27
Univeristas Kristen Petra 9 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian Kepemimpinan Secara umum, definisi pemimpin adalah orang atau individu yang memiliki peran untuk memimpin organisasi dan mengartikulasikan nilai-nilai atau visi perusahaan kepada semua karyawan. Dari definisi ini, bisa dilihat bahwa kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting terhadap berlangsungnya suatu organisasi ke arah yang lebih baik. Berikut ini merupakan definisi dari beberapa ahli, yaitu : 1. Menurut Richard & Engle (1986) Kepemimpinan berbicara mengenai mengartikulasikan visi, mewujudkan nilai-nilai, dan menciptakan lingkungan di mana ada banyak hal yang dapat dicapai. (dalam Yukl, 2004, p. 5) 2. Menurut Drath & Palus (1994) Kepemimpinan adalah proses membuat orang mengerti apa yang mereka kerjakan bersama sehingga mereka bisa memahaminya dan berkomitmen (dalam Yukl, 2004, p. 5). 3. Menurut House et al. (1999) Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi, memotivasi, dan memungkinkan orang lain untuk berkontribusi terhadap efektivitas dan keberhasilan organisasi (dalam Yukl, 2004, p. 5). 4. Menurut Achua & Lussier, 2010, p. 6 Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dari pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi melalui perubahan. Dari definisi ini tampak jelas bahwa kepemimpinan melibatkan orang, bukan hanya seorang pemimpin namun juga pengikut. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan hubungan pengaruh antara pemimpin dan pengikut yang berniat melakukan perubahan yang nyata dan hasil yang mencerminkan tujuan bersama mereka.

2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

9

2. LANDASAN TEORI

2.1. Kepemimpinan

2.1.1. Pengertian Kepemimpinan

Secara umum, definisi pemimpin adalah orang atau individu yang

memiliki peran untuk memimpin organisasi dan mengartikulasikan nilai-nilai atau

visi perusahaan kepada semua karyawan. Dari definisi ini, bisa dilihat bahwa

kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting terhadap berlangsungnya

suatu organisasi ke arah yang lebih baik. Berikut ini merupakan definisi dari

beberapa ahli, yaitu :

1. Menurut Richard & Engle (1986)

Kepemimpinan berbicara mengenai mengartikulasikan visi, mewujudkan

nilai-nilai, dan menciptakan lingkungan di mana ada banyak hal yang dapat

dicapai. (dalam Yukl, 2004, p. 5)

2. Menurut Drath & Palus (1994)

Kepemimpinan adalah proses membuat orang mengerti apa yang mereka

kerjakan bersama sehingga mereka bisa memahaminya dan berkomitmen

(dalam Yukl, 2004, p. 5).

3. Menurut House et al. (1999)

Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi,

memotivasi, dan memungkinkan orang lain untuk berkontribusi terhadap

efektivitas dan keberhasilan organisasi (dalam Yukl, 2004, p. 5).

4. Menurut Achua & Lussier, 2010, p. 6

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dari pemimpin dan pengikut

untuk mencapai tujuan organisasi melalui perubahan.

Dari definisi ini tampak jelas bahwa kepemimpinan melibatkan orang,

bukan hanya seorang pemimpin namun juga pengikut. Dengan demikian bisa

disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan hubungan pengaruh antara

pemimpin dan pengikut yang berniat melakukan perubahan yang nyata dan hasil

yang mencerminkan tujuan bersama mereka.

Page 2: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

10

2.1.2. Servant Leadership

2.1.2.1. Pengertian Servant Leadership

Ide dari pemimpin yang melayani sebagian datang dari pengalaman

setengah abad Greenleaf dalam bekerja untuk membentuk lembaga-lembaga

besar. Ide ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1960, ketika Greenleaf

membaca sebuah novel pendek karangan Hermann Hesse yang berjudul Journey

to the East. Karakter fiksi Hesse adalah lambang dari pemimpin yang melayani

(Spears & Lawrence, 2004, p.11).

Setelah membaca cerita dalam novel ini, Greenleaf menyimpulkan bahwa

inti dari cerita tersebut bahwa pemimpin yang besar adalah mereka yang pertama-

tama memiliki pengalaman melayani yang lain, dan bahwa realita yang sederhana

ini adalah inti dari kebesaran seorang pemimpin. Kepemimpinan sejati muncul

dari mereka yang memiliki motivasi utama kerinduan untuk melayani (Spears &

Lawrence, 2004, p.11)

Pada tahun 1970, di usia 66 tahun, Greenleaf menerbitkan sebuah buku

berjudul “The Servant as Leader,” yang merupakan pertama dari lusinan karangan

dan buku servant leadership. Dalam buku ini, Greanleef menuliskan bahwa “Di

mulai dari perasaan yang normal bahwa seseorang ingin melayani, melayani

terlebih dahulu. Kemudian pilihan ini membawa seseorang berkeinginan untuk

menjadi pemimpin. Perbedaannya tampak dalam kepedulian yang ditunjukan oleh

seorang pelayan-kesadaran pertama untuk memastikan bahwa kebutuhan orang

lain menjadi prioritas untuk dilayani.” (Spears & Lawrence, 2004, p.12 ). Menurut

Greenleaf, servant leadership adalah suatu gaya kepemimpinan yang berasal dari

perasaan tulus yang timbul dari dalam hati yang berkehendak untuk melayani,

yaitu menjadi pihak pertama yang melayani (Lantu, 2007, p. 28)

Di sini kita melihat bahwa kepemimpinan yang melayani adalah

kepemimpinan terbalik. Pemimpin yang melayani melampaui kepentingannya

untuk melayani kebutuhan orang lain, membantu orang lain bertumbuh dan

berkembang, dan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk mendapatkan

material dan emosional. Dalam organisasi, prioritas utama para pemimpin adalah

pelayanan kepada karyawan, pelanggan, pemegang saham, dan masyarakat

umum. Dalam pikiran mereka, tujuan keberadaan mereka adalah untuk melayani,

Page 3: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

11

kepemimpinan mengalir keluar dari tindakan pelayanan karena yang

memungkinkan orang lain untuk tumbuh dan menjadi sesuai apa yang mereka

mampu (Daft, 2008, p.176).

Pemimpin pelayan mengenali kehormatan dan pentingnya nilai setiap

individu karena mereka adalah ciptaan Tuhan yang mulia. Sehingga pemimpin

pelayan merasa berkewajiban untuk terlibat dalam pembentukan para pengikutnya

menjadi manusia yang seutuhnya, yaitu dengan menciptakan lingkungan kerja

yang mampu memberi dukungan demi terpenuhinya proses pembentukan

karakter. Dengan menjadi manusia seutuhnya, para pengikut dapat tumbuh dan

berkembang sebagai individu yang mampu memberikan kontribusi yang berarti

pada pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Dan pada akhirnya proses kehidupan

akan mengarahkan mereka pada suatu kondisi di mana mereka siap untuk menjadi

para pemimpin pelayan baru bagi pihak lain (Lantu, 2007, p.28). Pada intinya,

servant leadership adalah sebuah kepemimpinan jangka panjang, tingkah laku

yang mengubahkan dalam segi kehidupan dan bekerja, sehingga memiliki potensi

untuk menciptakan peluang positif bagi lingkungan sosial.

