27
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang berbatasan dengan sejumlah negara, baik berupa daratan maupun lautan. Salah satunya berbatasan dengan Malaysia dengan garis batas negara di Pulau Kalimantan yang terbentang sepanjang 2004 km. 1 Kalimantan merupakan daerah yang memiliki letak geografis yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak dan Sabah di Malaysia. Wilayah ini merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki akses jalan darat untuk keluar masuknya barang dan pelintas batas dari dan menuju daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, baik melalui akses jalur atau jalan yang resmi maupun tidak resmi (illegal). Dengan akses seperti ini tidak dipungkiri adanya interaksi langsung dan intensif antara warga negara Indonesia dengan Malaysia, berupa interaksi sosial kultural secara tradisional maupun dalam bentuk kegiatan-kegiatan ekonomi. 2 Hal inilah yang kemudian banyak dimanfaatkan bagi sejumlah pelintas batas. Posisi perbatasan darat di Kalimantan yang strategis dan didorong dengan adanya globalisasi, membuat kawasan ini dihadapkan pada berbagai permasalahan yang kompleks, mulai dari penegasan garis batas yang belum tuntas, masalah kesejahteraan, kejahatan transnasional (perdagangan ilegal baik itu kebutuhan 1 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2010, “RPJNM 2010- 2014”, Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Jakarta,. hlm. 63 2 Ibid,. hlm. 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75239/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang berbatasan dengan sejumlah

negara, baik berupa daratan maupun lautan. Salah satunya berbatasan dengan

Malaysia dengan garis batas negara di Pulau Kalimantan yang terbentang

sepanjang 2004 km.1 Kalimantan merupakan daerah yang memiliki letak

geografis yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak dan Sabah di

Malaysia. Wilayah ini merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

akses jalan darat untuk keluar masuknya barang dan pelintas batas dari dan

menuju daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, baik melalui akses jalur atau jalan

yang resmi maupun tidak resmi (illegal). Dengan akses seperti ini tidak dipungkiri

adanya interaksi langsung dan intensif antara warga negara Indonesia dengan

Malaysia, berupa interaksi sosial kultural secara tradisional maupun dalam bentuk

kegiatan-kegiatan ekonomi.2 Hal inilah yang kemudian banyak dimanfaatkan bagi

sejumlah pelintas batas.

Posisi perbatasan darat di Kalimantan yang strategis dan didorong dengan

adanya globalisasi, membuat kawasan ini dihadapkan pada berbagai permasalahan

yang kompleks, mulai dari penegasan garis batas yang belum tuntas, masalah

kesejahteraan, kejahatan transnasional (perdagangan ilegal baik itu kebutuhan

1 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2010, “RPJNM 2010-

2014”, Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Jakarta,. hlm. 63 2 Ibid,. hlm. 1

2

pokok, narkoba, senjata, illegal logging, perdagangan dan penyelundupan

manusia) dan lain sebagainya.3 Sejumlah permasalahan tersebut tentu merupakan

ancaman bagi keamanan Indonesia karena dinilai merugikan kepentingan

nasionalnya, sehingga menjadi suatu prioritas bagi Indonesia.4

Guna mengelola dan mengatasi permasalahan yang ada tentunya tidak dapat

dilakukan secara independen. Karena itu memang dibutuhkan suatu kerjasama.

Sebagai negara tetangga dan berbatasan langsung dengan Indonesia, Malaysia

memang mempunyai makna yang sangat strategis bagi Indonesia dari segi politik

keamanan, ekonomi-perdagangan serta sosial-budaya. Hubungan kerjasama

bilateral dengan Malaysia merupakan salah satu kerjasama internasional yang

perlu dioptimalkan oleh Indonesia untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Walaupun hubungan kedua negara sering mengalami pasang surut, kerjasama

bilateral yang dilandasi asas saling menguntungkan itu masih terus terjalin sampai

sekarang.

