32
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan Pembangunan Wilayah Wilayah merupakan suatu unit dari geografi yang dibatasi oleh parameter tertentu dan bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah dibagi berdasarkan homogenitas tertentu yang membedakan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Tujuan dari dibentuknya perwilayahan adalah untuk mensifatkan dan memberi arti terhadap bermacam-macam wilayah, serta untuk mengetahui adanya kemungkinan pengembangan suatu wilayah (Bappenas, 2008). Pembangunan wilayah yang ideal adalah pembangunan wilayah yang seimbang antar wilayah baik perkotaan maupun dengan perdesaan, antar wilayah barat dan timur Indonesia. Konsep pembangunan daerah atau wilayah ini diuraikan dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang bertujuan sebagai upaya mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan antarwilayah, termasuk juga didalamnya ketidakseimbangan kewenangan dan keuangan antara pusat dan daerah (Kuswandi, 2012). Keberimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitab yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah, dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara merata. Tujuan ideal dari pembangunan wilayah yang seimbang diharapkan dapat tercapai secara bertahap dan akhirnya tercapai pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Tujuan Pembangunan Wilayah

Wilayah merupakan suatu unit dari geografi yang dibatasi oleh

parameter tertentu dan bagian-bagiannya tergantung secara internal.

Wilayah dibagi berdasarkan homogenitas tertentu yang membedakan

antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Tujuan dari

dibentuknya perwilayahan adalah untuk mensifatkan dan memberi arti

terhadap bermacam-macam wilayah, serta untuk mengetahui adanya

kemungkinan pengembangan suatu wilayah (Bappenas, 2008).

Pembangunan wilayah yang ideal adalah pembangunan wilayah

yang seimbang antar wilayah baik perkotaan maupun dengan perdesaan,

antar wilayah barat dan timur Indonesia. Konsep pembangunan daerah

atau wilayah ini diuraikan dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang bertujuan

sebagai upaya mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan

antarwilayah, termasuk juga didalamnya ketidakseimbangan kewenangan

dan keuangan antara pusat dan daerah (Kuswandi, 2012).

Keberimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitab

yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah,

dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah

secara merata. Tujuan ideal dari pembangunan wilayah yang seimbang

diharapkan dapat tercapai secara bertahap dan akhirnya tercapai pada

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

7

kondisi ideal dari pembangunan wilayah tersebut. Dalam hal ini maka

diperlukan komitmen dari pemerintah, swasta dan masyarakat secara

bersama-sama untuk mewujudkan pembangunan wilayah yang seimbang.

Secara umum pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk:

(a) Mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam hal tingkat

pertumbuhannya; (b) Memperkokoh kesatuan ekonomi nasional, serta (c)

Memelihara efisiensi pertumbuhan nasional (Budianta, 2010). Dalam

rangka pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah, telah diupayakan

pelaksanaan otonomi daerah (otoda) dengan mempertimbangkan

kemampuan pembangunan daerah yang bersangkutan.

2.1.2 Kebijakan Pembangunan Wilayah

Landasan hukum kebijakan pembangunan wilayah di Indonesia

terkait dengan penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu

pada UU tentang Penataan Ruang. Pedoman ini sebagai landasan hukum

yang berisi kewajiban setiap provinsi, kabupaten dan kota menyusun tata

ruang wilayah sebagai arahan pelaksanaan pembangunan daerah. Rencana

tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang sangat

umum sampai tingkat yang sangat perinci seperti dicerminkan dari tata

ruang tingkat provinsi, kabupaten, perkotaan, desa dan bahkan untuk tata

ruang yang bersifat tematis, misalnya untuk kawasan pesisir, pulau-pulau

kecil, jaringan jalan, dan lain sebagainya. Kewajiban daerah menyusun tata

ruang berkaitan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah

(Damayanti, 2010).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

8

Pelaksanaan otonomi daerah dalam pembangunan wilayah

diharapkan dapat mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan

prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan

mengembangkan fungsi dan peran kelembagaan (legislatif) di daerah.

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan guna membantu

mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah antara lain sebagai

berikut:

(a) Mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-

wilayah strategis dan cepat tumbuh yang selama ini masih belum

berkembang secara optimal, sehingga dapat menjadi motor penggerak

bagi wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem

wilayah pengembangan ekonomi yang sinergis;

(b) Meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan

wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah

tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat

mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain;

(c) Mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah

kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi

inward looking menjadi outward looking, sehingga kawasan tersebut

dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan

perdagangan dengan negara tetangga, baik dengan menggunakan

pendekatan pembangunan melalui peningkatan kesejahteraan

(prosperity approach) maupun keamanan (security approach);

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

9

(d) Menyeimbangkan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota

metropolitan, besar, menengah dan kecil secara hierarki dalam suatu

sistem pembangunan perkotaan nasional;

(e) Meningkatkan keterkaitan kegiatan ekonomi yang berada di wilayah

perdesaan dengan yang berada di perkotaan;

(f) Mengoperasionalisasikan „Rencana Tata Ruang‟ sesuai dengan hirarki

perencanaan (RTRW-Nasional, RTRW-Pulau, RTRW-Provinsi,

RTRW-Kabupaten/Kota) sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi

pembangunan antar sektor dan antar wilayah (Budianta, 2010).

2.1.3 Faktor Pendorong Pembangunan Wilayah

Upaya meningkatkan pengembangan wilayah pada dasarnya

dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antar wilayah,

mengembangkan keterkaitan kegiatan perekonomian desa dan kota,

mempercepat pengembangan wilayah tertinggal dan daerah perbatasan,

mempercepat penyediaan hunian di perkotaan, serta meningkatkan

pengelolaan penataan ruang dan pertanahan.

