59
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan infus merupakan salah satu bagian dari pengobatan yang digunakan untuk memasukkan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien. Infeksi dapat menjadi komplikasi utama dari terpi intravena ( IV ) terletak pada system infuse atau tempat menusukkan vena (darmawan, 2008). Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik dari iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. Plebitis dikarakteristikan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi, dan teraba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter intravena, (La rocca, 1998). Plebitis dapat menyebabkan thrombus yang selanjutnya menjadi tromboplebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk kejantung maka dapat menimbulkan gumpalan darah seperti katup bola

BAB I (Repaired)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I (Repaired)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penggunaan infus merupakan salah satu bagian dari

pengobatan yang digunakan untuk memasukkan obat atau

vitamin kedalam tubuh pasien. Infeksi dapat menjadi komplikasi

utama dari terpi intravena ( IV ) terletak pada system infuse

atau tempat menusukkan vena (darmawan, 2008). Plebitis

merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik dari iritasi

kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi

dari terapi intravena. Plebitis dikarakteristikan dengan adanya

dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi, dan

teraba mengeras di bagian vena yang terpasang kateter

intravena, (La rocca, 1998). Plebitis dapat menyebabkan

thrombus yang selanjutnya menjadi tromboplebitis, perjalanan

penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika

thrombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan

masuk kejantung maka dapat menimbulkan gumpalan darah

seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventrikular secara

mendadak dan menimbulkan kematian, (Sylvia, 1995).

Secara sederhana plebitis berarti peradangan vena.

plebitis berat hampir selalu diikuti bekuan darah, atau trombus

pada vena yang sakit. Banyak faktor telah dianggap terlibat

dalam patogenesis plebitis, antara lain: faktor-faktor kimia

Page 2: BAB I (Repaired)

2

seperti obat atau cairan yang iritan, faktor-faktor mekanis

seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi serta

agen infeksius. Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka

plebitis mencakup, usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni.

diabetes melitus, infeksi, luka bakar). Suatu penyebab yang

sering luput perhatian adalah adanya mikropartikel dalam

larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan penggunaan filter.

(Darmawan,2008).

Pemberian obat melalui wadah cairan intravena

merupakan cara memberikan obat dengan menambahkan atau

memasukan obat ke dalam wadah cairan intravena yang

bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan

mempertahankan kadar terapeutik dalam darah, (Mulh, 2006).

Dalam penyuntikan obat atau pemberian infuse IV, dan

pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman

yang potensial kedalam tubuh, pH dan osmololaritas cairan

infus yang ekstrim selalu diikuti resiko plebitis tinggi,

(darmawan, 2008). Infeksi plebitis dapat terjadi melalui cairan

intravena dan jarum suntik yang digunakan atau di pakai

berulang-ulang dan banyaknya suntikan yang tidak penting

misalnya penyuntikan antibiotika, (Simonsen, 1999). Menurut

Binvko, 2003. Semakin jauh jarak pemassangan terapi intravena

maka risiko untuk terjadi plebitis akan semakin meningkat.

Faktor lain yang akan meningkatkan risiko terjadinya plebitis

Page 3: BAB I (Repaired)

3

adalah cairan dengan osmolalitas tinggi dan pemakaian balutan

konvensional.

Jumlah kejadian plebitis menurut Distribusi Penyakit

Sistem Sirkulasi Darah Pasien Rawat Inap, Indonesia Tahun

2006 berjumlah 744 orang (17,11%), (Depkes, RI, 2006).

Kejadian plebitis di ruang rawat penyakit dalam di RSCM

Jakarta. Sebanyak 109 pasien yang mendapat cairan intravena.

Ditemukan 11 kasus flebitis, dengan rata-rata kejadian 2 hari

setelah pemasangan, area pemasangan di vena metacarpal, dan

jenis cairan yang digunakan adalah kombinasi antara Ringer

Laktat dan Dekstrosa 5%, (Pujasari, 2002).

Teknik sterilisasi di Rumah sakit sangat berpengaruh

dengan tingkat kejadian plebitis misalnya kurang sterilnya pada

saat melakukan tindakan keperawatan pada pasien yang sedang

dirawat, misalnya pada saat pemasangan infuse. Apabila ada

saat melakukan pemasangan infus alat-alat yang akan

digunakan tidak menggunakan teknik sterilisasi akan

mengakibatkan plebitis seperti pembengkakan, kemerahan,

nyeri disepanjang vena. Hal ini sangat merugikan bagi pasien

karena infus yang seharusnya dilepas setelah 72 jam kini harus

dilepas sebelum waktunya karena disebabkan oleh alat-alat

bantu yang digunakan untuk memasang infus tidak

menggunakan teknik sterilisasi, (Klikharry, 2006).

Page 4: BAB I (Repaired)

4

1.2Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas,

dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana penggantian infus di RS. Wava Husada Kepanjen?

2. Bagaimana angka kejadian plebitis di RS. Wava Husada

Kepanjen ?

3. Adakah hubungan penggantian infus setiap tiga hari dengan

angka kejadian plebitis di RS. Wava Husada Kepanjen?

4. Berapa odds rasio kejadian plebitis berdasarkan penggantian

infus setiap tiga hari di RS.Wava Husada Kepanjen ?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui adakah hubungan kebijakan

penggantian infus setiap tiga hari terhadap angka kejadian

plebitis.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi penggantian infus di RS Wava Husada

Kepanjen.

2. Mengidentifikasi angka kejadian plebitis di RS Wava Husada

Kepanjen.

3. Mengidentifikasi hubungan penggantian infus setiap tiga hari

dengan angka kejadian plebitis di RS Wava Husada Kepanjen.

Page 5: BAB I (Repaired)

5

4. Mengidentifikasi odds rasio kejadian plebitis berdasarkan

penggantian infus setiap tiga hari di RS.Wava Husada

Kepanjen.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Bagi peneliti penelitian ini berguna untuk menambah

wawasan dan pengetahuan serta peneliti dapat mencari sinergi

antar teori dan kenyataan di lapangan tentang hubungan

penggantian infus tiga hari terhadap angka kejadian plebitis.

