66
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Keperawatan Perioperatif Keperawatan peri operatif dilakukan berdasarkan proses keperawatan dan perawat perlu menetapkan strategi yang sesuai dengan kebutuhan individu selama periode peri operatif sehingga klien memperoleh kemudahan sejak datang sampai klien sehat kembali. Asuhan keperawatan perioperatif meliputi asuhan keperawatan yang diberikan sebelum (preoperatif ), selama ( intraoperatif ), dan setelah ( pascaoperatif ) (Potter & Perry, 2006). Perawat harus melakukan tindakan aseptik bedah yang baik ; membuat dokumentasi yang lengkap dan menyeluruh ; dan mengutamakan keselamatan klien pada seluruh fase. Penyuluhan dan rencana pulang yang efektif diperlukan untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya komplikasi (Potter & Perry, 2006). 10

BAB II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lanjutan pengaruh hpnotherapi

Citation preview

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Keperawatan Perioperatif

Keperawatan peri operatif dilakukan berdasarkan proses keperawatan dan

perawat perlu menetapkan strategi yang sesuai dengan kebutuhan individu selama

periode peri operatif sehingga klien memperoleh kemudahan sejak datang

sampai klien sehat kembali. Asuhan keperawatan perioperatif meliputi asuhan

keperawatan yang diberikan sebelum (preoperatif ), selama ( intraoperatif ), dan

setelah ( pascaoperatif ) (Potter & Perry, 2006).

Perawat harus melakukan tindakan aseptik bedah yang baik ; membuat

dokumentasi yang lengkap dan menyeluruh ; dan mengutamakan keselamatan

klien pada seluruh fase. Penyuluhan dan rencana pulang yang efektif diperlukan

untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya komplikasi (Potter & Perry,

2006).

Pada bedah Abdomen, ada beberapa resiko intra dan pascaoperatif yang

perlu diperhatikan oleh perawat perioperatif. Proses keperawatan perioperatif

berupaya dan mempunyai peran untuk menurunkan resiko bedah Abdomen baik

intra dan pasca bedah dengan upaya mengaplikasikan asuhan secara

komprehensif sejak fase pra operatif sampai pasca operatif. Keperawatan peri

operatif berupaya menunjang pembedahan agar tujuan pembedahan dapat

terlaksana secara optimal ( Muttaqin, 2009 ).

10

Page 2: BAB II

11

1. Definisi Perawatan Perioperatif

Smeltzer dan Bare (2002), menyatakan keperawatan perioperatif

merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi

keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien. Istilah

perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman

pembedahan praoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif. Masing-masing tiga

fase dimulai dan berakhir pada waktu tertentu masing-masing mencakup rentang

perilaku oleh perawat dengan menggunakan proses keperawatan.

Menurut Baradero, Dayrit dan Siswadi (2009), keperawatan perioperatif

adalah hasil dari perkembangan keperawatan kamar operasi. Fokus keperawatan

perioperatif sekarang adalah pasien, bukan prosedur atau teknik.

a. Fase Pembedahan

Menurut Baradero, Dayrit dan Siswadi (2009), pembedahan di bagi atas

tiga fase yaitu:

1) Fase Praoperatif

Fase praoperatif adalah dimulai ketika keputusan diambil untuk

melaksanakan intervensi pembedahan. Termasuk dalam kegiatan perawatan dalam

tahap ini adalah pengkajian praoperasi mengenai status fisik, psikologis, dan

sosial pasien, rencana keperawatan mengenai persiapan pasien untuk

pembedahannya, dan implementasi intervensi keperawatan yang telah

direncanakan. Tahap ini berakhir ketika pasien diantar ke kamar operasi dan

diserahkan keperawat bedah untuk perawatan selanjutnya.

Page 3: BAB II

12

2) Fase intraoperatif

Fase intraoperatif adalah dimulai ketika pasien dipindahkan ke meja operasi,

tahap ini berakhir ketika pasien dipindahkan post anesthesia care unit (PACU)

atau yang dahulu disebut ruang pemulihan. Dalam tahap ini, tanggung jawab

perawatan terfokus pada kelanjutan dari pengkajian fisiologis, psikologis,

merencanakan dan mengimplementasi intervensi untuk keamanan dan privasi

pasien, mencegah infeksi luka, dan mempercepat penyembuhan.

3) Fase pascaoperatif

Dimulai dengan pemindahan pasien ke PACU dan berakhir pada waktu

pasien dipulangkan dari rumah sakit. Termasuk dalam kegiatan perawatan adalah

mengkaji perubahan fisik dan psikologis.

b. Persiapan Prabedah

Penting sekali untuk memperkecil resiko operasi karena hasil akhir suatu

pembedahan sangat tergantung pada penelitian keadaan penderita dan persiapan

prabedah. Dalam persiapan inilah di tentukan adanya indikasi atau kontraindikasi

operasi, toleransi penderita terhadap tindakan bedah. Dan ditetapkan waktu yang

tepat untuk melaksanakan pembedahan. Tindakan umum yang dilaksanakan

setelah dilakukan pembedahan adalah untuk mempersiapkan pasien agar penyulit

pasca bedah dapat di cegah sebanyak mungkin. Setelah tindakan tertentu tersebut

dilakukan secara rutin, seperti pembersihan kulit, persiapan diruangan bedah

pasien dan persiapan fisik dan mental (Smeltzer dan Bare, 2002).

Page 4: BAB II

13

Persiapan prabedah untuk mengurangi faktor resiko, karena hasil akhir suatu

pembedahan sangat tergantung pada penilaian keadaan penderita. Dalam

persiapan inilah ditentukan adanya kontra indikasi operasi, toleransi penderita

terhadap tindak bedah, dan ditetapkan waktu yang tepat untuk melaksanakan

pembedahan (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Selain menyiapkan fisik dan mental

pasien, perawat juga berperan dalam memberikan pendidikan atau penyuluhan

praoperatif yang dilakukan perawat untuk membantu klien operasi dalam

meningkatkan kesehatannya sendiri sebelum dan sesudah operasi.

Penyuluhan praoperasi dahulu dilakukan dalam satu atau dua hari sebelum

pembedahan. Informasi penting yang perlu dijelaskan kepada pasien adalah

prosedur praoperasi, pembedahan itu sendiri, dan apa yang diharapkan dari

pembedahan (Baradero, Dayrit, dan Siswadi, 2009).

Menurut Potter dan Perry (2006), penyuluhan preoperatif yang berstruktur

dapat mempengaruhi beberapa faktor pasca operasi seperti:

1) Fungsi pernapasan. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien untuk

batuk dan napas dalam secara efektif.

2) Kapasitas fungsi fisik. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien

melakukan ambulasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari secara lebih

awal.

3) Perasaan sehat. Klien yang dipersiapkan untuk menjalani pembedahan

memiliki kecemasan yang lebih rendah dan menyatakan rasa sehat

secara psikologis yang lebih besar.

Page 5: BAB II

14

4) Lama rawat inap di rumah sakit. Penyuluhan preoperatif secara

berstruktur dapat mempersingkat waktu rawat inap klien di rumah sakit.