Pengembangan wilayah erat kaitannya dengan potensi dan faktor

pendukung yang ada di wilayah tersebut. Banyak faktor yang harus

dipertimbangkan dalam pemanfaatan ruang wilayah, yaitu sumber daya

alam, sumber daya buatan, lingkungan hidup, serta komponen pendukung

pembentuk wilayah lainnya. Sumber daya alam dan sumber daya manusia

merupakan komponen-komponen utama dalam upaya pengembangan

wilayah yang dibantu oleh sumber daya buatan dan teknologi.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

10

Dalam pengembangan wilayah, sumber daya buatan merupakan

suatu bentuk infrastruktur pendukung. Selain itu, pengembangan harus

berjalan sesuai dengan kebijakan publik yang telah disusun sebelumnya.

Dapat disimpulkan bahwa elemen utama dalam pengembangan wilayah

terdiri atas empat elemen, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia,

sumber daya buatan atau infrastruktur, dan kebijakan daerah

(Hanifurrahman, 2019).

2.1.4 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan pusat dan antara

daerah yang satu dengan daerah lain merupakan suatu yang lumrah terjadi,

hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan sumber daya dan awal

pelaksanaan pembangunan antar daerah (Sjafrizal dalam (Dhyatmika,

2013). Tidak semua daerah memiliki daya pukau dan mengandung sumber

daya alam yang langka untuk bisa mendorong investasi di daerahnya.

Ketidamerataan perkembangan ekonomi antar daerah terjadi juga

dikarenakan masing-masing daerah memiliki perbedaan pada tingkat

kegiatan ekonominya, sehingga distribusi pendapatan antar daerah tidak

merata. Pertumbuhan tidak selalu terjadi pada semua wilayah secara

merata. Proses pembangunan cenderung terkonsentrasi pada kawasan

pusat suatu negara. Dampak dari adanya dua bentuk pembangunan yang

berbeda tersebut mengakibatkan melebarnya gap antar wilayah pada tahap

awal pembangunan ekonomi di suatu negara, tetapi akan menurun saat

pendapatan nasional mencapai tingkat tertentu (Delis et al., 2009).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

11

Menurut (Delis et al., 2009), melebarnya ketimpangan antara

wilayah yang kuat dan wilayah lemah dalam tahap awal pembangunan

bersumber dari adanya efek crowding-out antara wilayah yang kuat dan

wilayah lemah dalam bentuk:

(1) Emigrasi tenaga kerja skill dari wilayah yang relatif lemah ke wilayah

yang lebih kuat;

(2) Arus masuk kapital condong ke wilayah kuat, karena permintaan yang

lebih tinggi, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik, ketersediaan

pelayanan publik, potensi pasar dan kondisi lingkungan yang lebih

baik bagi perusahaan;

(3) Alokasi investasi publik lebih besar ke wilayah kuat dalam merespon

permintaan potensial dan aktual;

(4) Keterbatasan perdagangan sumberdaya antar wilayah, sehingga pada

tahap awal perkembangan yang terjadi wilayah kuat tidak

menghasilkan efek sepenuhnya terhadap wilayah lemah. Sepanjang

waktu, proses tersebut semakin memperburuk regional disparity pada

suatu negara hingga mekanisme kerja mulai beroperasi dalam arah

berlawanan.

2.1.5 Pengeluaran Pemerintah

Menurut (Juliansyah et al., 2018), pengeluaran pemerintah

merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal. Pengeluaran pemerintah

adalah seluruh pembelian atau pembayaran atas barang dan jasa untuk

kepentingan negara, seperti pembelian senjata dan perlengkapan untuk

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

12

kantor pemerintahan, pembangunan jalan dan bendungan, gaji pegawai

negeri, dan lain-lain. Pengeluaran pemerintah menggambarkan kebijakan

pemerintah. Bilamana pemerintah sudah mengukuhkan suatu kebijakan

untuk membeli kebutuhan barang dan jasa, pengeluaran pemerintah

merefleksikan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk

mewujudkan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto dalam (Afiat, 2015).

Dasar teori pengeluaran pemerintah yaitu dari identitas

keseimbangan pendapatan nasional, yakni: Y = C + I + G + (X-M) yang

menggambarkan sumber legalitas pandangan kaum keynesian akan kaitan

intervensi pemerintah dalam perekonomian. Naik atau turunnya

pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi pendapatan nasional.

Banyak pertimbangan yang harus dilakukan dalam pengalokasian

pengeluaran pemerintah, hal ini dikarenakan pemerintah tidak cukup

hanya mencapai tujuan akhir dari setiap kebijakan yang telah ditetapkan,

tetapi juga harus mempertimbangkan sasaran dari kebijakan tersebut.

Pemerintah memiliki kontribusi esensial dalam mencukupi kebutuhan

hidup masyarakat, sehingga pemerintah mesti mempertimbangkan dengan

matang dalam menetapkan suatu kebijakan agar berpengaruh secara nyata

terhadap masyarakat..

Pandangan teori Wagner didasarkan pada suatu teori yang disebut

organic theory of state (teori organis mengenai pemerintah). Organic

theory of state menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas

bertindak terlepas dengan masyarakat lain. Secara integral, inti teori

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

13

Wagner adalah makin meningkatnya peran pemerintah dalam aktivitas

ekonomi masyarakat. Wagner menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah

dan kegiatan pemerintah semakin lama semakin meningkat. Serta

kecenderungan ini sebagai pendorong peningkatan peranan pemerintah.

Adapun formulasi rumus dari Hukum Wagner antara lain yaitu:

PPkP < PkPPn < .. < PkPPn

PPK1 PPK2 PPKn

Dimana:

PPkP : Pengeluaran pemerintah per kapita

PPK : Pendapatan per kapita, yaitu GDP/jumlah penduduk

1, 2, ... n : Jangka waktu (tahun)

PkPP

PPK

Kurva 1

Kurva 2

Z = Kurva perkembangan

pengeluaran pemerintah

0 1 2 3 4 5 6 Waktu

Gambar 2.1 Kurva Hukum Wagner

Kurva ini menjelaskan bahwa peranan pemerintah secara relatif

makin meningkat. Wagner mengutarakan bahwa dalam suatu

perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, maka secara

relatif pengeluaran pemerintah juga meningkat. Tidak hanya dari organic

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

14

theory of state, dasar hukum Wagner berasal dari pengamatan empiris

negara-negara maju. Semakin besarnya peranan pemerintah, disebabkan

pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat.

