28
8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 Pengertian Konseling Behavior Konseling pendekatan behavior adalah istilah umum yang mencakup berbagai pendekatan yang spesifik yang artinya terdapat banyak teknik di mana setiap dari sekian banyak teknik yang ada dalam pendekatan behavior lebih berfokus pada suatu permasalahan yang dihadapi . Kelompok pendekatan ini biasa juga disebut terapi behavior dan modifikasi perilaku ( behavior modification). Terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F. Skinner. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk menanggulangi (treatment) neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan perkataan lain bahwa perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan. Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau perangsangan eksternal dan internal. Karena itu tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksi- koneksi dan metode-metode Stimulus-Respons (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi terbesar dari konseling behavioral (perilaku) adalah diperkenalkannya metode ilmiah

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konseling Behavior 2.1.1 ......reaksi terhadap pendekatan psikodinamika yang berorientasi pada pemahaman. 12 2.1.2 Tujuan Konseling Behavior Tujuan konseling

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1 Konseling Behavior

    2.1.1 Pengertian Konseling Behavior

    Konseling pendekatan behavior adalah istilah umum yang mencakup berbagai

    pendekatan yang spesifik yang artinya terdapat banyak teknik di mana setiap dari

    sekian banyak teknik yang ada dalam pendekatan behavior lebih berfokus pada suatu

    permasalahan yang dihadapi . Kelompok pendekatan ini biasa juga disebut terapi

    behavior dan modifikasi perilaku (behavior modification). Terapi behavioral berasal

    dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F.

    Skinner. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk

    menanggulangi (treatment) neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari

    perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan perkataan lain bahwa

    perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan.

    Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau perangsangan

    eksternal dan internal. Karena itu tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksi-

    koneksi dan metode-metode Stimulus-Respons (S-R) sedapat mungkin. Kontribusi

    terbesar dari konseling behavioral (perilaku) adalah diperkenalkannya metode ilmiah

  • 9

    dibidang psikoterapi. Yaitu bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa

    lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan perilaku.

    Dasar teori terapi behavioral adalah bahwa perilaku dapat dipahami sebagai

    hasil kombinasi: (1) belajar waktu lalu dalam hubungannya dengan keadaan yang

    serupa; (2) keadaan motivasiional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan terhadap

    lingkungan; (3) perbedaan-perbedaan fisiologik baik secara genetik atau karena

    gangguan fisiologik. Dengan eksperimen- eksperimen terkontrol secara seksama

    maka menghasilkan hukum-hukum yang mengontrol perilaku tersebut.

    Konseling Behavior berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat

    manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu

    : a) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek.

    Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah.

    Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal

    keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri

    has dari kepribadiannya; b) Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya

    sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol

    perilakunya sendiri; c) Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri

    pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar; d) Manusia dapat

    mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinyapun dipengaruhi oleh perilaku orang

    lain.

  • 10

    Sejalan dengan keyakinan-keyakinan itu, bagi seorang konselor behavior

    perilaku konseling merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman hidupnya dalam

    berinteraksi dengan lingkungan. Kalau perilaku konseling ditinjau dari sudut

    pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi kehidupannya atau

    tidak tepat dan salah, harus dikatakan bahwa baik tingkah laku tepat maupun tingkah

    laku salah sama-sama merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku salah merupakan

    hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti dengan

    tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar.

    Beberapa penulis membedakan terapi tingkah laku dan modifikasi tingkah laku,

    tetapi mereka juga sering menggunakannya silih berganti dengan arti yang sama.

    Pendekatan behavior berkembang di atas dalil-dalil (construct) berikut :

    1. Semua perilaku adalah pengaruh lingkungan.

    2. Perilaku dilestarikan (maintained) oleh respons;

    3. Tingkah laku lebih banyak ditentukan oleh penyebab yang dekat daripada oleh

    penyebab yang jauh;

    4. Tingkah laku mendapat penguatan (reinforced) lebih banyak mungkin berulang

    daripada yang tidak mendapat penguatan;

    5. Penguatan positif berpotensi membiasakan (conditioning) lebih kuat daripada

    penguatan negatif;

    6. Penguatan hendaknya segera datang sesuai tingkah laku;

    7. Penguatan dapat bersifat kongkret atau sosial;

  • 11

    8. Tingkah laku dapat berkurang dengan hilangnya penguatan;

    9. Tingkah laku dapat dibentuk dengan memberikan penguatan kepada untaian

    tingkah laku yang dikehendaki.

    (Kazdin, 1978) Definisi lain menyebutkan bahwa modifikasi perilaku adalah “

    penerapan dari penelitian dan teori dasar dari psikologi eksperimental untuk

    mempengaruhi perilaku dengan tujuan untuk mengatasi problema sosial dan

    individual dan menggalakan berfungsinya sifat manusia.”

