Upload
buidang
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Runtuhnya kepemimpinan Soekarno merupakan awal lahirnya pemerintahan
yang bernuansa otoritarian di Indonesia. Terpilihnya Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia melalui TAP MPRS No XLIV/MPRS/1968 merupakan faktor
yang paling mempengaruhi mengapa militer memiliki kedudukan di dalam roda
pemerintahan kala itu. Soeharto kala itu menjalankan pemerintahannya dengan
menggunakan pendekatan militeristis. Latar belakang kemiliteran yang dimiliki
Soeharto menjadikan dirinya amat disegani ketika menjabat menjadi presiden
Indonesia. Dibawah komando sang presiden militer secara perlahan masuk ke dalam
ranah sipil dan secara berangsur-angsur mulai menjalankan fungsi sosial-politiknya,
dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 20 tahun 1982, maka landasan hukum
bagi ABRI pun menjadi kokoh dalam berpartisi diluar tugas dan fungsi utamanya,
istilahnya ber-Dwi Fungsi.
Selama tiga puluh dua tahun Soeharto menjabat, nuansa kepemimpinan ala
militer sangat kental, terlihat dari cara menangani setiap permasalah-permasalah yang
menyangkut konflik dan segala hal yang mengganggu stabilitas negara. Sebelum
undang-undang yang berkaitan dengan penghapusan Dwi Fungsi ABRI lahir dan
disahkan, militer dibawah presiden Soeharto memiliki peran yang dominan dalam
tugas dan fungsi di pemerintahan. Ketika masa Orde Baru, militer Indonesia telah
2
menunjukkan kekuatannya dalam mempengaruhi sistem pemerintahan dan politik.
Karena pada masa tersebut militer mendapatkan privilege yang luar biasa dari
Soeharto, hampir seluruh anggota militer yang memiliki jabatan tinggi dan memiliki
prestasi ditempatkan di sejumlah sektor publik dan birokrasi oleh Soeharto serta
Golkar sebagai partai penguasa saat itu untuk keperluan pengamanan kekuasaan.
Jabatan politik yang diberikan kepada militer adalah bentuk hadiah dari Soeharto
kepada antek-anteknya termasuk juga militer untuk mengisi sektor strategis guna
mengukuhkan kekuasaannya. Saat itu peran militer merambah hampir diseluruh
aspek kehidupan sosial, sehingga Wiliam Liddle dalam tulisannya menyebutnya
sebagai primus inter pares. Karena begitu besarnya peran mereka sehingga
berimplikasi pada melemahnya berbagai kekuatan sosial politik masyarakat dan
menguatnya korporatisme negara (Emmerson 2001, h. 78-79).
Saat ini perubahan peran militer di Indonesia telah mencakup perubahan
kedudukan dan fungsi dalam struktur ketatanegaraan, dimana sebelum adanya
ketentuan dalam UUD 1945 yang menegaskan bahwa TNI menjalankan fungsi
pertahanan, militer Indonesia (ABRI) juga memiliki fungsi sosial dan politik. Hal
tersebut didukung UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menyebutkan “Segala Warga Negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pada perkembangannya,
kebijakan Dwi Fungsi ABRI dalam derajat tertentu dapat dianggap sebagai
pembenaran bagi pemerintahan Soeharto untuk mengangkat sejumlah besar anggota
3
militer ke legislatif, serta menempatkan anggota militer di jabatan-jabatan eksekutif,
baik itu di tingkatan nasional maupun daerah yang menurutnya strategis. Selain itu,
militer juga ikut masuk dalam perusahaan-perusahaan milik negara yang merupakan
tulang punggung perekonomian nasional. Fungsi militer dalam politik tersebut
dijadikan sebagai kekuatan dan alat penopang kekuasaan Soeharto. Walaupun pada
perjalanannya, fungsi sosial politik ABRI ini mengalami pasang surut seiring dengan
dinamika dan konstelasi politik yang berkembang di Indonesia pada saat itu (Firdaus
2008, h. 2).
Setelah kurang lebih 32 tahun rakyat Indonesia merasa jenuh terhadap gaya
kepemimpinan Soeharto yang otoriter. Alhasil, terjadilah reformasi pemerintahan
pada tahun 1998 dengan agenda melengserkan Soeharto dari jabatan presiden dan
memecat antek-anteknya dari pemerintahan. Sejalan setelah peristiwa tersebut,
kedudukan para perwira militer yang menjabat di daerah maupun pusat mulai tergerus
digantikan oleh politisi sipil. Namun pada kenyataanya politik yang terjadi di
Indonesia pasca reformasi terkait kepemimpinan oleh militer seolah tidak hilang,
justru terjaga dengan baik namun dengan format aktor yang berbeda. Aktor baru yang
dimaksud adalah purnawirawan.
Pasca keluarnya militer dalam politik nasional memberikan angin segar bagi
keberlangsungan konsolidasi terwujudnya demokrasi yang lebih baik. Namun disisi
lain hadirnya para purnawirawan juga memberi warna lain dalam proses jalannya
demokrasi politik nasional. Beberapa pihak memaklumi hadirnya purnawirawan
4
kedalam politik sebagai suatu hal yang wajar, karena mereka telah berstatus sebagai
warga sipil. Akan tetapi, dilain pihak menilai hadirnya purnawirawan akan
mengganggu proses demiliterisme dalam komunitas sipil. Sebab jika bicara
purnawirawan, kita pasti bicara jiwa espirit de corps yang mereka miliki semasa
menjadi militer aktif.
Hadirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dalam Bab VII
tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD PROVINSI, dan DPRD
Kabupaten/Kota dalam Pasal 64 misalnya menyatakan bahwa: “Calon anggota DPD
dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia selain harus memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 63 huruf a, harus mengundurkan diri sebagai
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia.” Pasal 145 secara tegas menyatakan bahwa: “Dalam
Pemilu tahun 2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya.” Demikian halnya
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu melalui Pasal 318
menegaskan bahwa dalam Pemilu tahun 2009, anggota Tentara Nasional Indonesia
dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk
memilih. Dengan demikian secara konstitusi militer tidak lagi memiliki dapat terlibat
dalam polik. Namun hingga saat ini masih menjadi perdebatan, apakah aturan-aturan
tersebut memberikan penghalang bagi para militer maupun eks militer mempengaruhi
5
institusinya atau sebaliknya aturan yang ada sekarang hanya sebatas formalitas
semata bagi kalangan militer.
