Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
2.1.1 Pengertian PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah
penyakit paru kronik karena adanya hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel yaitu
sesak napas yang semakin berat yang tidak bisa kembali
normal atau membaik atau reversibel parsial yaitu membaik
sebagian, serta adanya respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya (Global Obstructive Lung
Disease, 2009).
Membedakan antara PPOK dengan asma sangat
penting. Karena seringkali, orang mendefinisikan bahwa
PPOK dan asma adalah penyakit yang sama. Asma ditandai
oleh adanya sumbatan saluran napas yang bersifat
intermitten, artinya hambatan pada saluran napas bekerja
secara tidak terus menerus. Asma merupakan proses
reversibel artinya suatu proses yang berlangsung dan dapat
kembali seperti keadaan awal tanpa merubah keadaan di
sekelilingnya. Sedangkan PPOK merupakan penyakit kronik
yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
10
yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial
(Global Obstructive Lung Disease, 2010).
Jika asma dan bronkiitis terjadi bersamaan,
obstruksi yang diakibatkan menjadi gabungan sehingga
disebut bronkitis asmatik kronik. Asma dimanifestasikan
dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan
dispnea (sesak napas), batuk, dan mengi (bunyi napas
ketika udara menglir melalui saluran napas yang menyempit
(Smeltzer & Bare, 2001).
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah penyakit
kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya. Emfisema merupakan suatu kelainan
anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli
(PDPI, 2003).
2.1.2 Faktor Resiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang
berhubungan dan menyebabkan terjadinya PPOK pada
individu atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut
11
meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor
lingkungan.
2.1.2.1 Faktor Penjamu (Host)
Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan
napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama
adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serine
protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat
terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan
paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan
pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat
gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko
mendapatkan PPOK (Helmersen, 2002).
2.1.2.2 Perilaku Merokok
Merokok merupakan faktor risiko terpenting
terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan
respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok.
Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok
aktif berhubungan dengan angka kematian. Perokok pasif
dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko
PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1
(Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) tahunan pada
orang muda yang bukan perokok (Helmersen, 2002).
12
2.1.2.3 Faktor Lingkungan (polusi udara)
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan
(indoor) seperti asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar,
dan lain-lain sedangkan polusi di luar ruangan (outdoor)
seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor,
debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja,
seperti bahan kimia, debu/zat iritasi dan gas beracun.
Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan
faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor
polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan
asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor polution) yang
disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan
untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko
lainnya. (Helmersen, 2002).
2.1.3 Klasifikasi PPOK
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat) PPOK,
sebagai berikut :
13
Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK
Klasifikasi / Derajat
Penyakit
Gejala Klinis Spirometri
Derajat I PPOK Ringan
Dengan atau tanpa batuk
Dengan atau tanpa produksi sputum
Sesak napas derajat sesak 1 sampai derajat sesak 2
VEP1 ≥ 80% prediksi (nilai normal spirometri)
VEP1/KVP < 70%
Derajat II PPOK Sedang
Dengan atau tanpa batuk
Dengan atau tanpa produksi sputum
Sesak napas derajat 3
VEP1/KVP < 70%
50% ≤ VEP1 < 80% prediksi
Derajat III PPOK Berat
Sesak napas derajat sesak 4 dan 5
Eksaserbasi lebih sering terjadi
VEP1/KVP < 70%
30% ≤ VEP1 < 50% prediksi
Derajat IV PPOK Sangat Berat
Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik
Eksaserbasi lebih sering terjadi
Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
VEP1/KVP <70%
VEP1 < 30% prediksi, atau
VEP1 < 50% dengan gagal napas kronik
Sumber : Global Obstructive Lung Disease (GOLD), 2009
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi PPOK sangatlah kompleks dan
komprehensif sehingga mempengaruhi semua sistem tubuh.
Artinya, dapat mempengaruhi gaya hidup manusia dalam
prosesnya. Penyakit ini bisa menimbulkan kerusakan pada
alveolar sehingga bisa mengubah fisiologi pernapasan,
kemudian mempengaruhi oksigenasi tubuh secara
keseluruhan.
14
Faktor-faktor risiko baik penjamu, perilaku merokok
dan lingkungan akan menimbulkan proses inflamasi bronkus
dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus
terminalis. Akibatnya terjadi obstruksi bronkus kecil
(bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau
obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke
alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak
terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara
(air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan
sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi
pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi
dan pemanjangan fase ekspirasi (Brannon, et al, 1993).