    Terapi behavioral kontemporer bisa dipahami dengan jalan

    mempertimbangkan tiga kawasan perkembangan utama, yaitu : kondisioning klasik,

    kondisioning operan, dan terapi kognitif. Pada kondisioning klasik, dimana perilaku

    tertentu dari responden dirangsang oleh organisme pasif. Pada pendekatan

    kondisioning operan, perilaku operan terdiri dari perbuatan yang beroperasi dalam

    lingkungan untuk mencapai konsekuensi. Apabila perubahan lingkungan yang

    dihasilkan oleh perilaku itu memberi penguatan, maka kemungkinannya perilaku itu

    akan terulang lagi. Dan kecenderungan kognitif dalam terapi perilaku merupakan

    konsep mediator (proses berfikir, sikap, dan nilai), yang memungkinkan sebagai

    reaksi terhadap pendekatan psikodinamika yang berorientasi pada pemahaman.

  • 12

    2.1.2 Tujuan Konseling Behavior

    Tujuan konseling behavioral adalah untuk membantu klien membuang

    respon-respon yang lama merusak diri, dan mempelajari respon-respon yang baru

    yang lebih sehat. Terapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan ini ditandai

    oleh

    (1) Fokusnya pada perilaku yang tampak dan spesifik.

    (2) Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment (perlakuan).

    (3) Formulasi prosedur treatment khusus sesuai dengan masalah khusus.

    (4) Penilaian objektif mengenai hasil konseling.

    Tujuan lain terapi behavioral adalah untuk memperoleh perilaku baru,

    mengeleminasi perilaku yang maladatif dan memperkuat serta mempertahankan

    perilaku yang diinginkan. Kemudian tujuan umum konseling yang menggunakan

    pendekatan behavior menurut Christiani (1986) ialah :

    (1) Mengubah perilaku yang tidak selaras dengan tuntutan masyarakat dan

    kebutuhan pribadi.

    (2) Membantu mempelajari proses pengambilan keputusan yang lebih efisien.

    (3) Mencegah timbulnya masalah di waktu yang akan datang.

    (4) Memecahkan masalah tingkah laku yang diusulkan klien.

    (5) Mengadakan perubahan tingkah laku untuk masa yang akan datang.

  • 13

    Tujuan khusus konseling dirumuskan dari kesepakatan konselor dengan konsele.

    Rumusan tersebut hendaknya spesifik, konkret, dan mudah dinilai. Setelah diperoleh

    kesepakatan tentang tujuan, konselor menawarkan teknik dan strategi yang akan

    digunakan. Dijelaskan secara umum cara melaksanakan teknik dan strategi tersebut,

    waktu yang diperlukan, dan sebagainya. Jika disepakati, jalankan dan susul dengan

    evaluasi bersama.

    2.1.3 Sifat-Sifat Dasar dan Asumsi Konseling Behavior

    Teori behavior memiliki beraneka ragam pendekatan yang sulit untuk

    disebutkan satu persatu sebagai sebuah perangkat yang premis serta sebagai bentuk

    umum yang bisa diaplikasikan pada seluruh bidangnya. Ciri yang berikut ini bisa

    diaplikasikan secara luas, pada pendekatan behavior.

    (1) Terapi perilaku yang didasarkan pada prinsip belajar yang bersumber pada

    eksperimen yang secara sistematis diaplikasikan untuk menolong orang agar

    bisa mengubah perilaku maladaptive.

    (2) Terapi yang berfokus pada problema klien yang sekarang ada serta pada

    factor-faktor yang mempengaruhinya.

    (3) Terapi ini menekankan pada perubahan perilaku yang terbuka sebagai kriteria

    utama yang dengan kriteria itu perlakuan seharusnya dievaluasi, namun

    dengan melibatkan proses-proses kognitif.

  • 14

    (4) Terapi ini menspesifikasikan sasaran perlakuan dalam arti yang kongkrit dan

    objektif agar bisa dimungkinkan dibuatnya replica dari intervensi perlakuan.

    (5) Karakteristik yang menonjol dari para praktisi behavior adalah sikap mereka

    yang secara sistematis mengaitkan diri pada spesifikasi dan pengukuran.

    Sepanjang perjalanan terapi ada penilaian terhadap perilaku bermasalah serta

    kondisi yang mendukungnya.

    (6) Terapi behavior banyak bersifat mendidik. Ada penekanan dalam

    mengajarkan klien suatu keterampilan untuk menangani diri sendiri, dengan

    harapan mereka bisa bertanggung jawab untuk mentransfer apa yang telah

    mereka pelajari ke kehidupan sehari-hari

    (7) Prosedur behavior disesuaikan agar bisa cocok dengan kebutuhan yang unik

    dari setiap klien.

