Upload
paranse-elsando
View
7
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lanjutan pengaruh hpnotherapi
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Keperawatan Perioperatif
Keperawatan peri operatif dilakukan berdasarkan proses keperawatan dan
perawat perlu menetapkan strategi yang sesuai dengan kebutuhan individu selama
periode peri operatif sehingga klien memperoleh kemudahan sejak datang
sampai klien sehat kembali. Asuhan keperawatan perioperatif meliputi asuhan
keperawatan yang diberikan sebelum (preoperatif ), selama ( intraoperatif ), dan
setelah ( pascaoperatif ) (Potter & Perry, 2006).
Perawat harus melakukan tindakan aseptik bedah yang baik ; membuat
dokumentasi yang lengkap dan menyeluruh ; dan mengutamakan keselamatan
klien pada seluruh fase. Penyuluhan dan rencana pulang yang efektif diperlukan
untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya komplikasi (Potter & Perry,
2006).
Pada bedah Abdomen, ada beberapa resiko intra dan pascaoperatif yang
perlu diperhatikan oleh perawat perioperatif. Proses keperawatan perioperatif
berupaya dan mempunyai peran untuk menurunkan resiko bedah Abdomen baik
intra dan pasca bedah dengan upaya mengaplikasikan asuhan secara
komprehensif sejak fase pra operatif sampai pasca operatif. Keperawatan peri
operatif berupaya menunjang pembedahan agar tujuan pembedahan dapat
terlaksana secara optimal ( Muttaqin, 2009 ).
10
11
1. Definisi Perawatan Perioperatif
Smeltzer dan Bare (2002), menyatakan keperawatan perioperatif
merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi
keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien. Istilah
perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman
pembedahan praoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif. Masing-masing tiga
fase dimulai dan berakhir pada waktu tertentu masing-masing mencakup rentang
perilaku oleh perawat dengan menggunakan proses keperawatan.
Menurut Baradero, Dayrit dan Siswadi (2009), keperawatan perioperatif
adalah hasil dari perkembangan keperawatan kamar operasi. Fokus keperawatan
perioperatif sekarang adalah pasien, bukan prosedur atau teknik.
a. Fase Pembedahan
Menurut Baradero, Dayrit dan Siswadi (2009), pembedahan di bagi atas
tiga fase yaitu:
1) Fase Praoperatif
Fase praoperatif adalah dimulai ketika keputusan diambil untuk
melaksanakan intervensi pembedahan. Termasuk dalam kegiatan perawatan dalam
tahap ini adalah pengkajian praoperasi mengenai status fisik, psikologis, dan
sosial pasien, rencana keperawatan mengenai persiapan pasien untuk
pembedahannya, dan implementasi intervensi keperawatan yang telah
direncanakan. Tahap ini berakhir ketika pasien diantar ke kamar operasi dan
diserahkan keperawat bedah untuk perawatan selanjutnya.
12
2) Fase intraoperatif
Fase intraoperatif adalah dimulai ketika pasien dipindahkan ke meja operasi,
tahap ini berakhir ketika pasien dipindahkan post anesthesia care unit (PACU)
atau yang dahulu disebut ruang pemulihan. Dalam tahap ini, tanggung jawab
perawatan terfokus pada kelanjutan dari pengkajian fisiologis, psikologis,
merencanakan dan mengimplementasi intervensi untuk keamanan dan privasi
pasien, mencegah infeksi luka, dan mempercepat penyembuhan.
3) Fase pascaoperatif
Dimulai dengan pemindahan pasien ke PACU dan berakhir pada waktu
pasien dipulangkan dari rumah sakit. Termasuk dalam kegiatan perawatan adalah
mengkaji perubahan fisik dan psikologis.
b. Persiapan Prabedah
Penting sekali untuk memperkecil resiko operasi karena hasil akhir suatu
pembedahan sangat tergantung pada penelitian keadaan penderita dan persiapan
prabedah. Dalam persiapan inilah di tentukan adanya indikasi atau kontraindikasi
operasi, toleransi penderita terhadap tindakan bedah. Dan ditetapkan waktu yang
tepat untuk melaksanakan pembedahan. Tindakan umum yang dilaksanakan
setelah dilakukan pembedahan adalah untuk mempersiapkan pasien agar penyulit
pasca bedah dapat di cegah sebanyak mungkin. Setelah tindakan tertentu tersebut
dilakukan secara rutin, seperti pembersihan kulit, persiapan diruangan bedah
pasien dan persiapan fisik dan mental (Smeltzer dan Bare, 2002).
13
Persiapan prabedah untuk mengurangi faktor resiko, karena hasil akhir suatu
pembedahan sangat tergantung pada penilaian keadaan penderita. Dalam
persiapan inilah ditentukan adanya kontra indikasi operasi, toleransi penderita
terhadap tindak bedah, dan ditetapkan waktu yang tepat untuk melaksanakan
pembedahan (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Selain menyiapkan fisik dan mental
pasien, perawat juga berperan dalam memberikan pendidikan atau penyuluhan
praoperatif yang dilakukan perawat untuk membantu klien operasi dalam
meningkatkan kesehatannya sendiri sebelum dan sesudah operasi.
Penyuluhan praoperasi dahulu dilakukan dalam satu atau dua hari sebelum
pembedahan. Informasi penting yang perlu dijelaskan kepada pasien adalah
prosedur praoperasi, pembedahan itu sendiri, dan apa yang diharapkan dari
pembedahan (Baradero, Dayrit, dan Siswadi, 2009).
Menurut Potter dan Perry (2006), penyuluhan preoperatif yang berstruktur
dapat mempengaruhi beberapa faktor pasca operasi seperti:
1) Fungsi pernapasan. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien untuk
batuk dan napas dalam secara efektif.
2) Kapasitas fungsi fisik. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien
melakukan ambulasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari secara lebih
awal.
3) Perasaan sehat. Klien yang dipersiapkan untuk menjalani pembedahan
memiliki kecemasan yang lebih rendah dan menyatakan rasa sehat
secara psikologis yang lebih besar.
14
4) Lama rawat inap di rumah sakit. Penyuluhan preoperatif secara
berstruktur dapat mempersingkat waktu rawat inap klien di rumah sakit.
5) Ansietas tentang nyeri dan jumlah obat-obatan anti nyeri yang
diperlukan untuk kenyamanan. Klien yang telah diberikan penyuluhan
tentang nyeri dan cara untuk menghilangkannya.
c. Tipe Bedah
Menurut Baradero, Dayrit dan Siswadi (2009), bedah dapat diklasifikasikan
dalam beberapa cara diantaranya berdasarkan lokasi, ekstensi atau tujuan dari
tindakan bedah tersebut yaitu:
1) Lokasi
Tindakan bedah dapat dilaksanakan eksternal atau internal.
a) Pada bedah eksternal kulit atau jaringan yang dibawahnya dapat
dijangkau oleh ahli bedah. Contoh bedah plastik.
b) Pada bedah internal disertai penetasi kedalam tubuh. Tindakan bedah
bisa juga diklasifikasikan menurut lokasi atau sistem dari tubuh.