Selain itu, beberapa penyebab dari semakin meningkatnya

pengeluaran pemerintah berdasarkan hukum Wagner, yaitu meningkatnya

fungsi pertahanan, keamanan dan ketertiban, fungsi perbankan, fungsi

pembangunan dan fungsi kesejahteraan (Prasetya, 2012). Program-

program yang bersifat produktif dapat direalisasikan melalui pengeluaran

pemerintah yang menjadi stimulus bagi perekonomian dengan

memanfaatkan potensi sumber daya yang ada, sehingga dapat menurunkan

tingkat ketimpangan pembangunan yang telah terjadi pada suatu wilayah.

2.1.6 Pengangguran

Pengangguran adalah persoalan makroekonomi yang berdampak

secara langsung terhadap kelangsungan hidup seseorang. Pengangguran

atau orang yang menganggur adalah mereka yang tidak mempunyai

pekerjaan dan sedang aktif mencari pekerjaan. Kategori orang yang

menganggur biasanya adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan pada

usia kerja dan masanya kerja (Putong, 2010). Sebagian orang berpendapat

bahwa kehilangan pekerjaan merupakan penurunan standar kehidupan.

Oleh karena itu, tak heran jika pelaku politik melakukan penawaran untuk

membuat kebijakan dalam mendorong terciptanya lapangan pekerjaan

(Mankiw dalam (Yehosua et al., 2019). Menurut (Marini & Putri, 2019),

mengemukakan bahwa pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

15

atau sedang mencari pekerjaan, atau sedang mempersiapkan suatu usaha

baru atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan, atau sudah diterima

bekerja tetapi belum memulai bekerja.

Menurut Yanuar dalam (Rosa et al., 2019), pengangguran adalah

keadaan di mana angkatan kerja yang ingin memperoleh pekerjaan tapi

belum mendapatkannya. Pengangguran bisa terjadi dikarenakan

ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menggambarkan

jumlah tenaga kerja yang ditawarkan lebih besar dari jumlah tenaga kerja

yang diminta (Mankiw dalam (Sugianto & Permadhy, 2020). Menurut

Mankiw dalam (Hasan, 2018), jenis – jenis pengangguran sebagai berikut:

a. Berdasarkan Jam Kerja

Berdasarkan jam kerja, pengangguran ada 3 jenis, yaitu:

1. Pengangguran Terselubung (Disguised Unemployment)

Adalah tenaga kerja dapat diartikan sebagai pengangguran

terselubung apabila bekerja kurang dari 7 jam dalam sehari.

2. Setengah Menganggur (Under Unemployment)

Adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena

tidak ada lapangan pekerjaan. Tenaga kerja setengah menganggur

adalah tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu.

3. Pengangguran Terbuka (Open Unemployment)

Adalah tenaga kerja yang benar-benar tidak memiliki

pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak, dikarenakan belum

mendapat pekerjaan, padahal telah berusaha secara maksimal.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

16

b. Berdasarkan Penyebab Terjadinya

Berdasarkan penyebab terjadinya, pengangguran ada 6 jenis:

1. Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment)

Adalah pengangguran karena pekerja menunggu pekerjaan

yang lebih baik.

2. Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)

Adalah pengangguran yang disebabkan oleh penganggur

yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi

persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja.

3. Pengangguran Teknologi (Technology Unemployment)

Adalah pengangguran yang disebabkan oleh perubahan

teknologi. Perubahan ini bisa mengakibatkan pekerja harus diganti

dengan pekerja yang dapat menggunakan teknologi yang diterapkan.

4. Pengangguran Siklikal

Adalah pengangguran yang terjadi karena kemunduran

ekonomi yang mengakibatkan tidak semua pekerja bisa terserap.

5. Pengangguran Musiman

Adalah pengangguran yang terjadi karena siklus ekonomi

yang berfluktuasi akibat pergantian musim.

6. Pengangguran Total

Adalah pengangguran yang sungguh-sungguh tidak mendapat

pekerjaan, karena tidak adanya lapangan kerja atau tidak adanya

peluang untuk membuka lapangan kerja.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

17

Hukum Okun (Okun’s Law) menjelaskan hubungan antara tingkat

pengangguran dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dimana terdapat

indikasi hubungan negatif antara tingkat pengangguran dan tingkat

pertumbuhan ekonomi. Hukum Okun mengemukakan bahwa untuk setiap

2 persen kemerosotan GNP dari GNP potensialnya, maka tingkat

pengangguran akan melonjak 1 persen, begitupun sebaliknya. Hukum

Okun juga menerangkan keterkaitan antara pasar tenaga kerja dan pasar

output yang mendeskripsikan implikasi perubahan angka pengangguran

dan pergerakan jangka pendek pada GDP riil (Astuti, 2016).