    Asumsi dasar yang melandasi pendekatan behavior, menurut T. Wilson

    (Corey;1986) ialah bahwa gangguan-gangguan yang memerlukan layanan psikoterapi

    hendaknya dipahami melalui perspektif psikologi eksperimental. Diatas asumsi dasar

    ini dibangun asumsi-asumsi yang spesifik sesuai dengan pendekatan spesifik masing-

    masing. Asumsi-asumsi yang melandasi sebagian besar pendekatan tersebut :

    (1) Terfokus pada pemberian pengaruh-pengaruh nyata (Current Influences),

    bukan pada penentu-penentu historis.

    (2) Menekankan pengamatan pada perubahan tingkah laku lahiriah sebagai

    kriteria penilaian.

  • 15

    (3) Mengkhususkan pada tujuan perlakuan yang konkret dan objektif supaya

    dapat direplikasikan.

    (4) Mempercayai riset dasar untuk mendapatkan hipotesis tentang perlakuan dan

    teknik-teknik konseling.

    (5) Merumuskan secara spesifik masalah-masalah yang akan ditangani untuk

    memudahkan perlakuan dan pengukuran.

    2.1.4 Teknik dan Prosedur Konseling Behavior

    Salah satu kekuatan terbesar dari pendekatan behavior pada konseling dan

    psikoterapi adalah pengembangan dari prosedur terapeutik yang spesifik yang mau

    menerima adanya penyulingan lewat metode ilmiah. Teknik behavior haruslah efektif

    lewat sarana objektif, dan terus ada usaha untuk memperbaikinya. Temuan utama

    yang dihasilkan oleh penelitian terapi behavior adalah hasil akhir dari suatu

    penanganan adalah memiliki facet ganda. Perubahan itu bukanlah bersifat

    keseluruhan ataupun tidak ada perubahan sama sekali. Perbaikan mungkin bisa terjadi

    pada suatu kawasan tetapi tidak terjadi pada kawasan yang lain. Semua perbaikan

    tidak muncul secara bersamaan, dan keberhasilan di suatu kawasan mungkin ada

    kaitannya dengan problema yang muncul di kawasan lain. (Kazdin, 1982: Voltz &

    Evans, 1982).

  • 16

    Dalam terapi behavior kontemporer teknik apapun dapat ditunjukkan untuk

    mengubah perilaku yang mungkin dilibatkan dengan rencana penanganan. Lazarus

    (1980) mendukung penggunaan teknik yang beraneka ragam, tanpa memperhatikan

    asal teori itu. Diberikan olehnya garis besar rentang teknik yang luas yang telah ia

    gunakan dalam praktek klinisnya sebagai suplemen dari metode behavior. Menurut

    pandangannya, makin ekstensif rentangan teknik terapi itu, secara potensial terapis itu

    makin efektif. Jelas bahwa terapi behavior tidak harus membatasi diri pada metode

    yang berasal dari teori belajar. Demikian pula teknik behavior dapat dimasukkan

    dalam kegiatan pendekatan yang lain. Berikut ini dikemukakan beberapa teknik

    konseling behavioral.

    1. Assertive training

    Assertive training, merupakan teknik dalam konseling behavioral yang dengan

    cepat mencapai popularitas yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi

    interpersonal, di mana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan

    bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar.

    Assertive training adalah suatu teknik untuk membantu klien dalam hal-hal berikut:

    a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung.

    b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk

    mendahuluinya.

    c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”.

  • 17

    d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif

    lainnya.

    e. Merasa tidak punya hak uintuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran

    sendiri.

    Didalam assertive training konselor berusaha memberikan keberanian kepada

    klien dalam mengatasi kesulitan terhadap orang lain. Pelaksanaan teknik ini ialah

    dengan role playing (bermain peran).

    2. Aversion therapy

    Teknik ini bertujuan untuk menghukum prilaku yang negatif dan memperkuat

    perilaku positif. Hukuman bisa dengan kejutan listrik, atau memberi ramuan yang

    membuat orang muntah. Secara sederhana anak yang suka marah dihukum

    dengan membiarkannya. Perilaku maladjustive diberi kejutan listrik, misalnya

    anak yang suka berkata bohong. Perilaku homoseksual dihukum dengan memberi

    pertunjukan film yang disenanginya lalu dilistrik tangannya dan film mati.

    3. Home-work.

    Yaitu suatu latihan rumah bagi klien yang kurang mampu menyesuaikan diri

    terhadap situasi tertentu. Caranya ialah dengan memberi tugas rumah untuk satu

    minggu. Misalnya tugas klien adalah; tidak menjawab jika dimarahi ibu tiri. Klien

    menandai hari apa dia yang menjawab dan hari apa dia tak menjawab. Jika selama

  • 18

    seminggu dia tak menjawab selama lima hari, berarti ia diberi lagi tugas tambahan

    sehingga selama tujuh hari tak menjawab jika dimarahi.

