36
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Runtuhnya kepemimpinan Soekarno merupakan awal lahirnya pemerintahan yang bernuansa otoritarian di Indonesia. Terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia melalui TAP MPRS No XLIV/MPRS/1968 merupakan faktor yang paling mempengaruhi mengapa militer memiliki kedudukan di dalam roda pemerintahan kala itu. Soeharto kala itu menjalankan pemerintahannya dengan menggunakan pendekatan militeristis. Latar belakang kemiliteran yang dimiliki Soeharto menjadikan dirinya amat disegani ketika menjabat menjadi presiden Indonesia. Dibawah komando sang presiden militer secara perlahan masuk ke dalam ranah sipil dan secara berangsur-angsur mulai menjalankan fungsi sosial-politiknya, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 20 tahun 1982, maka landasan hukum bagi ABRI pun menjadi kokoh dalam berpartisi diluar tugas dan fungsi utamanya, istilahnya ber-Dwi Fungsi. Selama tiga puluh dua tahun Soeharto menjabat, nuansa kepemimpinan ala militer sangat kental, terlihat dari cara menangani setiap permasalah-permasalah yang menyangkut konflik dan segala hal yang mengganggu stabilitas negara. Sebelum undang-undang yang berkaitan dengan penghapusan Dwi Fungsi ABRI lahir dan disahkan, militer dibawah presiden Soeharto memiliki peran yang dominan dalam tugas dan fungsi di pemerintahan. Ketika masa Orde Baru, militer Indonesia telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76031/potongan/S1-2014...yang paling mempengaruhi mengapa militer memiliki kedudukan di dalam roda pemerintahan

  • Upload
    buidang

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Runtuhnya kepemimpinan Soekarno merupakan awal lahirnya pemerintahan

yang bernuansa otoritarian di Indonesia. Terpilihnya Soeharto sebagai Presiden

Republik Indonesia melalui TAP MPRS No XLIV/MPRS/1968 merupakan faktor

yang paling mempengaruhi mengapa militer memiliki kedudukan di dalam roda

pemerintahan kala itu. Soeharto kala itu menjalankan pemerintahannya dengan

menggunakan pendekatan militeristis. Latar belakang kemiliteran yang dimiliki

Soeharto menjadikan dirinya amat disegani ketika menjabat menjadi presiden

Indonesia. Dibawah komando sang presiden militer secara perlahan masuk ke dalam

ranah sipil dan secara berangsur-angsur mulai menjalankan fungsi sosial-politiknya,

dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 20 tahun 1982, maka landasan hukum

bagi ABRI pun menjadi kokoh dalam berpartisi diluar tugas dan fungsi utamanya,

istilahnya ber-Dwi Fungsi.

Selama tiga puluh dua tahun Soeharto menjabat, nuansa kepemimpinan ala

militer sangat kental, terlihat dari cara menangani setiap permasalah-permasalah yang

menyangkut konflik dan segala hal yang mengganggu stabilitas negara. Sebelum

undang-undang yang berkaitan dengan penghapusan Dwi Fungsi ABRI lahir dan

disahkan, militer dibawah presiden Soeharto memiliki peran yang dominan dalam

tugas dan fungsi di pemerintahan. Ketika masa Orde Baru, militer Indonesia telah

2

menunjukkan kekuatannya dalam mempengaruhi sistem pemerintahan dan politik.

Karena pada masa tersebut militer mendapatkan privilege yang luar biasa dari

Soeharto, hampir seluruh anggota militer yang memiliki jabatan tinggi dan memiliki

prestasi ditempatkan di sejumlah sektor publik dan birokrasi oleh Soeharto serta

Golkar sebagai partai penguasa saat itu untuk keperluan pengamanan kekuasaan.

Jabatan politik yang diberikan kepada militer adalah bentuk hadiah dari Soeharto

kepada antek-anteknya termasuk juga militer untuk mengisi sektor strategis guna

mengukuhkan kekuasaannya. Saat itu peran militer merambah hampir diseluruh

aspek kehidupan sosial, sehingga Wiliam Liddle dalam tulisannya menyebutnya

sebagai primus inter pares. Karena begitu besarnya peran mereka sehingga

berimplikasi pada melemahnya berbagai kekuatan sosial politik masyarakat dan

menguatnya korporatisme negara (Emmerson 2001, h. 78-79).

Saat ini perubahan peran militer di Indonesia telah mencakup perubahan

kedudukan dan fungsi dalam struktur ketatanegaraan, dimana sebelum adanya

ketentuan dalam UUD 1945 yang menegaskan bahwa TNI menjalankan fungsi

pertahanan, militer Indonesia (ABRI) juga memiliki fungsi sosial dan politik. Hal

tersebut didukung UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menyebutkan “Segala Warga Negara

bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pada perkembangannya,

kebijakan Dwi Fungsi ABRI dalam derajat tertentu dapat dianggap sebagai

pembenaran bagi pemerintahan Soeharto untuk mengangkat sejumlah besar anggota

3

militer ke legislatif, serta menempatkan anggota militer di jabatan-jabatan eksekutif,

baik itu di tingkatan nasional maupun daerah yang menurutnya strategis. Selain itu,

militer juga ikut masuk dalam perusahaan-perusahaan milik negara yang merupakan

tulang punggung perekonomian nasional. Fungsi militer dalam politik tersebut

dijadikan sebagai kekuatan dan alat penopang kekuasaan Soeharto. Walaupun pada

perjalanannya, fungsi sosial politik ABRI ini mengalami pasang surut seiring dengan

dinamika dan konstelasi politik yang berkembang di Indonesia pada saat itu (Firdaus

2008, h. 2).

Setelah kurang lebih 32 tahun rakyat Indonesia merasa jenuh terhadap gaya

kepemimpinan Soeharto yang otoriter. Alhasil, terjadilah reformasi pemerintahan

pada tahun 1998 dengan agenda melengserkan Soeharto dari jabatan presiden dan

memecat antek-anteknya dari pemerintahan. Sejalan setelah peristiwa tersebut,

kedudukan para perwira militer yang menjabat di daerah maupun pusat mulai tergerus

digantikan oleh politisi sipil. Namun pada kenyataanya politik yang terjadi di

Indonesia pasca reformasi terkait kepemimpinan oleh militer seolah tidak hilang,

justru terjaga dengan baik namun dengan format aktor yang berbeda. Aktor baru yang

dimaksud adalah purnawirawan.

Pasca keluarnya militer dalam politik nasional memberikan angin segar bagi

keberlangsungan konsolidasi terwujudnya demokrasi yang lebih baik. Namun disisi

lain hadirnya para purnawirawan juga memberi warna lain dalam proses jalannya

demokrasi politik nasional. Beberapa pihak memaklumi hadirnya purnawirawan

4

kedalam politik sebagai suatu hal yang wajar, karena mereka telah berstatus sebagai

warga sipil. Akan tetapi, dilain pihak menilai hadirnya purnawirawan akan

mengganggu proses demiliterisme dalam komunitas sipil. Sebab jika bicara

purnawirawan, kita pasti bicara jiwa espirit de corps yang mereka miliki semasa

menjadi militer aktif.

Hadirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dalam Bab VII

tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD PROVINSI, dan DPRD

Kabupaten/Kota dalam Pasal 64 misalnya menyatakan bahwa: “Calon anggota DPD

dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia selain harus memenuhi syarat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 63 huruf a, harus mengundurkan diri sebagai

pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia.” Pasal 145 secara tegas menyatakan bahwa: “Dalam

Pemilu tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya.” Demikian halnya

dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu melalui Pasal 318

menegaskan bahwa dalam Pemilu tahun 2009, anggota Tentara Nasional Indonesia

dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk

memilih. Dengan demikian secara konstitusi militer tidak lagi memiliki dapat terlibat

dalam polik. Namun hingga saat ini masih menjadi perdebatan, apakah aturan-aturan

tersebut memberikan penghalang bagi para militer maupun eks militer mempengaruhi

5

institusinya atau sebaliknya aturan yang ada sekarang hanya sebatas formalitas

semata bagi kalangan militer.

Tidak adanya aturan terkait batasan waktu yang jelas terhadap purnawirawan

hingga mereka dapat berpolitik membuat purnawirawan leluasa kapan saja untuk

terjun kedalam politik. Sejumlah purnawirawan seolah telah menemukan kendaraan

baru bagi mereka untuk mengekspresikan dirinya setelah masa komandonya usai

dengan masuk kedalam dunia politik. Penulis yakin bahwa hingga kini dan beberapa

tahun kedepan militer akan tetap memiliki kedigdayaan dalam politik. Bukti nyata

dari upaya militer pasca reformasi untuk tetap eksis dalam politik adalah dukungan

lembaga internal seperti Pepabri dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawiran dan

Putra Putri TNI/POLRI untuk menyatukan dukungan kepada anggotanya yang

terlibat dalam politik nasional. Hal tersebut membuktikan bahwa para purnawirawan

masih dekat dengan institusinya setelah mereka pensiun.

Analisa tim Kontras pada 2003 mengatakan bahwa reformasi di tubuh militer

berjalan setengah hati. Hal tersebut mengakibatkan hingga kini militer masih

memainkan peran dalam politk. Hal tersebut bisa dilihat pada Paradigma Baru TNI

pasca 1998 yaitu:

Paradigma yang dilandasi cara berpikir yang bersifat analitik dan prospektif

ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehensif yang memandang TNI sebagai

bagian dari sistem nasional. Paradigma baru ini dalam fungsi sosial politik

mengambil bentuk implementasi sebagai berikut; Merubah posisi dan metode tidak

selalu harus di depan. Hal ini mengandung arti bahwa kepeloporan dan keteladanan

TNI dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dulu amat

6

mengemuka dan secara kondisi obyektif memang diperlukan pada masa itu, kini

dapat berubah untuk memberi jalan guna dilaksanakan oleh institusi fungsional

(Mabes TNI 1999, h. 23).

Dalam ungkapan singkat, paradigma baru itu dirumuskan dalam jargon,

“tidak selalu harus di depan, tidak lagi menduduki tapi mempengaruhi, tidak lagi

mempengaruhi secara langsung, tetapi tidak langsung, siap membagi peran dengan

pihak sipil dalam pengambilan keputusan penting dengan komponen bangsa yang

lain.” Jargon baru ini mengantikan jargon lama yang full-power yaitu “TNI sebagai

stabilisator dan dinamisator” (Tim KontraS 2003, h. 26).

Jika disimak lebih dalam Paradigma Baru TNI mengisyaratkan beberapa hal

penting, pertama, pihak militer dalam perpolitikan Indonesia tidak seluruhnya

mundur melainkan bersyarat yaitu sejauh tidak melucuti privilege (hak keistimewaan)

yang telah dan sedang dinikmati. Jika privilege itu terganggu maka militer akan

memberanikan diri maju kedepan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Artinya mereka tidak akan surut dari panggung politik begitu saja. Contoh dari tidak

surutnya militer dari panggung politik secara langsung itu bisa dilihat dari banyaknya

para purnawirawan yang menjadi pimpinan partai politik peserta Pemilu 2004 hingga

saat ini dan menjadi calon anggota DPD dan Caleg DPR-RI (Ibid, h. 27). Perlu

diingat bahwa sepanjang Orba militer itu adalah organisasi kekuatan politik yang

sesungguhnya.

Kedua, Jargon itu mengisyaratkan bahwa dalam merumuskan paradigma

barunya, TNI tetap sebagai kekuatan politik utama. Hal itu terlihat pada kalimat

7

“dalam mengambil keputusan penting TNI siap berbagi peran dengan komponen

bangsa yang lain”. Dimasa Orba, ABRI adalah institusi yang berperan secara tunggal

dalam mengambil dan membuat keputusan penting. Dalam masa reformasi sekarang

militer siap berbagi dengan pihak kedua yaitu komponen bangsa lain, yakni

pemerintahan sipil.

Ketiga, dalam berbagi peran dengan pihak sipil ini, dalam paradigma barunya

militer tidak sama sekali menyadari bahwa peranannya dimasa lalu adalah peranan

yang telah menciptakan kekacauan‟. Disamping itu juga, militer tidak menyadari

bahwa dalam masa demokratisasi ini, sebagai norma-norma yang terpapar di depan,

pihak militer hanyalah pelaksana dari pemerintahan sipil. Dengan kata lain institusi

militer dengan paradigma barunya tidak mengubah secara signifikan budaya dan

postur dirinya dalam ruang sosial-politik. Dengan paradigma barunya kalangan

militer tetap berada dalam ruang konservatisme dengan kepercayaan pada supremasi

sipil dalam pengelolaan negara (Sukma 1999, h.13-17).

Secara formal memang purnawirawan telah berhenti menjadi anggota militer,

namun secara moral dan emosional mereka masih memiliki semangat espirit de cops

yang tinggi (Nugroho 2007, h. 7). Maka bukan tidak mungkin apabila cerita masa lalu

tentang supremasi militer atas sipil akan terulang kembali dan melahirkan sistem

militerisasi dan militeristik baru ditengah-tengah usaha sipil membangun demokrasi.

Militerisme sangat dekat dengan format kenegaraan yang militeristik, disamping juga

terjadinya militerisasi politik. Akan tetapi, „militerisme‟ secara subtantif berbeda

8

dengan „militeristik‟ atau „militerisasi‟. „Militeristik‟ merujuk pada watak

penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang didominasi oleh militer dengan

disertai oleh pola yang amat militer, sedangkan „militerisasi‟ merujuk pada tampilnya

lembaga dan/atau individu militer menguasai lembaga-lembaga non-militer (Santoso

2000, h. 2).