Kerjasama perbatasan kedua negara dimulai dengan bidang keamanan sejak

tahun 1967. Kerjasama tersebut pertama kali dilakukan dalam melaksanakan

operasi terkoordinasi mengatasi sejumlah PGRS/Paraku dan sisa-sia G-30-S/PKI

yang bergerak di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat-Serawak yang tentunya

mengganggu keamanan kedua negara. Persetujuan mengenai Pengaturan Dalam

3 Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2008, “Buku Putih Pertahanan Indonesia”,

Jakarta,. hlm. 13 4 Ibid,. hlm. 14

3

Bidang Keamanan Daerah-Daerah Perbatasan, ini direvisi untuk pertama kali pada

1972, dan revisi kedua 19845.

Hasil revisi kerjasama tahun 1972 adalah kedua negara sepakat untuk

mengikat kerjasama dalam suatu perjanjian keamanan di perbatasan kedua negara,

yaitu Security Arrangement 1972 dan disahkan di Kuala Lumpur pada tanggal 6

April 1972 oleh Menhankam/Pegab Jenderal TNI M. Pangabean atas nama

Pemerintah Republik Indonesia dan Menteri Hal Ihwal Dalam Negeri Malaysia

Tun DR Ismail Al-Haj Bin Dato Haji Abdul Rahman atas nama Kerajaan

Malaysia.6

Isu utama yang dibahas dalam revisi Security Arrangement 1972 adalah

adanya keinginan kedua belah pihak (Indonesia Malaysia) untuk meningkatkan

dan memperkuat hubungan kerja sama antara kedua negara dalam menangani

masalah-masalah keamanan seperti ancaman komunis sepanjang perbatasan

Sarawak dan Kalimantan Barat.

Implementasi dari Security Arrangement 1972, dibentuklah Panitia Umum

Perbatasan yang disebut General Border Committee Malaysia-Indonesia (GBC

Malindo) pada Juli 1972 di Perapat, Sumatra Utara.7 Jadi, GBC Malindo ini

merupakan badan kerjasama bilateral antara Malaysia dan Indonesia dalam bidang

militer dan pertahanan. GBC Malindo merupakan forum koordinasi dan kebijakan

5 Fuad Asaddin. 2010. “Pemekaran Wilayah Di Indonesia, tersedia di

http://www.setdaprovkaltim.info, diakses pada 2 Juli 2014 6 UK Essays“Historical Perspective Of Malaysian Security Cooperation With Indonesia

Politics Essay”, diperoleh dari http://www.ukessays.com/essays/politics/historical-perspective-of-

malaysian-security-cooperation-with-indonesia-politics-essay.php, di akses pada 26 Juni 2013 7 Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, “RI - Malaysia Menggelar Sidang Ke-39

GBC Malindo di Jakarta”, diperoleh dari http://www.kemhan.go.id/kemhan/?pg=31&id=805, di

akses pada 31 Juli 2013

4

lintas sektoral yang melaksanakan fungsi teknis dengan melibatkan berbagai

unsur antara lain angkatan bersenjata, kepolisian, Kementerian Dalam Negeri,

Kementerian Luar Negeri, dan instansi lain dari kedua negara.8

Berbeda dengan revisi Security Arrangement 1972 yang masih berhubungan

dengan pertahanan dan keamanan kedua negara, revisi Security Arrangement

1984 bukan hannya menyangkut bidang pertahanan tetapi diperluas lingkupnya.

Lingkup kerjasama perbatasan RI-Malaysia setelah mengalami revisi kedua ini

diperluas hingga mencakup/merangkum berbagai jenis bidang yaitu ideologi,

politik, sosial, budaya dan ekonomi.9 Dengan adanya revisi kedua ini maka

Kegiatan GBC meliputi dua bidang yaitu bidang operasi dan bidang non operasi.

Apapun bentuknya, perjanjian memainkan peran yang sangat signifikan

dalam hukum internasional. Selain sebagai sumber hukum formal, perjanjian juga

mencantumkan hak dan kewajiban masing-masing subyek hukum yang terlibat.