Tidak adanya aturan terkait batasan waktu yang jelas terhadap purnawirawan
hingga mereka dapat berpolitik membuat purnawirawan leluasa kapan saja untuk
terjun kedalam politik. Sejumlah purnawirawan seolah telah menemukan kendaraan
baru bagi mereka untuk mengekspresikan dirinya setelah masa komandonya usai
dengan masuk kedalam dunia politik. Penulis yakin bahwa hingga kini dan beberapa
tahun kedepan militer akan tetap memiliki kedigdayaan dalam politik. Bukti nyata
dari upaya militer pasca reformasi untuk tetap eksis dalam politik adalah dukungan
lembaga internal seperti Pepabri dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawiran dan
Putra Putri TNI/POLRI untuk menyatukan dukungan kepada anggotanya yang
terlibat dalam politik nasional. Hal tersebut membuktikan bahwa para purnawirawan
masih dekat dengan institusinya setelah mereka pensiun.
Analisa tim Kontras pada 2003 mengatakan bahwa reformasi di tubuh militer
berjalan setengah hati. Hal tersebut mengakibatkan hingga kini militer masih
memainkan peran dalam politk. Hal tersebut bisa dilihat pada Paradigma Baru TNI
pasca 1998 yaitu:
Paradigma yang dilandasi cara berpikir yang bersifat analitik dan prospektif
ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehensif yang memandang TNI sebagai
bagian dari sistem nasional. Paradigma baru ini dalam fungsi sosial politik
mengambil bentuk implementasi sebagai berikut; Merubah posisi dan metode tidak
selalu harus di depan. Hal ini mengandung arti bahwa kepeloporan dan keteladanan
TNI dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dulu amat
6
mengemuka dan secara kondisi obyektif memang diperlukan pada masa itu, kini
dapat berubah untuk memberi jalan guna dilaksanakan oleh institusi fungsional
(Mabes TNI 1999, h. 23).
Dalam ungkapan singkat, paradigma baru itu dirumuskan dalam jargon,
“tidak selalu harus di depan, tidak lagi menduduki tapi mempengaruhi, tidak lagi
mempengaruhi secara langsung, tetapi tidak langsung, siap membagi peran dengan
pihak sipil dalam pengambilan keputusan penting dengan komponen bangsa yang
lain.” Jargon baru ini mengantikan jargon lama yang full-power yaitu “TNI sebagai
stabilisator dan dinamisator” (Tim KontraS 2003, h. 26).
Jika disimak lebih dalam Paradigma Baru TNI mengisyaratkan beberapa hal
penting, pertama, pihak militer dalam perpolitikan Indonesia tidak seluruhnya
mundur melainkan bersyarat yaitu sejauh tidak melucuti privilege (hak keistimewaan)
yang telah dan sedang dinikmati. Jika privilege itu terganggu maka militer akan
memberanikan diri maju kedepan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Artinya mereka tidak akan surut dari panggung politik begitu saja. Contoh dari tidak
surutnya militer dari panggung politik secara langsung itu bisa dilihat dari banyaknya
para purnawirawan yang menjadi pimpinan partai politik peserta Pemilu 2004 hingga
saat ini dan menjadi calon anggota DPD dan Caleg DPR-RI (Ibid, h. 27). Perlu
diingat bahwa sepanjang Orba militer itu adalah organisasi kekuatan politik yang
sesungguhnya.
Kedua, Jargon itu mengisyaratkan bahwa dalam merumuskan paradigma
barunya, TNI tetap sebagai kekuatan politik utama. Hal itu terlihat pada kalimat
7
“dalam mengambil keputusan penting TNI siap berbagi peran dengan komponen
bangsa yang lain”. Dimasa Orba, ABRI adalah institusi yang berperan secara tunggal
dalam mengambil dan membuat keputusan penting. Dalam masa reformasi sekarang
militer siap berbagi dengan pihak kedua yaitu komponen bangsa lain, yakni
pemerintahan sipil.
Ketiga, dalam berbagi peran dengan pihak sipil ini, dalam paradigma barunya
militer tidak sama sekali menyadari bahwa peranannya dimasa lalu adalah peranan
yang telah menciptakan kekacauan‟. Disamping itu juga, militer tidak menyadari
bahwa dalam masa demokratisasi ini, sebagai norma-norma yang terpapar di depan,
pihak militer hanyalah pelaksana dari pemerintahan sipil. Dengan kata lain institusi
militer dengan paradigma barunya tidak mengubah secara signifikan budaya dan
postur dirinya dalam ruang sosial-politik. Dengan paradigma barunya kalangan
militer tetap berada dalam ruang konservatisme dengan kepercayaan pada supremasi
sipil dalam pengelolaan negara (Sukma 1999, h.13-17).
Secara formal memang purnawirawan telah berhenti menjadi anggota militer,
namun secara moral dan emosional mereka masih memiliki semangat espirit de cops
yang tinggi (Nugroho 2007, h. 7). Maka bukan tidak mungkin apabila cerita masa lalu
tentang supremasi militer atas sipil akan terulang kembali dan melahirkan sistem
militerisasi dan militeristik baru ditengah-tengah usaha sipil membangun demokrasi.
Militerisme sangat dekat dengan format kenegaraan yang militeristik, disamping juga
terjadinya militerisasi politik. Akan tetapi, „militerisme‟ secara subtantif berbeda
8
dengan „militeristik‟ atau „militerisasi‟. „Militeristik‟ merujuk pada watak
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang didominasi oleh militer dengan
disertai oleh pola yang amat militer, sedangkan „militerisasi‟ merujuk pada tampilnya
lembaga dan/atau individu militer menguasai lembaga-lembaga non-militer (Santoso
2000, h. 2).
Ironi lain hadir seolah tidak mempedulikan catatan penting selama masa
pemerintahan yang dipimpin oleh militer. Tidak berhenti pada partai yang berkuasa
kala itu. Beberapa partai yang memiliki komposisi purnawirawan muncul dan tumbuh
dengan baik didalam perkembangan pasca reformasi. Contoh saja Jendral TNI (Purn)
Wiranto di Hanura dan Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto di Gerindra, serta masih
banyak lagi purnawirwan yang ditempatkan partai di pos-pos penting untuk
memperoleh dukungan massa. Setelah sebelumnya Pertai Demokrat pada tahun 2004
berhasil memenangkan pemilu presiden dengan menempatkan Jendral TNI (Purn)
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden.
Pasca diputuskannya aturan bagi calon peserta pemilu, purnawirawan tersebar
disejumlah parpol lama dan baru. Pro kontra semakin menjadi seiring dengan
terpilihnya kembali SBY sebagai presiden pada sistem pemilihan langsung pada
2004, kemudian terpilih kembali pada pemilu 2009. Partai Demokrat sebagai salah
satu partai dalam skala makro yang berhasil mengusung SBY pada pemilu 2004
sebagai capres yang kemudian menang dan menjadi presiden. Selama dua periode
kepemimpinan SBY, indikasi pendekatan militeristik terhadap penanganan kasus
9
konfil Aceh dan Papua menjadi catatan khusus bagamana proses negosiasi ala sipil
dikesampingkan dalam proses penyelesaian konflik dalam negeri.
