Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
LAPORAN KEMAJUAN
HIBAH GRUP RISET UDAYANA
Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak,
dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun
Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat
Grup Riset
PRAGMATIK
TIM PENELITI NIDN
Ketua : Drs. I Ketut Tika, M.A 0031125325
Anggota :
1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 0024125407
2. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, S.S., M.Hum 0029056907
3 I Made Sena Darmasetiyawan, S.S, M.Hum 9900980508
GRUP RISET PRAGMATIK
PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
AGUSTUS 2015
Bidang Unggulan: Pariwisata, Ekonomi dan Sosial
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 520 /Ilmu Bahasa
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2
RINGKASAN .................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 6
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................. 8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 30
3
Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali,
Sasak dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik
pada Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia
Barat
Ringkasan
Umumnya, bahasa-bahasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tradisional dan adat,
agama, seni, di sekolah, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Namun, kompleksitas
kategori sosial masyarakatnya, yang meliputi stratifikasi sosial, usia, jenis kelamin, dan
seterusnya, terhubung dengan variasi dalam kode linguistik. Variasi ini kemudian
menghasilkan kategori-kategori tingkat tutur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengukur dampak dari kategori-kategori sosial (khususnya, status atau kedudukan sosial,
jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras
dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa.
Penelitian ini mengunakan metode kualitatif sebagai metode utamanya. Data primer dari
penelitian ini berupa data tertulis dan lisan. Data sekunder akan digunakan untuk
mendukung teori dasar. Metode penelitian dalam kajian ini mencakup metode
pengumpulan data dan pengolahan data. Output dari penelitian ini nantinya berupa
publikasi artikel dalam jurnal internasional dan jurnal nasional terakreditasi.
BAB I. PENDAHULUAN
Bahasa-bahasa lokal merupakan bahasa-bahasa yang dituturkan oleh
suku/kelompok-kelompok tutur di daerah-daerah berbeda di Indonesia. Menurut Blust
(1981), bahasa-bahasa lokal di Indonesia tersebut termasuk ke dalam rumpun Melayu-
Polinesia yang terdiri atas Melayu-Polinesia Barat, Melayu-Polinesia Tengah, dan Melayu
Polinesia Timur. Bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, dan Sumbawa
termasuk ke dalam Melayu-Polinesia bagian Barat. Kemudian selanjutnya, bahasa Bali,
Sasak, dan Sumbawa dikelompokkan lagi menjadi sub-kelompok dari Melayu-Polinesia
Barat (Dyen 1982, Mbete 1990).
Sebagai anggota dari satu sub-kelompok, maka bahasa-bahasa ini dikatakan
memiliki kemiripan-kemiripan baik itu yang dilihat secara fonologis, morfologis, leksikon,
atau bahkan sintaktisnya. Sehingg kemudian, pertanyaan yang muncul adalah apakah
bahasa-bahasa tersebut juga memiliki aspek-aspek sosiolinguistik yang sama atau tidak
mengingat bahasa-bahasa tersebut telah lama digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi
dalam beragam kegiatan dan situasi tutur dalam komunitas tuturnya masing-masing.
4
Melalui penelitian ini, bahasa-bahasa akan dikaji secara menyeluruh, khususnya yang
berkaitan dengan hubungan bahasa-bahasa tersebut dengan kategori-kategori sosialnya.
Umumnya, bahasa-bahasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tradisional dan adat, agama,
seni, di sekolah, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Namun, kompleksitas kategori sosial
masyarakatnya, yang meliputi stratifikasi sosial, usia, jenis kelamin, dan seterusnya,
terhubung dengan variasi dalam kode linguistik. Variasi ini lah yang kemudian
menghasilkan kategori-kategori tingkat tutur di masyarakatnya. Hal tersebut pada
kenyataannya jika dilihat berdasarkan kacamata sosiolinguistik, merupakan karakteristik
dari sebagian besar bahasa-bahasa dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat seperti bahasa
Sunda, Jawa, Madura, dan Bali (Hardjadibatra 1985, Poedjasoedama 1979, Kersten 1970,
Ward 1973, Bagus 1979, Narayana 1983, Zurbuchen 1987, Hunter 1988, dan Clynes 1989,
Suastra 2002).
Penelitian seperti ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap perkembangan teori tingkat tutur pada umumnya, dan perkembangan yang
berkaitan dengan penggunaan bahasa-bahasa yang sama dengan rumpun Melayu-Polinesia
Barat lainnya pada khususnya. Hasil dari penelitian ini akan membuktikan bahwa semua
bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat membawa kategori-
kategori tingkat tutur yang didasari atas aspek-aspek sosial yang berbeda. Penelitian
lanjutan dapat dikembangkan dengan mengambil data dari bahasa-bahasa yang tergolong
pada rumpun Melayu-Polinesia lainnya, yaitu Melayu-Polinesia Tengah dan Timur, jika
penutur dari bahasa-bahasa tersebut diasumsikan memiliki kategori-kategori sosial yang
berbeda. Penelitian ini sejatinya merupakan penelitian lapangan yang produktif untuk
perkembangan bidang sosiolinguistik ke depannya. Hal ini dikarenakan Studi Linguistik
Kebudayaan yang menjadi minat utama Program Pascasarjana Linguistik (Magister dan
Doktoral), Fakultas Sastra, Universitas Udayana ini sedang dikembangkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur seberapa besar dampak yang
ditimbulkan dari kategori-kategori sosial (khususnya status, jenis kelamin, dan umur) yang
berkembang dalam masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang
berlaku dalam penggunaan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa. Dalam kaitannya dengan
permasalahan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah:
- untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat tutur bahasa
Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat bahasa-bahasa tersebut
dituturkan
- untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori sosial yang
utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial, jenis kelamin, dan umur
yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat tutur tersebut.
- untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan struktur dari
tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda.
5
Fokus penelitian ini adalah permasalahan-permasalahan yang didasari atas dua
faktor, yaitu faktor-faktor kebahasaan dan non-kebahasaan. Sementara itu, pada
penelitian terdahulu, kajian yang dilakukan adalah kajian yang berhubungan dengan
permasalahan tentang status sosial (dari sistem kelas tradisional ke sistem kelas terbuka).
Pada penelitian ini, faktor-faktor non kebahasaan seperti jenis kelamin, umur, dan tingkat
keformalitasan juga digunakan sebagai bahan pertimbangan. Selanjutnya, untuk faktor-
faktor kebahasaannya meliputi fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan klausa yang
berhubungan dengan tingkat tutur. Sistem di atas dapat dilihat pada gambar 1. di bawah
ini.
Gambar 1.
Hubungan antara faktor kebahasaan dan non-kebahasaan dalam kajian ini
Faktor-Faktor
Kebahasaan
Faktor-Faktor Non-
Kebahasaan
Fonologi
Morfologi
Leksikon
Sintaksis
Klausa
Status Sosial
Jenis
Kelamin
Umur
Tingkat Honorifik:
Honorifik Penutur (Addressor)
Honorifik Petutur (Addressee)
Honorifik Referen (referent)
Tingkat
Kekasaran
Bentuk-Bentuk dan
Fungsi-Fungsi Tingkat
Tutur
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Istilah Tingkat Tutur pertama kali digunakan oleh Geertz (1960) untuk
mengelompokkan etika tutur masyarakat Jawa. Kemudian penggunaan istilah itu diikuti
oleh Martin (1964) dalam tulisannya tentang Tingkat Tutur pada Masyarakat Jepang dan
Korea. Martin membedakan dua tipe bentuk-bentuk honorifik dalam bahasa-bahasa
tersebut, yaitu “honorifik (penghormatan) petutur (penerima/ lawan bicara/ addressee) dan
honorifik referen”. Pembedaan tersebut kemudian diadaptasi oleh linguis lainnya, seperti
Poedjasoedarma (1979) yang mengangkat tentang masyarakat Jawa, Suharno (1980) yang
juga mengangkat hal yang sama, dan Wang (1990) pada masyarakat Korea.
Sehubungan dengan bentuk dan fungsi sosial dari tingkat tutur, Kersten (1970),
Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter (1988), Clynes (1989), dan Suastra
(2001) juga telah melakukan penelitian yang senada, tetapi dengan menggunakan
terminologi, sistem, dan model yang berbeda.
Pada penelitian ini kajian tentang pengkategorisasian dari bentuk-bentuk honorifik
yang meliputi “honorifik penutur (Sor/humble), petutur (Singgih/refine), referen (Sor dan
Singgih/humble and refine), dan bentuk-bentuk kasar” dari tingkat tutur akan diterapkan.
Bentuk-bentuk ini akan ditelaah berdasarkan dua aspek, yaitu:dari hubungan sintagmatik
dan paradigmatiknya (mengikuti kerangka kerja Errington yang menganalisis tentang
tingkat-tingkat tutur bahasa Jawa (1985: 5). Aspek paradigmatik nantinya akan
menjelaskan kata-kata alternatif yang meliputi kategorisasi dari unsur-unsur leksikalnya.
Sementara itu, hubungan sintagmatiknya akan menjelaskan kombinasi-kombinasi kata
yang digunakan untuk menyusun kalimat-kalimat pada masing-masing tingkat tutur.
Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan yang ditemukan dalam bentuk-bentuk fonologis dan
morfologis juga akan dianalisis.
Gagasan Hymes (1974) dalam karyanya tentang etnografi komunikasi yang
menjabarkan tentang “SPEAKING” (Setting/Tempat Tutur dan Scenes/Suasana Tutur,
Participants/Partisipan, End/Tujuan Tutur, Act sequence/Topik Pembicaraan, Key/Nada
Bicara, Instrumentalities/Sarana Tutur, Norms/Norma Tutur, dan Genre/Jenre) diadopsi
untuk mengevaluasi fungsi-fungsi dari tingkat-tingkat tutur. Setting dan Scene
berhubungan dengan komponen-komponen dari situasi dan tindak tutur. Setting mengacu
pada tempat dan waktu dari sebuah tindak tutur, dan scene merupakan definisi kultural
dari sebuah situasi tutur. Partisipan mengacu pada petutur atau pendengar, serta penutur
atau pembicara sebagai subjek dari komponen-komponen tutur. End/tujuan tutur
merupakan dua aspek tujuan, yaitu tujuan peristiwa tutur dalam bentuk sasaran-sasaran
yang ingin dicapai (goal), dan tujuan yang berupa hasil yang diharapkan (outcomes). Act
sequence/topik pembicaraan mengacu pada bentuk pesan dan isi pesan. Keys/nada tutur
mengacu pada ton (nada), cara, dan penjiwaan pada saat peristiwa tutur itu terjadi.