Ada pandangan bahwa pengangguran akan menyebabkan

ketimpangan. Pengangguran yang tinggi tidak hanya berkaitan dengan

kemiskinan yang lebih tinggi, tetapi juga dengan ketimpangan yang lebih

tinggi dikarenakan para penganggur akan kehilangan lebih banyak

pendapatan secara proporsional dibanding dengan orang yang mempunyai

pekerjaan, hal ini terjadi di beberapa wilayah Eropa Timur dan Asia

Tengah. Diperkirakan salah satu dasar teoritis faktor yang mengakibatkan

pengangguran yang tinggi dan menurunkan pertumbuhan secara persisten

berkaitan erat dengan ketimpangan. Pengangguran yang tinggi memiliki

efek negatif bagi pertumbuhan jangka panjang, tetapi memiliki efek positif

terhadap ketimpangan (Castells-Quintana dan Royuela dalam (Yumna et

al., 2017).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

18

2.1.7 Investasi

Menurut (Utomo, 2017), mengemukakan bahwa investasi adalah

sebagai salah satu komponen dari output nasional atau PDB. Oleh karena

itu, investasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Untuk mengejar

ketertinggalan ekonomi, suatu negara membutuhkan dana atau modal yang

besar agar bisa membangun negara untuk dapat mengejar ketertinggalan

tersebut. Menurut (Hidayati, 2017), investasi adalah suatu kegiatan

menempatkan dana pada satu atau lebih dari satu jenis aset selama periode

tertentu dengan harapan dapat memperoleh penghasilan dan meningkatkan

nilai investasi dimasa yang akan datang.

Sumanto dalam (Endarwati et al., 2017), mendefinisikan investasi

sebagai komitmen sejumlah dana suatu periode untuk memperoleh

pendapatan yang diharapkan di masa yang akan datang sebagai

kompensasi unit yang diinvestasikan. Pada dasarnya investasi dibedakan

atas investasi finansial dan investasi non finansial. Investasi finansial

adalah bentuk kepemilikan instrumen finansial seperti uang tunai,

tabungan, deposito, surat berharga, obligasi, modal, dan sejenisnya.

Sedangkan investasi non finansial direalisasikan dalam bentuk investasi

fisik (BKPM dalam (Endarwati et al., 2017). Harapan untuk mendapatkan

keuntungan dan tingkat keuntungan (return) merupakan alasan utama

seseorang untuk melakukan investasi. Return yang diharapkan investor

adalah risiko penurunan daya beli akibat adanya pengaruh inflasi dan

kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity cost).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

19

Myrdal mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi

menciptakan suatu proses sebab menyebab sirkuler yang menjadikan si

kaya meraih keuntungan semakin banyak, dan mereka yang tertinggal di

belakang menjadi semakin terhalang. Dampak balik (backwash effect)

cenderung mengembang dan dampak sebar (spread effect) semakin

berkurang. Makin bertumpuk kecenderungan ini maka akan memperbesar

ketimpangan internasional dan mengakibatkan ketimpangan regional di

negara-negara terbelakang (Jhingan dalam (Angelia, 2010).

Ketimpangan regional berhubungan dengan sistem kapitalis yang

dikendalikan oleh motif laba. Berkembangnya pembangunan yang

berpusat di wilayah-wilayah yang mempunyai harapan laba tinggi

didorong oleh motif laba, sementara wilayah-wilayah lain tetap terabaikan.

Gejala ini disebabkan oleh kecenderungan peranan bebas kekuatan pasar

yang memperluas dibandingkan mempersempit ketimpangan regional. G.

Myrdal mengutarakan bahwa transfer modal juga cenderung memperbesar

ketimpangan wilayah. Hal ini dikarenakan, di wilayah maju permintaan

yang meningkat akan memacu investasi yang pada akhirnya dapat

menaikkan pendapatan dan mendatangkan putaran kedua investasi dan

begitu selanjutnya (Jhingan dalam (Angelia, 2010).

2.1.8 Tenaga Kerja

Tenaga kerja adalah orang yang melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun

masyarakat (UU RI No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, 2003).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

20

Tenaga kerja dapat juga diartikan sebagai penduduk yang berada dalam

batas usia setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun masyarakat. Menurut (Zenda & Suparno, 2017), tenaga kerja

adalah semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja, termasuk mereka

yang menganggur. Selain itu, walaupun bersedia dan sanggup bekerja,

mereka yang menganggur terpaksa menganggur dikarenakan tidak adanya

kesempatan kerja.

Tenaga kerja disebut juga dengan golongan produktif. Tenaga kerja

merupakan modal untuk penggerak roda pembangunan. Jumlah dan

komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan

berlangsungnya proses demografi. Pertambahan tenaga kerja yang tidak

dibarengi dengan pertambahan lapangan pekerjaan akan mengakibatkan

kecenderungan tingkat kesempatan kerja menurun, sehingga memicu

munculnya pengangguran. Penduduk yang tidak berperan secara ekonomi

dikategorikan ke dalam golongan bukan angkatan kerja, yang terdiri dari

golongan mereka yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah

tangga, yaitu mereka yang mengurus rumah tangga tanpa menerima upah

dan golongan lainnya.

Dasar teori nilai tenaga kerja Karl Marx berasal dari analisis Marx

mengenai ekploitasi buruh oleh kapitalis. Marx membagi nilai menjadi tiga

macam, yakni nilai lebih (surplus value), nilai tukar (exchange value) dan

nilai pakai (use value). Selain itu, marx mengatakan bahwa buruh dapat

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

21

melahirkan nilai lebih (surplus value), nilai tukar (exchange value) dan

nilai pakai (use value),dimana nilai surplus ini akan digunakan sebagai

akumulasi modal oleh kapitalis (Hasanah, 2020).

Nilai tenaga kerja adalah nilai setiap barang hasil produksi yang

diukur dengan kerja yang dibutuhkan untuk produksinya. “The value of

labour-power is determined, as in the case of every other commodity, by

the labour-time necessary for the production” (Marx, 1887). Waktu kerja

yang diperlukan bagi produksi merupakan penentu dari nilai tenaga kerja.

Ini berarti nilai tenaga kerja merupakan nilai bahan-bahan kebutuhan

hidup yang dibutuhkan dalam memproduksi barang pemiliknya.