Hingga kini pemimpin berlatar belakang militer memang masih dianggap
mampu menghasilkan banyak hal positif yang sangat berguna dan dibutuhkan untuk
memimpin negara yang multikultur dan menganut sistem demokrasi yang masih labil.
Kondisi berbeda justru dialami politisi sipil yang lambat laun menurunkan
kepercayaan masyarakat dengan berbagai tindakan kriminal. Beberapa factor
mengapa militer masih dianggap menjadi solusi untuk memimpin bangsa. Pertama,
tingkat kedisiplinan purnawirawan yang tinggi, rasa nasionalisme dan cinta tanah air,
serta kepercayaan penuhnya terhadap ketuhanan dalam hidup dapat menjadi dasar
ideologi mereka sebagai pemimpin. Hal tersebut merupakan hasil dari tempaan
selama pendidikan kemiliterannya. Kedua, kekuatan fisik yang terlatih, kesigapan dan
ketanggapan dalam berfikir dan bersikap, dan kewaspadaan dalam melangkah dan
mengambil keputusan dapat menjadi kekuatan individu yang mendukung pergerakan
mereka dalam memimpin. Dan Ketiga, kepercayaan diri, kepercayaan terhadap
teman, dan kepercayaan serta kepatuhan terhadap pemimpin menjadi bekal dalam
kehidupan sehari-hari agar tetap terjaganya kekompakan dalam berkerja.
Sulit dipungkiri bagaimana masyarakat merasa berada ditengah kegundahan
untuk menentukan pilihannya dikemudian waktu pada saat pemilu berlangsung.
Banyaknya opini yang bermunculan dimasyarakat terhadap kepemimpinan
purnawirawan nantinya apabila berhasil kembali menang dalam pemilu. Luka dan
10
kebanggan yang dihadirkan dimasa Orba menjadi salah satu factor bagaimana
masyarakat menilai kepemimpinan militer dalam hal mengurusi negara. Format baru
militer yang hadir pasca reformasi juga sedikit demi sedikit berhasil mengikis
kekecewaan masyarakat yang ketika itu mengalami sistem politik otoriter ala militer
yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun.
Persepsi masyarakat terhadap sisi militer yang negatif sebelum reformasi
lambat laun terkikis seiring dengan berbagai kebijakan pemerintah yang
mengembalikan peran dan fungsi militer. Kaitannya dengan pemilu, masyarakat yang
merupakan salah satu basis penting sebuah negara berhak menentukan nasibnya
masing-masing sesuai dengan ideology negara yang demokratis. Artinya mereka saat
ini dihadapkan pada pilihan apakah harus memilih pemimpin berlatar militer yang
memiliki ketegasan, keahilan organisasi dan strategi. Atau kalangan non militer yang
dekat dengan sipil namun lemah dalam hal ketegasan dan kedisiplinan. Sebab
Indonesia masih membutuhkan sosok pemimpin yang mampu mengakomodir
berbagai kepentingan. Jika tidak memiliki kredibilitas serta kapabilitas yang
mumpuni maka mungkin dikemudian waktu Indonesia akan mengalami krisis
diberbagai aspek.
Secara operasional, sosok masyarakat sipil yang dimaksud mencakup
institusi-institusi non-pemerintah yang berada di masyarakat yang mewujudkan diri
melalui organisasi, perkumpulan atau pengelompokan sosial dan politik yang
berusaha untuk membangun kemandirian seperti organisasi sosial dan keagamaan,
11
lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga penelitian, kelompok-kelompok
kepentingan, dan sebagainya yang juga bisa mengambil jarak dan menunjukkan
otonomi terhadap negara bagi masyarakatnya.
Persoalan penting untuk dijawab dan sekaligus juga menjadi alasan mendasar
bagi dilakukannya studi ini, yaitu persoalan menyangkut bagaimana masyarakat sipil
memandang proses demokratisasi yang bergulir di Indonesia khususnya terkait makin
banyaknya purnawirawan yang terlibat dalam perpolitikan di Indonesia saat ini.
Sebab hal ini dirasa amat penting menjadi perhatian mengingat bahwa dalam dua
puluh lima tahun ke depan sasaran pembangunan politik Indonesia adalah mencapai
apa yang disebut demokrasi yang terkonsolidasi sebagaimana telah ditetapkan dalam
UU Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005- 2025.
Usaha untuk mereposisi peran dan fungsi tni dengan dibuatnya Tap MPR No
VI dan VII tentang pemisanan TNI dan POLRI serta perannya masing masing
ternyata berbanding dengan kenyataan dilapangan. Disalah satu sisi masyarakat,
khususnya para politisi sipil, terlihat berusaha mengakomodasi tuntutan reformasi
peran dan fungsi militer. Namun disisi lain, mereka juga menumbuhkan kembali
keinginan untuk tetap menempatkan militer sebagai salah satu partner kerja dalam
berpolitik. Sejalan dengan politisi sipil, militer juga terindikasi memiliki keinginan
kembali untuk menjadi aktor dalam politik nasional.
12
Dengan banyaknya tokoh-tokoh berlatar belakang militer pada akhirnya
mengundang beragam pandangan, persepsi, bahkan analisis-analisis yang terkadang
cenderung kurang berpijak. Asumsi ini tentu saja sangat masuk akal, misalkan ketika
seorang caleg memiliki latar belakang kemampuan dan jaringan kesenian (keartisan)
maka dirinya akan mengakomodir kemampuan dan jaringan tersebut demi
tercapainya tujuan. Contohnya Eko Patrio, Nurul Arifin, Rieke Dyah Pitaloka,
ataupun Terre, mereka akan menyanyi, berakting, atau melemparkan joke-joke untuk
membangun simpati masyarakat. Begitu juga ketika sosok kiai atau agamawan yang
juga memutuskan diri masuk ke dalam dunia politik praktis, maka dirinya secara
otomatis akan mengakomodasi kemampuan dan jaringannya untuk membangun
simpati dan mendulang suara masyarakat pemilih.
Imbasnya pun ketika sosok figur pribadi dengan latar belakang kemampuan
dan jaringan militer/purnawirawan ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi, dengan
sendirinya segala sumber daya yang dimilikinya akan didayagunakan, termasuk
terburuknya mengandalkan kekuatan intelejen. Akibatnya timbul kekhawatiran
dimana-mana dari peserta pemilu hingga para pemilih. Yang kemudian berdampak
pada lahirnya berbagai opini terkait hubungan sipil dan militer dalam proses
berdemokrasi.