5) Ansietas tentang nyeri dan jumlah obat-obatan anti nyeri yang

diperlukan untuk kenyamanan. Klien yang telah diberikan penyuluhan

tentang nyeri dan cara untuk menghilangkannya.

c. Tipe Bedah

Menurut Baradero, Dayrit dan Siswadi (2009), bedah dapat diklasifikasikan

dalam beberapa cara diantaranya berdasarkan lokasi, ekstensi atau tujuan dari

tindakan bedah tersebut yaitu:

1) Lokasi

Tindakan bedah dapat dilaksanakan eksternal atau internal.

a) Pada bedah eksternal kulit atau jaringan yang dibawahnya dapat

dijangkau oleh ahli bedah. Contoh bedah plastik.

b) Pada bedah internal disertai penetasi kedalam tubuh. Tindakan bedah

bisa juga diklasifikasikan menurut lokasi atau sistem dari tubuh.

Seperti bedah kardiovaskuler, bedah thorax, bedah abdomen, dan

sebagainya.

2) Menurut Luas Jangkauan

Bedah dapat diklasifikasikan sebagai minor/kecil dan mayor/besar.

Page 6: BAB II

15

d. Tipe Anestesi

Menurut Potter dan Perry (2006), tipe anestesi ada tiga yaitu:

1) Anestesi Umum

Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor,

yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.

2) Anestesi Regional

Metode induksi mempengaruhi bagian alur sensorik yang diberi anestesi.

Pada bedah mayor, seperti perbaikan hernia, histerektomi vagina, atau

perbaikan pembuluh darah kaki.

3) Anestesi lokal

Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang

diinginkan misal adanya sel tumbuh pada kulit atau kornea mata. Anestesi

lokal umumnya digunakan dalam prosedur minor pada tempat bedah sehari.

e. Bedah Abdomen

1) Dinding Abdomen

Struktur dinding abdomen melindungi organ intra abdomen. Komposisi

lapisan dinding abdomen dimulai dari kulit dan lapisan lemak subkutis yang

kemudian dibawahnya terdapat jaringan ikat yang padat yang disebut linea alba,

yang merupakan suatu struktur tendinosa. Struktur utama yang membentuk

dinding abdomen anterior ialah otot rektus abdominis, transversus abdominis,

serta oblikus eksternus dan internus. Fasia transversalis, yang dianggap sebagai

lapisan terkuat dinding abdomen, terletak di bawah lapisan otot, tepat di atas

Page 7: BAB II

16

peritoneum. Membran serosa paling besar di tubuh ialah peritoneum, yang

melapisi dinding rongga abdomen. Membran ini juga menutupi sebagian besar

organ abdomen dan membungkus permukaan atas organ panggul (Simon, 2003

dikutip Muttaqin dan Sari, 2009).

2) Bedah Laparatomi

Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen.

Menurut Sjamsuhidayat dan Jong (2005), bedah laparatomi merupakan teknik

sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah

digestif dan kandungan. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan

dengan teknik sayatan arah laparatomi yaitu: herniatomi, gasterektomi,

kelesistomi, duodenostomi, hepateroktomi, splenorafi/ spenotomi,

appendiktomi, kolostomi, hemoroidektomi dan fistulotomi atau fistulektomi.

Selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi pada bedah digestif dan

kandungan, teknik ini juga sering dilakukan pada pembedahan organ lain, yaitu

ginjal dan kandung kemih.

3) Insisi pembedahan Laparatomi:

a) Insisi Vertikal

Insisi vertikel pada penelitian ini meliputi insisi midline dan paramedian

pada kasus laparatomi. Insisi ini mempercepat pencapaian ke dalam rongga

abdomen dengan sedikit kehilangan darah, namun kerugiannya dibandingkan

dengan insisi transversal adalah kerusakan jaringan lebih besar dan kerusakan

saraf lebih banyak, sehingga nyeri dirasakan lebih hebat (Rothrock dan Meeker,

2003; Higgins, Naumann, dan Hall, 2007 dikutip Anita, 2011).

Page 8: BAB II

17

b) Insisi Oblik

Insisi oblik pada penelitian ini meliputi insisi McBurney pada kasus

appendiktomi. Insisi oblik mengakibatkan kerusakan saraf minimal yang

terpotong dan kebanyakan saraf interkosta kedelapan (Rothrock & Meeker, 2003

dikutip Anita, 2011).

c) Insisi Transversal

Insisi transversal pada penelitian ini meliputi insisi pfannenstiel. Insisi

pfannenstiel untuk pembedahan seksio cesar. Insisi ini biasanya dibuat insisi

sepanjang 12 cm dan dibuat kira-kira 5 cm di atas simfisis pubis. Nyeri lebih

sedikit dirasakan daripada letak insisi oblik (Rosenberg dan Grantacharov, 2001;

Higgins, Naumann, dan Hall, 2007).

f. Nyeri Pascabedah

Salah satu ketakutan terbesar klien pascabedah adalah nyeri. Nyeri setelah

pembedahan adalah hal yang normal. Apabila menunggu sampai nyeri

menyiksanya maka analgesik tidak mampu menghilangkan nyeri. Klien yang akan

mendapat analgesik yang dikontrol oleh pasien (Patient-Controlled Analgesia,

PCA) setelah operasi harus mengetahui tentang cara menekan tombol saat nyeri

mulai terasa (Potter dan Perry, 2006).

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), Perbedaan nyeri komplit pada daerah

dari insisi bedah dapat terjadi selama beberapa minggu, tergantung pada letak dan

sifat pembedahan. Namun demikian, perubahan posisi pasien, penggunaan

Page 9: BAB II

18

distraksi, pemijatan punggung dengan lotion dapat membantu menghilangkan

ketidaknyamanan dan meningkatkan medikasi.

B. Konsep Nyeri

1. Definisi Nyeri

Asosiasi internasional untuk penelitian nyeri ( International Association for

the Study of Pain, IASP ) Mendefinisikan nyeri sebagai "suatu sensori Subjektif

dan pengalaman emosional yng tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan

jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian – kejadian

dimana terjadi kerusakan" (IASP. 1979).Nyeri dapat merupakan faktor utama

yang menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk pulih dari suatu

penyakit (Potter & Perry, 2006).

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan

akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Potter & Perry (2006) nyeri adalah pengalaman perasaan emosional

yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial,

atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Secara umum nyeri adalah

suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan

sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui

bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Page 10: BAB II

19

2. Fisiologi Nyeri

a. Stimulus

Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus ( rangsang nyeri ) dan

reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu ujung – ujung saraf

bebas kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat. Munculnya nyeri dimulai

dengan adanya stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik

serta mekanik (Prasetyo, 2010).

b. Reseptor Nyeri

Reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan -perubahan

partikular di sekitarnya, kaitannya dengan proses terjadinya nyeri maka resepto-

reseptor inilah yang menangkap stimulus-stimulus nyeri (Prasetyo, 2010).

Beberapa penggolongan reseptor sensori dalam Prasetyo (2010) :

1) Termoreseptor: reseptor yang menerima sensasi suhu (panas atau dingin).