7
Instrumentalities/ sarana tutur mengacu pada saluran dan bentuk tutur. Norms/norma-
norma tutur terdiri atas norma-norma interaksi yang berhubungan dengan perilaku dan
sifat yang khusus yang melekat pada tuturan; dan norma interpretasi melibatkan sistem
kepercayaan dalam sebuah komunitas tutur. Pada akhirnya, genre/jenre menyiratkan
kemungkinan mengidentifikasi karakteristik formal dari sebuah peristiwa tutur.
PETA JALAN PENELITIAN
Kajian
Sekarang
Geertz (1960), Martin (1964), Poedjasoedarma (1979), Wang (1990) o, ,
Kersten (1970), Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter
(1988), Clynes (1989), Suastra (2001)
K
a
j
i
a
n
t
e
r
d
a
h
u
l
u
1. untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat
tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat
bahasa-bahasa tersebut dituturkan
2. untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori
sosial yang utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial,
jenis kelamin, dan umur yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat
tutur tersebut.
3. untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan
struktur dari tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda
T
u
j
u
a
n
o
u
t
p
u
t
Publikasi dalam:
1. Artikel dalam Jurnal Internasional
2. Artikel dalam Jurnal Nasional Terakreditasi
8
BAB III. METODE PENELITIAN
Kajan penelitian ini menerapkan metode kualitatif. Data primer dalam penelitian
ini adalah data tulis dan lisan, sedangkan data sekunder digunakan untuk mendukung
teori dasarnya. Metode penelitian ini dibagi menjadi dua sub-bab, yaitu pengumpulan
data, pemrosesan data, dan analisis data.
3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam kajian ini melibatkan observasi partisipasi dan teknik
elisitasi (Labov 1972b: 102-11). Observasi partisipasi diterapkan sebagai teknik dasar
dimana peneliti terlibat dan menjadi bagian dari sebuah kelompok tutur. Penelitian
seperti ini penting dilakukan guna untuk meminimalkan paradoks pengobservasi
(Labov 1972a: 10) dan untuk memperoleh tuturan spontan dari para penutur. Prosedur
teknik elisitasi bisa mengambil berbagai bentuk yang bergantung pada respon alami
yang diinginkan. Dalam penelitian ini respon lisan lebih diutamakan. Akan tetapi,
wawancara individu juga akan dilakukan guna mengumpulkan data tambahan.
Ketika penelitian sosiolinguistik dilakukan, faktor sosiologis dianggap lebih
utama dibandingkan dengan faktor geografis dan kompleksitas struktur sosial yang
membuat pengetahuan individual tentang area tersebut menjadi tidak begitu berterima
(Trudgil 1974:20). Lebih lanjut, kajian ini intinya untuk menjabarkan kategori status
sosial, jenis kelamin, dan umur di masyarakat dimana bahasa tersebut dituturkan.
Guna mengukur kelas sosial secara objektif, digunakan tiga unsur indeks dari
Labov (1972c:115), yaitu: pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Trudgill (1974:
60) membagi enam unsur indeks: pekerjaan, penghasilan, pendidikan, perumahan,
lokalitas, dan pekerjaan ayah. Chaika (1989-236) mengemukakan indeks karakteristik
status sosial (ISC) yang terdiri dari pekerjaan, pendidikan, penghasilan, dan tempat
tinggal digunakan untuk mengukur subjek status sosial. Sampai sejauh ini, status
sosial dapat diukur oleh empat unsur indeks, yaitu pekerjaan, pendidikan,
penghasilan, dan hubungan sosial. Indeksnya diadaptasikan pada situasi yang
berkembang di masyarakat baru-baru ini.
Analisis kajian ini berupa analisis kategori sosial. Faktor sosio-ekonomi
kemungkin juga penting dalam variasi bahasa yang relevan dengan penggunaan
bahasa secara potensial. Selanjutnya indikator primer informan dalam kajian ini
sebagai berikut:
A. Umur antara 15-60 tahun dan berbicara dengan normal
9
B. Laki-laki atau perempuan
C. Indeks status sosial;
1. Grup etnik asli berasal dari tempat bahasa dituturkan
2. Memiliki pekerjaan tetap di pemerintahan atau sektor swasta di daerah
sekitar.
3. Anggota dari organisasi lokal tertentu.
4. Menduduki posisi tertentu dalam pekerjaan; misalnya berkedudukan
tinggi, kedudukan menengah, atau kedudukan rendah dalam sebuah
pekerjaan.
5. Berinteraksi aktif dengan pasangan atau pasangan masa depan, orang
tua, kakak laki-laki atau perempuan dan kerabat.
6. Aktif secara sosial di masyarakat.
Dengan metode tersebut peneliti menentukan variabel dalam populasi yang
dikaji untuk memastikan individu yang dikumpulkan mewakili semua profesi, jenis
kelamin, dan umur. Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah bahasa-bahasa tersebut
dituturkan, dengan mengaplikasikan tiga variabel sosial yang ditentukan: umur, jenis
kelamin, dan status sosial. Dari ketiga variabel sosial tersebut akan ada beberapa
kelompok individu yang terdiri atas jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), posisi
pekerjaan berbeda (termasuk manajer, kepala kantor, direktur atau pegawai; pegawai
biasa seperti staf, dan pekerja terampil; dan pekerja kantor tingkat rendah atau pekerja
tidak terampil/buruh meliputi pesuruh, supir, penjaga malam, petani, nelayan dan lain-
lain), dan rentang umur antara 15 sampai 60 tahun.
Pemilihan wilayah dimulai dari menghubungkan semua aktivitas sosial dengan
grup etnis yang akan diidentifikasi. Dari grup etnis tersebut paling tidak dipilih
sepuluh tempat dalam setiap komunitas tutur. yang diseleksi secara acak, sejauh
tempat tersebut relevan dengan aktivitas sosial yang dimaksud. Data dan informasi
untuk aktivitas sosial berbeda diperoleh dari organisasi lokal. Setiap tempat yang
diseleksi akan dikunjungi untuk pertama kali untuk mendapat informasi tentang
anggota komunitas. Berdasarkan informasi tersebut, setidaknya informan (seorang
laki-laki dan seorang perempuan) akan diseleksi dari setiap tempat. Dari informan
tersebut akan ada kira-kira 40 informan sebagai informan utama (informan kunci)
secara keseluruhan. Selanjutnya, setiap informan akan digunakan sebagai terusan
untuk menghubungkan individual lain di wilayah tersebut sebagai teman. Informasi-
10
informasi terseleksi tersebut kemudian diobservasi berdasarkan beragam ranah seperti
keluarga, tetangga, pasar, dan seterusnya.
Sebelum kerja lapangan dilaksanakan, asisten peneliti akan dilatih. Mereka
merupakan mahasisswa yang peminatannya dalam pengerjaan penelitian
sosiolinguistik. Surat izin untuk masuk ke komunitas dari pemerintah lokal disiapkan
sebagai langkah primer. Dengan menggunakan surat ini peneliti akan masuk
komunitas dengan mudah.
Informan terpilih di tempat kerja akan didekati, dan setiap dari mereka akan
diberitahu tujuan dari wawancara yang dlakukan. Ketika itu disetujui, informan di
bawah investigasi akan diminta untuk memperkenalkan peneliti pada teman laki-laki
atau perempuannya di tempat kerja atau di kehidupan sosial lainnya. Mereka akan
diminta untuk berpartisipasi dalam observasi. Sekali informan ditentukan, mereka
akan diminta untuk mengisi kuesioner memfokuskan latar belakang pribadi mereka,
aktivitas-aktivitas sosial, dan kecenderungan berbahasa. Kuesioner menanyai
informan untuk mengindikasikan bahasa apa dan bagaimana mereka berbicara pada
orang-orang dekat, yang mereka hargai, dan yang mereka marahi. Ini memungkinkan
kita memperoleh dampak komposisi linguistik informan dan untuk memungkinkan
pemerolehan informasi informan yang informan dengan latar belakang sosial beragam
akan paling bisa menggunakan bahasa secara tepat. Setelah subjek-subjek yang
dibutuhkan dipilih, peneliti menyediakan kuesioner yang akan mengambil waktu kira-
kira satu bulan untuk dikumpulkan. Peneliti menjadwalkan para informan untuk
wawancara berdasarkan pilihan mereka (instrumen penelitian akan dirancang di
kemudian hari). Semua wawancara berupa wawancara grup. Percakapan grup, yang
terdiri dari minimal dua dan maksimum lima informan akan dilakukan antara di
tempat kerja mereka atau di tempat lain. Semua grup percakapan akan direkam dan
divideokan menggunakan media elektronik radio kaset perekam stereo Sony dan
perekam video-cam Sony. Fungsi peneliti di sini sebagian besar menjadi inisiator dan
monitor. Para informan sendiri melanjutkan percakapan dan peneliti aktif mencatat,
merekam, dan terlibat dalam percakapan seperlunya.
Tujuan umum penelitian ini adalah mengumpulkan rekaman tuturan alami
walaupun dengan kehadiran mikrofon, video-cam, dan peneliti partisipan akan
berbicara bahasa lokal. Demi meraih objektivitas, peneliti perlu bertindak seolah-olah
peneliti sebagai anggota masyarakat yang terlibat di wilayah tersebut. Orang yang
terpilih sebagai partisipan mengerti tujuan penelitian ini dan perilaku objektif peneliti
11
terhadap bahasa. Secara khusus, para informan dapat mengerti bahwa peneliti
khususnya tidak menginginkan mereka berbicara dalam “bahasa tepat atau standar”.
Demi meminimalkan efek paradoks pengobservasi (Labov, 1972), informan didorong
untuk berbicara satu sama lain daripada pada peneliti, dan untuk berbicara
senaturalnya. Observasi dilaksanakan di ranah berbeda. Janji dengan informan dibuat
untuk mengamati pembawaan mereka pada percakapan dalam ranah tertentu. Oleh
karena wilayah penelitiannya di komunitas berbeda (Sasak dan Sumbawa), kategori
sosial tiap komunitas juga berbeda. Oleh sebab itu, metode akan dimodifikasi menurut
kepentingan sesuai dengan situasi dalam komunitas tutur masing-masing
3.2 Pemrosesan data
Keseluruhan sumber data dalam kajian ini adalah bahasa lisan. Bahan yang telah
terekam akan diseleksi untuk membentuk data korpus. Setiap rekaman memiliki
durasi kira-kira 35 sampai 50 menit. 10 menit pertama dalam percakapan tidak akan
ditinjau karena diyakini tuturan spontan dengan kehadiran mikrofon tidak
memungkinkan di percakapan awal. Kemudian, sisa rekaman tersebut ditanskrrip.
Konvensi transkripsi diadaptasi dari Edward (1993:43). Kalimat atau klausa dari
pembicara individual berbeda diklasifikasikan dan dihitung berdasarkan tingkatan-
tingkatan tutur.
