Upload
gama-muazzam
View
527
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
SOSIOLOGI POLITIK
HUBUNGAN SIPIL-MILITER
Dosen Pengampu : Nur Hidayah, M. Si.
Oleh :
Wachas Prayogi (10413244015)
Muchammad Azmi Syafieq (10413244031)
Suhartantri Puji Utami (10413244033)
Anggun Dwijayanti (10413244038)
PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
BABI
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Di Indonesia hububgan sipil-militer sangat menonjol terwujud tidak hanya dalam batas-batas
yang tegas atas peran dan fungsi masing-masing tetapi juga dalam kerjasama yang harmonis
antara keduanya, khususnya dalam upaya merealisasikan cita-cita nasional. Setelah reformasi
merupakan titik balik bagi kehidupan sosial politik di Indonesia. Hubungan sipil-militer yang
perlu diurai dan dicari solusinya berkisar pada bagaimana membangun keserasian hubungan
antara sipil dan militer dan meletakan hubungan tersebut dalam kerangka kerja sebuah sistem
politik di Indonesia.
Pada zaman orde baru, ada istilah Civilian inferiority complex yang merujuk pada persoalan
hubungan sipil-militer. Persoalannya adalah ketimpangan peran antara militer ddan sipil
dalam segala bidang kehidupan hingga menyebabkan dominasi militer terhadap sipil.
Ketidakberdayaan sipil merupakan hasil dari ketimpangan tersebut, yang di dalamnya
mengandung dan menumpuk berbagai masalah sosial, budaya, dan politik yang teredam
tetapi tidak terselesaikan sama sekali. Dengan kata lain, militer yang memiliki peran besar
dalam politik cenderung selaras dengan kediktatoran dan personalisme politik.
B. RumusanMasalah
1. Apakah yang dimaksud dengan hubungan sipil-militer?
2. Bagaimana dinamika perkembangan hubungan sipil-militer di Indonesia?
3. Bagaimana peranan hubungan sipil-militer terhadap perkembangan politik di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud hubungan sipil-militer?
2. Untuk mengetahui perkembangan hubungan sipil-militer di Indonesia?
3. Untuk mengetahui peranan hubungan sipil-militer terhadap perkembangan politik di
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Hubungan Sipil-Militer
Secara garis besar hubungan sipil-militer ini dapat didefinisikan sebagai interaksi antara
lembaga militer di satu sisi dengan pengambil keputusan negara/pemerintah , LSM,
pemimpin opini publik dan masyarakat disisi lain. Hubungan sipil-militer umumnya
mengacu pada interaksi antara angkatan bersenjata sebagai Lembaga dan masyarakat yang
mereka milik. Dalam hal definisi umum, sipil-militer demokratis hubungan berdiri untuk
pengelolaan yang efisien keamanan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi serta dari lembaga
pemerintah terkait dengan bidang yang disebutkan di atas. Negara maju, dengan beberapa
pengecualian telah mampu mempertahankan demokrasi Hubungan Sipil-Militer, sistem di
mana elit sipil memiliki kekuatan untuk membuat keputusan akhir.
Hubungan sipil militer tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan perkembangan bangsa
dan negara. Dalam masa perang warga sipil ikut terlibat secara aktif melakukan perlawanan
bersenjata, sedangkan masa damai pihak militer turut aktif dalam pembangunan di segala
aspek kehidupan bangsa. Sipil maupun militer senantiasa berjuang dalam mengatasi segenap
hakikat ancaman yang dihadapi bangsa dan negara. Hubungan sipil militer dalam
penyelenggaraan negara tersebut sesuai dengan perjalanan waktu, mengalami fluktuasi.
Kedangkala keserasian hubungan tersebut mengalami pasang, dan kadang kala mengalami
surut.
Hubungan yang cukup sensitif bagi negara yang menuju proses demokrasi dan berpeluang
menimbulkan isu-isu yang cukup hangat tetapi tidak sensitif bagi negara yang sudah
melewati transisi demokrasi. Suka atau tidak suka di-era kontemporer ini tumpuan pokok
konsolidasi hubungan sipil-militer akan menjadi beban Departemen Pertahanan. Menjadi
pertanyaan besar bagi negeri ini, bagaimana seharusnya standar format hubungan sipil-
militer. Barangkali masih sulit dicarikan jawabannya, meski tuntutan demokrasi, tuntutan
kontrol sipil atas militer menjadi salah satu prasyarat negara yang demokratik. Hubungan
sipil-militer yang berkembang serasi pada akhirnya akan menyumbangkan banyak manfaat,
bukan hanya bagi perkembangan Indonesia tetapi juga merupakan perwujudan nyata dari
prinsip-prinsip Ketahanan Nasional.