    4. Desensitiasi sistematik (systematic desensitization).

    Teknik ini dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa semua

    perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan. Respon terhadap kecemasan

    dapat dieliminasi dengan menemukan respon yang antagonistik. Perangsangan

    yang menimbulkan kecemasan secara berulang-ulang di pasangkan dengan

    relaksasi sehingga hubungan antara perangsangan dengan respon terhadap

    kecemasan dapat dieliminasi. Teknik desensitisasi sistematik bermaksud

    mengajar klien untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan

    kecemasan yang dialami klien. Teknik ini tak dapat berjalan tanpa teknik

    relaksasi. Adapun prosedur pelaksanaan teknik ini dapat diikuti lebih lanjut di

    bawah ini:

    a. Analisis perilaku yang menimbulkan kecemasan.

    b. Menyusun hierarkhi atau jenjang-jenjang situasi yang menimbulkan kecemasan

    dari yang kurang hingga yang paling mencemaskan klien.

    c. Memberi latihan relaksasi otot-otot yang dimulai dari lengan hingga otot kaki. Kaki

    klien diletakkan di atas bantal atau kain wool. Secara terinci relaksasi otot dimulai

    dari lengan, kepala, kemudian leher dan bahu, bagian belakang, perut dan dada, dan

    kemudian anggota bagian bawah.

  • 19

    d. Klien diminta membayangkan situasi yang menyenangkannya sepereti di pantai,

    ditengah taman yang hijau dan lain-lain.

    e. Klien disuruh memejamkan mata, kemudian disuruh membayangkan situasi yang

    kurang mencemaskan. Bila klien sanggup tanpa cemas atau gelisah, berarti situasi

    tersebut dapat diatasi klien. Demikian seterusnya hingga ke situasi yang paling

    mencemaskan.

    f. Bila pada suatu situasi klien cemas dan gelisah, maka konselor memerintahkan

    klien agar membayangkan situasi yang menyenangkan tadi untuk menghilangkan

    kecemasan yang baru terjadi.

    g. Menyusun hierarkhi atau jenjang kecemasan harus bersama klien, dan konselor

    menuliskannya di kertas.

    2.2 Konsep Dasar Desensitisasi Sistematik

    Desensitisasi sistematik ( Systematic Desensitization ) dikembangkan dalam

    tradisi prosedur behavioristik pada awal tahun 1950 oleh Joseph Wolpe. Asumsi

    dasar teknik ini adalah respons ketakutan ( sebagai contoh respon ketakutan akan

    ketinggian ) merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan

    menggantikan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respons

    khusus yang dihambat oleh proses perbaikan (treatment) ini adalah kecemasan-

    kecemasan atau perasaan takut yang kurang beralasan, dan respons yang sering

  • 20

    dijadikan pengganti atas kecemasan tersebut adalah relaksasi atau penenangan.

    Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai ketakutan terhadap ketinggian dan merasa

    sangat khawatir dan tidak nyaman setiap saat dia masuk ke sebuah gedung yang

    tinggi dan naik lift ke tingkat 4, kita akan dapat membantunya dengan menghambat

    kekhawatiran pada situasi ini dengan mengerjakannya untuk rileks dan tenang. Dan

    kita juga akan dapat melatih ketidak pekaannya atau melawan ketakutannya terhapa

    ketinggian.

    Ketidakpekaan dapat dibentuk dengan menunjukkan setiap individu, hal-hal

    kecil dan bertahap atas situasi ketakutan, saat orang tersebut menunjukkan

    aktivitasnya yang berlawanan dengan kekhawatirannya. Pembongkaran terhadap

    rangsangan stimulus dapat berlangsung baik di dalam fantasi orang tersbut ketika dia

    dimintai untuk membayangkan situasi yang serba menakutkan, atau hal ini dapat

    terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Wolpe mengistilahkan prinsip yang mendasari

    proses ketidakpekaan tersebut dengen reciporal inhibition. Dia menjelaskan prinsip

    dasar tersebut sebagai berikut, “ Jika respon inhibitori terhadap kekhawatiran dapat

    dipaksa terjadi di keberadaan rangsang kekhawatiran, hal tersebut akan melemahkan

    hubungan antara rangsangan-rangsangan tersebut terhadap kekhawatiran “. ( Wolpe

    1958).

  • 21

    Menurut Wolpe (dalam Corey,2007) menguraikan secara terperinci mengenai

    prosedur pelaksanaan teknik Desensitisasi Sistematis yang dapat dijelaskan sebagai

    berikut.

