88
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedokteran Gawat Darurat (KGD) mencakup diagnosis dan tindakan terhadap semua pasien yang memerlukan perawatan yang tidak direncanakan dan mendadak, atau terhadap pasien dengan penyakit atau cedera akut. Maksud kedokteran gawat darurat adalah untuk menekan angka kesakitan dan kematian pasien. Pelayanan kedokteran gawat darurat mencakup pelayanan pra rumah sakit, luar rumah sakit dan dirumah sakit. Pelaksana kedokteran gawat darurat memerlukan pengetahuan dan pengenalan yang adekuat tentang cedera serta penyakit akut, tindakan segera, stabilisasi serta konsultasi dan disposisi yang memadai untuk pasien. Penderita gawat darurat adalah penderita yang memerlukan pertolongan segera dan bila tidakmendapat pertolongan segera dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan cacat permanen. Penderita tidak gawat dan darurat adalah penderita yang tidak terancam jiwanya tetapi bila tidak mendapat pertolongan segera akan menimbulkan kecacatan atau kondisi yang parah.Penderita gawat dan tidak darurat adalah penderita yang terancam jiwanya dan

BAB I II III Baru (Repaired) 2003

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kegawtdaruratan neurologi

Citation preview

56

BAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang

Kedokteran Gawat Darurat (KGD) mencakup diagnosis dan tindakan terhadap semua pasien yang memerlukan perawatan yang tidak direncanakan dan mendadak, atau terhadap pasien dengan penyakit atau cedera akut. Maksud kedokteran gawat darurat adalah untuk menekan angka kesakitan dan kematian pasien. Pelayanan kedokteran gawat darurat mencakup pelayanan pra rumah sakit, luar rumah sakit dan dirumah sakit. Pelaksana kedokteran gawat darurat memerlukan pengetahuan dan pengenalan yang adekuat tentang cedera serta penyakit akut, tindakan segera, stabilisasi serta konsultasi dan disposisi yang memadai untuk pasien.Penderita gawat darurat adalah penderita yang memerlukan pertolongan segera dan bila tidakmendapat pertolongan segera dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan cacat permanen. Penderita tidak gawat dan darurat adalah penderita yang tidak terancam jiwanya tetapi bila tidak mendapat pertolongan segera akan menimbulkan kecacatan atau kondisi yang parah.Penderita gawat dan tidak darurat adalah penderita yang terancam jiwanya dan tidak memerlukan pertolongan segera. Penderita tidak gawat dan tidakdarurat adalah penderita yang tidak terancamjiwanya dan tidak mendapat pertolongan segera.Penanggulangan Penderita Gawat Darurat ( PPGD ) Upaya untuk mengatasi keadaan gawat darurat agar pasien tidak meninggal, memburuk keadaannya atau mencegah / mengurangi kecacatan.Kematian penderita gawat darurat akan terjadi dalam waktu singkat ( 4-6 menit ) bila terdapat kerusakan pada sistem susunan saraf pusat, pernafasan, kardiovaskuler dan hipoglikemia. Sedang kegagalan sistem / organ yang lain dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang lebih lama. Kasus-kasus kegawatdaruratan neurologi dapat menimbulkan kematian segera maupun kecatatan yang menetap. Oleh karena tu penanganan dini yang cepat dan tepat diperlukan dalam menurunkan mortalitas dan kecatatan jangka panjang.Keadaan gawat darurat dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja maka upaya penanggulangan pasien gawat darurat menjadi semakin kompleks . Untuk itu penanganan pasien gawat darurat harus bersifat komprehensif, terintegrasi dan dengan cara pendekatan sistem.Kegawat daruratan neurologi sering ditemukan pada praktek sehari-hari oleh dokter umum. Kelainan yang ditemukan dapat berupa trauma cerebrovaskuler, kejang, infeksi pada sistem saraf, kelainan neuromuskular hingga kelainan pada saraf kranial. Selain itu penyakit dalam bidang neurologi sulit disembuhkan, mengingat organ yang terkenan adalah saraf yang penyembuhannya cukup sulit bila terkenan cedera. Meskipun dokter umum tidak memiliki kompetensi seperti dokter spesialis saraf, namun dokter umum harus dapat mengenali kasus kegawatdaruratan neurologi secara cepat dan memberikan penanganan awal secara tepat sehingga dapat meminimalisasi defisit neurologis.B. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan Umum

Tujuan secara umum dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai kegawatdaruratan neurologis yang sering terjadi.

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan tentang kegawatdaruratan pada cerebrovascular accident.b. Menjelaskan tentang kegawatdaruratan pada kejang.c. Menjelaskan tentang kegawatdaruratan pada infeksi sistem saraf pusat.d. Menjelaskan tentang kegawatdaruratan pada kelainan neuromuskular.e. Menjelaskan tentang kegawatdaruratan pada kelainan saraf kranial.3. Manfaat

Hasil referat ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a. untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan kegawatdaruratan neurologis bagi tim penulis.b. Untuk meningkatkan pemahaman pembaca tentang masalah kegawatdaruratan neurologis.c. Sebagai acuan pustaka tentang kegawatdaruratan neurologis bagi institusi.BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. CEREBROVASCULAR ACCIDENTGangguan vaskuler otak atau Cerebrovascular disease(CVD) atau Cerebrovascular Accident (CA) adalah suatu kondisi sistem susunan saraf pusat yang patologis akibat adanya gangguan peredaran darah. Istilah yang lebih lama masih sering digunakan adalah cerebrovascular accident (CVA) (Mahar, 2008).Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dan dapat menyebabkan kematian.Stroke adalah penyebab kematian tersering ketiga pada orang dewasa di Amerika Serikat. Angka kematian setiap tahun akibat stroke baru atau rekuren adalah lebih dari 200.000. Insiden stroke secara nasional diperkirakan adalah 750.000 per tahun, dengan 200.000 merupakan stroke rekuren. Angka di antara orang Amerika keturunan Afrika adalah 60% lebih tinggi daripada orang kaukasian (Broderick, 2001).Lesi-lesi vaskular regional yang terjadi di otak sebagian besar disebabkan oleh proses oklusi pada lumen arteri serebral. Sebagian lainnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah. Penyakit vaskular utama yang menimbulkan penyumbatan adalah aterosklerosis dan arteriosklerosis. Penyakit-penyakit oklusif lainnya ialah endarteritis reumatik dan sifilik, periarteritis nodosa dan lupus eritematosus diseminata. Hanya sebagian kecil saja dari stroke yang disebabkan oleh oklusi akibat penyakit-penyakit lainnya (Mahar, 2010).Stroke diklasifikasikan menurut Marshall sebagai berikut: 1. Berdasarkan kelainan patologis

1) Stroke hemoragikDiagnosis ini dibuat jika kelumpuhan tubuh sesisi terjadi secara tiba-tiba dan serentak mutlak lumpuh. Diagnosis tersebut berimplikasi bahwa kesadaran hilang dalam waktu singkat setelah hemiplegia bangkit (Sidharta, 2008).a) Perdarahan Intra serebral

b) Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid)

2) Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)

a) Stroke akibat trombosis serebri

b) Emboli serebri

c) Hipoperfusi sistemik

2. Berdasarkan waktu terjadinya

1) Transien Ischemic Attack (TIA)Terjadinya defisit neurologi secara tiba-tiba dan defisit tersebut berlangsung hanya sementara (tidak lebih dari 24 jam). Diagnosis TIA berimplikasi bhawa lesi vascular yang terjadi bersift reversible dan disebabkan oleh embolisasi. Sumber utama emboli adalah plaque atheromatosa di arteri karotis interna atau arteri vertebrobasilaris (Sidharta, 2008).2) Stroke In Evolution (SIE) /Progressing StrokePerkembangan defisit neurologi yang berlangsung secara berthap-tahap dan berangsur-angsur dalam waktu beberapa jam sampai satu hari. SIE berimplikasi bahwa lesi intravascular yang sedang menyumbat arteri serebral berupa plaque artheromatosa yang sedang ditimbun oleh fibrin dan trombosit. Penimbunan tersebut disebabkan oleh hiperviskositas darah atau karena perlambatan arus aliran darah (Sidharta, 2008).3) Completed StrokeKasus hemiplegia yang disajikan kepada pemeriksa pada tahap dimana tubuh penderita sudah memperlihatkan kelumpuhan sesisi yang sudah tidak memperlihatkan progresi lagi. Kesadaran tidak terganggu. Lesi vascular bersifat iskemia serebri regional (Sidharta, 2008).3. Berdasarkan Lesi Vakular

1) Sistem karotis

a) Motorik : hemiparese kontralateral, disartria

b) Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia

c) Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis fugaks

d) Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia

2) Sistem vertebrobasiler

a) Motorik : hemiparese alternans, diartria

b) Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia

c) Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia.Sistem untuk membedakan jenis stroke:1. Algoritma Stroke Gajah Mada

Gambar 1. Algoritma Gajah Mada

2. Skor Stroke Siriraj(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x nyeri kepala)+(0,1x tekanan diastolik)-(3x petanda ateroma)-12Keterangan:Skor>1

: perdarahan supratentorialSkor -1 s.d. 1

: perlu CT ScanSkor < -1

: infark serebriDerajat kesadaran: 0=kompos mentis; 1= somnolen; 2= supor/komaVomitus

: 0= tidak ada; 1= adaNyeri kepala

: 0= tidak ada; 1= adaAteroma

:0= tidak ada; 1= salah satu atau lebih: diabetes,angina, penyakit pembuluh darah.Jika manifestasi stroke sudah ada selama beberapa jam sampai satu minggu harus dirawat di Rumah Sakit agar pemeriksaan dan perawatan dapat mencegah cacat berat (Sidharta, 2008).Setelah penderita tiba di Rumah Sakit kesadaran penderita harus ditentukan secermat-cermatnya. Kepentingan penilaian kesadaran orang sakit yang baru saja mengidap stroke terletak pada diagnosa banding antara stroke trombotik iskemik di satu pohak dan stroke infark hemoragik di lain pihak. Pada stroke iskemik tanpa adanya perdarahan sedikit pun kesadaran tetap utuh dari saat mulai timbulnya defisit neurologikcsampai hari-hari berikutnya. Pada stroke iskemik yang kemudian atau sejak semula disertai perdarahan yang bersifat perembesan darah secara ekstravasicular, kesadaran menurun secara berangsur-angsur namun progresif. Tetapi pada hemoragia serebri kesadaran bangkit serentak pada saat timbulnya hemiplegia (Sidharta, 2008).Penderita dengan stroke hemoragik biasanya tiba di Rumah Sakit dalam keadaan sopor atau koma. Tetapi penderita dengan infark hemoragik serebri mungkin masih dalam keadaan suf atau acuh tak acuh. Bilamana penderita tidak menunjukkan kemunduran kesadaran sedikit pun maka pungsi lumbal tidak dilakukan. Tetapi bilamana disangsikan apakah ada kemunduran kesadaran atau tidak, maka pungsi lumbal harus dikerjakan. Juga pada penderita stroke yang mengeluh sakit kepala yang sangat, pungsi lumbal harus dilakukan walaupun kesadarannya normal (Sidharta, 2008).Penderita yang sudah dinilai bahwa ia mengidap stroke iskemik (stroke in evolution dan completed stroke dengan utuhnya kesadaran), mendapatkan perawatan stroke iskemik. Dan mereka yang melalui pungsi lumbal ternyata telah mengidap infark hemoragik serebri atau hemoragia mendapat perawatan stroke hemoragik (Sidharta, 2008).1. Perawatan penderita dengan stroke iskemik

a. Pemberantasan edema serebri

Glycerol. Penggunaan per oral: dosis 1,5 gram/kgBB sehari diberi dalam 3 atau 4 angsuran. Cara pemberian: 25-30 cc glycerol dilarutkan dalam 200 cc air dan diminum sekaligus atau dicicil asal habis dalan 1/2 sampai 1 jam, tiga kali sehari, selana 10 sampai 15 hari. Penggunaan per infus: dosis 500 cc 10% glycerol sehari. Cara pemberian: infus tetes, 30 tetes per menit sehingga habis dalam 5-6 jam. Diberikan 500 cc setiap hari, selama 5 hari berturut-turut, kemudian pemberian infus dihentikan selama 2 hari dan selanjutnya dapat diteruskan selana 5 hari lagi secara berturut-turut. Perbaikan fungsi serebral dapat disaksikan setelah pemberian infus glycerol yang pertama. Jika setelah pemberian infus kelima sudah diperoleh perbaikan yang sempurna, maka penderita tidak diberikan infus lagi. Jika perbaikab lebih lanjut masih diharapkan, maka infus glycerol diterusksn sampai penderita menerima 10 kali (Sidharta, 2008).b. Pemberian tekanan perfusi serebral yang optimalPada hakikatnya berarti pemberantasan segala macam keadaan hipotensi, baik hipotensi absolut maupun nisbi.1) hentikan obat-obatan yang dapat menimbulkan hipotensi (neuroplekia, digitalis, diuretika, vasodilatansia, dan obat antihipertensi lainnya). Letakkan kedua tungkai lebih tinggi daripada badan.2) Gunakan vasopresor. Effortil 40-80 mg dapat dimasukkan dalan 500 cc dextrose 5% dan pemberiannya disesuaikan tekanan darah.3) Gunakan kortikosteroid. Hydrocortisone 100 mg i.v 3-6 kali sehari (Sidharta, 2008).c. RehabilitasiTindakan-tindakan yang diselenggarakan untuk rehabilitasi terdiri dari fisioterapi dan psikoterapi (Sidharta, 2008).2. Perawatan penderita dengan sroke hemoragikTindakan terhadap stroke hemoragik dimana terjadi perdarahan besar ialah membiarkan penderita meninggal dengan tenang. Ini tidak berarti bahwa dokter meninggalkan penderita dan memberitahukan kepada keluarganya bahwa orang sakit sudah pada ajalnya, tetapi dia harus tetap mendampingi orang sakit dan bertindak sebagai berikut:

a. Observasi tekanan darah, nadi, dan pupil.b. Mengatur sikap penderita.

Jika tekanan darah menurun secara progresif, nadi menjadi semakin cepat dan lemah, dan pupil yang tadinya miosis menjadi semakin lebar, maka pada saat itulah tepat untuk memberitahukan kepada keluarga, bahwa orang tersebut sudah dekat pada ajalnya dan perawatan di rumah sakit tidak akan banyak merubah perkembangan penyakit. Tetapi jika tekanan darah tetap tinggi, nadi cepat tetapi tetap kuat dan pupil tetap miosis, dokter harus berusaha untuk memasukkan orang tersebut di rumah sakit (Sidharta, 2008).Usaha untuk menolong penderita terdiri dari:

a. Menurunkan tekanan darah secara perlahan-lahan dengan diuretik misalnya frusemide (20 mg i.v atau i.m) jika ada kecenderungan tekanan darah meningkat (Sidharta, 2008).b. Membantu percepatan penghentian perdarahan dapat diberikan vitamin K (jika penderita sedang menggunakan obat antikoagulasi dosisnya 5-10 mg i.v perlahan-lahan).

