24
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep keluarga 2.1.1 Pengertian keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dimana terjadi interaksi antara anak dan orang tuanya. Keluarga berasal dari bahasa sansekerta kulu dan warga atau kuluwarga yang berarti anggota kelompok kerabat (Padila, 2012). Beberapa ahli menguraikan beberapa arti keluarga sesuai dengan perkembangan masyarakat, Wall (1986) mengemukakan keluarga sebagai dua orang atau lebih, yang disatukan oleh ikatan emosional dan kebersamaan, serta mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga. Spradley and Allender (1996) mengemukakan satu atau lebih individu yang mempunyai ikatan emosional dan tinggal berasama serta mengembangkan dalam ikatan social, pern, dan tugas. Friedman (1998) mengartikan keluarga sebagai suatu sumber sistem social. Keluarga merupakan kelompok kecil yang terdiri dari individu yang mempunyai hubungan erat dan saling ketergantungan satu dengan lainnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Undang-Undang No. 10 tahun 1992 mendefinisikan keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau suami istri, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Depkes RI (1998) mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang tinggal dalam satu rumah dalam keadaan saling ketergantungan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep keluarga 2.1.1 Pengertian … · 2017. 4. 1. · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep keluarga 2.1.1 Pengertian keluarga Keluarga merupakan unit

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Konsep keluarga

    2.1.1 Pengertian keluarga

    Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dimana terjadi

    interaksi antara anak dan orang tuanya. Keluarga berasal dari bahasa sansekerta

    kulu dan warga atau kuluwarga yang berarti anggota kelompok kerabat (Padila,

    2012). Beberapa ahli menguraikan beberapa arti keluarga sesuai dengan

    perkembangan masyarakat, Wall (1986) mengemukakan keluarga sebagai dua

    orang atau lebih, yang disatukan oleh ikatan emosional dan kebersamaan, serta

    mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga. Spradley and

    Allender (1996) mengemukakan satu atau lebih individu yang mempunyai ikatan

    emosional dan tinggal berasama serta mengembangkan dalam ikatan social, pern,

    dan tugas. Friedman (1998) mengartikan keluarga sebagai suatu sumber sistem

    social. Keluarga merupakan kelompok kecil yang terdiri dari individu yang

    mempunyai hubungan erat dan saling ketergantungan satu dengan lainnya dalam

    rangka mencapai tujuan tertentu. Undang-Undang No. 10 tahun 1992

    mendefinisikan keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, yang terdiri dari

    suami, istri, dan anak atau suami istri, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan

    anaknya. Depkes RI (1998) mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil

    masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang tinggal

    dalam satu rumah dalam keadaan saling ketergantungan.

  • 12

    Dari uraian diatas dapat disimpulkan, keluarga merupakan unit terkecil

    dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anak, yang saling berinteraksi

    dan memiliki hubungan yang erat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Interaksi

    yang baik antara anak dan orang tua merupakan hal penting dalam masa

    perkembangan anak. Interaksi yang baik ditentukan oleh kualitas pemahaman dari

    anak dan orang tua untuk mencapai kebutuhan keluarga (Soetjiningsih, 2012).

    Orang tua memiliki peran yang penting dalam memberikan pendidikan informal

    selama dilingkungan rumah. Orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya

    baik dalam pendidikan maupun kebutuhan pribadi dari anaknya (Ahmad, 2010).

    Berbagai permasalahan dapat dialami keluarga, salah satunya keluarga yang

    memiliki anak retardasi mental. Keluarga yang memiliki anak dengan retardasi

    mental mempunyai berbagai permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan anggota

    keluarganya termasuk juga berpengaruh pada peran dan fungsi setiap anggota

    keluarga.

    2.1.2 Peran dan Fungsi keluarga

    Setiap anggota keluarga menjalankan perannya masing-asing dalam

    keluarga untuk mempertahankan kondisi dalam keluarga. Peran keluarga dibagi

    menjadi dua yaitu peran formal dan peran informal keluarga. Peran formal

    keluarga yaitu peran parental dan perkawinan yang terdiri dari peran penyedia,

    peran pengatur rumah tangga, perawatan anak, peran persaudaraan, dan peran

    seksual. Peran informal keluarga bersifat implicit dan tidak tampak kepermukaan

    dan hanya diperankan untuk menjaga keseimbangan keluarga, sepeti pendorong,

  • 13

    inisiatif, pendamai, penghalang, pengikut, pencari pengakuan, sahabat,

    koordinator keluarga dan penghubung (Padila, 2012).

    Setiap anggota keluarga menjalankan perannya dengan baik apabila keluarga

    berfungsi sebagaimana mestinya. Fungsi keluarga berkaitan dengan peran dari

    keluarga yang bersifat ganda. Friedman (1998 dalam Padila, 2012) menguraikan

    terdapat 5 fungsi keluarga, yaitu : (1) Fungsi afektif merupakan fungsi internal

    berhubungan secara langsung dan menjadi dasar dari keluarga tersebut. Fungsi ini

    berguna untuk pemenuhan fungsi psikososial. (2) Fungsi sosialisasi, dimana

    keluarga merupakan tempat pertama individu memulai sosialisasi. Individu belajar

    untuk disiplin dan mematuhi norma yang ada sehingga mampu untuk melakukan

    interaksi sosial dimasyarakat. (3) Fungsi reproduksi, dimana keluarga memiliki

    fungsi untuk meneruskan keturunan dan meningkatkan sumber daya manusia, hal

    ini dikatakan sebagai fungsi reproduksi. (4) Fungsi ekonomi, dimana untuk

    memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarganya seperti makanan, pakaian dan

    tempat tinggal. (5) Fungsi perawatan kesehatan, dalam fungsi perawatan

    kesehatan, keluarga memiliki peran untuk melakukan proteksi dikeluarganya

    terhadap penyakit.

