BAB III Repaired)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

skripsi, makalah, naskah, artikel, proposal, proposal skripsi, abaz, abaz zahrotien, abazzahra, NU, Nahdlatul Ulama, PBNU, Dokumen, sejarah, jawa, islam, indonesia, islam indonesia, pmii, ipnu, ansor, fatayat

Citation preview

BAB III KONSTRUKSI SOSIO ANTROPOLOGIS ISLAM INDONESIA

Sejarah Sosial Manusia Indonesia Mempelajari sejarah, agaknya menjadi persoalan yang cukup banyak mendapatkan rintangan, bukan karena faktor keilmiahan atau ketidakilmiahan, melainkan lebih pada menepatkan perkiraan pada kejadian yang telah lewat melalui peninggalan-peninggalan arkeologis dengan berbagai spekulasi teori (speculative theory) yang berdasarkan pada perkiraan. Dampak yang kemudian timbul adalah, karena di dunia ini tidak hanya satu orang saja yang concern membahas histografi, tentunya ada banyak pula pendapat spekulatif yang dimunculkan, ada kalanya pendapat spekulatif antara satu ilmuwan dengan ilmuwan yang lain sama dan sealur, namun tidak sedikit pula yang berbenturan, dan sah-sah saja ketika salah seorang ilmuwan menganggap teori mereka yang paling benar atas teori yang lainnya. Taruhlah misalnya, ketika ditemukan fosil Pithecantropus Erectus di Sangiran, Eugene Debois mengatakan bahwa Pithecantropus Erectus adalah manusia tertua yang muncul di Indonesia. Eugene Debois mengatakan demikian dengan perkiraan bentuk fosil, letak di lapisan tanah, perkiraan umur, sampai perbandingan volume otak yang konon lebih kecil ukurannya dengan manusia zaman sekarang dan Homo Sapiens, Megantropus Palaeo Javanicus dan manusia purba sejenisnya yang pernah hidup di zaman prasejarah. Atau paling mudahnya, apakah untuk mengukur angka tahun masuknya Imigran besar-besaran gelombang pertama dari Provinsi Yunan, China Selatan pada Era 5.000 tahun sebelum masehi tepat perhitungannya atau hanya berdasarkan pada perkiraan semata. Ini mungkin, oleh beberapa sejarawan, akan dianggap datar dan pemahaman yang dangkal sekali,

tapi nanti kita buktikan bahwa ini merupakan sisi yang paling menarik dari mempelajari sejarah. Mungkin agak mudah untuk kemudian melacaknya

menggunakan dalil analitik ilmiah dan rasional (dalam artian umum) untuk membahas persoalan sejarah yang baru kemarin sore. Masingmasing pendapat akan diperkuat dengan saksi dan bukti yang kuat atas teorinya itu. Dimana kemungkinan terjadi perselisihan teori akan dapat diminimalisir. Namun itu juga akan menjadi perdebatan sengit apabila masing-masing saksi yang diajukan memiliki pendapat yang berbeda atas motif tindakan sejarah yang dilakukan, atau penafsiran terhadap bukti sejarah, baik dokumentasi sejarah ataupun arkeologisnya, berbeda pada point tertentu yang menyebabkan mis tafsir. Kemudian, kalau kemudian sejarah ini dipelintir untuk kepentingan seseorang, suatu pihak, suatu golongan dan atau sejenisnya, maka yang kemudian terjadi adalah perdebatan sejarah pula. Ambillah contoh sederhana, misalnya kita menganalisis sejarah baru kemarin sore menggunakan model verstehende (meminjam metode pengumpulan data ala Max Weber), yakni metode mengumpulkan data dengan melihat motif subjektif atas tindakan sosial oleh pelaku tindak sosial tersebut. Artinya, misalnya terjadi tindak konfrontatif antara satu pihak dengan pihak lain tentunya juga akan mengalami perbenturan teori konflik umum yang dimunculkan karena masing-masing pihak yang terkait dengan laku sosial tersebut mengklaim kebenaran atas teori yang diusungnya tersebut, dan karena metode ini berlandaskan atas unsur subjektifitas pelaku tindak sosial tersebut, maka tentunya tidak akan ada titik temu, dan yang terjadi lagi-lagi kontroversi sejarah. Contoh misal, konfrontasi sejarah antara Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie dengan Prabowo soal tragedi 1998 yang didalamnya juga membawa nama-nama seperti Wiranto, Soeharto dan pejabat tinggi setingkatnya yang terkait dengan tragedi tersebut

beberapa waktu yang lalu. Konflik sejarah ini jelas melahirkan suasana keilmuan sejarah yang tidak sehat, tidak ada garis besar yang dapat dijadikan patokan sejarah karena masing-masing versi akan mengunggulkan versi teorinya dan menganggap teori lain yang muncul sebagai counter part atas versinya dinyatakan salah dan tidak berdasarkan pada fakta sosial yang terjadi. Namun, itu justru yang membuat sejarah menarik untuk dibahas, dimana dengan sejarah tersebut (maksudnya konfrontasi sejarah) justru akan semakin mencerdaskan masyarakat melalui konflik. Masyarakat dicerdaskan dengan konflik. Seperti tokoh dan guru bangsa Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) yang menurut beberapa penuturan dari aktivis muda hari ini dianggap tokoh yang paling aktif mencerdaskan masyarakat dengan konflik. Yang selalu mengambil jalan lain dari pemahaman universal, dan justru dengan itu, menurut pendapat tersebut, masyarakat akan lebih dicerdaskan dengan pembacaan atas realitas sosial yang kritis. Ada dua prakondisi (kondisi objektif) menurut Dr. I Gde Widja1 dalam mempelajari sejarah, dua prakondisi ini memberikan warna tersendiri dalam mempelajari sejarah. Pertama, perlu adanya upaya terus menerus untuk meluruskan sejarah yang sekarang cenderung banyak terjadi pemitosan sejarah. Kedua, karena tiap generasi memiliki tantangan yang berbeda serta kondisi yang berbeda pula, maka diperlukan, bagi generasi baru (dalam mempelajari sejarah) dialog yang intensif dengan generasi lama. Kemudian, mengutip apa yang dikatakan oleh Soekarno, Jangan sekali-sekali melupakan sejarah2. Ini mengandung artian yang dalam dalam pemahaman orang-orang tertentu, bahwa itu tidak1 I Gde Widja, Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah, Laperda Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002 hal. 10-11 2 Wijanarka, Soekarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya, Ombak, Jogjakarta, 2006, hal. 11

hanya dimaknai datar saja melainkan ada sesuatu yang ingin disampaikan Soekarno, yakni pemahan atas perputaran arus konflik sosial. Bukan berarti dengan jangan melupakan sejarah, Bung Karno ingin terus dikenang sebagai Panglima Besar, presiden pertama RI, Proklamator dan sederet jabatan dan gelar lain yang diperolehnya melainkan, Menggunakan pemahaman kaum evolusionisme vulgar (materialisme mekanis, dalam pendapat Mao Tse Tung) bahwa konflik sosial yang telah terjadi akan terus terjadi pada masa-masa selanjutnya, dengan perputaran konflik tertentu, bahwa kejadian yang telah terjadi pada masa lampau akan terjadi lagi pada masa yang akan datang, perbedaan yang terjadi tersebut hanya pada kuantitas dan kualitas konflik saja, namun tidak merubah esensi konflik secara garis besarnya. Pada titik pemahaman inilah, bahwa sejarah akan terus berputar, apabila telah mengalami tingkatan konflik dengan jenis konflik tertentu, maka akan berputar lagi pada konflik pertama yang telah terjadi sebelumnya, perbedaan hanya pada tingkatan kuantitas dan kualitas konfliknya saja. Misal saja, pada zaman pra sejarah telah terjadi peperangan untuk merebut kekuasaan, maka hari inipun terus terjadi hal yang sama, perbedaan hanya pada kualitas dan kuantitas perebutan kekuasaan itu. Kalau pada zaman dahulu orang berperang adu fisik untuk mendapatkan kekuasaan atas orang lain atau publik. Maka hari ini peperangan kekuasaan tersebut diekspresikan dalam bentuk pertarungan antar partai atau golongan untuk mendapatkan kekuasaan publik dan individu. Demikan halnya terjadi pada konflik dasar sosial yang lainnya yang terus berputar seiring dengan perputaran peradaban dan tata sosial di tengah-tengah masyarakat kita hari ini. Kembali pada persoalan ilmu sejarah dan hal lain yang terkait dengan itu, bahwa apabila seseorang melakukan suatu tindakan, maka

hal yang akan terjadi adalah intended qonsequences, yakni dampak yang ditimbulkan atas perilaku tindak sosial. Atau secara sederhananya adalah konsekuensi dari apa yang dilakukan, tujuan atau misi yang hendak didapatkan dari perencanaan dan tindakan dari laku yang diperbuat. Selanjutnya, intended qonsequences lebih menuju pada hal positif yang dituju (tujuan pokok yang hendak didapatkan) dan atau sebaliknya, kegagalan yang akhirnya mendapatkan hawa konflik sosial yang baru. Maksudnya bahwa intended consequences adalah dapat berupa tujuan dari misi laku yang diperbuat atau justru dampak negatif dari tindakan tersebut sebagai ekspresi kegagalan atau ketidaksempurnaan dari tindak laku yang diperbuat tersebut. Disinilah yang akan menciptakan sejarah, intended

consequences baik positif atau negatif akan mengarahkan pelakunya menjadi tokoh sejarah yang akan membuat sejarah baru dalam dinamika sosial. Ada kalanya itu akan menjadi bagian terpenting sejarah yang dicatat dalam sejarah nasional sebagai tindakan yang menyangkut kepentingan publik secara luas, namun adakalanya juga hal tersebut justru hanya menjadi pelengkap atau bahkan sama sekali tidak berpengaruh luas kepada publik secara keseluruhan hanya karena hal tersebut tidak terlalu berpengaruh dalam ranah publik secara luas. Artinya, semua itu tergantung dari besar kecilnya intended consequences terhadap kepentingan publik secara luas, kalu besar berarti akan menjadi sejarah besar, namun apabila kecil maka akan menjadi sejarah yang dikonsumsi oleh pelaku perbuatan tersebut. Lalu kemudian, kita juga harus membaca pada sisi lain tentang proses terbentuknya konflik sosial yang mampu menyeret masyarakat secara keseluruhan terhadap konflik tersebut, yakni membaca pada sisi analitis atas motif subjektif yang mendasari seseorang atau beberapa orang terjun dalam konflik sebagai pelaku utama (verstehende), atau dapat pula keharusan membaca

kecenderungan secara umum terhadap tindak pelaku tersebut dalam dataran objektifitas dan keumuman yang khas (generalisir/universalisasi konflik). Apa sebenarnya yang menjadi dasar seseorang, pada ranah subjektif, atas tindakannya dalam melakukan laku sosio individual dan apa pula pandangan publik secara umum dalam memberi respon atas laku sosial ini. Sebelum sampai pada titik lain, juga akan lebih bijak ketika kita kemudian harus membaca dulu pada lingkup unintended consequences, yakni munculnya atau terjadinya akibat tak diperhitungkan dari tindakan yang dilakukan terhadap suatu susunan kehidupan, baik tindakan-tindakan itu direncanakan sesuai planning ataupun justru tanpa perencanaan sama sekali. Sebagai contoh sederhana dari munculnya unintended consequences adalah terjadinya apa yang kita sebut sebagai Tragedi Mei 1998. Dengan perencanaan matang untuk menggulingkan penguasa otoriter Orde Baru, yang memang menjadi tujuan bersama element gerakan mahasiswa, gerakan ormas sampai gerakan yang melembaga non formal. Namun, unintended consequences akan menggambarkan sisi lain dalam analisis subjektif dalam menganalisis sesuatu. Misalnya, salah satu element gerakan mahasiswa di Jogjakarta yang banyak memberi kontribusi pemikiran yang memang matang pada medio mei 1998, ditengah gempar-gemparnya isu menggulingkan presiden Soeharto, aktivis tersebut banyak kemudian yang menelorkan teori-teori dan kajiankajian baru soal demokrasi, people power, kekuasaan rakyat, pemerintahan pro poor, anti kekerasan dan diskirminasi etnis. Sederhananya, dari sampel tersebut, intended consequences dari tragedi Mei 1998 adalah turunnya Soeharto dan tumbangnya rezim Orde Baru, sedangkan unintended consequences yang ditimbulkan adalah, bergemanya wacana pembebasan, demokrasi dan berdirinya elemet atau organisasi massa yang bergerak di bidang pemberdayaan