2) Mekanoreseptor; reseptor yang menerima stimulus-stimulus mekanik.

3) Nosiseptor: reseptor yang menerima stimulus-stimulus nyeri.

4) Kemoreseptor: reseptor yang menerima stimulus kimiawi.

Menurut Tamsuri (2007), berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat

dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh, yaitu :

1) Kulit (kutaneus)

Reseptor jarinagn kuit terbagi dalam dua komponen, yaitu:

Page 11: BAB II

20

a) Serabut A delta merupakan serabut komponen cepat (kecepatan

transmisi 6-30m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang

akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b) Serabut C merupakan komponen lambat (kecepatan transmisi

0,5-2m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya

bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

2) Somatik Dalam

Stuktur reseptor nyeri somatic dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat

pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.

Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri

yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

3) Viseral

Reseptor ini meliputi organ-organ visceral seperti jantung, hati, usus,

ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya difus

(terus-menerus) dan sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan

inflamasi. Nyeri visceral dapat menyebabkan nyeri alih, yaitu nyeri yang

dapat timbul pada daerah yang berbeda/jauh dari organ asal stimulus nyeri

tersebut. Nyeri pindah ini dapat terjadi karena adanya sinaps jaringan

visceral pada medulla spinalis dengan serabut yang berasal dari jaringan

subkutan tubuh.

Page 12: BAB II

21

c. Alur Nyeri

Gambar 2.1Proses Terjadinya Nyeri

Stimulus nyeri: biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik.

Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer

Impuls nyeri diteruskan oleh serabut saraf afferen (A-delta & C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn

Impuls bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III)

Impuls melewati traktus spinothalamus.

Impuls masuk ke formation retikularis Impuls langsung masuk ke thalamus

Sistem limbik Fast pain

Slow pain (Sumber: Prasetyo, 2010)

Menurut Prasetyo (2010), rangkaian proses terjadinya nyeri diawali dengan

tahap tranduksi, dimana hal ini terjadi ketika nosiseptor yang terletak pada bagian

perifer tubuh distimulasi oleh berbagai stimulus, seperti faktor biologis, mekanis,

listrik, thermal, radiasi dan lainn-lain. Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe

mekanis atau thermal 9 yaitu serabut saraf A-Delta), sedangkan slow pain

biasanya dicertuskan oleh serabut saraf C. Serabut saraf A-Delta mempunyai

karakteristik menghantarkan nyeri dengan cepat serta bermielinasi, dan serabut

Page 13: BAB II

22

saraf C yang tiidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan bersifat lambat dalam

menghantarkkan nyeri. Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi dan

jelas dalam melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C

menyampaikan impuls yang tidak terlokalisasi, viseral dan terus-menerus.

Tahap selanjutnya adalah tranmisi, dimana impuls nyeri kemudian

ditranmisikanoleh serabut saraf efferen (A.-delta dan C) ke medulla spinalis

melalui dorsal horn, impuls akan bersinapsis di substansia gelatinosa. Impuls

kemudian menyeberang ke atas melewati traktus sphinotalamus anterior dan

lateral, kemudian diteruskkan langsung ke thalamus tanpa singgah di formatio

retikularis membawa impuls fast pain. Dibagian thalamus inilah individu

kemudian dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi,

mengintrepetasikan dan mulai berespon terhadap nyeri.

Beberapa impuls nyeri ditranmisikan melalui traktus paleospinothalamus

pada bagian tengah medulla spinalis. Impuls ini memasuki formation retikularis

dan sistem limbik yang mengatur perilaku emosi dan kognitif, serta integrasi dari

sistem otonom. Slow pain yang terjadi akan membangkitkan emosi,

sehinggatimbul respon terkejut, marah, cemas, tekanan darah meningkat, keluar

keringat dingin dan jantung berdebar-debar.

Page 14: BAB II

23

d. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Gambar 2.2Faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri

(Sumber; Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2006)

1) Usia

Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui secara

luas. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak mempunyai

kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengespresikan secara nyeri kepada

orangtua atau perawat. Pada masa orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika

sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007). Pada lansia,

mereka lebih untuk tidak melaporkan nyeri karena persepsi nyeri yang harus

mereka terima, menyangkal merasakan nyeri karena takut akan konsekuensi atau

tindakan media yang dilakukan dan takut akan penyakit dan rasa nyeri itu

(Smeltzer & Bare, 2002).

Pengalaman Nyeri

Kebudayaan

Jenis kelamin

Usia

Keluarga dan dukungan sosial

Gaya Koping

Pengalaman Terdahulu

Makna NyeriPerhatian

Ansietas

Page 15: BAB II

24

2) Jenis Kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam

berespon terhadap nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subjek

penelitian yang melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi terhadap nyeri

dipengaruhi oleh factor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap

individu, tanpa memperhatikan jenis kelamin (Potter & Perry, 2006).

3) Budaya

Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang

berespons terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku

dalam berespons terhadap nyeri). Pasien dengan latar belakang budaya yang lain

bisa berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang

mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda

dari satu pasien ke pasien yang lain (Smeltzer & Bare, 2002).

4) Makna Nyeri

Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara

seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Seorang wanita yang merasakan nyeri saat

bersalin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang

nyeri karena dipukul oleh suaminya (Prasetyo, 2010).

5) Perhatian

Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mepengaruhi persepsi

nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri

sedangkan upaya pengalihan(distraksi0 dihubungkan dengan penurunan respon

Page 16: BAB II

25

nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri,

seperti relaksasi, tehnik imajinasi terbimbing, dan massase atau pijatan (Prasetyo,

2010).

6) Pengalaman Sebelumnya

Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian

nyeri selama rentang kehidupannya. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan

dari pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada

terhadap pengalaman masalalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan

tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa

mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).

7) Mekanisme Koping

Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat

seseorang menjadi kesepian. Apabila klien mengalami nyeri di keadaan perawatan

kesehatan, klien merasa tidak berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang sering terjadi

adalah klien merasa kehilangan control terhadap lingkungan atau hasil akhir dari

peristiwa-peristiwa yang terjadi. Mekanisme koping empengaruhi kemampuan

individu untuk mengatasi rasa nyeri (Potter & Perry, 2006).

8) Dukungan Keluarga dan Sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan,

bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat. Walaupun

nyeri masih dirasakan oleh klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan

kesepian adan ketakutan (Prasetyo, 2010).

Page 17: BAB II

26

e. Pengukuran Intensitas Nyeri

Cara mengukur intensitas nyeri, dengan mengembangkan sebuah alat ukur

nyeri (painometer) dengan skala longitudinal yang pada salah satu ujungnya

tercantum nilai 0 (untuk keadaan tanpa nyeri), dan ujung lainnya nilai 10 (untuk

kondisi nyeri paling hebat). Untuk mengukurnya, penderita memilih salah satu

bilangan yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri yang

terakhir kali ia rasakan, dan nilai ini dapat dicatat pada sebuah grafik yang dibuat

menurut waktu (Mubarak, 2008).