2.1.2.2. Karakteristik Servant Leadership

Karakteristik yang paling sering dipakai sebagai acuan para pakar

kepemimpinan adalah karakteristik yang dikemukakan oleh Larry Spears (1995)

sebagai hasil studinya terhadap berbagai tulisan yang dihasilkan Robert Greenleaf

semasa hidupnya. Berdasarkan hasil studi tersebut, Spears mengajukan 10

karakteristik utama seorang pemimpin pelayan (Lantu, 2007; Spears, 2004), yaitu:

1. Listening (Mendengarkan)

Secara tradisional, pemimpin dinilai dari kemampuan pemimpin

tersebut dalam berkomunikasi dan mengambil keputusan. Namun, dalam

servant leadership, kemampuan penting yang harus dimiliki seorang pemimpin

adalah memperkuat komitmen untuk mendengarkan orang lain. Pemimpin

melayani mengidentifikasi apa yang diinginkan oleh tim dan membantu untuk

mengklarifikasi keinginan tersebut, sehingga dibutuhkan komitmen untuk mau

mendengarkan. Mendengarkan di sini, direfleksikan dengan tingkah laku yang

terus-menerus secara berkala.

Page 4: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

12

2. Empathy (Empati)

Servant-Leader berjuang keras untuk memahami dan mengenal

perasaan serta pikiran orang lain. Di perlukan penerimaan bahwa tiap anggota

adalah spesial dan memiliki jiwa yang unik. Satu asumsi yang baik bagi

pekerja adalah ketika mereka diterima dan tidak dilupakan bahwa mereka juga

adalah manusia, sehingga diperlukan untuk menerima tingkah laku atau

kemampuan bekerja yang mereka miliki. Pemimpin pelayan akan berhasil jika

mereka mampu menjadi pendengar yang ahli dan penuh empati.

3. Healing (Pemulihan)

Salah satu kekuatan dari kepemimpinan melayani adalah potensi yang

dapat memulihkan satu pribadi dan yang lainnya. Banyak orang memiliki patah

semangat dan memiliki perjuangan atas berbagai emosi tentang luka hati.

Meskipun bagian ini adalah sangat manusiawi, namun dalam kepemimpinan

melayani, di katakan bahwa orang–orang tersebut memiliki kesempatan untuk

kembali utuh, ketika pemimpin dan anggotanya terjalin dalam suatu kontak.

Dalam “The Servant as Leader”, Greenleaf menuliskan bahwa terdapat suatu

komunikasi yang sukar untuk dipahami antara yang dilayani dan yang dipimpin

jika keduanya saling memahami bahwa kesatuan adalah ketika mereka saling

berbagi.

4. Awareness (Kesadaran)

Kesadaran umum, dan terutama kesadaran diri, memperkuat servant

leadership. Kesadaran juga membantu dalam memahami persoalan yang

melibatkan etika dan nilai-nilai yang sifatnya universal. Kesadaran dapat

membantu seseorang pemimpin melihat situasi dari posisi yang paling lebih

terintegrasi secara keseluruhan. Menurut Greenleaf (2002), “Pemimpin pelayan

senantiasa memiliki ketenangan dalam batinnya sendiri” (dalam Lantu, 2007,

p. 41)

5. Persuasion (Kekuatan untuk meyakinkan atau membujuk)

Ciri khas dari kepemimpinan servant leadership adalah pada

kemampuan diri untuk mempengaruhi orang lain dengan tidak menggunakan

wewenang dan kekuasaan yang berasal dari kedudukan atau otoritas formal,

dalam membuat keputusan di organisasi. Kepemimpinan pelayan lebih efektif

Page 5: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

13

dalam membangun konsensus kelompok utuk memecahkan berbagai

permasalahan yang timbul. Ciri ini memberikan suatu perbedaan yang

mendasar dengan kepemimpinan otoriter tradisional.

6. Conceptualization (Konseptualisasi)

Pemimpin yang menerapkan servant leadership, berusaha untuk dapat

melihat permasalahan yang terjadi dalam organisasi dengan sudut pandang

konseptualisasi pemikiran yang besar. Hal ini tentunya menuntut seseorang

untuk dapat berpikir out of the box. Bagi banyak manager, hal ini memerlukan

disiplin dan latihan. Dalam servant leadership, pemimpin berperan untuk

mencari keseimbangan antara berpikir secara konseptual dengan praktek

sehari-hari yang terfokus.

7. Foresight (Kekuatan atau Kemampuan untuk Melihat Masa Depan)

Foresight adalah sebuah karakteristik yang memungkinkan servant

leader untuk memahami kejadian di masa lalu, realitas masa kini, dan

kemungkinan konsekuensi dari keputusan untuk masa depan. Hal ini juga

berakar dalam pikiran intuitif.

8. Stewardship (Pekerjaan Mengurus Sesuatu)

Dalam karakteristik ini, semua bagian dalam organisasi, memainkan

peran penting dalam memegang institusi mereka dalam kepercayaan untuk

kebaikan masyarakat. Servant leadership, seperti pelayanan, diasumsikan

pertama dan terutama komitmen untuk melayani kebutuhan orang lain. Hal ini

juga menekankan penggunaan keterbukaan dan persuasi daripada kontrol.

9. Commitment to the Growth of People (Komitmen untuk Pertumbuhan

Anggota)

Kepemimpinan melayani percaya bahwa semua orang memiliki nilai

intrinsik yang melampaui kontribusi nyata sebagai pekerja. Akibatnya, servant

leader sangat berkomitmen untuk pertumbuhan setiap individu dalam institusi

tersebut. Servant Leader mengakui tanggung jawab yang besar untuk

melakukan segala kemungkinan untuk memelihara pertumbuhan karyawan.

10. Building Community (Membangun Komunitas)

Servant-Leader berusaha untuk mengidentifikasi beberapa cara untuk

membangun komunitas di antara mereka yang bekerja dalam suatu institusi

Page 6: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

14

tertentu. Servant-Leadership menunjukkan bahwa komunitas yang sejati dapat

dibentuk di antara mereka yang bekerja dalam bisnis dan lembaga lainnya.

Dalam karya tulisnya, Greenleaf (1970) mengatakan bahwa, semua

yang dibutuhkan untuk membangun kembali masyarakat sebagai bentuk

kehidupan yang layak untuk sejumlah besar orang adalah dengan servant-

leader yang cukup untuk menunjukkan jalan, bukan dengan gerakan massa,

tetapi oleh setiap servant-leader yang menunjukkan kewajibannya sendiri

pada masyarakat terkait kelompok.

