Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jerami Padi
Menurut Badan Pusat Statistik (2016), luas sawah padi di Indonesia pada
tahun 2015 mencapai 14,12 juta ha dengan produksi padi nasional mencapai 75,40
juta ton, sedangkan untuk Jawa Barat luas sawah mencapai 1,86 juta ha dengan
produksi padi mencapai 11,39 juta ton. Adapun data jumlah produksi padi dan luas
lahan sawah padi selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah
jerami yang dapat dihasilkan di Indonesia diperkirakan mencapai 113,1 juta ton,
sedangkan untuk daerah Jawa Barat diperkirakan mencapai 17,1 juta ton. Data
produksi jerami padi selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.
Menurut Makarim (2007), jumlah jerami padi memang cukup banyak
bergantung pada luas pertanamannya. Perbandingan antara bobot gabah yang
dipanen dengan jerami pada saat panen pada umumnya adalah sebesar 2:3. Jika
produksi gabah nasional pada tahun 2018 sebesar 75,39 juta ton seperti tertera pada
Tabel 1, maka diperoleh 113,1 juta ton jerami pada tahun tersebut.
Tabel 1. Jumlah Produksi Padi Tahun 2014-2018
No Wilayah Tahun (Ton)
2014 2015 2016 2017 2018
1. Jawa Barat 11.645.178 11.372.301 13.874.207 13.814.152 9.545.153
2. Indonesia 70.849.171 75.396.963 79.141.325 81.382.451 56.541.365
(Sumber : Badan Pusat Statistik, 2018)
Jerami merupakan limbah pertanian terbesar serta belum sepenuhnya
dimanfaatkan karena adanya faktor teknis dan ekonomis. Pada sebagian petani,
jerami sering digunakan sebagai mulsa pada saat menanam palawija. Hanya
sebagian kecil petani menggunakan jerami sebagai pakan ternak alternatif di kala
musim kering karena sulitnya mendapatkan hijauan. Jerami sebagai limbah
pertanian sering menjadi permasalahan bagi petani, sehingga sering di bakar untuk
mengatasi masalah tersebut.
6
Produksi limbah pertanian, khususnya jerami padi di Indonesia cukup besar
seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi
masyarakat khususnya petani untuk mengembangkan dan memanfaatkan
keberadaan limbah tersebut agar memberikan keuntungan yang lebih besar.
Masyarakat khususnya petani harus membuka wawasannya terhadap pemanfaatan
limbah-limbah pertanian yang mereka hasilkan.
Makarim (2007) menyatakan jerami padi adalah bagian vegetatif dari
tanaman padi (batang, daun, tangkai malai). Jerami padi terdiri dari atas daun,
pelepah daun, dan ruas atau buku. Ketiga unsur ini relatif kuat karena mengandung
silika dan selulosa yang tinggi serta memerlukan waktu yang relatif lama untuk
proses pelapukan. Proses pelapukan tersebut dapat dipercepat apabila jerami diberi
perlakuan seperti pemberian urea, pemberian kapur, dan pemberian bakteri
perombak bahan organik. Gambar Jerami dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Jerami Padi
(Sumber: Dokumentasi Penelitian)
7
2.2 Mesin Pencacah Jerami
Mesin pencacah (crusher/chopper) merupakan teknologi tepat guna sebagai
solusi untuk mengatasi rendahnya produktivitas kelompok tani dalam proses
pengolahan kompos. Mesin pengecil ukuran ini dapat digunakan untuk membantu
proses pencacahan dan penghalusan bahan organik. Mesin ini termasuk kategori
tepat guna yang mudah dioperasikan dan dirawat (Sa’diyah dkk., 2015).
Mesin pencacah mempunyai lima komponen utama, yaitu rangka besi
(body), pisau pemotong/penghancur, saluran masuk (inlet/hopper), saluran keluar
(outlet)dan motor penggerak/diesel. Prinsip kerja mesin ini adalah mencacah bahan
organik yang masuk ke dalam ruang pencacah menggunakan pisau pemotong yang
diputar oleh motor penggerak dan mengeluarkan hasilnya melalui saluran
pengeluaran (Sa’diyah dkk., 2015).