Tabel 2.1

Skala Nyeri

Skala Keterangan

0 Tidak nyeri

1-3 Nyeri ringan

4-6 Nyeri sedang

7-9 Sangat nyeri, tetapi masih dapat dikontrol dengan aktivitas yang biasa dilakukan

10 Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol

Hayward dalam Mubarak (2008).

Page 18: BAB II

27

1) Skala wajah ( face Pain Rating Scale)

Gambar 2.3Skala Nyeri Berdasarkan Ekspresi Wajah

Hayward dalam Mubarak (2008)

2) Skala Deskriftif Verbal (Verbal Deskriptor Scale, VDS)

Gambar 2.4 Skala Nyeri Berdasarkan deskripsi verbal

Hayward dalam Mubarak (2008)

3) Skala Numerik (Numerikal Rating Scale, NRS)

Gambar 2.5Skala Nyeri Berdasarkan Skala Numerik

Hayward dalam Mubarak (2008)

Page 19: BAB II

28

4) Skala Analog Visual (Visual Analog Scale, VAS)

Gambar 2.6Skala Nyeri Berdasarkan Skala Visual Analogi

Hayward dalam Mubarak (2008)

VAS berbentuk garis horizontal sepanjang 10 cm, dan ujungnya

mengidentifikasi nyeri yang berat. Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis

yang menunjukkan letak nyeri terjadi disepanjang rentang tersebut (Smeltzer &

Bare, 2002).

Perawat dapat menanyakan kepada klien tentang nilai nyerinya dengan

menggunakan skala 0 sampai 10 atau skala yang serupa lainnya yang membantu

menerangkan bagaimana intensitas nyerinya. Nyeri yang ditanyakan pada skala

tersebut adalah sebelum dan sesudah dilakukan intervensi nyeri untuk

mengevaluasi keefektifannya. Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan

dapat menjawabnya serta gambaran-gambaran yang diungkapkan atau

ditunjukkan tersebut diseleksi dengan hati-hati, setiap instrument tersebut dapat

menjadi valid dan dapat dipercaya (Smeltzer & Bare, 2002).

f. Nyeri Pascabedah

Tindakan operasi merupakan ancaman potensial atau aktual terhadap

inteegritas seseorang baik biopsikososial dan spiritual yang dapat menimbulkan

respon berupa nyeri. Rasa nyeri tersebut dapat timbul pada setiap jenis tindakan

Page 20: BAB II

29

operasi, bila tidak diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan yang

akan mengganggu proses penyembuhan (Sari, 2008).

Peredaan nyeri komplit pada daerah dari insisi bedah dapat tidak terjadi

selama beberapa minggu, tergantung pada letak dan sifat pembedahan. Namun

demikian, perubahan posisi pasien, penggunaan distraksi dan pemijatan punggung

dengan lotion yang menyegarkan dapat sangat mmembantu dalam menghilangkan

ketidaknyamanan temporer dan meningkatkan medikasi lebih efektif ketika

diberikan. Untuk mengetahui rasa nyeri pascabedah bisa menggunakan obat-

obatan secarafarmakologi dan non-farmakologi (Smeltzer & Bare, 2002).

g. Manajemen Nyeri Non-farmakologi

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi nyeri, yaitu salah satu

nya dengan pemberian terapi nonfarmakologis. Terapi nonfarmakologis yaitu

terapi yang digunakan yakni tanpa menggunakan obat-obatan, tetapi dengan

memberikan berbagai tehnik yang setidaknya dapat sedikit mengurangi rasa nyeri.

Diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Distraksi

Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain nyeri.

Ada empat tipe distraksi, yaitu distraksi visual, misalnya membaca atau menonton

televisi, Distraksi auditory, misalnya mendengarkan musik, Distraksi taktil,

misalnya menarik nafas dan massase, Distraksi kognitif, misalnya bermain puzzle.

Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain sehingga

dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri, bahkan meningkatkan toleransi

Page 21: BAB II

30

terhadap nyeri. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori aktivasi

retikuler, yaitu menghambat stimulus nyeri ketika seseorang menerima masukan

sensori yang cukup atau berlebihan, sehingga menyebabkan terhambatnya impuls

nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien). Stimulus sensori

yang menyenangkan akan merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri

yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang.

2) Stimulasi dan Massase kutaneus

Terapi stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk

menghilangkan nyeri massase, mandi air hangat, kompres panas atau dingin dan

stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) merupakan langkah-langkah

sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Cara kerja khusus stimulasi

kutaneus masih belum jelas. Salah satu pemikiran adalah cara ini menyebabkan

pelepasan endorfin, sehingga memblog transmisi stimulasi nyeri.

Teori Gate-kontrol mengatakan bahwa stimulasi kutaneus mengaktifkan

transmisi tersebut saraf sensori A-Beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini

menurunkan transmisi nyeri melalui serabut dan delta-A berdiameterkecil.

Gerbang sinaps menutup transmisi impuls nyeri. Bahwa keuntungan stimulasi

kutaneus adalah tindakan ini dapat dilakkan dirumah, sehingga memungkinkan

klien dan keluarga melakukan upaya kontrol gejala nyeri dan penanganannya.

Penggunaan yang benar dapat mengurangi persepsi nyeri dan membantu

mengurangi ketegangan otot. Stimulasi kutaneus jangan digunakan secara

langsung pada daerah kulit yang sensitif (Mander,2004).

Page 22: BAB II

31

3) Terapi es dan panas

Terapi hangat dan dingin bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri

(non-nosiseptor). Terapi dingin dapat menurunkan prostaglandin yang

memperkuat sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area

sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran darah yang

dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri (Smeltzer & Bare,2002).

4) Hipnosis

Hypnosis-diri dengan membantu merubah persepsi nyeri melalui pengaruh

sugesti positif. Hypnosis-diri menggunakan sugesti dari dan kesan tentang

perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan

menggunakan bagian ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang

menghasilkan respons tertentu bagi mereka (Edelman & Mandel , 1994).

Hypnosis-diri sama seperti dengan melamun . Konsentrasi yang efektif

mengurangi ketakutan dan sters karena individu berkonsentrasi hanya pada satu

pikiran. Selain itu juga mengurangi persepsi nyeri merupakan salah satu sederhana

untuk meningkatkan rasa nyaman ialah membuang atau mencegah stimulasi nyeri.

Hal ini terutama penting bagi klien yang imobilisasi atau tidak mampu merasakan

sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga dapat dicegah dengan mengantisipasi

kejadian yang menyakitkan, misalnya seorang klien yang dibiarkan mengalami

konstipasi akan menderita distensi dan kram abdomen. Upaya ini hanya klien

alami dan sedikit waktu ekstra dalam upaya menghindari situasi yang

menenyebabkan nyeri (Mander, 2003).

Page 23: BAB II

32

5) Tehnik Relaksasi

Relaksasi pernafasan yang merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan,

yang dalam hal ini perawat mengajakan pada klien bagaimana cara melakukan

pernafasan, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana

menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri,

teknik relaksasi pernafasan juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan

meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare2002).