    Berbagai permasalahan dihadapi oleh setiap keluarga dalam memenuhi

    kebutuhan anak dengan retardasi mental. Anak dengan retardasi mental akan

    memerlukan bantuan dari anggota keluarga lainnya dalam waktu yang cukup lama

    (Napolion, 2010). Apabila kelima fungsi keluarga tersebut berjalan dengan baik,

    maka keluarga akan menjadi harmonis. Namun, bila fungsi tersebut mengalami

    gangguan dalam keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental, maka hal

  • 14

    ini akan menjadi beban tersendiri pada anak tersebut yang akan berpengaruh juga

    pada fungsi dan peran setiap anggota keluarga lainnya, sehingga diperlukan usaha

    dari anggota keluarga untuk tetap menjaga fungsi dan peran masing masing agar

    tetap berjalan dengan baik.

    2.1.3 Tugas perkembangan dan Tugas kesehatan keluarga

    Selain menjalankan peran dan fungsi masing-masing dalam keluarga,

    menjalankan tugas perkembangan keluarga sesuai dengan usia anak menjadi dasar

    bagi keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan anak retardasi mental

    dalam menjalani setiap masa perkembangannya. Duval (1977 dalam Friedman,

    1998) menguraikan siklus kehidupan keluarga dan tahap perkembangan keluarga

    dengan anak usia sekolah (6-12 tahun), yaitu : (1) melakukan sosialisasi anak,

    termasuk meningkatkan prestasi di sekolah dan hubungan dengan teman sebaya,

    (2) mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan, (3) memenuhi

    kebutuhan setiap anggota keluarga (seperti kebutuhan pakaian, makan dan minum,

    serta tempat tinggal), (4) mendorong anak untuk mencapai pengembangan daya

    intelektual, (5) menyediakan aktivitas untuk anak.

    Setelah pemenuhan tugas perkembangan keluarga, keluarga memiliki tugas

    kesehatan keluarga yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga lainnya, apabila

    salah satu anggotanya mengalami sakit. Menurut Friedman (1998 dalam Padila,

    2012), terdapat lima tugas kesehatan keluarga, yaitu : (1) mengenal masalah

    kesehatan pada setiap anggota keluarganya, (2) mengambil keputusan untuk

    melakukan tindakan yang tepat setelah mengetahui masalah kesehatannya, (3)

  • 15

    melakukan perawatan pada anggota keluarganya yang mengalami sakit, (4)

    memodifikasi lingkungan untuk menunjang keberhasilan perawatan, (5)

    menggunakan fasilitas kesehatan yang ada seperti rumah sakit. Keluarga yang

    memiliki anak dengan retardasi mental harus mengenal terlebih dahulu mengenai

    retardasi mental untuk melakukan perawatan pada anak tersebut. Apabila keluarga

    tidak mengenal tentang retardasi mental, perawatan yang diberikan akan tidak

    sesuai dengan kebutuhan anak retardasi mental. Hal ini akan menimbulkan beban

    tersendiri bagi keluarga, seperti beban fisik, beban sosial, beban ekonomi, dan

    beban waktu (Napolion, 2010).

    2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keluarga sebagai Caregiver

    Kemampuan keluarga memberikan perawatan kepada anggota keluarganya

    dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo,

    (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan meliputi : a) Predisposing

    factor (faktor predisposisi) meliputi pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

    kesehatan, kepercayaan dan tradisi masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan

    dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat sosial ekonomi,

    dan tingkat pendidikan (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2007); b) Enabling

    faktor (faktor pemungkin) yaitu meliputi tersedianya sarana dan prasarana

    kesehatan bagi masyarakat termasuk rumah sakit, puskesmas, poliklinik,

    posyandu, posbindu, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta. Faktor ini

    pada dasarnya mendukung atau memungkingkan terwujudnya perilaku kesehatan;

    c) Reinforcing factor (faktor penguat) meliputi sikap dan perilaku tokoh

    masyarakat, tokoh agama, para petugas kesehatan yang ada di masyarakat, dan

  • 16

    juga termasuk undang-undang serta peraturan baik di pemerintahan pusat maupun

    daerah yang terkait dengan kesehatan.