Gambar 3. Mesin Pencacah Jerami Padi
(Sumber: Juliya, 2018)
2.3 Mekanisme Kerja Mesin Pencacah
Pertama motor diesel dihidupkan, mengakibatkan putaran dari motor
memutar pulley dan sabuk transmisi akan menggerakkan pulley pada mesin yang
mengakibatkan poros mesin berputar. Poros tersebut akan memutar pisau
penghancur yang terpasang pada poros. Mekanisme seperti ini maka jerami yang
dimasukkan melalui hopper akan terpotong atau hancur. Setelah jerami hancur
8
jerami halus akan diserap melalui kipas (blower) maka jerami akan melewati
saringan untuk kemudian akan di keluarkan melalui ekstruder dengan bantuan
screw yang berputar pada porosnya. Perputaran screw yaitu dengan menggunakan
pulley yang dihubungkan pada poros pisau penghancur, namun sabuk transmisi
tidak langsung terhubung dengan poros pulley. Tetapi sabuk transmisi terhubung
oleh reducer terlebih dahulu, yaitu untuk mengatur perputaran poros screw supaya
tidak terlalu cepat, dan hasil pencacahan yang diterima dari saringan keluar dengan
sempurna melalui ekstruder.
2.4 Uji Kinerja
Uji kinerja mesin pencacah jerami bertujuan untuk mengevaluasi
kemampuan mesin tersebut yang dioperasikan pada kondisi optimum. Pengukuran
parameter yang dilakukan untuk mengetahui unjuk kerja mesin pencacah jerami
yang meliputi: kapasitas teoritis mesin, kapasitas aktual mesin, efisiensi mesin,
konsumsi bahan bakar, konsumsi daya, energi spesifik, rendemen pencacahan,
persentase pancang cacahan, tingkat kebisingan, dan getaran.
2.4.1 Kapasitas Teoritis Mesin Pencacah Jerami
Kapasitas teoritis mesin pencacah jerami ini dapat dihitung menggunakan
Persamaan 1 (Srivastava, 1993), yaitu :
Kt = 𝜌𝑗 ×𝐴𝑡 ×𝐿𝑡 ×𝜆𝑘 ×𝑁𝑐
6 ×103
Keterangan :
Kt = Kapasitas teoritis mesin (kg/jam)
ρj = Densitas kamba jerami (kg/m3)
Nc = Kecepatan putar silinder pencacah (rpm)
At = Luas area pencacahan (m2)
Lt = Panjang potongan teoritis (m)
λk = Jumlah pisau
Kecepatan pengumpanan dapat dihitung dan direncanakan dengan
menggunakan Persamaan 2 (Srivastava, 1993), yaitu :
(1)
(2)
9
Vf = 𝐿𝑡 × 𝜆𝑘 ×𝑁𝑐
60
Kerapatan kamba jerami dihitung dengan menggunakan Persamaan 3
(Rusendi, dkk 2015).
ρj = 𝑀𝑏
𝑉𝑏
Keterangan:
Mb = Massa jerami dalam wadah (kg)
Vb = Volume wadah (m3)
2.4.2 Kapasitas Aktual Pencacah Jerami
Kapasitas aktual mesin pencacah jerami dapat dihitung dengan Persamaan
4 (SNI 7580:2010), yaitu :
Ka =M𝑏𝑐
t𝑝× 3600
Keterangan :
Ka = Kapasitas aktual pencacahan (kg/jam)
Bbc = Massa total bahan cacahan yang keluar dalam waktu tertentu (kg)
tp = Waktu yang ditentukan untuk menampung bahan (s)
2.4.3 Efisiensi Mesin Pencacah Jerami
Efisiensi adalah perbandingan antara kapasitas aktual dengan kapasitas
teoritis. Efisiensi pencacahan dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 5
(SNI 7580:2010), yaitu :
η =Ka
Kt
Keterangan :
η = Efisiensi mesin
Ka = Kapasitas aktual (kg/jam)
Kt = Kapasitas teoritis (kg/jam)
(4)
(5)
(3)
10
2.4.4 Konsumsi Bahan Bakar
Pngukuran konsumsi bahan bakar dilakukan untuk mengetahui volume
bahan bakar yang dikonsumsi oleh mesin untuk proses operasi pencacahan per
satuan waktu, dengan menggunakan metode gravimetri. Konsumsi bahan bakar
mesin dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 6 (SNI 7580:2010), yaitu :