Abnormalitas pertukaran udara pada paru-paru
terutama berhubungan dengan tiga mekanisme berikut ini:
1. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Hal ini menjadi
penyebab utama hipoksemia atau menurunnya
oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara
ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo
menjadi terganggu. Hubungan ventilasi dengan perfusi
didefinisikan dalam rasio ventilasi perfusi (V/Q).
Peningkatan rasio V/Q terjadi ketika penyakit yang
semakin berat sehingga menyebabkan kerusakan pada
alveoli dan kehilangan bed kapiler. Dalam kondisi seperti
15
ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Rasio
(V/Q) yang menurun pada pasien PPOK, karena saluran
pernapasannya terhalang oleh mukus kental atau terjadi
bronchospasme yaitu penyempitan saluran pernapasan
pada bronkhus. Disini penurunan ventilasi akan terjadi,
tetapi perfusi akan tetap sama, namun berkurang sedikit.
2. Mengalirnya darah kapiler pulmo. Darah yang tak
mengandung oksigen dipompa dari ventrikel kanan ke
paru-paru, beberapa di antaranya melewati bed kapiler
pulmo tanpa mengambil oksigen. Hal ini juga
disebabkan oleh meningkatnya sekret pulmo yang
menghambat alveoli.
3. Difusi gas yang terhalang. Pertukaran gas yang
terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari satu atau
dua sebab berikut ini yaitu berkurangnya permukaan
alveoli bagi pertukaaran udara sebagai akibat dari
penyakit empisema atau meningkatnya sekresi,
sehingga menyebabkan difusi menjadi semakin sulit.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen
seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah
dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen
sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru.
Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
16
berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi
paru.
2.1.5 Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses
respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan
metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap,
yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh
darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari
gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru
serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara
di saluran napas. (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok.
Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan
pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional
serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental
17
dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas.
Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema
jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat.
Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang
dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan (Global Obstructive Lung Disease, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang
terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator
peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran
udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena
ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru
secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di
dalam paru dan saluran udara kolaps (Global Obstructive
Lung Disease, 2009).
Asap rokok menginduksi makrofag untuk
melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase,
yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi
18
akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol
(Chojnowski, 2003).
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks
dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan
pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis
PPOK sesuai derajat penyakit.
1. Anamnesis
a. Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia, angka
kesakitan penderita PPOK laki-laki dan wanita usia di
atas 45 tahun (Suradi, 2007) dan adanya riwayat
pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara,
maupun polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok
merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab
19
lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan apakah pasien merupakan seorang
perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks
Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat
ringan (0-200), sedang (200-600) dan berat ( >600)
(PDPI, 2003).
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan
respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa
dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai
gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3
bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang
diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya
berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain
itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan
aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak napas yang bersifat
20
progressif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas
terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak
napas sesuai skala sesak menurut British Medical
Research Council (MRC) (Global Obstructive Lung
Disease, 2009).
Tabel 2.2
Skala Sesak menurut British Medical Research
Council (MRC)
No Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik
tangga 1 tingkat
3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah
beberapa menit
5 Sesak bila mandi atau berpakaian
Sumber : Global Obstructive Lung Disease, 2009
2. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi
dapat berupa bentuk dada seperti tong (barrel chest),
terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti
orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-
otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah
terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena
jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya
ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi
21
dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas
vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang,
ronki, dan mengi (PDPI, 2003).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Spirometri merupakan salah satu metode
sederhana yang dapat digunakan untuk mempelajari
ventilasi paru, yaitu dengan mencatat volume udara
yang masuk dan keluar paru. Spirometri adalah
suatu alat sederhana yang digunakan untuk
mengukur volume udara dalam paru. Alat ini juga
dapat digunakan untuk mengukur volume statik dan
volume dinamik paru.
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi
(%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila terjadi sumbatan dan spirometri tidak
tersedia maka dilakukan arus puncak ekspirasi (APE)
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%. Parameter yang
22
sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi
adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk
gangguan obstruksi digunakan parameter volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio
volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas vital paksa (VEP1/KVP)
Klasifikasi gangguan ventilasi (% nilai prediksi) :
Gangguan restriksi
Gangguan restriksi paru adalah gangguan
pernafasan akibat dari menurunnya kapasitas vital
paru seseorang. Dengan nilai prediksi :
Vital Capacity (KV) < 80% nilai prediksi; KVP <
80% nilai prediksi.
Gangguan obstruksi
Gangguan obstruksi adalah gangguan saluran
napas baik stuktural (anatomis) maupun
fungsional yang menyebabkan perlambatan aliran
udara respirasi.
Dengan nilai prediksi :
VEP1 < 80% nilai prediksi; VEP1/KVP < 75% nilai
prediksi.
