebut sistem peradilan pidana.19
Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi
digunakan sebagai padanan dari criminal justice system. Definisi
criminal justice system dalam Black’s Law Dictionary disebutkan sebagai
“The system typically has three components; law enforcement (police,
sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors, defense
lawyer), and corrections (prison officials, probation officers, parole
officers).
Pengertian tersebut lebih menekankan pada “komponen” dalam
sistem penegakan hukum, yang terdiri dari polisi, jaksa penuntut umum,
18
Ibid., Hal.2-3. 19
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Dan Hakim Ad Hoc, Papas Sinar
Sinanti, Jakarta, 2016, Hal.71.
hakim, advokat dan lembaga pemasyarakatan. Di samping itu pengertian
di atas juga menekankan kepada fungsi komponen untuk menegakkan
hukum pidana, yaitu fungsi penyidikan dan pelaksanaan pidananya.
Berbeda dengan pengertian dalam Black’s di atas, pengertian sistem
peradilan pidana seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem
peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum
pidana materiil, hukum pidana formiil maupun hukum pelaksanaan
pidana.20
Pengertian yang dikemukakan oleh Muladi tersebut, disamping
memberi penekanan pada suatu “jaringan” peradilan, juga menekankan
adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan
tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara
pidana maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan
tersebut, sedangkan dalam pengertian Black’s lebih menekankan pada
kelembagaannya (komponen). Pemahaman pengertian “sistem” dalam
pendapat yang lain menurut Gordon B. Davis sebagaimana dikutip
Muladi, dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical
system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk
mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti
20
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 1995, Hal.4
gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain
berada dalam ketergantungan.21
Dari pemahaman tersebut, pengertian “sistem” dalam sistem
peradilan pidana meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen
pendukung peradilan pidana maupun gagasan-gagasan yang tersitematis.
Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa sistem peradilan pidana
merupakan proses interaksi secara terpadu antara peraturan perundang-
undangan pidana, oraktik administrasi yang dijalankan lembaga peradilan
pidana dan pelaksanaannya. Terkait dengan pengertian diatas Hagan
membedakan pengertian antara criminal justice system dan criminal
justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap
tahap dari suatu putusan yang dihadapkan seorang tersangka dalam
proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya Sedangkan
criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap
instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.22
Peradilan pidana
sebagai proses menurut pengertian Hagan di dalamnya terdapat
pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing-
masing memberikan suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum
bagi tersangka atau terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai sistem
didalamnya terdapat kertakitan hubungan keputusan yang dibuat setiap
komponen terkait dalam prosesenya kearah suatu tujuan.
21
Ibid.,Hal.15. 22
Romli Atmasasmita, Op.Cit.,Hal.2.
Sementara itu Muladi mengemukakan bahwa, sistem peradilan
pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan
hukum pidana materiil, hukum pidana formal ataupun hukum
pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks
sosial. Sifat yang terlalu formal jika hanya dilandasi untuk kepentingan
kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.23
Muladi menegaskan bahwa makna integrated criminal justice
system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang
dapat dibedakan dalam:24
1. Sinkronisasi struktural (structural synchronization), adalah
keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga
penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial (substantial synchronization), adalah
kesamaan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam
kaitannya dengan hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural (cultural synchronization), adalah keserampakan
dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap
dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem
peradilan pidana.
23
Ibid.,hlm .6. 24
Ibid.,
Menurut subekti sistem peradilan pidana adalah suatu susunan
atau tatanan yang teratur suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian yang
berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil
dari suatu pemikiran untuk mencapai tujuan.25
Mardjono mengemukakan bahwa tujuan dari sistem peradilan
pidana adalah:26
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya
merupakan suatu open system, deterministic system, probalistic system,
physical system dan abstract system. Sistem peradilan pidana sebagai
sutau sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, suatu sistem
yang di dalam geraknya mencapai tujuan baik tujuan jangka pendek,
menengah dan maupun jangka panjang sangat dipengaruhi oleh
lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia, maka
sistem peradilan pidana (interaksi, interkoneksi dan interdependensi)
dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat: ekonomi,
25 Rusli muhamad, Sistem peradilan pidana Indonesia, UII Press Yogyakarta, 2011, Hlm
13. 26
Yesmil Anwar, Op.Cit.,Hal.35.
politik, pendidikan dan teknologi; semua subsistem-subsistem dari sistem
peradilan pidana itu sendiri (subsistem of criminal justice system).27
2. Model Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana mengenal beberapa model untuk
menjalankan proses peradilan dalam mencapai tujuan sistem peradilan
pidana.28
Herbert L.Packer, dalam The Limit Of Criminal Sanction telah
menjelaskan adanya dua model dalam penyelenggaraan peradilan
pidana.29
Sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu, bahwa
penggunaan model yang demikian itu tidak ada dalam kenyataan, atau
dengan kata lain bukan sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam
suatu sistem yang dianut dalam suatu negara, akan tetapi merupakan
sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek
peradilan pidana diberbagai negara. Pembedaan yang Packer sebutkan
adalah sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan struktur masyarakat
Amerika Serikat.30
Dua model tersebut adalah the crime control model dan the due
processmodel, yaitu sebagai berikut:
a) The Crime Control Model
The crime control model didasarkan atas anggapan bahwa
penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk
menindas pelaku criminal (Criminal Conduct), dan ini adalah tujuan
27
Ibid., 28
Ibid.,Hal.25.