Barbuto dan Wheeler (2006) menambahkan karakteristik calling pada 10

karakteristik dari Spears tersebut sehingga menjadi 11 karakteristik. Barbuto dan

Wheeler (2006) juga telah melakukan studi untuk pengembangan skala

pengukuran servant leadership dengan menggunakan 11 karakteristik

kepemimpinan.

Banyak ahli yang mencoba membandingkan servant leadership dengan

bentuk kepemimpinan yang lain. Bass (2000) dalam diskusinya tentang

transformational leadership dengan bentuk kepemimpinan yang lain menyatakan

bahwa terdapat banyak kesamaan servant leadership dengan transformational

leadership. Kesamaan tersebut terkait dengan karakteristik vision, influence,

credibility, trust, dan service. Namun, servant leadership mempunyai tingkat

lebih tinggi dari transformational leadership karena terdapat penyamaan

(alignment) motif pemimpin dan bawahan (Handoyo, 2010, p.131).

Polley (2002) juga membuat perbandingan servant leadership dengan

tiga paradigma kepemimpinan yang sebelumnya, yaitu pendekatan trait,

behavioral, dan contingency. Polley juga menyatakan bahwa servant leadership

sangat dekat kesamaannya dengan transformational leadership (Handoyo, 2010,

p.131).

Menurut Barbuto dan Wheeler (2006), Servant leadership memiliki

kesamaan prinsip dengan teori LMX (Leader-Member Xchange). Pada teori

LMX, pemimpin dengan LMX yang tinggi mengembangkan trusting dan

mutually beneficial relationship with employees sama seperti servant leader yang

mengembangkan strong supportive relationship with all employees and

colleagues (dalam Handoyo, 2010, p.131).

Page 7: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

15

Skala pengukuran servant leadership yang juga telah banyak digunakan

dalam penelitian adalah Servant Leadership Assesment Instrument (SLAI) yang

dikembangkan oleh Dennis (2004). Skala ini mengukur dimensi love,

empowerment, vision, humility, dan trust. Page dan Wong (2000, dalam Winston

& Hartsfield, 2004) mengembangkan model konseptual servant leadership serta

skala pengukurannya. Hasil penelitiannya memperoleh 3 faktor, yaitu service,

empowerment, dan visioning. Hasil ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan

oleh Dennis dan Winston (2003) dengan menggunakan instrumen dari Page dan

Wong. Sedangkan, Farling dkk. (1999) mengajukan lima faktor dalam servant

leadership, yaitu vision, influence, credibility, trust, dan service. Sementara itu,

Russell (2001) mengajukan 8 faktor, yaitu vision, credibility, trust, service,

modelling, pioneering, appreciating others, dan empowerment trust (Handoyo,

2010, p.131).

Wong dan Page (2003) mengajukan kerangka kerja konseptual untuk

mengukur servant leadership. Kerangka kerja konseptual tersebut terdiri dari

empat kategori (dalam Handoyo, 2010, p.132), yaitu :

1. Character-orientation, berkenaan dengan sikap pemimpin; fokus pada nilai,

kredibilitas dan motif pemimpin (contoh integritas, humility, dan

servanthood);

2. People-orientation, berkenaan dengan mengembangkan sumber daya manusia;

fokus pada hubungan pemimpin dengan bawahan dan komitmen pemimpin

untuk mengembangkan mereka (contoh caring for others, empowering

others, developing others);

3. Task-orientation, berkenaan dengan pencapaian produktivitas dan

keberhasilan; fokus pada tugas pemimpin dan keterampilan yang diperlukan

untuk berhasil (contoh visioning, goal setting, dan leading); dan

4. Process-orientation, berkenaan dengan peningkatan efisiensi organisasi; fokus

pada kemampuan pemimpin untuk mengembangkan sistem terbuka, efisien

dan fleksibel.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa servant leadership tidaklah

dipahami secara sama oleh para ahli. Bagaimanapun ada prinsip-prinsip yang

Page 8: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

16

memberikan kesamaan pada konstruk-konstruk yang dipergunakan oleh pada ahli

tersebut (Handoyo, 2010, p.132).

Analisis faktor dalam penelitian Barbuto dan Wheeler (2006)

menghasilkan 5 faktor, yaitu :

1. Altruistic calling menggambarkan hasrat yang kuat dari pemimpin untuk

membuat perbedaan positif pada kehidupan orang lain dan meletakkan

kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri dan akan bekerja keras

untuk memenuhi kebutuhan bawahannya.

2. Emotional healing menggambarkan komitmen seorang pemimpin dan

keterampilannya untuk meningkatkan dan mengembalikan semangat bawahan

dari trauma atau penderitaan.

3. Wisdom menggambarkan pemimpin yang mudah untuk menangkap tanda-

tanda di lingkungannya, sehingga memahami situasi dan memahami implikasi

dari situasi tersebut.

4. Persuasive mapping menggambarkan sejauh mana pemimpin memiliki

keterampilan untuk memetakan persoalan dan mengkonseptualisasikan

kemungkinan tertinggi untuk terjadinya dan mendesak seseorang untuk

melakukan sesuatu ketika mengartikulasikan peluang.

5. Organizational stewardship menggambarkan sejauh mana pemimpin

menyiapkan organisasi untuk membuat kontribusi positif terhadap

lingkungannya melalui progam pengabdian masyarakat dan pengembangan

komunitas dan mendorong pendidikan tinggi sebagai satu komunitas.

Lima dimensi Barbuto dan Wheeler inilah yang digunakan penulis untuk

mengukur servant leadership ditambah dengan tiga dimensi, yaitu service,

humility, dan vision. Dimana service menggambarkan sejauh mana pelayanan

dipandang sebagai inti dari kepemimpinan dan pemimpin menunjukkan perilaku

pelayanannya kepada karyawan, humility menggambarkan kerendahan hati

pemimpin, serta menempatkan dan menghargai prestasi orang lain daripada

prestasi sendiri, dan vision menggambarkan sejauhmana pemimpin mencari

komitmen semua anggota organisasi terhadap visi bersama dengan mengajak

anggota untuk menentukan arah masa depan organisasi dan menuliskan visi

bersama. Alasan tiga dimensi tersebut dipilih karena dimensi itu lebih banyak

Page 9: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

17

disebut oleh para penulis dan peneliti sebagai dimensi dalam servant leadership,

serta untuk mengisi kategori Wong dan Page. Dengan demikian, kategori

characteristic-orientation diwakili oleh wisdom, humility; people-orientation

diwakili oleh altruistic calling dan emotional healing; task-orientation diwakili

oleh organizational stewardship, persuasive mapping, dan vision; process-

orientation diwakili oleh service (Handoyo, 2010, p.133).

2.2. Komitmen Organisasional

2.2.1. Pengertian Komitmen Organisasional

Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan salah satu

tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai

variabel terikat, variabel bebas, maupun variabel mediator (Chairy, n.d.). Hal ini

antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki

komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta

meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya (Chairy, n.d.).