23
Gangguan restriksi dan obstruksi, merupakan
gabungan dari gangguan restriksi dan ganggugan
obstruksi. Degan nilai prediksi :
FVC < 80% nilai prediksi; VEP1/KVP < 75% nilai
prediksi.
(PDPI, 2003).
b. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
Eksaserbasi akut merupakan penyakit yang
timbulnya cepat dan berlangsung dalam jangka
waktu pendek atau tidak lama dalam kurun waktu
jam hingga minggu.
Sehingga dilakukan terapi eksaserbasi akut yaitu :
i. Antibiotik
Antibiotik merupakan obat yang ditujukan
untuk membunuh kuman penyebab infeksi atau
membunuh jamur.
Eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi.
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh
Haemophilus Influenza dan Streptococcus
Pneumonia, maka digunakan ampisilin atau
eritromisin. Augmentin (amoksilin dan asam
klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab
24
infeksinya adalah Haemophilus Influenza.
Pemberian antibiotik seperti cotrimoxasol,
amoksisilin atau doksisiklin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka
dianjurkan antibiotik yang kuat.
ii. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan
pernapasan karena hiperkapnea dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
iii. Fisioterapi dada membantu pasien untuk
mengelurakan sputum dengan baik.
c. Radiologi (foto toraks)
Radiologi merupakan cabang atau
spesialisasi kedokteran yang berhubungan dengan
studi dan penerapan berbagai teknologi pencitraan
untuk mendiagnosis penyakit. Radiologi digunakan
untuk mempelajari penegakan diagnosis penyakit
dengan menggunakan sinar-X dan teknik pencitraan
lainnya yang berkaitan.
Hasil pemeriksaan radiologi dapat ditemukan
kelainan paru berupa hiperinflasi, diafragma
25
mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat,
jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar.
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan
radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau
menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan
pasien (Global Obstructive Lung Disease, 2009).
d. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat yang dapat
melebarkan saluran napas dengan jalan
melemaskan otot-otot saluran napas yang sedang
mengkerut.
Untuk mengatasi obstruksi jalan napas,
termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan
anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan
salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250
mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau
aminofilin (PDPI, 2003).
26
2.2 Konsep Peran Perawat
2.2.1 Pengertian Perawat
Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan
dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan
berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang diperoleh melalui
pendidikan keperawatan (Undang-Undang Kesehatan
No.23,1992).
2.2.2 Peran Perawat
Doheny (1982) mengidentifikasi beberapa elemen
peran perawat professional meliputi :
a. Care giver, sebagai pemberi asuhan keperawatan
“Care Giver” merupakan peran perawat dalam
memberikan asuhan keparawatan secara langsung atau
tidak langsung kepada pasien, keluarga dan masyarakat
dengan metoda pendekatan pemecahan masalah yang
disebut proses keperawatan. Proses keperawatan
meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana
intervensi, implementasi keperawatan dan evaluasi
keprawatan.
b. Client advocate, sebagai pembela untuk melindungi
pasien.
Sebagai advokat pasien, perawat berfungsi sebagai
penghubung antar pasien dengan tim kesehatan lain
27
dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasien, membela
kepentingan pasien dan membantu pasien memahami
semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan.
c. Counseller, sebagai pemberi bimbingan/konseling pasien
Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi
perubahan pola interaksi pasien terhadap keadaan sehat
sakitnya. Memberikan konseling/bimbingan kepada
pasien, keluarga dan masyarakat tentang masalah
kesehatan sesuai prioritas.
d. Educator, sebagai pendidik pasien
Sebagai pendidik pasien, perawat membantu pasien
meningkatkan kesehatannya malalui pemberian
pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan
tindakan medis yang diterima.
e. Collaborator, sebagai anggota tim kesehatan yang
dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan lain.
Perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain
dan keluarga dalam menentukan rencana maupun
pelaksanaan asuhan keperawatan guna memenuhi
kebutuhan kesehatan pasien.
28
f. Coordinator,
Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan
potensi yang ada, baik materi maupun kemampuan
pasien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi
yang terlewatkan maupun tumpang tindih.
g. Change agent, sebagai pembaru yang selalu dituntut
untuk mengadakan perubahan-perubahan.
Sebagai pembaru, perawat mengadakan inovasi
dalam cara berpikir, bersikap, bertingkah laku, dan
meningkatkan keterampilan pasien/keluarga agar menjadi
sehat.
h. Consultant, sebagai sumber informasi yang dapat
membantu memecahkan masalah pasien.
Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan
permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan
keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini dapat
dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berka
itan dengan kondisi spesifik lain.