Tenaga kerja adalah sumber nilai yang mana harga

menggambarkan sebuah nilai. Tenaga kerja diartikan sama dengan

komoditi. Yang berarti tenaga kerja bisa diperjualbelikan, sehingga nilai

tenaga kerja adalah output dari tenaga kerja. Serta seberapa besar nilai

yang didapat dari hasil kerja yang dilakukan oleh tenaga kerja tersebut.

Orientasi pemikiran marx untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan

masyarakat dalam suatu negara (Brewer, 2000).

Ada teori yang menyatakan bahwa penurunan produktivitas tenaga

kerja akan menurunkan ketimpangan, begitupun sebaliknya. Kenaikan

produktivitas tenaga kerja di daerah A tetapi di daerah B tidak terjadi

kenaikan produktivitas tenaga kerja, sehingga mengakibatkan kesenjangan

produktivitas tenaga kerja antara daerah A dan B disebabkan produksi

yang lebih besar di daerah A dibanding daerah B (Ebel & Yilmaz, 2002).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

22

Sebuah studi kasus di Afrika Selatan yang menjelaskan mengenai

persoalan ketenagakerjaan dan ketimpangan. Setelah masa apartheid,

konsentrasi pendapatan hanya tertuju pada lapisan kelompok pendapatan

tertinggi tanpa memikirkan kelompok yang lain. Selain itu, persentase

tingkat penyerapan tenaga kerja dan partisipasi angkatan kerja yang paling

besar ada pada kelompok pendapatan tertinggi. Sungguh jelas bahwa

faktor utama yang mendorong terjadinya ketimpangan di Afrika Selatan

yaitu pasar tenaga kerja yang teridentifikasi melalui pembagian sumber

pendapatan (Leibbrandt et al., 2010).

2.1.9 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Dalam konsep pendapatan regional, digunakan kata "Domestik"

yang berarti jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi di

suatu wilayah kabupaten/kotamadya atau provinsi tanpa melihat siapa

pemilik faktor produksinya. Dengan kata lain, produk domestik regional

bruto (PDRB) memggambarkan kinerja suatu daerah dalam menghasilkan

pendapatan atau balas jasa terhadap faktor produksi yang telah digunakan

dalam proses produksi di wilayah tersebut (BAPPEDA Kota Bogor, 2010).

Menurut (BAPPEDA Kota Bogor, 2010), produk domestik regional bruto

(PDRB) dapat didefinisikan ke dalam 3 pendekatan, yaitu:

1. PDRB Menurut Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)

PDRB adalah jumlah semua pengeluaran untuk konsumsi rumah

tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi

pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

23

dan ekspor neto di suatu wilayah (region). Makna dari ekspor neto

disini adalah ekspor dikurangi impor.

2. PDRB Menurut Pendekatan Produksi (Production Approach)

PDRB adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang

didapatkan dari bermacam unit produksi pada suatu wilayah (region)

dalam jangka waktu tertentu.

3. PDRB Menurut Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima dari faktor-faktor

produksi yang telah digunakan pada proses produksi di suatu wilayah

(region) dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa dari faktor produksi

tersebut yang berup sewa tanah, upah dan gaji, bunga modal dan

keuntungan. Kemudian, balas jasa tersebut dipotong pajak yaitu pajak

penghasilan dan pajak tidak langsung lainnya. Dalam arti PDRB,

jumlah semua komponen tersebut diartikan sebagai nilai tambah bruto,

termasuk komponen penyusutan barang modal tetap dan pajak tak

langsung neto, terkecuali faktor pendapatan. Serta produk domestik

regional bruto diperoleh dari enumerasi nilai tambah bruto seluruh

sektor lapangan usaha.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga

Berlaku (ADHB) adalah PDRB yang dihitung sesuai dengan harga yang

berlaku pada tahun yang bersangkutan. Sedangkan PDRB Atas Dasar

Harga Konstan (ADHK) adalah Produk Domestik Regional Bruto yang

dihitung atas dasar harga tetap suatu tahun tertentu (tahun 2010).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

24

Dalam definisi ini, dapat diartikan bahwa pendapatan dari faktor

produksi yang berada diluar suatu kabupaten/kota, maka faktor produksi

tersebut dimiliki oleh penduduk kabupaten/kota tersebut yang seharusnya

dihitung sebagai pendapatan kabupaten/kota itu. Begitupun sebaliknya,

pendapatan dari faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk luar

kabupaten/kota itu harus dikeluarkan. Berkenaan dengan hal tersebut,

penghitungan yang bisa dilakukan hanyalah produk domestik regional

bruto (PDRB). Angka PDRB ini merupakan indikator yang

menggambarkan kemampuan wilayah tersebut untuk menghasilkan

pendapatan atau balas jasa terhadap faktor produksi yang telah digunakan

dalam proses produksi di wilayah tersebut (BAPPEDA Kota Bogor, 2010).

Tahun 1955, Kuznets menyatakan bahwa mula-mula ekonomi

tumbuh, maka ketimpangan mengalami peningkatan. Seiring berjalannya

waktu, ketimpangan justru akan menurun. Keadaan ini dikenal dengan

Hipotesis Kuznets (Kuznets Hypothesis). Hipotesis Kuznets

menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan

ketimpangan. Hipotesis Kuznets menjelaskan bahwa tahap awal

pembangunan, distribusi pendapatan cenderung tidak merata. Akan tetapi,

setelah menjangkau tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan

cenderung merata. Jika hipotesis ini digambarkan dengan kurva, maka

akan membentuk pola seperti “U” terbalik. Sehingga hipotesis ini juga

dikenal dengan hipotesis kurva U terbalik (Inverted U Curve).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

25

Tingkat

Ketimpangan

Tingkat

Pertumbuhan

Ekonomi

Gambar 2.2 Kurva U Terbalik (Inverted U Curve) Kuznets

Kurva U Terbalik (Inverted U Curve) merupakan uraian dari kurva

hipotesa neoklasik. Sumbu vertikal dari kurva U terbalik yaitu variabel

ketimpangan regional yang diproksi dengan ketimpangan pendapatan.

