Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Univeristas Kristen Petra
9
2. LANDASAN TEORI
2.1. Kepemimpinan
2.1.1. Pengertian Kepemimpinan
Secara umum, definisi pemimpin adalah orang atau individu yang
memiliki peran untuk memimpin organisasi dan mengartikulasikan nilai-nilai atau
visi perusahaan kepada semua karyawan. Dari definisi ini, bisa dilihat bahwa
kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting terhadap berlangsungnya
suatu organisasi ke arah yang lebih baik. Berikut ini merupakan definisi dari
beberapa ahli, yaitu :
1. Menurut Richard & Engle (1986)
Kepemimpinan berbicara mengenai mengartikulasikan visi, mewujudkan
nilai-nilai, dan menciptakan lingkungan di mana ada banyak hal yang dapat
dicapai. (dalam Yukl, 2004, p. 5)
2. Menurut Drath & Palus (1994)
Kepemimpinan adalah proses membuat orang mengerti apa yang mereka
kerjakan bersama sehingga mereka bisa memahaminya dan berkomitmen
(dalam Yukl, 2004, p. 5).
3. Menurut House et al. (1999)
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi,
memotivasi, dan memungkinkan orang lain untuk berkontribusi terhadap
efektivitas dan keberhasilan organisasi (dalam Yukl, 2004, p. 5).
4. Menurut Achua & Lussier, 2010, p. 6
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dari pemimpin dan pengikut
untuk mencapai tujuan organisasi melalui perubahan.
Dari definisi ini tampak jelas bahwa kepemimpinan melibatkan orang,
bukan hanya seorang pemimpin namun juga pengikut. Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan hubungan pengaruh antara
pemimpin dan pengikut yang berniat melakukan perubahan yang nyata dan hasil
yang mencerminkan tujuan bersama mereka.
Univeristas Kristen Petra
10
2.1.2. Servant Leadership
2.1.2.1. Pengertian Servant Leadership
Ide dari pemimpin yang melayani sebagian datang dari pengalaman
setengah abad Greenleaf dalam bekerja untuk membentuk lembaga-lembaga
besar. Ide ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1960, ketika Greenleaf
membaca sebuah novel pendek karangan Hermann Hesse yang berjudul Journey
to the East. Karakter fiksi Hesse adalah lambang dari pemimpin yang melayani
(Spears & Lawrence, 2004, p.11).
Setelah membaca cerita dalam novel ini, Greenleaf menyimpulkan bahwa
inti dari cerita tersebut bahwa pemimpin yang besar adalah mereka yang pertama-
tama memiliki pengalaman melayani yang lain, dan bahwa realita yang sederhana
ini adalah inti dari kebesaran seorang pemimpin. Kepemimpinan sejati muncul
dari mereka yang memiliki motivasi utama kerinduan untuk melayani (Spears &
Lawrence, 2004, p.11)
Pada tahun 1970, di usia 66 tahun, Greenleaf menerbitkan sebuah buku
berjudul “The Servant as Leader,” yang merupakan pertama dari lusinan karangan
dan buku servant leadership. Dalam buku ini, Greanleef menuliskan bahwa “Di
mulai dari perasaan yang normal bahwa seseorang ingin melayani, melayani
terlebih dahulu. Kemudian pilihan ini membawa seseorang berkeinginan untuk
menjadi pemimpin. Perbedaannya tampak dalam kepedulian yang ditunjukan oleh
seorang pelayan-kesadaran pertama untuk memastikan bahwa kebutuhan orang
lain menjadi prioritas untuk dilayani.” (Spears & Lawrence, 2004, p.12 ). Menurut
Greenleaf, servant leadership adalah suatu gaya kepemimpinan yang berasal dari
perasaan tulus yang timbul dari dalam hati yang berkehendak untuk melayani,
yaitu menjadi pihak pertama yang melayani (Lantu, 2007, p. 28)
Di sini kita melihat bahwa kepemimpinan yang melayani adalah
kepemimpinan terbalik. Pemimpin yang melayani melampaui kepentingannya
untuk melayani kebutuhan orang lain, membantu orang lain bertumbuh dan
berkembang, dan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk mendapatkan
material dan emosional. Dalam organisasi, prioritas utama para pemimpin adalah
pelayanan kepada karyawan, pelanggan, pemegang saham, dan masyarakat
umum. Dalam pikiran mereka, tujuan keberadaan mereka adalah untuk melayani,
Univeristas Kristen Petra
11
kepemimpinan mengalir keluar dari tindakan pelayanan karena yang
memungkinkan orang lain untuk tumbuh dan menjadi sesuai apa yang mereka
mampu (Daft, 2008, p.176).
Pemimpin pelayan mengenali kehormatan dan pentingnya nilai setiap
individu karena mereka adalah ciptaan Tuhan yang mulia. Sehingga pemimpin
pelayan merasa berkewajiban untuk terlibat dalam pembentukan para pengikutnya
menjadi manusia yang seutuhnya, yaitu dengan menciptakan lingkungan kerja
yang mampu memberi dukungan demi terpenuhinya proses pembentukan
karakter. Dengan menjadi manusia seutuhnya, para pengikut dapat tumbuh dan
berkembang sebagai individu yang mampu memberikan kontribusi yang berarti
pada pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Dan pada akhirnya proses kehidupan
akan mengarahkan mereka pada suatu kondisi di mana mereka siap untuk menjadi
para pemimpin pelayan baru bagi pihak lain (Lantu, 2007, p.28). Pada intinya,
servant leadership adalah sebuah kepemimpinan jangka panjang, tingkah laku
yang mengubahkan dalam segi kehidupan dan bekerja, sehingga memiliki potensi
untuk menciptakan peluang positif bagi lingkungan sosial.
2.1.2.2. Karakteristik Servant Leadership
Karakteristik yang paling sering dipakai sebagai acuan para pakar
kepemimpinan adalah karakteristik yang dikemukakan oleh Larry Spears (1995)
sebagai hasil studinya terhadap berbagai tulisan yang dihasilkan Robert Greenleaf
semasa hidupnya. Berdasarkan hasil studi tersebut, Spears mengajukan 10
karakteristik utama seorang pemimpin pelayan (Lantu, 2007; Spears, 2004), yaitu:
1. Listening (Mendengarkan)
Secara tradisional, pemimpin dinilai dari kemampuan pemimpin
tersebut dalam berkomunikasi dan mengambil keputusan. Namun, dalam
servant leadership, kemampuan penting yang harus dimiliki seorang pemimpin
adalah memperkuat komitmen untuk mendengarkan orang lain. Pemimpin
melayani mengidentifikasi apa yang diinginkan oleh tim dan membantu untuk
mengklarifikasi keinginan tersebut, sehingga dibutuhkan komitmen untuk mau
mendengarkan. Mendengarkan di sini, direfleksikan dengan tingkah laku yang
terus-menerus secara berkala.