Menurut kegunaanya teknik relaksasi pernafasan dianggap mampu

meredakan nyeri, prosesnya menarik nafas lambat melalui hidung (menahan

inspirasi secara maksimal) dan menghembuskan nafas melalui mulut secara

perlahan-lahan.

Page 24: BAB II

33

C. Konsep Dasar Hipnosis

1. Definis Hipnosis

Hipnosis sendiri berasal dari bahasa yunani “hypnos” yang berarti

“tidur”.hipnosis merupakan suatu keadaan setengah sadar yang jika dilihat

penampakannya mirip dengan tidur,disebabkan oleh suatu sugesti relaksasi dan

perhatian yang terkonsentrasi pada sebuah objek tunggal .Individu tersebut

tersugesti dan resfonsif terhadap pengaruh orang yang menghipnosis dan dapat

mengingat kembali kejadian-kejadian yang telah dilupakan serta dapat meredakan

gejala psikologis (WHO , 1994)

Definisi lain hipnosis adalah perubahan kesadaran buatan,dengan ciri khas

sugestibilitas yang meningkat dari seseorang.Sedangkan sugesti adalah suatu

respon yang patuh dan tidak bersifat mengkritik terhadap gagasan atau suatu

pengaruh (Nuhriawangsa, 2004). Hipnoterapi dapat juga dikatan sebagai suatu

tehnik terapi pikiran dan penyembuhan yang menggunakan metode hipnotis untuk

memberi sugesti atau perintah positif kepada pikiran bawah sadar untuk

penyembuhan suatu gangguan psikologis atau untuk mengubah pikiran,perasaan

dan perilaku menjadi lebih baik.Orang yang ahli menggunakan hipnotis disebut

hypnotherapist.Hipnoterapi menggunakan pengaruh kata-kata yang disampaikan

dengan tehnik-tehnik tertentu.Satu-satunya kekuatan dalam hipnoterapi adalah

komunikasi(Kahija, 2007).

Page 25: BAB II

34

Dalam ruang lingkup psikoterapis,hipnosis digunakan bukan saja dalam

psikoterapi penunjang tetapi lebih dari itu,hipnosis merupakan alat yang ampuh

dalam psikoterapi penghayatan dengan tujuan membangun kembali(rekonstuktif)

sehingga perlu pengkajian yang lebih mendalam agar tercapai suatu pendekatan

holistik elektik(IBH, 2002).

Hypnosis adalah pengendalian fungsi otak secara ilmiah. Keadaan normal

yang dialami oleh setiap orang, baik secara sengaja (sadar) maupun tidak sengaja

(alam bawah sadar) setiap harinya. Sebuah keadaan ‟tidur‟ hasil ciptaan

seseorang yang melakukan hipnosis dengan sugesti kepada seseorang yang akan

dihipnotis (suyet). Sebuah kondisi relaks atau santai dengan konsentrasi yang

terfokus (Rusli & Wijaya, 2009)

Berdasarkan pada referensi yang dibuat oleh Manusov, 1990, aplikasi

hypnoanesthesia telah hadir semenjak era 1800-an, di mana saat itu anesthesia

kimiawi belum banyak digunakan. Seiring dengan semakin berkembangnya

anesthesia kimiawi, hypnoanaesthesia semakin jarang digunakan.

Kunci dari hypnosis adalah adanya kekuatan sugesti dan keyakinan terhadap

sesuatu hal yang positif yang muncul berdasarkan pada konsep dalam pikiran,

sehingga akan memberikan energi positif bagi suatu tindakan yang dilakukan.

Kajian inti dari hypnosis adalah berpijak pada asumsi dasar bahwa mind control

dapat dicoba diterapkan dalam kegiatan intervensi pembedahan jaringan. Hal

inilah yang sering disebut hypnoanesthesia. Keberhasilan menerapkan metode

hypnosis dalam mengurangi bahkan menghilangkan rasa nyeri (hypnoanesthesi),

Page 26: BAB II

35

penggunaan metode ini mengakibatkan berkurangnya bahkan menghilangnya

rasa nyeri yang dialami tubuh manusia sebagai respon terhadap suatu trauma

ataupun adanya intervensi terhadap jaringan (Jaspi, 2009).

2. Teori Hipnosis

Telah banyak penullis yang mencoba memberi keterangan mengenai

hipnosis dan banyak sekali teori yang diungkapkan.yang diajukan antara lain:

(kroger,2008)

a. Teori imobilisasi

b. Hipnosis sebagai status histeria

c. Teori yang didasari perubahan fisiologis serebral

d. Hipnosis sebagai suatu proses menuju tidur yang dikondisikan

e. Teori aktivitas dan inhibisi ideomotor

f. Teori disosiasi

g. Teori memainkan peran(role-playing)

h. Teori regresi

i. Teori hiopersugestibiitas(hypersuggestibility)

j. Teori psikosomatik

Secara umum,teori-teori hipnosis tersebut dibagi dalam dua kategori

besar,yaitu : (Kaplan & sadock,2004)

a. Teori berdasarkan neuropsiko-fisiologis,yang menerangkan hipnosis sebagai

suatu keadaan dimana kondisi otak berubah dan karena itu,faal otakpun juga

berubah.

Page 27: BAB II

36

b. Teori berdasarkan psikologis yang memandang sebagai hubungan antar

manusia yang khas (termasuk teori sugesti , disosiasi, psikoanalitik, psychic

relative exclution, hubungan dwi tunggal dan lain-lain:

Salah satu syarat untuk hipnosis adalah secara sadar tidak menolak, dapat

berkomusikasi dengan bahasa yang sama, berkemapuan untuk fokus ditambah

dengan kreativitas dan fantasi visualisasi. Syarat-syarat tersebut disebut

hipnotizability, yang dapat dinilai tingkatnya dengan skala SHSS (Stanford

Hypnotic Susceptibility Scale) dan HIP (Hypnotic Inductuon Profile).

Berdasarkan Hypnotizability , populasi secara umum dapat digolongkan menjadi

5% kategori sulit, 70-85% sedang 10-15% mudah untuk dihipnotis; wanita

mempunyai nilai hypnotizability lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dan anak-

anak lebih tinggi dari pada orang dewasa (Spiegel, 1985; IBH, 2002; Rogovik &

Goldman, 2007). Suatu penelitian yang dilakukan di Virginia Amerika Serikat

(2004) menunjukkan bahwa orang yang hipnotizability tinggi mempunyai ukuran

corpus callosum anterior (rostum) dan kemampuan untuk mengontrol nyeri lebih

besar. Temuan ini mendukung model teori neuropsiko-fisiologis (Horton et

al.,2004)

Page 28: BAB II

37

Gambar 2.7 EEG Hipnosis

(Sumber: IBH, 2002)

Teori yang menyatakan hipnosis sebagai suatu proses menuju tidur yang

dikondisikan,dikaitkan dengan gelombang otak seseorang yang menjalani suatu

proses hipnosis. Gelombanag otak diperiksa denga elektroensefalogram (EEG),

dan dihubungkan dengan kesadaran pada orang tersebut. Berdasarkan gambaran

gelombang otak normal tersebut proses hipnosis diharapkan tercapai pada

gelombang alfa dan teta, dimana dalam keadaan rileks, pikiran yang mulai

terfokus dan mulai penurunan dari conscius ke subconscius dan subjek mulai

sugestif (Kroger, 1963; Priguna, 1980; IBH, 2002).