Upaya untuk membangun format baru hubungan sipil-militer dalam masyarakat demokratis
memerlukan landasan yang lebih fundamental, pra syarat yang penting adalah terbentuknya
pemerintahan demokratis yang mencakup rule of law, akuntabilitas publik dalam kaitan
delicate balance tentang otonomi militer dalam kebijakan personel, penentuan tingkat
kekuatan, masalah pendidikan dan doktrin militer. Dalam rangka mencari dan merumuskan
hubungan baru Sipil-Militer yang harmonis harus ada kemauan dari semua komponen bangsa
(sipil-militer) yang berlandaskan kepada nilai moral dan sikap mental yang saling
menghormati dan menghargai (mutual respect) dan saling bekerja sama untuk mewujudkan
Indonesia Baru berdasarkan prinsip yang ditetapkan sesuai otoritas pengambilan keputusan.
B. Dinamika Perkembangan Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
Sejarah hubungan sipil-militer Indonesia dapat ditelusuri sejak awal kemerdekaan.
Perkembangan tersebut nampak tidak bergerak linier, melainkan mengalami pasang surut.
Perubahan-perubahan yang berlangsung dalam sejarah politik Indonesia modern secara
umum dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :
1. Era Revolusi Fisik
Hubungan sipil-militer di Indonesia terwujud sejak tahun pertama kemerdekaan pada saat
rakyat mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda yang ingin kembali menguasai
Indonesia. Hubungan kerjasama antar rakyat dan pemerintah serta eks-tentara KNIL
mewujud dalam bentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). TKR merupakan cikal bakal Tentara Naional
Indonesia (TNI). Praktis pada era ini hubungan sipil-militer dalam penyelenggaraan atau
pengelolaan negara berlangsung tanpa masalah.
2. Era Demokrasi Liberal dan Terpimpin
Dalam era ini hubungan sipil-militer mulai dihadapkan pada persoalan-persoalan
pembagian dan pelibatan peran masing-masing pihak dalam pengelolaan negara. Di satu
pihak, perkembangan politik menunjukkan bahwa urusan-urusan politik dan negara
merupakan bagian-bagian pokok dari tugas dan tanggung jawab sipil. Di lain pihak,
militer yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan mewujudkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak dapat begitu saja dibebaskan dari tugas
dan tanggung jawab pengelolan negara.
Beberapa peristiwa politik mencerminkan keberadaan hubungan sipil-militer tersebut.
Yang terungkap antara lain gerakan politik yang dilakukan oleh pimpinan serta perwira
militer yang dikenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Pada peristiwa ini, militer
berupaya menuntut Presiden Soekarno untuk membubarkan DPRS karena dipandang
telah merugikan pihak militer. Secara umum, dapat dikatakan bahwa periode ini
merupakan masa awal keterlibatan langsung militer dalam kehidupan sosial politik di
Indonesia. Pada akhir periode ini, ketika polarisasi politik semakin menajam, militer
menjadi salah satu kutub dalam segitiga politik, yaitu Soekarno, PKI, dan Militer. Ketika
terjadi peristiwa G30S/PKI militer menjadi satu-satunya kekuatan politik yang
mendominasi kehidupan politik tanpa ada kekuatan penyeimbang.
3. Era Orde Baru
Hubungan sipil-militer dan lebih tepatnya peran politik-militer pada masa orde baru
memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan kehidupan demokrasi Indonesia.
Dalam praktek kehidupan sosial politik keseharian dominasi militer dapat dilihat pada
lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif. Pada lembaga eksekutif, data tahun 1980
memperlihatkan tingginya presentase anggota ABRI yang menduduki jabatan-jabatan
sipil, yaitu : duta besar 44,4% ; gubernur 70% ; bupati 56,6% . Sementara dalam lembaga
legislatif militer memiliki 100 orang wakil yang duduk di kursi DPR tanpa harus
mengikuti pemilu.