29 Trisno raharjo, Mediasi pidana dalam sistem peradilan pidana, ( Yogyakarta Mata padi Pressindo ,2011) hlm. 3
30Yesmil Anwar Dan Adang, Op.Cit, Hlm.39.
utama dari proses peradilan pidana. Sebab dalam hal ini yang
diutamakan adalah ketertiban umum (Public Order) dan efisiensi.
Dalam model seperti inilah berlaku “Sarana Cepat” dalam rangka
pemberantasan kejahatan. Dan berlaku apa yang disebut sebagai
“Presumptiom Of Guilty”, kelemahan model ini adalah seringkali
terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia demi efisiensi.31
Nilai-nilai
yang melandasi the crime control model adalah:32
1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan
fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi suatu penegakan
hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya
dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses
peradilannya;
3. Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan
berlandaskan prinsip cepat dan tuntas. Model yang dapat
mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah model
administratif dan menyerupai model manajerial;
4. Asas praduga bersalah atau presumption of guilty akan
menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien;
5. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan pada kualitas
temuan-temuan fakta administratif karena temuan tersebut akan
membawa ke arah pembebasan tersangka dari penuntutan atau
31
Ibid, Hlm.40-41. 32
Tolib Effendi, Op.Cit, Hlm.27.
kesediaan tersangka untuk menyatakan dirinya bersalah (plead of
guilty).
b) The Due Process Model
The due process model adalah salah satu model dalam sistem
peradilan pidana yang lebih menekankan pada kesusilaan dan
kegunaan sanksi pidana.33
Dalam due process model, muncullah nilai
baru, adalah konsep perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
dan pembatasan kekuasaan pada peradilan pidana. Jadi dalam model
ini proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan, dan sifat otoriter dalam rangka
maksimum efesiensi. Dalam model ini diberlakukan apa yang
dinamakan dengan “Presumption Of Innocence”.34
Terdapat beberapa nilai-nilai yang melandasi the due process model,
yaitu:35
1. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi
atau human error menyebabkan proses ini menolak informal fact
finding process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif
factual guilt seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal-
adjudicative dan adversary fact finding. Hal ini berarti dalam
setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang
tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak
yang penuh untuk mengajukan pembelaannya;
33
Ibid.,Hal.26. 34
Yesmil Anwar Dan Adang, Op.Cit, Hal.42. 35
Tolib Effendi, Loc.Cit.,
2. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures)
dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme
administrasi peradilan;
3. Model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan,
sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt;
4. Gagasan persamaan di muka hukum (equality before the law)
lebih diutamakan;
5. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana
(criminal sanction).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “crime control
model” menekankan pentingnya penegasan eksitensi kekuasaan dan
penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan pelaku
kejahatan. Hal ini disebabkan oleh model ini memiliki asumsi, bahwa
setiap orang yang terlibat (tersangka atau tertuduh) dalam criminal
justice system ada kemungkinan bersalah, dan karenanya pelaksanaan
penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa,
dan hakim) harus semaksimal mungkin.36
Di lain pihak, “due process model” dilandasi pada
“presumption of innocence” sebagai dasar nilai sistem peradilan.
Tujuan utama due process model ini ialah melindungi seseorang yang
sungguh-sungguh tidak bersalah dan menuntut mereka yang benar-
benar bersalah. Oleh due process model dituntut adanya suatu proses
36
Romli Atmasasmita, Op.Cit., Hal.122.
penyelidikan (atas suatu kasus) secara formal dan penemuan fakta
secara objektif di mana kasus seorang tertuduh didengar secara
terbuka di muka persidangan dan penilaian atas tuduhan penuntut
umum baru akan dilakukan setelah tertuduh memperoleh kesempatan
sepenuhnya untuk mengajukan fakta yang membantah atau menolak
tuduhan kepadanya.37
3. Komponen Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui, baik dalam
pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam
lingkup praktik penegakan hukum, terdiri atas unsur kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Namun demikian,
apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau
instrumen dari suatu kebijakan kriminal, maka unsur yang terkandung di
dalamnya termasuk juga pembuat undang-undang sebagaimana
dikemukakan oleh Nagel yang tidak juga memasukkan kepolisian
sebagai salah satu komponen sistem peradilan pidana.38
Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa peran pembuat undang-
undang justru sangat menetukan dalam politik kriminal (criminal policy)
yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan
pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari
penegakan hukum.39
Dalam perspektif sistem peradilan pidana, proses
kekuasaan penegakan hukum di bidang hukum pidana adalah mencakup
37
Ibid., 38
Ibid., hlm.16. 39
Ibid.,hlm. 17.