3. Tehnik Hipnosis dan Proses Hipnosis

Pembagian proses hipnosis tidak seragam, meskipun sebenarnya ada

kesamaan dalam pokok-pokok proses hipnosis. Yang sangat penting dalam

Page 29: BAB II

38

proses ini adalah tahap induksi dimana tujuan apa yang dikehendaki dicapai dalam

terapi dilakukan pada tahap ini,diharapkan setelah proses terapi dapat mencapai

terapi yang diharapkan oleh klien maupun terapis.berikut akan dikemukakan

tahapan secara sistematis dari pre hipnosis sampai post hipnosis (IBH, 2002).

Tahap proses hipnsis secara sistematis dapat disusun sebagai berikut : (IBH,

2002).

a. Pre Induksi

Merupakan suatu proses untuk memepersiapkan situasi dan kondisi yang

kondusif antara hipnotis dan subjek. Agar proses pre induksi berlangsung dengan

baik,maka hipnotis harus mengenali aspek-aspek psikologis dari subjek,antara lain

:hal yang di minati,hal yang tidak diminati, apa yang diketahui subjek terhadap

hipnosis, dan lain-lain. Pre induksi dapat berupa percakapan ringan, saling

berkenalan, serta hal-hal lain yang bersifat mendekatkan seorang hipnotis secara

mental pada subjek. Pre induksi bersifat kritis, seringkali kegagalan proses

hipnosis diawali dari proses pre induksi yang tidak tepat.

Tehnik pengumpulan informasi atau data tersebut dapat dilakukan baik

wawancara,observasi maupun lewat kuesioner.Aadal beberapa hal yang harus

dilakukan pada tahap ini,yaitu sebagai berikut: (Kahija, 2007; Fachri, 2008).

1) Membangun hubungan dengan klien :dalam proses hipnosis modern, hal

yang paling mendasar adalah kerjasama antara therapist dan klien.Hal ini

membuat kesiapan dan kesediaan subjek menjadi prasayarat prose hipnosis

dapat berjalan dengan baik.Seperti halnya prinsip “Every Hypnosis is Self

Page 30: BAB II

39

Hypnosis” sehingga therapist hanya berfungsi sebagai fasilitator yang

memandu klien agar dapat menghipnosis dirinya sendiri.

Oleh karena itu, kelekatan dan kepercayaan antara klien dan therapist sangat

dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun hubungan dan

komunikasi yang baik sebelum proses hipnosis dilakukan.jika klien percaya pada

anda, apapun yang anda sugestikan otomatis akan diterima dan dilaksanakannya.

2) Mengatasi rasa takut klien pada hipnosis (Allaying fears): thepaist

bertanggung jawab untuk meluruskan dan memberi pemahaman yang benar

tentang hipnosis dan proses yang akan dilakukannya. Dengan pemahaman

yang benar, ketakutan klien akan teratasi dan klien merasa aman untuk

melakukan proses hipnosis.

3) Membangun harapan klien (Building mental expectancy) : therapist

harus membuat klien memiliki harapan dan keyakinan baahwa dengan

melakukan proses ini, dia akan sembuh. Keyakinan klien itulah yang

menjadi modalitas yang sangat penting bagi keberhasilan terapi apapun.

4) Mengumpulkan informasi klien (Gathering information) : seringkali,

klien memiliki sudut pandang dan persepsi yang tidak benar tntang masalah

yang dihadapinya. Seorang therapist harus benar-benar memahami

dinamika dan permasalahan klien, maka biasanya mengacu pada pertanyaan

berikut:

a) Who : latar belakang, pekerjaan, hobi, tempat kesukaan,

pendidikan, aktivitas harian serta hal-hal yang tidak disenangi atau

hal yang disukai. Dengan memahami klien, seorang therapist akan

Page 31: BAB II

40

lebih mudah membagun hubungan dalam proses pre induksi menjadi

faktor penentu keberhasilan proses Hypnotherapy.

b) What : intensitas, dinamika, dan akar masalah klien. Apa

masalahnya? Seringkali berpijak pada hal yang lebih rumit yaitu

perilaku nyata.

c) Where : tempat dimana klien memunculkan masalah. Dengan

menjawab dimensi tempat,seorang therapist dapat terbantu dapat

terbantu dengan jebakan-jebakan “label” yang diberikan pada klien.

d) When : dimensi waktu yang meliputi : sejak kapan ? “sebelum”,”

pada saat” dan “sesudah” klien memunculkan masalah.

e) Why : Mengapa adalah dimensi pertanyaan sebab, motivasi, untuk

apa dan alasan klien ketika tindak laku klien terjadi.

f) How : Menentukan bagaimana menagani klien tersebut. Semakin

detail informasi yang didapat akan semakin membantu therapist

untuk menangani klien.

5) Tes sugestibilitas : untuk mengetahui tingkat sugestifitas alamiah

klien,selanjutnya hypnotist dapat melakukan hypnotic training. beberapa

contoh dari sugestivity test adalah (IBH, 2000):

a) Locking the hand

b) Arm rising and falling test

c) Catalepsy of the eye

d) Rigid catalepsy

e) Muscular training (Rusli&Wijaya, 2009)

Page 32: BAB II

41

Tes sugestibilitas merupakan proses utuk menguji sugestibilitas seseorang,

apakah orang tersebut mudah di sugesti atau tidak. Dalam proses terapi, tes

sugestibilitas digunakan sebagai sarana latihan bagi klien untuk melakukan dan

merasakan yang nantinya akan berlanjut memasuki kondisi hypnotic. Bagi

therapist, uji sugestibillitas pada klien dapat digunakan untuk memilih tehnik

induksi apa yang cocok bagi klien tersebut.

Dari uji sugestibilitas tersebut, kita dapat meginduksi klien, bagaimana

seharusnya merespon terhadap sugesti-sugesti yang kita berikan (Fachri, 2008).

b. Induksi

Merupakan sarana utama untuk membawa seorang subjek dari conscious

mind ke subconscious mind (trance). Untuk bisa menuntun masuk kedalam trance

atau terhipnosis perlu diperhatikan beberapa faktor. Yang pertama, subjek harus

percaya kepada therapist apabila kepercayaan ini tidaka ada maka sulit untuk

mencapai suatu kondisi trance. Kedua, tempat yang dipilih untuk mengipnosis

harus kondusif sehingga tidak mempengarihi perhatian subjek. Ketiga, Therapist

sendiri harus mempunyai keyakinan yang tinggi untuk menuntun subjek kedalam

trance dengan tehnik yang dikuasai disamping kepercayaan diri yang besar.

Dalam setiap induksi,unsur-unsur berikut selalu ditemui (Kahija, 2007):

Page 33: BAB II

42

1) Tahap Induksi

a) Permulaan : untuk mengawali induksi, bentuk yang paling sering

digunakan adalah tehnik pernafasan karena oksigen yang dibawa ke otak

akan membuat fikiran dan tubuh menjadi rilaks.

b) Relaksasi sistemik : dimulai dari titik tertentu dari kepala sampai kaki.