Seperti bedah kardiovaskuler, bedah thorax, bedah abdomen, dan
sebagainya.
2) Menurut Luas Jangkauan
Bedah dapat diklasifikasikan sebagai minor/kecil dan mayor/besar.
15
d. Tipe Anestesi
Menurut Potter dan Perry (2006), tipe anestesi ada tiga yaitu:
1) Anestesi Umum
Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor,
yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.
2) Anestesi Regional
Metode induksi mempengaruhi bagian alur sensorik yang diberi anestesi.
Pada bedah mayor, seperti perbaikan hernia, histerektomi vagina, atau
perbaikan pembuluh darah kaki.
3) Anestesi lokal
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang
diinginkan misal adanya sel tumbuh pada kulit atau kornea mata. Anestesi
lokal umumnya digunakan dalam prosedur minor pada tempat bedah sehari.
e. Bedah Abdomen
1) Dinding Abdomen
Struktur dinding abdomen melindungi organ intra abdomen. Komposisi
lapisan dinding abdomen dimulai dari kulit dan lapisan lemak subkutis yang
kemudian dibawahnya terdapat jaringan ikat yang padat yang disebut linea alba,
yang merupakan suatu struktur tendinosa. Struktur utama yang membentuk
dinding abdomen anterior ialah otot rektus abdominis, transversus abdominis,
serta oblikus eksternus dan internus. Fasia transversalis, yang dianggap sebagai
lapisan terkuat dinding abdomen, terletak di bawah lapisan otot, tepat di atas
16
peritoneum. Membran serosa paling besar di tubuh ialah peritoneum, yang
melapisi dinding rongga abdomen. Membran ini juga menutupi sebagian besar
organ abdomen dan membungkus permukaan atas organ panggul (Simon, 2003
dikutip Muttaqin dan Sari, 2009).
2) Bedah Laparatomi
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen.
Menurut Sjamsuhidayat dan Jong (2005), bedah laparatomi merupakan teknik
sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah
digestif dan kandungan. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan
dengan teknik sayatan arah laparatomi yaitu: herniatomi, gasterektomi,
kelesistomi, duodenostomi, hepateroktomi, splenorafi/ spenotomi,
appendiktomi, kolostomi, hemoroidektomi dan fistulotomi atau fistulektomi.
Selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi pada bedah digestif dan
kandungan, teknik ini juga sering dilakukan pada pembedahan organ lain, yaitu
ginjal dan kandung kemih.
3) Insisi pembedahan Laparatomi:
a) Insisi Vertikal
Insisi vertikel pada penelitian ini meliputi insisi midline dan paramedian
pada kasus laparatomi. Insisi ini mempercepat pencapaian ke dalam rongga
abdomen dengan sedikit kehilangan darah, namun kerugiannya dibandingkan
dengan insisi transversal adalah kerusakan jaringan lebih besar dan kerusakan
saraf lebih banyak, sehingga nyeri dirasakan lebih hebat (Rothrock dan Meeker,
2003; Higgins, Naumann, dan Hall, 2007 dikutip Anita, 2011).
17
b) Insisi Oblik
Insisi oblik pada penelitian ini meliputi insisi McBurney pada kasus
appendiktomi. Insisi oblik mengakibatkan kerusakan saraf minimal yang
terpotong dan kebanyakan saraf interkosta kedelapan (Rothrock & Meeker, 2003
dikutip Anita, 2011).
c) Insisi Transversal
Insisi transversal pada penelitian ini meliputi insisi pfannenstiel. Insisi
pfannenstiel untuk pembedahan seksio cesar. Insisi ini biasanya dibuat insisi
sepanjang 12 cm dan dibuat kira-kira 5 cm di atas simfisis pubis. Nyeri lebih
sedikit dirasakan daripada letak insisi oblik (Rosenberg dan Grantacharov, 2001;
Higgins, Naumann, dan Hall, 2007).
f. Nyeri Pascabedah
Salah satu ketakutan terbesar klien pascabedah adalah nyeri. Nyeri setelah
pembedahan adalah hal yang normal. Apabila menunggu sampai nyeri
menyiksanya maka analgesik tidak mampu menghilangkan nyeri. Klien yang akan
mendapat analgesik yang dikontrol oleh pasien (Patient-Controlled Analgesia,
PCA) setelah operasi harus mengetahui tentang cara menekan tombol saat nyeri
mulai terasa (Potter dan Perry, 2006).
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), Perbedaan nyeri komplit pada daerah
dari insisi bedah dapat terjadi selama beberapa minggu, tergantung pada letak dan
sifat pembedahan. Namun demikian, perubahan posisi pasien, penggunaan
18
distraksi, pemijatan punggung dengan lotion dapat membantu menghilangkan
ketidaknyamanan dan meningkatkan medikasi.
B. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Asosiasi internasional untuk penelitian nyeri ( International Association for
the Study of Pain, IASP ) Mendefinisikan nyeri sebagai "suatu sensori Subjektif
dan pengalaman emosional yng tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian – kejadian
dimana terjadi kerusakan" (IASP. 1979).Nyeri dapat merupakan faktor utama
yang menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk pulih dari suatu
penyakit (Potter & Perry, 2006).
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Potter & Perry (2006) nyeri adalah pengalaman perasaan emosional
yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial,
atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Secara umum nyeri adalah
suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan
sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui
bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
19
2. Fisiologi Nyeri
a. Stimulus
Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus ( rangsang nyeri ) dan
reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu ujung – ujung saraf
bebas kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat. Munculnya nyeri dimulai
dengan adanya stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik
serta mekanik (Prasetyo, 2010).
b. Reseptor Nyeri
Reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan -perubahan
partikular di sekitarnya, kaitannya dengan proses terjadinya nyeri maka resepto-
reseptor inilah yang menangkap stimulus-stimulus nyeri (Prasetyo, 2010).
Beberapa penggolongan reseptor sensori dalam Prasetyo (2010) :
1) Termoreseptor: reseptor yang menerima sensasi suhu (panas atau dingin).
2) Mekanoreseptor; reseptor yang menerima stimulus-stimulus mekanik.
3) Nosiseptor: reseptor yang menerima stimulus-stimulus nyeri.
4) Kemoreseptor: reseptor yang menerima stimulus kimiawi.
Menurut Tamsuri (2007), berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh, yaitu :
1) Kulit (kutaneus)
Reseptor jarinagn kuit terbagi dalam dua komponen, yaitu:
20
a) Serabut A delta merupakan serabut komponen cepat (kecepatan
transmisi 6-30m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang
akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b) Serabut C merupakan komponen lambat (kecepatan transmisi
0,5-2m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
2) Somatik Dalam
Stuktur reseptor nyeri somatic dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.
Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri
yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
3) Viseral
Reseptor ini meliputi organ-organ visceral seperti jantung, hati, usus,
ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya difus
(terus-menerus) dan sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan
inflamasi. Nyeri visceral dapat menyebabkan nyeri alih, yaitu nyeri yang
dapat timbul pada daerah yang berbeda/jauh dari organ asal stimulus nyeri
tersebut. Nyeri pindah ini dapat terjadi karena adanya sinaps jaringan
visceral pada medulla spinalis dengan serabut yang berasal dari jaringan
subkutan tubuh.
21
c. Alur Nyeri
Gambar 2.1Proses Terjadinya Nyeri
Stimulus nyeri: biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik.
Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer
Impuls nyeri diteruskan oleh serabut saraf afferen (A-delta & C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn
Impuls bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III)
Impuls melewati traktus spinothalamus.
Impuls masuk ke formation retikularis Impuls langsung masuk ke thalamus
Sistem limbik Fast pain
Slow pain (Sumber: Prasetyo, 2010)
Menurut Prasetyo (2010), rangkaian proses terjadinya nyeri diawali dengan
tahap tranduksi, dimana hal ini terjadi ketika nosiseptor yang terletak pada bagian
perifer tubuh distimulasi oleh berbagai stimulus, seperti faktor biologis, mekanis,
listrik, thermal, radiasi dan lainn-lain. Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe
mekanis atau thermal 9 yaitu serabut saraf A-Delta), sedangkan slow pain
biasanya dicertuskan oleh serabut saraf C. Serabut saraf A-Delta mempunyai
karakteristik menghantarkan nyeri dengan cepat serta bermielinasi, dan serabut
22
saraf C yang tiidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan bersifat lambat dalam
menghantarkkan nyeri. Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi dan
jelas dalam melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C
menyampaikan impuls yang tidak terlokalisasi, viseral dan terus-menerus.
Tahap selanjutnya adalah tranmisi, dimana impuls nyeri kemudian
ditranmisikanoleh serabut saraf efferen (A.-delta dan C) ke medulla spinalis
melalui dorsal horn, impuls akan bersinapsis di substansia gelatinosa. Impuls
kemudian menyeberang ke atas melewati traktus sphinotalamus anterior dan
lateral, kemudian diteruskkan langsung ke thalamus tanpa singgah di formatio
retikularis membawa impuls fast pain. Dibagian thalamus inilah individu
kemudian dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi,
mengintrepetasikan dan mulai berespon terhadap nyeri.
Beberapa impuls nyeri ditranmisikan melalui traktus paleospinothalamus
pada bagian tengah medulla spinalis. Impuls ini memasuki formation retikularis
dan sistem limbik yang mengatur perilaku emosi dan kognitif, serta integrasi dari
sistem otonom. Slow pain yang terjadi akan membangkitkan emosi,
sehinggatimbul respon terkejut, marah, cemas, tekanan darah meningkat, keluar
keringat dingin dan jantung berdebar-debar.
23
d. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Gambar 2.2Faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri
(Sumber; Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2006)
1) Usia
Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui secara
luas. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak mempunyai
kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengespresikan secara nyeri kepada
orangtua atau perawat. Pada masa orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007). Pada lansia,
mereka lebih untuk tidak melaporkan nyeri karena persepsi nyeri yang harus
mereka terima, menyangkal merasakan nyeri karena takut akan konsekuensi atau
tindakan media yang dilakukan dan takut akan penyakit dan rasa nyeri itu
(Smeltzer & Bare, 2002).
Pengalaman Nyeri
Kebudayaan
Jenis kelamin
Usia
Keluarga dan dukungan sosial
Gaya Koping
Pengalaman Terdahulu
Makna NyeriPerhatian
Ansietas
24
2) Jenis Kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
berespon terhadap nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subjek
penelitian yang melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi terhadap nyeri
dipengaruhi oleh factor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap
individu, tanpa memperhatikan jenis kelamin (Potter & Perry, 2006).
3) Budaya
Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang
berespons terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku
dalam berespons terhadap nyeri). Pasien dengan latar belakang budaya yang lain
bisa berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang
mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda
dari satu pasien ke pasien yang lain (Smeltzer & Bare, 2002).
4) Makna Nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Seorang wanita yang merasakan nyeri saat
bersalin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang
nyeri karena dipukul oleh suaminya (Prasetyo, 2010).
5) Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mepengaruhi persepsi
nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri
sedangkan upaya pengalihan(distraksi0 dihubungkan dengan penurunan respon
25
nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri,
seperti relaksasi, tehnik imajinasi terbimbing, dan massase atau pijatan (Prasetyo,
2010).
6) Pengalaman Sebelumnya
Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian
nyeri selama rentang kehidupannya. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan
dari pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada
terhadap pengalaman masalalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan
tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa
mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).
7) Mekanisme Koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat
seseorang menjadi kesepian. Apabila klien mengalami nyeri di keadaan perawatan
kesehatan, klien merasa tidak berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang sering terjadi
adalah klien merasa kehilangan control terhadap lingkungan atau hasil akhir dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Mekanisme koping empengaruhi kemampuan
individu untuk mengatasi rasa nyeri (Potter & Perry, 2006).
8) Dukungan Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan,
bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat. Walaupun
nyeri masih dirasakan oleh klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan
kesepian adan ketakutan (Prasetyo, 2010).
26
e. Pengukuran Intensitas Nyeri
Cara mengukur intensitas nyeri, dengan mengembangkan sebuah alat ukur
nyeri (painometer) dengan skala longitudinal yang pada salah satu ujungnya
tercantum nilai 0 (untuk keadaan tanpa nyeri), dan ujung lainnya nilai 10 (untuk
kondisi nyeri paling hebat). Untuk mengukurnya, penderita memilih salah satu
bilangan yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri yang
terakhir kali ia rasakan, dan nilai ini dapat dicatat pada sebuah grafik yang dibuat
menurut waktu (Mubarak, 2008).
Tabel 2.1
Skala Nyeri
Skala Keterangan
0 Tidak nyeri
1-3 Nyeri ringan
4-6 Nyeri sedang
7-9 Sangat nyeri, tetapi masih dapat dikontrol dengan aktivitas yang biasa dilakukan
10 Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol
Hayward dalam Mubarak (2008).