    Menurut Williams (2007) dalam penelitian Rika Fatmadona (2013) proses

    interaksi keluarga sebagai caregiver dan anggota keluarga yang sakit dipengaruhi

    oleh faktor:

    a) Komitmen

    Komitmen merupakan penanda suatu hubungan yang erat dengan

    seseorang, terutama hubungan antara anggota keluarga yang sakit dengan

    keluarga sebagai caregiver. Terdapat 4 dimensi komitmen, yaitu:

    tanggung jawab, memprioritaskan pasien, memberikan dukungan, kasih

    sayang, dan keyakinan.

    b) Harapan

    Harapan terhadap kenyataan perlu dibangun oleh keluarga dalam

    membina hubungan anggota keluarganya.

    c) Penentuan Peran

    Dalam merawat anak dengan retardasi mental, keluarga akan menghadapi

    perawatan kompleks pasien yang memerlukan pembagian tanggung

    jawab. Dalam hal tersebut keluarga memerlukan penentuan peran dalam

    melakukan merawat anaknya.

    d) Hubungan Caregiving

    Keberhasilan proses perawatan juga ditentukan dengan hubungan yang

    terjalin antara keluarga sebagai caregiver dengan anak retardasi mental.

  • 17

    2.1.5 Dukungan bagi Keluarga dengan Anak Retardasi Mental

    Menurut Johns Hopkins Center (2014), dukungan sosial yang positif

    mempunyai peran penting pada kemampuan seseorang untuk membuat pilihan

    yang tepat. Dukungan sosial berarti seseorang mampu untuk menjadi orang yang

    dapat diandalkan oleh orang lain. Dukungan dari keluarga dan teman selama masa

    krisis akan memberikan efek emosial yang positif pada orang tersebut, dan

    dukungan ini juga berpengaruh terhadap kondisi fisik pada seseorang karena

    seseorang dalam keadaan stress akan memberikan efek peningkatan tekanan darah

    dan denyut nadi. Menurut Kendler (2005), dukungan sosial merupakan suatu

    kenyamanan secara fisik maupun emosional yang diberikan kepada seseorang,

    dan berasal dari keluarga, teman, atau orang yang berada di lingkungan sekitar.

    Keberadaan anak dengan retardasi mental memerlukan dukungan baik dari

    keluarga maupun ssstem sosial dimasyarakat. Keluarga yang menerima keadaan

    anaknya dengan retardasi mental akan tetap memberikan dukungan seperti

    perhatian dan kasih sayang (Napolion, 2010). Menurut Wall (1993), anak dengan

    retardasi mental memerlukan dukungan sosial dari keluarga serta orang

    disekitarnya untuk menunjang hubungannya dngan orang lain tetap berjalan dapat

    berupa bimbingan dan arahan dari keluarganya.

    2.1.6 Beban Keluarga dalam merawat anak retardasi mental

    Beban keluarga diartikan sebagai keadaan akibat ketidakseimbangan

    antara kebutuhan dan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan tersebut,

    kebutuhan yang dimaksud adalah sebuah stressor (Napolion, 2010). Beban

  • 18

    keluarga merupakan tinkat pengalaman distress keluarga karena adanya efek dari

    keberadaan anggota keluarga terhadap keluarganya (Pitryasari, 2009).

    terdapat dua jenis pengelompokkan beban keluarga menurut WHO (2008, dalam

    Pitryasari, 2009), yaitu:

    a. Beban objektif, merupakan beban yang berhubungan dengan pengalaman

    dan masalah anggota keluarga meliputi gangguan hubungan, kesulitan

    finansial, dan dampak negative terhadap kesehatan fisik salah anggota

    keluarga.

    b. Beban subyektif merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi

    psikologis setiap anggota keluarga yang terdiri dari rasa kehilangan, sedih,

    cemas, malu, stress, dan frustasi.

    Anak dengan retardasi mental akan menimbulkan masalah baik pada individunya

    sendiri maupun pada keluarganya (Napolion, 2010). Terdapat beberapa jenis

    beban yang dirasakan keluarga terhadap keberadaan anak retardasi mental, yaitu:

    a. Beban fisik yang dirasakan seperti kelelahan, dan keluhan lainnya

    b. Beban sosial dirasakan oleh keluarga saat masyarakat disekitarnya tidak

    menerima keberadaan mereka

    c. Beban waktu akan bertambah karena akan dihabiskan untuk memfokuskan

    dirinya pada anak yang mengalami retardasi mental

    d. Beban keuangan ini terkait dengan kebutuhan akan perawatan dalam

    jangka waktu yang panjang

  • 19

    2.1.7 Stigma Masyarakat tentang Anak Retardasi Mental

    Menurut Soemaryanto (1982, dalam Hamid,1993) menjelaskan stigma

    terhadap anak dengan retardasi mental sebagai hukuman akibat kesalahan orang

    tua, sehingga orang tua akan merasa malu dengan keadaan anaknya. Stigma

    menurut Corrigan dan Watson (2002), dibedakan menjadi dua golongan yaitu

    stigma dari masyarakat (public stigma) dan stigma pada diri sendiri (self stigma).

    Public stigma merupakan penilaian masyarakat terhadap kelompok tertentu,

    munculnya stigma ditunjukkan melalui perilaku dari masyarakat terhadap anak

    dengan retardasi mental dan termasuk ejekan serta hinaan dari masyarakat. Self

    stigma merupakan reaksi dan penilaian diri sendiri akibat suatu masalah yang

    berdasarkan pada penilaian negative dari lingkungannya.

    2.2 Konsep Retardasi Mental

    2.2.1 Pengertian Retardasi Mental

    Retardasi mental merupakan penyakit mental dengan karakteristik dari

    Intellegencia Quetient (IQ) dan gangguan perilaku adaptif, dengan munculnya

    manifestasi dalam masa perkembangan. Terdapat klasifikasi retardasi mental yaitu

    ringan dengan IQ 50-70, moderat atau sedang dengan IQ 35-50, berat dengan IQ

    20-35, dan sangat berat dengan IQ dibawah 20 (Dorland’s Medical Dictionary for

    Health Consumers, 2007).

    Menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD),

    mendefinisikan retardasi mental sebagai kelainan dengan fungsi intelektual umum

    dibawah rata-rata (sub-average) yaitu 84 kebawah berdasarkan tes IQ, muncul

  • 20

    sebelum usia 18 tahun dan menunjukkan hambatan dalam adaptasi (Ramawati,

    2011).

    Retardasi Mental memiliki beberapa sebutan yaitu tunagrahita atau

    disabilitas mental atau keterbelakangan mental. Semua itu memiliki arti yang

    sama. Retardasi mental merupakan kelainan yang meliputi fungsi intelektual

    umum dibawah rata-rata (IQ dibawah 84 sesuai hasil tes IQ) yang muncul

    sebelum usia 16 tahun dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif

    (Wijaya, 2013). Retardasi mental adalah salah satu bentuk gangguan mental,

    dengan karakteristik penderita memilik kecerdasan di bawah rata-rata dan

    mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan aktivitas sosial

    (Wiwin, dkk, 2006).

    2.2.2 Diagnosis Retardasi Mental

    Gejala yang ditimbulkan pada individu yang mengalami retardasi mental

    biasanya dengan gejala umum berupa gangguan fungsi adaptif atau

    ketergantungan. Orang dengan retardasi mental akan dibawa ke tenaga

    professional karena perilaku mereka dan hasil tes IQ yang rendah. Fungsi

    intelektual umum diukur dengan tes IQ dengan menggunakan standar tes dari

    Wechsler Intelligence Scale for Children-III (WISC-III). Apabila IQ 70 atau

    dibawah 70 (dengan 2 standar deviasi dibawah rata-rata) menunjukkan signifikan

    sub rata-rata. Skala tersebut juga telah dikembangkan untuk mengukur fungsi

    adaptif seperti Vineland Adaptive Behaviour Scale atau American Association on

    Mental Retardation Adaptive Behaviour Scale. Dalam Vineland Adaptive

  • 21

    Behaviour Scale, terdapat gabungan skor pada ketrampilan daily living,

    komunikasi, sosialisasi, dan ketrampilan motorik yang dihubungkan dengan skills

    yang diharapkan untuk seseorang pada usia tersebut. Skrining dengan

    menggunakan tes perkembangan menurut Denver seperti Denver Developmental

    Screening Test (DDST) merupakan salah satu metode skrining terhadap kelainan

    perkembangan anak. Aspek yang dinilai terdiri dari 105 tugas perkembangan pada

    DDST dan kemudian dilakukan revisi pada Denver II dengan melihat sektor

    bahasa, artikulasi bahasa, skala umur, dan skala penilaian tingkah laku (Howard,

    2000).

    2.2.3 Etiologi Retardasi Mental

    Menurut David (2004), penyebab terjadinya retardasi mental dibagi

    menjadi dua, yaitu penyebab biologis dan penyebab sosial. Penyebab biologis

    meliputi:

    1. kelainan kromosom, seperti Down syndrome, Fragile X syndrome,

    Klinefelter syndrome, Cri-du-chat syndrome, dan Turner syndrome.

    2. Pewarisan faktor genetic yang dominan, seperti Neurofibromatosis,

    Khorea Huntington, sindrom Sturge-Weber, tuberculosis.

    3. Gangguan metabolic, seperti fenilketonuria, penyakit Hartnup,

    intoleransi fruktosa, galaktosemia, gangguan lipid, hipotiroidisme, dan

    hipoglikemia.

    4. Gangguan prenatal, seperti infeksi Rubella, sifilis, penggunaan obat

    (misalnya talidomid), toksemia pada kehamilan, malnutrisi pada ibu.

  • 22

    5. Trauma kelahiran terjadi karena proses selama kelahiran yang sulit,

    dan prematuritas.

    6. Trauma pada otak, terjadi akibat infeksi, tumor, trauma fisik,

    hidrosefalus.

    Penyebab sosial yang terjadi pada anak sebagian besar menyebabkan

    retardasi mental ringan, meliputi tingkat pendidikan dibawah rata-rata, deprivasi

    lingkungan, dan kekerasan pada anak.

    Menurut Howard (2000), kasus terbanyak yang menyebabkan retardasi

    mental adalah Down syndrome, Fragile X syndrome, dan Fetal alcohol syndrome.

    a. Down syndrome

    Dideskripsikan sebagai mongolism pada tahun 1866, dengan insiden 1 dari

    650 kelahiran yang menderita down syndrome (Howard, 2000). Terdapat tiga

    tipe kromosom dari down syndrome yang teridentifikasi, yaitu :

    1. Trisomy 21 (hamper sekitar 95% dari kasus) dihasilkan saat tidak ada

    pertemuan dari kromosom 21 selama miosis. Insiden ini dihubungkan

    dengan umur kelahiran.

    2. The second mayor form yaitu tipe translokasi dikarenakan adanya

    penyatuan dari 2 kromosom biasanya pada kromosom 21 dan 15. Total

    kromosom yang dihasilkan menjadi 46 dikarenakan adanya ekstra

    kromosom yang menyatu dengan yang lainnya.

