Upload
buihuong
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sistem lambang yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri
(Kridalaksana, 1983:17). Bahasa itu sebagai alat komunikasi verbal yag hanya
dimiliki manusia (Chaer dan Agstina, 2014:14). Setiap individu manusia dengan
individu manusia lainnya memerlukan alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi.
Bahasa sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep,
atau perasaan (Chaer dan Agustina, 2014:14-15).
Sementara itu, bahasa sebagai alat interaksi sosial dan sebagai alat
mengidentifikasikan diri yang digunakan untuk menyampaikan pendapat, pikiran,
dan gagasan. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang
menyangkut hubungan timbal balik antara perorangan, antara kelompok manusia,
maupun antara perorangan dengan kelompok manusia dalam bentuk akomodasi
kerja sama, persaingan, dan pertikaian. Interaksi sosial tersebut bisa dalam situasi
persahabatan ataupun permusuhan (kerja sama atau konflik), bisa dengan tutur kata,
jabat tangan, bahasa isyarat, atau bahkan tanpa kontak fisik (Herimanto dan
Winarno, 2012:188-189).
Interaksi sosial tidak lepas dari persoalan hubungan bahasa dengan aspek-aspek
kemasyarakatan, seperti identitas penutur, identitas pendengar, usia, jenis kelamin,
pekerjaan, dan status sosial. Sebagai makhluk sosial, setiap orang tentu melakukan
proses interaksi dengan lingkungannya. Setiap tutur kata yang terjadi saat proses
2
interaksi berlangsung tentunya akan memiliki tujuan yang bermacam-macam, salah
satunya untuk menyampaikan perasaan atau emosi penutur. Disiplin ilmu yang
mengkaji hal tersebut adalah sosiolinguistik. Menurut Chaer dan Agustina (2014:2)
sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa
dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Salah satu
bentuk bahasa yang digunakan untuk menyampaikan perasaan penutur adalah
makian yang dalam bahasa Arab disebut syatm (Munawwir,1997:693).
Makian atau syatm merupakan salah satu jenis variasi bahasa dan salah satu
wujud dari kemampuan berbahasa lisan (tutur) yang mempunyai kesan buruk bagi
yang menuturkannya (Damanhuri, 2007:12-14). Kata makian merupakan kata keji
yang diucapkan karena marah (Moeliono, 1989:548). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia makian juga mempunyai arti yang tidak jauh dengan kata umpatan,
cercaan yang memiliki arti ‘perkataan yang keji-keji (kotor) yang diucapkan karena
marah (jengkel, kecewa)’ (Moeliono, 1989: 989).
Makian atau syatm juga ditemukan dalam karya sastra Arab. Salah satunya
seperti yang terdapat dalam novel Arḍ an-Nifāq karya Yūsuf as-Sibā‘ī (1962).
Novel Arḍ an-Nifāq karya Yūsuf as-Sibā‘ī (1962) menceritakan keadaan penulis
yang hidup di bumi kemunafikan. Bermula dari tokoh “aku” yang menemukan
sebuah kedai di Mesir yang mana, di papan nama kedai tersebut bertuliskan
“Pedagang Akhlak Grosir dan Eceran”. Hal itu membuat pikiran tokoh “aku”
dipenuhi dengan spekulasi dalam menafsirkannya. Penjual tersebut pasti seorang
yang tidak waras, seorang penipu, gila, seseorang yang mengharapkan orang bodoh
mampir untuk membeli barang dagangannya, dan tidak jelas asal mulanya. Sampai
3
akhirnya tokoh “aku” mengetahui bahwa pemilik kedai tersebut adalah seorang
kakek tua yang tinggal bersama seekor tikus bernama Syulih. Setelah perbincangan
lama antara tokoh “aku” dengan pedagang akhlak berlangsung, berujunglah pada
keputusan mencicipi barang dagangan, yaitu meminum serbuk keberanian (barang
dagangan). Setelah meminum serbuk tersebut, tokoh “aku” mengalami kejadian
yang luar biasa dari biasanya, seperti pertengkaran antara tokoh “aku” dengan Bey
(atasan tokoh “aku”) sampai pada akhirnya tokoh “aku” mengajukan proyek
kebenaran kepada sang menteri yang hasilnya ‘sang menteri meminta agar
kemampuan akal tokoh “aku” diperiksa’.