Sedangkan sumbu horizontalnya adalah variabel tingkat pembangunan

nasional yang diproksi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Ketimpangan pendapatan berbeda dengan ketimpangan pembangunan.

Pengukuran ketimpangan pendapatan hanya melihat distribusi pendapatan

antar kelompok masyarakat. Sedangkan ketimpangan pembangunan diukur

dengan melihat distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat dan

perbedaannya dengan antar wilayah.

Pandangan Kuznets ini berawal dari mobilitas tenaga kerja dari

sektor pertanian ke sektor industri. Yang mana transmisi sektor tenaga

kerja yang mempunyai produktivitas rendah, kemudian beralih ke sektor-

sektor yang memiliki produktivitas tinggi (tingkat kesenjangan menengah).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

26

Secara substansial, hal ini akan memicu kesenjangan antara tenaga kerja

pada setiap sektor. Kemudian, tenaga kerja yang bergeser mendapati

kenaikan pendapatan per kapita, yang mana dampak pergeseran ini bagi

perekonomian secara umum menyebabkan ketimpangan cenderung

melebar. Sehingga, arah hubungan antara pendapatan per kapita dan

ketimpangan adalah positif pada awal pertumbuhan (Barro, 2000). Selain

itu, analisa Kuznets ini didasarkan oleh penelitian data time series terhadap

indikator kesenjangan pada negara Amerika Serikat, Inggris dan Jerman.

Tahun 2012, Binatli melakukan penelitian mengenai pertumbuhan

dan ketimpangan dengan menggunakan model comparative antara tahun

1970-1985 dan 1985-1999. Hasilnya, pada tahun 70an ketimpangan

terhadap pertumbuhan terdapat efek negatif. Namun, pada tahun 90an

ketimpangan terhadap pertumbuhan terdapat efek positif secara konsisten

(Binatli, 2012). Selanjutnya, tahun 2014 Halter, Oechslin dan Zweimüller

melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara ketimpangan dan

pertumbuhan ekonomi. Hasilnya sejalan dengan teori, dimana dalam

jangka pendek ketimpangan yang lebih tinggi menurunkan tingkat

pertumbuhan PDB per kapita. Sedangkan dalam jangka panjang,

ketimpangan cenderung mengalami penurunan (Halter et al., 2014).

2.2 Pengaruh Antar Variabel Penelitian

2.2.1 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Ketimpangan

Pengeluaran pemerintah merupakan faktor penting dalam

mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pertambahan permintaan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

27

agregat. Kebijakan pengeluaran pemerintah daerah termuat dalam

anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tergambar dari total

belanja pemerintah yang dialokasikan ke dalam pembiayaan anggaran

daerah. Pada umumnya pengeluaran pemerintah memberikan dampak

positif bagi pertumbuhan ekonomi (Sodik dalam (Zahari, 2017).

Pengeluaran pemerintah yang terlalu kecil dapat merugikan

pertumbuhan ekonomi, sedangkan pengeluaran pemerintah yang sesuai

(proporsional) dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta

pengeluaran pemerintah yang terlalu berlebihan dapat menghambat

pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Program-program yang bersifat

produktif dapat direalisasikan melalui pengeluaran pemerintah yang

menjadi stimulus bagi perekonomian dengan memanfaatkan potensi

sumber daya yang ada di suatu wilayah, sehingga dapat menurunkan

tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi pada suatu wilayah

(Dhyatmika, 2013).

2.2.2 Pengaruh Pengangguran terhadap Ketimpangan

Pengangguran adalah persoalan makroekonomi yang berdampak

secara langsung terhadap kelangsungan hidup seseorang. Menurut

sebagian orang, kehilangan pekerjaan merupakan penurunan standar

kehidupan. Permasalahan pengangguran merupakan salah satu

permasalahan makroekonomi yang menjadi penghambat pembangunan

daerah karena akan menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya

(Yehosua et al., 2019). Pengangguran membahayakan kestabilan ekonomi,

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

28

dikarenakan tingginya jumlah pengangguran akan menurunkan daya beli

masyarakat, sehingga mengurangi kegiatan produksi barang dan jasa.

Tidak hanya itu, pengangguran juga menyebabkan dampak negatif

terhadap perekonomian, seperti berkurangnya penghasilan pajak yang

diterima oleh pemerintah, menurunnya aktivitas investasi, menurunnya

tingkat kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya.

Mankiw dalam (Sugianto & Permadhy, 2020), pengangguran bisa

terjadi dikarenakan ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini

menggambarkan jumlah tenaga kerja yang ditawarkan lebih besar dari

jumlah tenaga kerja yang diminta. Pengangguran bisa memberikan

dampak negatif terhadap kestabilan ekonomi maupun kestabilan sosial dan

politik (Asfia Murni dalam (Ibrahim, 2019). Meningkatnya jumlah

pengangguran memicu terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin

karena masyarakat tidak memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, sehingga secara tidak langsung hal ini dapat menyebabkan

terjadinya ketimpangan pembangunan.

2.2.3 Pengaruh Investasi terhadap Ketimpangan

Dalam pembangunan wilayah, investasi merupakan indikator

fundamental untuk meningkatkan ketersediaan cadangan modal. Investasi

asing dipandang signifikan, karena akan memfasilitasi terjadinya transfer

teknologi. Fluktuatifnya investasi di suatu wilayah dipengaruhi selain

kebijakan yang ada, juga beberapa faktor baik dari sisi penawaran maupun

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

29

permintaan. Ini dikenal dengan konsep OLI (ownership, location and

internally), yang dikemukakan oleh Dunning tahun 1981 (Firdaus, 2013).