masyarakat, pembebasan sosial, dan organisasi-organisasi pergerakan lainnya yang senada dengan itu. Pentingnya pembahasan mengenai unintended consequences lebih pada karena unintended consequences akan memberikan dampak yang mendalam terhadap alur sejarah yang sedang berjalan. Memberikan kontribusi terhadap perjalanan sejarah, karena unintende consequences adalah juga merupakan proses sejarah dari konsekuensi logis terjadinya point sejarah. Selanjutnya, dalam subbab ini, penulis hendak merangkum perjalanan sejarah nusantara secara kronologis sebagai pijakan dasar untuk mengetahui secara genealogis dan antropologis perjalanan nusantara, baik dalam wilayah intended consequences ataupun unintended consequences. Catatan sejarah banyak mengungkapkan mengenai teori sejarah yang banyak bergulir dan malang melintang sebagai pisau analisis untuk menggambarkan, mendeskripsikan, menemukan kepastian dan menentukan unintended consequence dari perjalanan sejarah sendiri. Pada awal abad 20an misalnya, catatan-catatan Georges Dumezil, Claude Levi Strauss dan Jacques Lacan adalah buku-buku yang dijadikan sandaran teori di eranya. Tidak heran kalau banyak para pengkaji yang menempatkan nama-nama diatas sebagai tokoh penting melalui karya intelektualnya. Tak heran pula, berbicara mengenai sejarah, institusi semacam Cambridges Schools dan Soviets School juga memiliki peran aktif dalam tiap riset sejarahnya. Didukung pula tokoh ilmuwan lain seperti Fernand Braudel, Francois Furet, Denis Richet dan Immanuel Le Roy Ladurie. Membaca fenomena diatas, untuk menemukan pisau analisis yang tepat dalam analisis sejarah, terlepas dari metodologi yang dimunculkan sebagai akibat dari keberadaan teori sejarah, perlu

menentukan dengan tepat. Banyaknya teori yang ada membuat public sering mengalami kebingunan, terutama dalam keputusannya dalam menentukan teori sejarah yang digunakan. Dalam hal ini, sebagai pisau analisis dasar dalam menentukan teori sejarah dan tepatnya sebagai pisau analisis. Penulis menggunakan teori sejarah yang digulirkan oleh Michel Foucault dalam bukunya tentang arkeologi dan genealogi, yang berjudul Les Motss et les choses (The Order of Things). Berikut penulis cantumkan pernyataan dari Michel Foucault yang kemudian menjadi salah satu alasan penulis untuk menjadikan teori sejarahnya Michel Foucault sebagai pisau analisis sekaligus gerak alur sejarah. Saya kira sejarah sudah menjadi objek sakralisasi yang aneh bagi banyak intelektual. Jarak, keterbukaan dan penghargaan konservatifnya, bagi sejarah merupakn jalan yang paling sederhana untuk menggabungkan kesadaran politik dengan riset atau aktivitas menulis mereka. Dibawah tanda pertentangan sejarah, semua wacana berubah menjadi doa terhadap tuhan, penyebab segala sesuatu. Muncul juga alasan yang lebih teknis. Seseorang harus mengakui bahwa dalam bidang seperti lingistik, etnologi, sejarah, agama dan sosiologi, konsep-konsep yang disusun abad 19 dan masuk dalam kategori dialektika, sesungguhnya banyak yang sudah tidak digunakan. Sekarang dalam pandangan beberapa orang, sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu membentuk satu perlindungan terakhir dari pola dialektika. Dimana melalui sejarah orang bisa menyelamatkan berkuasanya kotradiksi rasional. Lebih lanjut dia berkata, Banyak intelektual yang mampu mempertahankan dengan sungguh-sungguh, untuk dua alasan tersebut diatas, dan melawan segala kemungkinan yang mungkin muncul, suatu konsepsi sejarah yang diatur diatas model naratif sebagai bagian peristiwa besar yang turut serta dalam hierarki ketentuan (determinasi). Individu-individu terjebak dalam totalitas yang

melampaui dan meremehkan meraka, tetapi barangkali pada saat yang bersamaan, mereka menjadi pengarang dadakan. Jadi, bagai beberapa orang, sejrah, baik sebagai proyek individu maupun sebgai satu totalitas, menjadi sesuatu yang tak terjangkau. Mereka menolak pernyataan bahwa bentuk sejarah asertif aka nada untuk menyerang penyebab terbesar revolusi3 penghuni asli kepuluan nusantara adalah berasal dari suku Negrito dan Weda. Kedua suku besar ini mendiami nusantara dari ujung barat Sumatera hingga ujung timur papua. Ciri fisik dari ras sub-negroid ini adalah bertubuh pendek, berambut kriting, kulit hitam dengan badan kekar, hampir sama dengan ras negroid hanya saja suku negrito dan weda bertubuh lebih pendek. Tentang asal darimana sebenarnya Kedatangan suku Weda dan Negrito berasal, sampai hari ini masih menjadi perdebatan panjang, pasalnya, apabila melihat dari bukti arkelogis yang ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil dan Sangiran, berupa Pithecantropus Erectus dan Megantropus Palaeo Javanicus, diperkirakan sekitar 500.000 hingga 1 juta tahun yang lalu, sekitar zaman glacial wurm, kepulauan nusantara telah dihuni oleh manusia. Pendapat ada yang mengatakan bahwa kedua suku bangsa ini merupakan suku turunan dari penyebaran ras negroid di seluruh penjuru dunia, seperti suku Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika dan sebagainya, maka dimungkinkan, suku Negrito dan Weda yang ada di nusantara merupakan ras turunan dari mereka yang mengembara mencari penghidupan baru dengan pengembaraannya. Pendapat lain menyebutkan, bahwa ras negroid yang ada telah melakukan perkawinan silang dengan ras mongoloid sehingga bentuk tubuhnya hampir sama besarnya dengan ras mongoloid meskipun kontur fisiknya serupa dengan orang-orang negroid. Tepatnya, ras3 Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode, Karya-karya Penting Foucault, Jalasutra, Bandung, 2009, hal. 76

mongoloid yang dimaksud disini adalah suku Qunlun, pecahan ras Mongoloid yang mengembara dan bertemu dengan ras Negroid, dari suku Polinesia4. Sebelum sampai jauh, agar pembahasannya dapat mengalir dan meruntut, ada baiknya apabila pembahasannya dimulai dari perkembangan zaman yang pernah ada. Secara umum, para scientist memberikan pembagian babakan sejarah dengan tiga periode besar, yakni Zaman Prasejarah, Zaman Proto Sejarah dan Zaman Sejarah. Masing-masing pembagian babakan waktu ini ditentukan berdasarkan dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan masing-masing koloni mengembangan koloninya dengan sistem yang baru. Kemampuan pengembangan sosial teknologi masing-masing koloni berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, perbedaan ini disebabkan karena problem internal yang dihadapi dalam suatu koloni terkait dengan kemampuan menangkap respon sosial yang bergejolak ditengah-tengah mereka. Pada zaman pra sejarah, para historian telah memberikan babakan waktu tersendiri berdasarkan, sekali lagi, kemampuan pengembangan pengetahuan dan teknologi suatu koloni, pada zaman pra sejarah, masyarakat sama sekali tidak mengetahui bahasa literer, membuat tulisan ataupun membaca tulisan, yang banyak digunakan mereka untuk komunikasi lebih mengandalkan bahasa audio visual melalui tutur tinular. Zaman pra sejarah ini di kepulauan nusantara telah ditetapkan pembagiannya, yakni mulai masa berburu, masa meramu dan masa perundagian. Selain dengan melihat dari sudut pandang survival collective mereka, juga pembabagan sejarah biasa dilakukan dengan melihat perkembangan teknologi dan pengetahuan mereka, diantara pembagian tersebut adalah dimulai dari zaman batu4 Hasil diskusi dengan Bapak Agus Sunyoto tahun 2008 di Semarang, Jawa Tengah. Referensi yang digunakan oleh beliau adalah tulisan beliau dalam buku Pitutur, namun penulis belum dapat menyajikan referensi tersebut karena beberapa faktor.

tua, zaman batu madya, zaman batu muda (neolithicum), zaman batu besar (megaliticum) dan zaman logam. Perlu dicantumkan juga kiranya mengenai babakan dalam era pra sejarah, karena era pra sejarah merupakan era yang sangat panjang, bahkan usianya melebihi zaman sejarah saat ini. periode Paleosene (70 juta thun sm), Periode Eosene (30 juta tahun sm), Periode Miosene (12 juta tahun sm) dan pleistosene (4 juta tahun sm). Pentingnya ini adalah untuk mengetahuhi rentetan waktu berjalannya proses terbentuknya bumi hingga kapan terjadinya kepulauan di nusantara dan bagaimana prosesnya. Pada pembagian ini, munculnya kepulauan di nusantara diperkirakan pada zaman pleistosene, yakni bersamaan dengan terbentuknya dua benua besar, yakni Asia dan Australia. Pada waktu itu gumpalan es yang berada kutub utara dan kutub selatan mencair. Sehingga dari cairan tersebut menyebar dan menggenangi permukaan daratan. Dari lelehan tersebut dataran yang tinggi, yang tidak tergenang air menjadi deretan pulau-pulau yang di sebut dengan benua Asia dan Benua Australia. Kepulauan Nusantara ini adalah bentukan dari beberapa pegunungan yang agak tinggi. Pada perkiraan babakan sejarah ini, dilihat dari perkiraan yang dilakukan para historian dan arkeolog, Pithecantropus Erectus sebagai manusia di nusantara yang tertua hidup pada kisaran waktu 500.000 hingga 1 juta tahun yang lalu, dengan sistem sosial yang nomaden, mendapatkan kebutuhan makanan dengan berburu, alat yang digunakan terbuat dari batu yang masih kasar, serta kebanyakan hidup berkoloni dengan jumlah yang masih kecil, tempat tinggal mereka di dalam goa-goa dan tempat yang aman lainnya. Dikembalikan pada manusia pertama yang meninggali nusantara, bentuk fisik Pithecantropus Erectus memiliki kesamaan fisik yang cukup menonjol dengan suku Negrito. Diantaranya,

mulutnya moncong kedepan, bentuk tengkorak kepala, tinggi badan dan besarnya tulang. Terlepas dari semua itu, bahwa ada hal menarik yang dilakukan sejak zaman Pitechantrophus Erectus, Megantrophus Palaeo Javanicus, Homo Sapiens hingga manusia Negrito dan Weda pada zaman proto Sejarah, yakni menyangkut aliran kepercayaan yang mereka anut sebagai sandaran spiritual mereka. Mengenai keyakinan ini, riset yang dilakukan oleh Emile Durkheim5 pada suku Aborigin di Australia menghasilkan tesis yang cukup menarik, bahwa ketika zaman permulaan, suku Aborigin menganut aliran kepercayaan dengan menyembah serta menyucikan segala sesuatu yang membuat orang Aborigin ketakutan atau merasa dirinya lebih rendah dibanding sesuatu itu. Misalkan, orang Aborigin takut terhadap harimau, maka harimau itu akan menjadi binatang suci bagi mereka dan mereka melakukan penyembahan terhadap harimau tersebut sebagai bentuk pengabdian spiritual mereka. Sedikit menambahkan bahwa pada zaman glacial wurm (zaman es terakhir) antara kepulauan nusantara dengan Australia serta Asia Timur masih bersambung darat. Barulah pasca mencairnya es di kutub utara dan selatan membuat titik air pantai naik dan memisahkan pulau-pulau yang tadinya bersambung tersebut serta membentuk kepulauan-kepulauan kecil di nusantara. Zaman glacial wurm terjadi sekitar satu juta lima ratus ribu hingga satu juta tahun yang lalu, pada dekade ini, es di kutub utara dan selatan, karena terjadi pemanasan global saat itu mencair. Kejadian pada periode babakan sejarah ini mengatakan bahwa apabila dibandingkan, yang terjadi adalah, pada zaman glacial wurm di nusantara telah dihuni oleh Pithecantropus Erectus dan di Australia nenek Moyang suku Aborigin telah mendiami kepulauan nusantara.5 Emile Durkheim, The Elementary Form of Religion Life, 2002, IRCISoD, Jogjakarta, hal. 253