  • 23

    3. Mosaicism, paling sedikit dari tipe down syndrome lainnya, disebabkan

    karena tidak adanya pertemuan dari kromosom 21 setelah fertilisasi selama

    mitosis awal.

    b. Fragile X syndrome

    Ini keadaan yang biasa muncul yang diturunkan secara herediter sebagai

    penyebab retardasi mental. Gen FMR-1 termasuk trinikeotide membentuk

    ulang cytosine guanine-guanine residu (CGG). Normalnya terdapat 50-500

    pengulangan dari CGG. Saat ada 50-500 pengulangan tanpa ekspresi gen,

    tetapi raangkaian pengulangan semakin membesar pada transmisi (dynamic

    mutation), pengulangan mungkin membesar sampai 3000 yang dihubungkan

    dengan retardasi mental. Karakteristik klinik yang muncul termasuk wajah

    panjang dengan mid facial hypoplasia, telinga melebar, testis membesar, dan

    hyperextensible sendi. Masalah prilaku yang muncul yaitu learning disability,

    kerusakan dalam berbahasa, Attention Deficit Hyperactivity Disorder

    (ADHD), dan perilaku austic.

    c. Fetal alcohol syndrome

    Fetal alcohol syndrome (FAS) disebabkan karena penggunaan alkohol selama

    masa kehamilan. Meskipun terdapat dosis alkohol yang dapat ditoleransi oleh

    fetus, tetapi tetap mempunyai resiko tinggi yang dihubungkan dengan adanya

    abnormalitas. Ciri klinis yang muncul yaitu kegagalan dalam tumbuh,

    abnormalitas jantung, micro sepali, midface abnormalities, hiperaktivitas,

    kerusakan dalam berbahasa, eating disorder, ansietas dan depresi.

  • 24

    2.2.4 Tanda dan Gejala Retardasi Mental

    Terdapat banyak tanda dan gejala dari anak dengan keterbatasan

    intelektual. Tanda awal mungkin muncul selama masa pertumbuhan, atau anak

    tidak memperlihatkan perbedaan sampai mereka memasuki usia sekolah, tetapi

    hal ini berbeda pada anak yang mengalami retardasi mental sangat berat yang

    akan langsung diketahui saat anak dilahirkan, karena anak akan membutuhkan

    perawatan khusus dari tenaga kesehatan untuk perawatan mereka. Anak dengan

    retardasi mental sangat berat memiliki gangguan selain dari rendahnya IQ, dan

    mengalami gangguan dari fisiknya seperti tidak dapat berbicara dan berjalan

    (Derrer, 2013).

    Tanda yang sering muncul pada anak dengan retardasi mental, yaitu

    memiliki keterlambatan untuk berguling, duduk, merangkak, kesulitan dalam

    berbicara, pemenuhan activity daily living (makan, berpakaian, berdandan, BAB

    dan BAK), sulit untuk mengingat sesuatu, tidak mampu menghubungkan tindakan

    yang dilakukan dengan akibat yang ditimbulkan, mudah emosi, dan kesulitan

    dalam menyelesaikan suatu masalah (Derrer, 2013)

    2.2.5 Klasifikasi Retardasi Mental

    DSM-IV menguraikan terdapat 4 level dari retardasi mental. Retardasi

    mental yang tidak dispesifikkan tingkat keparahannya memiliki kondisi yang

    dianggap sebagai retardasi mental tetapi individu tersebut tidak dapat dilakukan

    standar tes karena terlalu lemah atau tidak koorperatif. Berikut klasifikasi dari

    retardasi mental.

  • 25

    1) Retardasi mental ringan rata-rata dalam pendidikan masih dikatagorikan yang

    dapat dididik. Rata-rata dari semua jenis retardasi mental, sekitar 85%

    mengalami retardasi mental ringan. Dalam grup, orang dengan retardasi

    mental ringan merupakan tipikal yang dapat mengembangkan sosialisasi dan

    ketrampilan komunikasi dalam masa prasekolah (umur 0-5 tahun), mempunyai

    sedikit kerusakan pada sensori motorik, dan tidak dapat langsung dikenali dari

    anak tanpa retardasi mental dan akan tampak setelah umur 10 tahun keatas,

    mereka dapat memperoleh pelajaran sampai kelas 6. Selama masa dewasa

    dapat menerapkan ketrampilan sosial dan ketrampilan pendidikan dengan

    dukungan yang sedikit, tetapi perlu pegawasan, petunjuk serta bantuan

    khususnya untuk level ekonomi yang rendah. Dengan dukungan yang

    memadai, orang dengan retardasi mental ringan dapat hidup dalam masyarakat

    dengan tidak ketergantungan atau dengan pengawasan.

    2) Retardasi mental sedang rata-rata dalam pendidikan dikategorikan yang dapat

    dilatih. Terdapat sekitar 10% dari semua jenis retardasi mental, termasuk

    dalam retardasi mental ringan sedang. Kebanyakan orang dengan retardasi

    mental sedang memperoleh ketrampilan komunikasi selama masa kanak-

    kanak. Mereka mendapatkan manfaat dari latihan pendidikan dengan

    pengawasan yang lebih dan dapat melakukan kebersihan diri mereka. Selama

    masa dewasa mereka sulit mengenali ketentuan dalam sosialisasi yang dapat

    mengganggu hubungan dengan temannya.