Menurut Jewell dan Siegall (2001) komitmen organisasi adalah suatu

keadaan atau derajat sejauh mana seseorang pegawai memihak pada suatu

organisasi tertentu dengan tujuan-tujuannya serta memelihara keanggotaan dalam

organisasi itu, sedangkan Mutiara (2002) komitmen organisasi adalah

menggambarkan sebagai kecenderungan untuk terikat dalam garis kegiatan yang

konsisten karena menganggap adanya biaya pelaksanaan kegiatan yang lain

(dalam Mulyanto & Suryani, p.4).

Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah

organisasi, karena terciptanya komitmen yang tinggi akan mempengaruhi situasi

kerja yang profesional. Berbicara mengenai komitmen organisasi tidak bisa

dilepaskan dari sebuah istilah loyalitas yang sering mengikuti kata komitmen.

Pemahaman demikian membuat istilah loyalitas dan komitmen mengandung

makna yang membingungkan (Baihaqi, 2010, p.38).

Greenberg & Baron (1997) menyatakan bahwa ada dua motif yang

mendasari seseorang untuk berkomitmen pada organisasi atau unit kerjanya

(dalam Baihaqi, 2010, p.39), antara lain:

Page 10: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

18

1. Side-Best Orientation

Side-Best Orientation ini memfokuskan pada akumulasi dari kerugian yang

dialami atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh individu pada organisasi

apabila meninggalkan organisasi tersebut.

2. Goal-Congruence Orientation

Memfokuskan pada tingkat kesesuaian antara tujuan personal individu dan

organisasi sebagai hal yang menentukan komitmen pada organisasi.

Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen

organisasional merupakan suatu keadaan di mana karyawan berpihak dan peduli

pada organisasi tertentu serta tujuan-tujuannya dan adanya niat dari karyawan

tersebut untuk memelihara keanggotaanya dalam organisasi di mana mereka

bekerja. Bentuk keterpihakan dan kepedulian karyawan dapat dilakukan dengan

berbagai cara, seperti terlibat dalam kegiatan organisasi, berkurangnya

membuang-buang waktu dalam bekerja dan berkurangnya kemungkinan

meninggalkan lingkungan kerja. Dengan kata lain, hal ini merupakan sikap yang

merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di

mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan

keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasional

Steers dan Porter (1983) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi

komitmen terhadap perusahaan menjadi empat kategori, yaitu:

1. Karakteristik Personal

Pengertian karakteristik personal mencakup: usia, masa jabatan, motif

berprestasi, jenis kelamin, ras, dan faktor kepribadian. Sedang tingkat

pendidikan berkorelasi negatif dengan komitmen terhadap perusahaan (Welsch

dan La Van, 1981). Karyawan yang lebih tua dan lebih lama bekerja secara

konsisten menunjukkan nilai komitmen yang tinggi (Steers, 1988).

2. Karakteristik Pekerjaan

Karakteristik pekerjaan meliputi kejelasan serta keselarasan peran, umpan

balik, tantangan pekerjaan, otonomi, kesempatan berinteraksi, dan dimensi inti

pekerjaan. Biasanya, karyawan yang bekerja pada level pekerjaan yang lebih

Page 11: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

19

tinggi nilainya dan karyawan menunjukkan level yang rendah pada konflik

peran dan ambigu cenderung lebih berkomitmen (Steers, 1988).

3. Karakteristik Struktural

Faktor-faktor yang tercakup dalam karakteristik struktural antara lain ialah

derajat formalisasi, ketergantungan fungsional, desentralisasi, tingkat

partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan fungsi kontrol dalam

perusahaan. Atasan yang berada pada organisasi yang mengalami desentralisasi

dan pada pemilik pekerja kooperatif menunjukkan tingkat komitmen yang

tinggi (Steers, 1988).

4. Pengalaman Bekerja

Pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi yang penting, yang

mempengaruhi kelekatan psikologis karyawan terhadap perusahaan.

Pengalaman kerja terbukti berkorelasi positif dengan komitmen terhadap

perusahaan sejauh menyangkut taraf seberapa besar karyawan percaya bahwa

perusahaan memperhatikan minatnya, merasakan adanya kepentingan pribadi

dengan perusahaan, dan seberapa besar harapan-harapan karyawan dapat

terpenuhi dalam pelaksanaan pekerjaanya (Steers, 1988).

Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan

komitmen, penelitian yang dilakukan Mowday, Porter, dan Steers (dalam Baihaqi,

2010, p.41) menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi komitmen seseorang terhadap organisasi, diantaranya adalah:

1. Usia dan Masa Kerja. Usia dan masa kerja berkolerasi positif dengan

komitmen.

2. Tingkat Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan individu, makin banyak

pula harapannya yang mungkin tidak dapat dipenuhi atau tidak sesuai dengan

organisasi, tempat karyawan tersebut bekerja.

3. Jenis Kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar

dalam pencapaian kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.

4. Peran individu tersebut di organisasi. Hasil studi Morris dan Sherman

menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak

jelas dan komitmen terhadap organisasi.

Page 12: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

20

5. Faktor lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada

organisasi. Menurut Porter dan Mowday (Armstrong, 2004), lingkungan dan

pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang

mempengaruhi komitmen terhadap organisasi.

a) Keterandalan organisasi, sejauh mana individu merasa bahwa organisasi

tempat ia bekerja memperhatikan anggotanya, baik dalam hal minat

maupun kesejahteraan.

b) Perasaan dipentingkan oleh organisasi, sejauh mana individu merasa

diperlukan dalam mencapai misi organisasi. Menurut Lavering (2001),

tempat kerja yang baik adalah tempat yang karyawan dihargai

keberadaanya dan merasa bangga menjadi anggota organisasi tersebut.

c) Ketidakberartian akan membuat komitmen organisasi menjadi rendah.

d) Realisasi harapan individu, sejauh mana harapan individu dapat

direalisasikan melalui organisasi, tempat karyawan tersebut bekerja.

e) Persepsi tentang sikap terhadap rekan kerja, sejauh mana individu tersebut

merasa bahwa rekan kerjanya dapat mempertahankan sikap kerja yang

positif terhadap organisasi.

f) Persepsi tentang gaji, sejauh mana individu tersebut merasa gaji yang

diterimanya seimbang dengan individu lain. Perasaan diperlakukan adil,

sehingga tidak akan mempengaruhi komitmennya terhadap organisasi.

Allen dan Meyer mengklasifikasikan komitmen organisasional ke dalam

tiga dimensi, yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen

continuance (continuance commitment), dan komitmen normatif (normative

commitment). Penjelasan dari ketiga dimensi komitmen tersebut adalah sebagai

berikut (Luthans, 1995, p.131) :

1. Affective commitment, keterlibatan emosi pekerja terhadap organisasi.

Komitmen ini dipengaruhi dan atau dikembangkan apabila keterlibatan dalam

organisasi terbukti menjadi pengalaman yang memuaskan.