FC =FV
t2
Keterangan:
FC = Konsumsi bahan bakar (liter/jam)
FV = Volume bahan bakar (liter)
T2 = Waktu beroperasi motor penggerak (jam)
2.4.5 Konsumsi Daya Teoritis
Konsumsi daya aktual mesin pencacah jerami dapat dihitung dengan
menggunakan Persamaan 7 (SNI 7580:2010), yaitu :
Pap = FC × NK
Keterangan :
Pap = Konsumsi daya teoritis (kJ/jam)
FC = Konsumsi bahan bakar (kg/jam)
NK = Nilai kalor bahan bakar (kJ/kg)
Untuk mengetahui seberapa berat bahan bakar yang digunakan dalam
setiap proses pencacahan dapat dikonversikan dengan menggunakan Persamaan
sebagai berikut :
FC = 𝐹𝐶 × 𝜌𝑏𝑏
1000
Keterangan:
FC = Konsumsi bahan bakar (kg/jam)
FC = Konsumsi bahan bakar (L/jam)
ρbb = Densitas bahan bakar (kg/m3 )
(6)
(7)
11
2.4.6 Energi Spesifik
Energi spesifik pencacahan dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan
8 (Smith, 2000), yaitu :
Esp =Pap×3600
Kap
Keterangan :
Esp = Energi spesifik pencacahan (kJ/kg)
Pap = Daya Aktual (kW)
Kap = Kapasitas aktual (kg/jam)
2.4.7 Rendemen Pencacahan
Uji rendemen dilakukan dengan mempesentasikan panjang jerami yang
tercacah dengan keseluruhan jerami yang dimasukan ke dalam mesin. Persentase
rendemen dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 9 (SNI 7580:2010),
yaitu :
𝑅 =𝑀𝑡
𝑀𝑖𝑛
Keterangan :
R = Rendemen bahan
Mt = Massa cacahan jerami padi yang keluar (kg)
Min = Massa jerami padi yang masuk (kg)
2.4.8 Tingkat Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki telinga karena
dalam jangka pendek dapat mengurangi ketenangan kerja, mengganggu
konsentrasi, dan menyulitkan komusikasi. Dampak gangguan ini dalam jangka
panjang dapat menyebabkan kerusakan pendengaran (Sutalaksana dkk, 2006).
Pengukuran tingkat kebisingan di suatu tenmpat atau pada suatu mesin dapat
dilakukan dengan menggunakan alat yaitu Soundlevel Meter. Berdasarkan Standar
Nasional Indonesia 7580:2010 mengenai pengukuran kebisingan dalam pengujian
mesin, pengukuran kebisingan dilakukan dengan menempatkan alat pengukuran
(8)
(9)
12
kebisingan di dekat telinga operator dengan jarak kira-kira 1-2 meter dari sumber
suara.
Hubungan intensitas kebisingan dengan lama jam kerja per harinya sesuai
dengan standar tingkat kebisingan berdasarkan OSHA 1910.95 (Occupational
Safety and Health Administration) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hubungan Intensitas Kebisingan dengan Lama Jam Kerja per Hari
Jam Kerja/Hari Tingkat Kebisingan
8 90
6 92
4 95
3 97
2 100
1,5 102
0,5 110
0,25 115
(Sumber : OSHA 1910.95)
Tabel 2. menunjukan bahwa tingkat kebisingan berpengaruh terhadap durasi
atau lamanya jam kerja, dimana semakin besar tingkat kebisingan maka jumlah jam
kerja per hari akan semakin menurun. Misalnya jika tingkat kebisingan dibawah 90
dB maka jumlah jam kerja per hari mengalami penurunan yaitu selama 2 jam kerja
per hari.
Berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja dengan No.
Kep51/MEN/1990 lamanya kerja perhari berdasarkan tingkat kebisingan mesin
dapat dilihat pada Tabel 3. Kebisingan yang diakibatkan oleh mesin tidak boleh
lebih dari 140 dB walaupun hanya sesaat karena tingkat kebisingan tersebut akan
mengakibatkan gangguan pendengaran pada operator.