Menurut Myrdal dalam (Angelia, 2010), investasi cenderung

menambah ketidakmerataan. Di wilayah yang sedang berkembang,

permintaan barang dan jasa akan mendorong naiknya investasi yang pada

akhirnya akan meninggikan pendapatan. Sedangkan di wilayah yang

kurang berkembang, permintaan akan investasi cenderung kecil

dikarenakan pendapatan masyarakat yang rendah. Faktor perbedaan inilah

yang akan mengakibatkan ketimpangan antar wilayah menjadi semakin

meluas.

Kebijakan investasi juga mempengaruhi tinggi rendahnya investasi

di suatu wilayah. Hasil temuan ini berarti investasi akan cenderung masuk

ke wilayah yang lebih maju, dengan kualitas SDM yang memadai dan

infrastruktur yang baik. Selain itu, hasil dari studi konvergensi menyatakan

bahwa investasi berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi

wilayah. Kemajuan ekonomi di wilayah-wilayah yang kurang berkembang

di Indonesia akan terus menurun, apabila diabaikan secara natural.

Sehingga, ketimpangan antar wilayah akan cenderung terus meluas

(Firdaus, 2013).

2.2.4 Pengaruh Tenaga Kerja terhadap Ketimpangan

Menurut Suparmoko dalam (Nursetianingrum, 2018), tenaga kerja

adalah penduduk yang berada pada usia kerja yaitu antara 15 – 64 tahun

atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang memproduksi

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

30

barang atau jasa. Definisi menurut (UU RI No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, 2003), tenaga kerja adalah orang yang melakukan

pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan

sendiri maupun masyarakat.

Pengaruh tenaga kerja terhadap ketimpangan pembangunan

ekonomi dapat dilihat dari adanya penyerapan tenaga kerja sektor

pertanian menuju ke sektor industri dan atau jasa yang mengakibatkan

terjadinya transformasi ke sektor industri dan atau jasa. Transformasi

tenaga kerja tersebut akan dapat mendorong peningkatan pendapatan dan

distribusi pendapatan. Tetapi pada kenyataannya, transformasi tenaga

kerja tersebut belum mampu terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan

adanya kesenjangan jumlah penduduk, kendala geografis dan faktor

lainnya, sehingga mengakibatkan timbulnya ketimpangan pembangunan.

2.2.5 Pengaruh PDRB terhadap Ketimpangan

Produk domestik regional bruto (PDRB) memggambarkan kinerja

suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan atau balas jasa terhadap

faktor produksi yang telah digunakan dalam proses produksi di wilayah

tersebut. Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah bisa dilihat dengan

membandingkan PDRB pada satu tahun tertentu (PDRBt) dengan PDRB

tahun sebelumnya (PDRBt-1).

Menurut Mudrajad Kuncoro dalam (Angelia, 2010), ada teori yang

menyatakan bahwa pertumbuhan dan ketidakmeratan memiliki trade-off.

Tetapi pada kenyataannya, ketidakmerataan di negara sedang berkembang

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

31

(NSB) berkaitan kecil dengan pertumbuhan dalam dekade belakangan ini.

Maka dari itu, di banyak negara sedang berkembang (NSB) tidak memiliki

trade off antara pertumbuhan dan ketidakmerataan. Apabila suatu wilayah

dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya, maka wilayah tersebut

dianggap mampu menjalankan pembangunan ekonomi dengan produktif.

Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat merefleksikan

keberhasilan pembangunan wilayah tersebut. Namun, apakah pertumbuhan

ekonomi dalam suatu wilayah sudah merata dirasakan oleh seluruh

golongan masyarakat, hal ini masih menjadi persoalan sampai dengan

sekarang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat menaikkan

pendapatan per kapita masyarakat. Saat pendapatan per kapita naik dan

tersebar secara merata, maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat

dan secara tidak langsung ketimpangan pembangunan akan berkurang.

2.3 Penelitian Terdahulu

Ketimpangan pembangunan merupakan permasalahan yang sukar

untuk dihindari oleh suatu wilayah hingga sampai saat ini. Terdapat banyak

penelitian terdahulu mengenai ketimpangan pembangunan. Adapun penelitian

terdahulu yang dijadikan referensi guna mendukung penelitian ini,

diantaranya adalah penelitian Harun & Maski (2012), dalam penelitiannya

yang berjudul “Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah dan

Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah (Studi

pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur)”. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh dari Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pertumbuhan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

32

Ekonomi terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah di kabupaten dan

kota di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2007-2011. Metode analisis data

yang digunakan adalah metode analisis regresi data panel dengan pendekatan

Random Effect Model. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengeluaran

Pemerintah Daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Ketimpangan

Pembangunan Wilayah dan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif dan

signifikan terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah.

Dhyatmika & Atmanti (2013), dalam penelitiannya yang berjudul

“Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Banten Pasca Pemekaran”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) menganalisis besarnya ketimpangan

pembangunan yang terjadi di Provinsi Banten setelah pemekaran daerah; 2)

mengklasifikasikan kabupaten/kota; berdasarkan tipologi Klassen; 3)

menganalisis pengaruh penanaman modal asing langsung (FDI), pengeluaran

pemerintah (GE), dan tingkat pengangguran (UE) dari ketimpangan

pembangunan. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1)

Indeks williamson, 2) Tipologi Klassen, dan 3) Analisis data panel dengan

metode fixed effect model (FEM) dengan waktu penelitian 2001-2011. Hasil

analisis penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan

pembangunan di Provinsi Banten cenderung meningkat. Hasil analisis data

panel dengan metode FEM, foreign direct investment (FDI) dan pengeluaran

pemerintah berpengaruh positif dan negatif terhadap ketimpangan, sedangkan

variabel tingkat pengangguran tidak berpengaruh terhadap ketimpangan

pembangunan di Banten Provinsi setelah pemekaran wilayah.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

33

Nurhuda et al. (2013), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis

Ketimpangan Pembangunan (Studi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-

2011)”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi seberapa besar

ketimpangan yang ada di Provinsi Jawa Timur dan apakah hipotesis kuznet

berlaku di wilayah ini. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini

adalah indeks williamson, hipotesis kuznet dan regresi berganda dengan

bantuan SPSS. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa nilai

ketimpangan di wilayah ini dikategorikan rendah, hal ini dikarenakan nilai

indeks williamson mendekati nilai 0. Selanjutnya, hipotesis kuznet juga

berlaku di wilayah ini. Kemudian, variabel PAD dan IPM berpengaruh

negatif terhadap ketimpangan pembangunan. Sedangkan untuk variabel

PDRB dan DAU tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan.

