107
MILITER DAN POLITIK: STUDI KASUS KUDETA MILITER PADA PRESIDEN MOHAMMAD MURSI DI MESIR TAHUN 2013 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Miftachul Choir Al Ayyubi 1110112000024 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 / 1436 H

MILITER DAN POLITIK: STUDI KASUS KUDETA MILITER …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30189/3... · pemerintahan. Militer sejak lama ... MA selaku Dekan Fakultas Ilmu

Embed Size (px)

Citation preview

  • MILITER DAN POLITIK: STUDI KASUS KUDETA MILITER

    PADA PRESIDEN MOHAMMAD MURSI DI MESIR TAHUN

    2013

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

    Oleh:

    Miftachul Choir Al Ayyubi

    1110112000024

    PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

    FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2015 / 1436 H

  • i

    ABSTRAK

    Miftachul Choir Al Ayyubi

    Militer dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad

    Mursi di Mesir Tahun 2013

    Di Mesir, militer menjadi kelompok yang berkuasa dalam jalannya

    pemerintahan. Militer sejak lama berkuasa di Mesir lewat kelompok Free Officer,

    kelompok yang melakukan kudeta pertama kali pada Raja Farouq pada tahun

    1952. Sejak saat itu tampuk kekuasaan, pergantian pemimpin, dan penentuan

    regulasi di Mesir dipengaruhi Militer. Ditambah Dewan Agung Militer (Supreme

    Council of the Armed Forces SCAF) yang kini mengawasi setiap jalannya

    pemerintahan di Mesir. Mohammad Mursi, presiden terpilih dari kelompok

    Ikhwanul Muslimin menjadi bulan-bulanan, hanya setahun kepemimpinannya

    kemudian dikudeta militer. Militer belum rela bila kekuasaan di Mesir kini beralih

    ke tangan pihak lain, lewat ultimatum 48 jam militer mengumumkan

    pengambilalihan pemerintahan atas Mursi. Dengan begini militer mengalami

    kemunduran secara profesional dan termasuk menjadi tentara pretorian. Tentara

    yang intervensi dalam jalannya politik.

    Rakyat berdemontsrasi di alun-alun Tahreer dengan alasan ekonomi tidak

    membaik pada setahun jalannya Mursi berkuasa, menganggap Mursi hanya

    perwakilan yang mementingkan Ikhwanul Muslimin karena dominasi parlemen,

    dan menuduh gagal menertibkan huru-hara yang terjadi akibat faktor tersebut.

    Ditambah dekrit Mursi pada 22 November yang disinyalir memiiki kekuasaan

    tidak terbatas yang akan dimiliki Mursi, padahal itu langkah Mursi untuk

    mengamankan pemerintahannya dari geliat politik militer yang coba

    menggerogoti dari dalam.

    Militer berafiliasi dengan kelompok oposisi menggadang-gadang Mursi

    untuk turun, dengan menyamakan persepsi rakyat dan oposisi. Setelah militer

    berhasil menyamar dalam pesamaan persepsi dengan rakyat, militer bertindak

    sebagai harapan rakyat. Padahal langkah militer ini untuk kudeta agar

    pengambilalihan kekuasaan menjadi tidak begitu kentara. Akibat kudeta ini

    membuat demokrasi yang baru dijajaki mesir menjadi cacat, Mesir kembali

    diperintah oleh militer yang memenangkan pemilu pascakudeta.

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Penelitian ini merupakan yang paling menarik untuk dikaji.

    Kepemimpinan Mesir setelah Mubarak jatuh dipegang oleh Muhammad Mursi,

    presiden yang kala itu maju lewat sayap politik Ikhwanul Muslimin. Setelah

    Mursi terpilih militer melakukan kudeta pada setahun kepemimpinannya, menjadi

    menarik karena banyak hal yang terjadi. Selain Mesir baru saja menjajaki

    demokrasi, ada ketidakrelaan militer yang sejak lama menguasai Mesir kini harus

    kehilangan pamornya dalam segala bidang. Pada awalnya penelitian ini ingin

    melihat apa saja kah faktor yang memotivasi militer melancarkan kedetanya, dan

    bagaimana militer melakukannya. Karena idealnya pada negara yang baru

    menjajaki demokrasi, berbagai golongan turut serta mendukung jalannya transisi,

    bukan menjegal. Semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat berkembang

    menjadi lebih baik lagi.

    Peneliti ingin menyampaikan banyak terimkasih ada tiap orang juga

    lembaga yang turut membantu menyeleaikan penelitian ini. Dalam kesempatan ini

    peneliti ingin menyampaikan terimakasih kepada:

    1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas UIN Syarif

    Hidayatulah Jakarta.

    2. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

    Politik UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.

    3. Bapak Dr. Iding Rosyidin selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN

    Syarif Hidayatulah Jakarta.

  • iii

    4. Ibu Suryani M. Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik UIN

    Syarif Hidayatulah Jakarta.

    5. Bapak Dr. Nawiruddin selaku pembimbing juga teman diskusi yang selalu

    menyempatkan waktu di sela-sela kesibukannya. Berkat pembimbing

    membuat peneliti hati-hati dan teliti dalam menulis, sehingga penelitian ini

    bisa berhasil dengan baik.

    6. Terimakasih yang terdalam peneliti sampaikan kepada Mukarrom Chusni

    Amari dan Siti Hodijah. Sebagai orang tua tak henti-hentinya memberikan

    dukungan moril dan materil. Serta doa yang tak pernah putus membuat

    semangat peneliti tak putus hingga akhir penelitian ini. Adinda adik

    tersayang Isti dan Nadya yang tiap malamnya menyempatkan

    membangunkan peneliti kala tertidur dalam pengerjaan penelitian ini.

    7. Kepada Bapak Hamdan Basyar dan Zuhairi Misrawi peneliti ucapkan

    terimakasih telah memberikan data dan pengetahuan bagi kebutuhan

    penulisan skripsi ini. Sehingga penelitian ini menjadi matang untuk

    dipresentasikan.

    8. Kepada Radityo, Chacha, Alfi, Azha, Nafis Ayok, Nurhadi, Jekry, Sulton,

    Nafis, Wases, Silvi Widodo, Yan, dan Farhany. Peneliti ucapkan banyak

    terimakasih karena canda tawa kalian selalu jadi penghibur dalam

    kebuntuan berfikir tengah malam.

    9. Kepada Aisyah, Andini, Lulu, Lela, Afril, Adis, Indragiri, Erwin, Camen

    Ferdi, Rizky Botsam, Ompong Novian, Ikbal, Angga, Aslusani, Ambon

    Febri, Ican, Ade, Dona, Oye, Rijal Jideng, Yosep, Masrizal, Dara Amalia,

  • iv

    Zhahrah Qamarani, Ismet, Ade Kumis, Brian dan seluruh kawan-kawan

    Ilmu Politik 2010 Peneliti ucapkan terimakasih. Karena setia berdiskusi

    kecil dan mendengar keluh kesah peneliti.

    10. Tak lupa terimakasih peneliti ucapkan pada staf TU Pak Jajang dan Pak

    Amali yang banyak membantu peneliti dalam melengkapi urusan

    administrasi.

  • v

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK .........................................................................................................................i

    KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

    DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v

    DAFTAR TABEL ........................................................................................................... vii

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. viii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Pernyataan Masalah ............................................................................. 1 B. Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 11 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 11 D. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 12 E. Metodologi Penelitian ......................................................................... 14 F. Sistematika Penelitian ......................................................................... 15

    BAB II KERANGKA TEORI

    A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern ............................. 17 1. Kontrol Sipil Atas Militer Dan Intervensi Militer ........................ 17

    B. Konflik. ............................................................................................... 20 1. Pengertian Konflik. ....................................................................... 20 2. Jenis Konflik. ................................................................................ 23 3. Resolusi Konflik. .......................................................................... 23

    C. Kudeta ................................................................................................. 24 1. Pengertian Kudeta. .......................................................................... 24

    2. Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta ................................................... 26 D. Tentara Pretorian ................................................................................. 31

    1. Pretorian Jenis Moderator ............................................................. 37 2. Pretorian Jenis Pengawal............................................................... 39 3. Pretorian Jenis Penguasa ............................................................... 40

    BAB III DINAMIKA KEKUASAAN DAN DEMOKRATISASI DI

    MESIR

    A. Peran Militer Dalam Peta Kekuasaan Di Mesir .................................. 43 B. Perkembangan Transisi Demokrasi Di Mesir ..................................... 47

    BAB IV KUDETA PRESIDEN MURSI

    A. Krisis Pemerintahan Sipil .................................................................... 60 B. Politik Militer Dan Oposisi ................................................................. 67 C. Militer Pasca Kejatuhan Mursi............................................................ 74

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ......................................................................................... 79 B. Saran .................................................................................................... 80

  • vi

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................ix

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • vii

    DAFTAR TABEL

    Tabel III.B.1 Hasil Pemilu Parlemen 2011 .............................................. 50

    Tabel III.B.2. Hasil Perolehan Suara Pemilu Presiden Mesir Putaran ..... 54

  • viii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Data Transkip Wawancara Hamdan Basyar

    Lampiran 2 Data Transkip Wawancara Zuhairi Misrawi

    Lampiran 3 Surat Pengantar Wawancara/Mencari Data

    Lampiran 4 Surat Keterangan Selesai Wawancara

    Lampiran 5 Foto Dokumentasi Wawancara

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Pernyataan Masalah

    Di kawasan Middle East and North Africa (MENA), perkembangan dan

    gaya pemerintahan banyak diwarnai oleh kekuatan basis lokal suku tradisional

    (kabilah), doktrin agama, dan kelompok bersenjata atau biasa disebut tentara

    militer. Pada negara yang penguasanya didukung oleh kelompok bersenjata dan

    basis lokal yang sengaja dibuat loyal bagi penguasa, akan mengarah pada gaya

    kepemimpinan yang otoritarian1. Dibeberapa bagian negara seperti Mesir dan

    Libya tidak lepas dari kekuasaan rezim militer yang melakukan kudeta. Rezim

    Gammal Abdul Nasser di Mesir dan Muammar Gaddafi di Libya berhasil

    melakukan kudeta dan berkuasa dalam kurun waktu yang lama. Mereka bertahan

    dengan menggunakan aparat militer, polisi rahasia serta partai politik dominan

    buatan sendiri untuk menguasai parlemen, dan menggunakan jaringan antar suku

    untuk menjaga stabilitas kekuasaan ditingkat bawah. Pemimpin ini banyak

    memperoleh kekuatan politiknya karena latar belakang militer mereka. Esprit de

    corps, jaringan komunikasi dan hirarki ala militer membuat kekuasaan mereka

    tetap terjaga di tengah arus oposisi yang mereka hadapi.2

    1 Otoritarianisme adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuasaannya secara

    keras, kaku, dan tanpa kompromi. Semua dijalankan atas nama negara dan untuk negara, jenis

    pemerintahan ini mirip dengan pemerintahan model militer yang dilakukan dengan kekerasan,

    disertai dengan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan hak pribadi, hak-hak politik, serta

    sipil. Otoritarianisme juga merupakan gaya pemerintahan dari filsafat kekuasaan monarki absolut

    abad 16-17 M di Inggris dan Prancis. 2Mohammad Riza Widyarsa, Rezim Militer dan Otoriter di Mesir, Suriah dan Libya,

    Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial I, no. 1 (4 September 2012): h. 273.