Titik-titik yang umumnya membuat rileks adalah ubun-ubun, mata, pelipis,

rahang, leher, bahu, lengan, tangan, dada, punggung, perut, paha, betis dan

kaki.

c) Pengaktifan rasa dan emosi : Klien diajak merasakan sugesti yang

diberikan dengan kata-kata “rasakan” atau “bayangkan” dan menghindari

ajakan pada klien untuk berfikir seperti kata “fikirkan” atau “ingatlah”.

d) Pengaktifan gambaran mental : Membawa klien ke tempat yang disukai,

dengan meningkatkan kepekaan panca indra klien.

e) Terminasi : Di akhir induksi, therapist membuat klien merasa segar dan

ringan sesudah bangun jika ini tidak dilakukan, ada kemungkinan klien

merasa pusing dan leher terasa berat.

2) Tehnik Induksi

Tehnik induksi yang digunakan sangat bervariasi ,namun sebenarnya

mempunyai persamaan usur dari. Tehnik yang digunakan tergantung variasi

dari therapist yang melakukan hipnosis. Metode induksi secara garis besar

dapat dikelompokkan enam unsur dasar sebagai berikut:( Hukom, 1979 ;

IBH, 2000).

Page 34: BAB II

43

a) Metode pandang : Therapist dan klien saling memandang mada masing-

masing.Induksi diberikan agar klien terus memangdang kearah therapist

tanpa berkedip sampai mencapai trance. setelah mata klien mulai berat

perintahkan untuk menutup mata, selanjutnya dengan sugesti tidur.

b) Metode tatap: Pada metode ini therapist meminta klien untuk menatap

benda yang menkilat atau jarinya, atau alat yang disebut hypnoscoop.

c) Metode sapa : Dengan menggunakan kata-kata therapist mempengaruhi

klien sampai berada dalam trance. cara ini dilakukan oleh lLiebeault,

Bernheim dan lainnya yang merupakan unsur dasar cara untuk mencapai

trance.

d) Metode nafas dalam : klien diminta untuk menarik nafas dalam-dalam

beberapa detik lebih lambat daripada nafas normal secara berulang sampai

keadaan trance.

e) Metode bertahap : Klien akan dibangunkan kembali setiap kali setelah ia

masuk kedalam sugesti kemudian ditanyakan apa yang dirsakan oleh klien

sebelum melanjutkan kembali meneruskan usaha induksi.Kemudian

dilanjutkan lagi tahap demi tahap sampai mencapai trance.

f) self hypnosis, Auto-hypnose, Spontan-hypnose, Swahipnosis. : pada

metode ini keadaan trance dicapai tanpa bantuan therapist.

g) Depth Level Test

Merupakan tes untuk mengetahui seberapa jauh kesadaran klien

seudah berpindah dari conscious mind ke subconscious mind .Tingkat

kedalaman setiap orang berbeda-beda dan sangat tergantung dari kondisi

Page 35: BAB II

44

klien, pemahaman terhadap hipnosis, waktu, linkungan, dan keahlian dari

therapist. Berdasarkan Davis-Husband Scale tingkat kedalaman hipnosis

dapat dibagi menjadi 30 tingkat kedalaman ( Wong & Hakim,2009).

Sedangkan kebutuhan tingkat kedalaman juga mempunyai maksud dan

tujuan yang berbeda-beda dalam proses hipnosis. Depth Level Test

digunakan untuk mengetahui kedalaman suyet dalam memasuki alam bawah

sadar. Depth Level Test dapat berupa sugesti sedehana.

Tabel 2.2 Skor kedalaman Hipnotis

Kedalaman Nilai Gejala Objektif

Hipnoidal 12345

RelaxationKelopak mata bergetarFluttering and closing of the eyeMenutup mataRelaksasi sempurna secara fisik

Trance ringan 67

8,9,1011,12

Kelopak mata tidak bisa dibuka lagiKatalepsi tungkai dan lenganKatalepsi tegangAnastesia sarung tangan

Trance menengah 13,1415171820

Amnesia sebagianAnestesia posthipnotikPerubahan-perbahan kepribadianPosthipnotik sugesti sederhanaWaham kinestetik

Trance dalam 2123252627282930

Sanggup membuka mata,tanpa trance terganggu Posthypnotic sugesti yang anehSomnabulisme sempurnaHalusinasi visual Halusinasi auditorySystematized auditory amnesiasNegative auditory hallucinationNegative visual hallucination

(Sumber: Davis-Husband Scale, 2007)

Page 36: BAB II

45

c. Hypnotic sugesstion

Merupakan tahpan inti dari maksud dan tujuan proses hipnosis. Pada

tahapan ini seorang Hypnotherapist mulai dapat memasukkan kalimat-kalimat

sugesti ke sub-Conscious (fikiran bawah sadar).

d. Post Hypnotic sugesstion

Merupakan sugesti yang menjadi nilai baru bagi seorang subjek walaupun

telah disadarkan dari tidur hipnosis,tidak akan bertahan lama apabila tidak sesuai

atau bertentangan dengan nilai dasar dari subjek. Dalam hypnotherapy,post

hypnotic suggestion merupakan bagian penting karena merupakan bagian inti dari

tujuan hypnotherapy. Seorang hypnotherapist harus dibekali pengetahuan

kejiwaan dan psikopatologi untuk dapat memberikan sugesti yang benar setelah

hipnosis

e. Terminasi

Adalah suatu tahapan untuk mengakhiri proses hipnosis dengan konsep

dasar memberikan sugesti ataupun perintah supaya subjek tidak mengalami

kejutan psikologis ketika terbangun dari “tidur” hipnosis.Proses terminasi

biasanya dengan memberikan sugesti positif yang akan membuat tubuh klien lebih

segar dan rileks,kemudisn diikuti beberapa regresi beberapa detik untuk

membawa subjek ke keadaan normal kembali. Terminasi adalah proses berpindah

kembalinya sub-conscious mind ke conscious mind.proses ini dilakukan apabila

subjek telah siap untuk dibangunkan dari “tidur” hipnosisnya.

Page 37: BAB II

46

f. Post hypnotic

Keadaan setelah proses hipnosis selesai seperti pada awal sebelum silakukan

kegiatan hipnosis.Pada fase ini diharapkan apa yang menjadi tujuan awwal dari

hipnosis untuk terapi pada klie tercapai setelah proses hipnosis selesai.

Post hypnotic behaviour adalah perilaku atau nilai baru yang didapatkan

oleh seorang subjek setelah terbangun dari “tidur’hipnosis.Agar post hypnotic

dapat bertahan lama,sesi hipnosis sebaiknya dilakukan secara rutin dan tidak

bertentangan dengan nilai moral subjek itu sendiri.Contohnya,menghentikan

kebiasaan merokok,marah-marah rasa percaya diri dan sebagainya (Rusli &

Wijaya,2009)

Gambar 2.8 Proses Hipnotherapi

(Sumber: Budiman, 2013).