29
2.2.3 Peran Perawat sebagai Care Giver/Pemberi Asuhan
Keperawatan
Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan,
perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan secara
langsung dan tidak langsung kepada pasien dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan yang
meliputi : pengkajian dalam upaya mengumpulkan data,
menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan hasil
analisis data, merencanakan intervensi keperawatan
sebagai upaya mengatasi masalah yang muncul dan
membuat langkah atau cara pemecahan masalah,
melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan
rencana yang ada dan melakukan evaluasi berdasarkan
respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukannya.
Kiat keperawatan (nursing arts) memfokuskan peran
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara
komprehensif sebagai upaya memberikan kenyamanan dan
kepuasan pada pasien, meliputi :
1. Caring, merupakan suatu sikap rasa peduli, hormat,
menghargai orang lain, artinya memberi perhatian dan
mempelajari kesukaan-kesukaan seseorang dan
bagaimana seseorang berpikir dan bertindak.
30
2. Sharing artinya perawat senantiasa berbagi
pengalaman dan ilmu atau berdiskusi dengan
pasiennya.
3. Laughing, artinya senyum menjadi modal utama bagi
seorang perawat untuk meningkatkan rasa nyaman
pasien.
4. Crying artinya perawat dapat menerima respon
emosional baik dari pasien maupun perawat lain
sebagai suatu hal yang biasa disaat senang ataupun
duka.
5. Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun
psikologis merupakan komunikasi simpatis yang
memiliki makna (Barbara, 1994)
6. Helping artinya perawat siap membantu dengan
asuhan keperawatannya
7. Believing in others, artinya perawat meyakini bahwa
orang lain memiliki hasrat dan kemampuan untuk
selalu meningkatkan derajat kesehatannya.
8. Learning artinya perawat selalu belajar dan
mengembangkan diri dan keterampilannya.
9. Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan
penghargaan terhadap orang lain dengan menjaga
31
kerahasiaan pasien kepada yang tidak berhak
mengetahuinya.
10. Listening artinya mau mendengar keluhan pasiennya.
11. Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan,
dan memahami perasaan duka , senang, frustasi dan
rasa puas pasien.
(Gaffar, 1999)
2.3 Asuhan Keperawatan Pada PPOK
Diperlukan sebuah metode untuk menyelesaikan
masalah keperawatan yang dilakukan secara sitematis yaitu
dengan pendekatan proses keperawatan yang diawali dari
pengkajian data, penetapan diagnosa, perencanaan,
Implementasi dan evaluasi. Berikut ini akan diuraikan
mengenai proses keperawatan pada PPOK :
a. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat
kesehatan pasien, melakukan pengkajian fisik meliputi :
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi, dan
pemeriksaan diagnostik.
32
i. Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik bagi perawat yaitu untuk
menentukan respon pasien terhadap penyakit dan
berfokus pada respon yang ditimbulkan pasien
akibat masalah kesehatan yang sudah di diagnosa
oleh dokter (Robert Priraharjo, 1996).
Inspeksi
Inspeksi umum dilakukan saat pertama kali
bertemu pasien. Inspeksi adalah pemeriksaan
dengan menggunakan indera penglihatan,
pendengaran dan penciuman. Pemeriksaan
kemudian maju ke suatu inspeksi local yang
berfokus pada suatu system tunggal atau bagian
dan biasanya menggunakan alat khusus seperti
optalomoskop, otoskop, speculum dan lain-lain.
(Laura A.Talbot dan Mary Meyers, 1997)
Pada saat inspeksi, terlihat pasien
mempunyai bentuk dada barrel chest akibat
udara yang terperangkap, penipisan massa otot,
bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan
pernapasan abnormal yang tidak efektif.
Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh
33
meliputi : ukuran tubuh, warna, bentuk, posisi,
kesimetrisan, lesi, dan
penonjolan/pembengkakan. Setelah inspeksi,
perlu dibandingkan hasil normal dan abnormal
bagian tubuh satu dengan bagian tubuh lainnya.
Contoh : mata kuning (ikterus), terdapat struma
di leher, kulit kebiruan (sianosis)
Palpasi
Palpasi adalah teknik pemeriksaan dengan
menggunakan indera peraba yaitu tangan dan
jari-jari, untuk mendeterminasi ciri-ciri jaringan
atau organ seperti: temperatur, keelastisan,
bentuk, ukuran, kelembaban dan penonjolan
(Dewi Sartika,2010).
Pada palpasi, dapat diketahui ekspansi
meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
Perkusi
Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan
mengetuk bagian permukaan tubuh tertentu
untuk membandingkan dengan bagian tubuh
lainnya (kiri/kanan) dengan menghasilkan suara,
yang bertujuan untuk mengidentifikasi
34
batas/lokasi dan konsistensi jaringan (Dewi
Sartika, 2010).