  • 2

    Penelitian ini mengambil kasus Mesir karena memiliki perbedaan dengan

    negara yang lain, Mesir pasca kejatuhan Mubarak adalah mulainya penjajakan

    negara Mesir pada sistem yang lebih demokratis. Menjadi Mesir pertama kali

    mempunyai pemimpin yang bebas dari latar belakang militer bukan hasil kudeta,

    tapi menjadi yang paling demokratis dalam sejarah Mesir. Karena dalam sejarah

    dominasi militer yang kuat membuat Mesir tidak menjadi negara yang

    sepenuhnya demokratis, melainkan hanya demokrasi secara simbolik. Dibagian

    lain, perbedaan kasus penggulingan rezim terjadi di Libya yang merupakan

    dampak dari kelanjutan perubahan rezim di Tunisia dan Mesir, yaitu efek domino

    dari Arab Spring3(musim semi Arab).

    4

    Pada perjalanan pemerintahan Mesir, rezim Husni Mubarak berkuasa

    kurang lebih tiga puluh tahun dengan gayanya yang otoriter. Hal-hal paling

    mendasar dari sistem otoritariansme yang diterapkan Mubarak adalah

    pemerintahan yang sewenang-wenang menggunakan hukum dengan segala

    instrumen negara yang memaksa untuk memonopoli kekuasaan dan menolak hak-

    hak politik kelompok lain untuk meraih kekuasaan.5 Sebelum Mubarak,

    pemerintahan Mesir dipegang oleh Jendral Mohammad Naguib lewat kudeta

    3Di penghujung tahun 2010 dan awal tahun 2011 terjadi pergolakan besar-besaran di

    Dunia Arab yang terjadi dari Afrika Utara sampai ke Timur Tengah, dari Aljazair sampai ke

    Bahrain. Satu persatu rezim diktator bertumbangan mulai dari Zein al-Abidine Ben Ali di Tunisia

    dan Husni Mubarak di Mesir. Demikian rezim lainnya di Aljazair, Suriah, Yaman, Libya dan

    Bahrain yang masih bertahan diterpa angin demonstrasi.Berawal dari Muhammad Bouazzi di

    Tunnisia yang membakar diri, aksi ini menyulut semangat pemuda berdemonstrasi menuntut

    keadilan, dan semangat ini menular ke negara negara Arab. 4Hery Sucipto, Babak Baru Mesir-AS. Republika,17 Februari 2012, h. 5.

    5Maye Kassem, Egyptian Politics: The Dynamics of Authoritarian Rule (United States of

    America: Lynne Rienner Publisher Inc, 2004), h. 3.

  • 3

    militernya tahun 1952 yang melibatkan Kelompok Perwira Bebas (Free Officer)6.

    Naguib tak lama memerintah karena segera digeser oleh Nasser (1952-1970),

    kemudian diteruskan Anwar Sadat (1970-1981), dan Hosni Mubarak (1981-2011)

    setelah Sadat ditembak mati pada acara parade militer. Perlu diketahui mereka

    semua adalah tentara, dan bagian dari kelompok Perwira Bebas (Free Officer).7

    Pada 25 Januari 2011 terjadi demonstrasi yang dimulai oleh pemuda

    menentang kepemimpinan Mubarak dan menuntut perubahan, massa menamakan

    hari itu dengan Yawm Al Ghadab(hari kemarahan). Pergolakan yang terjadi di

    sejumlah provinsi seperti Bani Suez, Mansoura, Tanta, Alexandria, dan Port Said.

    Aksi ini membawa pesan penting yaitu tidak inginnya rakyat dengan

    kepemimpinan totaliter secara politik, rakyat yang berkumpul di lapangan Tahrer

    berhari-hari membuktikan bahwa Mesir sedang mengalami kebuntuan politik

    yang luar biasa.8 Kesalahan lain Mubarak adalah terlena begitu lama dengan

    kekuasaannya ditambah Mubarak ingin mewariskan kekuasaan pada putranya

    Gamal Mubarak, proses politik itu memperjelas ke arah pembentukan dinasti

    politik. Rakyat juga bosan dengan gayanya yang reaktif terhadap kritik yang

    mudah menangkap para pengkritik.9

    6Kelompok Perwira bebas adalah kelompok yang secara politis dan rahasia terbentuk

    pada tahun 1939, kelompok ini beranggotakan Anwar Sadat, Abdel Munim, Abdul Rauf, Abdul

    Lathief El Baghdadi, Hussein, Hassan Izzat, Amned Ismail Ali. karena Anwar Sadat ditahan pada

    musim panas, pucuk kepemimpinan kelompok ini dipegang oleh Gamal Abdul Nasser pada awal

    tahun 1943 yang baru saja kembali dari Sudan. Pada awalnya kelompok ini bersepakat melakukan

    revolusi membebaskan Mesir di bawah jajahan Inggris. Selanjutnya kelompoknya ini terlibat

    dalam kudeta raja Farouq pada 23 Juli 1952,di bawah komando Jendral Naguib dan Kolonel

    Gamal Abdul Nasser. 7Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria,

    Mesir, dan Afrika Selatan (Jakarta: P2P-LIPI, 2001), h. 62-71. 8Zuhairi Misrawi, Mesir di Persimpangan Jalan, Kompas, 11 Februari 2011, h. 6.

    9Mubarak Terlena Begitu Lama Peringatan Bagi Pemimpin Yang Lengah, Kompas, 7

    Februari 2011, h. 1.

  • 4

    Gaya pemerintahan otoriter dipandang menjadi sebuah penurunan kualitas

    pemerintahan, bahkan penurunan ini juga dirasakan oleh kelompok yang

    notabenenya pro dengan peguasa otoriter itu sendiri. secara jelas Guillermo A.

    O'Donnell mengatakan:

    Tidak hanya pihak oposan, tetapi juga kebanyakan mereka yang

    berada di dalam rezim menyimpulkan bahwa pengalaman pemerintahan

    otoriter adalah sebuah kegagalan total, bahkan pun jika diukur dengan

    standar yang ditetapkan oleh rezim yang bersangkutan. Pihak oposisi

    terdorong bertindak karena kegagalan yang sudah demikian jelasnya.

    Kelompok penguasa, termasuk angkatan bersenjata, semakin lama

    semakin tidak percaya pada kapasitas mereka sendiri. Mereka terpecah

    secara parah akibat tuduhan-tuduhan mengenai siapa pihak yang

    seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan yang diderita rezim

    tersebut.10

    Mubarak akhirnya mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah

    gelombang protes kurang lebih selama 15 hari yang diwarnai kekerasan berdarah.

    Pemerintahan transisi diserahkan pada militer di bawah Jendral Hussein Tantawi,

    Mahkamah Agung Mesir kemudian memerintahkan Perdana Menteri Ahmad

    Syafiq untuk menjalankan pemerintahan selama enam bulan sampai akhir pemilu

    parlemen dan presiden.11

    Militer yang memegang kendali pada transisi kekuasaan

    di bawah Husssein Tantawi dituntut rakyat sebagai kelompok pengawal

    demokrasi untuk segera menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu). Rakyat

    menuntut Pemilu disegerakan, agar militer sebagai penguasa transisi tidak

    bertindak di luar batas. Berdasarkan tuntutan-tuntutan itu, pemerintahan transisi

    segera menyelenggarakan Pemilihan Umum Parlemen pada 2011. Terdapat hasil

    10

    Guillermo A. O'Donnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan

    Ketidakpastian (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1993), h. 28. 11

    Muhammad Ikbal dan Nuran Soyomukti, Ben Ali, Mubarak, Khadafy: Pergolakan

    Politik jaziah Arab Abad 21 (Bandung: MEDIUM, 2011), h. 84-87.