Pada sebelumnya perlu diketahui tokoh “aku” merupakan seorang yang rajin,
rendah hati, pendiam,dan tidak pernah berkelahi dengan siapapun. Pengaruh dari
serbuk keberanian yang setelah tokoh “aku” minum mengubah keadaan tokoh
“aku” dari sebelumnya. Tokoh “aku” datang dan meminta kepada pedagang akhlak
agar diberikan serbuk kepengecutan. Hal tersebut bertujuan agar tokoh “aku”
menjadi kembali normal. Namun, pada akhirnya pedagang akhlak mengatakan
kepada tokoh “aku” bahwa ia tidak memiliki serbuk penangkal dari sifat-sifat
kebaikan yang dijual dalam kedainya. Di akhir cerita digambarkan bagaimana dunia
tanpa kemunafikan. Hal tersebut terjadi, karena jatuhnya karung berisi ruh akhlak
yang telah terjatuh dan bercampur dengan air sungai Nil akibat dari perkelahian
antara tokoh “aku” dengan pedagang akhlak dalam mempertahankan karung yang
berisi ruh akhlak agar tidak sampai terjatuh ke dalam sungai Nil.
4
Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai
bentuk dan referen makian dalam novel Arḍ an-Nifāq karya Yūsuf as-Sibā‘ī (1962)
berdasarkan kajian sosiolinguistik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah bentuk dan referen makian yang terdapat dalam novel Arḍ an-
Nifāq karya Yūsuf as-Sibā‘ī (1962).
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan bentuk-bentuk dan referen makian yang terdapat dalam novel Arḍ
an-Nifāq karya Yūsuf as-Sibā‘ī (1962).
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang mengkaji makian sebelumnya pernah dilakukan oleh
Mahmudah (2006) dalam skripsi “Leksem Makian dalam Taḥta al-Miẓallah karya
Najīb Maḥfūẓ” berdasarkan Tinjauan Sosiolinguistik. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa terdapat 3 bentuk makian pada novel Taḥta al-Miẓallah
karya Najīb Maḥfūẓ, yaitu kata berupa ism, frasa yang berupa murakkab iḍāfī dan
murakkab waṣfī, serta klausa yang berupa pola doa, pola nidā’, pola jumlah
ismiyyah, pola jumlah ismiyyah dengan ḥarf taukīd dan ismiyyah manfiyyah. Selain
itu, referen leksem makian bahasa Arab yang terdapat dalam novel Taḥta al-
Miẓallah karya Najīb Maḥfūẓ ada tujuh jenis, yaitu: binatang, makhluk ga`ib,
profesi, keadaan orang, sifat, benda, etnik, dan bangsa.
5
Ridha (2009) dalam tesisnya meneliti “Makian dan Pujian dalam Ragam
ʽAmiyyah Mesir” berdasarkan Tinjauan Sosiolinguistik. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa makian dan pujian ragam ʽamiyyah Mesir banyak
menggunakan ungkapan yang leksikal yang tidak dipahami maknanya tanpa
melihat situasi yang melatar belakanginya.
Indarti (2013) meneliti makian dalam skripsinya “Makian dalam Mismāru
Juḥā” karya ‘Ali Aḥmad Bākasīr (1951)” berdasarkan Tinjauan Sosiolinguistik.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bentuk makian dalam teks drama
Mismāru Juḥā” karya ‘Ali Aḥmad Bākasīr (1951) terdapat 3 macam bentuk, yaitu
kata yang berupa ism, sedangkan makian yang berbentuk frasa berupa murakkab
iḍāfī dan frasa waṣfī, serta klausa dengan pola nidā’, ta‘ajjub serta pola doa.
Sementara itu, referen makian bahasa Arab yang terdapat dalam teks drama
Mismāru Juḥā” karya ‘Ali Aḥmad Bākasīr (1951) ada enam jenis, yaitu: keadaan,
binatang, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, dan profesi.