Di kepulauan nusantara sendiri, penelitian yang dilakukan oleh kebanyakan scientis dan sejarawan, bahwa kepercayaan masyarakat zaman primitif adalah animisme dan dinamisme. Aliran ini adalah aliran kepercayaan asli nusantara dimana nenek moyang bangsa Indonesia sebelumnya melakukan penyembahan terhadap benda-benda tertentu atau penyembahan terhadap arwah nenek moyang mereka. Di zaman berburu, masyarakat Pithecantropus Erectus masih nomaden gaya hidupnya, di saat melakukan perburuan, mereka apabila menjumpai batu besar, pohon tua besar, atau apapun yang dalam anggapan mereka sakral, maka mereka akan memberikan penghormatan dan sembahyang untuk benda-benda tersebut dengan ritus seperti yang biasa mereka lakukan. Dalam anggapan mereka, benda-benda tersebut memiliki kekuatan yang akan melindungi mereka dari marabahaya yang mungkin akan mereka jumpai saat mereka melakukan perburuan di hutan tersebut, sehingga untuk menghindarinya, mereka perlu melakukan ritual khusus kepada sesuatu yang mereka anggap sebagai juru kunci hutan. Dalam koloni Pithecantropus Erectus, kepercayaan

dinamisme menjadi hal yang lumrah terjadi, dan dari kepercayaan ini seringkali mereka memberikan sesajian terhadap apa yang mereka sembah, selain batu dan pohon, koloni Pithecantropus Erectus hingga Megantrophus Palaeo Javanicus dan Homo Sapiens yang mempercayai kepercayaan dinamisme ini, mereka juga melakukan penyembahan terhadap mata air, tempat sakral, goa, laut dan tempat-tempat yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Sesaji yang mereka berikan adalah sebagian dari apa yang mereka dapatkan dari hasil perburuan. Animisme juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kepercayaan manusia purba, mereka menganggap tetua mereka adalah sebagai perwakilan dari para dewa, mereka menganggap tetua mereka sebagai jembatan penghubung antara mereka dengan para dewa yang

memberikan kekuatan dan perlindungan, penghormatan berlebih inilah yang kemudian menjadikan aliran baru dalam sistem kepercayaan mereka. Para tetua yang telah meninggal, mereka menyembahnya sebagai orang suci, mereka meyakini bahwa dengan menyembah terhadap tetua moyang mereka yang telah meninggal, maka arwah para moyang akan memberikan keselamatan terhadap mereka. Pada kasus ini, maka masing-masing koloni akan berbeda siapa tuhan yang mereka sembah karena berbeda pula tetua koloni yang sebelumnya. Tesis yang sebenarnya penulis hendak ajukan dalam penjelasan ringkas ini adalah, bahwa penulis meyakini bahwa agama atau aliran kepercayaan merupakan bagian terpenting dari tingkatan peradaban manusia pada eranya. Untuk menguji tesis ini, penulis memberikan beberapa hipotesis dan data-data serta analisis pendek mengenai kondisi yang terjadi pada zamannya. Pertama bahwa dengan sistem masyarakat purba awal, dimana kehidupannya masih nomaden dan menggantungkan kehidupannya dari hasil perburuan hutan, setelah mereka menemukan tempat dimana mereka akan menggantungkan kebutuhan spiritual mereka (aliran dinamisme) maka mereka akan meninggali atau tepatnya berdomisili di sekitar tempat tersebut dan kemudian kehidupan mereka menetap, tidak lagi nomaden. Kedua, aliran animisme dalam sejarah digambarkan bahwa nenek moyang yang mereka sembah biasanya disimbolkan dengan tanda-tanda, simbol-simbol atau hal lainnya, misalkan dengan mengawetkan jenazah nenek moyang mereka, atau menguburkan di tempat tertentu, maka dalam kepercayaan mereka, mereka tidak akan meninggalkan arwah nenek moyang mereka dengan mereka kemudian menetap di daerah tersebut dari yang sebelumnya masih nomaden. Selanjutnya, pengujian arkeologis, sebagaimana telah sedikit

disebutkan dimuka, ada pembabakan sejarah yang didasarkan pada media fisik perlengkapan yang mereka gunakan, yakni dari zaman batu tua, zaman batu madya, zaman batu muda, zaman batu besar dan zaman logam. Pada zaman batu tua, dimana sebagai alat untuk membantu pekerjaan mereka masih terbuat dari batu yang ada disekitar mereka, biasanya berupa kapak perimbas, tanpa dibentuk ulang, dihaluskan permukaannya atau dibentuk ulang sedemikan rupa sehingga menjadi lebih praktis dan efisien. Seiring dengan kebutuhan ritual mereka, pada zaman batu madya, mereka telah sedikit memberikan rasa seni terhadap alat-alat yang mereka gunakan, yakni dengan menghaluskannya, membuat perabota lain yang diperlukan serta telah menetap kehidupan mereka untuk memberikan penghormatan terhadap arwah nenek moyang atau tempat yang mereka anggap sakral. Setelah itu, pada zaman batu muda, nilai artistik mulai nampak lebih istimewa, alat seperti kapak lonjong merupakan pengembangan terbesar, sumbangan seni yang diberikan kepada alatalat penunjang kehidupan agar lebih maju dalam ritualnya. Pertanda paling jelas ditemukan di zaman batu besar (megaliticum), dengan ditemukannya menhir, dolmen, kubur batu (sarfokagus) dan alat lainnya mereka benar-benar dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang luar biasa, dalam ritual mereka, mereka telah mampu menciptakan meja pemujaan dari batu, kubur besar untuk menguburkan moyang mereka dan atau sanak famili mereka, bangunan sakral dan sebagainya. Dengan diciptakannya tempat khusus ini, dapat dikatakan pasti bahwa agama atau aliran kepercayaan merupakan elan vital dalam pergeseran tata peradaban. Apalagi ketika melihat zaman setelahnya, yakni zaman logam, pada era ini, alat-alat upacara keagamaan telah dipoles sedemikian rupa hingga membentuk alat yang sudah sangat maju di zamannya, alat seperti bejana perunggu, perhiasan upacara dan lainnya semakin meyakinkan bahwa tidak dapat disangkal bahwa agama atau kepercayaan merupakan salah satu faktor

penunjang

terpenting

dalam

mengembangkan

tatanan

sosial

masyarakat purba. Selanjutnya, dalam khazanah kepercayaan dan agama di nusantara, penulis juga akan menambahkan tentang apa yang diyakini sebagai agama oleh masyarakat zaman dahulu, yakni apa yang hari ini dikenal sebagai agama Kapitayan6. Aliran ini menyembah kepada Sang Hyang Taya, yang berarti kosong. Kosong yang dimaksud disini, agama ini menganggap tuhan mereka ada, tetapi tidak berwujud, tidak dapat dilihat. Ada esensinya, tetapi tidak nampak eksistensinya. Sang Hyang Taya ini merupakan refleksi tuhan menurut keyakinan mereka. Kapitayan berasal dari kata dasar Taya yang berarti kosong. Kosong dalam filosofi kapitayan adalah menyembah kepada Sang Hyang Taya yang tidak nampak dalam pandangan mata fisik, namun keberadaan Sang Hyang Taya dapat dirasakan dan dilihat dalam bentuk fisik berupa alam raya. Sang Hyang Taya, dalam pandangan mereka, adalah hal yang transenden, yang memiliki pengaruh besar sebagai pencipta, penjaga sekaligus penghancur alam raya beserta semua kekayaan yang ada didalamnya. Ritus-ritus keagamaan yang dilakukan oleh penganut kapitayan adalah sembahyang (Sembah Sang Hyang) tiga kali dalam sehari, yakni pada saat matahari terbit, matahari diatas kepala dan pada saat matahari terbenam. Sembahyang dilakukan di sebuah bangunan peribadatan dengan bentuk kotak persegi empat dengan satu pintu berbentuk persegi panjang dengan bagian atas setengah lingkaran yang memanjang Kedalam. Tempat ini mereka menamainya dengan6 Mengenai Agama Kapitayan ini, penulis dapatkan data-data dari penulis buku Suluk Abdul Jalil, Bapak Agus Sunyoto, pertama dalam diskusi Pelatihan Kader Lanjut (PKL) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Hotel eL Piramid, Kebumen tanggal 23-27 Desember 2007, pada diskusi selanjutnya dengan beliau penulis sering mengikutinya di Semarang, Solo, Jogjakarta, Solotigo dan berbagai tempat lainnya. Sayangnya, penulis tidak mampu menyajikan referensi, karena menurut Bapak Agus Sunyoto, referensi yang beliau gunakan adalah buku klasik dengan bahasa Jawa Kawi dan Sansekerta, tidak ada penjelasan mengenai identitas buku-buku tersebut.

langgar. Orang yang masuk didalamnya harus dalam keadaan suci dan harus melepas alas kaki yang dikenakannya. Dalam setiap langgar, ada alat utama yang digunakan sebagai media mengumpulkan masyarakat untuk bersembahyang berupa beduk yang terbuat dari kayu berlubang dengan lapisan kulit binatang. Alat ini dibunyikan pada saat menjelang prosesi persembahyangan dimulai. Bentuk langgar yang kotak, dalam keterangan selanjutnya, adalah representasi dari kepercayaan kadhang papat kalimo pancer, yakni secara eksplisit melambangkan empat penjuru mata angin dengan satu titik sentral (yang transenden) mengarah ke bagian atas. Dalam makna implisitnya, kadhang papat kalimo pancer lebih mengarah pada kesetaraan ruang fisik dan ruang bathin serta kaitannya mengenai transendensi hubungan manusia dengan Sang Hyang Taya. Agama kapitayan mengenal istilah to/tu. Setiap kata yang mengandung kata ini adalah -ajaran yang dimiliki oleh kapitayan. Sebagai contoh, ajaran-ajaran kebaikan mereka menyebutnya sebagai tuah, sedangkan ajaran jahat mereka menyebutnya sebagai tulah, representasi kekuatan baik sebagai tuhan, dan pernyataan atas kekuatan jahat disebut hantu. Dalam ritusnya, penggunaan kata to/tu masih terlihat, keberadaan Sang Hyang Taya direpresentasikan dalam bentuk watu, tumbak, tugu, tuk dan lainnya. Sementara itu dalam upacara keagamaan mereka menggunakan sesaji berupa tumpeng dan sesaji yang paling ekstrim berupa tumbal. Sesaji tersebut ditaruh Kedalam tumbu. Sang Hyang Taya dalam kepercayaan mereka adalah Tuhan yang memiliki kekuatan gaib yang mampu menciptakan, merawat dan bahkan menghancurkan alam. Sehingga untuk mencegah penghancuran itu, berbagai ritus keagamaan diadakan. Peletak dasar agama kapitayan, dalam sejarah disebutkan,

bernama Semar (Bodronoyo). Semar selain mengajarkan tentang ritus peribadatan seperti itu, juga mengajarkan tentang puasa, balasan kebaikan berupa surgaloka dan balasan atas tindakan jahat manusia berupa nerakasengkala. Dia juga mengajarkan tentang anjuran berbuat baik terhadap sesama manusia karena pada akhirnya nanti setelah meninggalnya manusia akan ada kehidupan selanjutnya yang merupakan balasan atas kehidupan sekarang di dunia. Bodronoyo, dalam mitologinya merupakan putra dari Sang Hyang Tunggal dari telur yang di hasilkan dengan istrinya. Dimana setelah telur tersebut dilahirkan, karena Sang Hyang Tunggal merasa risih apabila dia mempunyai putra akhirnya telur tersebut dilemparkan ke Arcapada (bumi), namun ditengah jalan, tepatnya di Kahyangan, telur tersebut ditangkap oleh Sang Hyang Wenang, dan kemudian diteruskan kembali untuk dilempar ke Arcapada. Dari telur tersebut, lahirlah tiga orang, dari kuningnya lahir Sang Hyang Guru (Bethara Guru) yang kemudian tinggal di Kahyangan, dari putihnya lahir Semar Bodronoyo (Bethara Narada) dan dari cangkanya lahirlah Togog. Dua nama terakhir tinggal di Arcapada dan menjadi Sang Pamomong (Punakawan) para ksatria di Arcapada. Kembali pada masalah utama tentang penduduk kepulauan Nusantara, sebagai suku bangsa asli nusantara, Weda dan Negrito merupakan suku yang cukup mampu melakukan adaptasi yang paling sempurna terhadap keseimbangan ekosistem nusantara, dari iklim hingga kekayaan alamnya, sehingga dengan pola hidup yang nomaden sekalipun, mereka tetap tidak mengalami halangan yang berarti untuk terus mempertahankan ras mereka. Barulah sekitar 6.000-5.000 tahun sebelum masehi, terjadi imigrasi besar-besaran dari Provinsi Yunan, Tiongkok Selatan karena di daerah asalnya terjadi peperangan, perampokan, pembunuhan,