2. Continuance commitment, keterlibatan komitmen berdasarkan biaya yang

dikeluarkan akibat keluarnya pekerja dari organisasi. Komitmen ini

dipengaruhi dan atau dikembangkan pada saat individu melakukan investasi.

Page 13: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

21

Investasi tersebut akan hilang atau berkurang nilainya apabila individu beralih

dari organisasinya.

3. Normative commitment, keterlibatan perasaan pekerja untuk bertahan dalam

organisasi karena mereka merasa bahwa itu merupakan hal yang benar untuk

dilakukan.

Berdasarkan pendapat Allen dan Meyer tersebut, dapat diinterpretasi

bahwa keputusan seseorang tetap bertahan di organisasi memiliki motivasi yang

berbeda-beda. Seseorang dengan komitmen efektif yang kuat, bertahan di

organisasi, karena dia memang ingin (want to) melakukan hal tersebut, sedangkan

seseorang dengan komitmen continuance yang kuat bertahan di organisasi, karena

dia memang butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan

lain, sedangkan seseorang dengan komitmen normatif yang kuat, tetap bertahan di

organisasi, karena alasan moralitas. Karyawan yang memiliki komitmen normatif

yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi

didukung dengan tingkah laku mereka dalam memenuhi tujuan dan minat

organisasi (Chairy, n.d.).

Mowday, Porter, dan Steers (1982) mengatakan bahwa karyawan yang

memiliki komitmen organisasional yang tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir

dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi (Chairy, n.d.).

Mowday, Porter, dan Steers (1982) juga mendefinisikan komitmen organisasional

sebagai: the relative strength of an individual's identification with and

involvement in a particular organization (Chairy, n.d.). Definisi tersebut

menunjukkan bahwa komitmen organisasional memiliki arti yang lebih dari

sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif antara karyawan

dengan organisasi, serta adanya keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi

yang berarti pada organisasinya.

Berdasarkan pendapat Mowday terdapat tiga faktor utama untuk melihat

komitmen organisasional suatu individu, yaitu (Luthans, 2002, p.235):

1. Keyakinan dan penerimaan yang kuat oleh individu terhadap tujuan-tujuan

dan nilai-nilai organisasi;

2. Kesediaan dan kesiapan untuk berupaya lebih keras demi mencapai tujuan

organisasi;

Page 14: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

22

3. Keinginan yang kuat untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam

organisasi.

Komitmen organisasional menurut Mowday tersebut, tergolong

komitmen sikap atau afektif karena berkaitan dengan sejauh mana individu

merasa nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi.

Semakin besar kesamaan antara nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan

organisasi maka semakin tinggi pula komitmen karyawan pada organisasi.

Namun demikian, apapun sumber komitmen organisasional, secara

substansial wujud komitmen organisasional adalah sama yaitu penerimaan

individu terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan individu

berupaya untuk mencapai tujuan organisasi, keinginan tetap mempertahankan

keanggotaannya dalam organisasi.

Menurut Mowday, Steers, dan Porter (Luthans, 1996), komitmen

organisasional dapat diukur dengan 15 indikator, sebagai berikut :

1. Tingkat kesediaan karyawan untuk berusaha keras dan sebaik mungkin di

dalam menambah kesuksesan perusahaan.

2. Tingkat kesediaan karyawan untuk menyatakan ke pihak lain bahwa

organisasinya merupakan tempat yang baik untuk bekerja.

3. Tingkat kesediaan karyawan untuk tetap bertahan dalam organisasi meskipun

terdapat perubahan-perubahan yang cukup besar.

4. Tingkat kesediaan karyawan dalam menerima segala jenis tugas untuk

mempertahankan keanggotaan organisasi.

5. Tingkat kesediaan karyawan untuk menolak bekerja di tempat lain walaupun

pekerjaannya sama.

6. Tingkat kesadaran karyawan bahwa keputusan untuk bekerja dalam organisasi

ini adalah tepat.

7. Tingkat kesetiaan karyawan terhadap organisasi.

8. Tingkat kesamaan nilai dan pandangan karyawan dengan organisasi.

9. Tingkat kepedulian karyawan terhadap nasib organisasi.

10. Tingkat kebanggaan karyawan untuk menyatakan kepada pihak lain bahwa

dirinya merupakan bagian dari organisasi.

Page 15: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

23

11. Tingkat kesadaran karyawan bahwa organisasi ini memberikan inspirasi yang

baik dalam menghasilkan kinerja yang baik.

12. Tingkat kebahagiaan karyawan untuk bekerja di organisasi ini pada saat

memutuskan untuk bergabung.

13. Tingkat kesadaran karyawan bahwa terdapat banyak keuntungan yang

diperoleh, bila tetap mempertahankan keanggotaan organisasi ini dalam

jangka waktu panjang.

14. Tingkat kesadaran karyawan untuk memiliki perasaan sependapat dengan

kebijakan organisasi yang berhubungan dengan pekerja.

15. Tingkat kesadaran karyawan bahwa organisasi tempat dia bekerja merupakan

tempat terbaik yang memungkinkan untuk bekerja.

Menurut Sutanto (1999) bahwa, komitmen karyawan terhadap

pemimpinnya, jauh lebih memberikan dampak yang signifikan terhadap performa

kerja karyawan, daripada komitmen karyawan terhadap organisasinya (Subagio,

2012). Hal tersebut membuat para manager harus dapat membuat program

kepemimpinan yang dapat meningkatkan kemampuan supervisors, sehingga

komitmen organisasional dapat meningkat, yang berdasarkan pula pada pendapat

Becker et al. (1996) dan Dessler (1993) mengenai hal tersebut (Subagio, 2012).

Menurut Dessler, salah satu praktik terbaik dalam menciptakan

komitmen organisasional adalah yang lebih dikenal dengan “commitment wheel /

roda komitmen” (Sutanto, 1999), yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai

berikut :

Page 16: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

24

Gambar 2.1 Commitment Wheel (Roda Komitmen)

Sumber : Subagio (2012, p.28)

Commitment Wheel (Roda Komitmen) dapat dijabarkan dalam 8 bagian

(Subagio, 2012, p.28), yaitu:

1. People-first value.

Yaitu, mengusahakan terciptanya komitmen dari jajaran direksi tertinggi

terlebih dahulu, yang terpercaya dan menghormati orang lain.

2. Double-talk.

Yaitu, sebuah kerelaan untuk mau mendengarkan dan didengarkan atau

menggunakan sistem terbuka dan komunikasi dua arah. Hal ini dapat

membantu membangun rasa saling percaya.

3. Communion.

Yaitu, membantu mengembangkan hubungan, kebersamaan, dan ikut ambil

andil di antara karyawan secara keseluruhan. Hal tersebut akan membuat

karyawan melihat bahwa mereka adalah bagian dari perusahaan yang

menyatu, komunitas yang memuaskan, dan satu dalam masa depan.