27
1) Skala wajah ( face Pain Rating Scale)
Gambar 2.3Skala Nyeri Berdasarkan Ekspresi Wajah
Hayward dalam Mubarak (2008)
2) Skala Deskriftif Verbal (Verbal Deskriptor Scale, VDS)
Gambar 2.4 Skala Nyeri Berdasarkan deskripsi verbal
Hayward dalam Mubarak (2008)
3) Skala Numerik (Numerikal Rating Scale, NRS)
Gambar 2.5Skala Nyeri Berdasarkan Skala Numerik
Hayward dalam Mubarak (2008)
28
4) Skala Analog Visual (Visual Analog Scale, VAS)
Gambar 2.6Skala Nyeri Berdasarkan Skala Visual Analogi
Hayward dalam Mubarak (2008)
VAS berbentuk garis horizontal sepanjang 10 cm, dan ujungnya
mengidentifikasi nyeri yang berat. Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis
yang menunjukkan letak nyeri terjadi disepanjang rentang tersebut (Smeltzer &
Bare, 2002).
Perawat dapat menanyakan kepada klien tentang nilai nyerinya dengan
menggunakan skala 0 sampai 10 atau skala yang serupa lainnya yang membantu
menerangkan bagaimana intensitas nyerinya. Nyeri yang ditanyakan pada skala
tersebut adalah sebelum dan sesudah dilakukan intervensi nyeri untuk
mengevaluasi keefektifannya. Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan
dapat menjawabnya serta gambaran-gambaran yang diungkapkan atau
ditunjukkan tersebut diseleksi dengan hati-hati, setiap instrument tersebut dapat
menjadi valid dan dapat dipercaya (Smeltzer & Bare, 2002).
f. Nyeri Pascabedah
Tindakan operasi merupakan ancaman potensial atau aktual terhadap
inteegritas seseorang baik biopsikososial dan spiritual yang dapat menimbulkan
respon berupa nyeri. Rasa nyeri tersebut dapat timbul pada setiap jenis tindakan
29
operasi, bila tidak diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan yang
akan mengganggu proses penyembuhan (Sari, 2008).
Peredaan nyeri komplit pada daerah dari insisi bedah dapat tidak terjadi
selama beberapa minggu, tergantung pada letak dan sifat pembedahan. Namun
demikian, perubahan posisi pasien, penggunaan distraksi dan pemijatan punggung
dengan lotion yang menyegarkan dapat sangat mmembantu dalam menghilangkan
ketidaknyamanan temporer dan meningkatkan medikasi lebih efektif ketika
diberikan. Untuk mengetahui rasa nyeri pascabedah bisa menggunakan obat-
obatan secarafarmakologi dan non-farmakologi (Smeltzer & Bare, 2002).
g. Manajemen Nyeri Non-farmakologi
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi nyeri, yaitu salah satu
nya dengan pemberian terapi nonfarmakologis. Terapi nonfarmakologis yaitu
terapi yang digunakan yakni tanpa menggunakan obat-obatan, tetapi dengan
memberikan berbagai tehnik yang setidaknya dapat sedikit mengurangi rasa nyeri.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Distraksi
Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain nyeri.
Ada empat tipe distraksi, yaitu distraksi visual, misalnya membaca atau menonton
televisi, Distraksi auditory, misalnya mendengarkan musik, Distraksi taktil,
misalnya menarik nafas dan massase, Distraksi kognitif, misalnya bermain puzzle.
Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain sehingga
dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri, bahkan meningkatkan toleransi
30
terhadap nyeri. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori aktivasi
retikuler, yaitu menghambat stimulus nyeri ketika seseorang menerima masukan
sensori yang cukup atau berlebihan, sehingga menyebabkan terhambatnya impuls
nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien). Stimulus sensori
yang menyenangkan akan merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri
yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang.
2) Stimulasi dan Massase kutaneus
Terapi stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk
menghilangkan nyeri massase, mandi air hangat, kompres panas atau dingin dan
stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) merupakan langkah-langkah
sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Cara kerja khusus stimulasi
kutaneus masih belum jelas. Salah satu pemikiran adalah cara ini menyebabkan
pelepasan endorfin, sehingga memblog transmisi stimulasi nyeri.
Teori Gate-kontrol mengatakan bahwa stimulasi kutaneus mengaktifkan
transmisi tersebut saraf sensori A-Beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini
menurunkan transmisi nyeri melalui serabut dan delta-A berdiameterkecil.
Gerbang sinaps menutup transmisi impuls nyeri. Bahwa keuntungan stimulasi
kutaneus adalah tindakan ini dapat dilakkan dirumah, sehingga memungkinkan
klien dan keluarga melakukan upaya kontrol gejala nyeri dan penanganannya.
Penggunaan yang benar dapat mengurangi persepsi nyeri dan membantu
mengurangi ketegangan otot. Stimulasi kutaneus jangan digunakan secara
langsung pada daerah kulit yang sensitif (Mander,2004).
31
3) Terapi es dan panas
Terapi hangat dan dingin bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri
(non-nosiseptor). Terapi dingin dapat menurunkan prostaglandin yang
memperkuat sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area
sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran darah yang
dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri (Smeltzer & Bare,2002).
4) Hipnosis
Hypnosis-diri dengan membantu merubah persepsi nyeri melalui pengaruh
sugesti positif. Hypnosis-diri menggunakan sugesti dari dan kesan tentang
perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan
menggunakan bagian ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang
menghasilkan respons tertentu bagi mereka (Edelman & Mandel , 1994).
Hypnosis-diri sama seperti dengan melamun . Konsentrasi yang efektif
mengurangi ketakutan dan sters karena individu berkonsentrasi hanya pada satu
pikiran. Selain itu juga mengurangi persepsi nyeri merupakan salah satu sederhana
untuk meningkatkan rasa nyaman ialah membuang atau mencegah stimulasi nyeri.
Hal ini terutama penting bagi klien yang imobilisasi atau tidak mampu merasakan
sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga dapat dicegah dengan mengantisipasi
kejadian yang menyakitkan, misalnya seorang klien yang dibiarkan mengalami
konstipasi akan menderita distensi dan kram abdomen. Upaya ini hanya klien
alami dan sedikit waktu ekstra dalam upaya menghindari situasi yang
menenyebabkan nyeri (Mander, 2003).
32
5) Tehnik Relaksasi
Relaksasi pernafasan yang merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan,
yang dalam hal ini perawat mengajakan pada klien bagaimana cara melakukan
pernafasan, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana
menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri,
teknik relaksasi pernafasan juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan
meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare2002).
Menurut kegunaanya teknik relaksasi pernafasan dianggap mampu
meredakan nyeri, prosesnya menarik nafas lambat melalui hidung (menahan
inspirasi secara maksimal) dan menghembuskan nafas melalui mulut secara
perlahan-lahan.