Peran politik-militer dalam kehidupan negara dan bangsa selama orde baru dapat
dikategorikan sesuai dengan kategorisasi S.E.Finer berikut ini :
a. Penguasaan langsung-terbuka (direct rule-open)
b. Penguasaan langsung-kuasi sipil (direct rule-quasi civilianized)
c. Dwi penguasaan (dual rule)
d. Penguasaan tidak langsung-terus menerus (indirect rule-continuous)
e. Penguasaan tidak langsung-terputus-putus (indirect rule-intermittent)
Lemahnya kontrol terhadap implementasi prinsip ini selain menciptakan sistem politik
yang semakin otoriter dan tidak terbuka, telah menimbulkan berbagai akses dari
perlibatan politik-militer. Tidak saja militer menjadi sangat dominan dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat dan negara, tetapi juga menunjukkan kecenderungan yang
sangat kuat bahwa pada akhirnya militer hanya menjadi alat penguasa untuk mengejar
kepentingan-kepentingan politiknya. Keserasian hubungan sipil-militer tidak terbangun
sama sekali. Dominasi militer semakin meluas dan cenderung menguasi berbagai sektor
dan bidang kehidupan masyarakat serta negara. Perkembangan seperti ini tampaknya
bukan hanya merusak hubungan sipil-militer itu sendiri, tetapi juga menurunkan citra dan
kedribilitas militer sebgai kekuatan pertahanan keamanan yang seharusnya bukan
membela kepentingan-kepentingan sempit penguasa dan kelompoknya.
4. Era Reformasi
Orde baru dianggap gagal, dan reformasi menjadi simbol baru yang memberikan
semangat terhadap berbagai bidang-bidang kehidupan masyarakat dan negara. Tuntutan
reformasi juga sejalan dengan tuntutan yang dibawa oleh arus globalisasi. Selain tuntutan
dalam penyesuaian sistem ekonominya, globalisasi mengumandangkan demokratisasi
terhadap setiap sistem politik totalitarian. Di sisi ini tuntutan reformasi tampak sangat
relevan bukan hanya untuk mewujudkan demokratiasi dan HAM, tetapi juga secara lebih
khusus memperbaharui hubungan sipil militer agar menjadi ekual dan harmonis.
Reformasi cukup tajam menyoroti posisi ABRI baik sebagai kekuatan HANKAM
maupun sebagai kekuatan sosial politik.
Secara konkrit, perubahan yang dilakukan dalam rangka megembangkan demokrasi
dalam kehidupan politik nasional dinyatakan dalam pengurangan jumlah kursi ABRI di
DPR dari 100 menjadi 75, dan dari 75 menjadi 38 kursi atas dasar undang-undang
susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru. Pemisahan POLRI dari ABRI
yang dilaksanakan pada tanggal 1 April 1999 merupakan upaya untuk mempertajam
fungsi masing-masing sehingga diharapkan POLRI dan TNI semakin profesional.
Distorsi hubungan sipil-militer
Di negara-negara barat, pada umumya pengendalian sipil atas militer terbentuk dari
budaya politik negara-negara tersebut khususnya sejak abad ke-18. Di sini peran militer
adalah bagaimana membantu aspirasi masyarakat di bawah pengendalian sipil dapat
tersalur dengan baik. Demikian pula terdapat upaya untuk menarik garis pemisah yang
tegas antara fungsi eksternal dan internal militer. Fungsi eksternal mejelaskan tugas dan
tanggung jawab utama militer, yakni membela dan mempertahankan eksistensi negara
dari ancaman dan serangan dari luar. Sedangkan fungsi internal menjelaskan peran
militer dalam keikutsertaan memelihara keamanan di dalam negeri. Tetapi, fungsi
internal seringkali menyeret militer dalam urusan-urusan politik. Karena itu dalam
pelaksanaannya, pemisahan yang tegas tersebut sulit diwujudkan terutama karena
kepentingan-kepentingan politik dan pragmatis baik dari individu maupun kelompok
untuk memanfaatkan keuntungan-keuntungan dari hubungan sipil-militer dengan karakter
utama.
Pengalaman di Indonesia dalam hubungan sipil-militer juga tidak lepas dari distorsi
sebagai kekuatan sosial politik. ABRI seharusnya melaksanakan fungsi sosial politik
yaitu berperan sebagai stabilisator dan dinamisator dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Berbagai pengalaman tersebut mestinya menjadi pelajaran yang berharga bagi
Indonesia. Salah satu yang perlu diingat adalah apabila pembangunan ekonomi yang
berhasil tetapi tidak diimbangi dengan pembangunan dan pemberdayaan lembaga-
lembaga sosial dan politik. Pada dasarnya ketimpangan tersebut merupakan potensi bagi
apa yang secara luas dikenal sebagai political decay, yang pasti bukan merupakan kondisi
yang kondusif bagi perkembangan masyarakat umumnya dan pengembangan hubungan
sipil-militer yang serasi.