penganiayaan dan kejahatan lain yang membuat penduduk Provinsi Yunaan tersebut tidak nyaman. Imigrasi yang terjadi secara besarbesaran inilah yang kemudian membuat nusantara mengalami pembaharuan ras dan perubahan komposisi penduduk, yang sebelumnya hanya ada dua suku bangsa besar yang mendiami nusantara, kini bertambah satu lagi, yakni imigran tersebut. Rombongan besar imigran, yang sekarang oleh para pakar sejarah disebut sebagai Proto Melayu (Melayu Tua) datang ke nusantara mendiami dua wilayah secara garis besarnya, yakni di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan, mereka kemudian mendirikan klan baru yang akhirnya menjadi suku bangsa terbesar di Kalimantan, suku Dayak. Sementara yang ada di Sumatera, mereka mendiami sebagian wilayah Sumatera bagian tengah dan utara dan menjadi suku Batak. Sementara itu, yang terjadi pada penduduk asli nusantara, yakni suku Weda dan Negrito dengan Kedatangan para imigran tersebut, sebagian besar menyingkir dan membuka lahan kehidupan baru di wilayah timur nusantara. Kalau suku Negrito lebih ketimur dalam pengembaraan pencarian hunian selanjutnya (Papua dan Maluku) maka suku Weda memilih dalam menentukan tempat tinggalnya di daerah Sulawesi dan beberapa kepulauan di Maluku. Meskipun sebagian kecil diantara penduduk Negrito dan Weda yang tetap tinggal di daerah asalnya, hidup berdampingan dengan para imigran, dan tak jarang terjadi perkawinan silang antara dua ras ini. Kedatangan suku imigran dari Tiongkok ini, membawa alur baru dalam tatanan sosial di nusantara. Selain memperkenalkan peradaban dan tradisi yang baru di nusantara, mereka juga menanamkan pola kehidupan yang sebelumnya telah mereka kenal di Tiongkok. Namun, dengan demikian bukan berarti mereka menutup

diri dari khazanah kearifan lokal yang ada, mereka tetap menggunakan tradisi yang ada untuk kemudian mereka menyilangkannya dengan tradisi yang mereka bawa dari daerah asal mereka. Yang menarik adalah, bahwa para penduduk asli nusantara, justru mereka yang melakukan migrasi ke wilayah timur nusantara, tidak kemudian mempertahankan tanah yang mereka miliki untuk menjadi tempat tinggal mereka. Justru dengan kehadiran para imigran, seharusnya mereka berani bangkit untuk memilih imigran yang menempati wilayah timur nusantara. Pertimbangannya adalah, bahwa di wilayah timur nusantara, saat itu merupakan daerah yang paling potensial untuk mempertahankan kehidupan apabila masih menggunakan sistem kehidupan yang berburu (food gathering). Dengan kemudahan akes konsumsi semacam inilah maka para penduduk asli yang berpindah tempat. Putaran waktu terus membuat para imigran ini merasa bahwa nusatara adalah merupakan tanah air mereka, jiwa-jiwa nasionalisme mereka mulai muncul. Mereka merasakan betul bahwa tanah air nusantara adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka, bahkan beberapa garis keturunan kebawah yang telah mereka dapatkan di daerah tersebut menjadikan rasa nasionalisme mereka semakin terpupuk subur. 200 tahun sebelum masehi, setelah lebih dari 5.000 tahun tidak pernah terjadi migrasi besar-besaran dari China, maka di dekade abad ini, para imigran dari Tiongkok datang kembali ke nusantara untuk sekedar berupaya menjadi warga nusantara. Menjadi bagian yang penting dalam kesetaraan berbangsa di nusantara. Para imigran gelombang kedua ini semakin lama semakin banyak. Mereka mencari tempat baru untuk dapat melangsungkan kehidupan mereka selanjutnya, dan keturunan mereka pada periode

kedepannya. Rombongan yang bernama Deutro Melayu (Melayu Muda) ini kemudian memilih Jawa, sebagian Sumatera, Bali, Nusa Tenggara dan beberapa wilayah lain yang dianggap mampu untuk tujuan dasar mereka melakukan migrasi. Deutro Melayu sebagai imigrasi terbesar pada eranya dan era sebelumya itu yang kemudian memaksakan diri menjadi penduduk asli nusantara, dengan berbagai upaya mereka kemudian berusaha untuk menjadi nomor pertama dalam kuantitas jumlah penduduk di kepuluan nusantara agar di kepulauan nusantara memiliki ke khas-an seperti mereka. Hari inipun terbukti, bahwa kekuatan deutro Melayu justru berjumlah hampir tujuh puluh persen dari jumlah penduduk ras lainnya di kepulauan nusantara. Kelompok Deutro Melayu masuk ke kepulauan nusantara dalam beberapa periode dan masing-masing periode imigrasi itu membawa jumlah manusia yang berbeda-beda jumlahnya. Kadang banyak, tak jarang pula datang hanya kisaran ratusan orang. Dengan wilayah penyebaran di titik-titik yang berbeda. Asal dari orang Melayu baik Melayu Tua maupun Melayu muda ada beberapa ahli yang kontroversi mengenai asalnya. Ada yang berpendapat behwa datangnya orang Melayu tersebut berasal dari Campa (sekarang daerah Vietnam), dan pendapat yang kedua adalah orang Melayu tersebut berasal dari Tiongkok Selatan atau tepatnya daerah Yunnan, dan pendapat yang terakhir menyebutkan dari Teluk Tonkin. Namun terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para ahli sepakat behwa asal mula dari Manusia Melayu baik Melayu Tua maupun Melayu Muda tersebut adalah berasal dari daratan Asia bagian selatan. Dari penyebaraan yang disebutkan diatas, ada beberapa jalur

yang dilewati dari perosees penyebaran tersebut. Proses penyebaran orang Melayu Prasejarah, menyebar ke Selatan dari dataran Asia melalui dua jalur. Dari penyebaran tersebut, jalur pertama malalui daerah sekitar Yunnan menuju ke Siam, Semenanjung Indochina, semenanjung Melayu, kemudian menyebrangi selat Malaka dan sampai ke Sumatra dan beberapa pulau lainya. Jalur kedua adalah melalui daerah sekitar Hoakian dan Kwanlung di kawasan daratan di daerah Tiongkok selatan, menuju ke Taiwan dan kepulauan Filipina dan sampailah di daerah Kalimantan, Jawa dan kepulauan lainnya. Dr Fridollin membenarkan dari proses penyebaran tersebut, yaitu dari hasil penelitian bahwa jenis ikan yang ada di sekitar perairan di Kalimantan sama dengan yang berada di sumatera. Karena pada jaman purbakala proses penyabarannya melalui daerah pesisir pantai dan sungai-sungai besar. Maka adalah wajar jika dari Tiongkok proses penyebarannya orang-orang Ras Melayu menyebar ke Indochina dan Asia tenggara. Berdasarkan dari proses penyebaran dari Manusia purbakala dapat diambil kesimpulan bahwa asal ususl dari bangsa Indonesia dalah beerasal dari ras campuran. Ditinjau dari ilmu etnologi, ini merupakan hasil dari ras campuran dari ras Mongoloid dan ras Negroit yang terdapat di Indochina. Hasil study di bidang antropologi menyebutkan : Ras Indonesia dalah terdiri dari beberapa Ras. Yaitu Ras Negrito, yang keturunannya adalah Suku Tapiro di Irian Jaya. Wedda, yang keturunannya antara lain suku Toala di Sulawesi barat daya dan suku Kubu di Sumatera Selatan. Melayu Tua, keturunannya antara laian Suku Batak di Sumatera Utara dan Suku Dayak di Kalimantan.

Dan yang terakhir adalah Melayu Muda yang keturunannya dalah suku Jawa, Bali, Bugis, Makasar, Ternate, dan suku-suku yang berbahasa Minangkabao. Golongan.

Panjangnya pembabakan sejarah inilah yang kemudian membawa babak baru dalam era perkembangan peradaban manusia di nusantara. Referensi tentang study arkeologi dan sosiologi menyebutkan bahwa banyaknya jenis suku dan perbedaan secara geografis akhirnya menciptakan tatanan tradisi sendiri, membuat adat istiadat sendiri secara evolutif. Dan hal ini pula yang kemudian membuat aliran kepercayaan yang ada di nusantara semakin lama semakin berkembang. Pada versi yang sedikit berbeda dan lebih spesifik objek kajiannya, tentang sejarah penduduk Indonesia. Disebutkan, sebagai ras campuran atas keberadaan ras induk dan ras pendatang. Untuk membedah ini, penulis bersandar pada catatan Van Hien yang dikutip oleh penulis lokal, Akhmad Khalil, M.Fill.I. Van Hien seorang Javanologis Belanda yang menulis tentang hal yang terjadi dan ada dalam pikiran masyarakat Jawa pada decade 1920-an. Meskipun buku Van Hien menitikberatkan pada persoalan mistik dan keyakinan masyarakat, namun materi pembahasan tentang Jawa, baik sebelum atau sesudah pulau ini dihuni manusia banyak disajikan dalam buku ini. Melandaskan penelitian ini pada Van Hien disamping karena hal diatas juga disebabkan karena kronologi sejarah nusantara yang jelas dan tidak debatable adalah ketika telah memasuki zaman Majapahit sekitar abad ke-12-13 masehi. Dan alasan lain mengapa pembahasannya lebih banyak menyebutkan Jawa dibanding nusantara secara umum adalah karena dalam catatan Van Hien, disebutkan kemudian, pada zamannya merupakan satu kesatuan kepulauan besar

yang bersatu dengan Sumatera, Bali, Madura dan beberapa daerah lainnya yang merupakan pecahan. Van Hien mencatat keterangan terbaik mengenai keadaan geologi pulau Jawa dapat ditemukan dalam tulisan kuno Hindu yang menyatakan bahwa Jawa sebelumnya adalah pulau-pulau yang diberi nama Nusa Kendang yang menjdi bagian dari India. Pulau ini merupakan hamparan dari beberapa pulau yang kemudian karena letusan gunung-gunung berapi dan goyngan dahsyat gempa bumi pulau-pulau itu bersatu. Babad itu menceritakan bahwa pada tahun 296 M terjadi letusan gunung-gunung berapi yang berada di pulau itu, sehingga gunung yang semula ada menjadi hilang dan memunculkan gunung-gunung berapi baru. Dicertitakan pula, 148 tahun kemudian, lebih tepatnya tahun 444 M terjadi gempa bumi yang memisahkan Tembini, darah bagian selatan pulau Jawa menjadi pulau tersendiri. Pulau tersebut adalah Nusa Barung dan Nusa Kambangan di selatan pulau Jawa. Awal abad ke-13 tepatnya di tahun 1208 pulau sumatera karena suatu musibah gempa juga terpisah dengan pulau Jawa. Begitu juga pada tahun 1254, Madura yang semula bernama Hantara mengalmi kejaian serupa, terpisah dari pulau induk. Kejadian tersebut disusul oleh pemisahan Bali pada tahun 1293, Bali yang tadinya bergandeng dengan pulau Jawa, akhirnya terpisah juga. Sumber sejarah lain yang tidak beredar adalah berasal dari manuskrip kuno yakni Serat Asal Kraton Malang berasal dari daerah Turki, tetapi ada yang menyebut dri daerah Dekhan (India). Pda tahun 350 SM, Raja Rum, pemimpin ddari wilayah tersebut mengirim perpindahan penduduk sebanyak 20.000 orang laki-laki dan 20.000 orang perempuan yang dipimpin oleh Aji Keler. Pengiriman ini adalah pengiriman yang kedua setelah kegagalan pengiriman pertama pada

tahun 450 SM dengan kembalinya seluruh utusan yang dikirim. Jawa saat itu masih bernama Nusa Kendang ditemukan sebagai pulau yang ditutupi hutan dan dihuni berbagai jenis binatang buas dan tanah datarnya ditumbuhi tanaman yang dinamakan Jawi. Karena seluruh dataran pulau ini ipenuhi tanaman tersebut, maka ia member nama pula ini dengan nama Jawi. Karena nama Jawi msih umum dan meliputi seluruh daratan pulau itu, mka gak sulit menentukan loksi pendaratan para utusan ini. Akan tetapi, diperkirakan pendaratan itu terjadi di Semampir, yaitu suatu tempat yang terletak dekat Surabaya saat ini. Gelombang perpindahan kedua ini juga ternyata mengalami kegagalan, karena yang tersisa dari 20.000 pasang manusia, saat itu tinggal 40 pasang. Hal ini mendorong Raja untuk mengirim utusan lagi dengna persiapan yang lebih matang dan penyediaan alat yang lebih lengkap untuk menjaga dari serangan binatang buas seperti yang dialami utusan pertama dan kedua. Disamping peralatan pengamnan diri, mereka juga dibekali dengan alat pertanian, sebagi alat bercocok tanam bila kelak berhasil menempatinya dengan aman. Sementara itu, untuk mencegah agar orang-orang supaya tidak melarikan diri, diangkatlah seorang pemimpin dari kalangan mereka, tersebutlah yang terangkat adalah Raja Kanna. Gelombang ketiga ini rupanya berhasil dan akhirnya mereka menyebar ke pedalaman yang terbuka di pulau Jawa. Dari sisi keyakinan orang-orang gelombang ketiga ini menganut keyakninan animisme. Pada tahun 100 sebelum masehi, terjadi lagi perpindahan penduduk keempat yang terdiri dari kaum Hindu-Wasiya. Mereka itu adalah para petani dan pedagang yang karena permasalahan keyakinan mereka, mereka meninggalkan India. Warga pindahan kelompok