Sementara itu, Syahdina (2015) meneliti makian dalam skripsinya “Makian
dalam Novel Ḥabībatī min Waraq karya Nizār Abāẓah (2008)” berdasarkan
Tinjauan Sosiolinguistik. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat tiga
bentuk makian, yaitu ditemukan sebanyak 13 data makian berbentuk kata, makian
berbentuk frasa sebanyak 6 data (yang berupa frasa iḍāfī sebanyak 5 data dan
terdapat 1 data frasa waṣfī), dan makian berbentuk klausa sebanyak 9 data (yang
berupa jumlah fi‘liyyah sebanyak 7 data dan jumlah ismiyyah ditemukan sebanyak
2 data). Sementara itu, referen makian bahasa Arab yang terdapat dalam novel
6
Ḥabībatī min Waraq karya Nizār Abāẓah (2008) ada enam jenis, yaitu: keadaan,
aktivitas, hewan, makhluk halus, profesi, dan bagian tubuh.
Berdasarkan penjelasan tersebut sejauh pengamatan penulis, penelitian
mengenai makian dalam novel Arḍ an-Nifāq karya Yūsuf as-Sibā‘ī (1962) yang
ditinjau dari analisis sosiolinguistik belum dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Dengan demikian, penulis berkesempatan meneliti dalam novel Arḍ an-Nifāq karya
Yūsuf as-Sibā‘ī (1962) dengan menggunakan analisis sosiolinguistik.
1.5 Landasan Teori
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik.
Sosiologi adalah kajian objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat.
Sementara itu, linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang
ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian
sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang bersifat interdisipliner dengan
ilmu sosiologi, dan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor
sosial di dalam masyarakat tutur (Chaer dan Agustina, 2014:2-4). Setiap kegiatan
kemasyarakatan manusia, tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa
dengan kegiatan-kegiatan atau aspek kemasyarakatan.
Bahasa sebagai alat komunikasi memiliki beberapa fungsi (Chaer dan Agustina,
2014:15). Fungsi-fungsi bahasa itu antara lain, dapat dilihat dari segi penutur,
pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. Dilihat dari sudut penutur bahasa
itu merupakan (1) fungsi personalatau emotif, yaitu si penutur menyampaikan sikap
baik berupa emosi yang diungkapkan melalui bahasa, juga memperlihatkan emosi
tersebut ketika menyampaikan tuturannya terhadap apa yang dituturkannya. Dilihat
7
dari segi pendengar atau lawan bicara bahasa itu merupakan (2) fungsi direktif,
yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Bila dilihat dari segi kontak antara penutur
dan pendengar, maka bahasa berfungsi sebagai (3) fungsi fatik, yaitu menjalin
hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas
sosial. Dilihat dari segi topik bahasa itu berfungsi sebagai (4) fungsi referensial,
yaitu sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling
penutur, dan fungsi referensial inilah yang melahirkan faham tradisional bahwa
bahasa itu adalah alat untuk menyampaikan pikiran. Dilihat dari segi kode yang
digunakan, bahasa itu berfungsi sebagai (5) fungsi metalingual atau metalinguistik,
yaitu fungsi bahasa yang digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri.
Sementara itu, dilihat dari segi amanat yang akan disampaikan maka bahasa itu
berfungsi sebagai (6) fungsi imaginatif, yaitu fungsi bahasa yang digunakan untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan: baik yang sebenarnya maupun
hanya sekedar imaginasi.
Makian merupakan salah satu bagian dari fungsi personal atau emotif, yaitu
fungsi untuk menyatakan perasaan. Fungsi emotif ini merupakan salah satu fungsi
bahasa yang terpenting di samping fungsi bahasa lainnya. Fungsi emotif digunakan
untuk mengungkapkan rasa gembira, sedih, kesal, dan marah (Soeparno, 2003:6).
Berikut akan dijelaskan makian, bentuk, dan referennya.
a. Pengertian Makian (Syatm)
Menurut Allan (1986:17) via Wijana dan Rohmadi (2006:109-110), pengertian
makian adalah sebagai berikut.
“Makian adalah alat pembebasan dari segala bentuk dan situasi yang tidak
mengenakkan tersebut walaupun dengan tidak menolak adanya fakta
8
pemakaian makian yang secara pragmatis untuk mengungkapkan pujian,
keheranan, dan menciptakan suasana pembicaraan yang akrab”.