Hard-Side

rewards

Double-talk

People-

first

value

Actualizing

Value-Based

Hiring

Com

mun

ion

Securitizing

Transcend

ental

mediation

Page 17: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

25

4. Transcendental mediation.

Yaitu, suatu formulasi dalam membagikan idiologi yang samar, misi, dan

nilai, serta mekanisme untuk mengkomunikasikan nilai pada karyawan. Hal

ini dapat membuat karyawan ikut dalam mengusahakan suatu perbaikan untuk

perusahaan.

5. Value-based hiring

Yaitu, menyeleksi karyawan yang memiliki nilai-nilai yang sesuai dengan

perusahaan yang bersangkutan. Hal tersebut dimulai dari mengklasifikasikan

idiologi apa yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga elemen-elemen tersebut

dapat diterjemahkan pada pertanyaan-pertanyaan konkret, ujian-ujian, serta

latihan-latihan yang digunakan perusahaan untuk melakukan proses

penyaringan karyawan.

6. Securitizing

Yaitu, membuat sesuatu secara jelas bahwa atasan berkomitmen untuk

menyediakan yang terbaik untuk para karyawan dengan keamanan kerja.

7. Hard-side reward

Yaitu, menawarkan paket upah di atas rata-rata yang dikombinasikan dengan

keuntungan intensif dan ekstensif.

8. Actualizing

Yaitu, janji yang menjamin bahwa semua karyawan memiliki peluang untuk

menggunakan semua kemampuan yang karyawan miliki, serta bakat dalam

bekerja, untuk menjadi apa saja yang dapat mereka capai.

2.3. Organizational Citizenship Behavior

2.3.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior

Pada umumnya, organisasi beranggapan bahwa kemampuan individual

karyawan adalah hal yang paling dibutuhkan untuk mencapai keunggulan

organisasi karena pada dasarnya kinerja individual akan mempengaruhi kinerja

tim yang di mana nantinya akan mempengaruhi kinerja organisasi secara

keseluruhan. Kinerja individual ini tidak hanya membutuhkan kemampuan tetapi

juga didukung dengan perilaku mereka sebagai karyawan di organisasi tersebut.

Perilaku karyawan di tempat kerjanya dapat dikelompokkan ke dalam 2 jenis,

Page 18: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

26

perilaku yang berkaitan dengan tugas-tugas resminya (in-role behavior), dan

perilaku di luar peran resmi (extra-role behavior). Perilaku extra-role sangat

penting artinya bagi keefektifan organisasi, yang dalam jangka panjang

berdampak terhadap kelangsungan hidup organisasi, terutama di tengah-tengah

lingkungan bisnis yang sedang bergejolak (turbulent) saat ini (Konovsky dan

Pugh, 1994). Konstruk perilaku extra-role telah dikonseptualisasikan ke dalam

berbagai operasionalisasi variabel penelitian, yang paling terkenal adalah

Organizational Citizenship Behavior (OCB) (Pareke, 2004).

Katz (1964) mengidentifikasi tiga kategori perilaku karyawan yang

penting untuk keefektifan organisasi. Menurut Katz, pertama yang harus

dilakukan adalah individu harus didorong untuk masuk dan tetap bertahan dalam

organisasi, sebagai karyawan, mereka harus melaksanakan peran yang sudah

ditentukan secara spesifik dengan handal, dan mereka harus terlibat dalam

aktivitas inovatif dan dengan spontan dapat melampaui peran mereka dalam

organisasi tersebut. Smith, Organ, dan Near (1983) menjuluki kategori terakhir ini

sebagai "Organizational Citizenship Behavior" (OCB). Citizenship Behavior

adalah perilaku karyawan yang melampaui panggilan tugas mereka dan oleh

karena itu OCB bersifat bebas (discretionary) yang tidak diberikan penghargaan

dalam konteks struktur penghargaan resmi organisasi (Konovsky & Pugh, 1994,

p.656). Sementara menurut Organ (1988) sendiri, OCB merupakan bentuk

perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan

sistem reward formal organisasi tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas

organisasi. Ini berarti, perilaku tersebut tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja

atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan

hukuman (Purba & Seniati, 2004, p.106).

Van Dyne et al (1995) mendefinisikan OCB sebagai perilaku yang

menguntungkan organisasi dan atau dimaksudkan untuk menguntungkan

organisasi, yang bersifat bebas dan melampui peran yang diharapkan. Melihat

definisi OCB yang seperti ini, Organ (1997) menyarankan bahwa definisi ini tidak

memberikan kejelasan, ditulis bahwa job role seseorang bergantung pada harapan

dan komunikasi dari pemberi job role. Dengan demikian peran yang diberikan

(sent role) bisa kurang atau lebih besar dari persyaratan pekerjaan yang

Page 19: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

27

sebenarnya (Jahangir et al, 2004, p.77). Sementara Walz dan Niehoff (1996)

mencatat bahwa OCB merupakan seperangkat perilaku organisasi yang

diinginkan, yang menunjukkan hubungan multi-dimensi dengan konsekuensi

organisasi yang positif (Jahangir et al, 2004, p.78).

Dengan demikian, tanpa mempersempit pengertian OCB, peneliti

merangkum bahwa OCB adalah perilaku individu yang secara sukarela (tanpa

unsur paksaan) yang melebihi definisi pekerjaan formal tanpa mengharapkan

imbalan atau tidak diakui sistem penghargaan formal yang dapat memberikan

keefektifan dan keefesienan organisasi.

2.3.2. Dimensi Organizational Citizenship Behavior

Dalam upaya untuk lebih mendefinisikan OCB, Organ (1988) menyoroti

lima kategori spesifik perilaku discretionary dan menjelaskan bagaimana masing-

masing membantu untuk meningkatkan efisiensi dalam organisasi (dalam Jahangir

et al, 2004, p.79 ; Organ, Podsakoff, MacKenzie, 2006, p. 251 ).

1. Altruism

Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan

dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi

maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi

pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya. Misalnya,

membantu rekan-rekan baru dan bebas memberi waktu kepada orang lain .

2. Conscientiousness

Perilaku yang ditunjukan dengan berusaha melebihi yang diharapkan

perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas

karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh di atas dan jauh ke depan dari

panggilan tugas. Misalnya, efisiensi penggunaan waktu dan melampaui

harapan minimum.

3. Sportsmanship

Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal

dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang

mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportmanship akan meningkatkan

iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja

Page 20: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

28

sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang

lebih menyenangkan. Misalnya, menghindari keluhan.

4. Courtesy

Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah-

masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah seseorang

yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Misalnya, pemberitahuan

terlebih dahulu, pengingat, dan informasi yang tepat.

5. Civic Virtue

Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi

(mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk

merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi

dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh

organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan

organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan

yang ditekuni. Misalnya, melayani di komite.

2.3.3. Manfaat Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) mengatakan bahwa OCB

mampu meningkatkan efektifitas sebuah organisasi dan membimbing organisasi

tersebut menuju kesuksesan. Dan dapat disimpulkan sebagai berikut (Organ,

Podsakoff, & MacKenzie, 2006, p.200) :

1. OCB dapat mendorong produktivitas karyawan (rekan kerja). Karyawan yang

menolong rekan kerja lain tentunya akan mempercepat penyelesaian tugas

rekan kerjanya.