    1. Desensitisasi sistematis dimulai dengan suatu analisis perilaku atas

    stimulus-stimulus yang dapat membangkitkan kecemasan keramaian.

    Disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan kecemasan konseli

    dalam area tertentu.

    2. Konselor dan konseli mendaftar hasil-hasil apa saja yang menyebabkan

    konseli diserang perasaan cemas dan kemudian menyusunnya secara

    hirarkis. Konselor menyusun suatu daftar yang bertingkat mengenai

    situasi-situasi yang kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan atau

    penghindaran. Tingkatan dirancang dalam urutan dari situasi yang

    membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah hingga situasi

    yang paling buruk yang dapat dibayangkan oleh konseli.

    3. Konselor melatih konseli untuk mencapai keadaan rileks atau santai.

    Latihan ini dilakukan melalui suatu prosedur khusus yang disebut

    relaksasi yang berupaya mengkondisikan konseli dalam keadaan santai

    penuh. Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama konseli diberi

    latihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengendoran

    otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh.

  • 22

    Sebelum latihan relaksasi dimulai, konseli diberitahu tentang cara

    relaksasi dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan bagian-

    bagian tubuh tertentu.

    4. Konselor melatih konseli untuk membentuk respon-respon antagonistik

    yang dapat menghambat perasaan cemas. Latihan relaksasi berdasarkan

    teknik yang digariskan oleh Jacobson dan diuraikan secara rinci oleh

    Wolpe. Pemikiran dan pembayangan (imagery) situasi-situasi yang

    membuat santai seperti duduk di pinggir danau atau berjalan-jalan di

    taman yang indah sering digunakan. Hal yang penting adalah bahwa

    konseli mencapai keadaan tenang dan damai. Konseli diajari bagaimana

    mengendurkan segenap otot dan bagian tubuh dengan titik berat pada otot-

    otot wajah. Otot-otot tangan terlebih dahulu, diikuti oleh kepala, leher dan

    pundak, punggung, perut, dada dan kemudian anggta-anggota badan

    bagian bawah. Konseli diminta untuk mempraktekkan relaksasi di luar

    pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya setiap hari. Apabila

    konseli telah dapat belajar untuk santai dengan cepat, maka prosedur

    desensitisasi dapat dimulai.

    5. Pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis. Proses desensitisasi

    melibatkan keadaan di mana konseli sepenuhnya santai dengan mata

    tertutup. Pada tahap ini konselor mula-mula mengarahkan konseli agar

  • 23

    mencapai keadaan rileks. Setelah konseli dapat mencapai keadaan rileks,

    konselor memverbalisasikan (menyajikan) secara berurutan dari atas ke

    bawah situasi-situasi yang menimbulkan perasaan cemas sebagaimana

    tersusun dalam hirearki dan meminta konseli untuk membayangkannya.

    Konselor menceritakan serangkaian situasi dan meminta konseli untuk

    membayangkan dirinya berada dalam situasi yang diceritakan oleh

    konselor tersebut. Situasi yang netral diungkapkan, dan konseli diminta

    untuk membayangkan dirinya berada dalam situasi didalamnya. Jika

    konseli mampu tetap santai, maka dia diminta untuk membayangkan

    situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.

    Konselor bergerak mengungkapkan situasi-situasi secara bertingkat

    sampai konseli menunjukkan bahwa dia mengalami kecemasan, dan pada

    saat itulah pengungkapan situasi diakhiri. Kemudian relaksasi dimulai

    lagi, dan konseli kembali membayangkan dirinya berada dalam situasi-

    situasi yang diungkapkan konselor. Treatmen diangggap selesai apabila

    konseli mampu untuk tetap santai ketika membayangkan situasi yang

    sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan kecemasan. Jika

    konseli dapat membayangkan situasi tersebut tanpa mengalami

    kecemasan, konselor menyajikan situasi berikutnya dan ini terus

    dilakukan dengan cara yang sama sehingga seluruh situasi dalam hirarki

    telah disajikan dan kecemasan bias dihilangkan. Jika dengan sikap santai

  • 24

    tidak cukup, maka konselor dapat mengulangi dengan cara meminta

    membayangkan situasi lain yang menyenangkan ketika ia menyajikan

    situasi yang menimbulkan perasaan cemas (Wolpe,1982).