13
Tabel 3. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Pemaparan
Kerja/Hari
Intensitas Kebisingan
(dB)
Keterangan
8 Jam 85
Sangat Hiruk 4 88
2 91
1 94
30 Menit 97
Menyebabkan Tuli 15 100
7,5 103
3,75 106
1,88 109
Menyebabkan Tuli 0,94 112
28,12 Detik 115
14,06 118
7,03 121
Kerusakan Alat
Pendengar
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
(Sumber : Kepmennaker Nomor 51 Tahun 1999)
2.4.9 Getaran
Getaran oleh peralatan atau mesin dapat mencapai operator atau pekerja
melalui beberapa cara, diantaranya getaran yang dihantarkan keseluruh tubuh
pekerja melalui badan mesin yang bergetar yang dikenal dengan istilah whole body
vibration. Cara yang lainnya, getaran dihantarkan melalui salah satu bagian tubuh
pekerja yang dalam banyak kasus adalah melalui tangan, pergelangan tangan,
lengan atau melalui kaki yang dikenal dengan istilah hand vibration (Sanders and
Cosmick, 1987).
Pengaruh getaran terhadap operator adalah timbulnya sindroma getaran
(vibration syndrome) atau lebih populer dengan istilah mati rasa pada tangan atau
jari yang disebabkan turunnya aliran darah ke jari tangan atau tangan operator.
14
Mengurangi efek negatif akibat penggunaan peralatan yang menimbulkan getaran
dianjurkan untuk tidak melakukan kontak dengan getaran 50% dari waktu kerja atau
dianjurkan beristirahat setiap 1-1,5 jam dengan gemastik tangan antara 5-10 menit
(Istigno, 1971). Klasifikasi getaran yang terjadi pada mesin mengacu pada ISO
20816-1 : 2006 seperti yang tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Pedoman untuk Besarnya Getaran pada Mesin dengan Daya Kecil (Daya
Kurang dari 15 kW)
Good 0 – 0,71 mm/s
Aceptable 0,72 – 1,81 mm/s
Still permissible 1,81 – 4,5 mm/s
Dangerous >4,5 mm/s
(Sumber : ISO 20816-1 : 2006)
2.4.10 Syarat Uji Mesin dan Kualitas Hasil Cacahan
Syarat uji mesin dan kualitas hasil cacahan yang dihasilkan oleh mesin
cacahan berdasarkan standar uji SNI 7580: 2010 tentang mesin Penghancur
(Crusher) Bahan Baku Pupuk Organik – Syarat mutu dan Cara Uji disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Syarat Uji Mesin Pencacah bahan Pupuk Organik
Parameter Persyaratan
Kapasitas keluaran mesin penghancur <500 kg/jam
Putaran maksimum poros penghancur 2000 rpm
Panjang maksimum cacahan 50 mm
Persentase minimum panjang keluaran bahan 80%
Konsumsi maksimum bahan bakar 2,5 liter/jam
Kebisingan mesin penghancur 90 dB
(Sumber : SNI 7580: 2010)
15
2.5 Analisis Ekonomi
Salah satu faktor terpenting dalam analisis kelayakan ekonomi adalah
perhitungan biaya. Salah satu perhitungan biaya yang sering digunakan adalah
perhitungan biaya menurut jumlah satuan produk atau tingkat kegiatan yaitu biaya
tetap dan biaya variabel. Kedua biaya ini memiliki karakteristik yang berbeda
dalam penentuan jumlahnya dan menjadi parameternya adalah volume dan jumlah
satuan produk atau tingkat kegiatan yang dihasilkan oleh unit usaha.
Tahap analisis ekonomi mesin pencacah jerami meliputi perhitungan biaya
pokok pengoperasiannya, besarnya penerimaan, penentuan titik impas usaha, dan
analisis kelayakan ekonomi yang menggunakan metode nilai tunai bersih (NPV),
metode Rasio Manfaat dan Biaya (BCR), dan metode tingkat pengembalian modal
(IRR).
2.5.1 Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan secara tetap pada periode
waktu yang besarnya tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya volume operasi/volume
produksi (Kastaman, 2004). Biaya tetap yang dianalisis meliputi biaya penyusutan
(depresiasi), biaya perbaikan mesin, bunga modal, biaya asuransi, pajak, biaya sewa
tempat, biaya perawatan, dan biaya perbaikan alat. Adapun biaya tetap dapat
dihitung dengan menggunakan Persamaan 10.
