6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Osteoarthritis (OA) Osteoarthritis yang juga sebagai penyakit degeneratif pada sendi adalah bentuk penyakit radang sendi yang paling umum dan merupakan sumber utama penyebab rasa sakit dan lumpuh, terutama pada orang lanjut usia (lansia). OA merupakan penyakit degeneratif kronik pada sendi yang terjadi akibat menipisnya lapisan tulang rawan yang melindungi ujung tulang sejati. Tulang rawan menjadi kasar sehingga menimbulkan gesekan dan peradangan. Bentuk kerusakan yang terjadi ialah perubahan struktural dan pengikisan kartilago yang menimbulkan rasa sakit dan kaku (Kralovec dan Barrow 2008). OA dapat disebabkan oleh penekanan beban tubuh yang secara terus-menerus terhadap persendian, sehingga mengakibatkan kerusakan terhadap tulang rawan sendi. Akibat lanjut dari OA diantaranya adalah timbulnya rasa nyeri karena terjepitnya ujung-ujung saraf sensoris oleh osteofit-osteofit yang terbentuk serta adanya pembengkakan dan penebalan jaringan lunak di sekitar sendi yang akan mengakibatkan deformitas, terlepasnya osteofit pada suatu gerakan menimbulkan krepitasi pada sendi tersebut (Carter 1995 dalam Utami 2010). 2.2 Glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) Glukosamin hidroklorida memiliki nama lain yakni 2-amino-2-deoxy-D- glucopyranose, kitosamin hidroklorida, dan D-(+)-glukosamin hidroklorida. Secara struktural, glukosamin merupakan gula beramin dengan rumus molekul C 6 H 13 NO 5 HCl dan massa molekul 215,63 Da. Glukosamin dalam bentuk murni berbentuk serbuk kristal putih dengan titik leleh 190-194 o C. Glukosamin memiliki kelarutan tinggi dalam air dengan titik larut 100 mg/mL pada suhu 20 o C (Kralovec dan Barrow 2008). Struktur kimia glukosamin hidroklorida ditunjukkan oleh Gambar 1. Glukosamin merupakan senyawa alami yang terdapat dalam tubuh manusia yang merupakan unsur pokok dari GAG pada tulang rawan dan cairan synovial. Glukosamin dalam tubuh berfungsi untuk memproduksi cairan synovial sebagai bahan pelumas pada tulang rawan. Kekurangan cairan synovial dalam tubuh dapat

BAB II Tinjauan Pustaka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BAB II Tinjauan Pustaka

Citation preview

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Osteoarthritis (OA)

Osteoarthritis yang juga sebagai penyakit degeneratif pada sendi adalah

bentuk penyakit radang sendi yang paling umum dan merupakan sumber utama

penyebab rasa sakit dan lumpuh, terutama pada orang lanjut usia (lansia). OA

merupakan penyakit degeneratif kronik pada sendi yang terjadi akibat menipisnya

lapisan tulang rawan yang melindungi ujung tulang sejati. Tulang rawan menjadi

kasar sehingga menimbulkan gesekan dan peradangan. Bentuk kerusakan yang

terjadi ialah perubahan struktural dan pengikisan kartilago yang menimbulkan

rasa sakit dan kaku (Kralovec dan Barrow 2008).

OA dapat disebabkan oleh penekanan beban tubuh yang secara terus-menerus

terhadap persendian, sehingga mengakibatkan kerusakan terhadap tulang rawan

sendi. Akibat lanjut dari OA diantaranya adalah timbulnya rasa nyeri karena

terjepitnya ujung-ujung saraf sensoris oleh osteofit-osteofit yang terbentuk serta

adanya pembengkakan dan penebalan jaringan lunak di sekitar sendi yang akan

mengakibatkan deformitas, terlepasnya osteofit pada suatu gerakan menimbulkan

krepitasi pada sendi tersebut (Carter 1995 dalam Utami 2010).