    3) Retardasi mental berat terdapat sekitar 3-4% dari semu jenis retardasi mental.

    Selama masa kanak-kanak, mereka memperoleh sedikit atau tidak sama sekali

  • 26

    komunikasi. Selama masa sekolah mereka mungkin belajar untuk berbicara.

    Selama masa dewasa mereka, mereka mungkin memperlihatkan tugas yang

    mudah dengan pengawasan yang dekat.

    4) Retardasi mental sangat berat ditemukan kira-kira 1-2% dari orang dengan

    retardasi mental. Kebanyakan orang dengan retardasi mental sangat berat yang

    dikenali dari kondisi neurological. Selama masa kanak-kanak mereka

    memperlihatkan kerusakan dalam fungsi sensorimotorik. Perkembangan yang

    optimal mungkin terjadi dalam lingkungan yang baik dan mempunyai

    hubungan yang dekat dengan caregiver.

    5) Retardasi mental yang tidak dispesifikkan dianggap retardasi mental apabila

    seseorang tidak bisa lulus dalam tes intelligence standar. Hal ini mungkin

    dikarenakan saat anak-anak sampai masa dewasa mengalami kerusakan yang

    berat atau tidak koorperatif saat di tes atau saat bayi secara signifikan

    ditemukan fungsi intelektual dibawah rata-rata tetapi dalam tes (dengan Bayle

    Scales untuk perkembangan bayi, Cattell infant intelligence scales) tidak

    disimpulkan hasil nilai IQ. Secara umum lebih sulit diperkirakan pada umur

    muda yang memperlihatkan cirri-ciri retardasi mental kecuali kerusakan yang

    sangat berat.

  • 27

    Table 1. Kriteria Diagnosis Retardasi Mental

    DSM-IV kriteria diagnosis untuk retardasi mental

    a. Secara signifikan ditemukan intelektual dibawah rata-rata : dengan IQ diperkirakan 70 atau dibawah itu yang secara individu dilakukan tes IQ (untuk bayi, secara klinis

    diputuskan berada pada level ini)

    b. Kelainan ditujukkan dari fungsi adaptif diperlihatkan paling sedikit 2 ketrampilan : komunikasi, self-care, home living, sosial/interpersonal skills, penggunaan sumber

    komunitas, self-direction, ketrampilan fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang,

    kesehatan dan keamanan

    c. Onset retardasi mental kurang dari 18 tahun

    Kode didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan level kelemahan intelektual :

    Retardasi mental ringan : dengan tingkat IQ 50-55 sampai dengan 70

    Retardasi mental sedang : dengan tingkat IQ 35-40 sampai dengan 50-55

    Retardasi mental berat : dengan tingkat IQ 20-25 sampai dengan 35-40

    Retardasi mental sangat berat : dengan tingkat IQ dibawah 20 atau 25

    Retardasi mental yang tidak dispesifikkan keparahannya, dimana dianggap sebagai retardasi

    mental tetapi dari intelektual individu tidak dapat dites dengan standar tes.

    Sumber : (Howard, 2000)

    Table 2. Karakteristik Level Retardasi Mental Anak Usia Sekolah

    Derajat keparahan Persentase dari

    keseluruhan dengan

    retardasi mental

    Usia sekolah dan remaja (Elementary

    school and adolencence)

    Sangat berat : IQ dibawah

    20-25

    1-2% Mungkin berbicara dan pengembangan

    motorik

    Berat : IQ 20-25 sampai

    dengan 35-40

    3-4% Mungkin belajar berbicara dan

    ketrampilan self-care

    Sedang : IQ 35-40 sampai

    dengan 50-55 (trainable)

    10% Dapat mempelajari ketrampilan kelas dua,

    ketergantungan dalam perjalanan ke

    tempt yang familiar, dapat diberikan

    vocational training

    Ringan : IQ 50-55 sampai

    dengan 70 (educable)

    85% Umur belasan memperoleh ketrampilan

    kelas 6

    Sumber : (Howard, 2000)

  • 28

    2.2.6 Upaya yang dapat dilakukan pada Anak Retardasi Mental

    Penatalaksanaan untuk individu dengan retardasi mental adalah bersifat

    multidisiplin termasuk dalam pendidikan, pengucapan dan bahasa, bimbingan

    ketrampilan, dan intervensi perilaku. Merancang strategi pendekatan bagi anak

    secara individual dapat mengembangkan potensi anak tersebut. Anak dengan

    retardasi mental ringan dapat dikembangkan pada ketrampilan kelas 6 dan

    mengembangkan sosialisasinya serta pelatihan ketrampilan baik sebagian atau

    ketergantungn penuh. Anak dengan retardasi mental ringan sampai sedang dapat

    dikembangkan pada ketrampilan kelas 2 dan belajar pelatihan ketrampilan dengan

    dukungan. Anak retardasi mental berat dan sangat berat dapat dilakukan self-care

    yang rutin. Terapi perilaku dengan penguatan perilaku adaptif dan mengurangi

    perilaku maladaptif. Terapi relaksasi dapat diberikan untuk menurunkan atau

    mengontrol ansietas anak. Terapi farmakologi mungkin dapat diberikan secara

    individu pada anak dengan retardasi mental, termasuk apabila anak mempunyai

    masalah lainnya seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dapat

    diberikan obat stimulansia (seperti methilpenidate), stereotype movement (dapat

    diberikan obat antipsikotik), dan perilaku mencederai diri sendiri (dapat diberikan

    obat naltrexone, lithium, antikonvulsan) (Howard, 2000). Anak-anak dengan

    retardasi mental memerlukan perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin,

    imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya. Apabila anak-anak

    retardasi mengalami gangguan fisik, orang tua dapat mengajak anaknya untuk

    pengobatan maupun rehabilitasi (Soetjiningsih, 2012).