BT = D + H + M + I + L (10)
Keterangan:
BT = Biaya tetap (Rp/tahun)
D = Biaya penyusutan (Rp/tahun)
H = Biaya sewa bangunan (Rp/tahun)
M = Biaya perbaikan dan perawatan (Rp/tahun)
T = Biaya pajak (Rp/tahun)
L = Bunga modal (Rp/tahun)
16
2.5.1.1 Biaya Penyusutan (Depresiasi)
Biaya penyusutan adalah biaya yang secara periodik harus dikeluarkan
sebagai konsekuensi atas penurunan kinerja alat, mesin atau aset lainnya akibat
pemakaian (Kastaman, 2004). Besarnya dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan garis lurus pada Persamaan 11.
D = (𝑃−𝑆)
𝑁 (11)
Keterangan:
D = Biaya Penyusutan
P = Harga mesin (Rp)
S = Nilai akhir mesin (5% dari P (Rp))
N = Umur ekonomis (tahun)
2.5.1.2 Bunga Modal
Bunga modal adalah manifestasi uang berdasarkan nilai waktunya.
Perhitungan bunga modal mengharuskan membayar lebih besar dari pinjaman awal.
Pembayaran dilakukan periodik sesuai lamanya pinjaman (Blank and Tarquin,
2002). Perhitungan bunga modal dapat dihitung menggunakan Persamaan 12.
L = P × R (12)
Keterangan :
L = Bunga modal
P = Harga mesin (Rp)
R = suku bunga bank (%/tahun)
2.5.1.3 Biaya Bangunan
Biaya bangunan dapat dihitung dengan pendekatan menggunakan
Persamaan 13.
H = P × ℎ
100 (13)
Keterangan:
H = Biaya bangunan (%/tahun)
P = Harga mesin (Rp)
17
h = Tingkat biaya bangunan (%/tahun)
2.5.1.4 Biaya Perawatan dan Pemeliharaan
Biaya perawatan dan pemeliharaan akan meningkat sejalan dengan lamanya
penggunaan mesin. Namun untuk memudahkan perhitungan, metode perkiraan
biaya rata-rata perawatan dan pemeliharaan pertahun dapat dihitung dengan
menggunakan Persamaan 14.
M = P × 𝑚
100 (14)
Keterangan :
M = Tingkat perawatan dan pemeliharaan (%/tahun)
P = Harga mesin (Rp)
m = Biaya perawatan dan pemeliharaan (%/tahun)
2.5.1.5 Biaya Pajak
Besarnya biaya pajak dapat dihitung dengan pendekatan menggunakan
Persamaan 15.
I = P × i (15)
Keterangan:
I = Biaya pajak
P = Harga mesin (Rp)
i = Tingkat biaya pajak penghasilan (%/tahun)
2.5.2 Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang besarnya ditentukan oleh jumlah satuan
produk atau tingkatan kegiatan. Biaya variabel pada mesin pencacah meliputi biaya
operator, biaya bahan bakar solar dan biaya penggunaan karung, sehingga biaya
variabel dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 16.
BV = Bop + Bl (16)
Keterangan :
BV = Biaya variabel (Rp/jam)
Bop = Biaya operator (Rp/jam)
18
Bl = Biaya pemakaian bahan bakar (Rp/jam)
2.5.3 Titik Impas Usaha/ Break Even Point (BEP)
Titik impas usaha (BEP) adalah suatu kondisi dimana besarnya total
pendapatan sama dengan besarnya total pengeluaran (biaya) (Kastaman, 2004).
Perhitungan titik impas usaha yaitu dengan menggunakan Persamaan 17.
BEP = 𝐵𝑇
𝐻𝑃−𝐵𝑉 (17)
Keterangan :
BEP = Titik impas usaha (kg)
HP = Harga sewa pencacahan (Rp)
BV = Biaya variabel (Rp/jam)
BT = Biaya tetap (Rp/tahun)
2.5.4 Payback Period (PBP)
Payback Period merupakan periode lamanya waktu yang diperlukan untuk
menutup kembali modal yang dikeluarkan ketika memulai suatu usaha. Payback
Period dari suatu investasi menggambarkan panjang waktu yang diperlukan agar
dana yang tertanam pada suatu investasi dapat diperoleh kembali seluruhnya.