keempat ini menetap di daerah Pasuruan dan Probolinggo. Kemudian mereka secara perlahan membuat koloni-koloni di selatan pulau Jawa yang pusatnya terletak di Singosari. Koloni ini terus berkembang dan membentuk kerajaan kecil di daerah Kediri, naskah lontar menyebutkan bahwa saat itu, sekitar tahun 900-an masehi, kerajaan tersebut dipimpin oleh Nyai Kedi, dengan kerajaan bernama Medang yang juga dinamakan Kamulan. Keturunan Hindu-Wasiya ini selain menamakan kerajaannya Medang atau Kamulan juga terkenal dengan Ngastina atau Gajah Huiya. Raja yang memerintah disana adalah Prabu Jayabaya yang sebelumnya dipimpin oleh Prabu Airlangga. Cerita lain menyebutkan, bahwa bada tahun 78 M, dari kerajaan Astina (Gujarat) mengirim seorang utusan yang bernama Aji Saka. Ia diutus untuk menyelidiki apa yang terjadi di kepulauan nusantara. Sesampai di kepulauan tersebut, ia mendarat di bagian timur pulau Jawa yang saat itu masih bernama Nusa Kendang. Ia berhasil mengalahkan Prabu Dewatacengkar seorang raja yang sangat tidak adil dalam memimpin masyarakatnya. Namun kemengangannya ini akhirnya dipupuskan setelah anak dari Dewatacengkar, Daniswara, mengalahkan Ajisaka. Dari Aji Saka inilah yang kemudian dijadikan patokan permulaan tahun baru Saka. Perhitungan dalam kalender tahun Jawa pada perhitungan peredaran bulan. Agama secara resmi yang diakui keberadaannya saat ini, yang muncul pertama kali adalah agama Hindu. Agama ini muncul sekitar tahun 78 Masehi. Perkiraan angka ini dihitung dari perjalanan tahun Sakka, kalender tahunan berdasarkan peredaran bulan yang digunakan oleh orang-orang Hindu. Namun penyebaran secara mendetail mengenai jalur peredaran agama Hindu tidak diketahui pasti, pada era pasca 78 M, setelah munculnya kerajaan-kerajaan di

nusantara, barulah dapat diketahui melalui referensi arkeologis dan penelusuran sejarah. Sejarah menyebutkan, bahwa kerajaan yang pertama kali muncul di nusantara adalah kerajaan Kutai Kutanegara pada abad ke-5. Kerajaan inilah yang oleh para sejarawan disepakati sebagai kerajaan tertua yang ada di nusantara. Sumber sejarah tertulis satu-satunya dari kerajan kutai adalah Yupa yang berjumlah tujuh buah. Yupa dalah sebuah batu prasasti yang berhuruf palawa yang berbahasa sansekerta yang meyebutkan bahwa kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) berdiri pada awal abad V yang tepatnya dalah tahun 400 M. Yupa tesebut dikeluaran oleh seorang raja yang bernama Mulawarman. Selain yupa terdapat Arca yang bersifat kehinduan yaitu Mukalingga dan Arca Ganesa. Silsilah dari Raja Kerajaan kutai tersebut terdapat pada salah satu ketujuh Yupa. Yang menyebukan diantaranya Yang pertama kali mendirian Kerajaan adalah Kudungga, dan dia mempunyai anak yang bernama Mulawarman, dan dialah sebagai penerus kerajaan. Aswawarmman Mempunyai putra bernama Mulawarman dan dia sebagai generasi ketiga dari Kerajaan Kutai. Ada juga yangberanggapan bahwa pendiri (wangsakarta) kerajan Kutai adalah Aswawarmman, karena dialah sebagai raja yang telah menganut agama hindu. Bukan Kudungga karena Kudunga dianggap belum suci karena masih menganut agama nenek moyang7. Pada era yang bersamaan, telah berdiri pula kerajaan di pulau Jawa, dan para sejarawan juga menyepakati bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan tertua yang ada di Jawa. Kerajaan yang dimaksud disini adalah kerajaan Tarumanegara, berlokasi di Jawa Barat.7 Tentang agama yang dianut oleh Kudungga, agama nenek moyang yang dianut adalah agama Kapitayan.

Sumber-sumber sejarah dari kerajaan Tarumanegara relatif lebih baik dari pada kerajaan Kutai yaitu tujuh buah prasasti batu, berita Cina dari Fa hien dari dinasti Soui, dan Tang, arca-arca Rajasri, arca wisni Cibuaya I, arca Cibuaya II. Dari bukti-bukti tersebut menyebutkan puji-pujian terhadap raja Purnawarmman. Berita Cina menyebutkan bahwa pada abad VI ada sebuah negara yang bernama To lo mo, yang dianggap merupakan dari lafal Taruma. Berita dari dinasti Siou menyebutkan bahwa pada tahun 528 dan 535 datag utusan dari kerajaan To lo mo. Ada juga yang menyebutan bahwa pada abad V sudah ada kerajaan. Raja dari Kerajaan Tarumanegara tersebut disebutkan yang pertama adalah Nenenda Raja, Radjadiradjaguru, dan yang terakhir adalah sang Purnawarmman. Namun dari berita tadi tidak dapat diketemukan sumber-sumber lain yang mengatakan demikian. Perkembangan Agama dan Masayarakat di Trumanegara berdasarkan data-data dan peninggalan. Kalau dilihat dari beberapa peninggalan perhiasan, agama yang dianut pada waktu itu adalah agama Hindu. Arca-arca tersebut ada kesamaannya dengan yang diketemukan di siam kamboja dan semenanjung Melayu. Menurut berita Cina, di Nusantara ini terdapat suatu bahasa yang digunakan. Yaitu bahasa percampuran bahsa Melayu yang bercampur dengan bahasa Sansekerta. Adapun mata pencaharian dari masarakat setempat adalah berburu, penambang, dan peternakan. Pada babakan abad selanjutnya pasca Kutai dan

Tarumanegara, di kepulauan nusantara kemudian muncul dua kerajaan besar yang hampir menguasai selain secara geografis juga mengusai secara ekonomis di perairan nusantara, kedua kerajaan ini (dalam babakan waktu yang hampir bersamaan) kerajaan Melayu dan Kerajaan Sriwijaya.

Keberadaan dari kedua kerajaan ini yaitu Melayu dan Sriwijaya adalah tidak terlepas dari arus perdagangan dan perkembangna agama Hindu dan Budha pada waktu itu yaitu anatara India dan Cina. Para pedagang itu menempuh dua jalur perdagangan. Yaitu jalur selatan dan jalur utara. Jika orang India menempuh jalur utara, daerah singgahi adalah tanah semenanjung, dan disinilah letak kota Kedah yang kemudian tumbuh menjadi pelabuhan yang sangat penting, dan kemudian sampailah pada Sumatra tenggara, dan ditempat itulah ditemukan tanda-tanda bekas berkembangnya agama hindu. Adapun jalur selatan adalah melewati selat sunda dan membelok ke utara, dan sampailah pula ke Sumatra tenggara. Di tempat itulah kemudian tumbuh sebuah kerajaan Melayu, yang kemudian muncul pula kerajaan Sriwijaya yang cukup besar dan relatif lama masa pemerintahannya. Kemunculan kerajaan yang terakhir inilah yang banyak di teliti oleh beberapa ahli baikk politik, pemerintahan, ekonomi perdagangan, karena kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan maritim yang yang besar di Nusantara. Menurut Berita Tiong Hoa, pada tahun 644 atau permulaan 645 menyebutkan adanya kerajaan yang bernama Mo lo Yeu, yang dianggap sebagai nama kerajaan Melayu. Menurut berita itu menyabutkan bahwa pada tahun itu kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Tiongkok untuk mempersembahkan hasil-hasil buminya kepada kaisar. Kerajaan Melayu ini berpusat di sekitar Jambi. Sekitar tahun 685, nama Melayu tidak muncul lagi setelah ditaklukan oleh kerajaan Sriwijaya. Baru pada sekitar pertengahan abad XIII M dijumpai lagi nama Melayu yaitu dalam kitab Pararaton dan Nagarakertagama, disitu menyebutkan pada tahun 1275 Raja Kertanagara menirimkan pasukan, yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.

Keteranan lainnya jua dapat di jumpai pada masa pemerintahan Tribuanatunggadewi (1328-1350). Rupa-rupanya kerajaan Melayu muncul lagi sebagai pusat pemerintahan di Sumatra. Kerajaan Sriwijaya merupakan Kerajaan di Nusantara yang keberadaannya Relatif dapat dilacak. Karena kerajaan Sriwijaya pada waktu itu adalah sebaai pusat perdaganann dan jua sebagai kerajaan yang menpunyai kekuatan Maritim yang sangat kuat. Kerajaan ini muncul pada abad VII dan pengaruhnya hilang samasekali pada abad XIV M. Pada abad VII merupakan awal berdirinya kerajaan Sriwijaya. Seperti yang di sebutkan pada Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 605 S (683 M) yang berisikan tentang penaklukan Melayu yan sekaligus sebagai Masa awal berdirinya kerajaan Sriwijaya, dan Prasasti Kota kapur 608 S (686 M) yang berisikan tentang penaklukan Bangka dan keinginannya menaklukan bumi Jawa, yang menurut G Coedes bumi Jawa diartikan sebagai kerajaan Tarumanegara. Pada Prasati Talang Tuo yang berangka 606 S (684 M) menyebutkan tentang maklumat untuk meengatur ketentraman dan kesejahteraan dalam negeri. Dari situ dapat simpulkan bahwa SSriwijaya telah berhasil meluaskan daerahna mulai Melayu atau Jambi sekarang saampai ke pulau bangka dan daerah lampung selatan, dan hampir juga meliuaskan kekuasaan nya sampai ke Jawa. Agama yang dianut pada masa itu adalah Agama Buddha, dan pada abad VIII awal sampai XI M merupakan sebagai masa keemasan dari bertumbuhnya agama Buddha. Menurut cerita I tsing Sriwijaya merupakan pusat pembelajaran dari agama Budha dan bahasa sansekerta. Oleh karena itu bagi pendeta Budha dari bangsa China yang hendak ke India bersinggah dulu di Sriwijjaya selama kurang lebih satu atau dua tahun, kemudian baru meneruskan ke India.

Prasasti Nalanda yang yang didirikan sekitar abad IX oleh raja Dewapaladewa menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh Raja Sriwijaya yang menganut agama Budha yaitu yaitu Balaputradewa. Masa keemasan Kerajaan Sriwijaya, yaitu pada awal abad XIII, Dari berita China oleh Chao Ju Kua. Dia juaga menyebutkan bahwa pada sekiatar abad XII adalah masa kemunduran Sriwijaya yangdiakibatkan oleh serangan dari sekutunya yaitu kerajaan Cola untuk merebutkan wilayah perdagangan. Dan pada abad XIII kekacauan itu dapat di selesaikan dan Sriwijaya muncul sebagai kerajaan yang kuat. Masa surut kerajaa Sriwijaya, pada abad XIV. Berita itu dari Dinasti Ming, bahwa Raja San Fo Tse pada tahun 1376 telah takluk oleh Jawa. Kemudian akibat dari serangan Jawa maka kondisi internelnya sangat kacau sehingga bajak-bajak laut Cian berhasil merebut daerah itu. Maka berakhirlah kerajaan Sriwijaya. Kejayaan kerajaan di wilayah Sumatera ini, bersamaan dengan itu juga terjadi proses pengembangan kerajaan di tanah Jawa, satu permisalan yang muncul sebagai bagian dari alur sejarah adalah kerajaan Mataram Hindu atau Mataram Kuno. Kerajaan Mataram Kona adalah keraajaan yang berlatar belakang agama Hindu dan Budha. Kerajan ini diperkirakan berdiri sekitar abad VII-VIII sampai pertengahan abad X yang berdiri di kawasan Jawa tengah. Kemudian pada abad X akhir kerajan ini dipindah kewilayah Jawa Timur yang menurut beberapa pendapat perpindahan disebabkan adanya letusan gunung Merapi. Bukti dari berdirinya Kerajan Mataran Ini didapat dari Prasasti Tuk Mas yang menyebutkan bahwa awal mual berdirinya kerrajan tersebuat adalah awal abad VII. Diperkirakam juga bahwa