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan tambahan

informasi bagi perkembangan ilmu keperawatan khususnya

keperawatan medical bedah yang berkaitan dengan hubungan

penggantian infus tiga hari terhadap angka kejadian plebitis.

1.4.3 Bagi Rumah Sakit

1. Sebagai salah satu alat evaluasi pencapaian tindakan

pencegahan infeksi melalui jarum infus (plebitis) dalam

rangka peningkatan mutu pelayanan rumah sakit.

2. Sebagai masukan kepada rumah sakit untuk mengambil

keputusan baru di dalam meningkatkan mutu pelayanan

rumah sakit.

Definisi Istilah

1. Penggantian infus

Page 6: BAB I (Repaired)

6

Infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan

untuk memasukkan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien.

Infeksi dapat menjadi komplikasi utama dari terpi intra vena

( IV ) terletak pada system infus atau tempat menusukkan

vena (darmawan, 2008).

2. Plebitis

Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh

iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh

komplikasi dari terapi intravena,Plebitis dikarateristikkan

dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan,

kemerahan, bengkak, indurasi dan teraba mengeras di bagian

vena yang terpasang kateter intra vena (La Rocca, 1998 )

1.5Keaslian penelitian

Menurut penelitian yang dilakukan

1. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Jarumiyati

(2009) dengan judul “Hubungan Lama pemasangan Kateter

Intravena Dengan Kejadian Plebitis Pada Pasien Dewasa

Rawat Inap Di Bangsal Menur Dan Bakung Di RSUD

Wonosari.”didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara

lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian

plebitis.Variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut

yaitu lama pemasangan kateter intravena sebagai variabel

independen dan kejadian plebitis sebagai variabel dependen.

Pada penelitian tersebut, peneliti menggunakan rancangan

Page 7: BAB I (Repaired)

7

penelitian survey dengan pendekatan planatory research

analisis data, peneliti menggunakan uji somers’d. Kesimpulan

dari penelitian tersebut adalah ada hubungan antara lama

pemasangan kateter intravena dengan kejadian plebitis.

2. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Jarumiyati (2009)

adalah kejadian plebitis sebagai variable dependen.

Sedangkan perbedaan antara penelitian Jarumiyati (2009)

dengan penelitian ini adalah pada variabel yang digunakan,

tempat, dan waktu penelitian. Variabel dalam penelitian ini

adalah penggantian jarum infus setiap tiga hari sebagai

variabel independen dan angka kejadian plebitis sebagai

variabel dependen. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan

rancangan penelitian observasi analitik dengan pendekatan

case control dengan metode total sampling. Tempat dan

waktu penelitian ini adalah di RS. Wava Husada Kepanjen.

3. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2011)

dengan judul “.Bagiamanakah Gambaran Penggunaan Jarum

dan Prosedur Tindakan Pemasangan Infus Pada Pasien Yang

Mengalami Plebitis di Ruang Melati RSUD Dr. M. Yunus

Bengkulu?”didapatkan hasil bahwa terlihat sebagian besar

pasien yang mengalami phlebitis terpasang ukuran jarum

kateter vena sebagian besar (44,5%) dengan ukuran jarum 20

-22, (33,3%) ukuran jarum 24 – 26, dan sebagian kecil (11,1%)

menggunakan ukuran jarum 16 – 18 serta jenis

Page 8: BAB I (Repaired)

8

kupu-kupu/wings dan pasien yang mengalami plebitis yang

dilakukan tindakan pemasangan infus lebih dari sebagian

besar dengan kategori tidak sesuai dengan protab (66,7%)

dan sebagian kecil prosedur pemasangan infuse dengan

kategori sesuai dengan protab (33,3%).Variabel yang

digunakan dalam penelitian tersebut yaitu penggunaan jarum

dan prosedur tindakan pemasangan infus pada pasien yang

mengalami plebitis. Pada penelitian tersebut, peneliti

menggunakan rancangan penelitian survey dengan

pendekatan menggunakan teknik non-statistik, melainkan

dengan analisis deskriptif . Kesimpulan dari penelitian

tersebut adalah terlihat sebagian besar pasien yang

mengalami phlebitis terpasang ukuran jarum kateter vena

sebagian besar (44,5%) dengan ukuran jarum 20 -22, (33,3%)

ukuran jarum 24 – 26, dan sebagian kecil (11,1%)

menggunakan ukuran jarum 16 – 18 serta jenis

kupu-kupu/wings dan pasien yang mengalami plebitis yang

dilakukan tindakan pemasangan infus lebih dari sebagian

besar dengan kategori tidak sesuai dengan protab (66,7%)

dan sebagian kecil prosedur pemasangan infuse dengan

kategori sesuai dengan protab (33,3%).

4. Perbedaan antara penelitian Putra (2011) dengan penelitian

ini adalah pada variabel yang digunakan, tempat, dan waktu

penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah yaitu

Page 9: BAB I (Repaired)

9

penggunaan jarum dan prosedur tindakan pemasangan infus

pada pasien yang mengalami plebitis. Pada penelitian ini,

peneliti menggunakan rancangan penelitian observasi analitik

dengan pendekatan case control dengan metode total

sampling. Tempat dan waktu penelitian ini adalah di RS. Wava

Husada Kepanjen.

Page 10: BAB I (Repaired)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep Infus

2.1.1Definisi Infus Cairan Intravena

Infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan

untuk memasukkan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien.

Infeksi dapat menjadi komplikasi utama dari terpi intra vena ( IV

) terletak pada system infus atau tempat menusukkan vena

(darmawan, 2008).

Terapi intravena memberikan cairan tambahan yang

mengandung komponen tertentu yang diperlukan tubuh secara

terus menerus selama periode tertentu (erfandi,2008)

2.1.2 Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh

Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation)

1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).

2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam

darah) dalam jumlah terbatas.

3. Pemberian kantong darah dan produk darah.

4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).

5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur

(misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan,

dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi

syok, juga untuk memudahkan pemberian obat).