Untuk mempermudah pengkategorian faktor linguistik pada data, program khusus
untuk analisis teks akan digunakan dan sistem pengkodean akan diterapkan. Sistem
pengkodean meliputi prosedur pemilahan dalam kata atau program pemrosesan klausa
dan program persetujuan untuk menghitung dan menandai data linguistik dalam level
tertentu dan untuk mengelompokkan bersama semua aspek linguistik berbeda dari
tiper tertentu untuk klasifikasi dsn analisis lebih jauh.
3.3. Analisis Data
Pada dasarnya, korpus data dianalisis di level individual lalu data dikelompokkan
berdasarkan karakteristik penutur seperti jenis kelamin, umur, dan status sosial. Grup
ditentukan pada dasar analisis level individual. Unit data dalam level grup
menunjukkan perbedaan perilaku verbal diukur oleh tingkat tutur. Unsur-unsur
linguistik akan dianalisis dengan ketentuan level paradigmatik dan sintagmatik.
Kemudian hubungan antara tiap level akan dikorelasikan ke status, jenis kelamin, dan
umur.
12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Formulasi Tingkat-Tingkatan Bahasa Bali
Bahasa Bali merefleksikan suatu tenunan budaya yang kompleks akibat
akulturasi budaya yang pernah mewarnai Bali dalam lintasan sejarah. Kompleksitas
itu salah satunya dapat dilihat dari tingkat-tingkatan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Bali dalam suatu tuturan. Tingkat-tingkatan bahasa (speech level) dalam
bahasa Bali dipadankan dengan beberapa istilah oleh para peneliti. Istilah-istilah
tersebut di antaranya warna-warna bahasa (Kersten, 1970), mabasa, masor-singgih
basa (Bagus, 1977; Tinggen, 1986; Suarjana, 2010), unda usuk (Bagus, 1979), rasa
basa bahasa Bali (Suasta, 2003) dan anggah-ungguhing basa Bali (Naryana, 1983:
30). Istilah warna-warna bahasa digunakan oleh Kersten (1970:3) untuk menyatakan
perilaku berbahasa masyarakat Bali pada saat berbicara kepada seseorang maupun
membicarakan seseorang dengan ragam bahasa yang diklasifikasikannya menjadi
basa kasar, basa alus, basa singgih, dan basa ipun. Pemakaian ragam bahasa ini
ditentukan oleh stratifikasi sosial masyarakat Bali yang disebutnya sebagai
masyarakat golongan atas dan golongan bawah (Kersten, 1970: 4).
Sementara itu, Bagus (1977) menggunakan istilah mabasa maupun masor-
singgih basa untuk menyatakan norma sopan santun berbahasa (speech level) dalam
masyarakat Bali. Istilah mabasa secara lebih spesifik diartikan cara berbahasa sesuai
dengan sistem budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali (1977: 91).
Norma sopan santun ini secara garis besarnya dapat dikatakan bahwa ada sopan
santun berbahasa yang mengatur tingkat-tingkat bicara sesuai dengan wangsa-nya,
yaitu dalam hal ini orang yang berwangsa tri wangsa akan memperoleh bentuk
hormat (halus), sedangkan sebaliknya seorang yang berasal dari golongan jaba akan
mendapatkan bentuk lepas hormat (kasar). Sehubungan dengan pemakaian bentuk
lepas hormat ini, bukanlah bermaksud menggunakan bahasa yang kasar atau kurang
sopan, melainkan suatu cara orang berbahasa yang wajar, asal pemakaiannya
disesuaikan dengan status orang bersangkutan (Kersten, 1970: 91).
Istilah rasa basa basa Bali digunakan oleh Suasta (2006) untuk menyatakan
pentingnya penguasaan kaidah anggah-ungguhing basa Bali dalam menggunakan
bahasa Bali. Penggunaan istilah ini didasarkan atas kenyataan bahwa dalam berbicara
menggunakan anggah-ungguhing basa Bali secara tepat, seseorang dapat memilih
kosakata bahasa Bali yang telah mengandung nilai rasa sosial (2003: 11). Suasta
13
(2003) lebih lanjut mengatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan dasar penggunaan
sistem berbahasa ini. Pada masa lalu, stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai
dengan adanya tingkat-tingkatan sosial berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan,
dan keahlian. Pelapisan masyarakat suku Bali yang telah mengendap dalam adat
adalah pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keturunan, senioritas,
kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keahlian
belum mengendap. Berdasarkan keturunan, menyebabkan terjadinya golongan
masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat kebanyakan. Berdasarkan senioritas
menyebabkan terjadinya golongan masyarakat suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam
ranah adat, dan golongan masyarakat suku Bali yang muda dalam pengalaman.
Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan munculnya golongan penguasa dan golongan
masyarakat. Pembedaan berdasarkan keahlian menyebabkan adanya golongan
masyarakat suku Bali yang memiliki keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian
tertentu.
Pada masyarakat Bali Aga, lebih dominan struktur sosialnya dipengaruhi oleh
senioritas. Sementara itu, masyarakat Bali dataran lebih dipengaruhi oleh unsur
pembeda yang berdasarkan keturunan. Pelapisan masyarakat suku Bali Aga tidak
begitu mempengaruhi bahasa yang digunakan sebagai alat berkomunikasi. Berbeda
dengan masyarakat Bali dataran yang pelapisan sosial masyarakatnya dipengaruhi
oleh keturunan yang sangat dominan mempengaruhi pemakaian bahasanya, sampai
menyebabkan terjadinya anggah-ungguhing basa Bali (Suasta, 2006 : 10). Stratifikasi
masyarakat suku Bali modern pada dasarnya juga berasal dari suku Bali Tradisional
yang menganut sistem budaya Hindhu dalam bentuk kerajaan yang mengalami
perubahan penghargaan, karena perkembangan zaman. Namun demikian, pelapisan
masyarakat suku Bali yang berdasarkan atas keturunan atau wangsa masih tetap ada,
yang mengendap dalam adat masyarakat suku Bali. Kemajuan zaman mengakibatkan
adanya perubahan yang mempengaruhi keadaan stratifikasi masyarakat suku Bali
yang berdasarkan pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan
golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat. Hal
inilah yang menjadi faktor penyebab munculnya sistem kesantunan berbahasa yang
disebutnya rasa basa basa Bali.
Perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebutkan realitas penggunaan
bahasa Bali dalam kehidupan masyarakat Bali itu sempat dibicarakan dalam
Pesamuhan Agung Bahasa di Singaraja tahun 1974. Pesamuhan Agung yang agenda
14
utamanya membahas tentang pembakuan bahasa Bali saat itu menyepakati istilah
anggah-ungguhing basa Bali sebagai istilah baku untuk menyebutkan tingkat-
tingkatan bahasa Bali. Secara leksikal, anggah-ungguh artinya tata cara. Sementara
itu, anggah-ungguhing basa Bali adalah tata cara berbahasa masyarakat Bali yang
diikat oleh oleh adanya tingkat-tingkatan bahasa.
Penggunaan tingkat-tingkatan bahasa dalam kehidupan masyarakat Bali
seperti yang telah disinggung di atas disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial
masyarakat Bali sebagai penutur bahasa Bali. Stratifikasi sosial ini pada umumnya
dibedakan menjadi dua yaitu secara tradisional dan modern. Secara tradisional, yang
dimasukkan sebagai golongan atas adalah orang-orang yang berstatus tri wangsa
(Brahmana, Wesia, dan Sudra). Sementara itu, yang dimasukkan dalam golongan
bawah adalah wangsa jaba. Apabila ditinjau secara modern, pembagian stratifikasi
masyarakat Bali yang dapat digolongkan dalam golongan atas adalah wangsa tri
wangsa dan jaba. Sedangkan golongan bawah juga terdiri atas tri wangsa dan jaba.
Maksudnya, secara modern kedua golongan masyarakat baik tri wangsa maupun jaba
memiliki peluang yang sama untuk menempati golongan atas maupun golongan
bawah. Dengan demikian, status sosial seseorang diklasifikasikan secara prgamatis
(tidak semata-mata karena kelahiran atau keturunan, tetapi juga karena jabatan atau
kedudukan, finansial dan yang lainnya) (Suarjana, 2011: 86).
Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat digambakan dalam skema berikut ini:
1. Secara Tradisional : A Golongan atas (Tri Wangsa)
B Golongan bawah (Wangsa Jaba)
2. Secara Modern : A Golongan Atas (Tri Wangsa + Jaba)
B Golongan Bawah (Tri Wangsa + Jaba)
Penggunaan bahasa Bali yang mengenai sor-singgih-nya ini, agar sesuai
dengan kosep tuturannya dapat ditempuh dengan jalan bertanya terlebih dahulu
kepada lawan bicara untuk mengetahui status sosialnya, apakah sebagai lawan bicara
yang patut di singgih-kan atau tidak. Caranya adalah dengan menggunakan kalimat
tanya seperti ini: “Nawegang titiang nunasang antuk linggih?” yang secara bebas
artinya “Maaf saya ingin mengenal identitas Anda”, atau dengan menanyakan
langsung indik pagenahan “tentang rumah atau tempat tinggal (masudnya di griya, di
puri, di jero)” dan swakaryannyane (pekerjaannya). Di samping dengan menanyakan
identitas di atas, konsep yang secara konvensional tidak dapat dilanggar dalam tuturan
15
bahasa Bali adalah penggunaan bahasa alus sor apabila seseorang menjadi penutur
pertama dalam suatu dialog. Hal ini berlaku untuk semua golongan baik tri wangsa
maupun jaba. Dengan demikian, tidak terjadi fenomena penggunaan bahasa untuk
menghaluskan diri sendiri atau ngalusang raga (Suarjana, 2011: 87).
Penggunaan bahasa Bali dalam suatu tuturan dapat diformulasikan secara
garis besar menjadi empat yaitu.
1. Jika pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak bicara (O2), dan
yang dibicarakan (O3) semuanya termasuk dalam golongan bawah. Maka,
bahasa yang digunakan oleh O1 kepada O2 tentang O3 adalah basa Bali
Andap. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
A
B
O1 O2
O3
Keterangan Gambar.
A : Golongan Atas
B : Golongan Bawah
O1 : Orang Pertama
O2 : Orang Kedua
O3 : Orang yang Dibicarakan
Komunikasi antargolongan bawah yang juga membicarakan seseorang dari
golongan bawah itu dapat ditemukan dalam beberapa contoh kalimat berikut.
1. Bapan icange liu ngelah pangina, jani suba mataluh
„Ayah saya banyak mempunyai ayam betina, sekarang sudah bertelur‟
2. Yan saja iluh demen teken beli, beli suba ngorahang teken reraman beline
jumah.