Kerajaan Mataran ini adalah adakaitannay dengan kerajaan Ho ling atau Keling, yang diperintah oleh seorang Ratu yang adil yaitu Ratu Shi-Mo yang berdiri pada tahun 640 (kerajaan beragama Budha). Pada Prasati Muntiasih juga menyebutkan Bahwa Sanjaya Raja Mataram telah membuat sebuah Lingga pada tanggal 6 Oktober 732. dan diprasasti itu juga menyebutkan adanya Raja Yang bernama Sanna yang memerintah dengan kasih sayang dan lembut. Ada yang berpendapat bahwa ada dua Wangsa yang berkuasa di Mataram (Jawa Tengah) Yaitu wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra. Akan tetapi menurut beberapa pendapat bahwa Sanjaya adalah keturunan dari Dapunta Saelendra. Jadi Sanjaya adalah keturunan dari wangsa Sailendra. Sanjaya dianggap sebagai pendiri pertama di Mataram karena Dia dianggap yang telah berhasil menyatukan Mataram setelah Sanna, pamannya Sanjaya mangkat kerajan menjadi kacau, dan Sanjayalah yang berhasil mengkondisikan Kerajaan. Proses ini menurut kepercayaan bahwa Sanjaya adalah Raja yang ke 5. karena menurut kepercayaan raja yang ke 4 adalah masa kekacauan kerajaan. Jadi menurut beberapa pendapat bahwa diperkirakan diantara Dapunta Sailendra dan Sanna atau diantara Sanna dan Sanjaya ada seorang lagi yang menduduki sebagai Raja. Akan tetapi pendapat itu tidak diperkuat dengan bukti-buktinya. Raja-raja di Mataram Kuna hasil Penafsiran terhadap dua Prasasti Muntyasih, 907 M dan Wanua Tengah III.(Raja setelah Sanjaya) Nama Raja Sanjaya Rake Panangkaran Tahun (M) Tak disebut 746-784

Rake Panunggalan Rake Warak Dyah Gula Garung Rake Pikatan Kayuwangi Lokapala Dyah Tagwas Panumwangan Gurun Wangi Rake Wukal Watu Kuro (Balitung) Daksottama Dyah Tolodong Dyah Wawa Mpu Sendok

784-803 803-827 827-828 828-847 847-855 855-885 885-885 885-887 887-887 894-898 899-911 911-915 915-923 923-929

929Pada pertengahan abad ke X Mataram dipindah Oleh

Mpu Sendok ke daerah Jawa Timur yang menurut beberapa penelitian permindahanya di akibatkan meletusnya gunuang Merapi. Berdasarkan beberapa keterangan dapat di ketahuai behwa pendiri kerajaan Mataram di Jawa Timur adalah Mpu Sendok. Menurut Prasati Paradah (943) kerajaan ini mengalami masa kemreosotan ketika dipimpin Oleh Darmawangsa Teguh. Kemudian Airlangga keponakan Darmawangsa berhasil mengemBalikan Kerajaan Mataran dan membawa Mataram Pada puncak keemasan. Setelah Kerajaan Mataram (Jawa Timur) yang dipimpin oleh Airlanga mengalami masa keemasan maka Ia ingin menyendiri dan bertapa. Sehingga untuk menanggulangi perpecahan maka di baginya kerajaan menjadi dua yaitu Jenggal dan Panjalau. Dari sinilah mulai timbul berbagai persoalan yang akhirnya munncul kerajaan Singasari. Pembagian kekuasaan yang dilakukan oleh Airlangga adalah kerajaan menjadi dua yaitu Kerajaan Panjalu (Keda) untuk

putra Dharmawangasa Teguh, iparnya dan kerajaan Jenggala untuk putranya. Menurut para sejarawan perpecahan tersebut mengalami puncaknya setelah wafatnya Raja Airlangga yang kemudian terjadi saling ketidakpuasan antara kedua belah pihak, yang kemudian ditentukan dengan jalan perang. Dalam peperangan tersebut Kerajaan Jenggala mengalami kekalahan yang kemudian dijadikan daerah kekuasaan oleh Kerajaan Panjalu (Keda) sampai kemudian Kerajaan Panjalu mengalami masa keemasan. Raja terakhir dari Kerajaan Panjalu adalah Srengga atau Kertajaya yang kemudian mengalami kemerosotan setelah mendapat serangan dari Ken Arok dari Tumapel dan kemudian pada tahun 1222 Panjalu ditaklukkan oleh Ken Arok. Menurut para sejarawan, setelah kekalahan Panjalu dan Jenggala oleh Ken Arok, kemudian disatukanlah dua kerajaan tersebut menjadi Kerajaan Singasari. Kemunculan tokoh Ken Arok itulah kemudian dipercayai munculnya wangsa baru yaitu Rajasawangsa atau Girindrawangsa dan Wangsa inilah yang berkuasa di Singasari. Raja Singasari yang terakhir adalah Raja Kertanagara. Dalam perjalanannya Kerajaan yang dipimpin oleh Ken Arok tersebut banyak sekali mengalami berbagai gejolak, baik gejolak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang banyak mempengaruhi perkembangan kerajaan tersebut. Permasalahan politik yang mendasar adalah ketika munculnya Ken Arok menjadi penguasa di Tumapel yang menurut cerita, naiknya Ken Arok adalah ketika dia telah berhasil membunuh Tunggul Ametung. Dari situlah muncul berbagai gejolak politik dan permasalahan kekuasaan yang dampaknya sangat negatif terhadap perkembangan ekonomi dan permasalahan sosial. yaitu saling

berebutnya kekuasaan antara keturunan dari Ken Arok dan dari keturunan Tunggul Ametung. Kondisi yang semacam itu mulai membaik ketika naiknya Kertanegara menjadi penguasa di Singasari. Munculnya Kertanegara menjadi penguasa sangat mempengaruhi perkembangan disegala bidang baik permasalahan kenegaraan dan permasalahan sosial. Langkah awal yang dilakukan Kartanegara adalah menguatkan legitimasi kekuasaan atau pemutlakan kekuasaan. Salah satu dari tindakan untuk mengokohkan kekuasaan adalah mengadakan ekspedisi militer ke berbagai daerah baik di Jawa, Bali, bahkan sampai ke sumatra. Ekspedisi itu tampaknya tidak hanya untuk perluasan ekonomi, tapi juga untuk keinginan akan kebesaran kekuasaan. Diceritakan pula pada masa kekuasaan Kertanegara datang utusan dari kerajaan Cima yang pada waktu itu diperintah oleh Kaisar KhubilaiKhan yaitu permintaan kerajaan Cina kepada Singasari untuk tunduk dan memberikan upeti. Akan tetapi permintaan tersebut disambut dengan dipotongnya telinga utusan dari Kaisar Khubilai-Khan tersebut dan menyerukan perlawanan. Setelah penghinaan yang dilakuakan Kertanegara tersebut maka Khubilai-Khan akan mengutus pasukan untuk menyerang Kertanegara. Dalam bidang keagamaan Kertanegara melakukan langkah-langkah yaitu menganut agama Buddha Tantrayana aliran Kalacakra. Aliran ini memuja teradap Siwa Hairawa. Tujuan akhir dari pemujaan ini adalah Sunyaparananda, yaitu sebagai adibuddha yang abadi. Pada pemerintahan Kertanegara tidak begitu tampak kemajuan dibidang ekonomi. Menurut para sejarawan yang mengakibatkan adalah faktor internal kerajaan yang disibukkan dengan permasalahan untuk penguatkan legitimasi kekuasaan.

Jayakatwang, salah seorang dari keturunan Kertajaya (keturunan Tunggul Ametung) setelah lama menghimpun kekuatan akhirnya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Kertanegara. Dan akhirnya Kertanegara dapat dikalahkan oleh Jaya Katwang dan menggantikan kekuasaan di Singasari. Kemudian anak dari Kertanegara yaitu Raden Sanjaya berhasil merebut kembali Singasari dengan bantuan pasukan Cina yang semula tujuan Kedatangan pasukan Cina tersebut untuk menyerang Kertanegara. Akan tetapi Kertanegara sudah terbunuh oleh Jaya Katwang. Setelah Raden Sanjaya dapat menguasai Kerajaan Singasari, maka Raden Sanjaya merubah Singasari menjadi Majapahit. Dari situlah maka berakhirlah kerajaan Singasari yang menurut sejarawan ada yang menyebut bahwa yang pertama kali mendirikan Singasari adalah Ken Arok, dan ada yang menyebut bahwa yang pertama kali mendirikan Singasari adalah Kertanegara. Kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan besar di Jawa yang berhasil menguasaai hampir seluruh nusantara. Keberadaan kerajaan ini sejak akhir abad XIII hingga akhir abad XVI M. Meskipun keberadaan Kerajaan tersebut dan kekuasaannya termasuk sebentar hanya sekitar tiga abad, akan tetapi pengaruh kekuasaan tersebut begitu hebat. Hal tersebut di karenakan politik kekuasaan yang dilakukan oleh Majapahit sangat baik dan mampu mewarnai hampir seluruh nusantara. Kemerosostan kerajaan ini dimulai setelah sepeninggalnya Raja Hayam Wuruk. Karena sepeninggalnya banyak terjadi kemelut dan terjadi perebuatan kekuasaan antara Keluarga Kerajaan. Kehancuran Majapahit lebih dipertegas lagi setelah mendapat serangan dari Pati Unus, Demak. Keberadaan dari Kerajaan Majapahit melalui proses yamg sangat panjang. Embrio Kerajaan Majapahit ini diperkirakan dari

Kerajaan Singasari. Setelah Kertanegara gugur oleh pemberontakan yang dilakukan oleh Prabu Jayakatwang, Maka Kerajaan yang menurut para sejarawan didirikan oleh Ken Arok dari Tumapel tersebut dikuasai oleh Wangsa Isyana. Dari dikalahkannya Kertanegara tersebut maka keturunan dari Kertanegara yaitu Raden Wijaya. Dia berusaha merebut kembali kekuasaan moyangnya. Dari Geneologinya Wijaya adalah termasuk dari keturunan Ken Arok dan Ken Dedes. Kemudian ia diambil menantu oleh Kertanegara. Menurut Prasasti Kudadu 1294 M, Wijaya adalah yang di utus oleh Kertanegara untuk memimpin pasukan Singasari untuk menghadang serangan dari arah utara, kemudian dia kalah karena dihianati oleh Arddharaja dan melarikan diri ke Madura. Dalam pelariannya Wijaya di dampingi oleh beberapa orang diantaranya Sora, Ronggo Lawe dan Nambi, anak dari Aryya Wiraraja. Pelariannya ke Madura tersebut atas anjuran dari Nambi, untuk itu pelarian Wijaya tesebut dapat diterima oleh Aryya Wiraraja. Setelah berada di Madura, Wijaya mendapat anjuran dari Wiraraja untuk kembali ke Kediri dan menyerah kepada Jayakatwang. Wijaya mendapatkan kepercayaan penuh oleh Jayakatwang, sehingga ketika ia meminta hutan Terik untuk dibuka sebagai Desa. Daerah tersebut dibuka oleh Wijaya dengan bantuan Wiraraja, dan diberi nama Majapahit. Pada tahun 1293 datang bala tentara dari Khubilai Khan yang sebenarnya untuk menyerang Singasari yang hendak menghukum Kertanegara di pelabuhan Tuban. Cerita perang tersebut disebutkan dalam Tarih Tiongkok dengan jelas. Tertera Tatar (baik dalam Pararaton maupun Nagarakertagama memakai nama Tatar) yang berjumlah sekitar 20.000 pasukan yang dipimpin oleh Shih-Pi, I-KeMe-Se dan Kau-Hsing. Kedatangan pasukan ini merupakan kesempatan yang yang baik bagi Wijaya untuk membalas kepada Jayakatwang. Kemudian Wijaya mengirimkan utusan kepada pimpinan

tentara Tartar bahwa ia tunduk kepada

kekuasan Cina bersedia

membantu untuk menyerang Kediri. Diterimanya usulan Wijaya tersebut dan akhirnya Wijaya dengan bantuan Tatar berhasil mengalahkan Jayakatwang Menurut tarih Tiongkok menyebutkan Jayakatwang dibunuh, tetapi menurut Pararaton menceritakan bahwa Jayakatwang dipenjarakan di Jenggaluh (Hujing Galuh). Dalam penjara ia mengarang Kidung Wukir Polaman dan setelah sesai wafatlah Jayakatwang. Matinya Jayakatwanng maka beakhirlah kekuasaann Wangasa Ishana. Setelah mampu mengalahkan Jayakatwang, ia berbalik menyerang tentara Tatar. Dengan demikian maka Wijaya mampu mendirikan kekuasaan moyangnya dan ia menobatkan diri menjadi Raja Majapahit pada tahun 1215 saka (1293) dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Pararaton menyebutkan mengapa Wijaya melakukan penyerangan terhadap Tatar karena pasuakkn Tatar hendak membawa putri-putri Kertanegara sebagai jarahan ke Cina. Raden Wijaya menaiki tahta Kerajaan Majapahit atau dengan nama sansekerta Tiktawilwa atau Wilwatikta dengan nama Kertarajasa Jayawardhana (1293-1308) Beberapa masalah kenegaraan Majapahit setelah

kenaikan Kertarajasa sampai dengan keruntuhan Kerajaan : No 1 Raja Kertarajasa Tahun 1295 Masalah Pemberontakan Ronggolawe Sumber masalah Tidak puas dengan kedudukan yang diperoleh 2 Kertarajasa 1298-1300 Pemberontakan Difitnah oleh

Lembu Sora

Jayapatni, sebagai pembuat kerusuhan

3

Jayanegara

1316

Pemberontakan Nambi

Difitnah oleh Mahapatni Difitnah Oleh Nambi

4

Jayanegara

1318

Pemberontakan Semi

5

Jayanegara

1319

Pemberontakan Kuti

Difitnah oleh Nambi

6 7

Jayanegara Tribuanatungga dewi

1328 1331

Ra Tanca Pemberontakan di Sadeng dan Keta

Pembunuhan raja oleh Tanca

8

Tribuanatungga dewi

1343

Penaklukan Bali

Raja Bali yang jahat dapat dibunuh

9

Hayam Wuruk

?