Page 11: BAB I (Repaired)

11

6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil,

misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok

(mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak

teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

2.1.3Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan

Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena

1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi

pemasangan infus.

2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi

ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V

shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).

3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena

kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena

di tungkai dan kaki).

2.1.4Komplikasi yang dapat Terjadi dalam Pemasangan

Infus

1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh

akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler,

terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan

jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.

2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan

sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum

infus melewati pembuluh darah.

Page 12: BAB I (Repaired)

12

3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena,

terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat

dan benar.

4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi

darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan

infus ke dalam pembuluh darah.

2.1.5 Jenis Cairan Infus

1. Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan

serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan

serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan

osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam

pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan

berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi),

sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada

keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien

cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien

hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis

diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan

tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,

menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan

intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya

adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

2. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya

mendekati serum (bagian cair dari komponen darah),

Page 13: BAB I (Repaired)

13

sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat

pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan

tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki

risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada

penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya

adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan

garam fisiologis (NaCl 0,9%).

3. Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan

serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan

dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan

tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi

edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan

hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik,

Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%,

produk darah (darah), dan albumin.(Weinstein,2001)

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:

1. Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi

sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam

pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada

pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-

Laktat dan garam fisiologis.

2. Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar

sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap

berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan

Page 14: BAB I (Repaired)

14

dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya

adalah albumin dan steroid.

(Mursyidah,2011)

2.1.6Faktor-Faktor yang Diperhatikan  dalam Pemberian

Terapi Cairan Intravena

1. Dari sisi  pasien(menurut Mursyidah,2011)

Dari sisi pasien yang perlu diperhatikan adalah penyakit

dasar pasien, status hidrasi dan hemodinamik,  pasien dengan

komplikasi  penyakit tertentu,  dan kekuatan jantung.

Kesemua faktor ini merupakan hal yang harus diketahui

dokter. 

2. Dari sisi  cairan

1)Kandungan  elektrolit cairan

a. Elektrolit yang umum dikandung dalam larutan infus

adalah Na+, K+, Cl-, Ca++, laktat atau asetat. Jadi, dalam

pemberian infus, yang diperhitungkan bukan hanya air

melainkan juga kandungan elektrolit ini apakah kurang,

cukup, pas atau terlalu banyak.

b. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi dan

komposisi larutan infus sangatlah penting agar bisa

memilih produk sesuai dengan indikasi masing-masing.

2)Osmolaritas  cairan

a. Yang dimaksud dengan osmolaritas adalah jumlah total

mmol elektrolit dalam kandungan infus. Untuk pemberian

infus ke dalam vena tepi maksimal osmolaritas yang

Page 15: BAB I (Repaired)

15

dianjurkan adalah kurang dari 900 mOsmol/L untuk

mencegah risiko flebitis (peradangan vena)

b. Jika osmolaritas cairan melebihi 900 mOsmol/L maka

infus harus diberikan melalui vena sentral.

Page 16: BAB I (Repaired)

16

3)Kandungan  lain cairan

a. Seperti disebutkan sebelumnya, selain elektrolit

beberapa produk infus juga mengandung zat-zat gizi

yang mudah diserap ke dalam sel, antara lain: glukosa,

maltosa, fruktosa, silitol, sorbitol, asam amino,

trigliserida.

b. Pasien yang dirawat lebih lama juga membutuhkan

unsur-unsur lain seperti Mg++, Zn++ dan trace element

lainnya.

4)Sterilitas cairan infus.

Parameter kualitas untuk sediaan cairan infus yang

harus dipenuhi adalah steril, bebas partikel dan bebas

pirogen disamping pemenuhan persyaratan yang lain.  Pada

sterilisasi cairan intravena yang menggunakan metoda

sterilisasi uap panas, ada dua pendekatan yang banyak

digunakan, yaitu overkill dan non-overkill (bioburden-

based).

a. Overkill: Pendekatan Overkill dilakukan untuk

membunuh semua mikroba, dengan prosedur sterilisasi

akhir pada suhu tinggi yaitu 121oC selama 15 menit.

Metoda ini sudah dikenal lebih dari satu abad yang lalu.

Dengan cara ini, hanya cairan infus yang mengandung

elektrolit tidak akan mengalami perubahan. Namun cara

ini sangat berisiko dilakukan pada cairan infus yang

mengandung nutrisi seperti karbohidrat dan  asam amino

Page 17: BAB I (Repaired)

17

karena bisa jadi nutrisi tersebut pecah dan pecahannya

menjadi racun. Misalnya saja larutan glukosa konsentrasi

tinggi. Pada pemanasan tinggi, cairan ini akan

menghasilkan produk dekomposisi yang dinamakan 5-

HMF atau 5-Hidroksimetil furfural yang pada kadar

tertentu berpotensi menimbulkan gangguan hati. Selain 

suhu sterilisasi yang terlalu tinggi, lama penyimpanan

juga berbanding lurus dengan peningkatan kadar 5-HMF

ini.

b. Non-overkill (bioburden-based) :sesuai dengan

perkembangan kedokteran yang membutuhkan jenis

cairan yang lebih beragam contohnya cairan infus yang

mengandung nutrisi seperti karbohidrat dan asam amino

serta obat-obatan yang berasal dari bioteknologi, maka

berkembang juga teknologi sterilisasi yang lebih

mutakhir yaitu metoda Non-Overkill atau disebut juga

Bioburden, dimana pemanasan akhir yang digunakan

tidak lagi harus mencapai 121 derajat, sehingga produk-

produk yang dihasilkan dengan metoda ini selain dijamin

steril, bebas pirogen, bebas partikel namun

kandungannya tetap stabil serta tidak terurai yang

diakibatkan pemanasan yang terlampau tinggi. Dengan

demikian infus tetap bermanfaat dan aman untuk

diberikan.(Mursyidah,2011)

Page 18: BAB I (Repaired)

18

2.1.7Lokasi pemberian cairan intravena

Tempat/ lokasi vena perifer yang sering digunakan pada

pemasangan infus

Vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia

subcutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi

intravena. Vena-vena tersebut diantaranya adalah :