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa makian
adalah kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya (Moeliono, 1989:
548). Sehubungan dengan itulah makian dalam suatu bahasa ada ketika penutur
mengungkapkan ungkapan yang tidak mengenakkan dengan mengeluarkan kata-
kata yang menjijikkan, dan kurang pantas atau kurang sopan kepada mitra tutur.
Berdasarkan pengertian dan penjelasan tersebut dapatlah diketahui bahwa makian
adalah ungkapan kata-kata kotor dapat berupa hinaan, cercaan yang dikeluarkan
untuk menghina atau mencerca orang lain. Sementara itu, dalam makian juga
terdapat bentuk-bentuk makian dan referen makian.
b. Bentuk Makian
Menurut Wijana dan Rohmadi (2006:115), bentuk-bentuk makian ada tiga,
yaitu makian berbentuk kata, makian berbentuk frasa (kelompok kata), dan makian
berbentuk klausa. Makian berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
makian bentuk dasar dan makian bentuk jadian. Pertama, makian bentuk dasar
adalah makian yang berwujud kata-kata monomorfemik, contohnya: babi, bangsat,
setan. Kedua, makian bentuk jadian adalah makian yang berupa kata-kata
polimorfemik, contohnya: kurang ajar, sialan, bajingan, dan buaya darat.
Frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif,
gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang (Kridalaksana, 1983:46). Adapun
makian yang berbentuk klausa dalam bahasa Indonesia dibentuk dengan
menambahkan pronomina (pada umumnya) di belakang makian dari berbagai
9
referensi itu, seperti gila kamu, gila benar dia, dan setan alas kamu (Wijana dan
Rohmadi, 2006:118).
c. Referen Makian
Makian juga memiliki referen. Referen merupakan unsur luar bahasa yang
ditunjuk oleh unsur bahasa (Kridalaksana, 1983:144). Menurut Wijana dan
Rohmadi (2006:119), bentuk-bentuk referen makian sebagai berikut.
(1) Keadaan, referen ini digunakan untuk menunjukkan keadaan yang tidak
menyenangkan dan paling umum dimanfaatkan untuk mengungkapkan
makian. Terdapat tiga hal yang mungkin dihubungkan dengan keadaan yang
tidak menyenangkan pertama, keadaan mental seperti gila, sinting, tolol, dan
bodoh. Kedua, keadaan yang tidak direstui Tuhan seperti kafir, jahanam, dan
terkutuk. Ketiga, keadaan yang berhubungan dengan peristiwa yang tidak
menyenangkan yang menimpa seseorang seperti celaka, sialan, dan mampus.
(2) Binatang, referen ini digunakan untuk mengekspresikan makian secara langsung
mengacu sifat-sifat individu yang referensinya binatang sebagai pemakiannya
bersifat metaforis.
(3) Makhluk halus, referen ini digunakan penutur untuk mengekspresikan makian
terhadap mitra tutur dengan kata-kata seperti setan dan iblis (sesuatu yang tidak
dapat dilihat dengan kasat mata). Referen makhluk halus ini biasanya mengacu
kepada makhluk-makhluk yang sering mengganggu kehidupan manusia.
(4) Benda-benda, referen ini digunakan untuk memaki juga berkaitan dengan
keburukan referennya seperti bau yang tidak sedap (tahi dan tahi kucing), kotor
dan usang (gombal), dan suara yang mengganggu (memekakkan).
10
(5) Bagian tubuh, referen ini digunakan untuk mengekspresikan makian yang
berkaitan dengan anggota tubuh dan erat kaitannya dengan aktivitas seksual.
(6) Kekerabatan, referen ini digunakan untuk mengungkapkan kata-kata
kekerabatan yang mengacu pada individu yang dihormati, atau yang
mengajarkan hal-hal baik kepada generasi berikutnya. Sementara itu, untuk
mengungkapkan kejengkelan kepada mitra tutur, penutur sering menyangkut-
nyangkutkan kata-kata kekerabatan dengan menambah klitika-mu di
belakangnya seperti ayahmu, ibu, kakakmu, dan kakekmu.
(7) Aktivitas, referen ini biasanya mengacu pada aktivitas seksual.
(8) Profesi, digunakan untuk mengekspresikan kejengkelan penutur terhadap mitra
tutur biasanya mengacu pada profesi rendahan dan yang diharamkan oleh
agama seperti copet, pelacur, maling, dan perempuan jalang.