2. OCB dapat mendorong produktivitas manajer. Karyawan yang menampilkan

perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan atau

umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan

efektifitas unit kerja.

3. OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya untuk tujuan

yang lebih spesifik. Karyawan yang menampilkan concientiousness yang

tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga

manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada

Page 21: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

29

mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk

melakukan tugas yang lebih penting.

4. OCB dapat lebih meningkatkan kemampuan organisasi untuk

mempertahankan karyawan yang berkualitas dengan membuat lingkungan

kerja menjadi tempat yang nyaman. Memberi contoh pada karyawan lain

dengan menampilkan perilaku sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena

permasalahan-permasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan

komitmen pada organisasi.

5. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk

memelihara fungsi kelompok. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy

terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga

dapat mengurangi waktu yang dihabiskan dalam kegiatan pengelolaan konflik.

6. OCB dapat berfungsi sebagai sarana yang efektif untuk mengkoordinasikan

kegiatan antara anggota tim dan seluruh kelompok kerja. Civic virtue

diperlihatkan dengan sukarela menghadiri dan aktif berpartisipasi dalam

pertemuan unit kerja dalam membantu upaya koordinasi antara anggota tim,

yang berpotensi meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok.

7. OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi. Karyawan yang teliti

lebih mungkin mempertahankan output tingkat tinggi secara konsisten,

sehingga mengurangi variabilitas kinerja sebuah unit kerja.

8. OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan

perubahan lingkungan. Karyawan menunjukkan sportmanship dengan

memperlihatkan kemauan untuk mengambil tanggung jawab baru atau

melibatkan diri dengan pengembangan melalui belajar keterampilan baru

dalam rangka meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan

perubahan dalam lingkungannya.

9. OCB dapat meningkatkan efektivitas organisasi dengan menciptakan modal

sosial. Dilihat dari bagaimana karyawan membantu karyawan yang lain

meningkatkan modal sosial struktural dengan memperkuat hubungan jaringan,

sehingga meningkatkan transfer informasi, pembelajaran organisasi, dan

pelaksanaan kegiatan organisasi.

Page 22: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

30

2.4. Hubungan Antar Variabel Penelitian

2.4.1. Hubungan Servant Leadership dengan OCB

Penelitian Podsakoff et al., (2000) telah menunjukkan bahwa perilaku

kepemimpinan memainkan peran penting dalam mempengaruhi organizational

citizenship behavior. Hasil dari penelitian dilakukan oleh Barbuto dan Wheeler

menunjukkan bahwa servant leadership adalah prediktor yang baik untuk kualitas

dari interaksi pemimpin dan pengikutnya, dan bahwa servant leadership memiliki

hubungan positif dengan organizational citizenship behavior.

Vondey (2010) dalam penelitiannya di Amerika yang berjudul The

Relationships among Servant Leadership, Organizational Citizenship Behavior,

Person-Organization Fit, and Organizational Identification mengatakan bahwa

seorang pemimpin menjadi sebuah model bagi para pengikutnya dan

organizational citizenship behavior merupakan konsekuensi dari model ini.

Dengan sampel sebanyak 114, menunjukan hasil bahwa servant leadership

memiliki hubungan dengan organizational citizenship behavior dan hubungan ini

didukung oleh person organization fit dan organizational identification.

Ehrhart (2004) juga menemukan bahwa adanya hubungan positif yang

signifikan antara servant leadership dan organizational citizenship behavior di

tingkat unit. Menurut beberapa pandangan, individu-individu yang memiliki

pemimpin yang melayani cenderung meniru perilaku mereka dalam interaksi yang

menghasilkan perilaku tingkat tinggi dari organizational citizenship behavior.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Teleghani & Mehr (2013) yang

mengambil judul The Relationship between Servant Leadership and

Organizational Citizenship Behavior in Executive Organizations of Guilan

Province menemukan bahwa adanya signifikan dan hubungan secara langsung

antara servant leadership (service, humility, trust, kindness) dan organizational

citizenship behavior (Teleghani & Mehr, 2013, p.913).

Sehingga dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

ini menunjukan bahwa servant leadership memiliki pengaruh yang positif

terhadap OCB.

Page 23: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

31

2.4.2. Hubungan Komitmen Organisasional dengan OCB

Pada penelitian yang dilakukan oleh O’Reiily & Chatman (1986),

komitmen organisasional dinyatakan merupakan anteseden dari pro-social extra-

role performance. Penelitian ini menyajikan secara detail perspektif komitmen

dari sudut pandang psikologis individual dari personal dalam organisasi.

Penelitian ini menyatakan bahwa pada penelitian pertama, tidak ditemukan

hubungan antara ketiga komponen komitmen dengan OCB. Sedangkan pada

penelitian kedua menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara komponen

komitmen organisasional dengan OCB (Amikom, 2009, Juni).

Purba dan Seniati (2004) yang memusatkan penelitiannya pada sebuah

industri proses di Indonesia membuktikan bahwa adanya pengaruh yang

signifikan dari komitmen organisasi terhadap OCB bahkan sejalan dengan hasil

penelitian Scholl (1981) dan Schappe (1998) yang menemukan bahwa komitmen

organisasi merupakan prediktor OCB yang lebih signifikan dibandingkan

kepuasan kerja. Dalam penelitian ini ditemukan adanya pengaruh positif dan

signifikan dari komponen komitmen afektif terhadap dimensi altruism, courtesy,

civic virtue dan conscientiousness serta OCB total. Hasil ini sejalan dengan

penelitian Meyer dkk. (1993) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan

antara komitmen afektif dan OCB. Selanjutnya, juga ditemukan pengaruh positif

dan signifikan dari komitmen normatif terhadap dimensi civic virtue dari OCB.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2009) dengan judul

Pengaruh Komitmen Organisasional Terhadap Kepuasan Kerja dengan

Organizational Citizenship Behavior (OCB) sebagai Variabel Intervening

menemukan hasil bahwa komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap

organizational citizenship behavior (OCB). Semakin tinggi tingkat komitmen

organisasional, maka semakin tinggi tingkat kerelaan karyawan dalam melakukan

pekerjaan-pekerjaan diluar deskripsi pekerjaan atau disebut juga dengan OCB.

Page 24: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

32

2.4.3. Hubungan Antara Servant Leadership dan Komitmen Organisasional

Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Penelitian yang dilakukan oleh Mahembe (2010) dengan judul The

Relationship between Servant Leadership, Team Commitment, Team Citizenship

Behavior and Team Effectiveness: An Exploratory Study menemukan bahwa

adanya hubungan yang signifikan antara Servant Leadership, Team Commitment,

dan Team Citizenship Behavior. Dari sembilan hipotesis yang ada, dua

diantaranya membahas mengenai hubungan antar ketiga variabel ini. Adanya

hubungan yang signifikasn antara servant leadership dan team citizenship

behavior, dan adanya hubungan yang signifikan antara team commmitment dan

team citizenship behavior.