„Jika engkau memang benar-benar mencintaiku, aku sudah mengatakan
kepada orang tuaku di rumah‟
2. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara pada
orang kedua (O2) dan yang dibicarakan atau orang ke (O3) dari golongan atas,
maka bahasa yang digunakan oleh orang pertama kepada orang kedua itu adalah
16
bahasa alus singgih. Sementara itu, apabila orang pertama tersebut membicaraka
tentang dirinya, maka ia menggunakan bahasa alus sor. Hal itu dpat digambarkan
seperti berikut.
O2
A O3
B O1
Keterangan Gambar.
A : Golongan Atas
B : Golongan Bawa
O1 : Orang Pertama
O2 : Orang Kedua
O3 : Orang yang Dibicarakan
Komunikasi antara golongan bawah dengan golongan atas yang
membicarakan golongan atas tersebut dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah
ini.
1. Ida Ayu Priya sampun ngranjing ring kapale.
„Ida Ayu Priya sudah naik ke atas kapal‟
2. Okan Idane taler nyarengin makta anaman.
„Anaknya juga ikut membawa ketupat‟
(3) Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara
dengan orang kedua dari golongan atas (O2), dan yang dibicarakan dari golongan
bawah (O3), maka bahasa yang digunakan orang pertama saat berbicara pada
orang kedua adalah bahasa alus singgih. Sedangkan yang mengenai orang
pertama dengan orang ketiga menggunakan bahasa alus sor. Hal itu, dapat
digambarkan seperti berikut.
O2
A
B O1 O3
17
Keterangan Gambar.
A : Golongan Atas
B : Golongan Bawa
O1 : Orang Pertama
O2 : Orang Kedua
O3 : Orang yang Dibicarakan
Komunikasi antara golongan bawah dengan golongan atas, yang membicarakan
golongan bawah itu dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.
1. Titiang pajarina tangkil olih ipun dibi sande.
„Saya disuruh datang olehnya kemarin malam‟
2. Bantenge sampun wehin ipun neda, durusang ratu nyuryanin mangkin.
„Sapi itu sudah diberikannya makan, silakan Anda melihatnya sekarang‟
4. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah berbicara pada
orang kedua (O2) yang juga berasal dari golongan bawah, sedangkan yang
dibicarakan adalah orang ketiga (O3) yang berasal dari golongan atas, maka bahasa
yang digunakan orang pertama ketika berkomunikasi dengan orang kedua
menggunakan bahasa andap. Sedangkan, bahasa yang mengenai orang ketiga
menggunakan bahasa alus singgih. Sementara itu, bahasa mengenai pembicara
pertama dengan kedua menggunakan bahasa alus sor. Hal ini dapat digambarkan
sebagai berikut.
O3
A
B O1 O2
Keterangan Gambar.
A : Golongan Atas
B : Golongan Bawa
O1 : Orang Pertama
18
O2 : Orang Kedua
O3 : Orang yang Dibicarakan
Komunikasi antara golongan bawah dengan glongan bawah yang mengenai
golongan atas itu dapat dilihat dalam beberapa contoh di bawah ini.
1. Apake jani Luh suba nawang, indik Ida jagi makerabkambe?‟
„Apakah sekarang Luh sudah tahu, tentang beliau yang aka menikah?‟
2. Sotaning dadi parekan, icang ajak cai sing dadi nulak pikayunan ida.
„Kewajiban setiap abdi, seperti aku dan kami tidak boleh menolah keinginan
beliau.
Pola komunikasi antargolongan di atas menyebabkan bagian-bagian dari
bahasa yang digunakan oleh penutur dalam konteks tertentu menjadi berbeda-beda.
Istilah yang digunakan para peneliti mengenai pembagian anggah-ungguhing basa
Bali juga tidak sama satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu pada umumnya
mempertentangkan dikotomi bahasa halus dan bahasa kasar dengan berbagai macam
sebutan. Bagus (2009) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yaitu
(1) bahasa kasar, (2) bahasa madia, (3) bahasa halus. Tinggen membagi jenis anggah-
ungguhing basa Bali menjadi tiga (1) basa kasar, (2) basa kepara (basa biasa, basa
lumbrah, basa biasa), dan (3) basa halus. Dinas Pengajaran Daerah Provinsi Bali
membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yakni (1) basa kepara (basa
lumbrah), (2) basa madia, dan (3) basa singgih. Kersten membagi jenis anggah-
ungguhing basa Bali menjadi (1) basa kasar, (2) basa halus, (3) basa singgih (4) basa
ipun (5) basa madia. Naryana (1983) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali
menjadi (1) basa kasar, (2) basa andap, (3) basa madia dan (4) basa alus.
Pembagian anggah-ungguhing basa Bali yang diikuti dalam tulisan ini adalah
pembagian dari Naryana (1983). Pemilihan pembagian menurut Naryana didasarkan
atas pertimbangan bahwa pembagian itu lebih tegas memberikan batasan terhadap
bahasa andap dengan bahasa kasar. Oleh sebab itulah, uraian mengenai pembagian
sistem anggah-ungguhing basa Bali dalam tulisan ini sebagian besar merujuk pada
pandangannya. Adapun pembagian tersebut secara lebih rinci dijelaskan sebagai
berikut.
19
1. Basa Kasar
Basa kasar adalah tingkatan bahasa Bali yang memiliki rasa bahasa paling
rendah. Bahasa kasar ini dibedakan menjadi dua yakni basa kasar pisan dan basa
kasar jabag, yang masing-masing akan diuraikan di bawah ini.
a. Basa Kasar Pisan
Basa kasar pisan adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tergolong
tidak sopan, yang sering digunakan dalam situasi emosional, jengkel, marah, dengki,
dan caci maki. Basa kasar ini dibentuk dari basa andap yang disertai dengan intonasi
tertentu (biasanya tajam dan keras). Dalam keadaan yang emosional ragam bahasa ini
dapat dikenakan pada siapa saja, termasuk tri wangsa. Adapun beberapa contoh basa
kasar pisan ini dapat dilihat di bawah ini.
1. Cicing iba, ngaleklek gen mai.
„Anjing engkau, makan saja kesini‟
2. Madak apang bangka polone, mula jelema amah temah.
„Semoga kamu mampus, dasar manusia terkutuk‟
Bahasa kasar pisan ini tidak hanya digunakan pada situasi marah, kesal, dan
yang lainnya saja, tetapi digunakan juga pada saat basa basi dalam hubungan yang
sangat erat. Dengan demikian, rasa bahasa yang ditimbulkan sangat disesuaikan
dengan konteks situasinya.
b. Basa Kasar Jabag
Basa kasar jabag adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tidak sesuai
dengan etika dan situasi pembicaraan. Artinya, kata-kata dalam bahasa yang
digunakan itu tidak mengindahkan tingkat-tingkatan yang ada dalam bahasa Bali,
kadangkala melampau etika pembicaraan. Ragam bahasa ini dianggap tidak sopan dan
kurang wajar, serta seringkali dinilai salah sasaran. Motivasi penggunaan bahasa ini
tidak semata-mata karena penguasaan anggah-ungguh basa yang tidak baik,
melainkan terkadang ingin menunjukkan keangkuhan, kelebihan, dan keakrabannya.
Misalnya :
1. Dayu ngaba apa ento? baang ja ngidih abesik.
„Dayu membawa apa itu? berikan saya satu‟
2. Gung yen payu pesu, beliang icang roko akatih.
„Gung kalau jadi keluar, belikan aku rokok sebatang‟
20
2. Basa Andap
Basa andap adalah tingkatan bahasa Bali yang digunakan dalam suasana
bersahaja (dalam pergaulan yang akrab dan sopan) sehingga sering disebut basa Bali
Lumbrah atau Kepara. Bahasa Bali sebagai bahasa sopan digunakan dalam pergaulan
yang sifatnya akrab, misalnya sesama wangsa, sama kedudukan, sama umur, sama
pendidikan, sama jabatan, bahasa kekeluargaan. Bahasa ini juga seringkali digunakan
sebagai bahasa nyeburin ketika wangsa dari golongan yang lebih tinggi kepada
golongan yang lebih rendah. Misalnya antara raja dengan abdinya, orang tua dengan
anak-anaknya, guru dengan muridnya, atasan dengan bawahan, dan yang lainnya.
Adapun contoh penggunaan basa andap ini di antaranya.
1. Dija Gus uli tuni meplalianan, paling aji ngalihin.
„Kemana Gus dari tadi bermain, bingung ayah mencari.
2. Kemu ke warung Luh, beliang bapa roko akatih.
„Kesanalah ke warung Luh, belikan ayah sebatang rokok.
3. Basa Madia
Basa madia adalah tingkatan bahasa Bali yang tergolong menengah, yang nilai
rasa bahasanya berada di antara bahasa Bali andap dan bahasa Bali alus. Artinya
konotasi bahasa madia tidak terlalu halus dan tidak terlalu kasar. Dalam praktiknya,
bahasa ini tidaklah terlalu hormat, dan biasanya ditandai dengan kata-kata yang
tergolong madia. Kata-kata madia akan membentuk kalimat madia. Semakin banyak
unsur andapnya, maka bahasa ragam ini akan cenderung lebih rendahlah konotasinya.
Demikian pula sebaliknya, apabila semakin banyak mengandung unsur bahasa alus,
maka akan semakin tinggi kesantunannya. Bahasa madia biasanya digunakan apabila
wangsa atau status sosial seseorang lebih tinggi berbicara pada orang yang status
sosialnya lebih rendah, tetapi umurnya lebih tua atau lebih disegani karena menempati
kedudukan tertentu dalam masyarakat atau instansi pemerintahan. Contoh penggunaan
bahasa madia dapat dilihat di bawah ini.
1. Tiang ampun rauh, duk i ratu kantun mesiram.
‘Saya sudah datang ketika anda masih mandi.‟
2. Durusang mangkin ngajeng.
„Silakan makan sekarang‟
21
4. Basa Alus
Basa alus adalah tingkatan bahasa Bali yang mempunyai nilai rasa bahasa
yang tinggi atau sangat hormat. Bahasa ini biasanya digunakan dalam situasi resmi
(seperti rapat, pertemuan, sarasehan, seminar, acara adat, agama, kesenian dan yang
lain sebagainya). Bahasa halus dapat dibagi menjadi tiga yakni bahasa alus sor,
bahasa alus mider, dan bahasa alus singgih.
a. Alus Sor
Bahasa alus sor adalah tingkatan bahasa Bali alus atau bentuk hormat
mengenai diri sendiri atau digunakan untuk merendahkan diri sendiri dan juga untuk
orang lain atau objek yang dibicarakan yang status sosialnya lebih rendah. Misalnya.