1.6 Metode Penelitian
Metode yang baik, yaitu metode yang sesuai dengan objek sasaran
pengkajiannya (Sudaryanto, 1990:7). Penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap
penyediaan data, tahap analisis data, dan yang terakhir adalah tahap penyajian hasil
analisis data (Sudaryanto, 1993:5-7).
Tahap yang pertama, yaitu penyediaan data. Pada tahap penyediaan data
digunakan metode simak atau penyimakan, yaitu metode yang digunakan dalam
penyediaan data dengan cara melakukan penyimakan penggunaan bahasa
(Sudaryanto, 1988:2). Penyediaan data ini dilakukan dengan menyimak
penggunaan makian novel Arab Arḍ an-Nifāq karya Yūsuf as-Sibā‘ī (1962).
Metode simak tersebut dilakukan melalui teknik dasar, yaitu teknik sadap sebagai
11
teknik dasarnya dan teknik catat sebagai teknik lanjutannya (Sudaryanto, 1988:2-
3). Pada tahap ini, memerlukan kartu data yang berupa kertas berukuran 10,5x16
cm digunakan untuk mencatat data yang ditemukan. Stabilo dan bulpoin berwarna
digunakan sebagai penanda. Data yang telah ditemukan kemudian dicatat.
Selanjutnya, data tersebut dianalisis dan diuraikan sesuai dengan tujuan penelitian.
Data dalam penelitian ini berwujud kalimat-kalimat yang mengandung makian
dalam novel Arḍ an-Nifāq karya Yūsuf as-Sibā‘ī (1962). Data yang telah ditemukan
selanjutnya dicatat ke dalam kartu data. Setelah itu, data dipilah dan dikelompokkan
sesuai kategorinya dan dikumpulkan menjadi sebuah populasi.
Tahap yang kedua, yaitu metode analisis data.Metode analisis data merupakan
penanganan langsung masalah yang terkandung pada data, artinya menguraikan
masalah yang bersangkutan dengan cara khas tertentu (Sudaryanto, 1993:6).
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kontekstual.
Konteks yang diperhitungkan dalam analisis data ini adalah komponen tutur,
seperti: penutur, mitra tutur, dan situasi tutur. Dell Hymes (1972 via Abdul Chaer
dan Leonie Agustina (2014:48-49), menggambarkan kelima belas unsur berbahasa
(components of speech) yang dihasilkan analisisnya dalam suatu akronim bahasa
Inggris yang tergolong dalam delapan unsur, sehingga menghasilkan speaking
dengan huruf-huruf pertamanya: S (=Setting and Scene), P (=Participants), E
(=Ends : purpose and goal), A (=Act sequences), K (=Key :tone or spirit of act),
I (=Instrumentalities), N (=Norms of interaction and interpretation), G
(=Genres).
12
Kedelapan unsur tersebut adalah pertama, S (setting and scene) berkenaan
dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene berkenaan dengan
situasi tempat dan waktu atau psikologis pembicaraan. Kedua, P (participants)
merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan seperti pembicara dan
pendengar, penyapa dan pesapa, pengirim dan penerima. Ketiga, E (ends)
merupakan maksud dan tujuan pertuturan. Keempat, A(act squences) merupakan
sesuatu yang berkenaan dengan peristiwa di mana seorang penutur sedang
melakukan pembicaraan yang mana mengacu pada bentuk dan isi ujaran. Kelima,
K (key) merupakan nada, cara, semangat di mana suatu pesan disampaikan seperti
dengan senang hati, dengan serius dengan sombong. Hal tersebut dapat ditunjukkan
dengan gerak tubuh dan isyarat. Keenam, I (intrumentalities) merupakan jalur
bahasa yang digunakan. Intrumentalities mengacu pada kode ujaran yang
digunakan seperti bahasa, dialek, dan fragam atau register. Ketujuh, N (Norms of
interaction and interpretation) mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi
dengan mitra tutur. Kedelapan, G (genre) mengacu pada jenis bentuk penyampaian,
seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.