seluruh kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana yang
dilakukan melalui kekuasaan penyidikan oleh kepolisian, kekuasaan
penuntutan oleh kejaksaan, kekuasaan mengadili oleh pengadilan dan
kekuasaan pemasyarakatan oleh lembaga pemasyarakatan.40
a) Kepolisian
Kepolisian Republik Indonesia memiliki tugas utama: menerima
laporan dan pengaduan dari publik mana kala terjadinya tindak
pidana; melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana;
melakukan penyaringan terhadap perkara-perkara yang memenuhi
syarat untuk diajukan ke kejaksaan; melaporkan hasil penyidikan
terhadap kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang
terlibat dalam proses peradilan pidana.41
Sebagai bagian dari proses penyelenggara negara, institusi
kepolisian pun terikat kepada aturan-aturan hukum dan prosedur-
prosedur tertentu serta dikontrol dan bertanggung jawab kepada
hukum Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar
pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebelum
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini berlaku adalah Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Lembaran Negara tahun 1997 Nomor 81, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3710) sebagai penyempurnaan dari Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
40
Tolib Effendi, Op.Cit.,hlm.147. 41
Ibid.,hlm.147-148.
Kepolisian Negara (Lembaran Negara tahun 1961 Nomor 145,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2289).42
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaannya diharapkan dapat
memberikan warna baru citra Polri ke depan serta mengubah perilaku
Polri sebagai pelindung, pengayom masyarakat dan tindakan represif
dalam rangka penegakan hukum merupakan upaya terakhir dalam
proses penyelesaian masalah dalam keterkaitannya dengan Criminal
Justice System.43
Pakar Kepolisian Amerika Serikat Walter Haltinger,
mengatakan bahwa bila kita mau melihat citra polisi, lihatlah keadaan
yang sama, karena pada dasarnya Polisi hanya bagaikan sebuah kaca
pengilon (cermin) yang membias wajah masyarakatnya. Bahkan
mantan Kapolri kita Rs.Soekanto mengatakan wajah Polisi pada
dasarnya merupakan pantulan wajah masyarakat.44
Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas dan tujuan polisi diatur
dalam Pasal 4 dan 5, yang menjelaskan bahwa:
Pasal 4
“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk
mewujdkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman,
42
Yesmil Anwar Dan Adang, Op.Cit., hlm.130-131. 43
Ibid., hlm.169. 44
Ibid.,hlm.132.
dan pelayanan kepada masyarakat serta tertibnya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.”
Pasal 5
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat
negara yang berperan dalam memelihara kemanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian
Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan
peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Berkaitan dengan tugas pokok polisi dalam rangka penegakan
hukum sebagai proses penyelesaian masalah suatu perkara pidana
dalam keterkaitannya dengan criminal justice system, maka dilakukan
penyidikan oleh penyidik polri. Maka pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yang
bersangkutan ditugaskan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan Pasal 17
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.45
45
Ibid.,
Kedudukan polri dalam bidang penyidikan adalah sebagai gardu
terdepan dalam sistem peradilan pidana (the gatekeeper of the
criminal justice system) yang merupakan amanah yang diberikan
kepada polri berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yaitu kaitannya dengan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap
suatu perkara tindak pidana. Secara substansial, proses penyidikan
tindak pidana. Secara substansial, proses penyidikan tindak pidana
merupakan suatu upaya penegakan hukum yang bersifat pembatasan
atau pengekangan hak-hak warga negara berdasarkan undnag-undang
yang berlaku, seperti: pemanggilan, penangkapan, penggeledahan,
penyitaan dan penahanan. Hal ini berarti bahwa dalam criminal justice
system penyelenggaraan fungsi kepolisian ditempatkan pada tatanan
represif, sehingga akan mempunyai ciri-ciri hukum peradilan pidana
criminal justice system yang mengutamakan perlindungan terhadap
hak asasi manusia. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, dijelaskan bahwa polri merupakan institusi yang diberikan
kewenangan untuk melakukan penyidikan perkara secara profesional
dan proporsional yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.46
b) Kejaksaan
Perkembangan selanjutnya adalah adanya suatu masa baru
dalam hukum acara pidana di Indonesia, dimana pada tanggal 31
46
Ibid.,
Desember 1981 diundangkan hukum acara pidana yang baru, yang
dengan sendirinya menggantikan hukum acara pidana yang lama
(HIR) dan sudah tentu dengan adanya perubahan itu berpengaruh
terhadap tugas-tugas dari jaksa, yaitu semula diperkenankan (menurut
HIR) sebagai penyidik, akan tetapi dengan pola kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana hanya sebagai penuntut umum.47
Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan dalam tata susunan
kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan, dipimpin oleh
Jaksa Agung yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.48
Kejaksaan memiliki tugas pokok menyaring kasus yang layak
diajukan ke pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan;
melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.49
Selain
tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
tugas dan wewenang kejaksaan dalam menjalankan fungsinya sebagai
subsistem/komponen penegak hukum sistem peradilan pidana
Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Fungsi kejaksaan sesuai Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia mencakup aspek preventif dan
aspek represif dalam kepidanaan serta Pengacara Negara dalam
keperdataan dan Tata Usaha Negara. Aspek preventif, berupa
47
Djisman Samosir, Op.Cit.,hlm. 81. 48
Ibid.,hlm.189. 49
Tolib Effendi, Op.Cit.,hlm.153.
peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamatan kebijakan
penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan,
pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik
kriminal. Sedangkan aspek represif yaitu melakukan penuntutan
dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan
pelepasan bersyarat, melengkapai berkas perkara tertentu yang berasal
dari Penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.50
c) Pengadilan
Pengadilan adalah salah satu proses dalam sistem peradilan
pidana yang tidak dapat berjalan tanpa adanya proses-proses lainya
yang mendahului, yaitu penyidikan dan penuntutan, karena dalam
tahap ini suatu perkara akan dinilai dari hasil yang dikumpulkan pada
tahap penyidikan dan penuntutan, apakah suatu perkara tersebut
melanggar hukum atau tidak dan apakah pelaku perbuatan tersebut
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dikatakan juga, saapada
tahapan ini, masyarakat akan mendapatkan keadilan sebagai akibat
dari adanya perbuatan yang telah mengakibatkan kerugian dalam
masyarakat, baik kerugian fisik maupun kerugian mental.51
Pengadilan berkewajiban untuk menegakkan hukum dan
keadilan; melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam
50
Yesmil Anwar Dan Adang, Op.Cit.,hlm.190. 51
Tolib Effendi, Op.Cit, hlm.158.
proses peradilan pidana; melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara
efesien dan efektif; memberikan putusan yang adil dan berdasarkan
hukum; dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga
publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses
peradilan di tingkat ini.52
Kedudukan lembaga peradilan dewasa ini mengalami
pergeseran makna yang signifikan dalam konteks penegakan hukum
dan keadilan untuk mewujudkan supremasi hukum. Namun seiring
dengan semangat reformasi di bidang hukum, fluktuasi apresiasi
masyarakat terhadap keberadaan lembaga peradilan yang benar-benar
mandiri dan merupakan benteng terakhir dalam penegakkan hukum
dan keadilan menjadi suatu keharusan (condition sine quanon).
Sementara disisi lain, fenomena degradasi tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap keberadaan lembaga peradilan semakin
menunjukkan betapa masyarakat mulai mencari alternatif-alternatif
cara penyelesaian masalah yang dialami. Alternatif-alternatif ada yang
dapat dipergunakan sebagai landasan di dalam upaya menyelesaikan
permasalahan hukum yang timbul diantara masyarakat (hukum dan
peradilan adat setempat).53
Namun demikian dalam perspektif normatif yuridis, keberadaan
lembaga peradilan sebenarnya sudah dilengkapi dengan berbagai
peraturan perundangan yang diharapkan dapat menjadi bingkai
52
Ibid., 53
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, 2004,
hlm.231-232.
kerangka normatif kehadiran lembaga itu sendiri.54
Sebagai sebuah
subsistem peradilan pidana dalam sistem peradilan pidana terpadu,
lembaga peradilan kehadirannya sudah dikawal dengan berbagai
macam peraturan perundangan, seperti: Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 yang kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung; Undang-
Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Seperangkat peraturan perundangan sebagaimana yang disebutkan
di atas, memang akhirnya tidak menjadi satu-satunya pranata untuk
menjadi lembaga peradilan merupakan salah satu sub sitem peradilan
pidana terpadu. Asas-asas yang dapat menjadi pondamen subsistem
peradilan pidana yang lain, adalah merupakan pranata yang juga
penting.55
d) Lembaga Pemasyarakatan
Selain kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan, terdapat
komponen lain yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari satu
kesatuan dalam sistem peradilan pidana, komponen tersebut adalah
54
Ibid., 55
Ibid.,
pemasyarakatan.56
Pemasyarakatan merupakan bagian yang paling
akhir dari sistem pemidanaan dalam tata atau sistem peradilan pidana.
Sebagai sebuah tahapan pemidanaan yang terakhirm sudah semestinya
dalam tingkatan ini harus terdapat bermacam harapan dan tujuan dari
sistem peradilan pidana terpadu yang ditopang oleh pilar-pilar proses
pemidanaan dari mula lembaga kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan.57
Tujuan utama dari lembaga pemasyarakatan adalah melakukan
pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan dan cara pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem
pemidanaan dalam sistem peradilan pidana. Di dalam lembaga
pemasyarakatan dipersiapkan berbagai program pembinaan bagi para
narapidana sesuai dengan tingkat pendidikan, jenis kelamin, agama
dan jenis tindak pidana yang dilakukan narapidana tersebut. Program
pembinaan bagi narapidana disesuaikan pula dengan lama hukuman
yang akan dijalani para narapidana dan anak didik, agar mencapai
sasaran yang diterapkan, yaitu agar mereka menjadi warga negara
yang baik dikemudian hari.58
Pengaturan mengenai bagaimana sistem,
organisasi, visi, misi dan tujuan dari sistem pemasyarakatan, telah
diatur dengan lugas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan.