Page 38: BAB II

47

D. Konsep Aromatherapy

1. Definisi Aromatherapi

Aromatherapi adalah terapi komplementer dalam praktek keperawatan dan

menggunakan minyak esensial dari bau harum tumbuhan untuk mengurangi

masalah kesehatan dan memperbaiki kualitas hidup. Sharma (2009) mengatakan

bahwa bau berpengaruh secara langsung terhadap otak seperti obat analgesik .

singkatnya aromatherapi adalah modifikasi dari Teknik relaksasi nafas dalam

yang merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, dalam hal ini perawat

mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat

(menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas

secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas

dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah

(Smeltzer dan Bare, 2002).

2. Fisiologi Aromatherapi Lavender

Lavender memiliki zat aktif berupa linalool dan linalyl acetate yang dapat

berefek sebagai analgesik (Wolfgang & Michaela, 2008). Molekul linalool dan linalyl

acetate yang terdapat dalam lavender oil akan masuk ke dalam sistem saraf melalui

indra penciuman, sistem respirasi,dan kulit. Di dalam mukosa Olfactorius terdapat sel

reseptor Olfactorius. Axon dari sel reseptor Olfactorius akan bersatu membentuk

nervus Olfactorius (Sherwood, 2007).Odoran (molekul linalool dan linalyl acetate)

akan menempel pada binding-site yang terdapat pada silia hidung. Hal ini akan

mengakibatkan teraktivasinya protein G, yang akan memicu serangkaian reaksi

intraselular cAMP-dependent yang pada akhirnya akan membuka Na+-kanal

Page 39: BAB II

48

(Sherwood, 2007). Terbukanya Na-kanal akan memicu perubahan impuls

elektrokimia yang akan langsung disalurkan menuju otak. Odoran lalu akan dibawa

dari receptor menuju bulbus Olfactorius. Dari bulbus Olfactorius, odoran akan

disalurkan menuju sistem limbik, yang merupakan bagian otak yang berfungsi untuk

menerima dan merespon memori, kesenangan dan emosi di dalam otak. Amygdala

memainkan peranan penting dalam menyimpan trauma emosional dan odoran

memicu efek yang sangat besar. Odoran memicu sistem limbik untuk melepaskan

brain-affecting chemicals yang dikenal sebagai neurotransmiter, seperti serotonin,

endorfin, enkefalin dan dopamin (Khyasudeen & Abu Bakar, 2007).

Enkefalin dan endorfin, yang merupakan endogen opiate, morphin-like

substance, berperan sangat penting dalam sistem analgesik alami tubuh. Endogen

opiat ini berperan sebagai neurotransmiter analgesik; mereka dilepaskan dari

descending analgesic pathway dan akan berikatan dengan reseptor opiat di serabut

saraf nyeri terminal. Ikatan ini akan menekan pelepasan substansi P melalui inhibisi

pre-sinaptik, yang pada akhirnya akan menghambat transmisi lebih jauh dari sinyal

rasa nyeri (Sherwood, 2007).

3. Tujuan

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik

relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi paru, oksigenasi darah,

memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi

batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan

intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.

Page 40: BAB II

49

4. Indikasi

1) Menurut Baradero, Dayrit, dan Siswadi (2009) yaitu:

a) Prabedah

b) Pascabedah

c) Merasakan nyeri yang akut

d) Posisi tubuh pada saat relaksasi

2) Menurut Sari (2008), yaitu:

a) Duduk

i. Duduk dengan seluruh bagian belakang badan bersandar pada kursi

ii. Letakkan telapak kaki pada lantai

iii. Kedua jari dijarangkan

iv. Pertahankan posisi kepala tegak harus pada tulang belakang

v. Letakkan kedua tangan disamping badan atau diatas kursi

b) Terlentang

i. Jarangkan kedua posisi dengan jari-jari agak keluar

ii. Istirahatkan kedua tangan pada posisi badan

iii. Gunakan pengalas tipis dibawah kepala.

5. Metode untuk melakukan nafas dalam

1) Menurut Baradero, Dayrit, dan Siswadi, (2009), yaitu:

a) Ambil posisi semifowler atau tinggi dengan kedua lutut ditekuk agar

otot abdomen menjadi relaks dada berekspansi optimal

b) Letak satu tangan di atas abdomen

Page 41: BAB II

50

c) Tarik nafas perlahan melalui hidung, biarkan dada berekspansi

danrasakan naiknya abdomen pada tangan yang telah diletakkan pada

abdomen

d) Tahan nafas selama tiga detik agar alveoli berekspansi optimal

e) Hembuskan nafas perlahan melalui bibir yang dikerutkan

f) Ulang nafas dalam tiga kali.

2) Menurut Long (1996) dalam Sari (2008), yaitu:

a) Tidur pada posisi semifowler dengkul sedikit dilipat guna memekarkan

Thorax sepenuhnya

b) Tempatkan tangan diatas perut

c) Tarik nafas perlahan-lahan melalui hidung membiarkan dada mekar dan

rasakan gerak-gerik menekan tangan

d) Tahan nafas selama tiga detik

e) Keluarkan nafas dengan mulut seperti orang bersiul atau perut dapat

berkontraksi

f) Tarik nafas dan keluarkan nafas tiga kali

g) Istirahat

h) Ulangi langkah tiga sampai tujuh untuk dua kali lagi.

Page 42: BAB II

51

6. Manfaat Teknik relaksasi nafas dalam dengan Aromatherapi

a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang

disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi

pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang

mengalami spasme dan iskemik.

b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk

melepaskan opoid endogen yaitu endorphin dan enkefalin.

c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat relaksasi melibatkan sistem

otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah

dilakukan kapan saja atau sewaktu- waktu (Jayanthi, 2010).

Page 43: BAB II

52

E. Kerangka Teori

Gambar 2.9 Kerangka Teori

Manajemen nyeri farmakologi

(Smeltzer & Bare, 2002 WHO,2009 ) : Analgetik

1. Golongan opioid2. Golongan non steroid

Pascabedah Abdomen

(Muttaqin & Meji, 2014)

Nyeri

( Smeltzer 7 Bare,2002; Potter &Perry, 2006; James, 2014;

NFO,2014)

Aromatherapi Lavender

&

Hipnotherapi

Tehnik relaksasi

(Smeltzer & Bare,2002; Potter & Perry, 2006; Anita, 2011; Budiman,2013;

Wolfgang & Michaela, 2008; Meji, 2014):

1. Relaksasi progresiv2. Relaksasi Aromatherapi

Manajemen nyeri secara non-farmakologi

(Smeltzer & Bare,2002; Potter & Perry, 2006):

1. Stimulasi dan massase kutaneus

2. Terapi es dan panas3. Stimulasi saraf elektris

transkutan4. Distraksi5. Tehnik Relaksasi6. Hipnosis

Hipnotherapi

(Elliotson, 1873; Smeltzer & Bare, 2002; IBH, 2002; Budiman, 2013):

Hipno-brithing Hipno-analgesia Hipno-anesthesia