  • 5

    yang sangat berbeda pada Pemilu parlemen karena Partai Demokratik Nasional

    (NDP)12

    , yaitu partai alat Mubarak tidak lagi mendominasi dan ini menjadi

    pertanda bahwa adanya pembaharuan konstelasi politik di Mesir. kemudian

    pemilu presiden dlaksanakan, Pemilu paling demokratis sejak tahun 1984.13

    Pemilu presiden dilaksanakan dua kali pada tanggal 23-24 Mei dan 16-17

    Juni, ini dilakukan karena tidak satupun dari 13 kandidat yang mendapatkan suara

    mayoritas pada putaran pertama. Hasil pemilu ini dimenangkan oleh Muhammad

    Mursi kandidat dari Partai Kemerdekaan dan Keadilan (FJP) sayap politik

    Ikhwanul Muslimin, dengan perolehan 51,73% suara. Sedang Ahmad Syafiq yang

    berasal dari mantan Perdana Menteri rezim Mubarak mendapat 48,27% suara.14

    Terlihat militer tetap ingin mengambil andil tampuk kekuasaan Mesir, dengan

    Syafiq yang mengikuti kontestasi pemilu presiden. Perlu diketahui Syafiq adalah

    Marsekal Angkatan Udara Mesir dan Mantan Perdana Menteri Mesir, dianggap

    loyalis dan representasi dari rezim Mubarak.15

    12

    NDP (Partai Demokat Nasional) adalah partai yang dibentuk dan diketuai oleh

    Mubarak. Partai ini dibentuk guna mempertahankan dominasinya dalam Dewan Nasional

    (parlemen), terbukti sejak pemilihan umum tahun 1984 hingga akhir pemerintahannya yang

    ditumbangkan revolusi rakyat. Sejak kudeta tahun 1952, konstitusi Mesir memberikan kesempatan

    kepada presiden untuk dipilih kembali melalui referendum. Dalam referendum itu parlemen hanya

    mengajukan satu calon presiden. Prosedur ini dikontrol oleh partai yang berkuasa pada masa itu,

    dan merupakan bentuk negara otoritarian yang dikuasai oleh satu partai politik. Partai politik yang

    berkuasa sejak tahun 1952 memiliki berbagai nama, namun kenyataannya hanya satu, atau partai

    lain mewarisi kekuasaan monolit dan tabiat partai sebelumnya. Sebelum muncul NDP (Partai

    Demokratik Nasioal) partainya Mubarak yang dibuat pada 1976 sudah ada beberapa partai yang

    sifatnya mendominasi. Dalam pemilu parlemen yang diselenggarakan antara 1976 dan 2005, NDP

    terus mempertahankan suara mayoritas di parlemen. Selama itu NDP tetap mempertahankan

    kandidat tunggalnya sebagai presiden yaitu Husni Mubarak. 13

    Zuhairi Misrawi, Mesir dan Demokrasi Kaum Islamis, Kompas, 8 Februari 2011, h. 7. 14

    Mohammed Mursi dari Ikhwanul Muslimin menang dalam pilpres Mesir, BBC

    Indonesia, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari

    http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/06/120624_Mesir_pilpres.shtml 15

    Egyptian Elections: Preliminary Results, Jadaliyya Egypt Updates. Dalam Wikipedia

    The free Encyclopedia, artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari

    http://www.jadaliyya.com/pages/index/3331/egyptian-elections_preliminary-results_updated- dan

    http://en.wikipedia.org/wiki/Elections_in_Egypt

    http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/06/120624_mesir_pilpres.shtmlhttp://www.jadaliyya.com/pages/index/3331/egyptian-elections_preliminary-results_updated-http://en.wikipedia.org/wiki/Elections_in_Egypt

  • 6

    Setelah Mursi menang dan menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih

    secara demokatis, massa terjun ke alun-alun Tahreer unjuk rasa menuntut Mursi

    turun. Massa mengatakan parlemen yang baru terbentuk terlalu didominasi Islam

    (Ikhwanul Muslimin), rakyat menginginkan pemerintahan yang proporsional. Dari

    hasil pemilu parlemen, Kelompok Ikhwanul Muslimin mengambil dua per tiga

    kursi di parlemen, hasil akhir menunjukkan bahwa Ikhwanul Muslimin dan Partai

    Keadilan (FJP) memenangkan 235 kursi, atau 47,18 persen.16

    Massa juga mengatakan kalau Mursi akan membawa Mesir menjadi

    negara Islam, ini bertolak belakang dengan Mesir yang bercorak sekuler. Di lain

    sisi, massa berteriak setelah Mursi mengeluarkan dekritnya pada Kamis 22

    November 2012. Dekrit itu menyatakan bahwa Mursi mempunyai otoritas

    tertinggi, final, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Para demonstran

    anti pemerintah yang menentang dekrit adalah kelompok Islam moderat, kubu

    liberal, sayap golongan kiri, Kristen Koptik, gerakan pemuda Tamarod, juga

    koalisi oposisi dalam Front Penyelamat Nasioal (National Salvation Front / NSF)

    yang dipimpin oleh Mohamed El Baradei. Semua kelompok tersebut adalah

    kelompok yang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri di Mesir, namun dengan

    keluarnya dekrit Mursi membuat mereka mempunyai common enemy yaitu Mursi,

    Ikhwanul Muslimin, dan kelompok pendukung Mursi.17

    Mursi sendiri berdalih,

    kalau dekrit yang dikeluarkannya untuk melindungi revolusi, kehidupan bangsa,

    keamanan, persatuan, dan kesatuan nasional. Mursi berjanji akan melepaskan

    16

    Ikhwanul Muslimin Dominasi Parlemen Baru Mesir, Republika Online, 24 Juni 2012.

    Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-

    tengah/12/01/23/ly890c-ikhwanul-muslimin-dominasi-parlemen-baru-Mesir 17

    Ali Munhanif, Berakhirnya Revolusi Tanpa Ideologi, GATRA 4 September 2013, h.

    87.

    http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/01/23/ly890c-ikhwanul-muslimin-dominasi-parlemen-baru-mesirhttp://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/01/23/ly890c-ikhwanul-muslimin-dominasi-parlemen-baru-mesir

  • 7

    segala kekuasaannya itu, ketika undang-undang baru sudah disusun dan disahkan.

    Namun yang terjadi justru Mursi dituding menumpuk kekuasaan, ingin menjadi

    diktator baru yang sama seperti Mubarak hanya dengan cara dan wajah berbeda.18

    Pergantian kekuasaan di Mesir memperlihatkan situasi politik Mesir tidak

    terlepas dari gerak militer yang selalu membayangi kekuasaan, proses transisi

    demokratisasi di Mesir tidak berjalan baik dan berumur pendek. Secara jelas

    Guillermo A. O'Donnell mengatakan:

    ..transisi-transisi dari beberapa rezim otoriter tertentu menuju

    sesuatu yang lain, yang tidak pasti. sesuatu yang bisa jadi pemulihan

    suatu demokrasi politik, atau restorasi bentuk baru yang mungkin lebih

    buruk. Hasilnya mungkin hanya kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan

    di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif

    pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah

    pelembagaan kekuatan politik. Transisi juga dapat berkembang menjadi

    konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka jalan bagi rezim-rezim

    revolusioner yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dari kenyataan

    politik yang ada.19

    Transisi menjadi begitu rentan terhadap perubahan-perubahan politik yang

    diakibatkan dari banyaknya kekuatan politik yang ingin menyelesaikan transisi itu

    sendiri, atau dengan kata lain ingin mengisi kekosongan pemerintahan tersebut.

    Pada awal kepemimpinannya Mursi mencopot Jendral Hussein Tantawi dengan

    alasan ingin melepas semua hal yang berbau rezim Mubarak, kemudian Mursi

    mengangkat Abdul Fattah Al Sisi sebagai Kepala Angkatan Bersenjata.20

    Pada

    perjalanannya Sisi juga lah yang mengkudeta Mursi dengan mengumumkan

    ultimatum 48 jam bagi Mursi untuk mundur, menahan Mursi pasca kudeta, dan

    18

    Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir (Jakarta: PT. Kompas Media

    Nusantara, 2013), h. 23-228. 19

    Guillermo A. ODonnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan

    Ketidakpastian, h. 1. 20

    Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir, h. XXII.

  • 8

    menangkapi serta menembaki anggota Ikhwanul Muslimin yang dianggap

    pendukung militan Mursi. Pada Rabu 3 Juli 2013, Mursi resmi digulingkan oleh

    militer Mesir. Sebelum kudeta, pihak militer mengultimatum Mursi untuk

    berkompromi agar kondisi Mesir yang sedang bergejolak bisa dipadamkan dalam

    waktu selambat-lambatnya 48 jam sejak Senin 1Juli 2013. Bila itu tidak berhasil

    dilakukan, militer mengancam akan mengambil langkah sendiri dengan dalih

    menyelamatkan negara.21

    Soal transisi Guillermo A. O'Donnell mengatakan

    secara jelas:

    Militer mungkin mendukung transisi lebih karena mereka

    meyakini hal ini baik bagi angkatan bersenjata, bukan karena antusiasme

    terhadap demokrasi. Hal ini membuat perencanaan kudeta berisiko tinggi

    dan rawan akan kegagalan, terutama jika kita mempertimbangkan

    banyaknya perwira mliter yang bersikap oportunis pada pilihan-pilihan

    politiknya. Kalangan oportunis ini pada dasarnya berharap untuk berada

    pada pihak pemenang, dan jika mereka ragu terhadap pertarungan itu,

    mereka tampaknya akan memilih untuk mendukung situasi yang ada

    daripada daripada alternatif-alternatif yang sifatnya memberontak.22

    Militer menyelaraskan sejauhmana kepentingan pribadi mereka sejalan

    dengan berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk

    menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan

    kepentingan sendiri. Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan

    keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan

    yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat

    kepentingan militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer bersama

    21

    Muhammad Ibrahim Ramdani, Krisis Politik di Mesir,artikel diakses pada 1

    September 2013 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,50-id,46756-lang,id-c,esai-

    t,Obama+Bukan+Juru+Damai+Sejati+Konflik+Arab+Israel-.phpx; 22

    Guillermo A. ODonnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan

    Ketidakpastian, h. 37.

    http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,50-id,46756-lang,id-c,esai-t,Obama+Bukan+Juru+Damai+Sejati+Konflik+Arab+Israel-.phpxhttp://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,50-id,46756-lang,id-c,esai-t,Obama+Bukan+Juru+Damai+Sejati+Konflik+Arab+Israel-.phpx

  • 9

    dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah, padahal militer

    hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta mereka dianggap

    keniscayaan dan pro terhadap rakyat.23

    Beberapa alasan mengapa Mursi dengan cepat kehilangan dukungan di

    dalam negeri dan selanjutnya dikudeta militer, diantaranya adalah: Petama, karena

    dominasi kaum Ikhwanul Muslimin. Meningkatnya rasa ketidaksukaan rakyat

    pada Ikhwanul Muslimin, yaitu partai pemenang Pemilu Mesir yang juga partai

    asal Mursi. Mursi dianggap terlalu banyak memberikan posisi penting pada

    Ikhwanul Muslimin. Terakhir, dia menunjuk tujuh gubernur baru yang semuanya

    berlatar belakang Ikhwanul Muslimin. Namun pendukung Mursi membantah hal

    ini, Mursi beralasan sudah menawarkan kursi penting di pemerintahan pada kubu

    oposisi namun semua ditolak. Begitupun para wakil dari kaum sekular, liberal,

    dan Kristen Koptik yang mengundurkan diri dari majelis.24

    Kedua, karena memburuknya ekonomi. Kondisi perekonomian Mesir kian

    memburuk setelah setahun Mursi memerintah. Mulai dari investasi yang jarang

    datang, harga pangan meroket, serta seringya mati listrik karena kurangnya bahan

    bakar. Menyebabkan kesejahteraan Mesir semakin memburuk. Di sisi lain

    sebenarnya sudah diusahakan pinjaman lunak dari IMF sebnyak US$ 4,8 miliar.