Permasalahan yang muncul dalam penyelenggaraan negara selama ini tampaknya masih
diwarnai oleh kebijakan pimpinan tertinggi negara yang selalu cenderung untuk tetap
berkuasa dengan mengabaikan moral dan nilai-nilai luhur kepribadian dan kebudayaan
bangsa. Di samping itu, kita selama ini terobsesi oleh pandangan negara-negara tertentu
dan konsepsi atau pemikiran orang-orang tertentu yang pada dasarnya dalam kaitan
penyelenggaraan negara terdapat dua dasar, ialah cara militer (military way) atau dengan
cara civil society. Dari kedua cara tersebut memang dapat dibedakan secara tegas, akan
tetapi konotasi hubungan sipil-militer yang terbentuk saat ini adalah permasalahan profesi
militer dan profesi sipil, sehingga menimbulkan kecemburuan yang berlebihan di antara
komponen bangsa tersebut dikarenakan adanya aturan main yang menyimpang dari
aturan yang telah disepakati sebelumnya.
C. Peran, Kontribusi Dan Tanggung Jawab Sipil- Militer Dalam Penyelenggaraan Negara
Hubungan sipil militer tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan perkembangan bangsa
dan negara. Dalam masa perang warga sipil ikut terlibat secara aktif melakukan perlawanan
bersenjata, sedangkan masa damai pihak militer turut aktif dalam pembangunan di segala
aspek kehidupan bangsa. Sipil maupun militer senantiasa berjuang dalam mengatasi segenap
hakikat ancaman yang dihadapi bangsa dan negara. Hubungan sipil militer dalam
penyelenggaraan negara tersebut sesuai dengan perjalanan waktu, mengalami fluktuasi.
Kedangkala keserasian hubungan tersebut mengalami pasang, dan kadang kala mengalami
surut.
Proses penyelenggaraan negara sangat dipengaruhi oleh hubungan sipil dan militer
disamping keberadaan lembaga- lembaga negara. Apabila sipil terlalu kuat mengontrol
militer akan melemahkan profesionalisme militer dan hanya sebagai alat politik, sedangkan
apabila militer terlampau dominan proses demokratisasi akan terhambat. Penyelenggaraan
negara menunjukkan bahwa peran, kontribusi dan tanggung jawab sipil militer sebenarnya
saling melengkapi satu dengan yang lain. Disamping itu bentuk perwujudan peran sipil
militer dalam penyelenggaraan ini senantiasa sangat dipengaruhi oleh tuntutan
perkembangan zaman yang berpedoman pada paradigm nasional yaitu pancasila, UUD 45,
wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
1. Peran Sipil- Militer
Peran sipil terhadap militer merupakan suatu proses yang terus berlanjut dan akan
berlangsung optimal di negara- negara dengan kematangan demokrasi dan nilai- nilai
moral yang dijunjung tinggi. Peran sipil- militer dalam penyelenggaraan negara bukanlah
merupakan dikotomi, tetapi harus saling mengisi kekurangan masing- masing.
Peran sipil dapat formal dan informal apabila ditinjau dari lembaga dan sifatnya. Peran
formal dalam penyelenggaraan negara melalui lembaga perwakilan rakyat, peradilan,
pemerintahan dan pengawasan. Sedangkan peran informal misalnya oleh organisasi
kemasyarakatan, partai politik, organisasi profesi dan keagamaan, dan LSM.
Peran militer dalam penyelenggaraan negara adalah di dalam organisasi militer,
walaupun di negara- negara tertentu militer dapat diberikan tugas di lingkungan sipil.
Militer adalah bagian dari sistem politik nasional yang berperan di bidang pertahanan dan
keamanan. Namun dibeberapa negara termasuk Indonesia, militer juga berperan di bidang
sosial politik. Peranan hubungan sipil- militer sangat penting untuk mengantisipasi
berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri.
Dalam konteks reformasi yang lebih umum, peran sipil- militer mungkin saja
diterjemahkan dalam usaha- usaha bersama memperlancar proses reformasi secara damai
melalui pendekatan social budaya dan anti kekerasan.