Ironi lain hadir seolah tidak mempedulikan catatan penting selama masa

pemerintahan yang dipimpin oleh militer. Tidak berhenti pada partai yang berkuasa

kala itu. Beberapa partai yang memiliki komposisi purnawirawan muncul dan tumbuh

dengan baik didalam perkembangan pasca reformasi. Contoh saja Jendral TNI (Purn)

Wiranto di Hanura dan Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto di Gerindra, serta masih

banyak lagi purnawirwan yang ditempatkan partai di pos-pos penting untuk

memperoleh dukungan massa. Setelah sebelumnya Pertai Demokrat pada tahun 2004

berhasil memenangkan pemilu presiden dengan menempatkan Jendral TNI (Purn)

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden.

Pasca diputuskannya aturan bagi calon peserta pemilu, purnawirawan tersebar

disejumlah parpol lama dan baru. Pro kontra semakin menjadi seiring dengan

terpilihnya kembali SBY sebagai presiden pada sistem pemilihan langsung pada

2004, kemudian terpilih kembali pada pemilu 2009. Partai Demokrat sebagai salah

satu partai dalam skala makro yang berhasil mengusung SBY pada pemilu 2004

sebagai capres yang kemudian menang dan menjadi presiden. Selama dua periode

kepemimpinan SBY, indikasi pendekatan militeristik terhadap penanganan kasus

9

konfil Aceh dan Papua menjadi catatan khusus bagamana proses negosiasi ala sipil

dikesampingkan dalam proses penyelesaian konflik dalam negeri.

Hingga kini pemimpin berlatar belakang militer memang masih dianggap

mampu menghasilkan banyak hal positif yang sangat berguna dan dibutuhkan untuk

memimpin negara yang multikultur dan menganut sistem demokrasi yang masih labil.

Kondisi berbeda justru dialami politisi sipil yang lambat laun menurunkan

kepercayaan masyarakat dengan berbagai tindakan kriminal. Beberapa factor

mengapa militer masih dianggap menjadi solusi untuk memimpin bangsa. Pertama,

tingkat kedisiplinan purnawirawan yang tinggi, rasa nasionalisme dan cinta tanah air,

serta kepercayaan penuhnya terhadap ketuhanan dalam hidup dapat menjadi dasar

ideologi mereka sebagai pemimpin. Hal tersebut merupakan hasil dari tempaan

selama pendidikan kemiliterannya. Kedua, kekuatan fisik yang terlatih, kesigapan dan

ketanggapan dalam berfikir dan bersikap, dan kewaspadaan dalam melangkah dan

mengambil keputusan dapat menjadi kekuatan individu yang mendukung pergerakan

mereka dalam memimpin. Dan Ketiga, kepercayaan diri, kepercayaan terhadap

teman, dan kepercayaan serta kepatuhan terhadap pemimpin menjadi bekal dalam

kehidupan sehari-hari agar tetap terjaganya kekompakan dalam berkerja.

Sulit dipungkiri bagaimana masyarakat merasa berada ditengah kegundahan

untuk menentukan pilihannya dikemudian waktu pada saat pemilu berlangsung.

Banyaknya opini yang bermunculan dimasyarakat terhadap kepemimpinan

purnawirawan nantinya apabila berhasil kembali menang dalam pemilu. Luka dan

10

kebanggan yang dihadirkan dimasa Orba menjadi salah satu factor bagaimana

masyarakat menilai kepemimpinan militer dalam hal mengurusi negara. Format baru

militer yang hadir pasca reformasi juga sedikit demi sedikit berhasil mengikis

kekecewaan masyarakat yang ketika itu mengalami sistem politik otoriter ala militer

yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun.

Persepsi masyarakat terhadap sisi militer yang negatif sebelum reformasi

lambat laun terkikis seiring dengan berbagai kebijakan pemerintah yang

mengembalikan peran dan fungsi militer. Kaitannya dengan pemilu, masyarakat yang

merupakan salah satu basis penting sebuah negara berhak menentukan nasibnya

masing-masing sesuai dengan ideology negara yang demokratis. Artinya mereka saat

ini dihadapkan pada pilihan apakah harus memilih pemimpin berlatar militer yang

memiliki ketegasan, keahilan organisasi dan strategi. Atau kalangan non militer yang

dekat dengan sipil namun lemah dalam hal ketegasan dan kedisiplinan. Sebab

Indonesia masih membutuhkan sosok pemimpin yang mampu mengakomodir

berbagai kepentingan. Jika tidak memiliki kredibilitas serta kapabilitas yang

mumpuni maka mungkin dikemudian waktu Indonesia akan mengalami krisis

diberbagai aspek.

Secara operasional, sosok masyarakat sipil yang dimaksud mencakup

institusi-institusi non-pemerintah yang berada di masyarakat yang mewujudkan diri

melalui organisasi, perkumpulan atau pengelompokan sosial dan politik yang

berusaha untuk membangun kemandirian seperti organisasi sosial dan keagamaan,

11

lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga penelitian, kelompok-kelompok

kepentingan, dan sebagainya yang juga bisa mengambil jarak dan menunjukkan

otonomi terhadap negara bagi masyarakatnya.

Persoalan penting untuk dijawab dan sekaligus juga menjadi alasan mendasar

bagi dilakukannya studi ini, yaitu persoalan menyangkut bagaimana masyarakat sipil

memandang proses demokratisasi yang bergulir di Indonesia khususnya terkait makin

banyaknya purnawirawan yang terlibat dalam perpolitikan di Indonesia saat ini.

Sebab hal ini dirasa amat penting menjadi perhatian mengingat bahwa dalam dua

puluh lima tahun ke depan sasaran pembangunan politik Indonesia adalah mencapai

apa yang disebut demokrasi yang terkonsolidasi sebagaimana telah ditetapkan dalam

UU Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) 2005- 2025.

Usaha untuk mereposisi peran dan fungsi tni dengan dibuatnya Tap MPR No

VI dan VII tentang pemisanan TNI dan POLRI serta perannya masing masing

ternyata berbanding dengan kenyataan dilapangan. Disalah satu sisi masyarakat,

khususnya para politisi sipil, terlihat berusaha mengakomodasi tuntutan reformasi

peran dan fungsi militer. Namun disisi lain, mereka juga menumbuhkan kembali

keinginan untuk tetap menempatkan militer sebagai salah satu partner kerja dalam

berpolitik. Sejalan dengan politisi sipil, militer juga terindikasi memiliki keinginan

kembali untuk menjadi aktor dalam politik nasional.