  • 29

    Keluarga juga memiliki pengaruh yang besar dalam penatalaksanaan anak

    dengan retardasi mental. Apabila orang tua belum menerima kondis anaknya, hal

    ini tentunya berpengaruh juga pada perawatan dari orang tua pada anaknya.

    Keluarga memiliki peran penting dalam hal perawatan dirumah dan dalam

    pemberian dukungan secara moral untuk anaknya. Keluarga yang memiliki

    pengalaman lebih dalam merawat anak retardasi mental akan dapat membantu

    anak dalam perkembangannya dan hal ini akan mengurangi stress bagi setiap

    anggota keluarga. Menurut Issacs (2005), dukungan terapeutik pada anak yang

    mengalami retardasi mental dapat diberikan melalui psikoterapi individu, terapi

    bermain, dan juga pendidikan khusus seperti Sekolah Luar Biasa. Pencegahan

    primer yang dapat dilakukan seperti imunisasi saat masa kehamilan dan imunisasi

    pada anak, pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat, konseling kehamilan

    dan persalinan, perbaikan gizi ibu, dan pemeriksaan kehamilan secara rutin.

    Pencegahan sekunder yang dapat dilakukan adalah deteksi dini pada anak yang

    mengalami kesulitan di sekolah sehingga dapat diberikan tindakan yang tepat,

    seperti program bimbingan dari sekolah.

    2.3 Pengalaman Keluarga dalam Merawat Anak dengan Retardasi Mental

    Keberadaan anak retardasi mental di tengah keluarga memerlukan perhatian

    yang khusus dari keluarga maupun masyarakat sekitar. Anak dengan retardasi

    mental memerlukan bantuan dalam perilaku adaptif sosial seperti menyesuaikan

    diri ditengah masyarakat. Keterbatasan anak tersebut terkadang memberikan

    masalah bagi keluarganya maupun masyarakat (Napolion, 2010). Namun keluarga

    yang menyadari tentang keterbatasan yang dimiliki oleh anak retardasi mental

  • 30

    merupakan faktor untuk membantu dalam perkembangan anak dengan support

    system dari keluarga. Gray (2003, dalam Fitryasari; 2009) menyatakan bahwa ibu

    akan merasa bersalah dan menjadi depresi dengan kecacatan yang dialami oleh

    anaknya. Ibu akan merasa lebih stress dan emosional dibandingkan dengan ayah

    dikarenakan ayah lebih rasional dalam berpikir dan bertindak, serta ayah memiliki

    waktu yang lebih minimal dalam merawat anak dibandingkan dengan ibu.

    Leo Kanner (2002), menjelaskan terdapat salah satu anak (usia 8 tahun)

    yang dibawa oleh orang tuanya ke kliniknya, orang tuanya menjelaskan bahwa

    anaknya mengalami penurunan dalam nilai akademiknya. Kemudian setelah

    dilakukan beberapa tes, anaknya didiagnosa mengalami retardasi mental dengan

    IQ dibawah 75. Orang tua Anak J mengalami fase denial dimana terjadi penolakan

    akan keadaan dari anaknya. Orang tua Anak L, juga mengalami hal yang sama,

    anaknya mengalami penurunan dalam akademiknya dan tidak naik kelas. Orang

    tuanya menjadi marah dan terus memberi tekanan pada anaknya. Hal ini membuat

    anak menjadi stress dan memberontak. Orang tuanya semula menganggap

    anaknya normal dan masih menyalahkan sistem di sekolah yang kurang baik

    sehingga anaknya tidak mendapat pelajaran akademik dan ketrampilan dalam

    kehidupan sehari-hari sebagaimana mestinya. Hal ini ternyata mempengaruhi

    aktivitas anak sehari-hari. Anak L ternyata tidak mendapatkan pengajaran dari

    orang tuanya dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari (Blacher & Bruce,

    2002).

    Dalam wawancara dan observasi yang dilakukan oleh Mattew, seorang

    ayah dari anak J yang berumur dua belas tahun, menderita intellectual disability

  • 31

    dan epilepsi. An. J mengalami perkembangan yang normal dan pada umur tiga

    tahun An. J mengalami kejang yang tidak dapat dikontrol yang menyebabkan

    masalah pada otaknya dan berdampak pada fungsi intelektual dan perilakunya.

    An. J memerlukan bantuan dalam berpakaian, makan serta toileting, dan ayahnya

    harus memperhatikannya apabila dia melepas pakaiannya. Ayahnya selalu tahu

    apa yang sedang dia lakukan, tetapi ayahnya merasa bahwa ini sulit karena An. J

    juga mempunyai saudara perempuan. Ayahnya harus memperhatikan apa yang dia

    lakukan untuk memastikan dia tidak melakukan tindakan yang agresif pada

    saudaranya. Ayahnya memutuskan untuk memanggil kerabat dekatnya, untuk

    membantu merawat An. J. Ayahnya harus memastikan semua pekerjaan rumah

    sudah selesai sebelum An. J pulang kerumah, seperti membuat makan malam.