1. Metakarpal

2. SefalikaBasilika

3. Sefalika mediana

4. Basilika mediana

5. Antebrakial mediana

2.1.8Pemilihan Vena

Vena tangan paling sering digunakn untuk terapi IV rutin

1. Vena lengan depan : periksa dengan teliti kedua lengan

sebelum keputusan dibuat, sering digunakan untuk terapi

rutin

2. Vena lengan atas : juga digunakan untuk terapi IV

3. Vena ekstremitas bawah : digunakan hanya menurut

kebijakan institusi dan keinginan dokter

4. Vena kepala : digunakan sesuai dengan kebijakan institusi

dan keinginan dokter ; sering dipilih pada bayi

5. nsisi : dilakukan oleh dokter untuk terapi panjang

6. Vena subklavia : dilakukan oleh dokter untuk terapi jangka

panjang atau infus cairan yang mengiritasi (hipertonik)

Page 19: BAB I (Repaired)

19

7. Jalur vena sentral: digunakan untuk tujuan infus atau

mengukur tekanan vena sentral.

Contoh Vena sentral adalah : v. subkalvia, v. jugularis

interna/eksterna, v. sefalika atau v.basilika mediana, v.

femoralis, dll.

8. Vena jugularis : biasanya dipasang untuk mengukur tekanan

vena sentral atau memberikan nutrisi parenteral total (NPT)

jika melalui vena kava superior.

9. Vena femoralis : biasanya hanya diguakan pada keadaan

darurat tetapi dapat digunakan untuk penempatan kateter

sentral untuk pemberian NTP.

10. Pirau arteriovena (Scribner) : implantasi selang palastik

antara arteri dan vena untuk dialisis ginjal

11. Tandur (bovine) : anastomoisis arteri karotid yang berubah

sifat dari cow ke sistem vena ; biasanya dilakukan pada

lengan atas untuk dialisis ginjal

12. Fistula : anastomoisis bedah dari arteri ke vena baik end

atau side to side untuk dialisis ginjal

13. Jalur umbilikal : rute akses yang biasa pada UPI

neonates(Rahmanto,2010)

2.1.9Keuntungan Kerugian

1. Vena Perifer • Cocok untuk kebanyakan obat dan cairan

isotonic

Cocok untuk terapi jangka pendek

Page 20: BAB I (Repaired)

20

Biasanya mudah untuk diamankan • Tidak cocok untuk

obat-obatan yang mengiritasi

Tidak cocok untuk terapi jangka panjang

Sukar untuk diamankan pada pasien yang agitasi

2.Vena Sentral • Cocok untuk obat-obatan yang mengiritasi

atau cairan hipertonik

Cocok untuk terapi jangka panjang • Obat-obatan harus

diencerkan

Resiko komplikasi yang berhubungan dengan pemasangan

kateter vena sentral, seperti infeksi, hemothoraks,

pneumothoraks.

Tidak disukai karena bisa terganggu oleh pasien (namun

masih mungkin)

2.1.10 Ukuran Jarum Therapi Intrvena (Infus)

Menurut (Potter,1999) ukuran jarum infus yang biasa digunakan

adalah :

1. Ukuran 16

Guna: Dewasa, Bedah Mayor, Trauma, Apabila sejumlah besar

cairan perlu Diinfuskan

Pertimbangan Perawat: Sakit pada insersi, Butuh vena besar

2. Ukuran 18

Guna: Anak dan dewasa, Untuk darah, komponen darah, dan

infus kental lainnya

Pertimbangan Perawat: Sakit pada insersi, Butuh vena besar

3. Ukuran 20

Page 21: BAB I (Repaired)

21

Guna: Anak dan dewasa, Sesuai untuk kebanyakan cairan

infus, darah, komponen

darah, dan infus kental lainnya

Pertimbangan Perawat: umum dipaka

4. Ukuran 22

Guna: Bayi, anak, dan dewasa (terutama usia lanjut), Cocok

untuk sebagian besar cairan infuse

Pertimbangan Perawat: Lebih mudah untuk insersi ke vena

yang kecil, tipis dan rapuh, Kecepatan tetesan harus

dipertahankan lambat, Sulit insersi melalui kulit yang keras

5. Ukuran 24, 26

Guna: Nenonatus, bayi, anak dewasa (terutama usia lanjut),

Sesuai untuk sebagian

besar cairan infus, tetapi kecepatan tetesan lebih lambat

Pertimbangan Perawat: Untuk vena yang sangat kecil, Sulit

insersi melalui kulit keras

2.1.11Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memasang

infus ( kewaspadaan)

1) Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus

baru

2) Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi

tanda infeksi

3) Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau

komplikasi lain

Page 22: BAB I (Repaired)

22

4) Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi

penusukan

5) Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir

6) Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut

jarum infus perlahan,periksa ujung kateter terhadap adanya

embolus

7) Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas

plester dibersihkanmemakai kapas alkohol atau bensin (jika

perlu).

8) Gunakan alat alat-alat yang steril saat pemasangan, dan

gunakan tehnik sterilisasi dalam pemasangan infus.

9) Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang

infeksi, vena yang telah rusak,vena pada daerah fleksi dan

vena yang tidak stabil.

10)Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah

tanggung jawab perawat.

(Rahmanto, 2010)

Prosedur pemasangan therapy intravena menurut Depkes RI

(2005)

1. Kriteria persiapan

a. Cuci tangan

b. Standar infuse

c. Caiaran yang akan diberikan

d. Infus set

Page 23: BAB I (Repaired)

23

e. Kapas

f. Alkohol 70%

g. Kasa steril

h. Gunting

i. Plester

j. Pengalas

k. Bengkok satu buah.