56
Tolib Effendi, Op.Cit.,hlm.163. 57
Sidik Sunayo, Op.Cit.,hlm.236. 58
C.Djisman Samosir, Sekelumit Tentang Penologi Dan Pemasyarakatan, Bandung,
Nuansa Aulia, 2012, hlm.128.
Lembaga pemasyarakatan sebagai instansi terakhir di dalam
sistem peradilan pidana dan pelaksanaan putusan pengadilan, di dalam
kenyataannya tidak mempersoalkan apakah seseorang yang hendak
direhabilitasi itu adalah seseorang yang benar-benar terbukti bersalah
atau tidak. Bagi lembaga pemasyarakatan, tujuan pembinaan
pelanggar hukum tidak semata-mata membalas tetapi juga perbaikan
berdasarkan falsafah pemidanaan di Indonesia yang pada intinya
mengalami perubahan dari sistem pemenjaraan ke sistem
pemasyarakatan yang memandang narapidana orang-orang yang
tersesat yang perlu dididik agar bertobat.59
Hingga kini masih banyak suara-suara pesimistik tentang
eksisnya suatu sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated
criminal justice system) di negara kita. Padahal sistem ini sangat
penting dalam menanggulangi kejahatan di setiap negara. Dalam
kepustakaan sering disebut bahwa sistem peradilan pidana adalah
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat.60
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem ini. Mereka diharapkan
bekerja dalam suatu sistem peradilan pidana yang terpadu
(terintegrasi).61
59
Muhaddar, Dkk, Op.Cit.,hlm.253. 60
Zulkarnain, Peradilan Pidana: Penuntun Memahami Dan Mengawal Peradilan Pidana
Bagi Pekerja Anti Korupsi, Yappika-MCW, Jakarta, 2006, hlm.129. 61
Ibid,.
D. Tinjauan Umum Tentang Peradilan Anak dan Perlindungan Anak
1. Peradilan Anak Dan Perlindungan Anak
Peradilan Anak dibentuk sebagai upaya pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental, dan social anak secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Oleh karenanya, ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi
anak dilakukan secara khusus. Meskipun demikian, hukum acara yang
berlaku (KUHAP) diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, Secara
hukum Negara Indonesia telah memberikan perlindungan kepada anak
melalui berbagai peraturan perundang-undangan diantaranya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak,
Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem peradilan pidana anak di
indonesia masih menghadapi berbagai macam persoalan. Persoalan yang
ada diantaranya dilakukan penahanan terhadap anak, proses peradilan
yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang pada
akhirnya menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga
permasyarakatan yang meninggalkan trauma dan implikasi negative
terhadap anak. Sistem peradilan pidana terdiri dari empat komponen
yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
keempat komponen tersebut berkerja sama dalam menegakkan keadilan.
Tahapan dalam proses pengadilan pidana yaitu tahap prajudikasi
(sebelum sidang peradilan) meliputi penyidikan dan penyelidikan,
judikasi (selama sidang peradilan) meliputi pemeriksaan dan
pembuktiaan tuntutan pihak jaksa dan prajudikasi (setelah sidang
peradilan) meliputi pelaksanaan keputusan yang telah ditetapkan dalam
persidangan seperti penempatan terpidana dalam lembaga
pemasyarakatan dan harus terpisah dengan terpidana yang sudah dewasa.
2. Kekhususan Peradilan Anak
Ketentuan mengenai penyelenggaraan peradilan anak dilakukan
secara khusus, khususnya berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Garis besar kekhususan
pengadilan Anak, antara lain sebagai berikut:
1. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
tetapi belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun anak tetap diajukan
kesidang pengadilan.
2. Aparat penegak hukum yang berperan dalam proses peradilan anak
yaitu Penyidik adalah Penyidik Anak, Penuntut Umum adalah Penutut
Umum Anak, Hakim Anak.
3. Hakim, Penuntut Umum. Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta
petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian
dinas.
4. Untuk melindungi kepentingan anak pada prinsipnya pemeriksaan
perkara anak dilakukan dalam siding tertutup. Kecuali dalam hal
tertentu dapat dilakukan dalam sidang terbuka, misalnya perkara
pelanggaran lalu lintas dan pemeriksaan perkara di tempat kejadian
perkara.
5. Pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan hanya yang ditentukan
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 20112 tentang Sistem
Peradilan Pidana.