2. Kontribusi Sipil- Militer
Dalam masa perang dan damai sipil dan militer telah memberikan kontribusinya dalam
penyelenggaraan Negara. Sejarah bangsa menunjukkan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dari awal kemerdekaan dalam kondisi yang seadanya sampai dengan
bentuknya yang relative mapan saat ini terbentuk lewat perjuangan. Pengabdian militer
dan sipil terhadap bangsa bersama- sama memberikan kontribusi yang sangat berarti dan
saling mengisi. Pada era revolusi fisik beberapa orang gubernur yang berasal dari sipil
telah menjabat gubernur militer, sedangkan anggota militer banyak membantu
pemerintahan sipil.
Kontribusi militer dapat ditunjukkan dalam berbagai hal dan kegiatan. Kemampuan dan
keahlian dalam bidang- bidang teknik, misalnya, dalam situasi khusus dapat membantu
departemen terkait dalam menyelenggarakan fungsinya antara lain bidang perhubungan
darat, laut dan udara, telekomunikasi, konstruksi, kesehatan dan sebagainya. Pejabat
militer yang bertugas di lingkungan sipil berarti dibebastugaskan dari dinas aktif militer
sehingga loyalitas hanya kepada Negara, bukan kepada panglima angkatan bersenjata.
Demikian juga organisasi militer merupakan organisasi yang paling siap melaksanakan
SAR di darat dan di laut dan kemudian dilaksanakan bersama- sama instansi sipil dan
masyarakat. Kemampuan pengerahan pasukan secara cepat dapat melaksanakan tugas
SAR (search and Rescue) dalam situasi bencana alam atau musibah lain, tugas mengisi
kekosongan daerah terpencil di bidang pendidikan, kesehatan dan lingkungan , dan tugas-
tugas lain dalam rangka bhakti militer untuk meringankan penderitaan masyarakat sipil
dan untuk berkomunikasi secara simpatik.
Kontribusi sipil dapat dijabarkan dan atau terwujud dalam fungsi dan peran yang
mendukung dan mengembangkan organisasi profesionalisme militer. Secara khusus dapat
disebutkan bahwa sipil dapat memberikan kontribusi dalam menyebarluaskan
pengetahuan yang berada dalam lingkup ilmu dan budaya militer maupun ilmu
pertahanan dan keamanan. Ini bukan hanya membantu militer mensosialisasikan nilai-
nilai yang diembannya, tetapi sekaligus membantu masyarakat umum dalam berupaya
memahami dan mengerti seluk- beluk militer dan pertahanan keamanan. Pusat kajian
militer di perguruan tinggi misalnya, jelas merupakan contoh yang pas untuk
menunjukkan upaya- upaya sipil dalam memahami militer pada umumnya. Pusat kajian
seperti ini dapat memberikan kontribusi yang positif bagi hubungan sipil- militer
terutama karena kegiatannya mencakup pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat ilmu- ilmu yang berkaitan dengan masalah pertahanan dan keamanan.
Sementara itu kontribusi sipil diberikan melalui beragam profesi dalam kiprahnya dalam
berbagai bidang kehidupan Negara dan masyarakat baik politik, ekonomi, social budaya
maupun pertahanan keamanan.
3. Tanggung Jawab Sipil- Militer
Secara umum, sipil dan militer memiliki tanggung jawab bersama yang tidak dapat
dipisahkan dalam rangka menciptakan suatu bangsa dan Negara yang terintegrasi secara
kuat dengan mengupayakan penciptaan suasana aman, adil dan makmur. Tanggung jawab
ini merupakan tanggung jawab bersama yang dilakukan dan diwujudkan secara holistic,
tidak parsial.
Pada masa damai misalnya, baik sipil maupun militer mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab yang sama dalam mengupayakan terwujudnya cita- cita nasional yang
umumnya tertuang dalam konstitusi Negara. Memelihara dan memperkokoh persatuan
nasional, mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan social, dan menciptakan dan
memelihara ketertiban umum dan keamanan masyarakat maupun ikut serta menciptakan
perdamaian dunia merupakan bagian- bagian utama dari tanggung jawab sipil- militer
baik secara sendiri- sendiri maupun bersama- sama.