Perang Bubar

Hayam Wuruk menghendaki Dyah Pitaloka sebagai permaisuri. Gajah Mada menginginkan agar raja Sunda mempersembahkan Putrinya sebagai tanda takluk, akan tetapi raja Sunda tidak mau.

10

Suhita

1401-1406 Peristiwa Paregrek

Pertentangan Wikramawardana dengan Bre Wirabumi yang tidak puas terhadap kedudukan

Suhita sebagai Raja. 11 Suhita 1433 Pembunuhan Raden Gajah Balas dendam dari keluarga Wirabumi Karena R Gajah telah membunuh Wirabumi 12 Rajasawardhana ? Memindahkan pusat pemerintahan Keling-Kauripan Keadaan politik Majapahit telah di memburuk akibat pertentangan keluarga dan beberapa daerah bawahan melepaskan diri. 13 1453 Masa kekosongan Akibat adanya pertentangan keluarga untuk merebutkan kekuasaan, memperlemah kedudukan. Sehingga tidak ada yang muncul menjadi penguasa.

Pasca runtuhnya Majapahit, yang oleh para seniman di eranya disebut dengan istilah sirna ilang kertaning bhumi, selain dari factor internal di kerajaan tersebut yang penuh dengan konflik, perebutan kekuatasaan, juga dipengaruhi oleh banyak factor lainnya dari luar. Konflik di internal yang terjadi membuat kerajaan Majapahit yang besar dengan ratusan Negara-negara kecil dibawahnya memisahkan diri dan membentuk pemerintahan sendiri tanpa ada intervensi dari Majapahit.

Dengan melepaskan dirinya Negara-negara kecil dibawah Majapahit, maka kekuatan militer Majapahit semakin melemah, hingga akhirnya pada medio abad ke-15 kerajaan terbesar di nusantara ini diserang dengan kekuatan militer Demak hingga runtuhlah kekuasaan mereka. Sementara di Demak, berdirilah kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Raden Patah paa tahun 1478. Raden Patah adalah putra Raja Majapahit, Brawijaya, dengan iu keturunan Champa (Daerah yang sekarang adalah perbatasan Kamboja dan Vietnam). Pada awal abad ke-14, Kaisar Yan Lu dari Dynasti Ming mengirmkan seorang putri kepada Brawijaya di Kerajaan Majapahit sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik jelita dan pintar ini segera mendapatkan tempat istimewa di hati raja. Raja Brawijaya sangat tunduk pada semua kemauan sang putri jelita, yang nantinya membawa banyak pertentangan dalam istana Majapahit. Pada saat itu, Raja Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal dari Champa, masih kerabat Raja Champa dan memiliki julukan Ratu Ayu Kencono Wungu. Makamnya saat ini ada di Trowulan, Mojokerto. Sang permaisuri memiliki ketidakcocokan dengan putri pemberian Kaisar Yan Lu. Akhirnya raja Brawijaya dengan berat hati harus

menyingkirkan Puteri cantik ini dari Majaphati. Dalam keadaan mengandung putri cantik itu di hibahkan oleh Raja Brawijaya kepada Adipati Palembang, Arya Sedamar. Dan disanalah Jim-Bun atau Raden Fatah dilahirkan. Dari Arya Sedamar, ibu kandung Raden Fatah memiliki anak laki-laki dan menjadi saudara kandung beda ayah dengannya. Setelah memasuki usia belasan tahun, Raden Patah, bersama adiknya, dan diantar ibunya berlayar ke Pulau Jawa untuk belajar di

Ampeldenta. Raden Patah mendarat di Pelabuhan Tuban sekitar tahun 1419 masehi. Jim-Bun atau Raden Patah sempat tinggal beberapa lama di Ngampeldenta, di rumah pamannya, Sunan Ampel dan juga bersama para saudagar besar muslim lainny ketika itu. Di Ampeldenta Raden Patah mendapatkan dukungan dari rekan-rekan utusan Kaisar Cina, Panglim Cheng Ho atau juga dikenal Dampu Awang atau Sam Poo Tai-Jin, panglima berasal dari Xin-Kiang yang beragama Islam. Dengan dukungan moral yang banyak diberikan dari para saudagar muslim dan para ulama saat itu, bersama dengan beberapa ulama, Raden Patah mendirikan kerajaan Demak yang terletak di sebelah timur Sam Poo Toa Lang (sekarang Semarang). Kejayaan kerajaan Demak di bawah Raden Patah terbukti mampu menjadi kekuatan besar yang tak tertandingi di zamannya. Bahkan, dengan kekuatannya dan kewibawaannya, dia mampu membuat pasukan gabungan dari Demak, Tuban, Banten dan beberapa kerajaan besar lain di Sumatera untuk melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka dibawah komando Adipati Unus. Hingga pada tahun 1518, Raden Patah yang sudah cukup umur akhirnya mangkat dan tahta kerajaan Demak digantikan oleh anak menantunya Adipati Unus yang karena prestasinya melawan Portugis di Malaka ia mendapat gelar Pangeran Sabrang Lor. 1521 Masehi, Adipati Unus kembali membuat tentara gabungan dan melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka. Namun karena jumlah tentara yang tidak sebesar ekspedisi pertama serta terbatasnya amunisi perang akhirnya Adipati Unus gugur dalam pertempuran ini. Dan tahta kerajaan secara otomatis jatuh ke tangan adik iparnya, Sultan Trenggono. Di bawah Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran dan kemajuan yang mencolok. Dikatakan kemunduran karena

Trenggono tidak lagi melanjutkan misi besar Adipati Unus yang membangun armada perang angkatan laut seperti zaman Majapahit, dimana telah terbukti dengan kekuatan armada laut Demak semakin Berjaya di tengah kerajaan besar yang ada. Oleh Trenggono, kekuatan armada laut yang berpusat di Jepara akhirnya ditutup, kapal-kapal besar yang belum selesai dibuat akhirnya dibiarkan begitu saja. Sebagai gantinya, Trenggono memperkuat armada pasukan darat, yakni pasukan kuda dan pasukan kaki. Oleh Trenggono pasukan ini diberikan kepada Fatahilah untuk melakukan penyerangan dengan jalur darat ke Jayakarta. Perubahan pasukan ini ternyata membuat konflik cukup besar di dalam istana, sehingga Ibunda Trenggono, Ratu Aisyah memilih untuk keluar istana dan menempati rumah Adipati Unus di dekat pelabuhan Jepara. Paska meninggalnya Sultan Trenggono, kerajaan dipimpin oleh Sunan Prawoto, disinilah awal kemuduran kerajaan Demak dimulai. Dengan menyerahkan tampuk kekuasaan ke Sunan Prawoto, adik dari Sultan Trenggono yang juga merasa berhak atas kekuasaan di Istana melawan Sunan Prawoto. Pangeran Seda Lepen ini kemudian dibunuh oleh pasukan Sunan Prawoto karena melakukan aksi makar. Tidak terima dengan perlakuan Sunan Prawoto yang membunuh ayahnya, Arya Penangsang, putra kandung Pangeran Seda Lepen akhirnya menghabisi Sunan Prawoto dan seluruh keluarganya pada tahun 1561. Terbunuhnya Sunan Prawoto oleh orang suruhan Arya Penangsang membuat Arya Penangsang naik takhta, oleh kekhawatiran adanya dendam dari saudara atau orang dekatnya Sunan Prawoto, Arya Penangsang juga memerintahkan pasukannya untuk menghabisi Adipati Jepara. Kematian Adipati Jepara di tangan Arya Penangsang membuat banyak Adipati memusuhi Arya Penangsang. Dari balik layar, kekuatan yang dibangun oleh Joko Tingkir,

menantu dari Sunan Prawoto, berhasil membunuh Arya Penangsang. Membaca situasi Demak yang tidak mungkin diselamatkan, akhirnya Joko Tingkir memilih untuk memindahkan istanannya ke daerah Pajang dan mendirikan Kesultanan Pajang. Pada awal berdirinya, tahun 1549, kerajaan Pajang memiliki Wilayah meliputi Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri setelah kematian Sultan Trenggana. Namun pada tahun 1568 Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (Panji Wiryakrama adalah pemimpin dari persekutuan adipati di Jawa Timur) dinikahkan dengan putri Sultan Hadiwijaya. Untuk semakin memperluas wilayahnya, Sultan Hadiwijaya kemudian memberikan putrinya kepada Raden Pratanu atau Panembahan Lemah Dhuwur untuk dinikahkan sebagai symbol kontrak politik antara kasultanan Pajang dengan kadipaten Madura. Sebelum jauh, sedikit menyusupkan pada tahun pertama berdirinya menumpas kerajaan Pajang, tepatnya itu, di tahun 1549 terjadi akan pemberontakan yang dilakukan oleh Arya Penangsang. Untuk pemberontakan Sultan Hadiwijaya menghadiahkan tanah di Pati dan Mataram kepada siapapun yang mampu menumpasnya. Tersebutlah dalam sejarah tersebut bahwa pemberontakan itu berhasil diredamkan oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Penjawi pada tahun 1549 mendapatkan tanah Pati sebagai hadiah atas penumpasan tersebut. Hal lain terjadi pada Ki Ageng Pemanahan atas keberhasilan membunuh Arya Penangsang, konon melalui tangan Sutawijaya, anak dari Ki Ageng Pemanahan,

mendapatkan hadiah tanah Mataram dan menjadi adipati di daerah tersebut setelah beberapa tahun kemudian, yakni pada tahun 1556, itu saja dibantu oleh Sunan Kalijogo. Penundaan pemberian hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan oleh Sultan Hadiwijaya karena Sultan mendapatkan berita ramalan dari Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan besar yang besarnya melebihi Pajang. Tahun 1975 Sutawijaya menggantikan ayahnya Ki Ageng Pemanahan menjadi adipati di Mataram. Kemampuannya memimpin kadipaten ini, membuatnya semakin besar dan daerahnya menjadi makmur. Tahun 1582 konflik antara Pajang dan Mataram muncul. Sutawijaya sebagai penguasa Mataram harus membela adik iparnya yaitu Tumenggung Mayang yang di hukum buang ke Semarang atas perintah dari Sultan Hadiwijaya. Konflik yang semakin menajam ini membuat terjadi perang besar-besaran. Jumlah tentara Pajang berkali-kali lipat dari jumlah tentara yang dimiliki oleh Mataram. Namun Sutawijaya tidak kehilangan akal. Dengan kemampuan dan pengalaman perangnya, dia berhasil memukul mundur tentara Pajang dan memenangi peperangan. Kekalahan perang membuat beban pikiran dan moral Sultan Hadiwijaya semakin berat. Dengan beban itu membuatnya sakit, semakin hari sakitnya semakin parah dan akhirnya meninggal dunia. Kematian Sultan Hadiwijaya mewariskan tahta kerajaan Pajang yang pada akhirnya diperebutkan oleh dua orang keturunannnya yakni Pangeran Benawa dan Arya Pangiri. Atas dukungan dari Paenembahan Kudus, pada tahun 1583, Arya Pangiri naik tahta menjadi raja dari kerajaan Pajang. Pemerintahan Arya Pangiri dalam perjalanannya disibukkan dengan upaya balas dendam pada Sutawijaya di Mataram. Karena