Dilema lain kemudian hadir seiring dengan tuntutan masyarakat untuk
kemajuan bangsa. Dengan tetap konsistensinya para perwira militer yang telah
purnawirawan untuk berpatisipasi ke dalam politik dan inkonsistensinya politisi sipil
13
dalam berpolitik, bukan tidak mungkin babak baru dalam pendudukan militer atas
sipil dalam negara demi memperoleh kekuasaan akan hadir kembali diawali dengan
kebijakan-kebijakan yang militeristik. Indra J. Piliang menuturkan bahwa kehadiran
politisi mantan TNI dan Polri sebetulnya di negara-negara lain tidak menjadi
persoalan. Di Amerika Serikat veteran perang banyak yang langsung masuk ke calon
anggota parlemen. Ia menilai kehadiran para purnawirawan tidak menjadi persoalan,
sebab mereka sudah menjadi politisi sipil. Hanya saja Indonesia masih dalam proses
transisi menuju supremasi sipil, sehingga kehadiran para purnawirawan yang
merupakan eks militer akan sedikit bermasalah (Lihat kompas.co.id 2004, 5 Januari).
Dengan kata lain struktur yang kuat didalam internal purnawirwan termasuk pula
berkaitan dengan pengaruh korps dan pangkat akan mempengaruhi proses
konsolidasi. Hadirnya tokoh purnawirawan dalam partai politik sendiri memberikan
pengaruhi terhadap perolehan suara partai dari pusat hingga daerah.
Inkonsistensinya sipil dalam berpolitik semakin memberikan ruang bagi para
mantan militer untuk terlibat kembali dalam bursa perpolitkan di Indonesia. Disisi
lain keterlibatan purnawirawan dalam politik pun dipengaruhi dari instisusi sipil yaitu
partai politik yang mengaggap bahwa tokoh militer mampu memberikan efek positif
bagi partai dengan pengalam mereka semasa berkarir di militer ketika proses-proses
untuk mendapatkan suara dilakukan. Namun saat ini perlu kecermatan dalam melihat
eksistensi purnawirawan dalam politik, bahwa keberadaan mereka saat ini berbeda
dengan masa awal transisi, dimana saat elektabilitas mereka berimbang dengan tokoh
14
politik diluar militer. Seiiring dengan semakin cerdasnya pemilih terhadap tokoh
yang akan mereka pilih, purnawirawan saat ini sudah tidak lagi menjadi aktor krusial
untuk dipilih. Sebab saai ini penulis melihat persaingan lebih kepada visi, misi dan
gagasan logis apa yang ditawarkan dan siap dipertanggung jawabkan kepada sipil
agar mereka dipilih.
B. Rumusan Masalah
Pertanyaan kunci dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana persepsi sipil terhadap partisipasi politik purnawirawan di Indonesia
pasca reformasi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang bertemakan tentang persepsi masyarakat sipil terhadap
partisipasi purnawirawan dalam perpolitikan Indonesia adalah untuk menyingkap
tanggapan dari sipil atas eksistensi kalangan militer yang terlibat dalam politik pasca
reformasi. Sebab dari awal reformasi telah menggariskan kehidupan sosial politik
Indonesia pasca mundurnya Soeharto harus bebas dari segala bentuk cengkraman
militerisme.
D. Kerangka teori
Persepsi kalangan sipil terhadap eksistensi purnawirawan dalam politik adalah
dampak dari tetap berpatisipasinya kalangan militer dalam perpolitikan nasional.
Pertisipasi politik kalangan militer dalam politik pasca reformasi hingga kini masih
15
menjadi sebuah perdebatan panjang. Apakah mereka seharusnya memiliki hak atas
politik sama halnya dengan sipil atau mereka tidak sama sekali memiliki hak diluar
fungsi dan tugas mereka sebagai penjaga kedaulatan negara. Hingga kini masih lekat
diingatan bahwa militer baik aktif maupun telah purnawirawan merupakan aktor
utama di masa orde baru. Artinya, eksistensi purnawirawan saat ini tak bisa
dilepaskan dari institusi mereka semasa aktif.
Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan bahwa berpartisipasinya para
purnawirawan di Indonesia pasca reformasi mempengaruhi persepsi kalangan sipil
terhadap eksistensi militer didalam politik. Meski militer tidak lagi berDwi Fungsi
seperti masa orde baru, partisipasi para purnawirawan di dalam politik memberikan
anggapan tersendiri, bahwa kehadiran mereka hanya sebatas bentuk formalitas baru
bagi institusi militer untuk mendominasi pemerintahan. Salah satu buktinya adalah
masih mendominasinya beberapa purnawirawan dalam susunan menteri pasca
reformasi.
Konsep dalam membangun kerangka teori adalas terkait pertisipasi politik
yang mempengaruhi timbulnya suatu persepsi. Mariam Budhiarjo (1982, h. 12)
mendefinisikan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok
orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan cara jalan
memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara
dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau
16
kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau
anggota parlemen. Dengan kata lain, persepsi sipil terhadap purnawirawan timbul
berkaitan dengan eksistensi mereka di dunia politik pasca reformasi.
Kehadiran purnawirawan dalam politik memberi warna tersendiri dalam
jalannya proses perpolitikan Indonesia yang demokratis. Kehadiran mereka dianggap
sebagai suatu hal yang wajar, sebab mereka telah menjadi sipil seutuhnya karena
telah pensiun dari institusi militer. Akan tetapi perlu dicermari dalam melihat
kehadiran purnawirawan dalam politik. Kehadiran purnawirawan dalam politik
merupakan suatu cara lain dari militer untuk mendapatkan kekuasaan baru pasca
reformasi. Dipilih dan terpilihnya purnawirawan di pemerintahan menggambarkan
bahwa militer tidak sepenuhnya lepas dari politik. Hal tersebut terbukti dari
berjalannya proses doktrinasi logika internal dan eksternal militer oleh para
purnawirawan di ranah sipil. Antara lain pemanfaatan pengaruh purnawirawan oleh
partai politik untuk memobilisasi dukungan baik dari sipil hingga ke institusi militer
yang memberikan dampak bagi partai politik dan purnawirawan itu sendiri.