Keadaan penderita pada hari-hari berikutnya menentukan perubahan, penghentian atau penambahan terapi medicinal selanjutnya. Bila usaha tersebut diatas berhasil, maka tindakan rehabilitasi diselenggarakan secepat mungkin (Sidharta, 2008).B. KEJANGKejang adalah masalah neurologik yang relatif sering kita jumpai. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu sehingga mengganggu fungsi normal otak (Wilson,2005).Tabel 2.1 Klasifikasi kejang

KlasifikasiKarakteristik

PARSIAL (FOKAL)Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain

Parsial sederhana Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomic (takikardia, bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa tidak enak epigastrium), psikis (disfagia, gangguan daya ingat)

Berlangsung kurang dari 1 menit

Parsial kompleksDimulai sebagai kejang parsial sederhana; berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh:

Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik baju)

Beberapa kejang parsial kompleks mengkin berkembang menjadi kejang generalisata

Berlangsung 1-3 menit

Parsial dengan generalisata sekunderTerjadi penurunan kesadaran

GENERALISATA Hilangnya kesadaran; tidak ada awitan fokal; bilateral dan simetrik; tidak ada aura

Tonik-klonik (grand mal)Spasme tonik-lonik otot; inkontinensia urin dan alvi; menggigit lidah; fase pascaiktus

Absence (petit mal)Sering salah diagnose sebagai melamun

Menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau berkedip secara cepat; tonus postural tidak hilang

Berlangsung beberapa detik

MioklonikKontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai; cenderung singkat

AtonikHilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks)

KlonikGerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple di lengan, tungkai, atau torso

TonikPeningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai

Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi

Dapat menyebabkan henti napas

Spasme InfantilKontraksi singkat yang sinkron dari leher, tubuh, dan kedua lengan

Spasme fleksor : fleksi mendadak leher, lengan, dan kaki pada tungkai

Spasme ekstensor : ekstensi badan dan tungkai

Spasme campuran

International League Againts Epilepsy (ILAE) mendefinisikan status epileptikus (SE) sebagai kejang yang berlangsung cukup lama atau berulang cukup sering sehingga kesembuhan antara serangan tak terjadi. Status epileptikus harus dianggap sebagai kedaruratan neurologik. Dapat terjadi kerusakan saraf yang bermakna akibat aktivitas listrik abnormal yang berkelanjutan. Kematian pada status epileptikus disebabkan oleh hiperpireksia dan obstruksi ventilasi, aspirasi muntahan, dan kegagalan mekanisme kompensasi dan regulatorik (Wahjoepramono, 2008).

Insidensi dari status epileptikus diperkirakan 10 sampai 41 kasus per 100.000 penduduk per tahun, jumlahnya kira-kira 100.000 sampai 160.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Mortalitas lebih tinggi pada penderita usia lanjut atau bila status epileptikus sekunder akibat serangan akut (misalnya stroke akut, anoksia, trauma, infeksi, gangguan metabolik). Status epileptikus sekunder yang tak akut akibat stroke sebelumnya, alkohol atau penghentian obat antikonvulsan, tumor, atau epilepsi mempunyai prognosis lebih baik (Wahjoepramono, 2008).Status epileptikus adalah kegagalan dari mekanisme selular untuk mencegah aktivitas kejang terus menerus. Ini akibat kegagalan keseimbangan antara eksitasi (glutamat) terus menerus dari fokus sel dan penghambatan (GABA) inefektif dari aktivitas kejang terus menerus. Aktivitas diawali oleh rangsangan eksitasi berlebihan kegagalan penekanan GABA dari fokus sel aktif. Resistensi ini dapat timbul melalui pembentukan macam-macam isoform dari reseptor GABA tipe A di hipokampus. Macam-macam isoform ini mempunyai macam-macam sifat farmakologik yang dapat membuat mereka peka terhadap macam-macam pengobatan selamastatus epileptikus berlangsung (Wahjoepramono, 2008).Pada status epileptikus terdapat hilangnya sel kualitatif dan kuantitatif seperti pada mesial temporal sklerosis. Status epileptikus yang berlangsung kira-kira 30-45 menit dapat menyebabkan kerusakan otak, terutama struktur limbik seperti hippocampus dan kejang sendiri cukup merusak susunan saraf sentral. Hippocampus rupanya terutama peka terhadap aktivitas kejang fokal, dengan pola khas kematian sel mengenai hilangnya sel pyramidal dan relatif tak terkenanya interneuron CA2 dan sel dentate granula (Wahjoepramono, 2008).

Terdapat dua jenis status epileptikus: status epileptikus konvulsif dan status epileptikus nonkonvulsif. Kejang tonik-klonik pada status epileptikus konvulsif menandakan keberlanjutan aktivitas kejang. Hal ini tidak terjadi pada status epileptikus nonkonvulsif, tidak ada tanda klinis kejang yang menandai status epileptikus tipe ini, tetapi pasien tetap tumpul atau tidak sadar selama lebih lebih dari 30 menit setelah kejang tonik-klonik yang nyata telah berhenti. Keadaan komatosa ini sering disangka disebabkan oleh efek sedatif obat-obat yang diberikan selama keadaan kejang. Satu-satunya alat yang dapat mendiagnosa status epileptikus nonkonvulsif adalah EEG. Karena sering salah didiagnosis, maka angka kematian sangat tinggi. Kematian disebabkan oleh dekompensasi dan kolapsnya fungsi kardiovaskular sehingga terjadi disritmia letal dan memburuknya fungsi otonom (Wilson,2005).a. GCSE (generalized convulsive status epilepticus)Pada waktu pertama penderita GCSE tak sadar dan biasanya klinis jelas kejang, seperti gerakan tonik, klonik, atau tonik-klonik dari anggota gerak badan.Kelainan ini hubungan dengan hilangnya kesadaran seluruhnya dan diikuti oleh inkontinensia dan tergigitnya lidah.Penderita dapat hanya menunjukan gerakan kejang amplitude rendah dari muka, dagu, bibir, tangan, atau kaki atau sentakan nistagmoid dari mata (Wahjoepramono, 2008).b. NCSE (nonconvulsive status epilecticus)