Univeristas Kristen Petra
12
2. Empathy (Empati)
Servant-Leader berjuang keras untuk memahami dan mengenal
perasaan serta pikiran orang lain. Di perlukan penerimaan bahwa tiap anggota
adalah spesial dan memiliki jiwa yang unik. Satu asumsi yang baik bagi
pekerja adalah ketika mereka diterima dan tidak dilupakan bahwa mereka juga
adalah manusia, sehingga diperlukan untuk menerima tingkah laku atau
kemampuan bekerja yang mereka miliki. Pemimpin pelayan akan berhasil jika
mereka mampu menjadi pendengar yang ahli dan penuh empati.
3. Healing (Pemulihan)
Salah satu kekuatan dari kepemimpinan melayani adalah potensi yang
dapat memulihkan satu pribadi dan yang lainnya. Banyak orang memiliki patah
semangat dan memiliki perjuangan atas berbagai emosi tentang luka hati.
Meskipun bagian ini adalah sangat manusiawi, namun dalam kepemimpinan
melayani, di katakan bahwa orang–orang tersebut memiliki kesempatan untuk
kembali utuh, ketika pemimpin dan anggotanya terjalin dalam suatu kontak.
Dalam “The Servant as Leader”, Greenleaf menuliskan bahwa terdapat suatu
komunikasi yang sukar untuk dipahami antara yang dilayani dan yang dipimpin
jika keduanya saling memahami bahwa kesatuan adalah ketika mereka saling
berbagi.
4. Awareness (Kesadaran)
Kesadaran umum, dan terutama kesadaran diri, memperkuat servant
leadership. Kesadaran juga membantu dalam memahami persoalan yang
melibatkan etika dan nilai-nilai yang sifatnya universal. Kesadaran dapat
membantu seseorang pemimpin melihat situasi dari posisi yang paling lebih
terintegrasi secara keseluruhan. Menurut Greenleaf (2002), “Pemimpin pelayan
senantiasa memiliki ketenangan dalam batinnya sendiri” (dalam Lantu, 2007,
p. 41)
5. Persuasion (Kekuatan untuk meyakinkan atau membujuk)
Ciri khas dari kepemimpinan servant leadership adalah pada
kemampuan diri untuk mempengaruhi orang lain dengan tidak menggunakan
wewenang dan kekuasaan yang berasal dari kedudukan atau otoritas formal,
dalam membuat keputusan di organisasi. Kepemimpinan pelayan lebih efektif
Univeristas Kristen Petra
13
dalam membangun konsensus kelompok utuk memecahkan berbagai
permasalahan yang timbul. Ciri ini memberikan suatu perbedaan yang
mendasar dengan kepemimpinan otoriter tradisional.
6. Conceptualization (Konseptualisasi)
Pemimpin yang menerapkan servant leadership, berusaha untuk dapat
melihat permasalahan yang terjadi dalam organisasi dengan sudut pandang
konseptualisasi pemikiran yang besar. Hal ini tentunya menuntut seseorang
untuk dapat berpikir out of the box. Bagi banyak manager, hal ini memerlukan
disiplin dan latihan. Dalam servant leadership, pemimpin berperan untuk
mencari keseimbangan antara berpikir secara konseptual dengan praktek
sehari-hari yang terfokus.
7. Foresight (Kekuatan atau Kemampuan untuk Melihat Masa Depan)
Foresight adalah sebuah karakteristik yang memungkinkan servant
leader untuk memahami kejadian di masa lalu, realitas masa kini, dan
kemungkinan konsekuensi dari keputusan untuk masa depan. Hal ini juga
berakar dalam pikiran intuitif.
8. Stewardship (Pekerjaan Mengurus Sesuatu)
Dalam karakteristik ini, semua bagian dalam organisasi, memainkan
peran penting dalam memegang institusi mereka dalam kepercayaan untuk
kebaikan masyarakat. Servant leadership, seperti pelayanan, diasumsikan
pertama dan terutama komitmen untuk melayani kebutuhan orang lain. Hal ini
juga menekankan penggunaan keterbukaan dan persuasi daripada kontrol.
9. Commitment to the Growth of People (Komitmen untuk Pertumbuhan
Anggota)
Kepemimpinan melayani percaya bahwa semua orang memiliki nilai
intrinsik yang melampaui kontribusi nyata sebagai pekerja. Akibatnya, servant
leader sangat berkomitmen untuk pertumbuhan setiap individu dalam institusi
tersebut. Servant Leader mengakui tanggung jawab yang besar untuk
melakukan segala kemungkinan untuk memelihara pertumbuhan karyawan.
10. Building Community (Membangun Komunitas)
Servant-Leader berusaha untuk mengidentifikasi beberapa cara untuk
membangun komunitas di antara mereka yang bekerja dalam suatu institusi
Univeristas Kristen Petra
14
tertentu. Servant-Leadership menunjukkan bahwa komunitas yang sejati dapat
dibentuk di antara mereka yang bekerja dalam bisnis dan lembaga lainnya.
Dalam karya tulisnya, Greenleaf (1970) mengatakan bahwa, semua
yang dibutuhkan untuk membangun kembali masyarakat sebagai bentuk
kehidupan yang layak untuk sejumlah besar orang adalah dengan servant-
leader yang cukup untuk menunjukkan jalan, bukan dengan gerakan massa,
tetapi oleh setiap servant-leader yang menunjukkan kewajibannya sendiri
pada masyarakat terkait kelompok.
Barbuto dan Wheeler (2006) menambahkan karakteristik calling pada 10
karakteristik dari Spears tersebut sehingga menjadi 11 karakteristik. Barbuto dan
Wheeler (2006) juga telah melakukan studi untuk pengembangan skala
pengukuran servant leadership dengan menggunakan 11 karakteristik
kepemimpinan.
Banyak ahli yang mencoba membandingkan servant leadership dengan
bentuk kepemimpinan yang lain. Bass (2000) dalam diskusinya tentang
transformational leadership dengan bentuk kepemimpinan yang lain menyatakan
bahwa terdapat banyak kesamaan servant leadership dengan transformational
leadership. Kesamaan tersebut terkait dengan karakteristik vision, influence,
credibility, trust, dan service. Namun, servant leadership mempunyai tingkat
lebih tinggi dari transformational leadership karena terdapat penyamaan
(alignment) motif pemimpin dan bawahan (Handoyo, 2010, p.131).
Polley (2002) juga membuat perbandingan servant leadership dengan
tiga paradigma kepemimpinan yang sebelumnya, yaitu pendekatan trait,
behavioral, dan contingency. Polley juga menyatakan bahwa servant leadership
sangat dekat kesamaannya dengan transformational leadership (Handoyo, 2010,
p.131).