Partisipasi begitu penting dalam sebuah sistem politik demokrasi. Demokrasi
itu sendiri mengasumsikan bahwa yang paling mengetahui tentang apa yang baik bagi
seseorang adalah orang itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi secara
terus-menerus dari masyarakat untuk menunjukkan apa yang dianggap baik bagi
dirinya. Upaya masyarakat untuk menunjukkan apa yang dianggap baik (sesuai
17
dengan aspirasi dan kepentingannya) bisa dilakukan dengan melalui berbagai cara
(Asfar 2006, h. 13)
Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington
dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation
in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson
memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga
termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan
oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang
digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and
Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada
dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik
sukarela ataupun dipaksa, warga negara tetap melakukan partisipasi politik.
Huntington dan Nelson (1990, h. 9-10) mengatakan bahwa partisipasi politik
adalah kegiatan warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warga
negara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah
sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Definisi
partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut
Bolgherini (2010, h. 169), partisipasi politik yaitu, " ... a series of activities related to
political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—
legal, conventional, pacific, or contentious”. Bagi Bolgherini, partisipasi politik
18
adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan
untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
Menurut Keyth Fauls (1999: 133) dalam Krisno Hadi (2006: 19), ditegaskan
bahwa partisipasi politik adalah keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari
individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup
keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap
pemerintah. Sehingga dari pengertian partisipasi politik merupakan pengertian yang
luas mencakup aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu pemerintahan serta
aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu pemerintahan serta aktivitas yang
berkaitan dengan penolakan atau beroposisi kepada pemerintah (dilihat dalam
Bawono 2008, h. 35).
Walaupun hanya sedikit para perwira militer memilih lapangan politik sebagai
pekerjaanya, namun profesi militer dapat bertindak sebagai suatu landasan politik.
Semakin tinggi kedudukan seorang perwira, semakin ia bersifat politis terutama pada
situasi-situasi pretorian dan revolusioner, yang melibatkan seluruh organisasi militer
dalam aksi politik. Didalam situasi politik yang stabil, hanya sedikit perwira yang
bersedia menggantikan profesi mereka dengan politik, akan tetapi dengan peranan
kelompok kecil yang berbuat demikian itu sangat vital terhadap setiap penjajakan
hubungan sipil-militer dan peranan militer moderen. Kenyataanya memang pola
hubungan sipil-militer di berbagai negara berbeda-beda tergantung dari sistem rezim
19
pemerintahan yang dianut oleh suatu negara. Kehadiran purnawirawan pun pasti
memberikan pengaruh tersendiri bagi pola hubungan antara sipil-militer. Sejarahnya
keterlibatan militer di ranah politik hadir bukan dari internal militer. Intervensi
kalangan sipil terhadap internal institusi militer mengakibatkan militer keluar dari
fungsinya.
Pasca reformasi, keberadaan purnawirawan tersebar kebeberapa partai politik.
Masuknya mereka kedalam institusi sipil telah menunjukkan bahwa dihilangkannya
militer dari politik bukan berarti menghentikan gerak dari purnawirawan. Memang
pada kenyataanya purnawirawan yang terlibat kedalam politik tidak sebanyak politisi.
Namun perlu dicermati, bahwa pasca reformasi, purnawirawan masih memiliki
charisma tersendiri hingga akhirnya mereka mampu menempati posisi-posisi strategis
didalam pemerintahan.
Dalam buku Pengantar Sosiologi Politik, Michael Rush dan Philip Althoff
yang dikutip oleh Damsar dalam Pengantar Sosiologi Politik mengidentifikasi
bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari
partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau
administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah
orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik
apapun secara total. Rush dan Althoff (2003) menilai semakin tinggi hierarki
partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti
yang diperlihatkan oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik. dimana garis vertikal
20
segitiga menunjukkan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas
dari keterlibatan orang-orang.
Gambar 1.1 Hierarki Partisipasi Politik
Menduduki jabatan politik atau administratif
Mencari jabatan politik atau administratif
Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi politik.
Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik.
Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi politik
Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi semi politik
Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya
Partisipasi dalam diskusi politik informal
Partisipasi dalam pemungutan suara (voting)
Apati total
Sumber: (dikutip dalam Damsar 2010, hal. 185)
Samuel P.Huntington dan Juan M. Nelson (1990, h. 188-190) menemukan
bentuk-bentuk partisipasi politik yang berbeda. Adapun bentuk-bentuk partisipasi
politik meliputi:
1. Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk
kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seoranng
calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses
pemilihan.
21
2. Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi
pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud
mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai persoalan-persoalan yang
menyangkut sejumlah besar orang.
3. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat
dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah.
4. Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap
pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh
manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.
5. Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik terhadap
orang-orang atau harta benda.
Pada akhirnya eksistensi purnawirawan didalam politik menimbulkan persepsi
dikalangan sipil. Secara sederhana persepsi dapat diartikan sebagai cara manusia
menangkap rangsangan. Sementara kognisi adalah cara manusia memberi arti pada
rangsangan (Rakhmat 2005, h. 58). Dalam hal ini sipil dianggap berupaya
mengembangkan kesan bermakna dari semua informasi yang mereka miliki atas
militer dan semua hal yang terjadi berkaitan dengan keterlibatan militer di wilayah
politik. Hal inilah yang disebut sebagai pandangan individu terhadap “dunianya”.
22
Tanpa memiliki pandangan tersebut, kita sulit untuk memahami perilaku individu
yang bersangkutan (Sobur 2003, h. 472).
Persepsi disebut inti komunikasi karena tanpa akurasi persepsi, maka
komunikasi tidak akan berjalan dengan efektif. Persepsi adalah faktor paling penting
dalam proses seleksi informasi, yaitu memilih sebuah pesan dan mengesampingkan
pesan lain yang sejenis. Jadi hasil penangkapan makna dan pesan pada suatu produk
komunikasi bisa disebut sebagai persepsi. Secara etimologis, persepsi berasal dari
bahasa latin perceptio, dari percipere, yang artinya menerima atau mengambil. Dalam
arti sempit, Leavitt mendefinisikan persepsi sebagai penglihatan atau bagaimana cara
seseorang melihat sesuatu. Sedangkan dalam arti luas, Leavitt mendiskripsikan
persepsi sebagai pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang mamandang
atau mengartikan sesuatu (dilihat dalam Sobur 2003, h. 445).