33
C. Konsep Dasar Hipnosis
1. Definis Hipnosis
Hipnosis sendiri berasal dari bahasa yunani “hypnos” yang berarti
“tidur”.hipnosis merupakan suatu keadaan setengah sadar yang jika dilihat
penampakannya mirip dengan tidur,disebabkan oleh suatu sugesti relaksasi dan
perhatian yang terkonsentrasi pada sebuah objek tunggal .Individu tersebut
tersugesti dan resfonsif terhadap pengaruh orang yang menghipnosis dan dapat
mengingat kembali kejadian-kejadian yang telah dilupakan serta dapat meredakan
gejala psikologis (WHO , 1994)
Definisi lain hipnosis adalah perubahan kesadaran buatan,dengan ciri khas
sugestibilitas yang meningkat dari seseorang.Sedangkan sugesti adalah suatu
respon yang patuh dan tidak bersifat mengkritik terhadap gagasan atau suatu
pengaruh (Nuhriawangsa, 2004). Hipnoterapi dapat juga dikatan sebagai suatu
tehnik terapi pikiran dan penyembuhan yang menggunakan metode hipnotis untuk
memberi sugesti atau perintah positif kepada pikiran bawah sadar untuk
penyembuhan suatu gangguan psikologis atau untuk mengubah pikiran,perasaan
dan perilaku menjadi lebih baik.Orang yang ahli menggunakan hipnotis disebut
hypnotherapist.Hipnoterapi menggunakan pengaruh kata-kata yang disampaikan
dengan tehnik-tehnik tertentu.Satu-satunya kekuatan dalam hipnoterapi adalah
komunikasi(Kahija, 2007).
34
Dalam ruang lingkup psikoterapis,hipnosis digunakan bukan saja dalam
psikoterapi penunjang tetapi lebih dari itu,hipnosis merupakan alat yang ampuh
dalam psikoterapi penghayatan dengan tujuan membangun kembali(rekonstuktif)
sehingga perlu pengkajian yang lebih mendalam agar tercapai suatu pendekatan
holistik elektik(IBH, 2002).
Hypnosis adalah pengendalian fungsi otak secara ilmiah. Keadaan normal
yang dialami oleh setiap orang, baik secara sengaja (sadar) maupun tidak sengaja
(alam bawah sadar) setiap harinya. Sebuah keadaan ‟tidur‟ hasil ciptaan
seseorang yang melakukan hipnosis dengan sugesti kepada seseorang yang akan
dihipnotis (suyet). Sebuah kondisi relaks atau santai dengan konsentrasi yang
terfokus (Rusli & Wijaya, 2009)
Berdasarkan pada referensi yang dibuat oleh Manusov, 1990, aplikasi
hypnoanesthesia telah hadir semenjak era 1800-an, di mana saat itu anesthesia
kimiawi belum banyak digunakan. Seiring dengan semakin berkembangnya
anesthesia kimiawi, hypnoanaesthesia semakin jarang digunakan.
Kunci dari hypnosis adalah adanya kekuatan sugesti dan keyakinan terhadap
sesuatu hal yang positif yang muncul berdasarkan pada konsep dalam pikiran,
sehingga akan memberikan energi positif bagi suatu tindakan yang dilakukan.
Kajian inti dari hypnosis adalah berpijak pada asumsi dasar bahwa mind control
dapat dicoba diterapkan dalam kegiatan intervensi pembedahan jaringan. Hal
inilah yang sering disebut hypnoanesthesia. Keberhasilan menerapkan metode
hypnosis dalam mengurangi bahkan menghilangkan rasa nyeri (hypnoanesthesi),
35
penggunaan metode ini mengakibatkan berkurangnya bahkan menghilangnya
rasa nyeri yang dialami tubuh manusia sebagai respon terhadap suatu trauma
ataupun adanya intervensi terhadap jaringan (Jaspi, 2009).
2. Teori Hipnosis
Telah banyak penullis yang mencoba memberi keterangan mengenai
hipnosis dan banyak sekali teori yang diungkapkan.yang diajukan antara lain:
(kroger,2008)
a. Teori imobilisasi
b. Hipnosis sebagai status histeria
c. Teori yang didasari perubahan fisiologis serebral
d. Hipnosis sebagai suatu proses menuju tidur yang dikondisikan
e. Teori aktivitas dan inhibisi ideomotor
f. Teori disosiasi
g. Teori memainkan peran(role-playing)
h. Teori regresi
i. Teori hiopersugestibiitas(hypersuggestibility)
j. Teori psikosomatik
Secara umum,teori-teori hipnosis tersebut dibagi dalam dua kategori
besar,yaitu : (Kaplan & sadock,2004)
a. Teori berdasarkan neuropsiko-fisiologis,yang menerangkan hipnosis sebagai
suatu keadaan dimana kondisi otak berubah dan karena itu,faal otakpun juga
berubah.
36
b. Teori berdasarkan psikologis yang memandang sebagai hubungan antar
manusia yang khas (termasuk teori sugesti , disosiasi, psikoanalitik, psychic
relative exclution, hubungan dwi tunggal dan lain-lain:
Salah satu syarat untuk hipnosis adalah secara sadar tidak menolak, dapat
berkomusikasi dengan bahasa yang sama, berkemapuan untuk fokus ditambah
dengan kreativitas dan fantasi visualisasi. Syarat-syarat tersebut disebut
hipnotizability, yang dapat dinilai tingkatnya dengan skala SHSS (Stanford
Hypnotic Susceptibility Scale) dan HIP (Hypnotic Inductuon Profile).
Berdasarkan Hypnotizability , populasi secara umum dapat digolongkan menjadi
5% kategori sulit, 70-85% sedang 10-15% mudah untuk dihipnotis; wanita
mempunyai nilai hypnotizability lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dan anak-
anak lebih tinggi dari pada orang dewasa (Spiegel, 1985; IBH, 2002; Rogovik &
Goldman, 2007). Suatu penelitian yang dilakukan di Virginia Amerika Serikat
(2004) menunjukkan bahwa orang yang hipnotizability tinggi mempunyai ukuran
corpus callosum anterior (rostum) dan kemampuan untuk mengontrol nyeri lebih
besar. Temuan ini mendukung model teori neuropsiko-fisiologis (Horton et
al.,2004)
37
Gambar 2.7 EEG Hipnosis
(Sumber: IBH, 2002)
Teori yang menyatakan hipnosis sebagai suatu proses menuju tidur yang
dikondisikan,dikaitkan dengan gelombang otak seseorang yang menjalani suatu
proses hipnosis. Gelombanag otak diperiksa denga elektroensefalogram (EEG),
dan dihubungkan dengan kesadaran pada orang tersebut. Berdasarkan gambaran
gelombang otak normal tersebut proses hipnosis diharapkan tercapai pada
gelombang alfa dan teta, dimana dalam keadaan rileks, pikiran yang mulai
terfokus dan mulai penurunan dari conscius ke subconscius dan subjek mulai
sugestif (Kroger, 1963; Priguna, 1980; IBH, 2002).