Menurut Barbuto dan Wheeler (2006), Servant leadership memiliki
kesamaan prinsip dengan teori LMX (Leader-Member Xchange). Pada teori
LMX, pemimpin dengan LMX yang tinggi mengembangkan trusting dan
mutually beneficial relationship with employees sama seperti servant leader yang
mengembangkan strong supportive relationship with all employees and
colleagues (dalam Handoyo, 2010, p.131).
Univeristas Kristen Petra
15
Skala pengukuran servant leadership yang juga telah banyak digunakan
dalam penelitian adalah Servant Leadership Assesment Instrument (SLAI) yang
dikembangkan oleh Dennis (2004). Skala ini mengukur dimensi love,
empowerment, vision, humility, dan trust. Page dan Wong (2000, dalam Winston
& Hartsfield, 2004) mengembangkan model konseptual servant leadership serta
skala pengukurannya. Hasil penelitiannya memperoleh 3 faktor, yaitu service,
empowerment, dan visioning. Hasil ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan
oleh Dennis dan Winston (2003) dengan menggunakan instrumen dari Page dan
Wong. Sedangkan, Farling dkk. (1999) mengajukan lima faktor dalam servant
leadership, yaitu vision, influence, credibility, trust, dan service. Sementara itu,
Russell (2001) mengajukan 8 faktor, yaitu vision, credibility, trust, service,
modelling, pioneering, appreciating others, dan empowerment trust (Handoyo,
2010, p.131).
Wong dan Page (2003) mengajukan kerangka kerja konseptual untuk
mengukur servant leadership. Kerangka kerja konseptual tersebut terdiri dari
empat kategori (dalam Handoyo, 2010, p.132), yaitu :
1. Character-orientation, berkenaan dengan sikap pemimpin; fokus pada nilai,
kredibilitas dan motif pemimpin (contoh integritas, humility, dan
servanthood);
2. People-orientation, berkenaan dengan mengembangkan sumber daya manusia;
fokus pada hubungan pemimpin dengan bawahan dan komitmen pemimpin
untuk mengembangkan mereka (contoh caring for others, empowering
others, developing others);
3. Task-orientation, berkenaan dengan pencapaian produktivitas dan
keberhasilan; fokus pada tugas pemimpin dan keterampilan yang diperlukan
untuk berhasil (contoh visioning, goal setting, dan leading); dan
4. Process-orientation, berkenaan dengan peningkatan efisiensi organisasi; fokus
pada kemampuan pemimpin untuk mengembangkan sistem terbuka, efisien
dan fleksibel.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa servant leadership tidaklah
dipahami secara sama oleh para ahli. Bagaimanapun ada prinsip-prinsip yang
Univeristas Kristen Petra
16
memberikan kesamaan pada konstruk-konstruk yang dipergunakan oleh pada ahli
tersebut (Handoyo, 2010, p.132).
Analisis faktor dalam penelitian Barbuto dan Wheeler (2006)
menghasilkan 5 faktor, yaitu :
1. Altruistic calling menggambarkan hasrat yang kuat dari pemimpin untuk
membuat perbedaan positif pada kehidupan orang lain dan meletakkan
kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri dan akan bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhan bawahannya.
2. Emotional healing menggambarkan komitmen seorang pemimpin dan
keterampilannya untuk meningkatkan dan mengembalikan semangat bawahan
dari trauma atau penderitaan.
3. Wisdom menggambarkan pemimpin yang mudah untuk menangkap tanda-
tanda di lingkungannya, sehingga memahami situasi dan memahami implikasi
dari situasi tersebut.
4. Persuasive mapping menggambarkan sejauh mana pemimpin memiliki
keterampilan untuk memetakan persoalan dan mengkonseptualisasikan
kemungkinan tertinggi untuk terjadinya dan mendesak seseorang untuk
melakukan sesuatu ketika mengartikulasikan peluang.
5. Organizational stewardship menggambarkan sejauh mana pemimpin
menyiapkan organisasi untuk membuat kontribusi positif terhadap
lingkungannya melalui progam pengabdian masyarakat dan pengembangan
komunitas dan mendorong pendidikan tinggi sebagai satu komunitas.
Lima dimensi Barbuto dan Wheeler inilah yang digunakan penulis untuk
mengukur servant leadership ditambah dengan tiga dimensi, yaitu service,
humility, dan vision. Dimana service menggambarkan sejauh mana pelayanan
dipandang sebagai inti dari kepemimpinan dan pemimpin menunjukkan perilaku
pelayanannya kepada karyawan, humility menggambarkan kerendahan hati
pemimpin, serta menempatkan dan menghargai prestasi orang lain daripada
prestasi sendiri, dan vision menggambarkan sejauhmana pemimpin mencari
komitmen semua anggota organisasi terhadap visi bersama dengan mengajak
anggota untuk menentukan arah masa depan organisasi dan menuliskan visi
bersama. Alasan tiga dimensi tersebut dipilih karena dimensi itu lebih banyak
Univeristas Kristen Petra
17
disebut oleh para penulis dan peneliti sebagai dimensi dalam servant leadership,
serta untuk mengisi kategori Wong dan Page. Dengan demikian, kategori
characteristic-orientation diwakili oleh wisdom, humility; people-orientation
diwakili oleh altruistic calling dan emotional healing; task-orientation diwakili
oleh organizational stewardship, persuasive mapping, dan vision; process-
orientation diwakili oleh service (Handoyo, 2010, p.133).
2.2. Komitmen Organisasional
2.2.1. Pengertian Komitmen Organisasional
Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan salah satu
tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai
variabel terikat, variabel bebas, maupun variabel mediator (Chairy, n.d.). Hal ini
antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki
komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta
meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya (Chairy, n.d.).
Menurut Jewell dan Siegall (2001) komitmen organisasi adalah suatu
keadaan atau derajat sejauh mana seseorang pegawai memihak pada suatu
organisasi tertentu dengan tujuan-tujuannya serta memelihara keanggotaan dalam
organisasi itu, sedangkan Mutiara (2002) komitmen organisasi adalah
menggambarkan sebagai kecenderungan untuk terikat dalam garis kegiatan yang
konsisten karena menganggap adanya biaya pelaksanaan kegiatan yang lain
(dalam Mulyanto & Suryani, p.4).
Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah
organisasi, karena terciptanya komitmen yang tinggi akan mempengaruhi situasi
kerja yang profesional. Berbicara mengenai komitmen organisasi tidak bisa
dilepaskan dari sebuah istilah loyalitas yang sering mengikuti kata komitmen.
Pemahaman demikian membuat istilah loyalitas dan komitmen mengandung
makna yang membingungkan (Baihaqi, 2010, p.38).