Menurut Pareek yang dikutip oleh Alex Sobur (2003, h. 446), Persepsi adalah
proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan menguji dan
memberikan reaksi kepada rangsangan panca indera atau data. Persepsi merupakan
proses menilai sehingga memiliki sifat evaluatif dan cenderung subjektif. Persepsi
bersifat evaluatif karena dengan persepsi seorang indivisu dapat menialai baik, buruk,
positif atau negatif sebuah rangsangan indrawi yang diterimanya. Persepsi juga
cenderung subjektif karena setiap individu memiliki perbedaan dalam kapasitas
menangkap rangsangan indrawi. Selain itu, setiap individu memiliki perbedaan filter
konseptual dalam melakukan persepsi, sehingga pengolahan rangsangan (stimuli)
23
pada tiap individu akan menghasilkan makna berbeda antara satu individu dengan
individu lain.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan hasil
pengamatan terhadap suatu obyek melalu panca indera sehingga diperoleh suatu
pemahaman atau penilaian. Dalam persepsi, terkandung 3 penertian yaitu:
1. Merupakan hasil pengamatan
2. Merupakan hasil penilaian
3. Merupakan pengolahan akal dari data indrawi yang diperoleh melalui
pengamatan
Perspektif merupakan aktifitas menilai sehingga bersifat evaluatif dan
subyektif. Evaluatif berkaitan dengan nilai baik atau buruk atau positif-negatif.
Subyektif berarti adanya perbedaan kapasitas indrawi dan perbedaan filter konseptual
dari masing-masing individu dalam melakukan persepsi (Triastari 2011, h. 39). Pada
saat masih aktif purnawirawan militer tentunya akan dipandang oleh masyarakat
sebagai sekelompok profesional yang terpilih dan bertugas untuk melindungi negara.
Dalam militer terdapat doktrin yang esensial dalam dunia militer. Sehingga dari
doktrin tersebut mengalir adanya pengaturan posisi, fungsi dan peran militer terhadap
negara. Tidak hanya itu, melalui doktrin militer menunjukkan self image serta cara
dalam melihat masyarakat.
24
Doktrin terbentuk melalui perjalanan suatu bangsa. Sebagaimana yang kita
ketahui, self image militer sebagai pelopor, penjaga pembangunan bangsa, militer
juga memiliki hak penuh untuk secara aktif terlibat dalam peran-peran sosial politik,
selain di bidang pertahanan dan keamanan. Seringkali ditemukan perasaan diri tidak
selaras pada purnawirawan militer dalam menyesuaikan diri dengan reaksi
masyarakat sipil maupun perasaan orang lain, sehingga cenderung untuk berperilaku
defensif agar tidak mendapat celaan dari masyarakat yang memberikan reaksi yang
tidak sesuai.
Menurut Effendy (2005:135) mengenai “Persepsi sebagai proses dimana kita
jadi sadar akan objek atau peristiwa dalam lingkungan melalui ragam indera kita
seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan penjamahan”. Namun
demikian, karena persepsi tentang peristiwa atau objek tersebut tergantung pada suatu
ruang dan waktu, maka persepsi merupakan awal dalam pemikiran sistem informasi
yang mengandung nilai informasi yang sangat subyektif dan situasional. Menurut
Ihalauw (2005:87) menyebutkan bahwa “Persepsi adalah cara orang memandang
dunia ini. Dari defenisi yang umum ini dapat dilihat bahwa persepsi seseorang akan
berbeda dari yang lain, masyarakat dapat membentuk persepsi yang serupa antar
warga kelompok masyarakat tertentu”. Proses perubahan persepsi disebabkan oleh
proses feal atau fisikologik dari system syaraf pada indera manusia, jika suatu
stimulus tidak mengalami perubahan-perubahan misalnya, maka akan terjadi adaptasi
dan habituasi yaitu respon terhadap stimulus itu makin lama makin lemah
25
David Krech dan Ricard S. Crutcfield menyebutnya sebagai faktor fungsional
dan faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu
dan hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Persepsi bukan
ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, tapi karakteristik orang yang memberi
respon pada stimuli itu. Sementara itu, faktor struktural berasal dari stimuli fisik dan
efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu (Rakhmat 2005, h. 58).
Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Yusuf (1991, h. 108) sebagai
pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat
stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan
"interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada
saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian
pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure
terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang
berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang
bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara
menyeluruh (dilihat dalam Rahayu 2008, h. 50)
Melalui persepsi orang dapat mengenali dunia sekitarnya, yaitu dunia yang
terdiri atas benda, manusia dan kejadian-kejadian. Kejadian-kejadian itu dapat berupa
sistem budaya, norma-norma masyarakat atau berbagai kenyataan sosial. Persepsi
merupakan proses mental bagi individu tentang kesadaran dan reaksinya terhadap
stimulus. Kata-kata individu menurut Silverman (1971, h. 276) sangat penting
26
diperhatikan dalam mendiskusikan persepsi, karena persepsi merupakan aspek yang
sangat penting dari tingkah laku. Dengan demikian berarti bahwa persepsi terkait
antara individu dengan lingkungan sekelilingnya atau lingkungan sekitarnya (dilihat
dalam Rahayu 2008, h. 48).
Partisipasi purnawirawan dalam politik bukan suatu masalah sejauh mereka
tidak melibatkan institusinya untuk kepentingan tertentu. Demikian halnya anggota
militer aktif harus mengajukan surat pengunduran diri (pensiun) agar ia mendapat hak
sipilnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Keterlibatan para purnawirawan
dalam politik sama halnya dengan para politisi lain. Tujuan mereka terlibat adalah
untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan bergabung kedalam partai politik, mereka
akan lebih terlihat formal dalam proses konsolidasi menggalang dukungan dalam
berpolitik. Sebab hingga saai ini tokoh militer masih mempunyai kelebihan tersendiri
dimata sipil.
Karakteristik mereka yang tegas dalam mempimpin semasa menjadi militer
aktif dianggap cocok bagi Indonesia yang masih mengalami krisis di beberapa aspek.
Dengan demikian, pada dasarnya hak-hak sipil dan kebebasan dihormati serta
dijunjung tinggi. Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi
merupakan esensi dari demokrasi. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam
berpolitik merupakan ukuran demokrasi suatu negara. Dapat kita lihat dari pengertian
demokrasi tersebut secara normatif, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat (Mas‟oed 2003, h. 43).
27
Persepsi masyarakat sipil terhadap partisipasi politik para purnawirawan pasca
reformasi muncul karena adanya penilaian seseorang terhadap eksistensi kalangan
militer di wilayah politik. Apakah masyarakat menilai purnawirawan dapat dipercaya
atau tidak dan bagaimana dampaknya terhadap sipil sendiri menilai kehadiran mereka
ditengan proses konsolidasi demokrasi. Persepsi dalam hal tersebut merupakan
kemampuan individu dalam memberikan sikap, pemahaman, pengetahuan serta
tanggapan terhadap proses demokrasinya tersebut, sehingga diketahui keterlibatan
diri, sumbangan dan tanggung jawab dalam rangka partisipasi politiknya.