Adalah aktivitas kejang elektrik umum yang terus menerus atau hampir terus-menerus selama paling sedikit 30 menit tanpa konvulsif fisik. Diagnosis dapat sangat sukar karena tanda fisik terdapat sebagai agitasi, atau bingung, nistagmus, atau kelakuan aneh seperti mengecap-ngecap atau mengambil sesuatu di udara (Wahjoepramono, 2008).Terapi pasien dengan gangguan kejang ditujukan pada penghilangan penyebabnya, menekan ekspresi kejang, dan berhubungan dengan konsekuensi psikososial yang dapat terjadi sebagai hasil gangguan fungsi neurologic yang mendasari gangguan kejang atau dari adanya ketidakmampuan kronis (Harrison, 2000).Status epileptikus merupakan kegawatdaruratan medis yang mengancam jiwa, tetapi terapi yang berlebihan dan tidak berhati-hati dapat menyebabkan keadaan yang lebih merugikan daripada menguntungkan.Tata laksana dapat dibagi menjadi tiga komponen:a. Tindakan resusitasi segeraPrioritas pertama adalah menjamin saluran pernapasan yang memadai. Alat oral dan nasofaring ditambah dengan oksigen yang diberikan melalui kanula nasal atau ventilasi kantung katup-masker (nasal atau orotracheal intubation atau bag valve-mask ventilation) biasanya cukup untuk mempertahankan oksigenasi dan mencegah hipoksia. Proteksi lidah (dengan objek lunak yang cukup besar untuk tidak tertelan, antara gigitan gigi), perlindungan kepala dan kemudian pemasangan akses parerental (IV) yang aman. Semua terapi intravena lanjutan harus diberikan setelah dukungan sirkulasi dan respirasi tersedia. Diperlukan infus untuk pemberian obat dan cairan resusitasi (Wahjoepramono, 2008).b. Pengendalian kejangPenderita dengan kejang sering terdapat diluar rumah sakit. Diusahakan agar secepat mungkin dibawa ke rumah sakit terdekat dan sebagai pertolongan pertama bila terdapat lorazepam 2-4 mg intravena atau diazepam 5-10 mg pelan-pelan intravena. Obat ini dapat menekan fungsi respirasi (atau bahkan menyebabkan henti pernapasan), dan pengukuran bantuan pernapasan harus tersedia sebelum diberikan (Wahjoepramono, 2008).Fenitoin 100 sampai 1500 mg (18 sampai 20 mg/kgBB) pada IV lambat, tidak lebih cepat dari 50 mg/menit (tidak dalam cairan infus dekstrosa 5 persen dalam air, fenitoin menggumpal dalam larutan pH rendah ini). Obat ini tidak menekan pernapasan, tetapi dapat menyebabkan blok atrioventrikuler ringan dan jika diberikan terlalu cepat dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang serius. Tekanan darah dan EKG harus dimonitor (Harrison, 2000).Fenobarbital, pada dosis 10 sampai 20 mg/kgBB (sampai 1 g), dibagi menjadi dua sampai empat dosis pada interval 30 sampai 60 menit. Fenobarbital menyebabkan depresi pernapasan dan tidak harus digunakan segera setelah terapi dengan diazepam IV (Harrison, 2000).c. Identifikasi (dan pengobatan) penyebab yang mendasari

Sangat penting untuk mencegah kekambuhan. Pada kebanyakan orang dewasa, penyebab dapat ditentukan dan biasanya tumor, penyakit vaskuler, infeksi, kerusakan serebral, atau penghentian menkonsumsi alkohol atau pengobatan antiepileptic yang terlalu cepat. Pada anak, insidensi status idiopatik lebih tinggi (sekitar 50%) dan kasus sisanya terbagi antara penyakit otak akut, seperti meningitis purulen, ensefalitis, dan dehidrasi dengan gangguan keseimbangan elektrolit dan ensefalopati kronik. Status epileptikus tonik-klonik merupakan kondisi yang berbahaya; mortalitas mungkin lebih dari 10 persen, dengan 10-30 persen lain mempunyai sekuela neurologik yang permanen (Harrison, 2000).

Bagan 1. Protokol pengobatan farmakologik dan pilihan manajemen GCSE dan RSE (refractory status epilepticus) (Wahjoepramono, 2008).C. CNS Infection

Infeksi-infeksi pada sistem saraf pusat menimbulkan masalah medis yang serius dan membutuhkan pengenalan dan penanganan segera untuk memperkecil gejala sisa neurologis yang serius dan memastikan kelangsungan hidup pasien.

Diagnosis dari radang SSP

Karena pada permulaan gejala dari suatu radang SSP tak spesifik, kita harus memikirkan kemungkinan tersebut bila di dapat:

a. Tanda-tanda peradangan umum: demam, sakit-sakit badan dan kepala disertai

b. Tanda-tanda penurunan kesadaran

c. Tanda-tandagangguan tingkah laku

d. Kejang-kejang

e. Defisit neurologik: kelainan saraf kranial, hemiplegik dll (Wahjoepramono, 2008).Urutan pemeriksaan

Anamnesa:

Kesiagaan akan kemungkinan infeksi susunan saraf pusat adalah penting, karena merupakan modal untuk evaluasi kita lebih lanjut (Wahjoepramono, 2008).Tindakan diagnostik pada persangkaan infeksi susunan sarafBila ada riwayat demam disertai penurunan kesadaran/gangguan tingkah laku, maka dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Pemeriksaan fisik:Keadaan umum Apakah ada demam atau tidak

Apakah ada kelainan kulit: exanthema, petechiae

Apakah ada kelainan paru-paru

Bagaimana status interne

Gizi penderitaStatus neurologi

Bagaimana kesadaran penderita

Apakah ada tanda kelainan saraf cranial Bagaimana dengan fundus oculi

Apakah ada kelumpuhan ekstremitas

Apakah ada tanda-tanda perasangsangan meningeal: kaku kuduk, tes brudzinsky, kernig (Wahjoepramono, 2008).b. Pemeriksaan tambahan Bila kemungkinan adanya radang susunan saraf pusat tinggi dan tak di dapat kontraindikasi, maka pemeriksaan cairan serebrospinal perlu dilakukan (Wahjoepramono, 2008).Pada meningitis biasanya akan didapatkan: Kenaikan dari tekanan LCS Kekeruhan yang menandakan adanya kenaikan jumlah sel dalam mono-atau polimorfo-nuclear

Warna xanthochronik karena kenaikan kadar protein LCS

Pemeriksaan protein secara kuantitatif

Pemeriksaan glukosa apakah menurun, seperti terutama pada infeksi bakteial

Pengecetan dan kultur dari sedimen sesudah sentrifuge. Sebaiknya jumlah LCS yang diambil tidak kurang dari 10cc Test serologis dan PCR bila memungkinkan (Wahjoepramono, 2008).Pada suatu radang virus/ensefalitis, kelainan cairan cerebrospinal lebih minim, bahkan pemeriksaan sel, protein dan glukosa sering normal. Dalam hal ini hanya pemeriksaan serologis dan PCR yang dapat membantu.Pada umumnya pemeriksaan serologis ditujukan pada immunoglobin M, yang lebih mengarah pada infeksi akut oleh mikro-organisme yang bersangkutan. Immunoglobin G lebih menunjuk pada tanda pernah menderita infeksi mikro-organisme yang bersangkutan, tetapi belum tentu aktif (Wahjoepramono, 2008).

Kontraindikasi dari punksi lumbal/pemeriksaan LCS: Bila dicurigai adanya tekanan tinggi intracranial yang asimetris, seperti pada abses atau tumor otak Bila ada lateralisasi kelumpuhan pada edema papil nervus optikus dan parese nervus VI (Wahjoepramono, 2008).