12

Dengan banyaknya tokoh-tokoh berlatar belakang militer pada akhirnya

mengundang beragam pandangan, persepsi, bahkan analisis-analisis yang terkadang

cenderung kurang berpijak. Asumsi ini tentu saja sangat masuk akal, misalkan ketika

seorang caleg memiliki latar belakang kemampuan dan jaringan kesenian (keartisan)

maka dirinya akan mengakomodir kemampuan dan jaringan tersebut demi

tercapainya tujuan. Contohnya Eko Patrio, Nurul Arifin, Rieke Dyah Pitaloka,

ataupun Terre, mereka akan menyanyi, berakting, atau melemparkan joke-joke untuk

membangun simpati masyarakat. Begitu juga ketika sosok kiai atau agamawan yang

juga memutuskan diri masuk ke dalam dunia politik praktis, maka dirinya secara

otomatis akan mengakomodasi kemampuan dan jaringannya untuk membangun

simpati dan mendulang suara masyarakat pemilih.

Imbasnya pun ketika sosok figur pribadi dengan latar belakang kemampuan

dan jaringan militer/purnawirawan ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi, dengan

sendirinya segala sumber daya yang dimilikinya akan didayagunakan, termasuk

terburuknya mengandalkan kekuatan intelejen. Akibatnya timbul kekhawatiran

dimana-mana dari peserta pemilu hingga para pemilih. Yang kemudian berdampak

pada lahirnya berbagai opini terkait hubungan sipil dan militer dalam proses

berdemokrasi.

Dilema lain kemudian hadir seiring dengan tuntutan masyarakat untuk

kemajuan bangsa. Dengan tetap konsistensinya para perwira militer yang telah

purnawirawan untuk berpatisipasi ke dalam politik dan inkonsistensinya politisi sipil

13

dalam berpolitik, bukan tidak mungkin babak baru dalam pendudukan militer atas

sipil dalam negara demi memperoleh kekuasaan akan hadir kembali diawali dengan

kebijakan-kebijakan yang militeristik. Indra J. Piliang menuturkan bahwa kehadiran

politisi mantan TNI dan Polri sebetulnya di negara-negara lain tidak menjadi

persoalan. Di Amerika Serikat veteran perang banyak yang langsung masuk ke calon

anggota parlemen. Ia menilai kehadiran para purnawirawan tidak menjadi persoalan,

sebab mereka sudah menjadi politisi sipil. Hanya saja Indonesia masih dalam proses

transisi menuju supremasi sipil, sehingga kehadiran para purnawirawan yang

merupakan eks militer akan sedikit bermasalah (Lihat kompas.co.id 2004, 5 Januari).

Dengan kata lain struktur yang kuat didalam internal purnawirwan termasuk pula

berkaitan dengan pengaruh korps dan pangkat akan mempengaruhi proses

konsolidasi. Hadirnya tokoh purnawirawan dalam partai politik sendiri memberikan

pengaruhi terhadap perolehan suara partai dari pusat hingga daerah.

Inkonsistensinya sipil dalam berpolitik semakin memberikan ruang bagi para

mantan militer untuk terlibat kembali dalam bursa perpolitkan di Indonesia. Disisi

lain keterlibatan purnawirawan dalam politik pun dipengaruhi dari instisusi sipil yaitu

partai politik yang mengaggap bahwa tokoh militer mampu memberikan efek positif

bagi partai dengan pengalam mereka semasa berkarir di militer ketika proses-proses

untuk mendapatkan suara dilakukan. Namun saat ini perlu kecermatan dalam melihat

eksistensi purnawirawan dalam politik, bahwa keberadaan mereka saat ini berbeda

dengan masa awal transisi, dimana saat elektabilitas mereka berimbang dengan tokoh

14

politik diluar militer. Seiiring dengan semakin cerdasnya pemilih terhadap tokoh

yang akan mereka pilih, purnawirawan saat ini sudah tidak lagi menjadi aktor krusial

untuk dipilih. Sebab saai ini penulis melihat persaingan lebih kepada visi, misi dan

gagasan logis apa yang ditawarkan dan siap dipertanggung jawabkan kepada sipil

agar mereka dipilih.

B. Rumusan Masalah

Pertanyaan kunci dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana persepsi sipil terhadap partisipasi politik purnawirawan di Indonesia

pasca reformasi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang bertemakan tentang persepsi masyarakat sipil terhadap

partisipasi purnawirawan dalam perpolitikan Indonesia adalah untuk menyingkap

tanggapan dari sipil atas eksistensi kalangan militer yang terlibat dalam politik pasca

reformasi. Sebab dari awal reformasi telah menggariskan kehidupan sosial politik

Indonesia pasca mundurnya Soeharto harus bebas dari segala bentuk cengkraman

militerisme.

D. Kerangka teori

Persepsi kalangan sipil terhadap eksistensi purnawirawan dalam politik adalah

dampak dari tetap berpatisipasinya kalangan militer dalam perpolitikan nasional.

Pertisipasi politik kalangan militer dalam politik pasca reformasi hingga kini masih

15

menjadi sebuah perdebatan panjang. Apakah mereka seharusnya memiliki hak atas

politik sama halnya dengan sipil atau mereka tidak sama sekali memiliki hak diluar

fungsi dan tugas mereka sebagai penjaga kedaulatan negara. Hingga kini masih lekat

diingatan bahwa militer baik aktif maupun telah purnawirawan merupakan aktor

utama di masa orde baru. Artinya, eksistensi purnawirawan saat ini tak bisa

dilepaskan dari institusi mereka semasa aktif.

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan bahwa berpartisipasinya para

purnawirawan di Indonesia pasca reformasi mempengaruhi persepsi kalangan sipil

terhadap eksistensi militer didalam politik. Meski militer tidak lagi berDwi Fungsi

seperti masa orde baru, partisipasi para purnawirawan di dalam politik memberikan

anggapan tersendiri, bahwa kehadiran mereka hanya sebatas bentuk formalitas baru

bagi institusi militer untuk mendominasi pemerintahan. Salah satu buktinya adalah

masih mendominasinya beberapa purnawirawan dalam susunan menteri pasca

reformasi.

Konsep dalam membangun kerangka teori adalas terkait pertisipasi politik

yang mempengaruhi timbulnya suatu persepsi. Mariam Budhiarjo (1982, h. 12)

mendefinisikan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok

orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan cara jalan

memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi

kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara

dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau

16

kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau

anggota parlemen. Dengan kata lain, persepsi sipil terhadap purnawirawan timbul

berkaitan dengan eksistensi mereka di dunia politik pasca reformasi.