3. Tehnik Hipnosis dan Proses Hipnosis
Pembagian proses hipnosis tidak seragam, meskipun sebenarnya ada
kesamaan dalam pokok-pokok proses hipnosis. Yang sangat penting dalam
38
proses ini adalah tahap induksi dimana tujuan apa yang dikehendaki dicapai dalam
terapi dilakukan pada tahap ini,diharapkan setelah proses terapi dapat mencapai
terapi yang diharapkan oleh klien maupun terapis.berikut akan dikemukakan
tahapan secara sistematis dari pre hipnosis sampai post hipnosis (IBH, 2002).
Tahap proses hipnsis secara sistematis dapat disusun sebagai berikut : (IBH,
2002).
a. Pre Induksi
Merupakan suatu proses untuk memepersiapkan situasi dan kondisi yang
kondusif antara hipnotis dan subjek. Agar proses pre induksi berlangsung dengan
baik,maka hipnotis harus mengenali aspek-aspek psikologis dari subjek,antara lain
:hal yang di minati,hal yang tidak diminati, apa yang diketahui subjek terhadap
hipnosis, dan lain-lain. Pre induksi dapat berupa percakapan ringan, saling
berkenalan, serta hal-hal lain yang bersifat mendekatkan seorang hipnotis secara
mental pada subjek. Pre induksi bersifat kritis, seringkali kegagalan proses
hipnosis diawali dari proses pre induksi yang tidak tepat.
Tehnik pengumpulan informasi atau data tersebut dapat dilakukan baik
wawancara,observasi maupun lewat kuesioner.Aadal beberapa hal yang harus
dilakukan pada tahap ini,yaitu sebagai berikut: (Kahija, 2007; Fachri, 2008).
1) Membangun hubungan dengan klien :dalam proses hipnosis modern, hal
yang paling mendasar adalah kerjasama antara therapist dan klien.Hal ini
membuat kesiapan dan kesediaan subjek menjadi prasayarat prose hipnosis
dapat berjalan dengan baik.Seperti halnya prinsip “Every Hypnosis is Self
39
Hypnosis” sehingga therapist hanya berfungsi sebagai fasilitator yang
memandu klien agar dapat menghipnosis dirinya sendiri.
Oleh karena itu, kelekatan dan kepercayaan antara klien dan therapist sangat
dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun hubungan dan
komunikasi yang baik sebelum proses hipnosis dilakukan.jika klien percaya pada
anda, apapun yang anda sugestikan otomatis akan diterima dan dilaksanakannya.
2) Mengatasi rasa takut klien pada hipnosis (Allaying fears): thepaist
bertanggung jawab untuk meluruskan dan memberi pemahaman yang benar
tentang hipnosis dan proses yang akan dilakukannya. Dengan pemahaman
yang benar, ketakutan klien akan teratasi dan klien merasa aman untuk
melakukan proses hipnosis.
3) Membangun harapan klien (Building mental expectancy) : therapist
harus membuat klien memiliki harapan dan keyakinan baahwa dengan
melakukan proses ini, dia akan sembuh. Keyakinan klien itulah yang
menjadi modalitas yang sangat penting bagi keberhasilan terapi apapun.
4) Mengumpulkan informasi klien (Gathering information) : seringkali,
klien memiliki sudut pandang dan persepsi yang tidak benar tntang masalah
yang dihadapinya. Seorang therapist harus benar-benar memahami
dinamika dan permasalahan klien, maka biasanya mengacu pada pertanyaan
berikut:
a) Who : latar belakang, pekerjaan, hobi, tempat kesukaan,
pendidikan, aktivitas harian serta hal-hal yang tidak disenangi atau
hal yang disukai. Dengan memahami klien, seorang therapist akan
40
lebih mudah membagun hubungan dalam proses pre induksi menjadi
faktor penentu keberhasilan proses Hypnotherapy.
b) What : intensitas, dinamika, dan akar masalah klien. Apa
masalahnya? Seringkali berpijak pada hal yang lebih rumit yaitu
perilaku nyata.
c) Where : tempat dimana klien memunculkan masalah. Dengan
menjawab dimensi tempat,seorang therapist dapat terbantu dapat
terbantu dengan jebakan-jebakan “label” yang diberikan pada klien.
d) When : dimensi waktu yang meliputi : sejak kapan ? “sebelum”,”
pada saat” dan “sesudah” klien memunculkan masalah.
e) Why : Mengapa adalah dimensi pertanyaan sebab, motivasi, untuk
apa dan alasan klien ketika tindak laku klien terjadi.
f) How : Menentukan bagaimana menagani klien tersebut. Semakin
detail informasi yang didapat akan semakin membantu therapist
untuk menangani klien.
5) Tes sugestibilitas : untuk mengetahui tingkat sugestifitas alamiah
klien,selanjutnya hypnotist dapat melakukan hypnotic training. beberapa
contoh dari sugestivity test adalah (IBH, 2000):
a) Locking the hand
b) Arm rising and falling test
c) Catalepsy of the eye
d) Rigid catalepsy
e) Muscular training (Rusli&Wijaya, 2009)
41
Tes sugestibilitas merupakan proses utuk menguji sugestibilitas seseorang,
apakah orang tersebut mudah di sugesti atau tidak. Dalam proses terapi, tes
sugestibilitas digunakan sebagai sarana latihan bagi klien untuk melakukan dan
merasakan yang nantinya akan berlanjut memasuki kondisi hypnotic. Bagi
therapist, uji sugestibillitas pada klien dapat digunakan untuk memilih tehnik
induksi apa yang cocok bagi klien tersebut.
Dari uji sugestibilitas tersebut, kita dapat meginduksi klien, bagaimana
seharusnya merespon terhadap sugesti-sugesti yang kita berikan (Fachri, 2008).
b. Induksi
Merupakan sarana utama untuk membawa seorang subjek dari conscious
mind ke subconscious mind (trance). Untuk bisa menuntun masuk kedalam trance
atau terhipnosis perlu diperhatikan beberapa faktor. Yang pertama, subjek harus
percaya kepada therapist apabila kepercayaan ini tidaka ada maka sulit untuk
mencapai suatu kondisi trance. Kedua, tempat yang dipilih untuk mengipnosis
harus kondusif sehingga tidak mempengarihi perhatian subjek. Ketiga, Therapist
sendiri harus mempunyai keyakinan yang tinggi untuk menuntun subjek kedalam
trance dengan tehnik yang dikuasai disamping kepercayaan diri yang besar.
Dalam setiap induksi,unsur-unsur berikut selalu ditemui (Kahija, 2007):
42
1) Tahap Induksi
a) Permulaan : untuk mengawali induksi, bentuk yang paling sering
digunakan adalah tehnik pernafasan karena oksigen yang dibawa ke otak
akan membuat fikiran dan tubuh menjadi rilaks.
b) Relaksasi sistemik : dimulai dari titik tertentu dari kepala sampai kaki.