    Ayahnya An. J mengatakan, “yang saya tahu, kebanyakan orang tua yang

    memiliki anak dengan keterbatasan intelektual memiliki saat-saat yang sulit dan

    kamu akan merasa menjadi orang tua yang gagal”. Ayah An. J tetap tersenyum

    walaupun keadaan anaknya seperti sekarang, karena An. J juga memiliki selera

    humor yang baik (Mattew, 2011).

    Merawat anak yang normal merupakan suatu keadaan yang menguntungkan

    bagi kebanyakan orang tua, tetapi merawat anak dengan keterbatasan mental

    sering dirasa sedikit menyulitkan dan memerlukan perawatan yang tepat. Dalam

    wawancara dan observasi yang dilakukan oleh Garisto pada Kathryn McKellar

    dan suaminya, mereka memiliki anak bernama Jackie. Jackie didiagnosa

    mengalami retardasi mental saat usianya lima tahun. Mereka merasa berat karena

    anaknya tidak berkembang secara normal seperti anak lainnya. McKellar

  • 32

    mengatakan pada suaminya, “kita harus mengajari Jackie bagaimana caranya

    duduk dan merangkak”. Karena Jackie memiliki kesulitan dalam proses

    sensorinya untuk menerima informasi, apapun hal yang baru seperti terlihat sulit

    dan menakutkan bagi dirinya. McKellar juga mengatakan, “saat pertama kali saya

    mengajarinya untuk mengambil sendok dan belajar untuk makan sendiri, dia

    hanya berdiam diri saja, hal ini membuat saya semakin sulit dalam

    memberikannya pengarahan”. McKellar dan suaminya memutuskan untuk cuti

    semantara dari pekerjaannya untuk memudahkan mereka dalam meluangkan

    waktu bagi anaknya (Garisto, 2002).

    Dalam penelitian yang dilakukan oleh Napolion (2010) mengenai

    pengalaman keluarga dalam merawat anak tunagrahita terdapat berbagai macam

    respon dari keluarga yang memilki anak tunagrahita. Keluarga pertama merasa

    kaget (shock) karena hal ini pertama kalinya dirasakan oleh mereka saat

    mengetahui anaknya menderita tunagrahita. Keluarga kedua mengatakan merasa

    sedih dan menyalahkan Tuhan. Keluarga ketiga mengatakan melakukan upaya-

    upaya pada anak mereka seperti mengunjungi tenaga professional dan tempat

    pelayanan kesehatan (praktek dokter, puskesmas dan rumah sakit) untuk

    mendapatkan penjelasan dan upaya yang harus dilakukan pada anaknya. Keluarga

    lainnya mengatakan juga membawa anak mereka ke pengobatan tradisional.

    Merawat anak berkebutuhan khusus merupakan hal yang memerlukan

    ketelitian dan kesabaran. Hal pertama yang memberikan kesulitan pada orang tua

    saat menyuruh anaknya untuk makan ataupun pergi ke toilet, begitu pula pada

    anak dengan retardasi mental. Anak retardasi mental memang memiliki masalah

  • 33

    pada perilaku adaptifnya. Orang tua dapat memberikan perintah yang dapat

    dimengerti oleh anaknya dan mengajarkan bagaimana cara melakukan aktivitas

    self-care nya agar nantinya anak tidak menjadi ketergantungan dengan orang lain.

    Hal ini memang memerlukan waktu bagi anak untuk belajar sehingga dapat

    melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang ketat (Azizah, 2013).

    Menurut National Dissemination Center for Children with Disabillities

    (2011), terdapat beberapa saran untuk orang tua yang memiliki anak dengan

    retardasi mental, yaitu :

    1. Orang tua dapat belajar mengenai retardasi mental, semakin banyak diketahui

    semakin dapat membantu diri sendiri dan anak.

    2. Dorong perilaku ketidaktergantungan dari anak, contohnya membantu anak

    mempelajari ketrampilan daily-care seperti memakai pakaian, makan sendiri,

    menggunakan toilet dan berdandan.

    3. Berikan anak tugas sesuai dengan umurnya dan kemampuannya. Memberikan

    tugas dapat dimulai dari tahap yang sangat mudah, seperti mengatur meja

    makan, pertama tanyakan anak berapa serbet yang diperlukan, lalu

    menyuruhnya untuk meletakkan disetiap tempat sesuai dengan jumlah anggota

    keluarga. Beritahu anak tahap demi tahap sampai tugas yang diberikan selesai.

    Tunjukkan terlebih dahulu caranya, dan bantu anak apabila diperlukan.

    4. Cari tahu ketrampilan yang anak dapatkan disekolah dan lakukan pengulangan

    ketrampilan dirumah.

    5. Temukan peluang dalam masyarakat untuk melakukan aktivitas sosial,

    kemudian bantu anak untuk bersosialisasi.

  • 34

    6. Bertemu dengan guru disekolah untuk membuat rencana tentang apa yang

    anak perlukan dan cari tahu bagaimana cara untuk dapat mendukung anak

    tentang pembelajaran disekolah saat dirumah.