1. Titiang sampung mapajar ring pianak ipune
„Saya sudah dapat menyampaikan pada anaknya‟
2. Benjang semeng ipun jagi tangkil meriki.
„Besok pagi dia akan kesini‟
b. Alus Mider
Bahasa alus mider adalah tingkatan bahasa Bali alus yang memiliki nilai rasa
yang sangat hormat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi pada golongan bawah
maupun golongan atas. Bahasa ini dalam percakapan sehari-hari dapat digunakan
untuk diri sendiri, lawan bicara, maupun orang ketiga. Misalnya:
1. Titiang nenten maderbe jinah, i ratu akeh madue jinah.
„Saya tidak memiliki uang, anda banyak mempunyai uang‟
2. Ipun makta asiki, Ida makta kalih.
„Dia membawa satu, Beliau membawa dua‟
c. Alus Singgih
Bahasa alus singgih adalah tingkatan bahasa dalam bahasa Bali yang memiliki
nilai rasa tinggi dan hormat. Bahasa alus singgih dapat digunakan pada pembicara
untuk menghormati orang yang patut dimuliakan, maupun lawan bicara, atau orang
yang dibicarakan. Misalnya :
1. Dayu Biang akuda sampun madue oka?
„Dayu Biang sudah berapa mempunyai anak?
2. I Ratu kayun ngrayunang ulam bawi ?
„Anda ingin makan daging babi?‟
22
5. Basa Mider
Basa Mider adalah kata-kata dalam bahasa Bali yang tidak memiliki tingkat-
tingkatan rasa bahasa, sehingga bahasa ini dapat digunakan oleh golongan mana saja.
Misalnya :
1. Kija beli ituni, paling icang ngalih.
„Kemana kakak tadi, bingung saya mencari‟
2. Da bas makelo nyongkok, semutan batise.
„Jangan lama jongkok, nanti kesemutan kakinya‟
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, stratifikasi sosial di Bali menyebabkan
adanya penggunaan tingkatan-tingkatan Bahasa Bali. Berikut merupakan percakapan
bahasa Bali oleh komunitas tutur bahasa Bali dataran yang masih erat kaitannya
dengan pelapisan sosial masyarakat berdasarkan keturunan Wangsa sehingga
penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali sangat kental. Menurut data lapangan
yang telah dikumpulkan, penggunaan bahasa masyarakat Bali tetap dipengaruhi
stratifikasi sosial, tetapi mengalami perkembangan khususnya perilaku verbal penutur
terhadap petutur dengan kecenderungan bertolak pada stratifikasi modern yaitu
stratifikasi sosial terdiri atas golongan atas (Triwangsa+Jaba) dan golongan bawah
(Tri Wangsa+Jaba). Komunikasi etnografi SPEAKING (Setting and Scenes,
Participants, End, Act Sequence, Key, Instrumentalities, Norms, and Genre) yang
dikemukakan Hymes (1974) membantu menjelaskan fungsi penggunaaan tingkatan-
tingkatan bahasa Bali. Tingkatan-tingkatan bahasa Bali semakin terlihat dalam tataran
kalimat yang mengandung unsur-unsur pendukung lain untuk menentukan bentuk
Berikut percakapan yang menunjukkan penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali
berdasarkan ranah keluarga, tetangga, kantor pasar, dan agama.
1. Ranah Keluarga
Ranah keluarga dibatasi dari latarnya yaitu percakapan keluarga dengan latar
rumah, sehingga dapat dipastikan contoh percakapan ini diketahui latar tempatnya
dengan pasti yaitu di rumah. Tingkatan-tingkatan bahasa Bali oleh masyarakat Bali
dalam ranah keluarga umumnya ditemukan penggunaan basa Bali andap yang sering
disebut basa Bali kepara lebih banyak, tetapi kondisi-kondisi tertentu yang
mendorong penutur dan petutur menggunakan basa Madya yang menunjukkan rasa
bahasa yang ada di tengah di antara biasa dan alus.
23
L: Uli dije busan, Luh?
„darimana tadi, Luh?‟
P: ne ngateh adi, li sepatu, Po Nik
„ini, mengantar adik beli sepatu, Po Nik‟ (1)
Percakapan (1) adalah percakapan beda usia antara laki-laki yang lebih tua
daripada perempuan tetapi keduanya memiliki status sosial yang sama. Penggunaan
bahasa yang digunakan adalah basa kepara yang biasa digunakan dalam suasana
bersahaja. Panggilan Luh merupakan panggilan anak perempuan di Bali dengan status
sosial Jaba yang juga memiliki suasana bersahaja serta menunjukkan keakraban,
sedangkan Po Nik merupakan panggilan yang bermakna literal „bapa cenik‟ panggilan
khusus untuk paman bungsu dengan status sosial yang sama yaitu Jaba.
P: Om Swastyastu, mriki ngajeng dumun Dewa Man, Jero twn sareng?
„Om Swastyastu, sini makan dulu, Dewa Man. Jero ga ikut‟
L:Om Swastyastu, tyang sampun Mek Yan, ten Ibu ten sareng.
„Om Swastyastu. Saya sudah makan, Mek Yan. Tidak Ibu tidak ikut‟ (2)
Percakapan (2) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki berbeda usia
dan berbeda status sosial. Perempuan memiliki usia yang lebih tua dari laki-laki,
tetapi sebaliknya, status sosial wrga brjenis kelamin laki-laki ini memiki status sosial
yang lebih tinggi dari perempuan tersebut sebagai lawan bicaranya. Dalam
percakapan ini penutur dan petutur menggunakan basa alus madya karena kedudukan
status sosial petutur (Laki-laki) lebih tinggi walaupun memiliki usia yang lebih muda
daripada penutur. Fenomena ini banyak ditemyukan akhir-akhir ini dii ranah keluarga
karena banyaknya pernikahan antara Tri Wangsa dan Jaba terjadi sehingga pihak
Jaba yang biasanya perempuan memiliki panggilan Jero sebagai penanda bahwa
status sosialnya sudah naik lebih tinggi di masyarakat.
2. Ranah Tetangga
Ranah tetangga juga dibatasi seperti ranah keluarga dengan membatasi latar dan
topik percakapan, percakapan ranah tetangga berlangsung di rumah tetangga dengan
percakapan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan ranah pasar dan keagamaan.
Berikut contoh percakapan yang diambil di lapangan.
L1: mangkin sampun memenjor, Pak Kelian?
„sekarang sudah membuat penjor, Pak Kelian?‟
L2: nggih, ngemalunin gis Man
„ya. Mendahului sedikit Man‟ (3)
24
Percakapan (3) adalah percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang bertetangga
memiliki usia dan status sosial yang berbeda. Penutur yang memiliki status sosial
lebih rendah dari petutur menggunakan basa alus madia yang menunjukkan adanya
suasana bersahaja dan rasa hormat penutur kepada petutur sebagai orang yang
kedudukan lebih tinggi di masyarakat sebagai perangkat dusun. Percakapan tersebut
dalam situasi normal tanpa melibatkan emosional keduanya sehingga bahasa yang
digunakan adalah basa madia.
L1: liu sajan ngutang di warung, dije Kae Rik? Oke gedeg
„banyak sekali berhutang di warung, dimana Kamu Rik? aku gedeg‟
L2: adi bani ngojog umah Kae? Pesu!
„kok berani-beraninya mendatangi rumahku?‟ (4)
Percakapan (4) merupakan percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang
memiliki usia dan status sosial sama. Keadaan kedua laki-laki tersebut sedang marah
sehingga menggunakan basa kasar yang ditegaskan dengan panggilan Oke „aku‟ pada
dirinya sendiri dan kae „kamu‟ pada lawan bicaranya.
3. Ranah Kantor
Latar ranah kantor yaitu di kantor dengan topik pembicaraan yang berkaitan
dengan kantor seperti administratif, kegiatan di kantor tanpa menyentuh topik jual beli
di pasar dan keagamaan. Ranah kantor yang lebih luas dari ranah keluarga dan
tetangga membuat penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali lebih intensif
penggunaannya serta bahasa semakin halus menyesuaikan rasa bahasa yang sarat akan
rasa hormat dan penghargaan kepada lawan bicara.
P: semengan be ngopi pegawai ne
„pagi-pagi sudah ngopi pegawai ini‟
L: mriki sareng Bu Bos, ijin jebos
„mari ikut Bu Bos, ijin sebentar‟ (5)
Percakapan (5) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki yang memiliki
kedudukan yang berbeda dalam pekerjaan. Keduanya berjenis kelamin yang berbeda
tetapi terlihat pada percakapan tersebut petutur (pembicara laki-laki) menggunakan
basa madia kepada penutur karena kedudukan pembicara perempuan lebih tinggi
dalam pekerjaan. Percakapan di aas menunjukkan situasi normal.
25
4. Ranah Pasar
Latar ranah pasar adalah di pasar dengan topik pembicaraan yang berkaitan
dengan pasar seperti pengiriman barang dagangan, jual beli, harga barang yang naik
turun dan obrolan seputar kegiatan antarpedagang. Pada ranah ini lebih banyak
ditemukan penggunaan basa kepara dan madia karena situasinya juga situasi
informal.
P1: Mriki belinin tysng Geg, mare teka cekalang ne gede-gede bin
„sini berbelanjalah pada saya Geg, ikan cakalangnya baru saja datang, besar
besar lagi‟
P2: kude a kilo, Bu?
„berapa sekilo Bu?‟ (6)
Percakapan (6) adalah percakapan antara pedagang dan pembeli yang sama-sama
perempuan tetapi berbeda usia. Dalam percakapan di atas, pedagang yang berumur
lebih tua menggunakan basa madia pada awal tuturannya pada pembeli yang lebih
muda darinya. Percakapan di atas menunjukkan adanya penggunaan tingkatan-tingkat
bahasa Bali dalam ranah pasar disebabkan oleh kedudukan kedua pembicara yang
berbeda dan tidak memperhitungkan perbedaan umur yang umumnya juga menjadi
indikator penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali. Percakapan di atas merupakan
percakapan dengan situasi normal.
5. Ranah Keagamaan
Ranah keagamaan merupakan ranah dengan latar di tempat-tempat kegiatan
keagamaan berlangsung dan tempat berkumpul seperti balai banjar yang berkaitan
dengan topik pembicaraan dan kegiatan keagamaan. Umumnya penggunaan bahasa
Bali dalam ranah keagamaan cenderung ke situasi normal sehingga bahasa Bali yang
memiliki rasa bahasa halus, sopan, dan rasa hormat digunakan.
Dewasa: Damuh Alit sampun sami makta canang angge mebakti?
„anak-anak sudah semua membawa canang untuk sembahyang?‟
Anak: Sampun, Jero Mangku
„sudah, Jero Mangku‟ (7)
Percakapan (7) merupakan percakapan antara penutur dewasa dan anak-anak
yang menggunakan basa alus mider yang digunakan untuk menunjukkan rasa sangat
hormat walaupun dalam percakapan tersebut lawan bicara penutur dewasa adalah
anak-anak tetapi anak-anak tersebut juga dihormati sehingga penggunaan basa alus
mider digunakan dalam percakapan di atas.