Oleh karena itu, untuk meneguhkan komitmen dalam sebuah relasi, negara-negara

lebih banyak memformulasikanya dalam bentuk perjanjian, termasuk ketika

memutuskan untuk bekerjasama dalam sebuah organisasi, asosiasi, ataupun rezim

tertentu.10

Namun konsekuensi dari dibuatnya suatu perjanjian adalah tentang perilaku

partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten dalam memenuhi semua

kesepakatan yang telah dibuat. Perjanjian dan kesepakatan dalam kerjasama GBC

8 Ade Marboen, “Persoalan perbatasan Indonesia-Malaysia selesai pada 2014”, diperoleh

dari http://www.antaranews.com/berita/349449/persoalan-perbatasan-indonesia-malaysia-selesai-

pada-2014), di akses pada 31 Juli 2013 9 Fuad Asaddin. Loc.cit

10Fuat Albayumi, “Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean (ASEAN

Charter)” Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 12, No. 2, Juli 2012. Hlm 1

5

kedua negara tidak akan berarti jika kedua negara tidak mematuhinya, bahkan

permasalahan yang ada akan semakin luas dan tidak akan terselesaikan. Hal ini

dilakukan karena kepatuhan merupakan keterikatan suatu negara untuk memenuhi

kewajiban atau komitmen yang tertera dalam sebuah perjanjian. Dengan demikian

perilaku negara dibatasi oleh seperangkat aturan atau komitmen yang telah

disusun dan disepakatinya. Untuk itulah dalam penelitian ini penulis akan

melakukan tinjauan terhadap derajat kepatuhan (compliance) dari Indonesia

maupun Malaysia terhadap hasil kesepakatan rezim kerjasama GBC Malindo di

perbatasan darat Kalimantan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, fokus utama permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimana derajat compliance Indonesia-Malaysia terhadap

rezim kerjasama GBC Malindo di perbatasan darat Kalimantan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika pelaksanaan

kesepakatan dan pada saat yang bersamaan juga berupaya untuk mengukur derajat

kepatuhan (compliance) kerjasama GBC Malindo di perbatasan darat Kalimantan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan

yang berguna bagi pengembangan keilmuan studi hubungan internasional,

khususnya kajian mengenai perbatasan negara. Selain itu juga diharapkan bisa

menjadi masukan atau informasi tambahan bagi pemerintah Indonesia baik pusat

6

maupun daerah dalam mengelola dan mengembangkan wilayah perbatasan

khususnya di Provinsi Kalimantan.

D. Kerangka Teoritis

1. Teori Rezim Internasional

Interaksi sangat diperlukan oleh setiap masyarakat Internasional, dimana

dalam kehidupan sosial masyarakat tidak terlepas dari kebutuhan dan

kepentingan. Begitu juga dalam meningkatkan kualitas kehidupan suatu negara

dan menjaga kedaulatannya dari berbagai ancaman hingga dapat tetap stabil,

pasti akan melakukan interaksi dengan negara lain, salah satunya berupa

kerjasama. Kerjasama antar negara membuktikan adanya suatu interaksi

internasional, seperti Indonesia-Malaysia sebagai negara yang bertetangga

interaksi antara kedua negara sangat diperlukan terutama bagi masyarakat yang

tinggal di daerah perbatasan kedua negara di Kalimantan, terlebih lagi daerah

ini terdapat perbatasan darat yang membuat interaksi kedua negara semakin

intens dilakukan. Interaksi yang semakin intens antara masyarakat kedua

negara secara langsung maupun tidak langsung memicu terjadinya berbagai

persoalan yang dihadapi, sehingga pengelolaan dan pengentasan permasalahan

yang ada harus segera dilakukan. Persoalan perbatasan yang semakin

kompleks, mendorong kedua negara untuk membentuk sebuah forum

koordinasi dan kebijakan lintas sektoral yang melaksanakan fungsi teknis

dengan melibatkan berbagai unsur yang disebut dengan GBC. GBC ini

merupakan salah satu rezim internasional yang dibentuk berdasarkan

kesepakatan kedua negara.

7

Berdasarkan teori rezim internasional, Stephen Krasner menjelaskan

bahwa Rezim Internasional merupakan suatu tatanan yang berisi kumpulan

prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan kebijakan baik yang berupa

eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspektasi dan kepentingan

aktor dalam hubungan internasional.