Greenberg & Baron (1997) menyatakan bahwa ada dua motif yang
mendasari seseorang untuk berkomitmen pada organisasi atau unit kerjanya
(dalam Baihaqi, 2010, p.39), antara lain:
Univeristas Kristen Petra
18
1. Side-Best Orientation
Side-Best Orientation ini memfokuskan pada akumulasi dari kerugian yang
dialami atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh individu pada organisasi
apabila meninggalkan organisasi tersebut.
2. Goal-Congruence Orientation
Memfokuskan pada tingkat kesesuaian antara tujuan personal individu dan
organisasi sebagai hal yang menentukan komitmen pada organisasi.
Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen
organisasional merupakan suatu keadaan di mana karyawan berpihak dan peduli
pada organisasi tertentu serta tujuan-tujuannya dan adanya niat dari karyawan
tersebut untuk memelihara keanggotaanya dalam organisasi di mana mereka
bekerja. Bentuk keterpihakan dan kepedulian karyawan dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti terlibat dalam kegiatan organisasi, berkurangnya
membuang-buang waktu dalam bekerja dan berkurangnya kemungkinan
meninggalkan lingkungan kerja. Dengan kata lain, hal ini merupakan sikap yang
merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di
mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan
keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasional
Steers dan Porter (1983) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi
komitmen terhadap perusahaan menjadi empat kategori, yaitu:
1. Karakteristik Personal
Pengertian karakteristik personal mencakup: usia, masa jabatan, motif
berprestasi, jenis kelamin, ras, dan faktor kepribadian. Sedang tingkat
pendidikan berkorelasi negatif dengan komitmen terhadap perusahaan (Welsch
dan La Van, 1981). Karyawan yang lebih tua dan lebih lama bekerja secara
konsisten menunjukkan nilai komitmen yang tinggi (Steers, 1988).
2. Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan meliputi kejelasan serta keselarasan peran, umpan
balik, tantangan pekerjaan, otonomi, kesempatan berinteraksi, dan dimensi inti
pekerjaan. Biasanya, karyawan yang bekerja pada level pekerjaan yang lebih
Univeristas Kristen Petra
19
tinggi nilainya dan karyawan menunjukkan level yang rendah pada konflik
peran dan ambigu cenderung lebih berkomitmen (Steers, 1988).
3. Karakteristik Struktural
Faktor-faktor yang tercakup dalam karakteristik struktural antara lain ialah
derajat formalisasi, ketergantungan fungsional, desentralisasi, tingkat
partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan fungsi kontrol dalam
perusahaan. Atasan yang berada pada organisasi yang mengalami desentralisasi
dan pada pemilik pekerja kooperatif menunjukkan tingkat komitmen yang
tinggi (Steers, 1988).
4. Pengalaman Bekerja
Pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi yang penting, yang
mempengaruhi kelekatan psikologis karyawan terhadap perusahaan.
Pengalaman kerja terbukti berkorelasi positif dengan komitmen terhadap
perusahaan sejauh menyangkut taraf seberapa besar karyawan percaya bahwa
perusahaan memperhatikan minatnya, merasakan adanya kepentingan pribadi
dengan perusahaan, dan seberapa besar harapan-harapan karyawan dapat
terpenuhi dalam pelaksanaan pekerjaanya (Steers, 1988).
Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan
komitmen, penelitian yang dilakukan Mowday, Porter, dan Steers (dalam Baihaqi,
2010, p.41) menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi komitmen seseorang terhadap organisasi, diantaranya adalah:
1. Usia dan Masa Kerja. Usia dan masa kerja berkolerasi positif dengan
komitmen.
2. Tingkat Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan individu, makin banyak
pula harapannya yang mungkin tidak dapat dipenuhi atau tidak sesuai dengan
organisasi, tempat karyawan tersebut bekerja.
3. Jenis Kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar
dalam pencapaian kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.
4. Peran individu tersebut di organisasi. Hasil studi Morris dan Sherman
menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak
jelas dan komitmen terhadap organisasi.
Univeristas Kristen Petra
20
5. Faktor lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada
organisasi. Menurut Porter dan Mowday (Armstrong, 2004), lingkungan dan
pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang
mempengaruhi komitmen terhadap organisasi.
a) Keterandalan organisasi, sejauh mana individu merasa bahwa organisasi
tempat ia bekerja memperhatikan anggotanya, baik dalam hal minat
maupun kesejahteraan.
b) Perasaan dipentingkan oleh organisasi, sejauh mana individu merasa
diperlukan dalam mencapai misi organisasi. Menurut Lavering (2001),
tempat kerja yang baik adalah tempat yang karyawan dihargai
keberadaanya dan merasa bangga menjadi anggota organisasi tersebut.
c) Ketidakberartian akan membuat komitmen organisasi menjadi rendah.
d) Realisasi harapan individu, sejauh mana harapan individu dapat
direalisasikan melalui organisasi, tempat karyawan tersebut bekerja.
e) Persepsi tentang sikap terhadap rekan kerja, sejauh mana individu tersebut
merasa bahwa rekan kerjanya dapat mempertahankan sikap kerja yang
positif terhadap organisasi.
f) Persepsi tentang gaji, sejauh mana individu tersebut merasa gaji yang
diterimanya seimbang dengan individu lain. Perasaan diperlakukan adil,
sehingga tidak akan mempengaruhi komitmennya terhadap organisasi.
Allen dan Meyer mengklasifikasikan komitmen organisasional ke dalam
tiga dimensi, yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen
continuance (continuance commitment), dan komitmen normatif (normative
commitment). Penjelasan dari ketiga dimensi komitmen tersebut adalah sebagai
berikut (Luthans, 1995, p.131) :
1. Affective commitment, keterlibatan emosi pekerja terhadap organisasi.
Komitmen ini dipengaruhi dan atau dikembangkan apabila keterlibatan dalam
organisasi terbukti menjadi pengalaman yang memuaskan.
2. Continuance commitment, keterlibatan komitmen berdasarkan biaya yang
dikeluarkan akibat keluarnya pekerja dari organisasi. Komitmen ini
dipengaruhi dan atau dikembangkan pada saat individu melakukan investasi.
Univeristas Kristen Petra
21
Investasi tersebut akan hilang atau berkurang nilainya apabila individu beralih
dari organisasinya.
3. Normative commitment, keterlibatan perasaan pekerja untuk bertahan dalam
organisasi karena mereka merasa bahwa itu merupakan hal yang benar untuk
dilakukan.