2.2 Glukosamin hidroklorida (GlcN HCl)

Glukosamin hidroklorida memiliki nama lain yakni 2-amino-2-deoxy-D-

glucopyranose, kitosamin hidroklorida, dan D-(+)-glukosamin hidroklorida.

Secara struktural, glukosamin merupakan gula beramin dengan rumus molekul

C6H13NO5HCl dan massa molekul 215,63 Da. Glukosamin dalam bentuk murni

berbentuk serbuk kristal putih dengan titik leleh 190-194 oC. Glukosamin

memiliki kelarutan tinggi dalam air dengan titik larut 100 mg/mL pada suhu 20 oC

(Kralovec dan Barrow 2008). Struktur kimia glukosamin hidroklorida ditunjukkan

oleh Gambar 1.

Glukosamin merupakan senyawa alami yang terdapat dalam tubuh manusia

yang merupakan unsur pokok dari GAG pada tulang rawan dan cairan synovial.

Glukosamin dalam tubuh berfungsi untuk memproduksi cairan synovial sebagai

bahan pelumas pada tulang rawan. Kekurangan cairan synovial dalam tubuh dapat

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

4

Gambar 1 Struktur kimia glukosamin hidroklorida (Mojarrad et al. 2007)

menimbulkan kekakuan pada sendi sehingga menyebabkan penyakit osteoarthritis

(OA). Pemberian glukosamin sulfat secara oral dapat membantu produksi cairan

synovial untuk mencegah dan mengobati penyakit OA (Williams 2004 dalam

Afridiana 2011). Penelitian Kulkarni et al. (2012) menunjukkan bahwa konsumsi

glukosamin hidroklorida dan atau glukosamin sulfat terhadap pasien penderita OA

(tingkat sedang) berpengaruh nyata terhadap pengurangan rasa nyeri pada sendi.

Dosis harian untuk konsumsi glukosamin menurut Badan Pengawas Obat dan

Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) tahun 2004 adalah 1500 mg/ hari. Hasil

penelitian Hathcock dan Andrew (2006) menunjukkan bahwa asupan glukosamin

secara oral pada dosis 2000 mg/ hari aman untuk dikonsumsi. Adapun efek

konsumsi glukosamin terhadap tubuh dapat dilihat setelah satu bulan pemakaian.

Mutu glukosamin hidroklorida menurut standar United State Pharmacopeia (USP)

ditunjukkan pada Tabel 1.

Glukosamin dapat dihasilkan dengan beberapa cara ekstraksi yakni proses

hidrolisis kimiawi, proses enzimatis, proses fermentasi, dan proses gabungan

antara ketiganya. Produksi glukosamin dengan proses ekstraksi enzimatis dan

fermentasi biasanya dilakukan pada skala laboratorium. Proses ekstraksi yang

paling umum digunakan pada produksi glukosamin skala industri adalah proses

hidrolisis kimiawi dengan kombinasi asam HCl dan basa NaOH dengan

konsentrasi tertentu. Menurut Kralovec dan Barrow (2008) angka hidrolisis kitin

menjadi glukosamin menurun ketika konsentrasi asam yang digunakan kurang

dari 9 M. Kadar asam yang rendah menyebabkan terjadinya hidrolisis yang tidak

sempurna dan terbentuknya kitosan oligomer. Hidrolisis yang tidak sempurna juga

dapat disebabkan oleh kurangnya waktu reaksi meskipun konsentrasi asam yang

digunakan mencapai 10 M.

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

5

Tabel 1 Spesifikasi mutu glukosamin hidroklorida (GlcN) menurut (USP)

Sumber: USP 2006 dalam Cargill Inc. 2006

2.3 Kitin

Kitin adalah polisakarida struktural yang umum digunakan untuk menyusun

eksokleton dari artropoda (serangga, laba-laba, krustase, dan hewan-hewan lain

sejenis). Kitin juga tergolong homopolisakarida linear yang tersusun atas residu

N-asetilglukosamin pada rantai beta dan memiliki monomer berupa molekul

glukosa dengan cabang yang mengandung nitrogen. Kitin murni mirip dengan

kulit, namun akan mengeras ketika dilapisi dengan garam kalsium karbonat

CaCO3. Kitin membentuk serat mirip selulosa yang tidak dapat dicerna oleh

vertebrata (Sugita et al 2009).

Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan

berbagai macam pigmen. Contohnya, kulit udang mengandung 25-40% protein,

40-50% CaCO3, dan 15-20% kitin, tetapi besarnya komponen tersebut masih

bergantung pada jenis udangnya (Altschul 1976 dalam Sugita et al. 2009)

sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat

(53,70-78,40%) dan kitin (18,70-32,20%), hal ini tergantung pada jenis kepiting

tempat hidupnya (Focher 1992 dalam Sugita et al. 2009).

Secara kimia, struktur kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-

D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47%

C, 6% H, 7% N, dan 40% O. Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan

hanya berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C2. Gugus pada C2 selulosa

Uji USP-NF Spesifikasi USP-NF

Penampakan Serbuk putih

Spesifik rotasi Antara +70.0o sampai +73.0

o (larutan uji 25 mg/mL)

pH 3.0-5.0, dalam larutan 20 mg/mL

Pengurangan bobot

akibat pemanasan

Pengeringan pada 105 oC selama 2 jam, pengurangan

bobot <= 1.0%

Sisa pembakaran <= 0.1%

Sulfat 0.10 g dilarutkan dalam 0.25 mL asam sulfat 0.020 N,

kadar sulfat <= 0.24%

Besi <= 10 ppm

Klorin <= 17%

Logam berat 0.001%

Kemurnian

(basis kering)

98.0 sampai 102.0%

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

6

adalah gugus hidroksil -OH, sedangkan pada C2 kitin adalah gugus N-asetil

(Muzzarelli 1977). Struktur kimia kitin ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia kitin (Muzzarelli 1977).

Kitin tidak larut dalam pelarut biasa tetapi cenderung stabil dalam asam

maupun basa lemah. Kitin dapat dideasetilasi sehingga membentuk produk

turunan seperti kitosan, oligosakarida, dan glukosamin. Bentuk turunan ini

memiliki manfaat lebih besar sebagai neutraceutical (Kralovec dan Barrow 2008).

Proses isolasi kitin pada dasarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahap pemisahan

protein (deproteinasi), tahap pemisahan mineral (demineralisasi), dan tahap

penghilangan warna (depigmentasi) (Savitri et al. 2010).

2.4 Kitosan

Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia

menggunakan basa natrium hidroksida atau reaksi enzimatis menggunakan

enzim kitin deacetylase. Kitosan merupakan biopolimer yang resisten terhadap

tekanan mekanik. Unsur-unsur yang menyusun kitosan hampir sama dengan

unsur-unsur yang menyusun kitin yaitu C, H, N, O dan unsur-unsur lainnya.

Kitosan adalah turunan kitin yang diisolasi dari kulit kepiting, udang,

rajungan, dan kulit serangga lainnya. Kitosan merupakan kopolimer alam

berbentuk lembaran tipis, tidak berbau, terdiri dari dua jenis polimer, yaitu

poli (2-Deoksi-2-asetilamin-2-Glukosa) dan poli (2-Deoksi-2 Aminoglukosa)

yang berikatan β-D (1–4 ) (Hirano 1986).

Kitosan tidak beracun dan mudah terbiodegradasi. Kitosan tidak larut dalam

air, dalam larutan basa kuat, dalam H2SO4 dan dalam beberapa pelarut organik

seperti alkohol dan aseton. Kitosan sedikit larut dalam asam klorida dan asam

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

7

nitrat serta larut baik dalam asam lemah seperti asam formiat dan asam asetat

(Sugita et al 2009). Struktur kimia kitosan ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 3 Struktur kimia kitosan (Hirano 1986).

Tahap utama yang berperan penting dalam proses transformasi kitin menjadi

kitosan ialah tahap deasetilasi dengan penggunaan basa kuat KOH atau NaOH.