Endarwati et al. (2017), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Provinsi Di Pulau Jawa”. Tujuan

penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dan menganalisis ketimpangan

pembangunan ekonomi antar provinsi di Pulau Jawa; (2) menguji dan

menganalisis pengaruh tenaga kerja dan investasi terhadap ketimpangan

pembangunan ekonomi antar provinsi di Pulau Jawa. Alat analisis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Williamson dan Regresi Data

Panel. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) ketimpangan

pembangungan ekonomi antar provinsi di Pulau Jawa termasuk kategori

ketimpangan tinggi, yaitu nilai indeks Williamson lebih besar 1 dan

cenderung mengalami penurunan. (2) tenaga kerja dan atau investasi

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

34

berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi antar

provinsi di Pulau Jawa.

Andhiani et al. (2018), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis

Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan di Wilayah

Sumatera”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan

ekonomi dan ketimpangan pembangunan di wilayah Sumatera. Alat analisis

yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi data panel. Hasil analisis

penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di wilayah

Sumatera cenderung menurun, sedangkan ketimpangan pembangunan

berkisar dari IW (Williamson Index) 0,406-0,446. Berdasarkan hasil regresi

data panel diketahui bahwa secara simultan investasi, belanja pemerintah,

aglomerasi, dan tenaga kerja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Demikian juga, secara simultan investasi, belanja pemerintah, aglomerasi,

dan tenaga kerja berpengaruh juga terhadap ketimpangan pembangunan.

Yusica et al., (2018), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Aglomerasi dan Tingkat Pengangguran

Terhadap Ketimpangan Antar Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Timur”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis

ketimpangan wilayah serta menganalisis pengaruh variabel pertumbuhan

ekonomi, aglomerasi dan tingkat pengangguran terhadap ketimpangan

wilayah di Provinsi Kalimantan Timur. Alat analisis yang digunakan adalah

analisis regresi data panel. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa

PDRB per kapita tingkat ketimpangan wilayah di provinsi Kalimantan Timur

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

35

masih menunjukkan ketimpangan wilayah yang lemah karena rata-rata masih

menunjukkan angka negatif. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa

variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

ketimpangan wilayah serta variabel aglomerasi dan tingkat pengangguran

berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah.

Alfiansyah & Budyanra (2019), dalam penelitiannya yang berjudul

“Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi

Nusa Tenggara Timur Tahun 2013-2017”. Tujuan penelitian ini adalah untuk

menganalisis ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi

NTT serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya yang diukur

dengan indeks Jaime Bonet. Metode yang digunakan adalah analisis

deskriptif dan analisis regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa masih ada beberapa kabupaten/kota yang mengalami ketimpangan

yang sangat tinggi. Analisis regresi data panel menunjukkan bahwa variabel

angka melek huruf (AMH) dan dana alokasi umum (DAU) memiliki

pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap ketimpangan antardaerah,

sedangkan variabel pendapatan asli daerah (PAD), belanja modal dan tingkat

pengangguran terbuka (TPT) berpengaruh positif dan signifikan terhadap

ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi NTT.

Haikal (2020), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar

Wilayah di Provinsi Sumatera Utara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui seberapa besar pengaruh Produk Domestik Regional Bruto per

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

36

kapita (PDRB pe kapita), Investasi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM),

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap ketimpangan pembangunan (Indeks

Williamson) baik secara parsial maupun simultan. Teknik analisis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda. Temuan hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial PDRB Per Kapita dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap ketimpangan

pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Disisi lain, Investasi dan

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berpengaruh negatif terhadap

ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

Dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah dipaparkan, sebagian

besar memiliki kesamaan dalam metode penelitian yaitu menggunakan

metode kuantitatif. Selain itu, sebagian besar penelitian-penelitian terdahulu

yang telah dipaparkan memiliki topik yang sama yaitu mengenai

ketimpangan pembangunan, namun dengan variabel-variabel dan objek

penelitian yang berbeda. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji mengenai

Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah Antar Provinsi di Pulau

Sumatera selama periode 2010-2019.

2.4 Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini, variabel bebas yang digunakan untuk mengkaji

mengenai analisis ketimpangan pembangunan wilayah antar provinsi di Pulau

Sumatera adalah pengeluaran pemerintah, pengangguran, investasi, tenaga

kerja dan PDRB. Untuk lebih jelasnya, akan diterangkan oleh kerangka

pemikiran penelitian ini yang ditunjukkan pada gambar 2.3.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tujuan

37

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

2.5 Hipotesis

Berdasarkan dari kerangka pemikiran yang telah digambarkan pada

gambar 2.3, maka rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

H1: Diduga variabel pengeluaran pemerintah, investasi, tenaga kerja dan

PDRB berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan wilayah.

H2: Diduga variabel pengangguran berpengaruh positif terhadap ketimpangan

pembangunan wilayah.

Ketimpangan

Pembangunan Wilayah

Ketimpangan

Pembangunan Wilayah

Antar Provinsi di

Pulau Sumatera

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Ketimpangan Pembangunan Wilayah

PDRB

Per Kapita

Jumlah

Penduduk

Pengeluaran

Pemerintah

Pengangguran Investasi Tenaga

Kerja

PDRB

Indeks Williamson

Regresi Data Panel

Kesimpulan dan Saran