Kehadiran purnawirawan dalam politik memberi warna tersendiri dalam

jalannya proses perpolitikan Indonesia yang demokratis. Kehadiran mereka dianggap

sebagai suatu hal yang wajar, sebab mereka telah menjadi sipil seutuhnya karena

telah pensiun dari institusi militer. Akan tetapi perlu dicermari dalam melihat

kehadiran purnawirawan dalam politik. Kehadiran purnawirawan dalam politik

merupakan suatu cara lain dari militer untuk mendapatkan kekuasaan baru pasca

reformasi. Dipilih dan terpilihnya purnawirawan di pemerintahan menggambarkan

bahwa militer tidak sepenuhnya lepas dari politik. Hal tersebut terbukti dari

berjalannya proses doktrinasi logika internal dan eksternal militer oleh para

purnawirawan di ranah sipil. Antara lain pemanfaatan pengaruh purnawirawan oleh

partai politik untuk memobilisasi dukungan baik dari sipil hingga ke institusi militer

yang memberikan dampak bagi partai politik dan purnawirawan itu sendiri.

Partisipasi begitu penting dalam sebuah sistem politik demokrasi. Demokrasi

itu sendiri mengasumsikan bahwa yang paling mengetahui tentang apa yang baik bagi

seseorang adalah orang itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi secara

terus-menerus dari masyarakat untuk menunjukkan apa yang dianggap baik bagi

dirinya. Upaya masyarakat untuk menunjukkan apa yang dianggap baik (sesuai

17

dengan aspirasi dan kepentingannya) bisa dilakukan dengan melalui berbagai cara

(Asfar 2006, h. 13)

Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington

dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation

in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson

memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga

termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan

oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang

digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and

Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada

dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik

sukarela ataupun dipaksa, warga negara tetap melakukan partisipasi politik.

Huntington dan Nelson (1990, h. 9-10) mengatakan bahwa partisipasi politik

adalah kegiatan warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan

keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warga

negara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah

sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Definisi

partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut

Bolgherini (2010, h. 169), partisipasi politik yaitu, " ... a series of activities related to

political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—

legal, conventional, pacific, or contentious”. Bagi Bolgherini, partisipasi politik

18

adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan

untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak

langsung, dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.

Menurut Keyth Fauls (1999: 133) dalam Krisno Hadi (2006: 19), ditegaskan

bahwa partisipasi politik adalah keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari

individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup

keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap

pemerintah. Sehingga dari pengertian partisipasi politik merupakan pengertian yang

luas mencakup aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu pemerintahan serta

aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu pemerintahan serta aktivitas yang

berkaitan dengan penolakan atau beroposisi kepada pemerintah (dilihat dalam

Bawono 2008, h. 35).

Walaupun hanya sedikit para perwira militer memilih lapangan politik sebagai

pekerjaanya, namun profesi militer dapat bertindak sebagai suatu landasan politik.

Semakin tinggi kedudukan seorang perwira, semakin ia bersifat politis terutama pada

situasi-situasi pretorian dan revolusioner, yang melibatkan seluruh organisasi militer

dalam aksi politik. Didalam situasi politik yang stabil, hanya sedikit perwira yang

bersedia menggantikan profesi mereka dengan politik, akan tetapi dengan peranan

kelompok kecil yang berbuat demikian itu sangat vital terhadap setiap penjajakan

hubungan sipil-militer dan peranan militer moderen. Kenyataanya memang pola

hubungan sipil-militer di berbagai negara berbeda-beda tergantung dari sistem rezim

19

pemerintahan yang dianut oleh suatu negara. Kehadiran purnawirawan pun pasti

memberikan pengaruh tersendiri bagi pola hubungan antara sipil-militer. Sejarahnya

keterlibatan militer di ranah politik hadir bukan dari internal militer. Intervensi

kalangan sipil terhadap internal institusi militer mengakibatkan militer keluar dari

fungsinya.

Pasca reformasi, keberadaan purnawirawan tersebar kebeberapa partai politik.

Masuknya mereka kedalam institusi sipil telah menunjukkan bahwa dihilangkannya

militer dari politik bukan berarti menghentikan gerak dari purnawirawan. Memang

pada kenyataanya purnawirawan yang terlibat kedalam politik tidak sebanyak politisi.

Namun perlu dicermati, bahwa pasca reformasi, purnawirawan masih memiliki

charisma tersendiri hingga akhirnya mereka mampu menempati posisi-posisi strategis

didalam pemerintahan.

Dalam buku Pengantar Sosiologi Politik, Michael Rush dan Philip Althoff

yang dikutip oleh Damsar dalam Pengantar Sosiologi Politik mengidentifikasi

bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari

partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau

administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah

orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik

apapun secara total. Rush dan Althoff (2003) menilai semakin tinggi hierarki

partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti

yang diperlihatkan oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik. dimana garis vertikal

20

segitiga menunjukkan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas

dari keterlibatan orang-orang.

Gambar 1.1 Hierarki Partisipasi Politik

Menduduki jabatan politik atau administratif

Mencari jabatan politik atau administratif

Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi politik.

Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik.

Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi politik

Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi semi politik

Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya

Partisipasi dalam diskusi politik informal

Partisipasi dalam pemungutan suara (voting)

Apati total

Sumber: (dikutip dalam Damsar 2010, hal. 185)

Samuel P.Huntington dan Juan M. Nelson (1990, h. 188-190) menemukan

bentuk-bentuk partisipasi politik yang berbeda. Adapun bentuk-bentuk partisipasi

politik meliputi:

1. Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk

kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seoranng

calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses

pemilihan.

21

2. Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi

pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud

mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai persoalan-persoalan yang

menyangkut sejumlah besar orang.

3. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat

dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah mempengaruhi

pengambilan keputusan pemerintah.

4. Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap

pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh

manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.

5. Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan

keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik terhadap

orang-orang atau harta benda.

Pada akhirnya eksistensi purnawirawan didalam politik menimbulkan persepsi

dikalangan sipil. Secara sederhana persepsi dapat diartikan sebagai cara manusia

menangkap rangsangan. Sementara kognisi adalah cara manusia memberi arti pada

rangsangan (Rakhmat 2005, h. 58). Dalam hal ini sipil dianggap berupaya

mengembangkan kesan bermakna dari semua informasi yang mereka miliki atas

militer dan semua hal yang terjadi berkaitan dengan keterlibatan militer di wilayah

politik. Hal inilah yang disebut sebagai pandangan individu terhadap “dunianya”.

22

Tanpa memiliki pandangan tersebut, kita sulit untuk memahami perilaku individu

yang bersangkutan (Sobur 2003, h. 472).

Persepsi disebut inti komunikasi karena tanpa akurasi persepsi, maka

komunikasi tidak akan berjalan dengan efektif. Persepsi adalah faktor paling penting

dalam proses seleksi informasi, yaitu memilih sebuah pesan dan mengesampingkan

pesan lain yang sejenis. Jadi hasil penangkapan makna dan pesan pada suatu produk

komunikasi bisa disebut sebagai persepsi. Secara etimologis, persepsi berasal dari

bahasa latin perceptio, dari percipere, yang artinya menerima atau mengambil. Dalam

arti sempit, Leavitt mendefinisikan persepsi sebagai penglihatan atau bagaimana cara

seseorang melihat sesuatu. Sedangkan dalam arti luas, Leavitt mendiskripsikan

persepsi sebagai pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang mamandang

atau mengartikan sesuatu (dilihat dalam Sobur 2003, h. 445).