2. Kriteria pelaksanaan

a. cuci tangan

b. pasien diberi penjelasan

c. posisi pasien supine (terlentang)

d. siapkan area yang akan dipasang

e. memeriksa ulang cairan yang akan diberikan

f. keluarkan udara dari selang infuse

g. menentukan vena yang akan ditusuk

h. pasang pengalas

i. desinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10

cm

j. menusuk jarum infuse / albocath pada vena yang telah

ditentukan

k. melakukan fiksasi

l. menutup bagian yang akan ditusuk dengan kasa steril

m. menghitung jumlah cairan sesuai dengan kebutuhan

n. memperhatikanreaksi pasien

Page 24: BAB I (Repaired)

24

o. catat waktu pemasangan, jenis cairan dan jumlah tetesan

p. pasen dirapikan

q. alat-alat dibereskan

r. cuci tangan

2.2Konsep Plebitis

2.2.1Definisi Plebitis

Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik

oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh

komplikasi dari terapi intravena,Plebitis dikarateristikkan

dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri, kemerahan,

kemerahan, bengkak, indurasi dan teraba mengeras di bagian

vena yang terpasang kateter intra vena (La Rocca, 1998 )

Plebitis adalah iritasi vena oleh alat IV, obat-obatan, atau

infeksi yang ditandai dengan kemerahan, bengkak, nyeri tekan

pada sisi IV.(Weinstein, 2001)

plebitis adalah suatu peradangan pada pembuluh darah

(vena) yang dapat terjadi karena adanya injury misalnya oleh

faktor (trauma) mekanik dan faktor kimiawi, yang

mengakibatkan terjadinya kerusakan pada endothelium dinding

pembuluh darah khususnya vena.(Pramawaty, 2010)

2.2.2Faktor-faktor Penyebab Plebitis

Faktor-Faktor yang dianggap terlibat dalam patogenesis

plebitis, antara lain: (1) faktor-faktor kimia seperti obat atau

cairan yang iritan; (2) faktor-faktor mekanis seperti bahan,

ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi; serta (3) agen

Page 25: BAB I (Repaired)

25

infeksius. Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka

plebitis mencakup, usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni.

diabetes melitus, infeksi, luka bakar).(Gunawan,2011)

1. Plebitis Kimia

a) pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti

risiko plebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara

3 – 5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah

karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf,

jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan

lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih

flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik yang

bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain

kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B, cephalosporins,

diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi.

Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus

diberikan melalui vena sentral.(Pramawaty,2010)

b)Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut

sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor

kontribusi terhadap flebitis. Jadi , kalau diberikan obat

intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan filter 1

sampai 5 µm

c) Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau

lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus

dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Hindarkan vena pada

punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia

Page 26: BAB I (Repaired)

26

lanjut

2. Plebitis Mekanis

Plebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula.

Kanula yang dimasukkan ada daerah lekukan sering

menghasilkan plebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih

sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik.

3. Plebitis Bakterial

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap plebitis bakteri

meliputi:

a) Teknik pencucian tangan yang buruk

b)Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus

yang bocor atau robek mengundang bakteri.

c) Teknik aseptik tidak baik

d)Teknik pemasangan kanula yang buruk

e) Kanula dipasang terlalu lama

f) Tempat suntik jarang diinspeksi visual

Berbagai faktor terkait dan faktor-faktor predisposisi

meliputi usia lanjut, trauma, ukuran kateter besar, diabetes,

infeksi, hiperosmolaritas, pH, dan teknik aseptik yang jelek

( Pramawaty, 2010)

Plebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya

menjadi tromboplebitis, perjalanan penyakit ini biasanya

jinak, tapi walaupun demikian jika trombus terlepas kemudian

diangkut dalam aliran darah dan masuk jantung maka dapat

menimbulkan seperti katup bola yang bisa menyumbat

Page 27: BAB I (Repaired)

27

atrioventrikular secara mendadak dan menimbulkan

kematian. (Sylvia, 1995).

2.2.3Penilaian Flebitis Secara Visua

Skor visual untuk plebitis sebagai berikut(Jackson didalam

Gunawan, 2011):

2.2.4Pencegahan Plebitis

1)Mencegah Plebitis bakterial

Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik

aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit.

Walaupun lebih disukai sediaan chlorhexidine-2%, tinctura

yodium , iodofor atau alkohol 70% juga bisa digunakan.

2)Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik.

Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan

obat atau pemberian infus IV, dan pengambilan sampel darah)

Page 28: BAB I (Repaired)

28

merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam

tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-

kira 45–50% dalam serangkaian besar kajian.(Gunawan,2011)

3)Rotasi kanula

Menurut May dkk(2005) hasil 4 teknik pemberian PPN,

dimana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan

kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas

flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-

baru ini oleh Webster disimpulkan bahwa kateter bisa

dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada

kontraindikasi. The Centers for Disease Control and

Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96

jam untuk membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini

tidak didasarkan atas bukti yang cukup.

4)Aseptic dressing

Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis.

Kasa setril diganti setiap 24 jam.

5)Laju pemberian

Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus

larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis.

Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat

injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh

mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam.

Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi

Page 29: BAB I (Repaired)

29

waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini

membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330

mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang

sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai

laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Kanula

harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan.

Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus

jaga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan

maintenance atau nutrisi parenteral.(Gunawan,2011)

6)Titrable acidity

Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah

dipertimbangkan dalam kejadian flebitis. Titratable acidity

mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan

pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan infus tidak bisa

ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri.

Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang

menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat

rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian makin rendah titrable

acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya.

7)Heparin & hidrokortison

Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus

sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan

menambah waktu pasang kateter. Risiko flebitis yang

berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal,

Page 30: BAB I (Repaired)

30

kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat

dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti

hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner,

hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis

pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau

antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau

dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi

kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan

yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan

endapan kalsium.(Otsuka,2010)

Page 31: BAB I (Repaired)

31

8) In-line filter

In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi

tidak ada data yang mendukung efektivitasnya dalam

mencegah infeksi yang terkait dengan alat intravaskular dan

sistem infuse. (Otsuka, 2010).