26
5.2 Bahasa Sasak Dialek Meno Mene di Daerah Lombok Barat
No Penutur Percakapan Bahasa Indonesia situasi Ranah
1 Pasangan
laki-laki
sama usia
Helmi: Mori, embe
jaq me laiq?
Mori: Ne, jaq jok
bale batur
semendaq.
Helmi : O aoq,
onyak-onyak meno
Helmi: Mori, kamu
mau kemana?
Mori: Ini, mau ke
rumah teman
sebentar.
Helmi: O ya, hati-
hati kalau begitu.
Normal tetangga
2 Pasangan
laki-laki
beda usia
Hinda: Pak Man,
side te empoh siq
Pak Aji.
Pak Man: Araq ape?
Hinda: Ndeq tiang
taoq, side te anteh
leq balen.
Pak Man: Aoq,
badaq semendaq
juluq.
Hinda: Pak Man,
anda dipanggil oleh
Pak Haji.
Pak Man: Aa apa?
Hinda: Saya tidak
tahu, anda ditunggu
di rumahnya.
Pak Man: Ya,
bilang sebentar
dulu.
Normal tetangga
3 Pasangan
laki-laki
dan anak
Pak Sabri: He,
apem gaweq tie?
Titto: Ndeq araq.
Pak Sabri: Lekakm
doang. Uleq to!
Empohan doang
inaqm bareh.
Pak Sabri: Hei, apa
yang kamu
kerjakan?
Titto: Tidak ada.
Pak Sabri: Bohong
kamu. Pulang sana!
Nanti saya panggil
ibu kamu.
Marah Tetangga
4 Pasangan
laki-laki
dan
perempuan
sama usia
Pembeli: Pire aji ne
bawang setekel biq?
Pedagang: selae iu.
Pire mele?
Pembeli: due likur
wah aoq. Jaq ke
beli sekeq doang.
Pembeli: Berapa
harga bawang satu
kilo bi?
Pedagang: Dua
puluh lima ribu.
Mau berapa?
Pembeli: Dua puluh
dua ribu ya. Saya
mau beli satu kilo
saja.
Normal Pasar
5 Pasangan
perempuan
sama usia
Pembeli: Pire aji ne
nangke ne sekilo
biq?
Pembeli: Berapa
harga nangka ini
satu kilo bi?
Kesal Pasar
27
Pedagang: sepulu
ribu sekilo, manis
ne.
Pembeli: Pituq ribu
wah aoq.
Pedagang: Petaq
wah leq lain lamun
mauq aji pituq ribu,
nangke ye bagus
manis ne.
Pedagang:
Sepuluhg ribu satu
kilo, manis ni.
Pembeli: Tujuh
ribu saja ya.
Pedagang: Cari saja
di tempat lain kalau
bisa dapat harga
tujuh ribu, nangka
ini bagus dan manis
6 Pasangan
perempuan
beda usia
Pembeli: Inaq, pire
side dagang udang
ne?
Pedagang: enem
pulu ribu sekilo.
Pire kilo melem?
Pembeli: lime pulu
lime nggih Inaq,
beli due kilo.
Pedagang : Aoq
menon jaq
Pembeli: Bu,
berapa anda jual
udang ini?
Pedagang: Enam
puluh ribu satu
kilo. Kamu mau
berapa kilo?
Pembeli: Lima
puluh lima ribu ya
Bu, beli dua kilo.
Pedagang: Ya
sudah kalau begitu.
Normal Pasar
7 Pasangan
laki-laki
beda usia
(anak dan
dewasa)
Rian: Pak, leq embe
side toloq kunci
motor?
Bapak: No
tegantung leq deket
lawang.
Rian: Pak, dimana
anda meletakkan
kunci motor?
Bapak: Itu
digantung di dekat
pintu.
Normal Keluarga
8 Pasangan
laki-laki
sama usia
Upik: Buhari, ye
dateng jok te oneq
Juki, araq masalah
ape?
Buhari: Aku
langgar motorn
oneq,
Upik: kebaun, wah
endeng maap?
Terus ape unin?
Buhari: Wah ku
Upik: Buhari, tadi
Juki datang kesini,
ada masalah apa?
Buhari: Tadi saya
menabrak
motornya.
Upik: Kok bisa,
sudah minta maaf?
Lalu dia bilang
apa?
Buhari: Saya sudah
Normal Keluarga
28
endeng maap, laguq
jaq ku ganti rugi
endah.
minta maaf, tapi
saya akan ganti rugi
juga.
9 Pasangan
perempuan
dengan laki-
laki
(perempuan
di posisi
kakak dan
laki-laki di
posisi adik)
Indra: Ani, embe
sandelk?
Ani: Leq bawaq
lemari tie diq.
Indra: Ani, dimana
sandalku?
Ani: Di bawah
lemari itu dik.
normal Keluarga
10 Pasangan
laki-laki
sama usia
(atasan dan
bawahan)
Amir (bawahan) :
Pak, tiang ijin sugul
semendaq nggih.
Pak Budi (atasan):
Oo aoq, endaq sue
laloq.
Amir: Nggih Pak.
Amir: Pak, minta
ijin keluar sebentar
ya.
Pak Budi: Oh ya,
jangan terlalu lama.
Amir: Ya Pak.
Normal Kantor
PEMBAHASAN
Dalam penggunaan bahasa sasak khususnya dalam kejadian tindak tutur terdapat
tingkatan dalam berbicara yang meliputi tuturan yang dianggap halus ataupun tuturan
yang dianggap kasar. Di beberapa daerah, salah satunya Ampenan yang menggunakan
dialek meno mene, bahasa sasak yang digunakan tergolong masih kasar. Ada pun
yang menggunakan bahasa yang sedikit halus, hanya dalam ranah-ranah tertentu saja.
Tingkat kehalusannya pun jika dibandingkan dengan daerah yang masih kental
dengan status sosial (kebangsawanannya) masih tergolong kasar. Yang menentukan
ucapan atau tuturan itu dianggap kasar atau halus ditandai oleh beberapa hal, antara
lain:
1. Struktur kalimat:
Tuturan itu dikatakan kasar atau halus apabila di dalamnya terdapat kata-kata
spesifik yang diucapkan oleh penutur. Apabila dalam kalimat kasar yang
diuacapkan terdapat satu kata yang bersifat halus, maka kalimat itu akan bisa
dianggap halus dengan kata lain, kata tersebut menghaluskan kalimat kasar
yang telah dituturkan. Misalnya dalam kalimat “Inaq, pire side dagang udang
ne?”, pada kalimat tersebut, kata “side” yang digunakan oleh penutur kepada
29
lawan tutur memberikan penghalusan pada kalimat tersebut meskipun kata
lainnya yang digunakan bersifat kasar.
2. Kata :
Pada bahasa sasak yang digunakan di daerah Ampenan, beberapa kata yang
menggambarkan bahwa bahasa itu dihaluskan yaitu kata- kata sebagai berikut;
side (kamu), nggih (ya), samoun (sudah), napi (apa), niki (ini), silaq
(silahkan), ngelor (makan).
3. Ranah :
Terdapat ranah-ranah tertentu dimana penutur menggunakan bahasa kasar atau
halus. Biasanya, kata-kata halus digunakan ketika berbicara dengan lawan
tutur yang lebih tua (umur) atau dengan seseorang yang memiliki status sosial
lebih tinggi, selain itu perbedaan gender antara bahasa yang digunakan
perempuan pada laki-laki.
a. Ranah keluarga: seseorang yang lebih muda akan selalu menghaluskan
kata pada yang lebih tua meskipun di beberapa daerah misalnya daerah
Ketejer – Lombok Tengah dan beberapa daerah di Lombok Timur masih
menggunakan bahasa kasar meskipun kepada orang yang lebih tua.
Misalnya kata “side” (kamu).
b. Ranah Tetangga / lingkungan : seperti halnya dengan ranah keluarga, pada
ranah tetangga, seseorang yang lebih muda juga akan menghaluskan kata
yang digunakan kepada yang lebih tua.
c. Ranah Perkantoran : Seorang yang memiliki jabatan lebih rendah akan
cenderung menghaluskan tuturan yang digunakan kepada atasan,
sementara atasan akan menggunakan bahasa yang biasa saja.
d. Ranah Pertemanan : dalam ranah ini, biasanya pemilihan kata halus tidak
begitu digunakan meskipun salah satu teman memiliki kelas sosial yang
lebih tinggi, namun bahasa yang digunakan tetap bahasa sehari-hari yang
tidak terlalu halus. Bahkan semakin kasar kata yang digunakan,
menujukkan keakraban dalam hubuingan tersebut.
30
DAFTAR PUSTAKA
.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Laporan Penelitian tim
Penelitian
Fakultas Sastra Universitas Udayana, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia
dan Daerah Bali. Denpasar: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bailey, Guy. 2002. Real and apparent time.. In J.K Chambers, Peter Trudgill, and
NatalieSchiling-Estes. The Handbook of Language Variation and Change. Oxford:
Blackwell Publishing, pp 312-332.
Bhadra, Ranajit K. 1991. Caste and Class: Social Stratification in Assam. New Delhi:
Hindustan Publishing Corporation.
Blust, Robert A. 1981. The Soboyo Reflexes of Proto-Austronesian S. In R.A. Blust (ed.)
Historical Linguistics in Indonesia. Part I. NUSA 10: 21-30. Jakarta Badan
Penyelenggara Seri NUSA.
Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. Oxford: Blackwell Publishing.
Clynes, Adrian. 1989. Speech Styles in Javanese and Balinese: A Comparative Study. MA
thesis, Australian National University, Canberra.
Clynes, Adrian. 1994. Old Javanese influence in Balinese: Balinese speech styles. In Tom
Dutton and Darrell T. Tryon, eds Language Contact and Change in the Austronesian
World, 141-179. Berlin: Mouton de Gruyter.
Dittmar, Norbert and Peter Schlobinski, eds 1988. The Sociolinguistics of Urban
Vernaculars. Case Studies and their Evaluation. Berlin: Walter de Gruyter.
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Melbourne: Cambridge University Press.
Dyen, Isidore. 1982. The Present Status of Some Austronesian Subgrouping Hypothesis. In
A.
Halim et.al (Eds.). Paper from the TICAL. PL Series C, No 75, Vol. 2:31-35.
Edwards, Jane A. 1993. Principles and contrasting system of discourse transcription. In Jane
A. Edwards and Martin D. Lampert, eds Talking Data. Transcription and Coding in
Discourse Research, 3-43. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Fishman, J. A. 1972. Domains and the relationship between micro and macro
sociolinguistics. In John J. Gumperz and Dell Hymes, eds Directions in
Sociolinguistics, 435-453. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Geertz, C. 1960. Linguistic etiquette. Reprinted in J.B. Pride and Janet Holmes, eds
Sociolinguistics, 167-179. New York: Penguin.