6. Ketentuan pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan
tindak pidana/anak nakal, antara lain sebagai berikut:
a. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama 1/2 (satu per
dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
b. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang
dapat dijatuhkan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
c. Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka anak nakal tersebut dijatuhi tindakan
berupa “menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
d. Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau tidak diancam
pidana penjara seumur hidup maka anak nakal tersebut dujatuhi
salah satu tindakan.
e. Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan paling lama 1/2 (satu per
dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
f. Pidana denda yang dapat dijatuhkan paling banyak 1/2 (satu per
dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
g. Apabila denda tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib
latihan kerja paling lam 90 hari kerja dan lama latihan kerja tidak
lebih 4 jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari
Pidana bersyarat dapa dijatuhkan oleh Hakim apabila pidana
penjara yang dijatuhakan paling lama 2 (dua) tahun.
3. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat
dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana
yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan
Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal
82 UU SPPA):
1) Pengembalian kepada orang tua/Wali;
2) Penyerahan kepada seseorang;
3) Perawatan di rumah sakit jiwa;
4) Perawatan di LPKS;
5) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
6) Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
7) Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak
pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal
71 UU SPPA):
1. Pidana Pokok terdiri atas:
a. Pidana peringatan;
b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar
lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
c. Pelatihan kerja;
d. Pembinaan dalam lembaga;
e. Penjara.
2. Pidana Tambahan terdiri dari:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum
berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU
SPPA)
1. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
2. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat
maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan
terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur
14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan
sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
E. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B
Bangkinang
1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan berasal dari dua kata yaitu lembaga dan
pemasyarakatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian
lembaga dan pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
a. Lembaga adalah organisasi atau badan yang melakukan suatu
penyelidikan atau usaha.
b. Pemasyarakatan adalah nama yang mencakup semua kegiatan yang
keseluruhannya dibawah pimpinan dan pemilikan Departemen
Hukum dan HAM, yang berkaitan dengan pertolongan bantuan atau
tutuntan kepada hukuman/bekas tahanan, termasuk bekas terdakwa
atau yang dalam tindak pidana diajukan kedepan pengadilan dan
dinyatakan ikut terlibat, untuk kembali kemasyarakat.
Dari uraian di atas, yang dimaksud dengan Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) adalah suatu badan hukum yang menjadi
wadah/menampung kegiatan pembinaan bagi narapidana, baik
pembinaan secara fisik maupun pembinaan secara rohaniah agar dapat
hidup normal kembali di tengah masyarakat. Lapas adalah suatu tempat
untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan atau anak didik
pemasyarakatan di Indonesia, Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia,
tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Adapun yang menjadi
tujuan pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana
karena dihilangkan kemerdekaan bergerak, pidana bertujuan untuk
membimbing narapidana untuk bertobat, memberikan pendidikan supaya
ia menjadi seorang anggota masyrakat sosialis yang berguna. Dengan
kata lain tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan.62
Lembaga Pemasyarakatan merupakan unit Pelaksana Teknis di
bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana
atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya
masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses
peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Konsep
pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo
pada Tahun 1962, di mana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan
bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat
62 R. Achmad S Soemadi Praja Dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Di
Indonesia, (Bandung: Percetakan Ekonomi, 1999) hlm.13.
adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam
masyarakat.Lembaga Pemasyarakatan lahir dari suatu realitas yang
kedengarannya sangat angker yaitu penjara.
Menururt R.A Koesnan, berdasarkan asal-usul (etimologi) kata
penjara berasal dari kata penjoro (bahasa jawa) yang artinya tobat, atau
jera di penjara dibuat tobat atau di buat jera. Dalam Pasal 1 Poin 2
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
ditentukan bahwa: “Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan
mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu
antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan
kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab” Kemudian dalan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa: “Sistem
pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa pemerintah
telah memberikan sebuah upaya yang signifikan untuk melakukan
perubahan terhadap kondisi terpidana melalui proses pembinaan dan
pendidikan dan memperlakukan narapidana dengan sangat manusiawi,
melalui hak-hak terpidana. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5
Undang-Undang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pembinaan
di Lapas dilaksanakan berdasarkan asas-asas berikut:
1. Asas Pengayoman
Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan adalah dalam
rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak
pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberi bekal
kepada kehidupan warga binaan pemasyarakatan menjadi warga yang
berguna di dalam masyarakat.
2. Asas Persamaan
Perlakuan dan Pelayanan Warga binaan pemasyarakatan mendapat
perlakuan dan pelayanan yang sama di dalam LAPAS, tanpa
membedakan orangnya.
3. Asas Pendidikan
Di dalam lapas warga binaan pemasyarakatan mendapat pendidikan
yang dilaksanakan berdasarkan pancasila. Antara lain dengan
menanamkan jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian
dan kesempatan menunaikan ibadah sesuai dengan agamanya masing-
masing.
4. Asas Pembimbingan
Warga binaan pemasyarakatan di Lapas juga mendapat pembinaan
yang diselenggarakan berdasarkan pancasila dengan menanamkan
jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan
kesempatan untuk menunaikan ibadah agama.