2.3Hubungan Penggantian Infus Setiap Tiga Hari dengan

Angka Kejadian Plebitis

Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah

pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah

jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk

menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari

tubuh. Flebitis adalah suatu peradangan pada pembuluh darah

(vena) yang dapat terjadi karena adanya injury misalnya oleh

faktor (trauma) mekanik dan faktor kimiawi, yang

mengakibatkan terjadinya kerusakan pada endothelium dinding

pembuluh darah khususnya vena.

Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya

pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang

diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya, ukuran dan tempat

kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan

masuknya mikroorganisme saat penusukan). Menurut

(May,2005) hasil 4 teknik pemberian PPN, di mana mengganti

tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada

15 pasien menyebabkan bebas plebitis. Namun, dalam uji

Page 32: BAB I (Repaired)

32

kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk

disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya

lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for

Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian

kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi,

namun rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti yang cukup.

Page 33: BAB I (Repaired)

33

Menurut penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ada

hubungan antara lama pemasangan kateter intravena dengan

kejadian plebitis pada pasien dewasa rawat inap di bangsal

menur dan bakung RSUD Wonosari, ini dibuktikan dengan nilai

korelasinya 0,007.

Plebitis mengacu ke temuan klinis adanya nyeri, nyeri

tekan, bengkak, pengerasan, atau eritema. Semua hal tersebut

diakibatkan karena adanya peradangan, infeksi atau thrombosis.

Penggunaan infus diduga merupakan salah satu pemicu

terjadinya plebitis.Menurut Drs M Taufik Rochmat Apt, apoteker

RS Kasih Ibu Surakarta, terdapat empat teknik dalam mengatasi

osmolaritas tinggi akibat pemakaian infus. Pertama, memilih

vena dengan diameter besar, pemilihan ini akan memperkecil

risiko plebitis. “Hal ini terjadi karena pada pemberian infus

melalui vena diameter besar akan cepat diencerkan oleh darah.

Pemilihan vena biasanya dilakukan pada vena basilica atau vena

cephalica. Khusus untuk neonates (bayi baru lahir), bisa

digunakan vena basilica,” paparnya.Kedua, menggunakan jarum

diameter kecil. Dengan pemakaian jarum infus diameter kecil,

tentunya akan membuat butiran air infus yang lebih kecil pula.

Kecilnya butiran infus pada osmolaritas tinggi, bisa

memperkecil risiko gesekan dengan dinding pembuluh darah.

Pemakaian IV catheter, justru sangat membantu mengatasi

risiko plebitis karena osmolaritas tinggi. Karena dengan IV

Page 34: BAB I (Repaired)

34

catheter, maka butiran infus yang terjadi tentu lebih halus.

Ketiga lanjutnya, tetesan infus diperlambat. Pemberian infus

dengan tetesan cepat, adakalanya akan menimbulkan risiko

gesekan dengan dinding dalam vena. Dan untuk memperkecil

kemungkinan tersebut, bisa dilakukan dengan menurunkan

besaran kecepatan infus.“Penurunan 10 derajat, dari 30 ke 20

tetes per menit sangat mempengaruhi risiko yang terjadi

(plebitis). Namun waktu pemberian infus akan lebih lama dari

semula,” terangnya. Keempat, memberikan secara bersamaan

dengan infus osmolaritas rendah. Kombinasi pemberian infus

secara bersamaan menggunakan Y-site akan menurunkan

osmolaritas akhir pencampuran.Menurutnya, pemberian

bersamaan ini juga akan meningkatkan efektivitas pemakaian

parenteral nutrisi, di mana kombinasi asam amino

(hyperosmolaritas) dengan karbohidrat (isoosmolaritas) akan

meningkatkan efektivitas dari fungsi nutrisi itu sendiri. Untuk

menghitung osmolaritas akhir, tinggal menjumlahkan hasil

perkalian masing-masing volume dengan osmolaritas infus yang

dibagi dengan total volume hasil pencampuran.

Page 35: BAB I (Repaired)

35

Page 36: BAB I (Repaired)

Bengkak Eritema

Faktor – faktor penyebab flebitis : Faktor mekanis (lama kanulasi)Faktor usia lanjutTraumaUkuran kateter besarDiabetesInfeksiTeknik aseptik yang jelas

Pemakaian infus lebih dari tiga hari

Pembuluh vena mengalami gesekan dari tetesan infus

Dinding endotelium pembulu darah rusak

Nyeri tekan

Pembulu darah meradang

Plebitis

Tidak ada hubungan penggantian infus lebih dari tiga hari dengan angka kejadian plebitis

Ada hubungan penggantian infus lebih dari tiga hari dengan angka kejadian plebitis

Odds rasio

Tidak diteliti

Diteliti

Hubungan

36

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESI

3.1Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konseptual adalah konsep yang dipakai sebagai

landasan berpikir dalam kegiatan ilmu (Nursalam, 2003).

Kerangka konseptual dalam penelitian tentang hubungan

kebijakan penggantian infus setiap tiga hari terhadap angka

kejadian flebitis di RS Wafa Husada Kepanjen.

Keterangan:

Page 37: BAB I (Repaired)

37

Gambar 3.1 Konseptual Peneltian

3.2Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan pustaka dan

kerangka konsep, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Penggantian jarum infus lebih dari tiga hari berhubungan

dengan kejadian plebitis.

2. Nilai odds ratio lebih dari satu sehingga kegiatan penggantian

jarum infus lebih dari tiga hari merupakan faktor risiko

terjadinya plebitis..

Page 38: BAB I (Repaired)

38

BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

4.1Desain Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka jenis penelitian ini

adalah penelitian observasi analitik. Berdasarkan sifat

analitiknya, maka penelitian ini didesain dengan rancangan

studicase control. Berdasarkan pendapat Hidayat (2008)

penelitian case control adalah rancangan penelitian yang

membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok

kontrol untuk mengetahui proporsi kejadian berdasarkan

riwayat ada tidaknya paparan. Rancangan penelitian ini dikenal

dengan sifat retrospektif, yaitu Rancangan bangun dengan

melihat kebelakang dari suatu kejadian yang berhubungan

dengan kejadian kesakitan yang diteliti.