Dalam keadaan ini, pemeriksaan pertama bila memungkinkan adalah neuro-imaging. Bila dilakukan CT-Scan kepala, maka sebaiknya dengan kontras. Bila CT-Scan tak dapat dilakukan tetapi kecurigaan akan meningitis bacterial tinggi, maka pemeriksaan punksi lumbal dengan jarum yang halus harus tetap dilakukan (Wahjoepramono, 2008).c. Pemeriksaan penunjang lainLaboratorium: Pemeriksaan darah: apakah ada kenaikan leukosit dan hitung jenis Kultur dan pengecetan untuk mencari bakteri/parasit/jamur (pada malaria, pemeriksaan darah adalah diagnostik) Pemeriksaan erologis untuk jenis mikro-organisme tertentu: toksoplasma/tenia solium, HIV,dll PCR bila memungkinkan (Wahjoepramono, 2008).Neuro-imaging X-foto: Neuro-imaging: untuk melihat abses, infark, hidrosefalus, edema otak local seperti pada herpes ensefalitis. X-foto torak: untuk melihat apakah ada focus infeksi di paru-paru, terutama pada persangkaan infeksi TBC dan jamur. X-foto lain seperti tulang, misalnya bila tersangka kemungkinan ada spondilitis/osteomyelitis (Wahjoepramono, 2008).1. MeningitisMeningitis adalah radang membran pelindung sistem saraf pusat. Penyakit ini dapatdisebabkan oleh mikroorganisme, luka fisik, kanker, atau obat-obatan tertentu.Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang belakang,sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian (Harrison, 2000).Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak. Daerah "sabuk meningitis" di Afrika terbentang dari Senegal di barat ke Ethiopia di timur. Daerah ini ditinggali kurang lebih 300 juta manusia. Pada 1996 terjadi wabah meningitis di mana 250.000 orang menderita penyakit ini dengan 25.000 korban jiwa (Harrison, 2000).

a) Meningitis viralMeningitis viral yang benigna tidak melibatkan jaringan otak pada proses radangnya. Gejala-gejalanya dapat sedemikian ringannya sehingga diagnosis meningitis luput dibuat. Tetapi pada pungsi lumbal ditemukan pleiositosis limfositer. Jika gejala-gejalanya agak berat, maka gejala yang paling menggangu ialah jika sakit kepala dan nyeri kuduk. Meningitis viral yang paling berat selalu merupakan komponen meningioensefalitis (Harrison, 2000).Virus yang biasanya bertanggung jawab atas terjadi infeksi di susunan saraf pusat tergolong pada keluarga enterovirus. Anggota-anggotanya antara lain ialah virus poliomyelitis, virus Coxsackie dan virus-virus ECHO. Mereka semua melakukan invasi dan penetrasi melalui usus. Mereka ditemukan di feses dan sekresi nasofaring. Selanjutnya, pada mula timbulnya cairan serebrospinal sudah mengandung virus. Penularannya dapat terjadi melaui lintasan oral-fekal atau melalui droplet spray . Keluarga enterovirus tersebut di atas ditemukan di seluruh dunia (Harrison, 2000).Sindroma dari meningitis virus terdiri dari demam, sakit kepala, dan tanda iritasi meningeal bersama dengan profil cairan serebrospinalis (CSF) yang menunjukkan peradangan, secara khas terdiri dari pleositosisjr limfositik, kadar protein yang sedikit meningkat, dan kadar glukosa yang normal. Demam mungkin disertai dengan malaise, mialgis, anoreksia, mual dan muntuh, nyeri abdomen atau diare. Tidak jarang terlihat adanya letargi derajat ringan atau mengantuk. Adanya Perubahan tingkat kesadaran yang lebih berat seperti stupor, koma, atau konfusi yang jelas, harus segera dipertimbangkan alternatif diagnosis lain. Demikian juga, adanya kejang, kelumpuhan saraf kranialis, atau tanda atau gejala neurologik fokal lain yang menunjukkan keterlibatan parenkim dan tidak khas untuk meningitis virus yang tidak berkomplikasi. Sakit kepala yang berkaitan dengan meningitis virus secara khas terletak di frontal atau retro-orbital dan sering berkaita dengan fotofobia dan nyeri saat menggerakkan mata. Kaku kuduk dijumpai pada mayoritas kasus tetapi mungkin sifatnya ringan dan hanya ada pada bagian akhir antefleksi leher. Bukti iritasi meningeal berat seperti tanda Kernig dan Brudzinski, umumnya tidak ada (Harrison, 2000).

Pada kasus biasa dari meningitis virus, terapi adalah simtomatik, dan tidak dibutuhkan perawatan di rumah sakit. Per-kecualian terhadap hal ini adalah pasien dengan defisiensi kekebalan humoral, neonatus dengan infeksi tumpang tindih, dan pasien yang profil klinis atau CSF-nya menunjukkan kemungkinan penyebab infeksi bakterial atau nonviral lainnya. Pasien dengan dugaan meningitis bakterial harus mendapat terapi empiris yang tepat sementara menunggu hasil kultur. Pasien dengan defisiensi kekebalan humoral mungkin mendapat keuntungan dari percobaan gamma globulin intravena. Asiklovir oral atau intravena mungkin bermanfaat bagi pasien dengan meningitis yang disebabkan oleh HSV-1 atau HSV-2 dan, meskipun jarang diindikasikan, secara teoritis bernilai dalam kasus infeksi EBV atau VVZ berat. Zidovudin (AZT) atau didanosin (dahulu dideoksinosin; ddl) kemungkinan bermanfaat dalam terapi meningitis HIV, meskipun belum ada percobaan klinis yang telah dilakukan. pasien biasahya lebih suka beristirahat tidak terganggu dalam keadaan tenang, ruang gelap. Analgesik dapat digunakan untuk mengurangi sakit kepala, yang sering berkurang dengan pungsi lumbal diagnosis awal. Antipiretik dapat membantu mengurangi demam, yang jarang melebihi 40C. Hiponatremia dapat berkembang sebagai hasil dari sindroma sekresi vasopresin yang tidak tepat (SIADH), sehingga status cairan dan elektrolit hams dipantau. Pungsi lumbal ulangan hanya diindikasikan pada pasien yang demam dan gejalanya tidak sembuh setelah beberapa hari atau jika ada keraguan tentang diagnosis awal. Vaksinasi adalah metode elektif dalam mencegah perkembangan selanjutnya dari meningitis dan komplikasi neurologis lainnya yang berkaitan dengan poliovirus, gondongan, dan infeksi campak (Harrison, 2000).b) Meningitis bacterial akutMeningitis bacterial akut selalu bersifat purulenta. Bakteri yang dapat membangkitkan meningitis akut banyak sekali. Tetapi pada umumnya dapat dipakai sebagai pegangan klinis daftar etiologi di bawah ini (Sidharta, 2008).

Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septicemia. Pada meningitis meningokokus, prodromnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Baik meningokokus, maupun hemofilus influenza dan pneumokokus dapat menjadi kausa dari otitis media. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut (Sidharta, 2008).Tanda-tanda patognomonik yang memberikan pengarahan kepada jenis bakteri yang bersangkutan dapat ditemukan dalam bentuk: Peteki dan purpura adalah khas untuk infeksi meningokokus

Eksantema adalah indikatif untuk pneumokus dan H.influenza

Arthritis dan artralgia sering mengiringi infeksi meningokokus dan H.influenza

Hemoragi pada kulit yang cepat timbul dan berkombinasi dengan keadaan shock adalah indikatif untuk septikemia meningokokus (Sidharta, 2008).Tanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis purulenta ialah kaku kuduk dan likuor yang memperlihatkan cirri-ciri sebagai berikut:

Pleiositosis polinuklearis yang berjumlah lebih dari 1000 per mm kubik

Kadar glukosa yang rendah

Protein dalam likuor meninggi

Preparat dan biakan likuor memperlihatkan bakteri (Sidharta, 2008).Umumnya sebagian besar bereaksi terhadap antibiotika yang sama sefalosporin generasi sekurangnya ke-3 (seperti seftriaxone/cefotaxime) dan kloramfenikol, adalah antibiotika yang terbaik menembus sawar darah otak/likuor (Wahjoepramono, 2008).Bila ada perbaikan, antibiotika diberikan sekurangnya 7-10 hari dalam dosis penuh, banyak yang menganjurkan pemberian selama 2 minggu, bila tidak ada perbaikan, punksi ulang dalam sekurangnya 48 jam, untuk melihat efek antibiotika (Wahjoepramono, 2008).Bila pada lumbal pungsi ulang jumlah sel banyak menurun, belum pulihnya kesadaran mungkin karena ensefalopati atau karena reaksi toksik dari kuman, dalam hal ini obat diteruskan. Namun bila jumlah sel tak berubah, antibiotika diganti (Wahjoepramono, 2008).Kortikosteroid, bila diberikan, jangan lebih dari 2 hari, karena bila terlalu lama akan menurunkan daya tahan tubuh (Wahjoepramono, 2008).c) Meningitis TuberkulosaDi kota besar merupakan penyakit yang perlu diperhitungkan karena banyaknya penderita TBC di Indonesia. Riwayat TBC tidak selalu ada, tetapi sering penderita sudah tampak tak sehat beberapa minggu, sebelum datang dirawat dengan demam disertai penurunan kesadaran/defisit neurologis (Wahjoepramono, 2008).

Suhu umumnya sufebris, tetapi dapat tinggi karena mungkin ada infeksi sekunder (sebabnya sering sudah berobat, tetapi didiagnosa sebagai typus abdominalis).Tanda rangsangan meningeal sering ada pada persangkaan TBM, maka punksi lumbal untuk memeriksa cairan serebro-spinal mutlak (Wahjoepramono, 2008).

LCS biasanya jernih/xanthochrome. Pleositosis yang limfositer, kenaikan kadar protein dan penurunan kadar glukosa, indikatif untuk TBM bila akan memeriksa pengecetan dan kultur untuk bakteri TB, maka sebaiknya diambil LCS sebanyak minimal 10 cc, lalu disentrifuge pada putaran 2500 rpm, selama 5 menit. Bahan untuk pengecetan dan kultur diambil dari sediment.Bila mungkin PCR terhadap TBC dari likuor dapat membantu, karena untuk likuor, spesifisitas dan sensitivitasnya tinggi di atas 90% (Wahjoepramono, 2008).

Harus segera terapi dengan sekurangnya 3 jenis obat anti TBC: Rifampicin 450-600 mg

Isoniazid 300-400 mg selama 2 bulan

Pyrazinamid 1000-1500 mg (Wahjoepramono, 2008).Bila perlu 4 jenis (ditambah streptomycin untuk maksimum satu bulan/atau ethambutol, sebaiknya jangan lebih dari 15mg/kg bb). Bila didapat ensefalopati (kesadaran menurun, tanda Babinski bilateral positif), kortikosteroid dapat diberikan (deksametason/metilprednisolon) (Wahjoepramono, 2008).

Jangan lupa komplikasi SIADH, sehingga terjadi gangguan elektrolit, yang dengan sendirinya harus dikoreksi. Jangan lupa akan kemungkinan hidrosefalus, sehingga sering ditandai dengan timbulnya keluhan nyeri kepala dan penglihatan ganda sesudah 2-3 minggu penyakit berjalan, meski respons terhadap OAT baik. Dalam hal demikian ventrikulo-peritoneal shunt perlu dipertimbangkan (Wahjoepramono, 2008).2. EnsefalitisEnsefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, fungus dan riketsia. Secara umum gejala ensefalitis berupa demam,kejang dan kesadaran menurun.Penyakit ini dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anak-anak sampai orang dewasa (Wahjoepramono, 2008).a) Ensefalitis SupurativaBakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus, streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa. Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis media, mastoiditis, sinusitis, atau dari piema yang berasl dari radang, abses di dalam paru, bronchiektasi, empiema, osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang menembus ke dalam otak dan tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang adalah edema, kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan abses. Disekeliling daerah yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang membentuk kapsula. Bila kapsula pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel (Ginsberg, 2007).Manifestasi klinis secara umum gejala berupa trias ensefalitis ; Demam

Kejang

Kesadaran menurun

Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil.Tanda-tanda deficit neurologist tergantung pada lokasi dan luas abses (Wahjoepramono, 2008).

Terapi yang diberikan pada ensefalitis supurativa adalah Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari. Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari (Wahjoepramono, 2008).b) Ensefalitis SiphylisDisebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui permukaan tubuh umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui epithelium yang terluka, kuman tiba di sistim limfatik, melalui kelenjar limfe kuman diserap darah sehingga terjadi spiroketemia. Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunansaraf pusat. Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagianbagian lain susunan saraf pusat (Ginsberg, 2007).Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian :

Gejala-gejala neurologistKejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun,sering dijumpai pupil Agryll- Robertson,nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul gangguanan-gangguan motorik yang progresif (Wahjoepramono, 2008). Gejala-gejala mentalTimbulnya proses dimensia yang progresif, intelgensia yang mundur perlahan-lahan yang mula-mula tampak pada kurang efektifnya kerja, daya konsentrasi mundur, daya ingat berkurang, daya pengkajian terganggu (Wahjoepramono, 2008).Penatalaksanaan ensefalitis sifilis adalah dengan pemberian Penisillin G 12-24 juta unit/hari dibagi 6 dosis selama 14 hari.Penisillin prokain G 2,4 juta unit/hari intra muskulat + probenesid 4 x 500mg oral selama 14 hari.Bila alergi penicillin : Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari

Cloramfenicol 4 x 1 g intra vena selama 6 minggu

Seftriaxon 2 g intra vena/intra muscular selama 14 hari (Wahjoepramono, 2008).c) Ensefalitis VirusVirus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :

a. Virus RNA

Paramikso virus : virus parotitis, irus morbili Rabdovirus : virus rabies Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus dengue) Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus) Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria (Wahjoepramono, 2008).b. Virus DNA

Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus, virus Epstein-barr

Poxvirus : variola, vaksinia

Retrovirus : AIDS (Wahjoepramono, 2008).c. Manifestasi klinis

Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea, kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis bulbaris (Wahjoepramono, 2008).Penatalaksanaan pada ensefalitis virus adalah dengan pemberian analgetik dan antipiretik : Asam mefenamat 4 x 500 mg, Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari (Wahjoepramono, 2008).Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan penyebab herpes zoster-varicella adalah Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau 200 mg peroral tiap 4 jam selama 10 hari (Wahjoepramono, 2008).d) Ensefalitis Karena Parasit

a. Malaria serebralPlasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang terinfeksi plasmodium falsifarum akan melekat satu sama lainnya sehingga menimbulkan penyumbatan penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala yang timbul seperti demam tinggi, kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan (Ginsberg, 2007).Penatalaksanaan malaria serebral adalah Kinin 10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam, setiap 8 jam hingga tampak perbaikan (Wahjoepramono, 2008).b. ToxoplasmosisToxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejalagejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak (Wahjoepramono, 2008).Penatalaksanaan pada toxoplasmosis adalah Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan, pirimetasin 1 mg/KgBB per oral selama 1 bulan dan spiramisin 3 x 500 mg/hari (Wahjoepramono, 2008).c. AmebiasisAmuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan meningoencefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun. Terapi pada amebiasis adalah diberikan Rifampicin 8 mg/KgBB/hari (Wahjoepramono, 2008).d. SistiserkosisCysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus mukosa dan masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva dapat tumbuh menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan parenkim otak. Bentuk rasemosanya tumbuh didalam meninges atau tersebar didalam sisterna. Jaringan akan bereaksi dan membentuk kapsula disekitarnya. Gejaja-gejala neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan. Penatalaksanaannya dapat diberikan Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari dan Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari (Ginsberg, 2007).e. Ensefalitis Karena FungusFungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans, Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun. Penatalaksanaannya dapat diberikan Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali minimal 6 minggu atau Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu (Ginsberg, 2007).3. Abses Otak