5. Asas Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia
Warga binaan pemasyarakatan tetap diperlakukan sebagai manusia
dengan menghormati harkat dan martabatnya.
6. Asas Berhubungan dengan Keluaraga atau Orang-Orang
Tertentu Warga binaan pemasyarakatan harus tetap didekatkan dan
dikenalakan dengan masyarakat serta tidak boleh diasingkan dari
masyarakat. Untuk itu , ia tetap harus dapat berhubungan dengan
masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam Lapas
darianggota masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul
dengan bersama sahabat dan keluaraga seperti program cuti
mengunjungi keluarga.
2. Tujuan, Visi, Misi, dan Sasaran lembaga pemasyarakatan kelas II B
Bangkinang
Dalam melaksanakan pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Bangkinang mempunyai visi, misi
dan tujuan yang hendak dicapai, adapun visi, misi, tujuan, dan sasaran
yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:
a) Visi
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 Tentang pemasyarakatan yaitu pemulihan kesatuan hubungan
hidup, kehidupan,dan penghidupan yang baik dan harmonis dengan
menjunjung tinggi prinsip pengayoman kepada individu dan
masyarakat
b) Misi
Mengidentifikasi Pelaksanaan Dan Pembimbingan bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan pada tahap lanjutan dalam rangka asimilasi dan
integritasi sosial, penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan
kejahatanserta perlindungan Hak Asasi Manusia.
c) Tujuan
Membentuk Warga binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan,memperbaiki diri diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
d) Sasaran
Peningkatan kualitas warga binaan pemasyarakatan melalui
Pembinaan sehingga lebih meningkatkan Kualitas Ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Kualitas Intelektual /Kecerdasan. Kualitas
Kesadaran Berbangsa dan Bernegara. Kualitas Kesadaran Hukum.
Kualitas Kemandirian, Keterampilan. Kualitas hubungan social
kemasyarakatan. Kualitas kesehatan Jasmani dan Rohani.
3. Sistem Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan
Anak Penempatan secara khusus dalam Lapas Anak berarti
pembinaan narapidana anak dilakukan dalam sistem pemasyarakatan.
Menurut ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana perubahan atas Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa Anak didik
pemasyarakatan ditempatkan di Lapas yang terpisah dari narapidana
dewasa. Anak yang ditempatkan di Lapas Anak, berhak memperoleh
pendidikan dan latihan baik formal maupun informal sesuai bakat dan
kemampuan, serta memperoleh hak lain. Guna melaksanakan
pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan tersebut dilakukan oleh
suatu lembaga, yaitu Lapas yang merupakan tempat untuk melaksanakan
pembinaan narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan Pasal 60,
menentukan:
1. Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lapas Anak harus
terpisah dari orang dewasa.
2. Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan
bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Darwan Print dalam bukunya
menyatakan bahwa:
“Melalui pelaksanaan pembinaan dengan sistem pemasyarakatan
maka Anak Didik Pemasyarakatan diharapkan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana
lagi.”
Pada akhirnya diharapkan dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dan dapat ikut aktif berperan dalam
pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab”.Untuk pelaksanaan pembinaan terhadap anak pelaku
tindak pidana diLapas Anak diatur di Pasal 20 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa dalam rangka pembinaan
terhadap anak pidana diLapas Anak dilakukan penggolongan berdasarkan
umur, jenis kelamin, lamanya pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan,
dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan. Dalam Melaksanakan pembinaan terhadap Anak Didik
Pemasyarakatan sesuai dengan sistem pemasyarakatan maka LPA
terlebih dahulu telah mempertimbangkan bahwa usia kematangan jiwa
antara terpidana dewasa berbeda dengan terpidana anak dengan ciri khas
yang masih bersifat labil dan belum memiliki kematangan jiwa, sehingga
terhadap terpidana anak perlu diterapkan metode pendekatan yang tepat
dan terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental anak
tersebut.Metode pembinaan atau bimbingan yang ada di dalam Lapas,
Sebagai berikut:
1. Pembinaan berupa interaksi langsung yang bersifat kekeluargaan
Antara pembinaan dengan yang dibina. Pembinaan bersifat persuasif
edukatif yaitu berusaha merubah tingkahlakunya melalui keteladanan
dan memperlakukan adil diantara sesama mereka sehingga
menggugah hatinya untuk hal-Hal yang terpuji. Dengan menempatkan
anak didik pemasyarakatan sebagai manusia yang memiliki potensi
dan harga diri dengan hak-hak dan kewajiban yang sama dengan
manusia lain.
2. Pembinaan berencana secara terus menerus dan sistematis.
3. Pemeliharaan dengan peningkatan langkah-langkah keamanan yang
disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.
4. Pendekatan individual dan kelompok.
5. Untuk menambah kesungguhan, keikhlasan, dan tanggung jawab
melaksanakan tugas serta menanamkan kesetiaan dan keteladanan
dalam pengabdian terhadap negara, hukum, dan masyarakat.