Berdasarkan pendapat Allen dan Meyer tersebut, dapat diinterpretasi
bahwa keputusan seseorang tetap bertahan di organisasi memiliki motivasi yang
berbeda-beda. Seseorang dengan komitmen efektif yang kuat, bertahan di
organisasi, karena dia memang ingin (want to) melakukan hal tersebut, sedangkan
seseorang dengan komitmen continuance yang kuat bertahan di organisasi, karena
dia memang butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan
lain, sedangkan seseorang dengan komitmen normatif yang kuat, tetap bertahan di
organisasi, karena alasan moralitas. Karyawan yang memiliki komitmen normatif
yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi
didukung dengan tingkah laku mereka dalam memenuhi tujuan dan minat
organisasi (Chairy, n.d.).
Mowday, Porter, dan Steers (1982) mengatakan bahwa karyawan yang
memiliki komitmen organisasional yang tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir
dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi (Chairy, n.d.).
Mowday, Porter, dan Steers (1982) juga mendefinisikan komitmen organisasional
sebagai: the relative strength of an individual's identification with and
involvement in a particular organization (Chairy, n.d.). Definisi tersebut
menunjukkan bahwa komitmen organisasional memiliki arti yang lebih dari
sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif antara karyawan
dengan organisasi, serta adanya keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi
yang berarti pada organisasinya.
Berdasarkan pendapat Mowday terdapat tiga faktor utama untuk melihat
komitmen organisasional suatu individu, yaitu (Luthans, 2002, p.235):
1. Keyakinan dan penerimaan yang kuat oleh individu terhadap tujuan-tujuan
dan nilai-nilai organisasi;
2. Kesediaan dan kesiapan untuk berupaya lebih keras demi mencapai tujuan
organisasi;
Univeristas Kristen Petra
22
3. Keinginan yang kuat untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam
organisasi.
Komitmen organisasional menurut Mowday tersebut, tergolong
komitmen sikap atau afektif karena berkaitan dengan sejauh mana individu
merasa nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi.
Semakin besar kesamaan antara nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan
organisasi maka semakin tinggi pula komitmen karyawan pada organisasi.
Namun demikian, apapun sumber komitmen organisasional, secara
substansial wujud komitmen organisasional adalah sama yaitu penerimaan
individu terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan individu
berupaya untuk mencapai tujuan organisasi, keinginan tetap mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi.
Menurut Mowday, Steers, dan Porter (Luthans, 1996), komitmen
organisasional dapat diukur dengan 15 indikator, sebagai berikut :
1. Tingkat kesediaan karyawan untuk berusaha keras dan sebaik mungkin di
dalam menambah kesuksesan perusahaan.
2. Tingkat kesediaan karyawan untuk menyatakan ke pihak lain bahwa
organisasinya merupakan tempat yang baik untuk bekerja.
3. Tingkat kesediaan karyawan untuk tetap bertahan dalam organisasi meskipun
terdapat perubahan-perubahan yang cukup besar.
4. Tingkat kesediaan karyawan dalam menerima segala jenis tugas untuk
mempertahankan keanggotaan organisasi.
5. Tingkat kesediaan karyawan untuk menolak bekerja di tempat lain walaupun
pekerjaannya sama.
6. Tingkat kesadaran karyawan bahwa keputusan untuk bekerja dalam organisasi
ini adalah tepat.
7. Tingkat kesetiaan karyawan terhadap organisasi.
8. Tingkat kesamaan nilai dan pandangan karyawan dengan organisasi.
9. Tingkat kepedulian karyawan terhadap nasib organisasi.
10. Tingkat kebanggaan karyawan untuk menyatakan kepada pihak lain bahwa
dirinya merupakan bagian dari organisasi.
Univeristas Kristen Petra
23
11. Tingkat kesadaran karyawan bahwa organisasi ini memberikan inspirasi yang
baik dalam menghasilkan kinerja yang baik.
12. Tingkat kebahagiaan karyawan untuk bekerja di organisasi ini pada saat
memutuskan untuk bergabung.
13. Tingkat kesadaran karyawan bahwa terdapat banyak keuntungan yang
diperoleh, bila tetap mempertahankan keanggotaan organisasi ini dalam
jangka waktu panjang.
14. Tingkat kesadaran karyawan untuk memiliki perasaan sependapat dengan
kebijakan organisasi yang berhubungan dengan pekerja.
15. Tingkat kesadaran karyawan bahwa organisasi tempat dia bekerja merupakan
tempat terbaik yang memungkinkan untuk bekerja.
Menurut Sutanto (1999) bahwa, komitmen karyawan terhadap
pemimpinnya, jauh lebih memberikan dampak yang signifikan terhadap performa
kerja karyawan, daripada komitmen karyawan terhadap organisasinya (Subagio,
2012). Hal tersebut membuat para manager harus dapat membuat program
kepemimpinan yang dapat meningkatkan kemampuan supervisors, sehingga
komitmen organisasional dapat meningkat, yang berdasarkan pula pada pendapat
Becker et al. (1996) dan Dessler (1993) mengenai hal tersebut (Subagio, 2012).
Menurut Dessler, salah satu praktik terbaik dalam menciptakan
komitmen organisasional adalah yang lebih dikenal dengan “commitment wheel /
roda komitmen” (Sutanto, 1999), yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai
berikut :
Univeristas Kristen Petra
24
Gambar 2.1 Commitment Wheel (Roda Komitmen)
Sumber : Subagio (2012, p.28)
Commitment Wheel (Roda Komitmen) dapat dijabarkan dalam 8 bagian
(Subagio, 2012, p.28), yaitu:
1. People-first value.
Yaitu, mengusahakan terciptanya komitmen dari jajaran direksi tertinggi
terlebih dahulu, yang terpercaya dan menghormati orang lain.
2. Double-talk.
Yaitu, sebuah kerelaan untuk mau mendengarkan dan didengarkan atau
menggunakan sistem terbuka dan komunikasi dua arah. Hal ini dapat
membantu membangun rasa saling percaya.
3. Communion.
Yaitu, membantu mengembangkan hubungan, kebersamaan, dan ikut ambil
andil di antara karyawan secara keseluruhan. Hal tersebut akan membuat
karyawan melihat bahwa mereka adalah bagian dari perusahaan yang
menyatu, komunitas yang memuaskan, dan satu dalam masa depan.
Hard-Side
rewards
Double-talk
People-
first
value
Actualizing
Value-Based
Hiring
Com
mun
ion
Securitizing
Transcend
ental
mediation
Univeristas Kristen Petra
25
4. Transcendental mediation.
Yaitu, suatu formulasi dalam membagikan idiologi yang samar, misi, dan
nilai, serta mekanisme untuk mengkomunikasikan nilai pada karyawan. Hal
ini dapat membuat karyawan ikut dalam mengusahakan suatu perbaikan untuk
perusahaan.