Proses deasetilasi gugus asetil pada asetamida kitin dapat dijelaskan sebagai

berikut: gugus karbon karbonil diserang oleh nukleofil OH-, akibatnya terjadi

reaksi adisi sehingga terbentuk zat antara. Zat antara ini selanjutnya mengalami

reaksi elimininasi sehingga gugus asetil pada asetamida kitin lepas membentuk

asetat. Proses pelepasan gugus asetil dari gugus asetamida kitin berhubungan

dengan konsentrasi ion OH- pada larutan. Konsentrasi OH

- akan lebih besar pada

larutan basa kuat. Semakin kuat suatu basa semakin besar konsentrasi OH- dalam

larutannya. Dengan demikian kekuatan basa mempengaruhi proses deasetilasi

gugus asetil dari gugus asetamida kitin (Azhar et al. 2010).

Penggunaan larutan NaOH 50% (b/v) pada proses deasetilasi kitin menjadi

kitosan dimaksudkan untuk memutus ikatan antara gugus asetil dengan atom

nitrogen, sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2). Larutan basa dengan

konsentrasi tinggi ini digunakan karena ikatan antara nitrogen N dengan gugus

asetil sangat kuat. Hal ini disebabkan karena unit sel kitin berstruktur kristalin dan

adanya ikatan hidrogen yang meluas antar atom nitrogen dengan gugus karboksil

tetangganya (Karmas 1992). Proses deasetilasi ini bertujuan untuk memutuskan

ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen dalam gugus asetamida kitin

sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2) dengan demikian pelepasan gugus

asetil pada asetamida kitin menghasilkan gugus amina terdeasetilasi.

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

8

2.5 Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Fourier Transform Infra Red (FTIR) merupakan suatu teknik spektroskopi

inframerah yang dapat mengidentifikasi kandungan gugus fungsi suatu senyawa

termasuk senyawa kalsium fosfat, namun tidak dapat mengidentifikasi unsur-

unsur penyusunnya. Ada dua jenis energi vibrasi yaitu vibrasi bending dan

vibrasi stretching. Vibrasi bending yaitu pergerakan atom yang menyebabkan

perubahan sudut ikatan antara dua ikatan atom atau pergerakan dari seluruh

atom terhadap atom lainnya. Sedangkan vibrasi stretching adalah pergerakan

atom yang teratur sepanjang sumbu ikatan antara dua atom sehingga jarak

antara dua atom dapat bertambah atau berkurang (Samsiah 2009).

Spektroskopi IR digunakan untuk menetukan struktur molekul melalui

sederetan gugus fungsi yang berdasarkan pada perubahan amplitudo vibrasi yang

diawali oleh terjadinya aksi antara molekul dengan radiasi infra merah yang

medan listriknya memiliki frekuensi sama. Prinsip dasar dari spektrofotometri IR

adalah perubahan amplitudo radiasi IR dari gugus dalam molekul pada energi

(bilangan gelombang atau bilangan gelombang) yang sesuai. Pengujian FTIR

memiliki beberapa keuntungan, yakni relatif cepat, sampel tidak perlu murni, dan

tingkat ketelitian tinggi (Pavia et al. 2009).

Identifikasi gugus fungsi biasanya dilakukan pada daerah bilangan gelombang

800-4000 cm-1

. Serapan pita amida I memiliki bilangan gelombang 1655 cm-1

dan

gugus hidroksil memiliki bilangan gelombang 3450 cm-1

(Sugita et al. 2009).

Serapan gugus hidroksi O-H memiliki bilangan gelombang pada 3200-3400 cm-1

(H terikat) dan pada 3650-3600 cm-1

(gugus hidroksi bebas). Gugus amina N-H

memiliki bilangan gelombang 3500-3100 cm-1

(vibrasi ulur) dan 1640-1550 cm-1

(vibrasi tekuk). Gugus amin C-N memiliki bilangan gelombang 1350-1000 cm-1

.

Gugus C-O berada pada bilangan gelombang 1300-1000 cm-1

. Gugus C-H berada

pada daerah bilangan gelombang 3000-2850 cm-1

(Pavia et al. 2009).