E. Definisi Konseptual
E.1 Partisipasi politik purnawirawan
Partisipasi politik adalah keterlibatan secara aktif dari individu atau kelompok
ke dalam proses pemerintahan baik keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan
maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Sehingga dari pengertian partisipasi
politik merupakan pengertian yang luas mencakup aktivitas mendukung atau terlibat
dalam suatu pemerintahan serta aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu
pemerintahan serta aktivitas yang berkaitan dengan penolakan atau beroposisi kepada
pemerintah. Disisi lain, keterlibatan purnawirawan dalam politik merupakan
kelanjutan militersasi kekuasaan negara tanpa uniform. Partisipasi politik
purnawirawan merupakan bentuk upaya individu purnawirawan telibat dalam
28
mendapatkan kedudukan politik dan administrative seperti legislatif hingga eksekutif
melalui keikutsertaan purnawirawan kedalam suatu partai politik.
E.2 Persepsi sipil
Persepsi merupakan pandangan atau bagaimana cara seseorang melihat
sesuatu. Persepsi adalah proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan,
mengartikan menguji dan memberikan reaksi kepada rangsangan panca indera atau
data. Melalui persepsi orang dapat mengenali dunia sekitarnya, yaitu dunia yang
terdiri atas benda, manusia dan kejadian-kejadian. Kejadian-kejadian itu dapat berupa
sistem budaya, norma-norma masyarakat atau berbagai kenyataan sosial. Persepsi
merupakan proses mental bagi individu tentang kesadaran dan reaksinya terhadap
stimulus. Dalam konteks penelitian ini sosok sipil merupakan istilah
kewarganegaraan masyarakat biasa yang membedakan antara penduduk dengan
militer. Sipil pada hakekatnya berkaitkan dengan pengelompokan masyarakat,
tepatnya menunjuk pada kelompok-kelompok sosial yang salah satu cirri utamanya
ialah sifat otonomi terhadap negara. Sipil dianggap sebagai syarat pembangunan
demokrasi. Menurut Franz Magnis Suseno, Civil Society bila didefinisikan secara
luas, sipil disamakan dengan masyarakat yang mandiri yang identik dengan
demokrasi. Dengan kata lain persepsi sipil merupakan padangan atau penilaian
individu sosial diluar institusi militer terhadap aktifitas yang dilakukan oleh kalangan
militer dalam kehidupan bernegara.
29
F. Definisi Operasional
F.1 Partisipasi politik
1. Mempengaruhi kebijakan
2. Memperebutkan jabatan politik & administrative baik di internal partai,
legislatif hingga eksekutif
F.2 Persepsi Politik
1. Adanya pengamatan
2. Adanya Penilaian
3. Adanya pengolahan akal dan indrawi yang diperoleh dari hasil pengamatan
F.3 Sipil
1. Memiliki hak politik
2. Bersifat kesewasembadaan, sukarela dan swadaya
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang lebih menitik
beratkan untuk memahami dan menjelaskan situasi tertentu, bukan hanya mencari
sebab akibat yang di teliti. Tujuan penulisan biasanya menjadi alasan dari
pelaksanaan penelitian. Penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan pada penelitian
30
sosial, dimana data yang dikumpulkan dinyatakan dalam bentuk nilai relatif dan
hasilnya bersifat obyektif serta berlaku sasaat dan setempat (Suklandarrumidi 2002,
h.117). Metode deskriptif adalah dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek
atau obyek penelitian seperti individu, lembaga, kelompok dan masyarakat pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagainya (Nawawi 1987, h. 63).
Selanjutnya ciri-ciri yang terdapat pada penelitian deskriptif ialah: Pertama,
memusatkan pada pemecahan, masalah-masalah yang ada pada masa sekarang atau
masalah-masalah aktual. Kedua, data-data yang dikumpulkan pertama-tama disusun,
dijelaskan dan kemudian dianalisa (Winarno 1982, h. 132).
G.1.1 Penelitian kualitatif dengan metode studi kasus
Penelitian yang akan dilakukan masuk kedalam jenis penelitian kulaitatis
karena kompleksitas dan interkoneksi dalam proses penyelidikannya. Pertama,
peneliti dan kasus yang diteliti tidak memiliki jarak. Sebab peneliti langsung terjun
kelapangan dan berhadapan langsung dengan narasumber. Kedua, peneliti tidak bebas
nilai dalam artian peneliti memposisikan diri dalam proses penginterpretasian data
namun dalam dalam prosesnya peneliti tetap menjunjung objektivitas agar dikelajutan
proses tidak menghadirkan bias-bias hasil penelitian (Denzin, Norman & Lincoln
1993, h. 4).
31
Metode studi kasus dipilih karena memiliki signifikansi untuk menjawab
persoalan pandangan masyarakat sipil terkait partisipasi purnawirawan dalam
perpolitikan di Indonesia. Menurut Robert K. Yin, studi kasus adalah sebuah cerita
yang unik, spesial atau menarik . Cerita kasus ini dapat berfokus pada suatu individu,
organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian disekitar. Yang coba
dikaji melalui desain studi kasus ini adalah penjelasan mengapa sesuatu yang menarik
itu bisa terjadi, bagaimana implementasinya dan apa yang dihasilkan dari sesuatu
yang menarik itu (Yin 2003, h. 12). Pertama, studi kasus dianggap relevan karana
sifatnya mampu menjawab pertanyaan „bagaimana‟. Dalam hal ini berkaitan dengan
pandangan terhadap politik purnawirawan di Indonesia studi kasus yang digunakan
adalah studi kasus dengan unit analisis tunggal. Studi kasus dengan unit analisa
tinggal dipilih karena mampu menjelaskan corak pandang masyarakat sipil khususnya
LSM dan lembaga penelitian dalam melihat perpolitikan purnawirawan di Indonesia
secara lebih mendalam.
Kedua, proses kontrol analisa peneliti nantinya akan minim. Sebab nantinya
peneliti tidaka akan mengaburkan kenyataan yang ada dilapangan terkait politik
purnawirawan dan haknya sebagai masyarakat sipil di negara yang demokrasi. Disisi
lain pula Indonesia yang multikultur kemungkinan akan membatasi jangkauan analisa
agar tidak terjadi pengaburan fokus. Peneliti nantinya hanya bisa meneliti bagaiamana
pandangan LSM dan Lembaga Penelitian dengan menggunakan multisumber bukti
seperti dokumen, arsip, observasi, wawancara, dan perangkat fisik selaku pihak yang
32
menjadi perwakilan dalam melihat purnawirawan dalam politik di Indonesia. Bognan
dan Taylor mengungkapkan bahwa “metode penelitian kualitatif” adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong 1994, h. 3).