    2.3 Kecemasan terhadap keramaian

    2.3.1 Pengertian kecemasan

    Kecemasan adalah perasaan yang di alami seseorang ketika berfikir bahwa

    sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Priest menggambarkan kecemasan

    sebagai ketakutan, tidak tentu, bingung, dan ketiakpastian merupakan suatu keadaan

    umum yang dialami oleh individu dari waktu ke waktu sebagai tanggapan terhadap

    situasi yang mengancam atau khayal ( Priest, 1994). Seseorang bisa menjadi cemas

    bila dalam kehidupannya terancam oleh sesuatu yang tidak jelas karena kecemasan

    dapat timbul pada banyak hal yang berbeda-beda. Kecemasan adalah keadaan takut

    terus menerus namun berbeda dengan ketakutan biasa yang merupakan respon

    terhadap kesukaran yang sedang terjadi, (Mahmud, 1990). Pendapat ini didukung

    oleh Sulaeman (1995) yang menyebutkan sebagai keadaan. Psikologis yang

    ditimbulkan oleh adanya rasa khawatir terus menerus yang ditimbulkan oleh adanya

    Inner conflict dan merupakan perasaan yang samar-samar atau tidak jelas yang

    bersumber dari ketakutan individu terhadap suatu yang akan terjadi. Kecemasan

    adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan

  • 25

    terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak

    diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990).

    Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari

    konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk

    mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan

    menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka

    kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai

    simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep psikodinamik

    menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup

    manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi

    masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan

    kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila

    ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat

    restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang

    ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-

    konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak

    terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan

    muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun,

    desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-

    kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988).

  • 26

    Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus

    khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk

    stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan

    mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di inginkan.

    2.3.2 Macam-macam Kecemasan

    Menurut Freud ( Hall dan Lindzey, 1993 ) ada tiga macam kecemasan :

    a. Kecemasan realita

    Dari ketiga macam kecemasan itu yang paling pokok adalah kecemasan realita

    atau takut akan bahaya-bahaya dari luar. Bahaya dalam setiap keadaan dalam

    lingkungan seseorang yang bisa membuat celaka, misalnya takut dirinya celaka

    jika berada di suatu keramaian atau lalu lalang orang di suatu tempat.

    b. Kecemasan neurotis

    Kecemasan neurotis adalah rasa takut apabila insting-insting akan lepas dari

    kendali dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang bisa membuatnya

    dihukum. Kecemasan neurotis bukanlah ketakutan terhadap insting itu sendiri

    melainkan ketakutan terhadap yang mungkin terjadi jika suati insting dipuaskan.

    Kecemasan neurotis mempunyai dasar dalam kenyataan, sebab dunia

  • 27

    sebagaimana diwakili oleh orang tua dan berbagai otoritas lain akan menghukum

    anak bila ia melakukan tindakan implusif.

    c. Kecemasan moral

    Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati. Orang-orang super ego

    berkembang dengan baik cenderung merasa bersalah jika mereka melakukan

    sesuatu atau bahkan berfikir untuk melakukan yang bertentangan dengan norma

    moral dimana dirinya dibesarkan. Kecemasan moral juga mempunyai dasar

    dalam realistis, dimasa lampau sang pribadi pernah mendapat hukuman karena

    melanggar norma moral dan bisa dihukum lagi.

    a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang

    mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dilihat sebagai rasa takut,

    karena sumbernya jelas terlihat dalam pikiran.

    b. Rasa cemas yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk.

    Misalnya orang merasa cemas karena menyangka akan terjadi sesuatu

    yang tidak menyenangkan, sehingga orang itu merasa terancam.

    c. Rasa cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-

    hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani.

    Cattel dan Scheier (dikutip oleh De Clerg, 1994) membagi kecemasan

    dalam dua jenis, yaitu:

  • 28

    a. State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi

    tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. State anxiety beragam

    dalam hal intensitas dan waktu. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan

    ketegangan yang subyektif.

    b. Trait anxiety menunjukkan seseorang untuk menginterprestasikan

    keadaan sebagai suatu ancaman yang disebut dengan anxiety proness

    (kecenderungan akan kecemasan). Orang tersebut cenderung untuk

    merasakan berbagai macam keadaan sebagai keadaan yang

    membahayakan atau mengancam dan cenderung untuk menanggapi

    dengan reaksi kecemasan.

    Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

    kecemasan terhadap keramaian dapat dikategorikan pada bentuk kecemasan

    realita.

    2.3.3 Gejala-gejala Kecemasan

    Kecemasam sulit diketahui, hanya dapat dilihat dari gejala-gejala yang

    ditimbulkannya. Menurut Daradjat (1990) gejal-gejala cemas ada yang bersifat

    fisiologis yaitu ujung-ujung jari terasa dingin, gangguan pada pencernaan, detak

    jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyanyak, nafsu makan hilang, kepala

    pusing, nafas sesak, serta sakit perut. Gejala-gejala psikologis antara lain sangat takut,

    merasa akan ditimpa bahaya atau kecelakaan, keadaan tidak berdaya, tidak bisa

  • 29

    memusatkan perhatian, hilang kepercayaan pada diri sendiri, tidak tentram, ingin lari

    dari kenyataan hidup.