Adapun suara-suara yang dijumpai pada perkusi
adalah :
- Sonor : suara perkusi jaringan yang
normal.
- Redup : suara perkusi jaringan yang
lebih padat, misalnya di daerah paru-
paru pada pneumonia.
- Pekak : suara perkusi jaringan yang
padat seperti pada perkusi daerah
jantung, perkusi daerah hepar.
- Hipersonor/timpani : suara perkusi pada
daerah yang lebih berongga kosong,
misalnya daerah caverna paru, pada
pasien asthma kronik.
Pada perkusi, didapatkan suara normal
sampai hipersonor sedangkan diafragma
mendatar atau menurun.
Auskultasi
Auskultasi adalah pemeriksaan fisik yang
dilakukan dengan cara mendengarkan suara
yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya
35
menggunakan alat yang disebut dengan
stetoskop. Hal-hal yang didengarkan adalah :
bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus
(Dewi Sartika, 2010).
Suara tidak normal yang dapat diauskultasi pada
nafas adalah :
- Rales : suara yang dihasilkan dari
eksudat lengket saat saluran-saluran
halus pernafasan mengembang pada
inspirasi (rales halus, sedang, kasar).
Misalnya pada pasien pneumonia, TBC.
- Ronchi : nada rendah dan sangat kasar
terdengar baik saat inspirasi maupun
saat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah
akan hilang bila pasien batuk. Misalnya
pada edema paru.
- Wheezing : bunyi yang terdengar
“ngiii….k”. bisa dijumpai pada fase
inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya
pada bronchitis akut, asma.
- Pleura Friction Rub ; bunyi yang
terdengar “kering” seperti suara
36
gosokan amplas pada kayu. Misalnya
pada pasien dengan peradangan
pleura. Sering didapatkan adanya bunyi
napas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat keparahan obstruktif pada
bronkhiolus.
b. Diagnosa Keperawatan
Langkah-langkahnya, sebagai berikut :
i. Mengidentifikasikan masalah keperawatan pasien.
ii. Mengidentifikasikan batasan karakteristik masalah
keperawatan.
iii. Mengidentifikasikan etiologi masalah keperawatan.
iv. Merumuskan diagnosa keperawatan secara ringkas
dan jelas.
c. Perencanaan
Perencanaan meliputi penyusunan prioritas, tujuan
dan kriteria hasil dari masing-masing masalah yang
ditemukan.
Pada tahap implementasi mencakup :
i. Merumuskan prioritas diagnosa keperawatan
ii. Menentukan tujuan.
37
iii. Mengidentifikasi intervensi keperawatan yang sesuai
untuk pencapaian tujuan.
iv. Merumuskan hasil akhir yang diharapkan .
Tujuan penatalaksanaan rencana tindakan pada pasien
PPOK :
i. Mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
ii. Pemeliharaan fungsi paru yang optimal dalam waktu
singkat dan panjang.
iii. Pencegahan dan penanganan eksaserbasi.
iv. Mengurangi perburukan fungsi paru setiap tahunnya.
d. Implementasi
Pada tahap implementasi yang dilakukan meliputi :
i. Melaksanakan rencana keperawatan
ii. Mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas pasien.
iii. Mencatat respon pasien terhadap tindakan
keperawatan
e. Evaluasi
Evaluasi mencakup hasil yang diharapkan :
Evaluasi merupakan tahapan akhir dari proses
keperawatan dan diarahkan untuk menentukan respon
pasien terhadap intervensi keperawatan dan sebatas
mana tujuan-tujuan sudah tercapai.
Hasil akhir yang diharapkan dari pasien PPOK ialah :
38
Mencapai bersihan jalan napas/keefektifan jalan
napas dengan melakukan drainase postural dengan
benar, berhenti merokok.
Menunjukkan perbaikan pertukaran gas dengan
menggunakan bronkodilator dan terapi oksigen
sesuai yang diresepkan.
Menunjukkan perbaikan dan peningkatan nutrisi.
Mencegah terjadinya infeksi dengan
mempertahankan kekebalan tubuh agar tidak
menurun.
Pasien dapat megetahui penyakitnya melalui
informasi atau penyuluhan yang diberikan oleh
perawat.
2.4 Kerangka Teori
Peran perawat meliputi :
- pengkajian - penetapan diagnose - perencanaan - implementasi
- evaluasi
Perawatan Pasien PPOK meliputi :
- Faktor resiko - Manifestasi - Diagnosis
- Patofisiologi - Pemeriksaan
penunjang