5. Value-based hiring
Yaitu, menyeleksi karyawan yang memiliki nilai-nilai yang sesuai dengan
perusahaan yang bersangkutan. Hal tersebut dimulai dari mengklasifikasikan
idiologi apa yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga elemen-elemen tersebut
dapat diterjemahkan pada pertanyaan-pertanyaan konkret, ujian-ujian, serta
latihan-latihan yang digunakan perusahaan untuk melakukan proses
penyaringan karyawan.
6. Securitizing
Yaitu, membuat sesuatu secara jelas bahwa atasan berkomitmen untuk
menyediakan yang terbaik untuk para karyawan dengan keamanan kerja.
7. Hard-side reward
Yaitu, menawarkan paket upah di atas rata-rata yang dikombinasikan dengan
keuntungan intensif dan ekstensif.
8. Actualizing
Yaitu, janji yang menjamin bahwa semua karyawan memiliki peluang untuk
menggunakan semua kemampuan yang karyawan miliki, serta bakat dalam
bekerja, untuk menjadi apa saja yang dapat mereka capai.
2.3. Organizational Citizenship Behavior
2.3.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior
Pada umumnya, organisasi beranggapan bahwa kemampuan individual
karyawan adalah hal yang paling dibutuhkan untuk mencapai keunggulan
organisasi karena pada dasarnya kinerja individual akan mempengaruhi kinerja
tim yang di mana nantinya akan mempengaruhi kinerja organisasi secara
keseluruhan. Kinerja individual ini tidak hanya membutuhkan kemampuan tetapi
juga didukung dengan perilaku mereka sebagai karyawan di organisasi tersebut.
Perilaku karyawan di tempat kerjanya dapat dikelompokkan ke dalam 2 jenis,
Univeristas Kristen Petra
26
perilaku yang berkaitan dengan tugas-tugas resminya (in-role behavior), dan
perilaku di luar peran resmi (extra-role behavior). Perilaku extra-role sangat
penting artinya bagi keefektifan organisasi, yang dalam jangka panjang
berdampak terhadap kelangsungan hidup organisasi, terutama di tengah-tengah
lingkungan bisnis yang sedang bergejolak (turbulent) saat ini (Konovsky dan
Pugh, 1994). Konstruk perilaku extra-role telah dikonseptualisasikan ke dalam
berbagai operasionalisasi variabel penelitian, yang paling terkenal adalah
Organizational Citizenship Behavior (OCB) (Pareke, 2004).
Katz (1964) mengidentifikasi tiga kategori perilaku karyawan yang
penting untuk keefektifan organisasi. Menurut Katz, pertama yang harus
dilakukan adalah individu harus didorong untuk masuk dan tetap bertahan dalam
organisasi, sebagai karyawan, mereka harus melaksanakan peran yang sudah
ditentukan secara spesifik dengan handal, dan mereka harus terlibat dalam
aktivitas inovatif dan dengan spontan dapat melampaui peran mereka dalam
organisasi tersebut. Smith, Organ, dan Near (1983) menjuluki kategori terakhir ini
sebagai "Organizational Citizenship Behavior" (OCB). Citizenship Behavior
adalah perilaku karyawan yang melampaui panggilan tugas mereka dan oleh
karena itu OCB bersifat bebas (discretionary) yang tidak diberikan penghargaan
dalam konteks struktur penghargaan resmi organisasi (Konovsky & Pugh, 1994,
p.656). Sementara menurut Organ (1988) sendiri, OCB merupakan bentuk
perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan
sistem reward formal organisasi tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas
organisasi. Ini berarti, perilaku tersebut tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja
atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan
hukuman (Purba & Seniati, 2004, p.106).
Van Dyne et al (1995) mendefinisikan OCB sebagai perilaku yang
menguntungkan organisasi dan atau dimaksudkan untuk menguntungkan
organisasi, yang bersifat bebas dan melampui peran yang diharapkan. Melihat
definisi OCB yang seperti ini, Organ (1997) menyarankan bahwa definisi ini tidak
memberikan kejelasan, ditulis bahwa job role seseorang bergantung pada harapan
dan komunikasi dari pemberi job role. Dengan demikian peran yang diberikan
(sent role) bisa kurang atau lebih besar dari persyaratan pekerjaan yang
Univeristas Kristen Petra
27
sebenarnya (Jahangir et al, 2004, p.77). Sementara Walz dan Niehoff (1996)
mencatat bahwa OCB merupakan seperangkat perilaku organisasi yang
diinginkan, yang menunjukkan hubungan multi-dimensi dengan konsekuensi
organisasi yang positif (Jahangir et al, 2004, p.78).
Dengan demikian, tanpa mempersempit pengertian OCB, peneliti
merangkum bahwa OCB adalah perilaku individu yang secara sukarela (tanpa
unsur paksaan) yang melebihi definisi pekerjaan formal tanpa mengharapkan
imbalan atau tidak diakui sistem penghargaan formal yang dapat memberikan
keefektifan dan keefesienan organisasi.
2.3.2. Dimensi Organizational Citizenship Behavior
Dalam upaya untuk lebih mendefinisikan OCB, Organ (1988) menyoroti
lima kategori spesifik perilaku discretionary dan menjelaskan bagaimana masing-
masing membantu untuk meningkatkan efisiensi dalam organisasi (dalam Jahangir
et al, 2004, p.79 ; Organ, Podsakoff, MacKenzie, 2006, p. 251 ).
1. Altruism
Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan
dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi
maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi
pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya. Misalnya,
membantu rekan-rekan baru dan bebas memberi waktu kepada orang lain .
2. Conscientiousness
Perilaku yang ditunjukan dengan berusaha melebihi yang diharapkan
perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas
karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh di atas dan jauh ke depan dari
panggilan tugas. Misalnya, efisiensi penggunaan waktu dan melampaui
harapan minimum.
3. Sportsmanship
Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal
dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang
mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportmanship akan meningkatkan
iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja
Univeristas Kristen Petra
28
sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang
lebih menyenangkan. Misalnya, menghindari keluhan.
4. Courtesy
Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah-
masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah seseorang
yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Misalnya, pemberitahuan
terlebih dahulu, pengingat, dan informasi yang tepat.
5. Civic Virtue
Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi
(mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk
merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi
dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh
organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan
organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan
yang ditekuni. Misalnya, melayani di komite.
2.3.3. Manfaat Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) mengatakan bahwa OCB
mampu meningkatkan efektifitas sebuah organisasi dan membimbing organisasi
tersebut menuju kesuksesan. Dan dapat disimpulkan sebagai berikut (Organ,
Podsakoff, & MacKenzie, 2006, p.200) :
1. OCB dapat mendorong produktivitas karyawan (rekan kerja). Karyawan yang
menolong rekan kerja lain tentunya akan mempercepat penyelesaian tugas
rekan kerjanya.