Petugas pemasyarakatan sebaiknya memiliki kode perilaku dan
dirumuskan dalam bentuk “Etos Kerja”, yang berisi petugas
Pemasyarakatan adalah abdi hukum, pembina narapidana atau anak didik
dan pengayom masyarakat, wajib bersikap bijaksana dan bertindak adil
dalam pelaksanaan tugas, bertekad menjadi suri tauladan dalam
mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila.
4. Tujuan Terbentuknya Lembaga Pemasyarakatan Anak
Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan
penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat
dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai
pemidanaan.Anak yang bersalah pemidanaannya ditempatkan di
Lemabaga Pemasyarakatan Anak.Penempatan anak yang salah ke dalam
Lembaga Pemasyarakatan Anak, dipisah-pisahkan sesuai dengan status
mereka masing-masing. Lemabaga Peamasrakatan sebagai ujung tombak
pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan
tersebut diatas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sistem
Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga
Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk
melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana
oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan
bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila.Tujuan dari sistem pemasyarakatan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan adalah untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan
agar menjadi, Seutuhnya;
1. Menyadari kesalahan;
2. Memperbaiki diri;
3. Tidak mengulangi tindak pidana;
4. Dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat;
5. Dapat aktif berperan dalam pembangunan; dan
6. Dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa Sistem pemasyarakatan
berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan
kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab.
5. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Bangkinang
Tabel.2.1
Jumlah Tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Bangkinang
Keseluruhan
No
Jumlah
Narapidana
Seluruhnya
Laki-
Laki
Dewasa
Wanita
Laki-
Laki
Anak
Perempuan
Anak
1 1080 orang 1029
Orang 32 orang
18
orang 1 orang
Sumber Data : Olahan LP Kelas IIB Bangkinang 2017
Jumlah tahanan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB
Bangkinang pada Tahun 2017 terdiri dari 1080 orang secara
keseluruhan yang seharusnya di tempati oleh 274 orang. Demikian
juga jumlah tahanan laki-laki dan perempuan yang seharusnya di huni
oleh 8 (delapan) orang satu sel justru dihuni oleh 30 (tiga puluh)
hingga lebih tahanan. Sehingga membuat kondisi lembaga
pemasyarakatan kurang kondusif untuk narapidana anak memperoleh
pembinaan yang maksimal sebagaimana yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Tabel.2.2
Fasilitas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB
Bangkinang
No Fasilitas Jumlah
1 Tempat Ibadah 2
2 Ruang Konselling/Konsultasi 1
3 Perpustakaan 1
4 Ruang Musik 1
5 Lapangan Tenis 1
Jumlah 6
Sumber Data : Olahan LP Kelas IIB Bangkinang 2017
Keberadaan berbagai fasilitas yang tersedia dalam suatu unit
organisasi sangat menentukan dalam menjalankan roda organisasi.
Disamping karena faktor manusia sendiri sebagai sumber daya alam
menunjang keberhasilan tujuan organisasi, juga ada kelengkapan
fasilitas yang tersedia akan sangat mendukung pencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Demikian juga, halnya
dengan lembaga pemasyarakatan kelas II B Bangkinang yang
mengemban tugas memberikan bimbingan kepada narapidana anak
agar dapat kembali dikkehidupan masyarakat setelah menjalani masa
hukumannya karena melakukan tindak kejahatan. Dalam mengemban
tugas demikian tentunya lapas kelas II B Bangkinang harus dilengkapi
fasilitas yang mendukung dalam pelaksaan tugas tersebut.
Tabel.2.3
Keadaan Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Bangkinang
Sumber Data : Olahan LP Kelas IIB Bangkinang 2017
Dalam pelaksanaan tugas pembinaan kemasyarakatan kepada
narapidana lembaga pemasyarakatan kelas II B Bangkinang didukung
oleh beberapa pegawai. Dari tabel 2.3 diatas, dapat dikatakan bahwa
keadaan pegawai berdasarkan unit kerja yang terbanyak adalah pada
bagian petugas sipir sebanyak 38 orang, sedangkan unit kerja terberat
tanggungjawabnya dalam mengembankan tugas pembinaan
pemasyarakatan adalah unit seksi pembinaan anak yaitu hanya 1
orang. Keadaan demikian, sangat tidak seimbang dengan beban
tanggung jawab yang di emban oleh lembaga pemsyarakatan kelas II
B Bangkinang, yang seharusnya jumlah pegawai pada unit kerja sub.
Seksi pembinaan anak lebih diperbanyak. Hal ini disebabkan karena
pegawai lembaga pemasyarakatan kelas II B Bangkinang belum
memperoleh pendidikan teknis secara khusus sebagai petugas
No Unit Kerja Jumlah
1 Kepala Lembaga Pemasyarakatan 1 Orang
2 Urusan Tata Usaha 8 Orang
3 Petugas Sipir Dewasa 38 Orang
4 Petugas Sipir Anak 1 Orang
Jumlah 48 Orang
pembimbingan, sehingga penempatan petugas tersebut di sipir
dewasa.