Tanggung jawab sipil diwujudkan dalam usaha- usaha nyata menciptakan dan
mengembangkan system nasional yang meliputi sub- sub system politik, ekonomi, social
budaya dan pertahanan keamanan yang membuka peluang dan kesempatan yang sama
bagi setiap warga Negara terlibat aktif dalam proses- proses politik, ekonomi, social
budaya dan petahanan keamanan. Sementara pada saat yang sama, tanggung jawab
militer dimanifestasikan dalam upaya- upaya menciptakan dan memelihara suasana yang
kondusif bagi bekerjanya system nasional secara fungsional dan efektif sehingga
memungkinkan kelancaran upaya- upaya bersama mewujudkan cita- cita nasional.
Secara bersama- sama, tanggung jawab sipil- militer terwujud dalam upaya- upaya
bersama menjaga, mempertahankan dan menjamin kedaulatan bangsa dan wilayah
Negara. Kedaulatan bangsa tidak lain adalah persatuan masyarakat yang kokoh yang
didasarkan atas toleransi dan saling kepercayaan diantara anggota-anggotanya.
TEORI YANG RELEVAN DALAM HUBUNGAN SIPIL MILITER
1. Teori Struktural Fungsional
Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’
merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana
pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi,
menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan
mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik,
menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa
dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya
berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan
konsep struktur.
Dalam hubungan sipil-militer ketika keduanya fungsi dari komponen militer maupun
sipil harus seimbang dalam suatu Negara, karena ketika ada salah satu yang
mendominasi atau tidak sesuai porsinya maka akan timbul banyak masalah.
Dibuktikan pada masa orde baru dimana militer mendominasi dan ABRI punya
dwifungsi, hal tersebut membuat rakyat merasa “tertindas” lalu kemudian
pemerintahan pada saat itu digulingkan secara paksa lalu muncul reformasi.
2. Teori Peranan
Wirutomo (1981 : 99 – 101) mengemukakan pendapat David Berry bahwa dalam
peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan menjalankan
kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya.
Peranan didefinisikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada
individu yang menempati kedudukan social tertentu. Peranan ditentukan oleh norma-
norma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang
diharapkan masyarakat di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam
peranan-peranan yang lain.
Kaitannya dengan hubungan sipil-militer ini, diharapkan dari masing-masing pihak
dari militer dan sipil hendaknya memang menjalankan peran sesuai dengan statusnya
masing-masing. Selain itu diharapkan pula pihak sipil dan militer bias menjalankan
tugas masing-masing sesuai dengan norma yang ada di dalam masyarakat, tidak ada
tumpang tindih tugas, dan tidak pula salah satu mendominasi. Bekerjasama dalam
penyelenggaraan negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penataan hubungan sipil-militer yang demokratis, harus melibatkan sipil dalam
memikirkan dan merumuskan serta menentukan kebijakan di bidang pertahanan.
Hubungan sipil-militer yang harmonis harus dibangun dalam kerangka demokrasi dan
adanya saling percaya dan saling bekerja sama guna membangun Indonesia Baru. Seluruh
komponen bangsa baik sipil maupun militer harus saling berdampingan dan saling
menghormati dalam profesi masing-masing serta wadah demokrasi. Perbedaan sipil –
militer akan tidak relevan lagi dibicarakan oleh kedua belah pihak, apabila mereka masih
saling curiga satu sama lain dan diharapkan pula pada masa yang akan datang tidak ada
yang merasa lebih atau superior dalam pengabdian terhadap nusa dan bangsa.
Untuk memperoleh kejelasan peran, kontribusi serta tanggung jawab sipil-
militerdiperlukan keterbukaan dialog yang terus menurus untuk bersepakat bersama. Oleh
karena itu para elit sipil dan militer harus kembali kepada pemihakan pada rakyat banyak
sebagai upaya moral untuk mengatasi krisis nasioal yang dapat melanda suatu Negara.
B. Daftar Pustaka
George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada
Kencana
Soejono, D. 1978. Penegakan Hukum dalam Sistim Pertahanan Sipil. Bandung: PT.
Karya Nusantara.
Tim Penyusun Lemhanas. 1999. Hubungan Sipil-Militer. Jakarta: Grasindo.
http://id.ixarticle.com/articles/305502/ (diakses pada tanggal 19 Februari 2013, pukul
21.30 WIB)
http://kaghoo.blogspot.com/2010/11/pengertian-peranan.html (diakses pada tanggal 19
Februari 2013, pukul 21.40 WIB)