Abses otak adalah kumpulan nanah yang dikelilingi oleh kapsul fibrosa parenkim otak. Kebanyakan abses otak terjadi karena diseminasi hematogen dari peradangan yang jauh, trauma pembedahan, ekstensi langsung dari sinusitis (Satyanegara, 2010).Negara-negara yang belum dan sedang berkembang mempunyai insidensi yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara maju. Di Amerika, insidensi kasus abses otak tampak cenderung meningkat yang mana dikaitkan dengan bertambahnya pasien-pasien yang mengalami gangguan imunologo akibat infeksi-infeksi oportunistik dalam tipe yang multipel bila dijumpai dua atau lebih abses, yang satu sama lain dipisahkan secara jelas oleh parenkim otak (Satyanegara, 2010).Abses otak dapat disebabkan oleh beraneka ragam bakteri. Organisme penyebab yang sering dijumpai adalah golongan streptokokus aerobik (S. viridans, S. beta hemolitik), stafilokokus (S. auerus, S. epidermidis), hemofilus (H. influenza, H. parainfluenza) dan golongan enterobakteria (E. coli, spesies klabsiela, spesies enterobakteria, sitobakteria, proteus) serta pnemukokus. Organisme anaerob juga menunjukkan perannya dalam kejadian infeksi manusia dan yang kerap menjadi penyebab abses otak adalah spesies bakteroides, streptokokus anaerobik, fusobakteria, veillomella, eikenella, propionibakter, klostridia dan spesies aktinomises (Satyanegara, 2010).Abses otak pada umumnya terjadi akibat masuknya organisme ke dalam susunan saraf pusat akibat trauma kepala, prosedur operasi atau melalui proses penyebaran langsung atau metastasis dari fokus-fokus infeksi (Satyanegara, 2010).

Keluhan utama berupa sakit kepala disertai penurunan kesadaran dan gangguan tingkah laku. Sering didapat deficit neurologic berupa parese nervus abdusens dan hemiparese. Funduskopi sering menunjukan edema papil (ahjoepramono, 2008).a. Stadium absesBritt dan Enzmann mengidentifikasi empat stadium proses patologi abses otak, yaitu:1) Stadium serebritis dini (1-3 hari)

2) Stadium serebritis lanjut (4-9 hari)

3) Stadium formasi kapsul dini (10-13 hari)

4) Stadium formasi kapsul lanjut (>14 hari)

b. Penanganan absesPenanganan terhadap abses otak pada prinsipnya:1) hampir semua menyetujui akan pentingnya tindakan operasi

2) pemberian antibiotik di sini selalu dibutuhkan

3) dengan tindakan terapi konservatif saja pemulihan total dapat dimungkinkan tercapai (Satyanegara, 2010).Tindakan terapi nonoperatif terutama ditujukan pada kelompok pasien abses otak yang belum menunjukkan tanda-tanda tekanan intrakranial yang meninggi. Terapi antibiotik awal diseleksi secara empirik sebelum ada hasil informasi pemeriksaan biakan dan resistensi. Biasanya diberikan kombinasi antibiotika yang terdiri dari golongan Penisilin/Ampisilin, Kloramfenikol, dan Metronidazole. Indikasi terapi antibiotika: pasien yang mempunyai risiko operasi tinggi, abses yang kecil (diamter 10 minggu) Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis sarafGejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 17 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit (Sidharta, 2008).Penatalaksanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata.Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama (Harrison, 2000).a. MedikamentosaDalam penatalaksanaan Bells palsy, kortikosteroid sangat bermanfaat dalam mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir diberikan untuk menghambat replikasi DNA virus (Sidharta, 2008).Cara pemberian kortikosteroid ini berbeda pada masing-masing studi. Prednison pada dewasa dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan menjadi 40 mg/hari selama 5 hari berikutnya. Menurut Engstrom dkk15 Prednison dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan 10 mg/hari dalam 5 hari berikutnya (total pemberian prednison 10 hari) (Sidharta, 2008).Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari selama 10 hari atau Valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya diduga virus herpes zoster, maka dosis Acyclovir di naikan menjadi 800 mg 5 kali sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari.11 Kombinasi penggunaan kortikosteroid dan Antiviral oral memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih baik bila terapi diberikan dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-obatan ini secara oral atau intravena (Sidharta, 2008).b. Fisioterapi

Disamping terapi obat-obatan, pada kasus Bells palsy juga dilakukan Perawatan mata dan fisioterapi. Perawatan mata tujuannya adalah untuk mencegahterjadinya kekeringan pada kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan kacamata bila keluar rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka dibutuhkan penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial tarsorrhaphy.2 Pada pasien ini, tidak diberikan perawatan mata karena mata kanan pasien masih dapat tertutup sempurna walaupun dengan usaha maksimal dan setelah 3 hari pemberian terapi produksi air mata pasien sudah kembali normal, yang dibuktikan dengan tes Schirmer telah sama antara mata kiri dan mata kanan (Harrison, 2000).

Fisioterapi dapat dilakukan pada stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid.Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.Caranya yaitu dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60 cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi aktif dari otot dan 2 kali dalam seminggu sampai tercapainya penyembuhan yang komplit.Disamping itu juga dapat dilakukan massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari atau dengan faradisasi (Harrison, 2000).c. Pembedahan