    Namun andai itu disetujui malah membuat Mesir semakin sulit, ini mengharuskan

    pemerintah Mesir memotong subsidi di berbagai sektor.

    Ketiga, karena pelanggaran demokrasi dan HAM. Mursi dinilai gagal

    memelihara kesetabilan pada setahun kepemimpinannya. Baik dalam pelanggaran

    23

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka

    Cipta, 1990), h. 92. 24

    Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir, h. 67.

  • 10

    Hak Asasi Manusia, demokrasi dan toleransi beragama. Belum lagi Mursi dinilai

    gagal melakukan reformasi sektor keamanan terutama di kepolisian, militer dan

    dinas intelijen Mesir. Ketika polisi Mesir terlibat pembantaian di Port Said,

    Januari 2013 lalu dan 30 orang meninggal, Mursi dinilai tidak berusaha menindak

    pelakunya dengan tegas. Serangan terhadap gereja Kristen Koptik dan kaum

    minoritas pun meningkat.25

    Keempat, karena Dekrit Presiden 22 November 2012. Keputusan Mursi

    menerbitkan dekrit presiden ini pada 22 November 2012 lalu, dinilai sebagai

    kesalahan fatal. Dalam dekrit ini, Mursi memecat jaksa agung, membuat semua

    keputusan presiden kebal dari gugatan hukum (judicial review), dan menegaskan

    keabsahan parlemen Mesir, keabsahan parlemen sebelumnya sempat digugat

    beberapa pihak termasuk pihak militer.Sebulan setelah dekrit itu diterbitkan,

    pemerintahan Mursi menggelar referendum untuk mengesahkan konstitusi baru

    Mesir. Tindakan ini pun dikritik karena dinilai sepihak dan terburu-buru.

    Konstitusi itu dinilai hanya mencerminkan kepentingan kelompok Mursi dan tidak

    dibuat dengan mempertimbangkan elemen politik lain di Mesir.26

    25

    Komite Nasional Untuk Kemanusiaan Dan Demokrasi Mesir (KNKMD), Buku Putih

    Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Mesir di Mesir (Jakarta: KNKMD, 2014), h. 181. 26

    The Guardian, Empat Alasan Presiden Mesir Digulingkan, artikel diakses pada 14

    November 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/Empat-Alasan-

    Presiden-Mesir-Digulingkan

    http://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/Empat-Alasan-Presiden-Mesir-Digulingkanhttp://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/Empat-Alasan-Presiden-Mesir-Digulingkan

  • 11

    B. Pertanyaan Penelitian

    Penelitian ini ingin meneliti kejatuhan Presiden Mursi yang dilakukan

    pihak militer pada tanggal 3 Juli 2013. Peneliti membatasi pada alasan-alasan dan

    proses militer mengkudeta Presiden Mursi yang telah terpilih secara demokratis

    lewat pemilu 24 Juni 2012.

    Dari ulasan dan pembatasan masalah di atas, peneliti mengajukan

    pertanyaan penelitian sebagai berikut:

    1) Apa faktor-faktor yang membuat militer mengkudeta Mursi?

    2) Bagaimana proses militer dalam mengkudeta Mursi?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Melihat realita yang terjadi di Mesir, dengan mengetahui penyebab-

    penyebab terjadinya penggulingan oleh pihak militer. Penelitian ini sangat

    bermanfaat untuk menganalisis kasus kudeta militer. Apalagi pada masa isu Arab

    Spring yang marak dengan susulan-susulan protes, penggulingan rezim, serta

    revolusi yang sebenarnya didalangi militer.

    Jadi, dalam penelitian ini bertujuan untuk:

    1) Mengetahui faktor-faktor penyebab militer melakukan kudeta

    terhadap Presiden Mursi yang telah dipilih secara demokratis.

    2) Mengetahui langkah-langkah yang diambil militer dalam proses

    kudeta Presiden Mursi di Mesir tahun 2013.

  • 12

    Sedangkan manfaat dalam penelitian ini adalah adalah:

    1. Mengetahui soal penyebab dan bagaimana langkah militer

    mengkudeta Presiden Mursi. Serta mengidentifikasi tentara militer

    Mesir yang mengalami kemunduran ke arah tentara pretorian.

    2. Sebagai sarana untuk menambah literatur ilmu politik dalam kajian

    politik Timur Tengah, khususnya terhadap hubungan militer dan

    pemerintahan sipil dalam suatu negara.

    3. Sebagai tambahan informasi ataupun literatur dalam penelitian

    serupa bagi insan akademis khususnya di lingkungan UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta dan umumnya bagi masyarakat luas.

    D. Tinjauan Pustaka (Literatur Review)

    Telah banyak studi yang memfokuskan diri pada penilitian Timur tengah,

    di antara banyaknya buku dan jurnal yang telah ditemukan. Ada beberapa buku

    penelitian yang sangat berkesinambungan dalam kasus ini. Di antaranya yang

    pertama adalah,Skripsi Penelitian Andi Anggana mahasiswa UIN Syarif

    Hidayatullah, tentang Proses Demokratisasi di Mesir: Studi Kasus Penggulingan

    Hosni Mubarak pada tahun 2011 lalu. Dalam skripsi ini menjelaskan proses

    demokratisasi dan runtuhnya rezim Mubarak, pembahasan mengenai faktor-faktor

    internal dan eksternal yang mengakibatkan runtuhnya rezim. Dalam skripsi ini

    lebih mengedepankan pedekatan-pendekatan demokrasi untuk melihat secara luas

    kejatuhan Husni Mubarak. Skripsi ini banyak mejelaskan polemik politik yang

  • 13

    terjadi di Mesir sebelum terjadinya kudeta Presiden Mursi setelah terpilih lewat

    pemilu. Sehingga penelitian yang kini peneliti buat adalah kesinambungan dari

    rangkaian kejadian politik di Mesir dan lebih menyoroti soal hubungan militer dan

    pemerintahan sipil.

    Kemudian, buku Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir,

    Turki, dan Israel yang ditulis oleh Hamdan Basyar, pada bahasan khusus Negara

    Mesir buku ini menjelaskan efek domino dari Musim Semi Arab dan polemik

    politik di Mesir. Dalam buku ini banyak menjelaskan bagaimana militer dan

    golongan oposisi di Mesir terhadap Mursi betarung lewat kebijakan-kebijakan

    dalam parlemen. Memberikan penjelasan pada peneliti langkah-langkah yang

    diambil oleh militer lewat jalur pertarungan konstitusi. Sedangkan tulisan peneliti

    lebih melihat kepada langkah yang selanjutnya militer ambil setelah mendapatkan

    kekuatannya melalui perdebatan konstitusi.

    Serta, pada buku Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir yang ditulis oleh

    Trias Kuncahyono. Buku ini membahas tentang keadaan Negara Mesir pada saat

    tergulingnya Mubarak sampai terjadinya kudeta Presiden Mursi, memberikan

    gambaran keadaan kota Mesir pada saat berkecamuknya konflik. Dalam buku-

    buku tersebut memberikan peniliti informasi yang banyak tentang keadaan sosial

    politik di Mesir, membantu peneliti dalam penulisan skripsi yang berjudul Militer

    dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad Mursi di

    Mesir Tahun 2013. Dalam penelitian ini sama sekali berbeda dengan literatur

    yang sudah disebutkan, dan penelitian ini sifatnya berkelanjutan dari hal-hal yang

    sudah dijelaskan di atas.

  • 14

    E. Metodelogi Penelitian

    1. Metodelogi Penelitian

    Peneliti ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Secara umum jenis ini

    bisa menghasilkan temuan-temuan yang tidak dapat dihasilkan oleh penelitian

    statistika. Penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai sejarah, kondisi

    sosial poliik, aktivitas sosial, dan lainnya. Jenis penelitian ini berguna melihat

    sedetail mungkin mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi kudeta Presiden

    Mursi di Mesir, dan melihat langkah-langkah militer dalam kudeta.

    2. Tempat dan Waktu Penelitian

    Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada lembaga-lembaga penelitian

    yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muslim and Moderate Society, dan

    Kedutaan Besar Mesir untuk Indonesia. Di antara lembaga tersebut adalah

    lembaga yang berkonsentrasi pada isu-isu politik Timur Tengah dan mendukung

    dalam memahami penelitian ini. Sedangkan waktu penelitian dilakukan secara

    bertahap sampai penelitian selesai.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    a. Wawancara

    Wawancara adalah pertemuan antara peneliti dan responden, di mana

    pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh

    pewawancara kepada responden, Lalu mencatat atau merekan jawaban-jawaban

  • 15

    responden.27

    Peneliti melakukanwawancara dengan Pengamat Politik Timur

    Tengah Hamdan Basyar, Zuhairi Misrawi, dan Trias Kuncahyono.

    b. Dokumentasi

    Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data

    sekunder, lalu melalui literatur dengan tujuan memeroleh bahan-bahan yang

    memberikan penjelasan dari bahan primer ataupun hasil penelitian seperti, jurnal,

    karya tulis, dan sebagainya.28

    4. Analisis Data Penelitian

    Analisis data penelitian untuk mengelola data yang sudah dikumpulkan,

    menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan hal-

    hal yang menjadi objek penelitianyang diharapkan mampu menjawab berbagai

    permasalahan tersebut.29

    F. Sistematika Penelitian

    Untuk menjelaskan penelitian ini secara lengkap, peneliti memberikan

    sistematika penelitian. Sistematika penelitian ini terangkum dalam beberapa bab,

    disertai beberapa sub-bab yang terangkum secara garis besar.Adapun deskripsi

    dari sistematika penelitian ini dilampirkan sebagai berikut:

    27

    Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h.

    67. 28

    Pupuh Fathurrahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia,

    2011), h. 146. 29

    Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

    (Jakarta: Erlangga, 2009) h. 148.

  • 16

    BAB 1 : Pendahuluan meliputi: Pernyataan Masalah,

    Pertanyaan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan

    Pustaka, Metodologi Penelitian, danSistematika Penelitian.