Menurut Pareek yang dikutip oleh Alex Sobur (2003, h. 446), Persepsi adalah

proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan menguji dan

memberikan reaksi kepada rangsangan panca indera atau data. Persepsi merupakan

proses menilai sehingga memiliki sifat evaluatif dan cenderung subjektif. Persepsi

bersifat evaluatif karena dengan persepsi seorang indivisu dapat menialai baik, buruk,

positif atau negatif sebuah rangsangan indrawi yang diterimanya. Persepsi juga

cenderung subjektif karena setiap individu memiliki perbedaan dalam kapasitas

menangkap rangsangan indrawi. Selain itu, setiap individu memiliki perbedaan filter

konseptual dalam melakukan persepsi, sehingga pengolahan rangsangan (stimuli)

23

pada tiap individu akan menghasilkan makna berbeda antara satu individu dengan

individu lain.

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan hasil

pengamatan terhadap suatu obyek melalu panca indera sehingga diperoleh suatu

pemahaman atau penilaian. Dalam persepsi, terkandung 3 penertian yaitu:

1. Merupakan hasil pengamatan

2. Merupakan hasil penilaian

3. Merupakan pengolahan akal dari data indrawi yang diperoleh melalui

pengamatan

Perspektif merupakan aktifitas menilai sehingga bersifat evaluatif dan

subyektif. Evaluatif berkaitan dengan nilai baik atau buruk atau positif-negatif.

Subyektif berarti adanya perbedaan kapasitas indrawi dan perbedaan filter konseptual

dari masing-masing individu dalam melakukan persepsi (Triastari 2011, h. 39). Pada

saat masih aktif purnawirawan militer tentunya akan dipandang oleh masyarakat

sebagai sekelompok profesional yang terpilih dan bertugas untuk melindungi negara.

Dalam militer terdapat doktrin yang esensial dalam dunia militer. Sehingga dari

doktrin tersebut mengalir adanya pengaturan posisi, fungsi dan peran militer terhadap

negara. Tidak hanya itu, melalui doktrin militer menunjukkan self image serta cara

dalam melihat masyarakat.

24

Doktrin terbentuk melalui perjalanan suatu bangsa. Sebagaimana yang kita

ketahui, self image militer sebagai pelopor, penjaga pembangunan bangsa, militer

juga memiliki hak penuh untuk secara aktif terlibat dalam peran-peran sosial politik,

selain di bidang pertahanan dan keamanan. Seringkali ditemukan perasaan diri tidak

selaras pada purnawirawan militer dalam menyesuaikan diri dengan reaksi

masyarakat sipil maupun perasaan orang lain, sehingga cenderung untuk berperilaku

defensif agar tidak mendapat celaan dari masyarakat yang memberikan reaksi yang

tidak sesuai.

Menurut Effendy (2005:135) mengenai “Persepsi sebagai proses dimana kita

jadi sadar akan objek atau peristiwa dalam lingkungan melalui ragam indera kita

seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan penjamahan”. Namun

demikian, karena persepsi tentang peristiwa atau objek tersebut tergantung pada suatu

ruang dan waktu, maka persepsi merupakan awal dalam pemikiran sistem informasi

yang mengandung nilai informasi yang sangat subyektif dan situasional. Menurut

Ihalauw (2005:87) menyebutkan bahwa “Persepsi adalah cara orang memandang

dunia ini. Dari defenisi yang umum ini dapat dilihat bahwa persepsi seseorang akan

berbeda dari yang lain, masyarakat dapat membentuk persepsi yang serupa antar

warga kelompok masyarakat tertentu”. Proses perubahan persepsi disebabkan oleh

proses feal atau fisikologik dari system syaraf pada indera manusia, jika suatu

stimulus tidak mengalami perubahan-perubahan misalnya, maka akan terjadi adaptasi

dan habituasi yaitu respon terhadap stimulus itu makin lama makin lemah

25

David Krech dan Ricard S. Crutcfield menyebutnya sebagai faktor fungsional

dan faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu

dan hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Persepsi bukan

ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, tapi karakteristik orang yang memberi

respon pada stimuli itu. Sementara itu, faktor struktural berasal dari stimuli fisik dan

efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu (Rakhmat 2005, h. 58).

Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Yusuf (1991, h. 108) sebagai

pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat

stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan

"interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada

saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian

pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure

terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang

berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang

bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara

menyeluruh (dilihat dalam Rahayu 2008, h. 50)

Melalui persepsi orang dapat mengenali dunia sekitarnya, yaitu dunia yang

terdiri atas benda, manusia dan kejadian-kejadian. Kejadian-kejadian itu dapat berupa

sistem budaya, norma-norma masyarakat atau berbagai kenyataan sosial. Persepsi

merupakan proses mental bagi individu tentang kesadaran dan reaksinya terhadap

stimulus. Kata-kata individu menurut Silverman (1971, h. 276) sangat penting

26

diperhatikan dalam mendiskusikan persepsi, karena persepsi merupakan aspek yang

sangat penting dari tingkah laku. Dengan demikian berarti bahwa persepsi terkait

antara individu dengan lingkungan sekelilingnya atau lingkungan sekitarnya (dilihat

dalam Rahayu 2008, h. 48).

Partisipasi purnawirawan dalam politik bukan suatu masalah sejauh mereka

tidak melibatkan institusinya untuk kepentingan tertentu. Demikian halnya anggota

militer aktif harus mengajukan surat pengunduran diri (pensiun) agar ia mendapat hak

sipilnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Keterlibatan para purnawirawan

dalam politik sama halnya dengan para politisi lain. Tujuan mereka terlibat adalah

untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan bergabung kedalam partai politik, mereka

akan lebih terlihat formal dalam proses konsolidasi menggalang dukungan dalam

berpolitik. Sebab hingga saai ini tokoh militer masih mempunyai kelebihan tersendiri

dimata sipil.

Karakteristik mereka yang tegas dalam mempimpin semasa menjadi militer

aktif dianggap cocok bagi Indonesia yang masih mengalami krisis di beberapa aspek.

Dengan demikian, pada dasarnya hak-hak sipil dan kebebasan dihormati serta

dijunjung tinggi. Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi

merupakan esensi dari demokrasi. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam

berpolitik merupakan ukuran demokrasi suatu negara. Dapat kita lihat dari pengertian

demokrasi tersebut secara normatif, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan

untuk rakyat (Mas‟oed 2003, h. 43).