Ketiga, kasus purnawirawan dalam politik di Indonesia merupakan sebuah
peristiwa yang kontemporer sehingga mampu dilacak melalui observasi dan
wawancara dengan informan. Studi kasus adalah metode penelitian yang mampu
menjawab fenomena kontemporer karena mampu mencakup metode pengambilan
data yang lebih luas daripada metode penelitian lain seperti historiografi atau survei.
Pada dasarnya dalam riset yang menggunakan metode penelitian studi kasus
nantinya akan memiliki berbagai kelemahan namun sebisa mungkin akan
diminimalisasi oleh peneliti. Seperti kebiasan hasil analisa karena keterlibatan
emosional peneliti dengan informan. Namun potensi permasalah tersebut akan
ditekan dengan cara melakukan wawancara pembanding dengan informan yang
berbeda sudut pandang sehingga situasi dapat dilihat secara lebih objektif.
Kelemahan kedua adalah kekhasan penggeneralisasian kekhasan kasus yang
sulit. Penelitian ini tidak ditujukan untuk menggeneralisasipolitik purnawirawan di
Indonesia dengan negara lain. Sebab studi kasus sendiri dapat digeneralisasi pada
proposisi teoritisnya bukan pada peristiwa alam atau penduduknya (Yin 2003, h. 14).
33
Kelemahan ketiga, penelitian menggunakan metode studi kasus membutuhkan
proses yang lama. Kelemahan yang terakhir bukanlah persoalan yang cukup serius
terkait semakin dekatnya pesta demokrasi pada tahun 2014 untuk menentukan siapa
presiden Indonesia yang akan memimpin Indonesia selama lima tahun kedepan.
G.1.2 Unit analisa penelitian
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga penelitian di D.I
Yogyakarta dipilih menjadi unit analisis sehubungan dengan tema yang akan diteliti.
Pertama, Beberapa banyak LSM dan lembaga penelitian di Yogyakarta dianggap
paling kompeten dan konsisten dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga yang
melayani masyarakat umum dan dijalankan dengan azas kesukarelaan. Kemudian hal
tersebut menjadi alasan mengapa LSM dan lembaga penelitian di Yogyakarta
dianggap keredibel untuk memperoleh data bagi proses alanisa penelitian.
Kedua, akses untuk memperoleh data ke LSM dan lembaga penelitian di
Yogyakata dianggap lebih mudah karena aktivis dan peneliti di Yogyakarta dianggap
tidak „pelit‟ dalam memberikan dan menjelaskan analisa mereka terkait bidang yang
mereka fokuskan. Itu terbukti dari berbagai kesempatan yang dilakukan oleh peneliti
sewaktu mencari data dalam kasus yang berbeda sehubungaan dengan kebutuhan
perkuliahan.
Peneliti akan memfokuskan pada LSM dan lembaga penelitian diluar
pemerintah yang fokus pada isu dan permasalahan demokrasi politik dan sosial,
34
hubungan sipil-militer, dan pemberdayaan masyarakat. Nantinya data yang diperoleh
dari narasumber berdasarkan fokus LSM dan lembaga penelitian tersebut tersebut
diharapkan mampu mewakilkan persepsi sipil dalam memandang purnawirawan
dalam perpolitikan di Indonesia.
G.1.3 Pengumpulan data
Proses perolehan data di lapangan akan menggunakan teknik multisumber
bukti. Pertama, wawancara dengan informan yang mengetahui perihal purnawirawan
dalam perpolitikan di Indonesia. Peneliti menggantungkan hampir sebagian besar
data dari hasil wawancara dengan informan. Objektivitas dalam wawancara dilakukan
dengan mengambil informan yang berbeda sudut pandang mengenai purnawirawan
dalam perpolitikan di Indonesia. Wawancara dilakukan secara open-ended yaitu
informan berhak menunjuk informan lain untuk ikut menyumbangkan data. Pada
akhirnya peneliti yang menentukan apakah informan baru memiliki kapasitas dan
relevansi dengan purnawirawan dalam perpolitikan di Indonesia. Proses wawancara
dilakukan secara informal namun terfokus, panduan wawancara hanya digunakan
untuk menjadi pemandu agar peneliti tidak keluar dari alur pertanyaan yang harusnya
diajukan. Dan peneliti akan menggukan dokumen, arsip, artikel media massa cetak
maupun elektronik bekaitan dengan penelitian.
35
G.1.4 Teknik analisa data
Setelah data-data dari lapangan dan media cetak maupun elektronik diperoleh,
selanjutnya akan dilakukan analisis. Pertama dimulai dengan pemilahan data data
menjadi lebih terfokus. Proses memilah data bukanlah suatu hal yang terpisah dari
analisis. Proses tersebut juga merupakan bagian dari proses analisis. Pilihan-pilihan
peneliti tentang bagian data mana yang diperlukan, mana yang dibuang, dan
informasi apa yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan
analitis. Proses yang dinamakan reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik
dan diverifikasi (Zed 2004, h. 19). Nantinya pada proses pembuatan kesimpulan
peneliti akan bergantung pada temuan saat proses pengumpulan data sesuai dengan
kebutuhan untuk menjawab rumusan masalah dan bagaimana maksud kerangka
berfikir dibuat untuk menjelaskan analisa terhadap purnawirawan dalam perpolitikan
di Indonesia.
H. Sistematika penulisan
Penelitian ini menganalisa persepsi sipil terhadap partisipasi politik
purnawirawan di Indonesia pasca reformasi. Bab pertama akan menjelaskan
mengenai latar belakang, seluk beluk penelitian, dan logika penelitian yang dipakai
36
dalam membedah dan menganalisa permasalahn penelitian, seta metodologi yang
digunakan.
Bab kedua akan menjelaskan mengenai historitas perdebatan partisipasi
politik kalangan militer, dalam bab tersebut akan dibahas secara mendalam tentang
perdebatan yang terjadi antara sipil dan militer perihal ketelibatan militer dalam
kehidupan politik dan sosial.
Bab ketiga akan membahas tentang persepsi sipil terhadap formalitas
partisipasi politik purnawirawan pasca reformasi berdasarkan hasil wawancara
dengan narasumber disertakan dengan analisa penulis.
Bab keempat akan menjelaskan persepsi sipil terhadap militerisasi dan
militerisme pasca reformasi berdasrkan hasil wawancara dan analisa penulis.
Bab keliama akan disampaikan kesimpulan hasil penelitian sesuai dengan
temuan dan analisa data yang diperoleh selama penelitian.