Titik-titik yang umumnya membuat rileks adalah ubun-ubun, mata, pelipis,
rahang, leher, bahu, lengan, tangan, dada, punggung, perut, paha, betis dan
kaki.
c) Pengaktifan rasa dan emosi : Klien diajak merasakan sugesti yang
diberikan dengan kata-kata “rasakan” atau “bayangkan” dan menghindari
ajakan pada klien untuk berfikir seperti kata “fikirkan” atau “ingatlah”.
d) Pengaktifan gambaran mental : Membawa klien ke tempat yang disukai,
dengan meningkatkan kepekaan panca indra klien.
e) Terminasi : Di akhir induksi, therapist membuat klien merasa segar dan
ringan sesudah bangun jika ini tidak dilakukan, ada kemungkinan klien
merasa pusing dan leher terasa berat.
2) Tehnik Induksi
Tehnik induksi yang digunakan sangat bervariasi ,namun sebenarnya
mempunyai persamaan usur dari. Tehnik yang digunakan tergantung variasi
dari therapist yang melakukan hipnosis. Metode induksi secara garis besar
dapat dikelompokkan enam unsur dasar sebagai berikut:( Hukom, 1979 ;
IBH, 2000).
43
a) Metode pandang : Therapist dan klien saling memandang mada masing-
masing.Induksi diberikan agar klien terus memangdang kearah therapist
tanpa berkedip sampai mencapai trance. setelah mata klien mulai berat
perintahkan untuk menutup mata, selanjutnya dengan sugesti tidur.
b) Metode tatap: Pada metode ini therapist meminta klien untuk menatap
benda yang menkilat atau jarinya, atau alat yang disebut hypnoscoop.
c) Metode sapa : Dengan menggunakan kata-kata therapist mempengaruhi
klien sampai berada dalam trance. cara ini dilakukan oleh lLiebeault,
Bernheim dan lainnya yang merupakan unsur dasar cara untuk mencapai
trance.
d) Metode nafas dalam : klien diminta untuk menarik nafas dalam-dalam
beberapa detik lebih lambat daripada nafas normal secara berulang sampai
keadaan trance.
e) Metode bertahap : Klien akan dibangunkan kembali setiap kali setelah ia
masuk kedalam sugesti kemudian ditanyakan apa yang dirsakan oleh klien
sebelum melanjutkan kembali meneruskan usaha induksi.Kemudian
dilanjutkan lagi tahap demi tahap sampai mencapai trance.
f) self hypnosis, Auto-hypnose, Spontan-hypnose, Swahipnosis. : pada
metode ini keadaan trance dicapai tanpa bantuan therapist.
g) Depth Level Test
Merupakan tes untuk mengetahui seberapa jauh kesadaran klien
seudah berpindah dari conscious mind ke subconscious mind .Tingkat
kedalaman setiap orang berbeda-beda dan sangat tergantung dari kondisi
44
klien, pemahaman terhadap hipnosis, waktu, linkungan, dan keahlian dari
therapist. Berdasarkan Davis-Husband Scale tingkat kedalaman hipnosis
dapat dibagi menjadi 30 tingkat kedalaman ( Wong & Hakim,2009).
Sedangkan kebutuhan tingkat kedalaman juga mempunyai maksud dan
tujuan yang berbeda-beda dalam proses hipnosis. Depth Level Test
digunakan untuk mengetahui kedalaman suyet dalam memasuki alam bawah
sadar. Depth Level Test dapat berupa sugesti sedehana.
Tabel 2.2 Skor kedalaman Hipnotis
Kedalaman Nilai Gejala Objektif
Hipnoidal 12345
RelaxationKelopak mata bergetarFluttering and closing of the eyeMenutup mataRelaksasi sempurna secara fisik
Trance ringan 67
8,9,1011,12
Kelopak mata tidak bisa dibuka lagiKatalepsi tungkai dan lenganKatalepsi tegangAnastesia sarung tangan
Trance menengah 13,1415171820
Amnesia sebagianAnestesia posthipnotikPerubahan-perbahan kepribadianPosthipnotik sugesti sederhanaWaham kinestetik
Trance dalam 2123252627282930
Sanggup membuka mata,tanpa trance terganggu Posthypnotic sugesti yang anehSomnabulisme sempurnaHalusinasi visual Halusinasi auditorySystematized auditory amnesiasNegative auditory hallucinationNegative visual hallucination
(Sumber: Davis-Husband Scale, 2007)
45
c. Hypnotic sugesstion
Merupakan tahpan inti dari maksud dan tujuan proses hipnosis. Pada
tahapan ini seorang Hypnotherapist mulai dapat memasukkan kalimat-kalimat
sugesti ke sub-Conscious (fikiran bawah sadar).
d. Post Hypnotic sugesstion
Merupakan sugesti yang menjadi nilai baru bagi seorang subjek walaupun
telah disadarkan dari tidur hipnosis,tidak akan bertahan lama apabila tidak sesuai
atau bertentangan dengan nilai dasar dari subjek. Dalam hypnotherapy,post
hypnotic suggestion merupakan bagian penting karena merupakan bagian inti dari
tujuan hypnotherapy. Seorang hypnotherapist harus dibekali pengetahuan
kejiwaan dan psikopatologi untuk dapat memberikan sugesti yang benar setelah
hipnosis
e. Terminasi
Adalah suatu tahapan untuk mengakhiri proses hipnosis dengan konsep
dasar memberikan sugesti ataupun perintah supaya subjek tidak mengalami
kejutan psikologis ketika terbangun dari “tidur” hipnosis.Proses terminasi
biasanya dengan memberikan sugesti positif yang akan membuat tubuh klien lebih
segar dan rileks,kemudisn diikuti beberapa regresi beberapa detik untuk
membawa subjek ke keadaan normal kembali. Terminasi adalah proses berpindah
kembalinya sub-conscious mind ke conscious mind.proses ini dilakukan apabila
subjek telah siap untuk dibangunkan dari “tidur” hipnosisnya.
46
f. Post hypnotic
Keadaan setelah proses hipnosis selesai seperti pada awal sebelum silakukan
kegiatan hipnosis.Pada fase ini diharapkan apa yang menjadi tujuan awwal dari
hipnosis untuk terapi pada klie tercapai setelah proses hipnosis selesai.
Post hypnotic behaviour adalah perilaku atau nilai baru yang didapatkan
oleh seorang subjek setelah terbangun dari “tidur’hipnosis.Agar post hypnotic
dapat bertahan lama,sesi hipnosis sebaiknya dilakukan secara rutin dan tidak
bertentangan dengan nilai moral subjek itu sendiri.Contohnya,menghentikan
kebiasaan merokok,marah-marah rasa percaya diri dan sebagainya (Rusli &
Wijaya,2009)
Gambar 2.8 Proses Hipnotherapi
(Sumber: Budiman, 2013).