27

Persepsi masyarakat sipil terhadap partisipasi politik para purnawirawan pasca

reformasi muncul karena adanya penilaian seseorang terhadap eksistensi kalangan

militer di wilayah politik. Apakah masyarakat menilai purnawirawan dapat dipercaya

atau tidak dan bagaimana dampaknya terhadap sipil sendiri menilai kehadiran mereka

ditengan proses konsolidasi demokrasi. Persepsi dalam hal tersebut merupakan

kemampuan individu dalam memberikan sikap, pemahaman, pengetahuan serta

tanggapan terhadap proses demokrasinya tersebut, sehingga diketahui keterlibatan

diri, sumbangan dan tanggung jawab dalam rangka partisipasi politiknya.

E. Definisi Konseptual

E.1 Partisipasi politik purnawirawan

Partisipasi politik adalah keterlibatan secara aktif dari individu atau kelompok

ke dalam proses pemerintahan baik keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan

maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Sehingga dari pengertian partisipasi

politik merupakan pengertian yang luas mencakup aktivitas mendukung atau terlibat

dalam suatu pemerintahan serta aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu

pemerintahan serta aktivitas yang berkaitan dengan penolakan atau beroposisi kepada

pemerintah. Disisi lain, keterlibatan purnawirawan dalam politik merupakan

kelanjutan militersasi kekuasaan negara tanpa uniform. Partisipasi politik

purnawirawan merupakan bentuk upaya individu purnawirawan telibat dalam

28

mendapatkan kedudukan politik dan administrative seperti legislatif hingga eksekutif

melalui keikutsertaan purnawirawan kedalam suatu partai politik.

E.2 Persepsi sipil

Persepsi merupakan pandangan atau bagaimana cara seseorang melihat

sesuatu. Persepsi adalah proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan,

mengartikan menguji dan memberikan reaksi kepada rangsangan panca indera atau

data. Melalui persepsi orang dapat mengenali dunia sekitarnya, yaitu dunia yang

terdiri atas benda, manusia dan kejadian-kejadian. Kejadian-kejadian itu dapat berupa

sistem budaya, norma-norma masyarakat atau berbagai kenyataan sosial. Persepsi

merupakan proses mental bagi individu tentang kesadaran dan reaksinya terhadap

stimulus. Dalam konteks penelitian ini sosok sipil merupakan istilah

kewarganegaraan masyarakat biasa yang membedakan antara penduduk dengan

militer. Sipil pada hakekatnya berkaitkan dengan pengelompokan masyarakat,

tepatnya menunjuk pada kelompok-kelompok sosial yang salah satu cirri utamanya

ialah sifat otonomi terhadap negara. Sipil dianggap sebagai syarat pembangunan

demokrasi. Menurut Franz Magnis Suseno, Civil Society bila didefinisikan secara

luas, sipil disamakan dengan masyarakat yang mandiri yang identik dengan

demokrasi. Dengan kata lain persepsi sipil merupakan padangan atau penilaian

individu sosial diluar institusi militer terhadap aktifitas yang dilakukan oleh kalangan

militer dalam kehidupan bernegara.

29

F. Definisi Operasional

F.1 Partisipasi politik

1. Mempengaruhi kebijakan

2. Memperebutkan jabatan politik & administrative baik di internal partai,

legislatif hingga eksekutif

F.2 Persepsi Politik

1. Adanya pengamatan

2. Adanya Penilaian

3. Adanya pengolahan akal dan indrawi yang diperoleh dari hasil pengamatan

F.3 Sipil

1. Memiliki hak politik

2. Bersifat kesewasembadaan, sukarela dan swadaya

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang lebih menitik

beratkan untuk memahami dan menjelaskan situasi tertentu, bukan hanya mencari

sebab akibat yang di teliti. Tujuan penulisan biasanya menjadi alasan dari

pelaksanaan penelitian. Penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan pada penelitian

30

sosial, dimana data yang dikumpulkan dinyatakan dalam bentuk nilai relatif dan

hasilnya bersifat obyektif serta berlaku sasaat dan setempat (Suklandarrumidi 2002,

h.117). Metode deskriptif adalah dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek

atau obyek penelitian seperti individu, lembaga, kelompok dan masyarakat pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagainya (Nawawi 1987, h. 63).

Selanjutnya ciri-ciri yang terdapat pada penelitian deskriptif ialah: Pertama,

memusatkan pada pemecahan, masalah-masalah yang ada pada masa sekarang atau

masalah-masalah aktual. Kedua, data-data yang dikumpulkan pertama-tama disusun,

dijelaskan dan kemudian dianalisa (Winarno 1982, h. 132).

G.1.1 Penelitian kualitatif dengan metode studi kasus

Penelitian yang akan dilakukan masuk kedalam jenis penelitian kulaitatis

karena kompleksitas dan interkoneksi dalam proses penyelidikannya. Pertama,

peneliti dan kasus yang diteliti tidak memiliki jarak. Sebab peneliti langsung terjun

kelapangan dan berhadapan langsung dengan narasumber. Kedua, peneliti tidak bebas

nilai dalam artian peneliti memposisikan diri dalam proses penginterpretasian data

namun dalam dalam prosesnya peneliti tetap menjunjung objektivitas agar dikelajutan

proses tidak menghadirkan bias-bias hasil penelitian (Denzin, Norman & Lincoln

1993, h. 4).

31

Metode studi kasus dipilih karena memiliki signifikansi untuk menjawab

persoalan pandangan masyarakat sipil terkait partisipasi purnawirawan dalam

perpolitikan di Indonesia. Menurut Robert K. Yin, studi kasus adalah sebuah cerita

yang unik, spesial atau menarik . Cerita kasus ini dapat berfokus pada suatu individu,

organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian disekitar. Yang coba

dikaji melalui desain studi kasus ini adalah penjelasan mengapa sesuatu yang menarik

itu bisa terjadi, bagaimana implementasinya dan apa yang dihasilkan dari sesuatu

yang menarik itu (Yin 2003, h. 12). Pertama, studi kasus dianggap relevan karana

sifatnya mampu menjawab pertanyaan „bagaimana‟. Dalam hal ini berkaitan dengan

pandangan terhadap politik purnawirawan di Indonesia studi kasus yang digunakan

adalah studi kasus dengan unit analisis tunggal. Studi kasus dengan unit analisa

tinggal dipilih karena mampu menjelaskan corak pandang masyarakat sipil khususnya

LSM dan lembaga penelitian dalam melihat perpolitikan purnawirawan di Indonesia

secara lebih mendalam.

Kedua, proses kontrol analisa peneliti nantinya akan minim. Sebab nantinya

peneliti tidaka akan mengaburkan kenyataan yang ada dilapangan terkait politik

purnawirawan dan haknya sebagai masyarakat sipil di negara yang demokrasi. Disisi

lain pula Indonesia yang multikultur kemungkinan akan membatasi jangkauan analisa

agar tidak terjadi pengaburan fokus. Peneliti nantinya hanya bisa meneliti bagaiamana

pandangan LSM dan Lembaga Penelitian dengan menggunakan multisumber bukti

seperti dokumen, arsip, observasi, wawancara, dan perangkat fisik selaku pihak yang

32

menjadi perwakilan dalam melihat purnawirawan dalam politik di Indonesia. Bognan

dan Taylor mengungkapkan bahwa “metode penelitian kualitatif” adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong 1994, h. 3).