Geertz, H. and Clifford Geertz. 1975. Kinship in Bali. Chicago: University of Chicago
Press.
Greenberg, J.H. 1956. Concerning inferences from linguistic to non linguistic data. In H.
31
Hoijer, ed. Language in Culture, 3-19. Chicago: University of Chicago Press.
Gumperz, J. 1971. Language in Social Groups. Stanford: Stanford University Press.
Hardjadibrata, R.R. 1985. Sundanese: A Syntactical Analysis. Pacific Linguistics D-65.
Canberra: Australian National University.
Hwang, Juck-Ryoon. 1990. Deference versus politeness in Korean speech. International
Journal of the Sociology of Language 82, 41-55.
Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.
Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Labov, W. 1971(a). Methodology. In W.O. Dingwall, ed. A Survey of Linguistic Science,
412-491. Maryland: Linguistics Program, University of Maryland.
Labov, W. 1971(b). The study of language in its social context. Reprinted in J.B. Pride and
Janet Holmes, eds. Sociolinguistics, 180-202. New York: Penguin.
Labov, W. 1972(a). The Design of a Sociolinguistic Research Project. Report of the
Sociolinguistics Workshop held by the Central Institute of Indian Language in Mysore
India.
Labov, W. 1972(b). Some principles of linguistic methodology. Language in Society 1, 97-
120.
Labov, W. 1984. Field methods of the project on linguistic change and variation. In John
Baugh and Joel Sherzer, eds Language in Use. Reading in Sociolinguistics, 28-53.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Martin, Samuel E. 1964. Speech levels in Japanese and Korean. Reprinted in Dell Hymes,
ed. Language in Culture and Society, 407-415. New York: Harper & Row.
Mbete, A. M. 1990. Rekonstrusi Proptobahasa Bali- Sasak-Sumbawa. Desertasion.
University of Indonesia.
Milroy, Lesley. 1980. Language and Social Networks. Oxford: Basil Blackwell.
Milroy, Lesley. 1987. Observing and Analysing Natural Language. Oxford: Basil Blackwell.
Milroy, Lesley and J. Milroy. 1992. Social network and social class: Toward an integrated
sociolinguistic model. Language in Society 21, 1-26.
Narayana, I.B. Udara. 1983. Anggah Ungguhing Basa Bali dan Peranannya Sebagai alat
Komunikasi bagi Masyarakat Suku Bali. Denpasar: Faksas, Universitas Udayana.
Poedjasoedarma, Soepomo et al. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil
Blackwell.
Shadeg, S.V.D. 1977. Balinese Basic Vocabulary. Denpasar: Dharma Bakti
Simpen, I W. AB. 1985. Kamus Bahasa Bali. Denpasar: PT Mabhakti.
Stevens, Alan M. 1965. Language levels in Madurese. Language 41, 294-302.
32
Suastra, I Made. 2001. The Categorisation in Balinese Speech Levels. A paper presented in
International Seminar on Astro Oseanean Languages. Denpasar, Bali.
Trudgill, Peter. 1974. The Social Differentiation of English in Norwich. Cambridge:
Cambridge University Press.
Vago, Steven. 1980. Social Change. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Wang, Hahn-Sok. 1990. Toward a description of the organisation of Korean speech levels.
International Journal of the Sociology of Language.82, 25-39.
Ward, Jack Haven. 1973. Phonology, Morphophonemics and the Dimension of Variation in
Spoken Balinese. PhD thesis, Cornell University.
Wiana, I Ketut and Raka Santri. 1993. Kasta Dalam Hindu. Kesalahpahaman Berabad-abad.
Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Woods, Anthony, P. Fletcher and A. Hughes. 1986. Statistics in Language Study.
Cambridge: Cambridge University Press.
Zurbuchen, Mary Sabina. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater. Princeton:
Princeton University Press.
33
LAMPIRAN PENELITIAN
LAMPIRAN 1: FOTO (DOKUMENTASI) PENELITIAN
Foto 1: Para Informan Lombok mengisi Kuesioner
34
Foto 2: Para Informan Lombok
35
Foto 3: Kantor Desa Beraim, Lombok Tengah
Foto 4
Wawancara dengan Informan (kiri), Penggunaan bahasa Sasak di Ranah Pasar (Kanan)
36
Foto 5: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Pasar
37
Foto 6: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Adat dan Agama
38
Foto 7: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Tetangga
Foto 8: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Kantor
39
LAMPIRAN 2: DAFTAR INFORMAN
Informan Bahasa Sasak:
1. Dr. Muhammad Sukri, S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Mataram (UNRAM),
2. Muhammad Kherul Ihwan (Iwan) yang berasal dari desa Ketejer Kecamatan
Praya Lombok Tengah. Informan berumur 38 tahun dan memiliki dua orang
anak. Informan bekerja di lembaga keuangan di daerah setempat
3. Muhammad Kurnain (Kurnain) yang berasal dari desa Selat kecamatan
Narmada Lombok Barat. Beliau merupakan pedagang Pasar
TradisionalNarmada. Informan berumur 48 tahun dan telah memiliki dua
orang putri.
4. H. Hasan Basyri, S. Sos. Beliau berumur 55 tahun dan bekerja di kantor camat
Narmada Lombok Barat. Beliau memiliki tiga orang putri
5. Taufan Jaya Rahmana. Beliau bekerja sebagai staf desa di Kantor Desa
Beraim Kecamatan Peraya Tengah kabupaten Lombok Tengah dan sudah
berkeluarga serta memiliki satu orang putri
6. Lalu Ichwan Hasbiadi, Baiq Farida Astini, Baiq Muhanis, S.Pd., Baiq Ami
Faranita, Lalu Adam, Lalu Masrif, Fuad, Rosalina Febrianti, Baiq Annisa
Salwa Fadia (Lombok Tengah)
7. Baiq Reni Nurlia, Issyatul Mardiah, Baiq Devi Maramitha, S.Pd. (Lombok
Timur)
8. Lalu Sukendar, Sailah, Taufik Al-Banjari (Ampenan-Lombok Barat)
Informan Bahasa Bali:
1. I Ketut Tumbuh (Laki-laki) 51 Tahun, Tukang Ukir, Desa Susut, Tabanan
2. Nyoman Widia (Laki-laki) 57 Tahun, Kelian Dinas Dalung, Badung
3. Ni Wayan Tingkes (Perempuan) 45 Tahun, Pedagang Kuliner Tradisional
4. Desak Supadmini (Perempuan) 43 Tahun, Desa Jegu, Tabanan
5. I Ketut Selebes (Laki-Laki) 43 Tahun, Guru, Tabanan
6. Ni Wayan Srati (Perempuan) 39 Tahun, PNS, Denpasar
7. Seka Truna di beberapaBanjar sekitaran Denpasar dan Tabanan
8. Pedagang-pedagang di Pasar
40
LAMPIRAN 3: KUESIONER BAHASA SASAK
Nama :
Lokasi :
SOAL KUISIONER
1. Apakah anda mampu menggunakan bahasa Sasak halus?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah bahasa Sasak yang anda gunakan tergolong pada bahasa Sasak yang
paling halus?
a. Ya b. Tidak
3. Apakan anda berbicara menggunakan bahasa Sasak halus di lingkungan
tempat anda tinggal?
a. Ya b. Tidak
4. Ketika anda berbicara dengan bangsawan (Raden/ Lalu), apakah anda
menggunakan bahasa Sasak halus?
a. Ya b. Tidak
5. Apakah perbedaan status sosial (bangsawan) mempengaruhi penggunaan
bahasa Sasak anda ketika berkomunikasi?
a. Ya b. Tidak
6. Apakah perbedaan status sosial (pekerjaan) mempengaruhi penggunaan bahasa
Sasak anda ketika berkomunikasi?
a. Ya b. Tidak
7. Ketika anda berbicara dengan seorang bangsawan (Raden/ Lalu) yang
memiliki pekerjaan rendah, apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus?
a. Ya b. Tidak
8. Apakah perbedaan gender mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda?
a. Ya b. Tidak
41
9. Apakah perbedaan usia mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak Anda?
a. Ya b. Tidak
10. Apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus ketika berbicara dengan anak
kecil?
a. Ya b. Tidak
11. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah keluarga?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
12. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pertemanan?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
13. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pasar?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
14. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah tetangga?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
15. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah agama?