Dari hasil penelitian ini, bisa dilihat bahwa servant leadership memiliki

pengaruh positif terhadap team organizational behavior. Ehrhart dan Nauman

(2004) menekankan bahwa perilaku kepemimpinan sangat penting untuk

pengembangan OCB dan dalam hal ini adalah servant leadership yang dapat

memicu perilaku extra-role. Dari hasil penelitian dua variabel berikutnya, yaitu

antara team commitment dan team organizational behavior dapat disimpulkan

bahwa citizenship behavior dapat meningkat seiring peningkatan dari team

commitment.

Sehingga, dari penelitian Mahembe (2010) ini, bisa disimpulkan bahwa

servant leadership dan komitmen organisasional memiliki pengaruh yang positif

terhadap OCB.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Al-sharafi & Rajiani (2013)

dengan judul Promoting Organizational Citizenship Behavior among Employees-

The Role of Leadership Practice dengan hipotesis yang ada untuk melihat apakah

terdapat hubungan praktek gaya kepemimpinan dimana servant leadership

menjadi salah satu diantaranya dan komitmen organisasional terhadap OCB

menunjukkan nilai R sebesar 0,986 yang menjelaskan bahwa adanya hubungan

antara variabel independen (leadership practices, organizational commitment) dan

OCB.

Page 25: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

33

2.5. Kerangka Berpikir

H1

H3

H2

Gambar 2.2

Sumber : Barbuto and Wheeler (2006); Mowday, Steers, dan Porter (Luthans,

1996); Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006).

2.6. Hipotesa

Greenleaf berpendapat bahwa para pengikut terinspirasi dengan contoh

yang ditetapkan oleh para pemimpin untuk menjadi pemimpin yang melayani,

gaya kepemimpinan ini bisa mendorong OCB karena beberapa alasan. Pertama,

seperti yang dicatat oleh Ehrhart (2004) bahwa perilaku servant leader yang

termasuk "melayani" bawahan mereka dengan membentuk kualitas hubungan dan

membantu mereka untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, pemimpin

yang melayani harus memiliki anggota yang akan meniru perilaku ini dalam

interaksi mereka dengan satu sama lain dan itu berarti, menampilkan OCB.

Kedua, karena pengikut mengamati pemimpin membantu rekan kerja, mereka

Servant Leadership (X1)

1. Wisdom,

2. Humility,

3. Altruistic calling,

4. Emotional healing,

5. Persuasive mapping,

6. Organizational stewardship,

7. Vision,

8. Service.

Komitmen Organisasional (X2)

1. Keyakinan karyawan,

2. Kesediaan karyawan,

3. Keinginan karyawan.

Organizational Citizenship

Behavior (Y)

1. Conscientiousness,

2. Altruism,

3. Civic virtue,

4. Sportmanship,

5. Courtesy.

Page 26: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

34

cenderung akan terinspirasi untuk melakukan hal yang sama atau percaya bahwa

mereka diharapkan untuk melakukan hal yang sama. Ketiga, karena servant

leader memberikan dukungan pribadi kepada pengikut, sehingga sangat wajar

untuk mengharapkan bahwa para pengikut akan termotivasi untuk melakukan hal-

hal (seperti OCB) yang akan menguntungkan pemimpin dan membantu pemimpin

mencapai tujuan dan sasarannya (Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006, p.106).

Mengacu pada pandangan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis

sebagai berikut:

H1 : Servant Leadership berpengaruh terhadap Organizational Citizenship

Behavior (OCB) pada Blue Bird Group Surabaya.

Menurut Robin dan Judge (2007), Organizational Citizenship Behavior

dapat timbul dari berbagai faktor dalam organisasi, salah satunya karena adanya

komitmen organisasi yang tinggi (Darmawati, Hidayati, & Herlina, n.d, p.3).

Ketika karyawan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap organisasinya, maka

orang tersebut akan melakukan apapun untuk memajukan perusahaannya karena

keyakinannya terhadap organisasinya (Luthans, 1996).

Karyawan yang ingin terus terikat dengan perusahaan cenderung senang

membantu rekan kerja dan atsannya, menghindari konflik interpersonal dengan

rekan kerja dan atsannya, peduli pada kelangsungan hidup perusahaan, tingkat

kehadiran di tempat kerja tinggi, patuh pada peraturan dan tata tertib organisasi,

suka membela kepentingan organisasi dan sering memberikan sumbang saran

untuk memperbaiki kinerja organisasi, dengan kata lain sikap-sikap ini

menunjukan OCB (Purba & Seniati, 2004, p.109).

Sehingga, mengacu pada pandangan tersebut, maka dapat dirumuskan

hipotesis sebagai berikut :

H2 : Komitmen organisasional berpengaruh terhadap Organizational Citizenship

Behavior (OCB) pada Blue Bird Group Surabaya.

Seperti yang diungkapkan Greenleaf bahwa para pengikut akan

terinspirasi dengan para pemimpin yang melayani dan gaya kepemimpinan ini

akan mendorong terciptanya OCB (dalam Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006,

p.106). Ehrhart (2004) menunjukkan bahwa membantu pertumbuhan dan

keberhasilan dari para pengikut (karyawan) adalah cara di mana servant

Page 27: 2. LANDASAN TEORI 2.1. Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian

Univeristas Kristen Petra

35

leadership dapat mempengaruhi mereka untuk menunjukkan organizational

citizenship behavior.

Di samping itu, Scholl (1981) dan Weiner (1982) menyajikan model

hubungan antara komitmen organisasional dan OCB. Model dari Scholl (1981)

mendefinisikan komitmen organisasional sebagai suatu kekuatan stabilisasi yang

bertindak untuk memelihara arah perilaku seseorang tetap pada jalur mendukung

organisasi, ketika harapan ataupun kondisi keadilan yang diharapkan tidak terjadi

dan tidak sesuai fungsi normalnya. Sedangkan OCB diidentifikasikan sebagai

perilaku positif dari seseorang yang tidak dipengaruhi oleh sedikit komponen

organisasional reward. Jadi kinerja yang dilakukan tidak dipengaruhi oleh sistem

reward formal organisasi. Berdasarkan pada kedua definisi istilah tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasional memiliki hubungan dengan

OCB (Amikom, 2009, Juni).

Mengacu pada pandangan-pandangan tesebut, tidak menutup

kemungkinan pula bahwa servant leadership dan komitmen organisasional sama-

sama memiliki pengaruh terhadap organizational citizenship behavior (OCB)

pada Blue Bird Group Surabaya. Oleh sebab itu, dapat dirumuskan hipotesis

sebagai berikut:

H3 : Servant Leadership dan komitmen organisasional berpengaruh terhadap

Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Blue Bird Group

Surabaya.