    Suardiman (1987) memberikan ciri-ciri individu yang mengalami kecemasan

    sebagai berikut: tidak bisa tidur, mudah marah, gelisah, istirahat dan makan tidak

    teratur, tidak dapat berkonsentrasi, tidak berani mengambil keputusan, terlalu peka

    atau sensitive, mudah mengeluarkan keringat terus-menerus. Sedangkan gejala-gejala

    fisiologis yang makin timbul pada orang yang mengalami kecemasan menurut De

    Clerq (1994) antara lain bernafas lebih cepat, berkeringat, jantung berdebar-debar.

    Hal di atas sesuai dengan pendapat Coon dan Raymont (Yetty Fitriasari ,

    1999) bahwa ciri-ciri kecemasan adalah ketidak stabilan emosi, perasaan tidak aman,

    sulit mengambil keputusan, hilangnya perhatian, mudah pusing atau mual,

    tenggorokan tersekat, sulit tidur dan hilang konsentrasi. Jadi gejala-gejala kecemasan

    dapat bersifat fisiologis dan psikologis. Bersifat fisiologis bila ditandai dengan detak

    jantung menjadi lebih cepat, istirahat tidak teratur, nafsu makan hilang, gangguan

    pada pencernaan, tidur tidak nyenyak, mudah mengeluarkan keringat, nafas sesak dan

    pusing. Sedangkan gejala psikologis ditandai dengan merasa tertekan, mudah marah,

    selalu khawatir, bingung, tidak berani mengambil keputusan, dan sulit berkonsentrasi.

  • 30

    2.4 Keramaian

    Keramaian bukan hanya terjadi di stadion sepakbola, tapi keramaian juga

    dapat terjadi di mana-mana. Tempat ibadah, pasar tradisional, lokalisasi pelacuran,

    gelaran kampanye partai politik, konser musik atau acara jalan santai. Contoh terakhir

    menarik untuk dijadikan pembanding. Misalnya, pengurus rukun tetangga di suatu

    perumahan menyelenggarakan acara “jalan santai”. Pesertanya penghuni perumahan.

    Ramai dan membentuk keramaian. Anggota keramaian adalah peserta acara jalan

    santai. Keramaian terbentuk disebabkan alat pembentuk keramaian yang tidak

    tunggal. Misalnya seseorang ikut jalan santai karena undian berhadiah

    (semacam doorprize) telepon genggam “BlackBerry”. Individu lain datang ke acara

    yang sama karena ada “pentas musik” di akhir acara. ”Undian berhadiah” serta

    ”pentas musik” adalah sedikit contoh dari alat pembentuk keramaian suatu acara jalan

    santai. “Objek” dari motivasi merupakan alat pembentuk keramaian. Manusia adalah

    makhluk yang bisa dimobilisasi membentuk keramaian.

    Dalam sebuah keramaian pasti banyak sekali ditemui beberapa kelompok.

    Dalam suatu kelompok banyak sekali ditemui suatu makna pertemanan dari setiap

    individu. Keramaian mempunyai makna tersendiri yaitu, merupakan kumpulan dari

    sekelompok orang-orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan tertentu. dimana ada

    sebuah organisasi yang menyusun berbagai pekerjaan atau kegiatan guna

    menghasilkan sebuah pencapaian tujuan. dalam keramaian diperlukan interaksi

    bersama dan adanya karakteristik yang berbeda agar dapat menciptakan suatu

  • 31

    keragaman. dalam psikologi kelompok, kelompok dapat menunjang perkembangan

    optimal masing-masing individu untuk membentuk suatu kumpulan yang dapat

    disebut juga dengan keramaian. menurut Homans (1950) keramaian adalah sejumlah

    individu berkomunikasi satu dengan yang lain dalam jangka waktu tertentu yang

    jumlahnya tidak dapat ditentukan. Jadi pengertian kecemasan keramaian adalah

    perasaan yang dialami seseorang ketika berfikir bahwa akan terjadi hal yang tidak

    menyenangkan terhadap sekumpulan dari sekelompok orang-orang atau lebih yang

    disebut keramaian itu sendiri.

    2.4.1 Faktor-faktor yang mendasari manusia berkelompok dan membentuk

    keramaian.

    1. Adanya persamaan senasib

    2. Tujuan yang sama

    3. Ideologi yang sama

    4. Musuh bersama

    5. Suku bangsa yang sama atau kelompok etnik

    2.4.2 Bentuk-bentuk kelompok sosial yang mendasari timbulnya keramaian

    menurut para ahli.