Terapi pembedahan pada kasus Bells palsy masih kontroversi. Terapi dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menun jukan penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid (Harrison, 2000).Prognosis Bells palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan derajat kelumpuhan. kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik dibanding orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bells palsy dengan House-Brackmann kurang dari Derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang permanen (Harrison, 2000).Rekurensi pada kasus Bells palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-anak.Terdapat 6% kasus Bells palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau aktifnya virus yang indolen di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang sama dengan sisi yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus Herpes Simpleks. Rekurensi meningkat pada pasien dengan riwayat Bells palsy dalam keluarga. Umumnya rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit (Harrison, 2000).2. Trigeminal Neuralgia ( NT )Saraf trigeminal mensuplai sensasi ke kulit wajah dan separuh anterior kepala. Bagian motorisnya menginervasi otot masseter dan mastikatorius pterigoideus (Sidharta, 2008).Gangguan yang paling langsung pada fungsi saraf trigeminalis adalah tic douloureux, suatu keadaan yang ditandai oleh nyeri paroksimal yang sangat hebat pada bibir, gusi, pipi, atau dagu, dan sangat jarang, dalam penyebaran divisi optalmika pada saraf kelima (Sidharta, 2008).Gangguan ini terjadi hampir seluruhnya pada usia pertengahan atau orang tua. Nyeri jarang berlangsung lebih dari beberapa detik atau satu-dua menit, tetapi begitu hebatnya sehingga pasien mengerinyit, sehingga timbul istilah tic. Paroksimal terjadi berulang-ulang, pada siang maupun malam hari, selama beberapa minggu pada sewaktu periode waktu (Sidharta, 2008).Gambaran khas lain adalah dimulainya nyeri oleh rangsangan pada area tertentu pada wajah, bibir atau ludah (zona pencetus) atau dengan gerakan pada bagian-bagian ini. Hilangnya sensoris tidak dapat terlihat (Sidharta, 2008).Berbagai keadaan patologis menunjukkan penyebab yang mungkin pada kelainan ini. Pada kebanyakan pasien yang dioperasi untuk NT ditemukan adanya kompresi atas nerve root entry zone saraf kelima pada batang otak oleh pembuluh darah (45-95% pasien). Hal ini meningkat sesuai usia karena sekunder terhadap elongasi arteria karena penuaan dan arteriosklerosis dan mungkin sebagai penyebab pada kebanyakan pasien.Penyebab lain yang mungkin, termasuk cedera perifer saraf kelima (misal karena tindakan dental) atau sklerosis multipel, dan beberapa tanpa patologi yang jelas (Sidharta, 2008).Prevalensi penyakit ini diperkirakan sekitar 107.5 pada pria dan 200.2 pada wanita per satu juta populasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah dibandingkan dengan sisi kiri (rasio 3:2), dan merupakan penyakit pada kelompok usia dewasa (dekade enam sampai tujuh). Hanya 10 % kasus yang terjadi sebelum usia empat puluh tahun.Sumber lain menyebutkan, penyakit ini lebih umum dijumpai pada mereka yang berusia di atas 50 tahun, meskipun terdapat pula penderita berusia muda dan anak-anak (Sidharta, 2008).

Terapi awal tic douloureux adalah farmakologik. Karbamazepin adalah obat terpilih dan efektif pada awalnya pada 75 persen pasien. Karbamazepin harus dimulai secara bertahap, 100 mg pada saat makan, sebagai dosis tunggal, dan ditingkatkan 200 mg empat kali sehari. Dosis yang lebih besar dari 1200 mg per hari terbukti tidak memberikan keuntungan tambahan. Sayangnya, tidak semua pasien dapat mentoleransi obat dalam dosis yang dibutuhkan untuk menghilangkan nyeri, yang dalam kasus tersebut dapat digantikan dengan fenitoin 300 sampai 400 mg/hari (Harrison, 2000).Jika terapi dengan obat gagal, harus ditawarkan terapi bedah. Prosedur yang paling banyak dipakai adalah rhizotomi retrogasseri perkutaneus yang dicapai dengan lesi radiofrekuensi. Injeksi gliserol dalam lekuk Meckel adalah metode yang disukai oleh beberapa ahli bedah. Pengurangan nyeri bisa didapatkan dari tiap-tiap prosedur ini pada lebih dari 95 persen pasien. Nyeri berulang dalam 7 samapai 31 persen pasien. Komplikasi dan morbiditas jarang ditemukan bila ditangani oleh ahli yang berpengalaman. Prosedur ini menimbulkan mati rasa sebagian pada wajah dan membawa risiko denervasi kornea dengan keratitis sekunder jika digunakan untuk kasus neuralgia trigeminalis divisi pertama yang jarang (Harrison, 2000).Terapi ketiga, dekompresi mikrovaskuler, membutuhkan kraniektomi suboksipital, prosedur mayor yang membutuhkan perawatan di rumah sakit selama beberapa hari. Prosedur ini mempunyai angka efektivitas sebesar 80 persen, tetapi nyeri mungkin berulang, dan pada sejumlah kecil kasus, mungkin ada kerusakan saraf kedelapan atau ketujuh. Komplikasi yang jarang tetapi paling menimbulkan masalah dari semua terapi bedah adalah timbulnya anestesia dolorosa atau hipersensitivitas denervasi. Anti depresan trisiklik atau fenotiazin biasanya diberikan dengan hasil hanya separuh yang sukses dalam mengurangi rasa tidak nyaman tersebut (Harrison, 2000).BAB III

PENUTUPA. Kesimpulan

Keadaan darurat adalah situasi yang menimbulkan risiko segera untuk kesehatan , kehidupan , properti atau lingkungan . Sebagian besar keadaan darurat memerlukan intervensi mendesak untuk mencegah memburuknya situasi, meskipun dalam beberapa situasi, mitigasi mungkin tidak dapat dilakukan dan lembaga mungkin hanya dapat menawarkan perawatan paliatif untuk akibatnya.

Sementara beberapa keadaan darurat adalah bukti diri (seperti bencana alam yang mengancam kehidupan banyak), insiden yang lebih kecil memerlukan opini subjektif dari seorang pengamat (atau pihak yang terkena dampak) untuk memutuskan apakah memenuhi persyaratan sebagai keadaan darurat.

Salah satu bentuk kegawatdaruratan medis adalah kegawatdaruratan neurologis (neurologic emergencies). Menurut Carroll LS dan Lorenzo N (2007) ada jenis yang termasuk kegawatdaruratan neurologis, yaitu: 1. Kecelakaan serebrovaskuler (cerebrovascular accident), yang berupa: stroke dan TIA (Transient Ischemic Attacks) 2. Serangan/bangkitan kejang (seizures), yang berupa: epilepsi dan status epileptikus.3. Infeksi system saraf pusat

4. Kelainan neuromuscular

5. Kelainan saraf kranial

B. SaranKasus-kasus kegawatdaruratan neurologi dapat menimbulkan kematian segera atau pun kecacatan yang menetap. Oleh karena itu penanganan yang cepat dan tepat dapat menunjukan prognosis yang lebih baik.Daftar Pustaka

Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi kedelapan. EMS, Jakarta.Isselbacher, Braunwold, Wilson, Martin, Fauci, and Kasper. 2000. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi 13 volume 5. EGC, Jakarta.Mardjono, M and Shidarta, P. 2008. Neurologi Dasar Klinik. Dian Rakyat, Jakarta.Satyanegara, 2010. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Dian Rakyat. JakartaWahjoepramono, EJ. 2006. Kegawatdaruratan Saraf Dan Bedah Saraf. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Lippo Karawaci, Tangerang.

Wilson Lorraine M, Price A Sylvia, 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi VI volume 2. EGC, Jakarta. EMBED CorelDRAW.Graphic.13

Midazolam 0,2 mg/kg load; infusion rate, 0,05-2,0 mg . kg-1 . h-1

Propofol 3-5 mg/kg load; infusion rate, 1-15 mg . kg-1 . h-1

ED/lCU

ED/lCU

ED/hospital

prehospital

60-90 min

20-60 min

10-20 min

0-10 min

Pentobarbital 5-15 mg/kg load; infusion rate, 0,5-10,0 mg . kg-1 . h-1

Or

Thiopental 75-125 mg load; infusion rate, 1-5 mg . kg-1 . h-1

Treatment of RSE in ICU

Phenobarbital 30 mg/kg: initial dose, 20 mg/kg load, followed by additional 10 mg/kg

Phenytoin or fosphenytoin 30 mg/kg: initial dose, 20 mg/kg load, followed by additional 10 mg/kg

Complete or initiate Lorazepam 0,1 mg/kg, or Diazepam 0,15 mg/kg

Lorazepam 2-4 mg, or Diazepam 2-10 mg

Treatment of SE

_1399398449.unknown