2. OCB dapat mendorong produktivitas manajer. Karyawan yang menampilkan
perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan atau
umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan
efektifitas unit kerja.
3. OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya untuk tujuan
yang lebih spesifik. Karyawan yang menampilkan concientiousness yang
tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga
manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada
Univeristas Kristen Petra
29
mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk
melakukan tugas yang lebih penting.
4. OCB dapat lebih meningkatkan kemampuan organisasi untuk
mempertahankan karyawan yang berkualitas dengan membuat lingkungan
kerja menjadi tempat yang nyaman. Memberi contoh pada karyawan lain
dengan menampilkan perilaku sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena
permasalahan-permasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan
komitmen pada organisasi.
5. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk
memelihara fungsi kelompok. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy
terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga
dapat mengurangi waktu yang dihabiskan dalam kegiatan pengelolaan konflik.
6. OCB dapat berfungsi sebagai sarana yang efektif untuk mengkoordinasikan
kegiatan antara anggota tim dan seluruh kelompok kerja. Civic virtue
diperlihatkan dengan sukarela menghadiri dan aktif berpartisipasi dalam
pertemuan unit kerja dalam membantu upaya koordinasi antara anggota tim,
yang berpotensi meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok.
7. OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi. Karyawan yang teliti
lebih mungkin mempertahankan output tingkat tinggi secara konsisten,
sehingga mengurangi variabilitas kinerja sebuah unit kerja.
8. OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan
perubahan lingkungan. Karyawan menunjukkan sportmanship dengan
memperlihatkan kemauan untuk mengambil tanggung jawab baru atau
melibatkan diri dengan pengembangan melalui belajar keterampilan baru
dalam rangka meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan
perubahan dalam lingkungannya.
9. OCB dapat meningkatkan efektivitas organisasi dengan menciptakan modal
sosial. Dilihat dari bagaimana karyawan membantu karyawan yang lain
meningkatkan modal sosial struktural dengan memperkuat hubungan jaringan,
sehingga meningkatkan transfer informasi, pembelajaran organisasi, dan
pelaksanaan kegiatan organisasi.
Univeristas Kristen Petra
30
2.4. Hubungan Antar Variabel Penelitian
2.4.1. Hubungan Servant Leadership dengan OCB
Penelitian Podsakoff et al., (2000) telah menunjukkan bahwa perilaku
kepemimpinan memainkan peran penting dalam mempengaruhi organizational
citizenship behavior. Hasil dari penelitian dilakukan oleh Barbuto dan Wheeler
menunjukkan bahwa servant leadership adalah prediktor yang baik untuk kualitas
dari interaksi pemimpin dan pengikutnya, dan bahwa servant leadership memiliki
hubungan positif dengan organizational citizenship behavior.
Vondey (2010) dalam penelitiannya di Amerika yang berjudul The
Relationships among Servant Leadership, Organizational Citizenship Behavior,
Person-Organization Fit, and Organizational Identification mengatakan bahwa
seorang pemimpin menjadi sebuah model bagi para pengikutnya dan
organizational citizenship behavior merupakan konsekuensi dari model ini.
Dengan sampel sebanyak 114, menunjukan hasil bahwa servant leadership
memiliki hubungan dengan organizational citizenship behavior dan hubungan ini
didukung oleh person organization fit dan organizational identification.
Ehrhart (2004) juga menemukan bahwa adanya hubungan positif yang
signifikan antara servant leadership dan organizational citizenship behavior di
tingkat unit. Menurut beberapa pandangan, individu-individu yang memiliki
pemimpin yang melayani cenderung meniru perilaku mereka dalam interaksi yang
menghasilkan perilaku tingkat tinggi dari organizational citizenship behavior.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Teleghani & Mehr (2013) yang
mengambil judul The Relationship between Servant Leadership and
Organizational Citizenship Behavior in Executive Organizations of Guilan
Province menemukan bahwa adanya signifikan dan hubungan secara langsung
antara servant leadership (service, humility, trust, kindness) dan organizational
citizenship behavior (Teleghani & Mehr, 2013, p.913).
Sehingga dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
ini menunjukan bahwa servant leadership memiliki pengaruh yang positif
terhadap OCB.
Univeristas Kristen Petra
31
2.4.2. Hubungan Komitmen Organisasional dengan OCB
Pada penelitian yang dilakukan oleh O’Reiily & Chatman (1986),
komitmen organisasional dinyatakan merupakan anteseden dari pro-social extra-
role performance. Penelitian ini menyajikan secara detail perspektif komitmen
dari sudut pandang psikologis individual dari personal dalam organisasi.
Penelitian ini menyatakan bahwa pada penelitian pertama, tidak ditemukan
hubungan antara ketiga komponen komitmen dengan OCB. Sedangkan pada
penelitian kedua menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara komponen
komitmen organisasional dengan OCB (Amikom, 2009, Juni).
Purba dan Seniati (2004) yang memusatkan penelitiannya pada sebuah
industri proses di Indonesia membuktikan bahwa adanya pengaruh yang
signifikan dari komitmen organisasi terhadap OCB bahkan sejalan dengan hasil
penelitian Scholl (1981) dan Schappe (1998) yang menemukan bahwa komitmen
organisasi merupakan prediktor OCB yang lebih signifikan dibandingkan
kepuasan kerja. Dalam penelitian ini ditemukan adanya pengaruh positif dan
signifikan dari komponen komitmen afektif terhadap dimensi altruism, courtesy,
civic virtue dan conscientiousness serta OCB total. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Meyer dkk. (1993) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara komitmen afektif dan OCB. Selanjutnya, juga ditemukan pengaruh positif
dan signifikan dari komitmen normatif terhadap dimensi civic virtue dari OCB.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2009) dengan judul
Pengaruh Komitmen Organisasional Terhadap Kepuasan Kerja dengan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) sebagai Variabel Intervening
menemukan hasil bahwa komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap
organizational citizenship behavior (OCB). Semakin tinggi tingkat komitmen
organisasional, maka semakin tinggi tingkat kerelaan karyawan dalam melakukan
pekerjaan-pekerjaan diluar deskripsi pekerjaan atau disebut juga dengan OCB.
Univeristas Kristen Petra
32
2.4.3. Hubungan Antara Servant Leadership dan Komitmen Organisasional
Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Penelitian yang dilakukan oleh Mahembe (2010) dengan judul The
Relationship between Servant Leadership, Team Commitment, Team Citizenship
Behavior and Team Effectiveness: An Exploratory Study menemukan bahwa
adanya hubungan yang signifikan antara Servant Leadership, Team Commitment,
dan Team Citizenship Behavior. Dari sembilan hipotesis yang ada, dua
diantaranya membahas mengenai hubungan antar ketiga variabel ini. Adanya
hubungan yang signifikasn antara servant leadership dan team citizenship
behavior, dan adanya hubungan yang signifikan antara team commmitment dan
team citizenship behavior.