Gambar desain penlitian case control adalah sebagai berikut :

Page 39: BAB I (Repaired)

Pasien yang di pasang infus dan dilakukan penggantian jarum infus selama ≤ tiga hari

Subyek yang mengalami plebitis

Subyek yang tidak mengalami plebitis

Pasien yang di pasang infus dan dilakukan penggantian jarum infus ≥ tiga hari

Pasien yang di pasang infus dan dilakukan penggantian jarum infus selama ≤ tiga hariPasien yang di pasang infus dan dilakukan penggantian jarum infus ≥ tiga hari

39

Faktor risiko Ditelusuri retrospektif Start

penelitian

Gambar 4.1 desain penelitian

Bardasarkan rancangan penelitian case control, maka

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

penggantian infus setiap tiga hari dengan kejadian plebitis.

Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti proses perjalanan

penyakit kearah belakang berdasarkan penggantian infus setiap

tiga hari. Gambaran yang ingin diteliti adalah dengan

mengobservasi kejadian plebitis. Dengan alur penelitian sebagai

berikut : subyek yang mengalami plebitis sebagai kelompok

kasus yang ditelusuri kebelakang apakah infus setiap tiga hari

di ganti atau tidak di ganti. sedangkan kelompok kontrol dalam

penelitian ini adalah subyek yang terpasang infus terjadi

phlebitis atau tkidak terjadi plebitis.

Page 40: BAB I (Repaired)

40

4.2Populasi, Sampel dan Sampling

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang

di pasang infus di RS Wava Husada Kepanjen.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1)Para pasien yang di pasang infus yang bersedia menjadi

responden.

2)Pasien yang dirawat di RS. Wava Husada.

Kriteria Eksklusi dalam penelitian ini adalah :

1)Para pasien yang di pasang infus yang tidak bersedia menjadi

responden.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2010). Sampel dalam

penelitian ini adalah sebagian pasien yang di pasang infus

selama lima hari di RS Wava Husada Kepanjen.

4.2.3 Teknik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah dengan cara

total sampling, dimana pengambilan sampel dari semua

populasi.

4.3Variabel Penelitian

Page 41: BAB I (Repaired)

41

1.Variabel Independent

Variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab

perubahannya atau timbulnya variabel dependen (Sugiyono,

2010). Dalam penelitian ini variabel independen yaitu

penggantian jarum infus setiap tiga hari.

2.Variabel Dependen

Variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono,

2010: 4). Dalam penelitian ini variabel dependen adalah

angka kejadian plebitis.

3.Variabel Kendali

Variabel kendali dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap

di ruang ICU yang dilakukan pemasangan infus lebih dari lima

hari.

4.Variabel Intervening

Variabel yang tidak dapat diteliti. Variabel intervening dalam

penelitian ini adalah fisiologis dan metabolisme dalam tubuh.

4.2Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara

operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga

memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau

pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena

( Hidayat, 2008).

1. Penggantian infus

Penggantian infus yang dimaksud dalam penelitian ini

Page 42: BAB I (Repaired)

42

adalah pasien rawat inap di ruang ICU yang di pasang infus

dan di lakukan penggantian jarum infus setiap tiga hari.

Penggantian jarum infus dibagi menjadi dua kategori, yaitu (1)

pasien yang di ganti jarum infus setiap tiga hari ; (2)pasien

yang tidak di ganti jarum infus.

2.kejadian plebitis

Kejadian plebitis yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah terjadinya peradangan atau infeksi yang ditandai

dengan kemerahan, bengkak, nyeri tekan pada sisi IV pada

pasien rawat inap di ruang ICU yang di pasang infus dan di

lakukan penggantian jarum infus setiap tiga hari

3. Fisiologi dan Metabolisme Tubuh

Fisiologi dan metabolisme tubuh yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah perubahan fisiologi dan metabolisme yang

terjadi di dalam tubuh pasien

1.Odds Rasio

Odds rasio yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

seberapa besar peran faktor risiko terhadapa terjadinya suatu

efek. Yang terbagi menjadi tiga :

a. Jika OR = 1 maka pemberian penggantian jarum infus

setiap tiga hari bukan merupakan faktor risiko terjadinya

plebitis.

b. Jika OR < 1 maka penggantian jarum infus setiap tiga hari

belum tentu merupakan faktor risiko terjadinya plebitis

Page 43: BAB I (Repaired)

43

c. Jika OR > 1 maka penggantian jarum infus setiap tiga hari

merupakan faktor risiko terjadinya plebitis

Tabel 4.1 Definisi Operasional

Variabel danDefinisi Operasional

Alat ukur

SkalaKeteranga

nIndependen:Penggantian jarum infus: Pemindahan letak dan penggantian jarum infus pada vena lain dan lama pemasangan infus ≤ tiga hari dan ≥ tiga hari

Lembar Observasi

Nominal Ordinal

Nominal: Untuk mendeskripsikan proses penggantian infus Ordinal: untuk mengetahui lama penggantian infus

Dependen:Kejadian plebitis:Munculnya tanda peradangan pada pembuluh darah (vena) dipemasangan infus terjadi plebitis dan tidak plebitis

Lembar Kuesioneir

Nominal

Nominal: untuk mengetahi kejadian plebitis

4.3Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RS Wava Husada Kepanjen.

4.4Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal ?

Page 44: BAB I (Repaired)

44

4.4Instrumen Penelitian

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan alat ukur berupa observasi.:

1. Observasi

Peneliti mengobservasi langsung dan mencatat kejadian

plebitis pada pasien yang terpasang infus di RS. Wava

Husada.Cara pencatatan dengan mencatat pasien yang

terpasang infus selama lima hari dan mengalami plebitis.

4.5Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara, yaitu :

Observasi

Pengumpulan data dengan observasi dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:a. Mempersiapkan pedoman observasi yang telah dibuat

sebelumnya.

b. Melakukan pendekatan kepada responden yang akan diteliti

c. Menjelaskan maksud dan tujuan dari dilakukannya

observasi.

d. Observasi dilakukan dengan cara melihat pasien yang

terpasang infus lima hari dan mengalami kejadian plebitis.

e. Hasil observasi ditabulasi, dianalisis dan disimpulkan

hasilnya.