a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar
42
LAMPIRAN 4: LAPORAN PENGGUNAAN ANGGARAN
PENGGUNAAN ANGGARAN NO JUMLAH TOTAL
Belanja Bahan Non Operasional Lain
29 Mei 2015 Konsumsi Rapat 1 3x25,000 75,000
12 Juni 2015 Konsumsi Rapat 2 3x25,000 75,000
26 Juni 2015 Snack Rapat 1 5x10,000 50,000
10 Juli 2015 Snack Rapat 2 6x10,000 60,000
15 Juli 2015 Konsumsi Rapat 3 9x25,000 225,000
Snack Rapat 3 9x10,000 90,000
24 Juli 2015 Konsumsi Lapangan Lombok 1 213,000
Snack Lapangan Lombok 1 148,000
25 Juli 2015 Konsumsi Lapangan Lombok 2 329,500
Snack Lapangan Lombok 2 27,500
26 Juli 2015 Konsumsi Lapangan Lombok 3 177,000
Snack Lapangan Lombok 3 40,000
Penginapan 3 x 2 x 300,000 1,800,000
30 Juli 2015 Konsumsi Lapangan Bali 1 63,000
Snack Lapangan Bali 1 58,000
31 Juli 2015 Konsumsi Lapangan Bali 2 94,000
Snack Lapangan Bali 2 44,600
1 Agustus 2015 Konsumsi Lapangan Bali 3 201,000
Snack Lapangan Bali 3 22,000
2 Agustus 2015 Konsumsi Lapangan Bali 4 169,000
Snack Lapangan Bali 4 20,500
12 Agustus 2015 Konsumsi Rapat 4 (seluruh anggota) 9x25,000 225,000
Snack Rapat 4 9x10,000 90,000
Pendaftaran SENASTEK 900,000 900,000
Belanja Bahan
20 Mei 2015 Print Proposal Penelitian 40 x 250 10,000
Fotokopi Proposal Penelitian 10 x 40 x 175 70,000
Jilid Proposal Penelitian 10 x 5,000 50,000
23 Juli 2015 ATK
164,400
8,600
Sewa Alat Rekam 7 x 2 x 50,000 700,000
Tinta Laserjet P1005 (2) 2 x 700,000 1,400,000
Tinta HP Deskjet D2600 hitam dan
warna
575,000
Flashdisk 3 x 85,000 255,000
Obat-Obatan
65,800
43
Fotokopi Instrumen Penelitian 2 x 50 x 175 17,500
30 Juli 2015 Sewa Alat Rekam 7 x 2 x 50,000 700,000
Pulsa Telepon 5 x 27,000 135,000
Pulsa Modem 2 x 100,000 204,000
11 Agustus 2015
Fotokopi Tabulasi dan Analisis Data
Awal 18 x 10 x 175 31,500
Fotokopi Laporan Kemajuan Awal 10 x 32 x 175 56,000
Jilid Laporan Kemajuan Awal 10 x 5,000 50,000
5-Sep-15 Fotokopi Laporan Kemajuan fixed 50 x 10 x 175 87,500
Jilid Laporan Kemajuan Awal fixed 10 x 5,000 50,000
24 Juli 2015
Fotokopi dan Jilid Bahan Pustaka
37,500
30 Juli 2015 92,900
2 Agustus 2015 163,100
3 Agustus 2015 296,500
Biaya Perjalanan lainnya
21 Mei 2015 Bensin 75,000 75,000
24 Juli 2015 Tiket Kapal Berangkat 3 x 130,000 390,000
Sewa Kendaraan + Bensin (3 hari) 3 x 550,000 1,650,000
26 Juli 2015 Tiket Kapal Pulang 3 x 130,000 390,000
30 Juli 2015 Bensin (Motor) 2x20000 40,000
Bensin (Motor) 2 x 22,000 44,000
Sewa Kendaraan (2 hari) 2x200,000 400,000
Bensin (Mobil) 200,000 200,000
Bensin (Mobil) 150,000 150,000
Honor Output Kegiatan dan lain-lain
Honor Tenaga Lapangan
(Pembantu Peneliti) 5x 750,000 3,750,000
Honor Tabulasi Data 5x 450,000 2,250,000
Biaya Operasional Lain-lain 5,000,000
PPh Pasal 21 15% untuk Golongan
IV (Ketua) 585,000
PPh Pasal 21 15% untuk Golongan
IV (Anggota 1) 495,000
PPh Pasal 21 15% untuk Golongan
IV (Anggota 2) 495,000
PPh Pasal 21 5% untuk Golongan
III (Anggota 3) 165,000
TOTAL 26,496,400
44
LAMPIRAN 5: BUKTI NOTA DAN KUITANSI
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
LAMPIRAN 6: CATATAN HARIAN (LOG BOOK)
Catatan Harian (Log Book):
Kegiatan Hibah : PNBP
Judul Kegiatan : Bahasa dan Kategori-Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada
Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat
NO TANGGAL
PELAKSANAAN URAIAN KEGIATAN
JUMLAH DANA
TERPAKAI
PERSENTASE
PELAKSANAAN BERKAS
1. 21 Mei 2015 Penandatanganan Kontrak
Print, Fotokopi, dan Jilid
Proposal Penelitian: Rp.
130.000,-
Bensin: Rp. 75.000,-
80%
2. 29 Mei 2015 Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang
kelanjutan dari proposal penelitian
Konsumsi Rapat: Rp.
75.000,- 20%
3. 12 Juni 2015
Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang
persiapan penelitian lapangan, dan segala prosedur
(administratif) yang diperlukan
Konsumsi Rapat: Rp.
75.000,- 40%
4. 26 Juni 2015 Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti
untuk wilayah Lombok (Bahasa Sasak) Snack Rapat: Rp. 50.000,- 60%
5. 10 Juli 2015 Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti
untuk wilayah Bali (Bahasa Bali) Snack Rapat: Rp. 60.000,- 80%
6. 15 Juli 2015
Rapat Tim Peneliti dengan seluruh tim lapangan:
membahas tentang persiapan penelitian ke
lapangan, yang meliputi batasan, ranah,
kelengkapan-kelengkapan teknis, dan instrumen
kuesioner yang dipakai sebagai bahan penelitian
lapangan
Snack Rapat: Rp. 90.000,-
Konsumsi Rapat: Rp.
225.000,-
80%
57
7. 23 Juli 2015 Persiapan Penelitian Lapangan
ATK: Rp.173.000,-
Tinta dan Flashdisk: Rp.
2.230.000,-
Obat-Obatan: Rp. 65.800,-
Print dan Fotokopi Instrumen
Penelitian: Rp.17.500,-
50%
8. 24 Juli 2015
Penelitian Lapangan Lombok (Hari Pertama)
Tim berangkat ke Lombok
menemui informan Dr. Muhammad Sukri,
S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas
Negeri Mataram (UNRAM), yang berada di
daerah pusat kota Mataram, Lombok Barat,
terutama untuk melihat referensi-referensi
yang berkaitan dengan penggunaan tingkat
tutur bahasa sasak yang telah dipublikasikan
Tim menuju sekitaran Lombok Barat untuk
melihat penggunaan bahasa Sasak di ranah
pasar daerah yang menggunakan dialek Meno-
Mene, yaitu daerah Narmada dan Ampenan,
selain itu juga tim ke rumah-rumah untuk
mengamati tingkat tuturan yang terjadi dalam
ranah keluarga. Pengambilan data dilakukan
dengan cara wawancara dan kuesioner.
Tiket Kapal: Rp. 390.000,-
Sewa Kendaraan (3 hari): Rp.
1.650.000,-
Makan pagi: Rp. 67.000,-
Makan siang: Rp. 80.000,-
Makan malam: Rp. 66.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
148.000,-
Fotokopi bahan pustaka: Rp.
37.500,-
70%
9. 25 Juli 2015 Hari Kedua Makan pagi: Rp. 82.000,- 70%
58
menuju kantor Beraim, kecamatan Peraya
Tengah Lombok Tengah untuk mengamati
tingkatan tuturan dalam ranah perkantoran
khususnya antara atasan dan bawahan dalam
dialek Meno-Mene bahasa sasak Lombok.
penelitian dilanjutkan dengan ke rumah-rumah
penduduk, di desa Ketejer, kecamatan Praya dan
di daerah Penujak, bertemu beberapa informan,
untuk mendapatkan informasi tentang bahasa
sasak khususnya dialek Meno-Mene, dan juga
tingkat tutur penggunaan bahasa Sasak terutama
di kalangan bangsawan (Lalu dan Baiq)
Makan siang: Rp. 132.000,-
Makan malam:Rp. 115.500
Snack dan Minuman: Rp.
27.500
10. 26 Juli 2015
Hari Ketiga
Tim melakukan pengambilan data di sekitaran
Lombok Timur, melalui wawancara dan
kuesioner, khususnya untuk melihat penggunaan
bahasa Sasak di ranah rumah tangga dan tetangga
Tim melanjutkan perjalanan kembali ke Denpasar
Makan pagi: Rp. 62.000,-
Makan siang: Rp. 78.000,-
Makan malam: Rp. 37.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
23.000,-
Penginapan: Rp. 1.800.000,-
Tiket Kapal: Rp. 390.000,-
70%
11. 27 Juli – 1
Agustus 2015 Transkripsi dan Tabulasi Data Bahasa Sasak
80%
12. 30 Juli 2015
Penelitian lapangan Tim Bahasa Bali (setelah libur
panjang Galungan dan Kuningan) – Hari Pertama
Tim bergerak ke kantor-kantor di sekitaran
Denpasar untuk melihat penggunaan bahasa
Bali dalam ranah kantor
Kemudian, tim juga mengumpulkan data
dari sumber data tertulis, dan referensi-
referensi sejenis, seperti novel, tresnane
Sewa Alat Rekam: Rp.
700.000,-
Bensin: Rp. 20.000,-
Makan siang: Rp. 63.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
58.000,-
Pulsa Telp dan Modem: Rp.
339.000,-
70%
59
lebur ajur santonden kembang karya
Djelantik Santha (1981) Pustaka Ekspresi
Tabanan
Fotokopi dan Jilid Bahan
Pustaka: Rp. 92.900,-
13. 31 Juli 2015
Hari Kedua
Tim bergerak ke rumah-rumah di seputaran
Denpasar dan sekitaranya untuk melihat
penggunaan bahasa Bali dalam ranah
keluarga dan tetangga.
Makan pagi: Rp. 34.000,-
Makan siang: Rp. 60.000,-
Snack dan Minuman:Rp.
44.600,-
Bensin: Rp. 44.000
70%
14. 1 Agustus 2015
Hari Ketiga
Tim bergerak ke sekitaran pasar-pasar
tradisional di Denpasar dan sekitarnya untuk
penggunaan bahasa Bali dalam ranah pasar
Tim a menuju ke daerah Tabanan, yaitu di
sekitaran desa Jegu, Penebel, untuk melihat
penggunaan bahasa Bali baik itu di ranah
keluarga, pasar, maupun agama
Sewa Kendaraan: Rp.
400.000,-
Bensin: Rp. 200.000,-
Makan pagi: Rp. 39.000,-
Makan siang: Rp. 120.000,-
Makan malam: Rp. 42.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
22.000,-
70%
15. 2 Agustus 2015
Hari Keempat
Tim bergerak ke sekitaran banjar (seka
truna), dan pura di sekitaran Denpasar dan
sekitarnya untuk melihat penggunaan bahasa
Bali dalam ranah agama dan Adat
Kemudian, tim bergerak ke daerah Tabanan
Bensin: Rp. 150.000,-
Makan pagi: Rp. 54.000,-
Makan siang: Rp. 55.000,-
Makan malam: Rp. 60.000,-
Snack dan Minuman: Rp.
20.500,-
70%
60
dan sekitarnya, yaitu di sekitaran desa
Tunjuk, dan Susut untuk melihat
penggunaan bahasa Bali baik itu di ranah
keluarga, tetangga maupun agama.
Fotokopi dan Jilid Bahan
Pustaka: Rp. 163.100,-
16. 3- 11 Agustus
2015
Transkripsi dan Analisis data awal baik itu data dari
bahasa Sasak maupun Bali
Fotokopi dan Jilid Bahan
Pustaka: Rp. 296.500,-
Pendaftaran SENASTEK:
Rp. 900.000,-
Honor Pembantu Peneliti:
5 x Rp. 750.000,-
= Rp. 3.750.000,-
80%
17. 12 Agustus 2015
Rapat Seluruh Tim Peneliti, membahas tentang
analisis data awal, dan penyusunan laporan
kemajuan
Snack Rapat: Rp. 90.000,-
Konsumsi Rapat: Rp.
225.000,-
Fotokopi Tabulasi dan
Analisis data awal: Rp.
137.500,-
Honor Tabulasi Data
5xRp. 450.000,-
= Rp. 2.250.000,-
80%
18. 13 – 5 September
2015
Penyusunan laporan kemajuan, catatan harian, dan
laporan penggunaan anggaran.
Print, Fotokopi, dan Jilid
laporan kemajuan awal: Rp.
137.500,-
Pajak: Rp. 1.740.000,-
80%
61