    BAB II : Kerangka Teori bahasannya meliputi:

    PenjelasanTeori Hubungan Sipil Militer dalam Perspektif Modern,

    Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer, Konsep dan

    Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta, Penjelasan Definisi Militer Jenis

    Pretorian Moderator, Jenis Pretorian Pengawal, dan Jenis Pretorian

    Penguasa.

    BAB III :Pada bab ini membahas seputar Dinamika

    Kekuasaan dan Demokratisasi di Mesir, yang bahasannya meliputi

    Peran Militer dalam Peta Kekuasaan di Mesir, dan Perkembangan

    Demokratisasi dalam Transisi Demokrasi.

    BAB IV :Pada bab ini membahas tentang teknis bagaimana

    militer mengkudeta Mursi yang bahasannya meliputi Krisis

    Pemerintahan Sipil, Politik Militer dan Oposisi, dan Militer Pasca

    Kejatuhan Mursi.

    BAB V : Pada bab ini berisi kesimpulan dan Saran untuk

    menyimpulkan pembahasan, guna tercapainya kefahaman yang

    komprehensif.

  • 17

    BAB II

    KERANGKA TEORI

    A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern

    1. Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer

    Berbicara tentara yang ikut campur dalam politik sama dengan mengamati

    hubungan antara sipil dan militer, hubungan sipil militer merupakan kajian yang

    baru populer pada pertengahan abad 20 pasca Perang Dunia II. Barulah setelah

    pasca perang itu para mahasiswa, sarjana sosial, dan ahli sejarah membahas

    hubungan sipil militer. Mereka menganalisis secara ilmiah tentang hubungan sipil

    militer menyangkut dua aspek, yaitu: kontrol sipil atas militer dan intervensi

    militer pada domain polittik.1

    Dalam pandangan Huntington, ia melihat bahwa ada dua bentuk hubungan

    sipil militer. Pertama, kontrol sipil obyektif (Objective Civilian Control). Istilah

    ini mengandung makna profesionalisme militer yang tinggi dan memiliki

    pengakuan dari pejabat militer terhadap batas-batas profesionalisme yang menjadi

    bidang mereka, subordinasi yang efektif dari militer pada pemimpin politik yang

    membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, pengakuan

    dan persetujuan dari pihak pemimpin politik atas kewenangan profesional dan

    otonomi bagi militer, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan negara.2

    Kedua, kontrol sipil subyektif (Subjective Civilian Control), bentuk kontrol ini

    1 Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. XLIII.

    2 Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi

    Demokrasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4.

  • 18

    adalah memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini juga bisa diartikan sebagai

    upaya meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan

    kelompok-kelompok sipil.3

    Michael C. Desch dengan mengacu pada Huntington, menganalisis

    munculnya hubungan sipil militer dari persoalan internal maupun eksternal dalam

    suatu negara. Desch mencatat suatu negara yang menghadapi tantangan militer

    tradisional, yaitu ancaman dari luar, akan lebih memungkinkan memiliki

    hubungan sipil militer yang stabil. Ancaman lingkungan seperti itu memaksa

    institusi sipil lebih menyatu dan berkerjasama menangani masalah bersama-sama

    dengan militer.4 Dalam tulisannya Desch menegaskan:

    Sebaliknya, jika negara menghadapi ancaman internal yang

    signifikan, institusi dan otoritas sipil mungkin akan sangat lemah dan

    terpecah belah, yang menyulut mereka untuk mengontrol militer. Situasi

    seperti ini akan membuat hubungan sipil militer terganggu atau tidak

    sehat.5

    Sedangkan dalam penjelasan intervensi militer, secara sederhana diartikan

    ketika tentara atau militer masuk, berpartisipasi, mempengaruhi kebijakan poltik

    (baik secara langsung atau tidak). Amos Perlmutter melihat ada dua kondisi yang

    memberi kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi, yaitu: kondisi

    sosial dan politik suatu negara itu sendiri. Pertama, kondisi sosial. Dalam suatu

    negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok akan tersebar

    dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur negara lemah maka institusi-institusi

    3 Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi

    Demokrasi, h. 7. 4 A. Malik Haramain, Gus Dur, militer, dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 330-

    331. 5 A. Malik Haramain, Gus Dur, militer, dan Politik, h. 331.

  • 19

    politik tidak berfungsi efektif. Dengan demikian kontrol sosial menjadi tidak

    efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi terhambat, kemudian membuat militer

    berkesempatan untuk melakukan intervensinya. Kedua, kondisi politik. Intervensi

    militer muncul dari persoalan-persoalan sipil. Sering sekali pemerintah sipil

    sengaja kembali, atau merapat kepada militer untuk mencari dukungan. Ketika

    struktur politik sipil terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat

    konstitusi tidak berjalan.6

    Bila Perlmuter lebih melihat faktor eksternal yang mempengaruhi

    hubungan sipil militer, S. F. Finner lebih melihat kepada faktor internalnya. Ia

    mengatakan:

    lebih melihat internal militer sebagai faktor utama terjadinya

    intervensi. Faktor motivasi biasanya sangat berpengaruh besar apakah

    militer akan mengintervensi atau tidak. Faktor ini mencakup beberapa

    motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan akhir tentara, dorongan dari

    kepentingan nasional, kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan

    kelas, kepentingan regional, kepentingan korps, dan kepentingan

    individu.7

    Dari dua pandangan itu, kita bisa melihat adanya dua jalan yang

    menyebabkan militer akhirnya melakukan intervensi terhadap pemerintahan sipil.

    Yaitu melihat dari faktor eksternal dan internal yang menjadi motivasi militer

    melakukan intervensi. Di lain sisi Finner juga mencatat berapa jalan yang

    memungkinan militer melakukan intervensi, yaitu:

    6 Amos Perlmutter, Militer dan Politik, h. 144-145.

    7 S. F Finer, The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics (Colorado:

    Westview Press, 2002) h. 20-24.

  • 20

    a. Melalui saluran-saluran konstitusi normal (The normal constitusional

    chanels).

    b. Kolusi dan/atau persaingan dengan otoritas sipil (Collusion and/or

    competition with the civilian authoritis).

    c. Intimidasi terhadap otoritas sipil (The intimidation of the civilian

    authoritis).

    d. Mengancam dengan menolak bekerjasama dan/atau dengan kekerasan

    terhadap otoritas sipil (Threaths of non-cooperation with, or violence

    towards the civilian authoritis).

    e. Gagalnya mempertahankan otoritas sipil terhadap kekerasan (Failure

    to defend the civilian authoritis from violence).

    f. Menggunakan kekerasan terhadap otoritas sipil (The exercise of

    violence againts the civilian authorities).8

    B. Konflik

    1. Pengertian Konflik

    Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,

    sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap

    ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat

    merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa

    berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang

    8 S. F Finer, The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics, h. 127.

  • 21

    selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya

    konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.

    Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki

    kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak,

    tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat

    diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga

    menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat

    diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan

    yang terkecil hingga peperangan.

    Istilah konflik secara etimolois berasal dari bahasa Latin con yang

    berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan.9 Pada

    umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena

    pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada

    pertentangan dan peperangan internasional. Coser mendefinisikan konflik sosial

    sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang

    langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau

    dilangsungkan atau dieliminasi saingannya.10

    Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan

    konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat

    menyeluruh dikehidupan. Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara

    9 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala

    Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media

    Group, 2011), h. 345. 10

    Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi (Yogyakarta: Gajah Mada University

    Press, 1998), h. 156.

  • 22

    melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.11

    Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang

    berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang

    saling menantang dengan ancaman kekerasan.12

    Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh

    hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan

    mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk

    menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan

    kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan

    sumber2 kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif

    terbatas.13

    Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik

    adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau

    masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara

    saling menantang dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu

    bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat

    yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling

    menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses

    bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative

    sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik

    itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan

    11

    Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 99. 12

    J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta:

    Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 68. 13

    Robert lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi (Jakarta:universitas terbuka

    1994), h. 53.

  • 23

    eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang

    atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.

    2. Jenis Konflik

    Dalam konflik ini terbagi dua jenis, diantaranya: (1) Konflik vertikal.

    Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang

    memiliki hierarki. (2) Konflik horizontal. Merupakan konflik yang terjadi antara

    individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama.14

    3. Resolusi Konflik

    Dalam terjadinya konflik ada beberapa cara dalam menyelesaikan masalah

    diantaranya: (1) Konsiliasi, cara ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu

    yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-

    keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan

    yang mereka pertentangkan. (2) Mediasi, cara ini dilakukan bila kedua belah

    pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan nasihat-

    nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan. (3)

    Arbitrasi, cara ini melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter) sebagai

    pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang

    arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,

    artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak

    menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih

    tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi.15

    14

    Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja (Malang : Taroda, 2002), h. 67. 15

    Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 25.

  • 24

    C. Kudeta

    1. Pengertian Kudeta

    Secara sederhana, kudeta diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang

    dilakukan militer untuk merebut kekuasaan, atau aksi politik untuk menggantikan

    (mendominasi) suatu kelompok atau rezim yang menjadi saingannya dengan

    rezim sendiri.16

    Dalam melakukan kudeta, banyak faktor-faktor yang

    melatarbelakangi para perwira militer. Namun segala faktor itu tergantung pada

    kondisi sosial politik yang ada pada masing-masing negara. Yang paling sering

    menjadi motif militer melakukan kudeta adalah kesalahan-kesalahan yang

    dilakukan pemerintah sipil yang mengakibatkan menurunnya keabsahan

    pemerintahan sipil, baik karena pemerintahan sipil yang dianggap tidak bisa

    mengolah negara dengan baik atau juga karena kesengajaan militer ingin merebut

    kekuasaan demi kepentingan politiknya.17

    Banyak sebutan, konsep, juga definisi yang dipakai dalam hal perebutan

    kekuasaan. Demi tercapainya penjelasan yang tepat untuk mendeskripsikan

    gejolak perebutan kekuasaan itu sendiri. Secara teknis Edward Luttwak membagi

    beberapa penjelasan terkait hal perebutan kekuasaan dalam suatu negara atau

    pemerintahan. Pronounciamiento, ini sebetulnya adalah kudeta versi klasik di

    Spanyol abad sembilan belas. Dalam versi ini muncul istilah yang namanya

    trabajos (kerja) sebelum adanya pronounciamiento itu sendiri, trabajos adalah

    fase di mana semua opini-opini perwira terkait pemerintahan dijajaki satu persatu,

    16

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka

    Cipta, 1990), h. 150. 17

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 91.