sibuknya memerangi Mataram maka kehidupan rakyat Mataram terabaikan. Yang diutamakan adalah memperkuat tentara untuk berperang melawan Mataram. Keadaan ini membuat Pangeran Benawa yang telah tersingkir ke Jipang menjadi prihatin. Tiga tahun setelah Pajang dipimpin oleh Arya Pangiri, 1586, Pangeran Benawa akhirnya menentukan sikap, dia memilih bersekutu dengan Sutawijaya di Mataram. Pangeran Benawa sadar bahwa pilihannya bersekutu dengan Sutawijaya yang telah membunuh Sultan Hadiwijaya adalah dosa yang tak termaafkan, namun dia sadar bahwa tidak ada kekuatan lain yang mampu melawan Pajang kecuali dari kekuatan Mataram, berangkat dari hal ini, Pangeran Benawa menganggap Sutawijaya sebagai saudara tua. Di tahun yang sama itu, pasukan besar dari Mataram dengan bantuan Pangeran Benawa menyerbu Pajang. Kedua armada perang setelah bertempur besarbesaran diakhiri dengan kekalahan Arya Pangiri. Kekalahan Arya Pangiri ini harus ditebus dengan harga yang mahal, selain mengalami tekanan yang begitu besar, dia juga diturunkan dari tahtanya sebagai raja Pajang dan dikembalikan ke negeri asalnya, Demak. Dan secara otomatis, Pangeran Benowo sebagai pihak yang memenangkan perang menduduki tahta menjadi raja Pajang ketiga. Pangeran Benowo memimpin Pajang dengan adil hingga akhir hayatnya, namun masalah menghampiri tatkala ia meninggal, tak ada putra mahkota yang menggantikannya. Sehingga keputusan yang diambil paska meninggalnya beliau adalah Pajang menjadi wilayah kecil Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Gagak Bintang, adik kandung dari Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan kerajaan Mataram dan sekaligus menjadi raja pertama dengan gelar Panembahan Senopati. Awalnya wilayah kerajaannya hanya di sekitar Jawa Tengah saja,

namun setelah mewarisi wilayah Pajang menjadi luas cakupan wilayahnya hingga Jawa Timur dan Madura. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandara Adi Sucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat tinggal raja/istana) berada di daerah Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Setelah beliau meninggal dan dimakamkan di Kotagede. Kerajaan ini diteruskan oleh putranya Mas Jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati. Sayangnya kekuasaan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat di Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang begelar Adipati Martopuro. Ternyata Adipati Martopuro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih keputra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang. Sesudah naik tahta, Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup pulau Jawa dan Madura. Ia memindahkan lokasi keratin ke Kerta. Akibat dari gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat, Sultan Agung dimakamkan di Imogiri dan digantikan putranya yang bergelar Amangkurat I. Demikian seterusnya hingga perpecahan kerajaan Mataram menjadi dua setelah perjanjian Giyanti, perpecahan ini membagi kerajaan Mataram yang berpusat di Kasunanan Solo dan Kasultanan

Ngayogyakrta Hadiningrat hingga saat ini.

Konstruksi Sosiologis Islam Indonesia Membahas Konstruksi Islam di nusantara, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan agama yang sebelumnya ada, ini menjadi penting karena didalam konstruksi Islam Indonesia adalah bentuk perpaduan kebudayaan antara budaya Islam dan budaya nusantara. Sering disebut juga sebagai Islamisasi budaya nusantara. Namun sebelum sampai disana, perlu sedikit dikaji pula tentang pola lalu lintas penyebaran Islam pertama kalinya di seluruh kepulauan nusantara. Objek dari penyebaran Islam pertama kali adalah kaum ningrat (priyayi/bangsawan) dan masyarakat umum lainnya pada tahapan selanjutnya. Keterkaitan penyebaran Islam dengan politik kekuasaan bukan karena tidak mampu mengendalikan syahwat politiknya saat itu, namun karena memang sudah merupakan setting jangka panjang yang telah tersusun jauh hari sebelumnya sebagai salah satu cara paling efektif untuk menyebarkan Islam, setidaknya secara formalitas terlebih dahulu. Sering terjadi saat Islam pertama kali datang ditengah-tengah kerajaan nusantara, sebagai para pedagang, dan belum membentuk system kekuasaan, bila situasi politik di suatu kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, Islam dijadikan alat politik golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Bara bangsawan yang bertikai menjalin hubungan dengan para pedagang muslim yang posisi ekonominya lebih kuat karena mereka menguasai perdagangan dan pelayaran. Apabila kerajaan Islam berdiri, tidak jarang penguasanya

juga melancarkan serangan kepada kerajaan di sekitarnya yang nonIslam. Untuk mencari alasan yang tepat mengenai serangan tersebut memang cukup sulit, serangan tersebut dinilai serangan politis atau serangan agamis, yang pasti, setiap penguasa memiliki naluri melindungi dan mempertahankan kekuasaan dan rakyatnya. Jadi dorongan yang sangat kuat untuk dalam penyerangan memang politis, meskipun tetap disusupi nilai-nilai agamis untuk menyebarkan Islam. Menenai jalur penyebaran pertama yang dilakukan oleh para penyebar agama Islam, setidaknya dapat dirangkum dalam lima strategi penyebaran, yakni melalui system perdagangan, pendidikan, perkawinan, kesenian dan politik. Kelima cara ini digunakan pertama kali untuk sekedar mengenalkan keberadaan Islam. Selanjutnya untuk pengembangannya, dilakukan berbagai strategi pendidikan agama yang melalui system tersebut secara lebih mendalam. Untuk strategi pertama, yakni melalui jalur perdagangan, pertama kali dilakukan oleh para pedagang muslim yang dating dari Gujarat, Persia dan Arab. Cara ini untuk tahap pengenalan sangat tepat mengingat dengan cara ini, masyarakat dan raja di suatu kerajaan yang menjadi relasi perdagagannya memiliki respek yang cukup tinggi dan disamping itu, mereka juga terlibat dalam perdagangan, sederhananya, tidak mungkin seorang raja atau bangsawan akan tidak menghargai relasi bisnisnya, apalagi relasi bisnis yang menguasai pelayaran dan perdagangan internasional. Aktivitas semacam ini terpusat di bagian utara pulau Jawa, yang demikian membuat banyak para pedagang muslim yang tinggal dan menetap di daerah pantai utara Jawa. Setelah transaksi perdagangan, cukup memiliki waktu untuk singgah di daerah tersebut, biasanya apabila datang dalam waktu yang cukup lama sambil menunggu musim angin untuk pelayaran kembali, mereka mendirikan masjid atas seizin raja. Disaat itulah penyebaran

agama mulai dilakukan, mereka mengenalkan agama mereka kepada raja dan para pembesar kerajaan dan sebagian masyarakat sipil yang berada disekitarnya. Mengajak untuk memeluk Islam dan menjadikan kerajaan yang dipimpin sebagai kerajaan Islam. Setelah tahap pengenalan ini selesai, datang gelombang selanjutnya yang disebut sebagai Mulla (sebutan untuk ulama Persia), para Mulla adalah guru spiritual bagi para pedagang, mereka sendiri juga melakukan aktivitas perdagangan. Para Mulla dalam sejarah berhasil menaklukan daerah Majapahit yang berada di pesisir dengan mengajak adipati yang memimpin untuk memeluk Islam. Cara-cara ini terbukti banyak memberikan hasil, karena setelah rajanya memeluk Islam, secara perlahan, masyarakat yang dipimpinnya juga mengikuti jalan yang diambil oleh rajanya. Selain oleh faktor politik yang demikian itu, juga konvensi mereka ke Islam karena sentuhan langsung dengan para pedagang membuat mereka mengenal Islam sekaligus melihat Islam sebagai tatanan yang menurut mereka paling tepat. Para pedagang Islam memiliki status ekonomi yang jauh lebih mapan dibandingkan dengan bangsa pribumi. Mereka, secara ekonomi, memiliki lebih dibanding dengan pedagang lokal, sehingga masyarakat lokal akan bangga apabila dipinang untuk dinikahi oleh para pedagang muslim. Para pedagang ini, sebelum menikah, dengan calon istrinya dilakukan persamaan akidah, setelah sama-sama muslim, pernikahan baru dilangsungkan. Pada perkembangan selanjutnya, para bangsawan juga melakukan hal yang sama, menikah dengan anak para saudagar. Misalnya apa yang terjadi dengan Raden Rahmat yang menikah dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati menikahi Putri Kawunganten, Prabu Brawijaya dengan Putri dari Campa yang melahirkan Raden Patah (pendiri kerajaan Demak Bintoro). Penyebaran melalui jalur ini

terbukti paling efektif, dalam kepercayaan masyarakat nusantara, raja adalah titisan para dewa, adipati dan para bangsawan adalah juga memiliki trah pararaton yang kadewan, sehingga apa yang diucapkan, apa yang dilakukan dan apa yang ditetapkan menjadi hukum bagi masyarakat. Inilah yang kemudian memberi peran besar, bahwa dengan masuknya para raja dan priyayi kalangan istana ke dalam Islam, secara otomatis, masyarakat yang dipimpinnya juga masuk Islam dan secara menyeluruh kemudian makin menyebar. Pernikahan Raden Rahmat dengan Nyai Manila dari yang bukan kalangan bangsawan, kemudian tinggal di daerah Surabaya. Disana dia mempelajari system pendidikan masyarakat nusantara. Dengan demikian secara perlahan kemudian mempraktekan hal yang sama. Diawali dari pendidikan semacam padepokan, yang kemudian dikenal dengan istilah pesantren. Kemudian lambat laun muridnya makin lama makin banyak hingga banyak santrinya yang kemudian ditugaskan untuk menyebarkan Islam dikawasan pedalaman nusantara. Pesantren pertama kali berdiri ini oleh Raden Rahmat yang kemudian bergelar Sunan Ampel diberi nama Ampeldenta. Demikian halnya yang dilakukan oleh Sunan Giri di Gresik. Para santri yang telah lulus di pesantren oleh para sunan itu disebarkan diberbagai pelosok tanah air untuk mengenalkan kepada masyarakat agama mereka. Mengajak untuk masuk ke dalam agama Islam dan meninggalkan praktek peribadatan lama dengan cara yang santun serta tidak konforontatif dengan masyarkat lokal. Ada yang lebih unik dalam penyebaran Islam model ini, yakni dengan menyilangkan kebudayaan, menggunakan praktik ritus keagamaan klasik namun dikemas dalam gaya yang Islami, seperti praktek nyadran, sedekah gunung, sedekah laut, ngapati, mitoni, mitungdino dan sebagainya yang semula merupakan ritus agama Hindu, Budha dan aliran kepercayaan digeser esensinya dalam kerangka keIslaman.

Hal ini terkait juga dengan penyebaran Islam melalui jalur kesenian dan kebudayaan. Bahwa dengan proses akulturasi budaya inilah masyarakat cenderung tidak melakukan perlawanan, bahkan mengikuti secara perlahan dari inti ajaran keIslaman yang dianutnya. Sampai sekarang yang paling terkenal untuk jalur ini adalah wayang dan gamelan. Wayang menjadi proses Islamisasi yang tidak terlupakan karena terrekam dalam sejarah hingga saat ini dengan menampilkan tokoh ponakawan serta alur cerita yang digubah sedemikian rupa dari daerah asalnya. Di bidang ini Sunan Kalijaga sangat konsen, apalagi dengan kelihaiannya menjadi dalang dan menabuh gamelan. Sunan Kalijaga ketika mendalang berhasil menarik perhatian penonton, karena disamping melakukan berbagai pembaruan diberbagai sisi, termasuk pakem pewayangannya serta gubahan cerita dan babad yang sedemikian menariknya, beliau juga tidak pernah memungut upah atas pertunjukkannya itu, beliau hanya memberikan tiket masuk kepada penonton dengan mengucapkan kalimat syahadat. Cara ini sangat membekas dihati masyarakat, terutama masyarakat pedalaman yang sangat membutuhkan entertainment untuk menghibur hiruk-pikuknya kehidupan sehari-hari mereka yang berat. Terakhir, adalah melalui jalur politik, jalur ini menggunakan diplomasi dan berbagai jalur sebelumnya seperti pernikahan dan pendidikan. Melalui jalur politik, karena dalam kepercayaan public bahwa pangucap raja adalah hukum yang diyakini sebagai sabda pandhita ratu sangat bermakna di masyarakatnya. Setelah rajanya berhasil diIslamkan, maka secara otomatis masyarakat disekitarnya juga menganut Islam sesuai dengan sabda pandhita ratu. Perbedaan mendasar dari penyebaran Islam di nusantara dengan di daerah lainnya adalah, bahwa ketika penyebaran Islam

didaerah lain cenderung mudah diterima oleh masyarakat atau penguasa daerah tersebut karena berhadapan dengan pola hidup dan peradaban yang sederhana, sehingga kedatangan Islam menjadi alternative peradaban yang