47
D. Konsep Aromatherapy
1. Definisi Aromatherapi
Aromatherapi adalah terapi komplementer dalam praktek keperawatan dan
menggunakan minyak esensial dari bau harum tumbuhan untuk mengurangi
masalah kesehatan dan memperbaiki kualitas hidup. Sharma (2009) mengatakan
bahwa bau berpengaruh secara langsung terhadap otak seperti obat analgesik .
singkatnya aromatherapi adalah modifikasi dari Teknik relaksasi nafas dalam
yang merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, dalam hal ini perawat
mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat
(menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas
secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas
dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah
(Smeltzer dan Bare, 2002).
2. Fisiologi Aromatherapi Lavender
Lavender memiliki zat aktif berupa linalool dan linalyl acetate yang dapat
berefek sebagai analgesik (Wolfgang & Michaela, 2008). Molekul linalool dan linalyl
acetate yang terdapat dalam lavender oil akan masuk ke dalam sistem saraf melalui
indra penciuman, sistem respirasi,dan kulit. Di dalam mukosa Olfactorius terdapat sel
reseptor Olfactorius. Axon dari sel reseptor Olfactorius akan bersatu membentuk
nervus Olfactorius (Sherwood, 2007).Odoran (molekul linalool dan linalyl acetate)
akan menempel pada binding-site yang terdapat pada silia hidung. Hal ini akan
mengakibatkan teraktivasinya protein G, yang akan memicu serangkaian reaksi
intraselular cAMP-dependent yang pada akhirnya akan membuka Na+-kanal
48
(Sherwood, 2007). Terbukanya Na-kanal akan memicu perubahan impuls
elektrokimia yang akan langsung disalurkan menuju otak. Odoran lalu akan dibawa
dari receptor menuju bulbus Olfactorius. Dari bulbus Olfactorius, odoran akan
disalurkan menuju sistem limbik, yang merupakan bagian otak yang berfungsi untuk
menerima dan merespon memori, kesenangan dan emosi di dalam otak. Amygdala
memainkan peranan penting dalam menyimpan trauma emosional dan odoran
memicu efek yang sangat besar. Odoran memicu sistem limbik untuk melepaskan
brain-affecting chemicals yang dikenal sebagai neurotransmiter, seperti serotonin,
endorfin, enkefalin dan dopamin (Khyasudeen & Abu Bakar, 2007).
Enkefalin dan endorfin, yang merupakan endogen opiate, morphin-like
substance, berperan sangat penting dalam sistem analgesik alami tubuh. Endogen
opiat ini berperan sebagai neurotransmiter analgesik; mereka dilepaskan dari
descending analgesic pathway dan akan berikatan dengan reseptor opiat di serabut
saraf nyeri terminal. Ikatan ini akan menekan pelepasan substansi P melalui inhibisi
pre-sinaptik, yang pada akhirnya akan menghambat transmisi lebih jauh dari sinyal
rasa nyeri (Sherwood, 2007).
3. Tujuan
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik
relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi paru, oksigenasi darah,
memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi
batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan
intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
49
4. Indikasi
1) Menurut Baradero, Dayrit, dan Siswadi (2009) yaitu:
a) Prabedah
b) Pascabedah
c) Merasakan nyeri yang akut
d) Posisi tubuh pada saat relaksasi
2) Menurut Sari (2008), yaitu:
a) Duduk
i. Duduk dengan seluruh bagian belakang badan bersandar pada kursi
ii. Letakkan telapak kaki pada lantai
iii. Kedua jari dijarangkan
iv. Pertahankan posisi kepala tegak harus pada tulang belakang
v. Letakkan kedua tangan disamping badan atau diatas kursi
b) Terlentang
i. Jarangkan kedua posisi dengan jari-jari agak keluar
ii. Istirahatkan kedua tangan pada posisi badan
iii. Gunakan pengalas tipis dibawah kepala.
5. Metode untuk melakukan nafas dalam
1) Menurut Baradero, Dayrit, dan Siswadi, (2009), yaitu:
a) Ambil posisi semifowler atau tinggi dengan kedua lutut ditekuk agar
otot abdomen menjadi relaks dada berekspansi optimal
b) Letak satu tangan di atas abdomen
50
c) Tarik nafas perlahan melalui hidung, biarkan dada berekspansi
danrasakan naiknya abdomen pada tangan yang telah diletakkan pada
abdomen
d) Tahan nafas selama tiga detik agar alveoli berekspansi optimal
e) Hembuskan nafas perlahan melalui bibir yang dikerutkan
f) Ulang nafas dalam tiga kali.
2) Menurut Long (1996) dalam Sari (2008), yaitu:
a) Tidur pada posisi semifowler dengkul sedikit dilipat guna memekarkan
Thorax sepenuhnya
b) Tempatkan tangan diatas perut
c) Tarik nafas perlahan-lahan melalui hidung membiarkan dada mekar dan
rasakan gerak-gerik menekan tangan
d) Tahan nafas selama tiga detik
e) Keluarkan nafas dengan mulut seperti orang bersiul atau perut dapat
berkontraksi
f) Tarik nafas dan keluarkan nafas tiga kali
g) Istirahat
h) Ulangi langkah tiga sampai tujuh untuk dua kali lagi.
51
6. Manfaat Teknik relaksasi nafas dalam dengan Aromatherapi
a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang
disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi
pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang
mengalami spasme dan iskemik.
b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk
melepaskan opoid endogen yaitu endorphin dan enkefalin.
c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat relaksasi melibatkan sistem
otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah
dilakukan kapan saja atau sewaktu- waktu (Jayanthi, 2010).
52
E. Kerangka Teori
Gambar 2.9 Kerangka Teori
Manajemen nyeri farmakologi
(Smeltzer & Bare, 2002 WHO,2009 ) : Analgetik
1. Golongan opioid2. Golongan non steroid
Pascabedah Abdomen
(Muttaqin & Meji, 2014)
Nyeri
( Smeltzer 7 Bare,2002; Potter &Perry, 2006; James, 2014;
NFO,2014)
Aromatherapi Lavender
&
Hipnotherapi
Tehnik relaksasi
(Smeltzer & Bare,2002; Potter & Perry, 2006; Anita, 2011; Budiman,2013;
Wolfgang & Michaela, 2008; Meji, 2014):
1. Relaksasi progresiv2. Relaksasi Aromatherapi
Manajemen nyeri secara non-farmakologi
(Smeltzer & Bare,2002; Potter & Perry, 2006):
1. Stimulasi dan massase kutaneus
2. Terapi es dan panas3. Stimulasi saraf elektris
transkutan4. Distraksi5. Tehnik Relaksasi6. Hipnosis
Hipnotherapi
(Elliotson, 1873; Smeltzer & Bare, 2002; IBH, 2002; Budiman, 2013):
Hipno-brithing Hipno-analgesia Hipno-anesthesia