  • 25

    kemudian timbul yang namanya copromisos yang maksudnya adalah langkah

    pembuatan komitmen serta perhitungan imbalan-imbalan, dan resiko dalam

    melakukan tindakan perebutan kekuasaan. Pronounciamiento ini dilaksanakan

    oleh seluruh korps perwira dan dipimpin oleh pimpinan angkatan darat.

    Selain pronounciamiento, ada yang namanya Putsch, sebenarnya putsch

    tidak berbeda secara signifikan dengan pronounciamiento. Kalau

    pronounciamiento direncanakan dan dilakukan oleh seluruh perwira angkatan

    darat, sedangkan putsch dilakukan salah satu faksi dalam angkatan darat, atau

    sipil yang memberontak namun menggunakan kekuatan unit angkaan darat.

    Sedangkan kudeta adalah, termasuk campuran dari beberapa pejelasan di atas.

    Kudeta tidak harus berjalan dibantu oleh kekuatan massa, namun tidak menutup

    kemungkinan karena dengan bantuan massa dapat mempermudah efektifitas

    kudeta. Kudeta juga merupakan infiltrasi ke dalam suatu segmen dari segala

    kekuatan negara yang kecil namun menentukan, yang kemudian digunakan untuk

    mengambil alih pemerintahan.18

    Secara garis besar, ada pra kondisi untuk terjadinya kudeta. pertama,

    sindrom negara transisi. Di mana pola tradisional sudah rusak sementara pola baru

    belum terbentuk. Dalam masyarakat ini, kesatuan masyarakat belum ada,

    lembaga-lembaga negara dan kontrol sosial tidak bisa beroperasi secara efektif,

    saluran komunikasi sangat minim dan tidak ada lambang-lambang kesatuan

    masyarakat. Militer dianggap yang paling mampu mengatasi sindrom ini karena

    militer bisa memakai simbol-simbolnya untuk memerintah, dan mempersatukan

    18

    Edward Luttwak, Kudeta: Praktek Penggulingan Kekuasaan (Yogyakarta: Yayasan

    Bentang Budaya, 1999), h. 20-22.

  • 26

    masyarakat dengan sifat netral yang dimilikinya, serta kesanggupannya menjalin

    komunikasi dengan rakyat bawah. Kedua, terjadinya jurang kelas sosial yang

    tajam akibat dari pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang sangat cepat

    sehingga melahirkan jurang antara kaya dengan miskin. Di mana secara kuantitatif

    kaum miskin jauh lebih banyak daripada kaum kaya. Ketiga, terjadinya aksi sosial

    berdasarkan kelompok-kelompok (baik yang sadar politik atau tidak) dan

    mobilisasi sumber-sumber materil dalam negeri yang rendah.19

    Masyarakat

    terpecah belah dan hidup berdasarkan nilai-nilainya sendiri, program pemerintah

    tidak mendapat dukungan, bahkan selalu dirong-rong sehingga selalu gagal,

    sumber materil yang diperlukan pemerintah tidak ada. Para pengusaha berusaha

    tidak membayar pajak, kaum birokrat berusaha menerima suap dan petani hanya

    menimbun hasil pertaniannya.

    2. Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta

    Dalam pembahasan ini, perlu dikatakan bahwa banyak faktor yang

    membuat militer melakukan kudeta, atau mengambil alih pemerintahan. Dari

    pertanyaan sederhana tentang kapan kah militer akan mengambil alih

    pemeritahan? Sederhananya adalah ketika terdapat kegagalan pemerintahan sipil

    dan pada saat yang bersamaan kehilangan keabsahannya. Militer seringkali

    menuduh pemerintah yang digulingkan gagal menjalankan tugasnya, melakukan

    tindakan yang tidak sah di luar kelembagaannya, tidak bertanggung jawab atas

    kemerosotan ekonomi, tidak mampu mengendalikan perasaan kecewa dan

    penentangan politik tanpa menimbulkan kekerasan dan kekacauan. Kegagalan itu

    19

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 141-182.

  • 27

    memperkuat rasa tidak hormat dan benci militer pada pemerintah, kegagalan ini

    biasanya akan menggambarkan kemerosotan citra pemerintah sipil di mata

    masyarakat yang interest pada politik. Ditambah lagi dengan citra militer sebagai

    golongan nasionalis utama, militer mengidentifikasi diri dengan negara, dan

    negara sendiri adalah militer. Jadi, yang dianggap baik oleh militer juga baik

    untuk negara, dan mencitrakan kudeta sebagai kepentingan menjaga konstitusi

    negara.20

    Penggambaran motif dan faktor-faktor penyebab terjadinya kudeta dapat

    dilihat sebagai berikut: (1) Adanya kepentingan politis dari korporat militer

    sendiri; (2) menurunnya keabsahan pemerintahan sipil yang disebabkan gagalnya

    mengendalikan kemerosotan kesejahteraan ekonomi (3); banyak timbulnya huru-

    hara kekerasan; (4) dan tindakan pemerintah sipil yang mengacu pada sentralisasi

    kekuasaan. Faktor-faktor tersebut menjadi motif pendorong para perwira untuk

    melakukan campur tangan, apalagi ketika para perwira memandang rendah para

    pemangku kekuasaan. ini lebih memudahkan militer memberi alasan dan

    menghalalkan tindakan kudeta pada kelompok sedang berkuasa yang mereka

    anggap lemah. Belum lagi kegagalan pemerintah yang keabsahannya menurun

    pada kalangan masyarakat yang sadar poitik. Selanjutnya akan dijelaskan motif

    dan fakor-faktor terkait timbulnya kudeta.

    Pertama, dalam tubuh mliter sendiri. Tidak dipungkiri para perwira militer

    memperhatikan masa depan karir poilitik mereka, ini menjadi kepentingan pribadi

    para perwira militer. Keinginan mereka untuk mendapatkan promosi, cita-cita

    20

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 124-125.

  • 28

    politik, dan ketakutan dipecat juga menjadi faktor penting dalan kudeta. Namun

    seringkali faktor ini terlihat tidak secara kasat mata, karena sebelumnya militer

    coba menyelaraskan sejauh mana kepentingan pribadi mereka sejalan dengan

    berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk

    menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan

    kepentingan sendiri. 21

    Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan

    keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan

    yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat

    kepentingan pribadi militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer

    bersama dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah,

    padahal militer hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta

    mereka dianggap keniscayaan dan pro terhadap rakyat.

    Kedua, dalam suatu pemerintahan yang keadaan ekonominya baik adalah

    suatu kritera prestasi yang sangat penting, tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan

    ekonomi yang baik itu dijunjung tinggi di seluruh dunia, dan pemerintah dianggap

    yang paling bertanggung jawab atas kemajuan ekonomi itu. Ini sangat berkaitan

    dengan motif militer yang nantinya akan mengkudeta pemerintahan, karena laju

    ekonomi yang rendah akan memicu timbulnya kegaduhan pada masyarakat yang

    berpengaruh pada negara secara langsung. Kemunduran ekonomi yang dikelola

    pemerintah semakin menambah perasaan tidak hormat militer terhadap

    pemerintah, memeperkuat anggapan para perwira profesional dapat berperan

    sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan keputusan ekonomi guna

    21

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 92.

  • 29

    mempertahankan kepentingan masyarakat dan negara.22

    Birokrasi militer yang

    solid dan otonom, dapat menciptakan peraturan-peraturan yang penting guna

    memacu pembangunan ekonomi, namun di sisi lain militer harus menghadapi dan

    meyakinkan kelas-kelas sosial yang ada, agar langkah yang diambil militer ini

    dianggap sah dan baik bagi negara. Sebelum tampil, militer harus mencitrakan

    kehebatan dan kepedulian yang mencolok agar semakin terlihat meyakinkan,

    dengan sebelumnya menawarkan konsep-konsep yang baku atas jalan keluar

    menuju kemajuan negara.23

    Ketiga, pemerintah sebagai penguasa juga dipercaya sebagai pengelola

    keamanan yang baik. Bila banyaknya keresahan dan pertentangan politik tidak

    dapat diselesaikan secara baik, akan membuat prestasi pemerintah merosot dan

    dinilai tidak mementingkan rakyat sehigga menimbulkan huru-hara kekerasan di

    kalangan masyarakat yang tidak merasa puas.24

    Pemerintah juga dinilai tidak

    berupaya menjalankan tujuan yang mendasar, yaitu menjaga ketertiban serta

    melindungi negara, dengan tidak dapatnya mengatasi kekacauan dan

    menghentikan pemogokan-pemogokan atas huru-hara tersebut. Pada saat

    pergolakan dan huru-hara terjadi, militer mulai menyadari kalau pemerintah

    sangat bergantung pada militer, tanpa dukungan dan ikut campur militer negara

    akan rubuh.25

    Pada akhirnya, keadaan yang bergejolak itu mengurangi keabsahan

    pemerintah. Kemudian banyak orang yang terlibat dalam kancah politik

    22

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 29-130. 23

    Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan (Jakarta:

    PT. Bina Aksara, 1985), h. 223. 24

    Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988),

    h. 128-131. 25

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 134.

  • 30

    melancarkan aksi-aksi ujuk rasa, menunjukkan suatu penentangan yang kuat pada

    pemerintah, pemerintah dianggap tidak lagi mempunyai hak moral untuk

    memerintah. Lalu semakin memperkuat dorongan miiter melakukan kudeta.