    1. In Group dan Out Group

  • 32

    Summer membedakan antara in group dan out group. In

    Group merupakan kelompok social yang dijadikan tempat oleh individu-

    individunya untuk mengidentifikasikan dirinya. Out Group merupakan

    kelompok sosial yang oleh individunya diartikan sebagai lawan in Group.

    Contoh: Istilah “kita” atau “kami” menunjukkan adanya artikulasi in

    group, sedangkan “mereka” berartikulasi out group.

    2. Kelompok primer dan sekunder

    Charles Horton Cooley mengemukakan tentang kelompok primer yang

    ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya, kerja

    sama yang erat dan bersifat pribadi,interaksi sosial dilakukan secara tatap

    muka (face to face). Kelompok sekunder adalah kelompok sosial yang

    terdiri dari banyak orang, antara siapa hubungannya tidak perlu

    berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga sifatnya tidak begitu

    langgeng.

    3. Gemainschaft dan gesellschaft

    Ferdinand Tonnies mengemukakan tentang hubungan antara individu-

    individu dalam kelompok sosial sebagai Gemainschaft (paguyuban)

    dan gesellschaft (patembayan). Gemainschaft merupakan bentuk-bentuk

    kehidupan yang di mana para anggota-anggotanya diikat oleh hubungan

    batin yang murni, bersifat ilmiah, dan kekal. Contoh: keluarga, kelompok

  • 33

    kekerabatan, rukun tetangga, dll.Gesellschaft (patembayan) merupakan

    ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu tertentu (yang

    pendek) atau bersifat kontraktual. Contoh: hubungan perjanjian

    perdagangan, organisasi formal, organisasi suatu perusahaan, dll.

    4. Kelompok Formal dan Informal

    J.A.A. Van Doorn membedakan kelomok Formal dan Informal.

    Kelompok Formal mempunyai peraturan yang tegas dan sengaja

    diciptakan oleh para anggotanya untuk mengatur hubungan mereka,

    misalnya pemerintah memilih ketua, iuran anggota, dll. Kelompok

    Informal tidak mempunyai struktur atau organisasi tertentu . Kelompok ini

    terbentuk karena pertemuan berulang-ulang, misal kelompok dalam

    belajar.

    5. Membership group dan reference group

    Robert K. Merton membedakan kelompok membership dengan

    kelompok reference. Kelompokmembership merupakan kelompok yang

    para anggotanya tercatat secara fisik sebagai anggota, sedangkan

    kelompok reference merupakan kelompok sosial yang dijadikan acuan

    atau rujukan oleh individu-individu yang tidak tercatat dalam anggota

  • 34

    kelompok tersebut untuk membentuk atau mengembangkan

    kepribadiannya atau dalam berperilaku.

    Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa keramaian yang dimaksud

    dalam penelitian ini adalah kerumunan sekelompok orang yang menimbulkan

    kebisingan dan kegaduhan yang tidak hanya terjadi di dalam sekolah atau di dalam

    kelas saja, tetapi juga dapat terjadi di manapun yang bisa menimbulkan rasa cemas

    terhadap siswa itu sendiri.

    2.5 Penerapan Konseling Kelompok Melalui Teknik Desensitisasi Sistematik

    untuk Mengatasi Kecemasan Terhadap Keramaian.

    Desensitisasi sistematik merupakan tehnik yang cocok untuk menangani

    fobia, tetapi merupakan suatu konsepsi yang keliru kalau tehnik ini dapat

    diaplikasikan hanya untuk menangani kecemasan. Comier & Cormier ( Corey, 1995 )

    menyatakan bahwa secara historis desensitisasi merupakan tehnik yang memiliki

    catatan sejarah yang paling panjang sebagai tehnik untuk menangani rasa takut dan

    hasilnya telah didokumentasikan.

    (Abimanyu & Thayeb, 1996) mengemukakan bahwa desensitisasi sistematik

    digunakan untuk menurunkan kemaarahan, menambah rasa toleransi pada orang lain

    mengatasi situasi kehilangan dan keduka citaan, menghilangkan berbagai fobia,

    menghilangkan berbagai kecemasan dan menghilangkan berbagai rasa takut. Dalam

  • 35

    penerapannya teknik desensitisasi ini menggunakan berbagai tahap-tahap pelaksanaan

    sesuai dengan langkah-langkah prosedur yang efektif.

    Seperti studi penelitian yang sudah dilakukan oleh Hekmat Hamid (2006)

    yang mengemukakan bahwa teknik desensitisasi sistematis efektif untuk menurunkan

    kecemasan berbicara di depan umum.

    2.6 Hipotesis

    Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Konseling kelompok

    melalui pendekatan behavioral secara signifikan dapat menurunkan kecemasan

    keramaian siswa kelas VIII B SMP Negeri 10 Salatiga