Analisis payback period dalam studi kelayakan perlu juga ditampilkan untuk
mengetahui seberapa lama usaha/proyek yang dikerjakan baru dapat
mengembalikan investasi. Analisis Payback Period dihitung dengan cara
menghitung waktu yang diperlukan pada saat total arus kas masuk sama dengan
total arus kas keluar. Penggunaan analisis ini hanya disarankan untuk mendapatkan
informasi tambahan guna mengukur seberapa cepat pengembalian modal yang
diinvestasikan yang dihitung dengan menggunakan Persamaan 18.
PBP = 𝑇𝐼
𝐾 (18)
Keterangan :
PBP = Periode pengambilan modal (tahun)
TI = Total investasikan
K = Keuntungan
19
2.5.5 Nilai Tunai Bersih / Net Present Value (NPV)
Nilai tunai bersih adalah tingkat kelayakan investasi dalam jangka waktu
tertentu, dimana nilai akhir dari suatu investasi diperhitungkan sejak awal investasi.
Metode ekivalensi nilai sekarang (present worth analysis) atau lebih dikenal dengan
istilah umum NPV (Net Present Value) (Kastaman, 2004).
Metode ini didasarkan atas nilai sekarang bersih dari hasil perhitungan nilai
sekarang aliran dana masuk (penerimaan) dengan nilai sekarang aliran dana keluar
(pengeluaran) selama jangka waktu analisis dan suhu bunga tertentu. Kriteria
kelayakan adalah apabila nilai sekarang bersih atau NPV > 0 (Kastaman, 2004).
Adapun NPV dapat dihitung dengan Persamaan 19.
NPV = ∑PV Pendapatan - ∑PV Pengeluaran (19)
Keterangan :
NPV = Nilai tunai Bersih (Rp)
2.5.6 Rasio Manfaat dan Biaya / Benefit Cost Ratio (BCR)
Metode rasio manfaat dan biaya (Benefit Cost Ratio) atau lebih dikenal
dengan istilah BC ratio. Metode ini pada dasarnya menggunakan data ekivalensi
nilai sekarang dari penerimaan dan pengeluaran, dalam hal ini BC ratio merupakan
perbandingan antara nilai sekarang dari kegiatan investasi dengan nilai sekarang
dari pengeluaran (biaya) selama investasi tersebut berlangsung dalam kurun waktu
tertentu (Kastaman, 2004).
Kriteria kelayakannya adalah bila nilai BC ratio > 1 (Kastaman, 2004). BC
Ratio dapat dihitung dengan Persamaan 20.
BCR = ∑ 𝑁𝑝𝑑
∑ 𝑁𝑝𝑔 ≥ 1 (20)
Keterangan :
BCR = Rasio manfaat dan biaya (Rp/tahun)
Npd = Nilai pendapatan (Rp/tahun)
Npg = Nilai Pengeluaran (Rp/tahun)
20
2.5.7 Internal Rate of Return (IRR)
Metode tingkat suku bunga pengembalian modal (Rate of Return Analysis)
atau lebih dikenal dengan istilah IRR (Internal Rate of Return ) merupakan suatu
nilai petunjuk yang identik dengan seberapa besar suku bunga yang dapat diberikan
oleh investasi tersebut dibandingkan dengan suku bunga bank yang berlaku umum
( suku bunga pasar atau Minimum Attractive Rate of Return ). Pada suku bunga IRR
akan diperoleh NPV = 0, dengan kata lain bahwa IRR tersebut mengandung makna
suku bunga yang dapat diberikan investasi, yang akan memberikan NPV = 0. Syarat
kelayakannya yaitu apabila IRR > suku bunga MARR (Kastaman, 2004). Untuk
menghitung i2 dapat ditentukan dengan cara aproksimasi sampai nilai NPV negatif
(Kastaman, 2004). Tingkat pengembalian modal dapat dihitung dengan Persamaan
21.
IRR = i1 – NPV1 (𝑖2−𝑖1)
(𝑁𝑃𝑉2−𝑁𝑃𝑉1) (21)
Keterangan :
IRR = Tingkat pengembalian modal
i1 = Suku bunga ke-1
NPV1 = Net Present Value pada suku bunga ke-1
i2 = Suku bunga ke-2
NPV2 = Net Present Value pada suku bunga ke-2