Ketiga, kasus purnawirawan dalam politik di Indonesia merupakan sebuah

peristiwa yang kontemporer sehingga mampu dilacak melalui observasi dan

wawancara dengan informan. Studi kasus adalah metode penelitian yang mampu

menjawab fenomena kontemporer karena mampu mencakup metode pengambilan

data yang lebih luas daripada metode penelitian lain seperti historiografi atau survei.

Pada dasarnya dalam riset yang menggunakan metode penelitian studi kasus

nantinya akan memiliki berbagai kelemahan namun sebisa mungkin akan

diminimalisasi oleh peneliti. Seperti kebiasan hasil analisa karena keterlibatan

emosional peneliti dengan informan. Namun potensi permasalah tersebut akan

ditekan dengan cara melakukan wawancara pembanding dengan informan yang

berbeda sudut pandang sehingga situasi dapat dilihat secara lebih objektif.

Kelemahan kedua adalah kekhasan penggeneralisasian kekhasan kasus yang

sulit. Penelitian ini tidak ditujukan untuk menggeneralisasipolitik purnawirawan di

Indonesia dengan negara lain. Sebab studi kasus sendiri dapat digeneralisasi pada

proposisi teoritisnya bukan pada peristiwa alam atau penduduknya (Yin 2003, h. 14).

33

Kelemahan ketiga, penelitian menggunakan metode studi kasus membutuhkan

proses yang lama. Kelemahan yang terakhir bukanlah persoalan yang cukup serius

terkait semakin dekatnya pesta demokrasi pada tahun 2014 untuk menentukan siapa

presiden Indonesia yang akan memimpin Indonesia selama lima tahun kedepan.

G.1.2 Unit analisa penelitian

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga penelitian di D.I

Yogyakarta dipilih menjadi unit analisis sehubungan dengan tema yang akan diteliti.

Pertama, Beberapa banyak LSM dan lembaga penelitian di Yogyakarta dianggap

paling kompeten dan konsisten dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga yang

melayani masyarakat umum dan dijalankan dengan azas kesukarelaan. Kemudian hal

tersebut menjadi alasan mengapa LSM dan lembaga penelitian di Yogyakarta

dianggap keredibel untuk memperoleh data bagi proses alanisa penelitian.

Kedua, akses untuk memperoleh data ke LSM dan lembaga penelitian di

Yogyakata dianggap lebih mudah karena aktivis dan peneliti di Yogyakarta dianggap

tidak „pelit‟ dalam memberikan dan menjelaskan analisa mereka terkait bidang yang

mereka fokuskan. Itu terbukti dari berbagai kesempatan yang dilakukan oleh peneliti

sewaktu mencari data dalam kasus yang berbeda sehubungaan dengan kebutuhan

perkuliahan.

Peneliti akan memfokuskan pada LSM dan lembaga penelitian diluar

pemerintah yang fokus pada isu dan permasalahan demokrasi politik dan sosial,

34

hubungan sipil-militer, dan pemberdayaan masyarakat. Nantinya data yang diperoleh

dari narasumber berdasarkan fokus LSM dan lembaga penelitian tersebut tersebut

diharapkan mampu mewakilkan persepsi sipil dalam memandang purnawirawan

dalam perpolitikan di Indonesia.

G.1.3 Pengumpulan data

Proses perolehan data di lapangan akan menggunakan teknik multisumber

bukti. Pertama, wawancara dengan informan yang mengetahui perihal purnawirawan

dalam perpolitikan di Indonesia. Peneliti menggantungkan hampir sebagian besar

data dari hasil wawancara dengan informan. Objektivitas dalam wawancara dilakukan

dengan mengambil informan yang berbeda sudut pandang mengenai purnawirawan

dalam perpolitikan di Indonesia. Wawancara dilakukan secara open-ended yaitu

informan berhak menunjuk informan lain untuk ikut menyumbangkan data. Pada

akhirnya peneliti yang menentukan apakah informan baru memiliki kapasitas dan

relevansi dengan purnawirawan dalam perpolitikan di Indonesia. Proses wawancara

dilakukan secara informal namun terfokus, panduan wawancara hanya digunakan

untuk menjadi pemandu agar peneliti tidak keluar dari alur pertanyaan yang harusnya

diajukan. Dan peneliti akan menggukan dokumen, arsip, artikel media massa cetak

maupun elektronik bekaitan dengan penelitian.

35

G.1.4 Teknik analisa data

Setelah data-data dari lapangan dan media cetak maupun elektronik diperoleh,

selanjutnya akan dilakukan analisis. Pertama dimulai dengan pemilahan data data

menjadi lebih terfokus. Proses memilah data bukanlah suatu hal yang terpisah dari

analisis. Proses tersebut juga merupakan bagian dari proses analisis. Pilihan-pilihan

peneliti tentang bagian data mana yang diperlukan, mana yang dibuang, dan

informasi apa yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan

analitis. Proses yang dinamakan reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasi data secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik

dan diverifikasi (Zed 2004, h. 19). Nantinya pada proses pembuatan kesimpulan

peneliti akan bergantung pada temuan saat proses pengumpulan data sesuai dengan

kebutuhan untuk menjawab rumusan masalah dan bagaimana maksud kerangka

berfikir dibuat untuk menjelaskan analisa terhadap purnawirawan dalam perpolitikan

di Indonesia.

H. Sistematika penulisan

Penelitian ini menganalisa persepsi sipil terhadap partisipasi politik

purnawirawan di Indonesia pasca reformasi. Bab pertama akan menjelaskan

mengenai latar belakang, seluk beluk penelitian, dan logika penelitian yang dipakai

36

dalam membedah dan menganalisa permasalahn penelitian, seta metodologi yang

digunakan.

Bab kedua akan menjelaskan mengenai historitas perdebatan partisipasi

politik kalangan militer, dalam bab tersebut akan dibahas secara mendalam tentang

perdebatan yang terjadi antara sipil dan militer perihal ketelibatan militer dalam

kehidupan politik dan sosial.

Bab ketiga akan membahas tentang persepsi sipil terhadap formalitas

partisipasi politik purnawirawan pasca reformasi berdasarkan hasil wawancara

dengan narasumber disertakan dengan analisa penulis.

Bab keempat akan menjelaskan persepsi sipil terhadap militerisasi dan

militerisme pasca reformasi berdasrkan hasil wawancara dan analisa penulis.

Bab keliama akan disampaikan kesimpulan hasil penelitian sesuai dengan

temuan dan analisa data yang diperoleh selama penelitian.