    Keempat, militer juga menuduh pemimpin sipil melakukan berbagai

    tindakan inkonstitusional, termasuk melaksanakan undang-undang secara

    sewenang-wenang, perluasan kekuasaan mereka ke dalam bidang yang dilarang

    oleh konstitusi dan mempertahankan jabatan melampaui batas yang ditentukan

    oleh peraturan. Militer berdalih pada kudeta yang mereka lakukan bertujuan

    menghidupkan kembali kegiatan politik yang sehat, memberangus korupsi, dan

    meningkatkan kejujuran yang tinggi pada masyarakat. Penyelewengan yang

    dilakukan oleh pihak sipil memudahkan para perwira untuk mengambil tindakan

    yang inkonstitusional, militer beranggapan pemerintah sipil telah menunjukan

    sikap tidak hormat pada konstitusi, ini juga berakibat pada keabsahan pemerintah

    sipil yang akan menurun.26

    Dalam situasi seperti ini, pemerintah berada di sepanjang antara keabsahan

    dan ketidakabsahan. Sebagian rakyat percaya bahwa pemerintah mempunyai hak

    moral untuk memerintah, dengan begitu rakyat akan mematuhinya. Namun bila

    sebagian besar masyarakat merasa pemerintah tidak memerintah sesuai dengan

    peraturan yang ada, dan tidak membuat rakyat sejahtera, sudah dipastikan

    pemerintah tidak layak menerima kesetiaan mereka. Senada dengan yang

    dikatakan Samuel Huntington bahwa:

    26

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 129.

  • 31

    romantisnya hubungan sipil-militer sebagaian besar tergantung

    dari tindakan pemimpin sipil dalam mengelola pemerintahan. Romantisme

    itu akan hilang ketika pemerintah sipil tidak mampu meningkatkan

    perkembangan ekonomi, memelihara ketertiban umum, dan hukum. Dalam

    situasi seperti itu, politisi mungkin tergoda untuk menggunakan militer

    dalam setiap permasalahan yang terjadi, dan mungkin lebih jauh lagi demi

    memperoleh ambisi politik mereka. atau malah mliter sendiri yang sedari

    awal aktif berniat untuk memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkan

    momentum tersebut.27

    Apalagi ketika pemerintah memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan

    kepentingan umum, lalu terindikasi terdapat kesewenangan dalam memerintah,

    dan menghalangi kelompok lain dalam pemerintahan untuk memperoleh

    fungsinya sebagai penguasa politik.28

    D. Tentara Pretorian

    Dalam kudeta dan perebutan kekuasan, militer memiliki peran yang besar.

    Bahkan kudeta telah diidentikan oleh kekuatan militer dalam pengambilalihan

    kekuasaan. Pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai

    aktor politik utama dan dominan yang secara langsung menggunakan kekerasan

    atau mengancam untuk merebut suatu kekuasaan. Istilah ini diambil dari campur

    tangan militer pada Kerajaan Roma, pada awalnya kerajaan ini dibentuk sebagai

    kesatuan unit khusus yang bertugas melindungi maharaja. Namun akhirnya

    dengan kekuatan militer yang mereka punya, menumbangkan raja dan menguasai

    pemerintahan juga pemilihan umum. Angkatan bersenjata dalam semua negara

    27

    Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi

    Demokrasi, h. xv. 28

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 135.

  • 32

    mempunyai pengaruh yang sangat besar, termasuk pengaruh politik. Selain

    sebagai lambang kekuatan negara, ia juga merupakan alat penahan utama dari

    serangan luar maupun dalam.

    Soal militer, Samuel Huntington berpandangan dalam kerangka hubungan

    sipil militer menjadi dua yaitu, tentara pretorian dan tentara profesional. Tentara

    pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok

    militer yang berkuasa, menjalankan pemerintahan, dan menentukan keputusan-

    keputusan politik. Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika

    profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence) masih

    merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis 1789,

    menandai perubahan dari tentara pencari keuntungan materi menjadi tentara

    panggilan suci (abdi negara), inilah yang kemudian dikatakan Huntington

    sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional. Sebenarnya bukan hanya

    dinyatakan oleh Huntington, jauh sebelumnya seorang ilmuwan Perancis, de

    Tocqueville sudah berbicara tentang profesi dan kehormatan militer.

    Huntington memberikan tiga ciri pokok tentang tumbuhnya

    profesionalisme militer, yaitu : pertama, mensyaratkan keahlian, profesi militer

    menjadi spesifik serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan. Kedua, militer

    memiliki tanggung jawab sosial khusus, artinya seorang perwira militer

    mempunyai tugas pokok kepada negara. Berbeda dengan sebelumnya, di mana

    seorang perwira seolah hanya menjadi milik pribadi komandan dan harus setia

    kepadanya sebagai suatu bentuk disiplin mati. Pada masa profesionalisme,

    seorang perwira berhak untuk mengoreksi atasannya, jika si atasan melakukan

  • 33

    hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketiga, seorang militer

    harus berkarakter korporasi (corporate character) yang pada kemudian

    melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.29

    Ketika ketiga ciri militer profesional di atas terpenuhi, pada akhirnya

    melahirkan apa yang disebut Huntington the military mind, yang menjadi dasar

    hubungan militer dan negara. Ini membuat Negara Kebangsaan (nation state)

    mejadi suatu bentuk tertinggi organisasi politik. Sehingga inti dari military mind

    menjadi suatu ideologi yang berisi pengakuan militer pada supremasi

    pemerintahan sipil. Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi,

    kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil. Jadi menurut Huntington, kaum

    militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etika militer

    profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap intervensi militer dalam politik

    sebagai pembusukan politik (political decay) dan dianggap sebagai kemunduran

    ke arah tentara pretorian.30

    Tetapi dalam perspektif tentara pretorian, militer

    seolah akan terlihat seperti kaum elite yang membawa pada modernisasi, kaum

    militer juga dinilai melihat jauh ke depan, punya keinginan kuat untuk

    kepentingan korporasinya, dan untuk mendorong modernisasi di negaranya.

    Jadi, tentara akan menjadi tentara pretorian apabila mereka mengancam

    atau menggunakan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk mendominasi politik

    lalu menguasai pemerintahan. Tentara pretorianisme modern yang campur tangan

    29

    Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil

    Military Relations (Cambridge: Harvard University Press, 1957), h. 7-18. 30

    Samuel P. Huntington, Tertib Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah

    (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 37-40.

  • 34

    dalam pemerintahan akan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan

    politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif.

    Kemudian rezim pemerintahan akan menjadi rezim militer karena perwira

    militer sendiri yang merebut kekuasaan. Timbul pertanyaan, apakah rezim ini

    terus menjadi rezim militer pada duapuluh tahun kemudian dan seterusnya? Eric

    Nordlinger mengatakan,

    rezim militer adalah rezim di mana militer telah merebut

    kekuasaan melalui kudeta, perwira atau mantan perwira militer menduduki

    jabatan tinggi pemerintahan. Mereka bergantung terutama pada perwira

    militer yang masih aktif untuk mempertahankan kekuaaan itu, walaupun

    pihak sipil juga diberi bagian untuk peran yang penting (namun biasanya

    tidak penting).31

    Contohnya adalah Mesir, walaupun sudah dijabat oleh Nasser (lalu Sadat

    dan Mubarok pada berikutnya), tetapi strukturnya banyak diisi oleh orang-orang

    berlatar belakang militer. Nampaknya Eric melihat ini secara substnsial pada

    pemerintahan.

    Tentara pretorian cenderung melakukan kudeta. Kudeta ini dilakukan bila

    militer merupakan kelompok yang paling solid, paling terorganisir secara politik

    dan tidak ada oposisi yang kuat. Kudeta dilaksanakan oleh aktivis politik dan

    kelompok politik dalam organisasi militer, perwira yang memiliki ambisi politik

    dan perwira yang tidak menganggap militer sebagai profesi seumur hidup. Korps

    Perwira dipolitisir oleh perwira lain yang secara politik atau ideologi terikat

    dengan politisi sipil atau sipil yang minta perlindungan tentara atau karena

    kejadian perjuangan anti kolonial, datangnya kemerdekaan atau kekacauan

    31

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 45.

  • 35

    ekonomi. Kudeta militer diorganisir oleh koalisi para aktivis politik dalam militer

    dan sekutu-sekutu mereka atau oleh persekongkolan para perwira yang mendapat

    dukungan politik dari luar militer. Keputusan kudeta tergantung dari kesiapan

    politik dan saat yang tepat. Adapun kudeta ini memperoleh legitimasinya dari

    sekutu-sekutu militer dan orang-orang yang sealiran dengan oposisi rezim lama

    serta dari orang-orang yang tidak senang terhadap rezim lama dan para oportunis.

    Para perwira yang bersatu mempunyai kekuatan yang besar, dan

    berpotensi mempertahankan atau pun mengambil alih pemerintahan sipil.

    Biasanya, mereka menggunakan senjata pada perebutan kekuasaan (sebagian

    lainnya tidak musti menggunakan senjata). Pihak militer biasanya terang terangan

    menonjolkan diri mereka dan menuntut agar diberi ruang dalam politik, dia

    meminta arena politik diperluas. Secara tidak langsung ini adalah acaman militer

    kepada pemerintah sipil, militer mengatakan bila diberi hak-hak politik, maka

    kudeta akan terhindarkan, padahal ini adalah awal masuknya militer yang sedikit

    demi sedikit akan menguasai kekuasaan pmerintahan sipil itu.

    Dalam kajian mengenai pretorianisme, yang menjadi acuan adalah prestasi

    pemerintahan sipil. Ini sangat penting, karena selalu menjadi penilaian sejauh

    mana pemerintahan sipil dapat mengelola negara seperti yang dikehendaki oleh

    rakyat, dan malah dikagumi oleh negara lain. Karena militer pretorian selalu

    menyepelekan kinerja pemerintahan sipil, dan berpidato akan memulihkan

    ekonomi dan memelihara keamanan negara pada saat pemeintahan sedang hiruk

    pikuk diterpa goncangan politik.

  • 36

    Militer selalu ahli membandingkan dan menonjolkan kineranya

    yang lebih baik, ketika kinerja pemerintah sipil melemah. Militer

    mempunyai landasan, apabila pemerintahan tidak lagi mampu mengelola

    ekonomi dengan baik, huru-hara kekerasan tejadi di mana-mana,

    pemerintah betindak tidak sah, militer lah yang seharusnya turun tangan

    dan menjadi harapan.32

    Walau pada berikutnya, militer juga akan dinilai kinerjanya oleh rakyat

    apakah lebih baik atau buruk dari pemerintah sipil yang militer gulingkan.

    Terkadang rakyat agak sulit memberontak kekuatan persenjataan militer yang

    telah berkuasa, tidak semudah militer menjatuhkan pemerintahan sipil.