Tahap yang terakhir, yaitu tahap penyajian hasil analisis data.Tahap penyajian
hasil analisis dataini digunakan metode informal. Metode Informal merupakan
penyajian hasil penelitian yang dirumuskan dengan menggunakan kata-kata biasa,
yaitu dengan kata-kata yang apabila dibacalangsung bisa dipahami (Sudaryanto,
1986:62). Hasil analisis data dipaparkan dalambentuk laporan penulisan.
13
1.7 Sistematika Penulisan
Penyajian hasil analisis data akan dibagi menjadi tiga bab. Bab I berisi
pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan
pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab II berisi analisis yang meliputi bentuk-
bentuk makian dalam novel Arḍ an-Nifāq karya Yūsuf as-Sibā‘ī (1962) beserta
referennya. Bab III berisi kesimpulan, yaitu menjawab permasalahan dari bab
sebelumnya.
1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Transliterasi huruf Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini diambil
dari buku pedoman transliterasi Arab-Latin yang diterbitkan berdasarkan keputusan
bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no: 158
th.1987 dan nomor 0543/b/u/1987.
1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan huruf, dalam transliterasi ini, sebagian dilambangkan dengan tanda dan
sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus.
No Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا 1
baˋ b Be ب 2
taˋ t Te ت 3
śaˋ ṡ es (dengan titik di atas) ث 4
Jim j Je ج 5
14
ḥaˋ ḥ ha (dengan titik di bawah) ح 6
khaˋ kh ka dan ha خ 7
Dal d De د 8
Źal ź zet (dengan titik di atas) ذ 9
raˋ r Er ر 10
Zai z Zet ز 11
Sin s Es س 12
Syin sy es dan ye ش 13
ṣad ṣ es (dengan titik di bawah) ص 14
ḍad ḍ de (dengan titik di bawah) ض 15
ṭaˋ ṭ te (dengan titik di bawah) ط 16
17 ẓaˋ ẓ zet (dengan titik di ظ
bawah)
ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع 18
Gain g Ge غ 19
faˋ f Ef ف 20
Qaf q Ki ق 21
Kaf k Ka ك 22
Lam l El ل 23
Mim m Em م 24
Nun n En ن 25
Waw w We و 26
haˋ h Ha ھ 27
Hamzah ˋ apostrof condong ke kiri ء 28
15
yaˋ y Ye ي 29
2. Vokal
Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal pendek, vokal panjang, dan diftong. Dalam
transliterasi, sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian lagi dengan huruf
dan tanda sekaligus.
No Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
ai : ـــي ā : ـــا a : ـــ 1
ī : ــي i : ـــ 2
au : ــو ū : ــو u : ـــ 3
Contoh: يقول –قال /qāla - yaqulu/
/khauf/ خوف
3. Tā` Marbuṭah
Tā`marbuṭah hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, atau ḍammah
transliterasinya adalah /t/, sedangkan ta ` marbuṭah mati atau mendapat harakat
sukun transliterasinya adalah /h/.
Contoh: املدينة املنورة /al-Madīnatul-Munawwarah /
/al-Madīnah al-Munawwarah /
4. Syaddah
Syaddah atau tasydīd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda syaddah atau tasydīd. Dalam transliterasinya, tanda
16
syaddah itu dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang
diberi tanda syaddah tersebut.
Contoh: رب نا / rabbanā /
5. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf
al. Kata sandang tersebut dibedakan menjadi kata sandang yang diikuti
huruf syamsiyyah dan huruf qamariyyah. Kata sandang yang diikuti huruf
syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /l/ diganti
dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata
sandang tersebut, sedangkan kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah
ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan
sesuai dengan bunyinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang
mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sempang (-).
Contoh: الرجل / ar-rajulu /
/ al-qalamu / القلم
6. Hamzah
Hamzah yang ditransliterasikan dengan apostrof hanya berlaku untuk hamzah
yang terletak di tengah dan belakang. Hamzah yang terletak di depan tidak
dilambangkan dengan apostrof karena dalam tulisan Arab berupa Alif.
Contoh: شيء / syai`un /
7. Penulisan Kata
17
Pada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata
tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan
dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka
transliterasinya, dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya,
Contoh:
ر الرازقي وإن اهلل لو خي
/ Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn / atau dengan
/ Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn /
8. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam
transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
Contoh:
رسول وما ممد إال /Wa mā Muḥammadun illā rasul/