4.4.1Analisis Data

Analisa data yang dilakukan untuk menilai hubungan

penggantian jarum infus setiap tiga hari dengan kejadian

Page 45: BAB I (Repaired)

45

phlebitis uji chi square (uji kebebasan), yaitu suatu analisa data

yang digunakan untuk mencari apakah suatu variabel itu saling

tergantung/tidak tergantung, sehingga salah satu variabel

berkedudukan sebagai variabel tergantung.

a. Analisis Stastitika Deskriptif

Analisis Stastitika Deskriptif yaitu analisis satu variabel.

Untuk menghitung persentase frekuensi karakteristik

responden yaitu variabel penggantian jarum infus dan

variabel terjadinya plebitis yang ditabulasikan dalam bentuk

tabel dan grafik.

b. Analisa Angka Kejadian

Analisa yang dilakukan untuk menentukan berapa

seringnya terdapat pajanan pada kasus dibandingkan pada

kontrol (odds rasio).

Rumus umum:

RO = odds pada kasus : odds pada kontrol

= (proporsi kasus dengan faktor risiko) : (proporsi kontrol dengan faktor risiko)

(proporsi kasus tanpa faktor risiko) (proporsi kontrol tanpa faktor risiko)= A / (A+C) : B / (B+D)

C / (A+C) D / (B+D)= A/C : B/D = AD/BC

Keterangan :

A = kasus yang mengalami pajanan

B = kontrol yang mengalami pajanan

C = kasus yang tidak mengalami pajanan

D = kontrol yang tidak mengalami pajanan

(Sastroasmoro, 1995)

Page 46: BAB I (Repaired)

46

c. Analisis DenganChi-square

Analisis dengan Chi-square yaitu analisis dengan

stastitika inferesial. Analisa ini menggunakan uji Chi-Square.

Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah ada

hubungan antara penggantian jarum infus setiap tiga hari

dengan kejadian plebitis. Adapun Ho untuk mengawali

penelitian ini adalah:

1. Penggantian jarum infus tidak berhubungan dengan

kejadian plebitis.

2. Nilai rasio odds lebih dari satu sehingga subyek yang

terpasang infus dan d lakukan penggantian infus setiap tiga

hari bukan merupakan faktor terjadinya plebitis.

3. Menurut Rofieq (2007) rumus untuk uji Chi-Square pada

penelitian studi case control adalah sebagai berikut :

Rumus Umum:

X2 =

∑ (Oi−E1)2

E1

Dimana dk = (k-1) (b-1)

Keterangan :

dk : derajat kebebasan

k : jumlah kolom

b : jumlah baris

O1 : frekuensi observasi

E1: frekuensi ekspatasi

Langkah Uji:

1. Menentukan nilai frekuensi ekspektasi (E1).

Page 47: BAB I (Repaired)

47

Nilai frekuensi ekspektasi diperhitungkan dari nilai atau

frekuensi observasinya.

2. Menentukan nilai X2 hitung.

3. Menentukan nilai X2 tabel.

a. Tentukan dulu tarif signifikan analisis (diberi simbol α).

b. Tentukan nilai derajat kebebasan atau derajat bebas

(diberi simbol dk atau db).

Dk/db = (b-1) (k-1)

Dimana b = banyak baris, sedangkan k = banyak kolom.

c. Cara menulis X2 tabel pada db tertentu dan α tertentu

adalah sebagai berikut:

X2(α)(dk)

Nilai α dalam penelitian ini menggunakan nilai signifikan

(0,05).

d. Menentukan nilai X2 (α)(dk) yaitu dicari melalui tabel

distribusi nilai X2.

4. Keputusan analisis:

Jika nilai X2 ≤ X2(α)(dk) maka nilai H0 diterima, maka terjadinya

plebitis tidak dipengaruhi oleh penggantian jarum infus

setiap tiga hari. Apabila nilai yang didapat X2 ≥ X2(α)(dk) maka

nilai H0 ditolak, jadi terjadinya plebitis dipengaruhi oleh

penggantian jarum infus setiap tiga hari.

Page 48: BAB I (Repaired)

48

4.6Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu membawa

rekomendasi dari institusi untuk pihak lain dengan cara

mengajukan permohonan izin kepada institusi/lembaga tempat

penelitian yang dituju oleh peneliti. Setelah mendapat

persetujuan, barulah peneliti dapat melakukan penelitian

dengan menekankan masalah etika yang meliputi:

1. Lembar persetujuan atau Informed Consent

Lembar persetujuan atau informed consent ini diberikan

peneliti kepada reponden yang akan diteliti yang sudah

memenuhi kriteria. Lembar persetujuan atau informed

consent riset diberikan oleh peneliti kepada responden yang

berisi tentang informasi studi penelitian dan penjelasan

tentang maksud dan tujuan penelitian serta dampaknya,

sehingga reponden dapat memutuskan apakah akan terlibat

atau tidak dalam penelitian. Jika subyek bersedia maka dia

harus menandatangani lembar persetujuan dan apabila tidak

bersedia maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap

menghormati hak-hak subyek.

2. Tanpa Nama atau Anonimity

Kerahasiaan mengacu pada tanggung jawab peneliti

untuk melindungi semua data yang dikumpulkan dalam

lingkup proyek atau pemberitahuan kepada yang lain.

Kerahasiaan informasi dijamin peneliti, hanya kelompok data

Page 49: BAB I (Repaired)

49

tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian.

Anonymity mengacu pada tindakan merahasiakan nama

peserta terkait dalam partisipasi mereka dalam penelitian.

Untuk kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama

reponden tetapi pada lembar tersebut diberi kode atau inisial

untuk nama responden.

3. Kerahasiaan atau confidentality

Semua informasi dari reponden tetap dirahasiakan, dan

peneliti melindungi semua data yang dikumpulkan dalam

lingkup proyek dari pemberitahuan kepada orang lain dan

hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai

hasil penelitian.