    Seorang pretorian coba untuk menunjukkan kalau mereka adalah perwira

    yang bertanggung jawab dan berjiwa nasional. Seorang pretorian memiliki rasa

    nasionalisme yang kuat untuk mementingkan orang banyak, ini membuat

    pretorian tidak mempunyai pilihan lain untuk mempertahankan konstitusi dari

    pengaruh pemerintahan sipil yang tidak stabil. Pretorian akan segera menentukan

    apakah perlu adanya campurtangan ketka negara terancam. Dalam campurtangan,

    sebagian kudeta dianggap perlu dengan urgensi rusaknya prinsip konstitusi karena

    tindakan pemerintah yang korup, tindakan yang sewenang-wenang dan tidak sah.

    Pemerintah melakukan suatu yang bertentangan dengan kepentingan negara

    dengan membenarkan anasir subversif yang mengancam keamanan negara dengan

    memicu konflik kelas, golongan, dan suku. Yang pada akhirnya menyulut pada

    kekacauan politik, mengarah pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah,

    memperbesar pengannguran, dan meningkatkan inflasi, atau gagal menjalankan

    rancangan ke arah modernisasi dan perubahan sosial ekonomi.

    32

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 14.

  • 37

    Pada waktu yang sama, para pretorian dengan yakin akan memulihkan

    kembali situasi politik dan ekonomi dalam negeri. Mereka bersedia dan merasa

    mampu karena perwira militer mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi,

    tidak mempunyai kelemahan seperti para politisi, serta mahir dalam bidang teknik

    manajerial.33

    Yang menonjol dari pretorian adalah sebagai juru selamat, dan

    berjanji akan memulihkan dan memperbaiki kegagalan pemerintah sipil.34

    Hampir semua pretorian menyatakan akan menyerahkan kembali

    pemerintahan kepada pihak sipil yang dipilih secara demokratis, dan para

    pretorian pun menerima prinsip penguasaan sipil. Tetapi terpaksa ikut

    campurtangan karena terdorong rasa tanggung jawab mereka pada konstitusi dan

    negara. Jadi, pemerintah sipil akan dipulihkan secepat mungkin, segera setelah

    dipulihkannya ekonomi dan politik dan mengadakan pemilu yang bebas dan

    teratur. Tentara yang menjadi pretorian dibedakan manjadi tiga macam, yaitu jenis

    (1). pretorian moderator, (2). pretorian pengawal, dan (3). pretorian penguasa.

    1. Pretorian Jenis Moderator

    Sebetulnya semua jenis tentara pretorian adalah tentara yang sama-sama

    menggunakan kekuasaannya untuk intervensi dan menggulingkan kekuasaan

    pemerintah. Perbedaannya adalah mereka mempunyai motif dan batas-batas

    dalam ikut campur yang berbeda. Berikut ini adalah penjelasannya agar lebih

    mudah memahami tentara pretorian dan jenis-jenisnya.

    33

    Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan, h.221. 34

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 32.

  • 38

    Pretorian moderator tidak menguasai pemerintahan secara menyeluruh,

    tetapi mengawasi pemerintahan sipil dengan tidak serta merta menerima

    supermasi penuh dari pihak sipil. Moderator pretorian bertindak sebagai

    kelompok yang berpengaruh dan terlibat dalam politik, kadangkala juga

    mengancam pemerintah untuk kudeta. Terkadang, mereka akan melakukan suatu

    kudeta pemerintah sipil dan menggantinya dengan pemerintahan sipil lain yang

    sejalan dan dapat diterima oleh militer. Apalagi ketika militer sudah menunjukan

    keinginan mereka, ini harus diserap oleh pemerintahan sipil guna menghindari

    kudeta dan mempertahankan kekuasaan masing-masing (militer dan pemerintah

    sipil sama-sama memiliki peran kuat dalam pemerintahan).

    Tentara pretorian moderator ini coba menghindari diri untuk menguasai

    pemerintahan, dan jenis pretorian ini juga tidak terlalu menonjol dari jenis tentara

    lain. Mereka mempertahankan status quo, menjaga keseimbangan (atau ketidak

    seimbangan) kelompok yang sedang bersaing, dan menjaga stabilitas

    pemerintahan. Pretorian jenis ini lebih memusatkan perhatiannya pada konflik

    politik yang sedang terjadi. Pihak militer mengambil alih pemerintahan sementara

    guna mencegah berlangsungnya pemilhan umum, karena militer lebih suka

    langsung mengganti pemerintahan sipil dengan peemimpin sipil yang baru, karena

    sudah pasti lebih sejalan dan diterima oleh militer (militer sudah mempersiapkan

    pengganti sebelum kudeta pengganti dilakukan). Kudeta ini juga dilakukan

    seandainya kelompok yang baru aktif dalam politik mengangkat terlalu banyak

    wakil pemerintahan dari kelompoknya sendiri, karena itu kudeta pengganti

  • 39

    dilakukan untuk menentang hal semacam itu dan lebih memudahkan militer

    mengangkat lebih banyak orang yang sesuai dengan kehendak miiter.35

    Hematnya, tentara jenis pretorian ini bertindak sebagai golongan yang

    konservatf, sesuai dengan penjelasan mengapa mereka tidak menguasai

    pemerintahan secara keseluruhan. Di lain sisi, moderator pretorian beranggapan

    lebih mudah mengalihkan perubahan kekuasaan dengan menggunakan kuasa

    mutlak, tanpa menguasai pemerintahan sepenuhnya sendiri. Di sini militer

    moderator bertindak sebagai penekan, namun secara tidak langung mengarahkan

    pemerintah sipil atas dasar kemauannya, namun juga siap mengancam akan

    melakukan kudeta bila pemerintah berjalan tidak sesuai dengan keinginan militer

    (tidak menutup kemungkinan miiter moderator ini akan menjadi pemerintah atau

    penguasa).

    2. Pretorian Jenis Pengawal

    Berbeda dengan pretorian moderator yang menguasai pemerintahan

    secara tidak langsung, tetapi secara substansial mengarahkan pemerintah sesuai

    dengan kemauannya. Namun, pretorian pengawal adalah jenis yang akan

    menguasai pemerintahan secara langsung, dan ia menguasai kurang lebih sampai

    beberapa tahun kedepan. Karena pretorian pengawal beranggapan akan lebih

    mudah menguasai pemerintahan secara keseluruhan, daripada hanya dari belakang

    layar, mereka merasa lebih leluasa. Pengawal pretorian berbuat demikian

    disebabkan tidak adanya pilihan lain karena tidak ada golongan elit yang dapat

    mempertahankan status quo politik dan ekonomi, atau bila militer tidak

    35

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 35.

  • 40

    mengkudeta, kekuasaan akan berpindah ke tangan elit politik yang tujuannya

    berbeda sama sekali dengan militer.36

    Pretorian pengawal coba meningkatkan kecakapan atau merubah arah

    kebijakan pemerintah sebelumnya. Sasaran pada pasca awal-awal kudeta biasanya

    pemecatan elit politik yang sering melakukan korupsi, elit yang suka berlaku

    curang dalam penyusunan struktur pemerintahan dan pembagian fungsi

    administrasi juga kekuasaan. Pengawal pretorian memberi perhatian besar pada

    pertumbuhan ekonomi dan menangkal inflasi yang malambung tinggi, anggaran

    belanja yang berlebihan, dan neraca pembayaran defisit yang terjadi di bawah

    pemerintahan sipil. Pretorian pengawal adalah dokter bedah yang ganas, berani

    melakukan pembedahan di dalam organisasi politik, walau sebenarnya tidak

    melakukan secara benar untuk memperbaiki kelemahan dan kecacatan pemerintah

    sipil setelah militer ini berhasil merebut kekuasaan.

    Perlu diketahui kalau semua rezim militer (rezim yang berkuasa hasil dari

    kudeta) adalah otoritarian, karena mereka menghapuskan atau membatasi hak

    berpolitik. Sebagian kelompok suku (kepentingan, serikat pekerja, atau juga

    keagamaan), surat kabar dibolehkan untuk berekspresi, namun sebenarnya mereka

    dibatasi.

    3. Pretorian Jenis Penguasa

    Pretorian penguasa ini tidak jauh berbeda dengan jenis pretorian yang lain,

    tetapi cita-cita politiknya sangat besar dan tinggi melebihi kedua jenis pretorian

    yang sebelumnya. Penguasa pretorian ini jarang di temukan dibandingkan dua

    36

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 38.

  • 41

    jenis pretorian lain, diperkirakan juga kasusnya tidak lebih dari 10 % dari semua

    kasus campur tangan militer. Namun cita-cita politik mereka yang amat tinggi

    membuat mereka menjadi bagian yang sangat penting. Dibanding jenis pretorian

    yang lain, pretorian penguasa tidak hanya menguasai pemeritnahan, tetapi

    mendominasi rezim tersebut, dan kadangkala menguasai sebagian besar

    kehidupan politik, ekonomi, dan sosial melalui pembentukan struktur yang

    termobilisasi. Kadang kala mereka menganggap dirinya sebagai golongan

    modernisasi yang radikal dan revolusioner.37

    Pretorian jenis ini mendominasi sebuah rezim sebelum kudeta dengan

    waktu yang cukup panjang, karena mereka menyadari bahwa perubahan yang

    mereka inginkan membutuhkan waktu yang lama dalam pelaksanaannya. Kalau

    pretorian pengawal berajanji akan mengembalikan pemerintahan setelah beberapa

    tahun mereka berkuasa, pretorian penguasa tidak pernah membuat janji dan hanya

    mengatakan akan mengembalikan pemerintahan. Pretorian penguasa bermaksud

    mengadakan perubahan yang radikal dan menyeluruh dengan menghapuskan

    hampir semua pusat kekuasaan dominatif yang ada. Seperti pretorian pengawal,

    pretorian jenis ini memberikan perhatian di bidang ekonomi terutama memulihkan

    kembali kegiatan ekonomi yang sudah beku dengan menggunakan cara yang

    hampir sama seperti jenis pretorian lain lakukan. Penguasa pretorian tidak

    bersedia kompromi dengan kritik dan penentangan, tidak seperti dua jenis

    pretorian lainnya. Sebagian kelompok penguasa pretorian mencoba memobilisasi

    orang banyak dengan membentuk partai (atau gerakan) massa yang mereka kuasai

    37

    Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 40.

  • 42

    secara eksklusif. Pola pemerintahan ekonomi dan masyarakat mereka dilakukan

    dari atas secara langsung, demi mencapai ambisi pretorian penguasa.38