Dari hasil penelitian ini, bisa dilihat bahwa servant leadership memiliki
pengaruh positif terhadap team organizational behavior. Ehrhart dan Nauman
(2004) menekankan bahwa perilaku kepemimpinan sangat penting untuk
pengembangan OCB dan dalam hal ini adalah servant leadership yang dapat
memicu perilaku extra-role. Dari hasil penelitian dua variabel berikutnya, yaitu
antara team commitment dan team organizational behavior dapat disimpulkan
bahwa citizenship behavior dapat meningkat seiring peningkatan dari team
commitment.
Sehingga, dari penelitian Mahembe (2010) ini, bisa disimpulkan bahwa
servant leadership dan komitmen organisasional memiliki pengaruh yang positif
terhadap OCB.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Al-sharafi & Rajiani (2013)
dengan judul Promoting Organizational Citizenship Behavior among Employees-
The Role of Leadership Practice dengan hipotesis yang ada untuk melihat apakah
terdapat hubungan praktek gaya kepemimpinan dimana servant leadership
menjadi salah satu diantaranya dan komitmen organisasional terhadap OCB
menunjukkan nilai R sebesar 0,986 yang menjelaskan bahwa adanya hubungan
antara variabel independen (leadership practices, organizational commitment) dan
OCB.
Univeristas Kristen Petra
33
2.5. Kerangka Berpikir
H1
H3
H2
Gambar 2.2
Sumber : Barbuto and Wheeler (2006); Mowday, Steers, dan Porter (Luthans,
1996); Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006).
2.6. Hipotesa
Greenleaf berpendapat bahwa para pengikut terinspirasi dengan contoh
yang ditetapkan oleh para pemimpin untuk menjadi pemimpin yang melayani,
gaya kepemimpinan ini bisa mendorong OCB karena beberapa alasan. Pertama,
seperti yang dicatat oleh Ehrhart (2004) bahwa perilaku servant leader yang
termasuk "melayani" bawahan mereka dengan membentuk kualitas hubungan dan
membantu mereka untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, pemimpin
yang melayani harus memiliki anggota yang akan meniru perilaku ini dalam
interaksi mereka dengan satu sama lain dan itu berarti, menampilkan OCB.
Kedua, karena pengikut mengamati pemimpin membantu rekan kerja, mereka
Servant Leadership (X1)
1. Wisdom,
2. Humility,
3. Altruistic calling,
4. Emotional healing,
5. Persuasive mapping,
6. Organizational stewardship,
7. Vision,
8. Service.
Komitmen Organisasional (X2)
1. Keyakinan karyawan,
2. Kesediaan karyawan,
3. Keinginan karyawan.
Organizational Citizenship
Behavior (Y)
1. Conscientiousness,
2. Altruism,
3. Civic virtue,
4. Sportmanship,
5. Courtesy.
Univeristas Kristen Petra
34
cenderung akan terinspirasi untuk melakukan hal yang sama atau percaya bahwa
mereka diharapkan untuk melakukan hal yang sama. Ketiga, karena servant
leader memberikan dukungan pribadi kepada pengikut, sehingga sangat wajar
untuk mengharapkan bahwa para pengikut akan termotivasi untuk melakukan hal-
hal (seperti OCB) yang akan menguntungkan pemimpin dan membantu pemimpin
mencapai tujuan dan sasarannya (Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006, p.106).
Mengacu pada pandangan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H1 : Servant Leadership berpengaruh terhadap Organizational Citizenship
Behavior (OCB) pada Blue Bird Group Surabaya.
Menurut Robin dan Judge (2007), Organizational Citizenship Behavior
dapat timbul dari berbagai faktor dalam organisasi, salah satunya karena adanya
komitmen organisasi yang tinggi (Darmawati, Hidayati, & Herlina, n.d, p.3).
Ketika karyawan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap organisasinya, maka
orang tersebut akan melakukan apapun untuk memajukan perusahaannya karena
keyakinannya terhadap organisasinya (Luthans, 1996).
Karyawan yang ingin terus terikat dengan perusahaan cenderung senang
membantu rekan kerja dan atsannya, menghindari konflik interpersonal dengan
rekan kerja dan atsannya, peduli pada kelangsungan hidup perusahaan, tingkat
kehadiran di tempat kerja tinggi, patuh pada peraturan dan tata tertib organisasi,
suka membela kepentingan organisasi dan sering memberikan sumbang saran
untuk memperbaiki kinerja organisasi, dengan kata lain sikap-sikap ini
menunjukan OCB (Purba & Seniati, 2004, p.109).
Sehingga, mengacu pada pandangan tersebut, maka dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut :
H2 : Komitmen organisasional berpengaruh terhadap Organizational Citizenship
Behavior (OCB) pada Blue Bird Group Surabaya.
Seperti yang diungkapkan Greenleaf bahwa para pengikut akan
terinspirasi dengan para pemimpin yang melayani dan gaya kepemimpinan ini
akan mendorong terciptanya OCB (dalam Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006,
p.106). Ehrhart (2004) menunjukkan bahwa membantu pertumbuhan dan
keberhasilan dari para pengikut (karyawan) adalah cara di mana servant
Univeristas Kristen Petra
35
leadership dapat mempengaruhi mereka untuk menunjukkan organizational
citizenship behavior.
Di samping itu, Scholl (1981) dan Weiner (1982) menyajikan model
hubungan antara komitmen organisasional dan OCB. Model dari Scholl (1981)
mendefinisikan komitmen organisasional sebagai suatu kekuatan stabilisasi yang
bertindak untuk memelihara arah perilaku seseorang tetap pada jalur mendukung
organisasi, ketika harapan ataupun kondisi keadilan yang diharapkan tidak terjadi
dan tidak sesuai fungsi normalnya. Sedangkan OCB diidentifikasikan sebagai
perilaku positif dari seseorang yang tidak dipengaruhi oleh sedikit komponen
organisasional reward. Jadi kinerja yang dilakukan tidak dipengaruhi oleh sistem
reward formal organisasi. Berdasarkan pada kedua definisi istilah tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasional memiliki hubungan dengan
OCB (Amikom, 2009, Juni).
Mengacu pada pandangan-pandangan tesebut, tidak menutup
kemungkinan pula bahwa servant leadership dan komitmen organisasional sama-
sama memiliki pengaruh terhadap organizational citizenship behavior (OCB)
pada Blue Bird Group Surabaya. Oleh sebab itu, dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H3 : Servant Leadership dan komitmen organisasional berpengaruh terhadap
Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Blue Bird Group
Surabaya.