“International regimes are defined as a set of implicit

or explicit principles, norms, rules, and decision making

procedures around which actors’ expectations converge in

a given area of international relations. Principles are

beliefs of fact, causation, and rectitude. Norms are

standards of behavior defined in terms of rights and

obligations. Rules are specific prescriptions or

proscriptions for action. Decision-making procedures are

prevailing practices for making and implementing collective

choice.”11

Kerjasama antara Indonesia dan Malaysia berupaya untuk menciptakan

aturan main bersama guna tercapainya tujuan kerjasama yang diinginkan.

Untuk itu, Indonesia dan Malaysia membutuhkan sebuah institusi sosial yang

dapat menampung kepentingan-kepentingan kedua negara tersebut. Seperti

yang dikatakan Oran R. Young, bahwa rezim internasional merupakan institusi

sosial yang sangat kompleks, karena berkaitan dengan aktivitas dari

kepentingan para anggotanya dalam sistem internasional.12

Oran R. Young

juga menyatakan bahwa suatu rezim dapat dikatakan sebagai suatu institusi

11

Stephen D. Krasner, 1983, “Structural Causes and Regime Consequences: Regime as

Intervening Variables”, dalam Stephen Krasner (ed) International Regimes, London; Cornel

University Press,. hlm.1-21 12

Oran R. Young, 1982,”Regime Dynamics: The Rise And Fall Of International Regimes”,

dalam International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes, published by The MIT

Press,. hlm. 277-297

8

sosial yang mengatur tindakan/perilaku pihak-pihak yang memiiliki

kepentingan bersama dalam suatu bidang wilayah tertentu.13

Dalam berbagai permasalahan yang dihadapai antara Indonesia dan

Malaysia, rezim yang dibentuk tidak harus identik dengan organisasi yang

formal melainkan juga mengacu pada keberadaan pola-pola kebiasaan yang

telah diakui bersama.14

Menurut Young ada beberapa komponen dasar yang

terdapat dalam sebuah rezim, yaitu konsep subtantif, prosedural dan

implementasi. Pertama, komponen subtantif menetapkan hak-hak dan aturan-

aturan rezim. Kedua, komponen prosedural merupakan pengaturan yang telah

diakui bersama, menyangkut cara-cara mengambil pilihan kolektif dalam

keadaan yang membutuhkan penyelesaian bersama. Sedangkan ketiga, yaitu

implementasi, mengacu pada mekanisme-mekanisme dalam rezim yang dapat

membuat para anggotanya patuh pada kepentingan yang telah dicapai

bersama.15

Rezim ini dibuat/dibentuk oleh kedua negara untuk mengatur kerjasama

agar menjadi lebih efektif mengingat tingkat interdependensi antar kedua

negara yang semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu, dibentuknya rezim

internasional merupakan sebuah upaya untuk menciptakan kerangka kerjasama

internasional dan untuk memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang dapat

dilakukan bersama. Berdasarkan Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins

13

Ibid. 14

Ibid. 15

Ibid.

9

yang juga mendukung pernyataan Oran, menyatakan bahwa rezim

internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu:16

a. Rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan

terhadap prinsip-prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia

hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para

partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atau perilaku yang

bermoral;

b. Rezim internasional dapat menciptakan mekanisme/prosedur bagi

pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim

internasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih

dari itu, rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip

tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya,

kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas, dan

aturan apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan

kebijakan;

c. Sebuah rezim selalu mempunyai prinsip-prinsip yang dapat

menguatkannya, sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan

kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang;

d. Dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya.

Partisipan (aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah

pemerintahan negara-bangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan

juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka sebagai partisipan

16

Donald J. Puchala & Raymond F. Hopkins, 1982,”International regimes: lessons from

inductive analysis”, dalam International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes,

published by The MIT Press,. hlm. 245-275

10

sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan, dan mematuhi aturan

yang telah dibuat;

e. Eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuan-

tujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir

kepentingan dan kebutuhan semua partisipan.

Konsep rezim internasional dalam penelitian ini dimaksudkan untuk

menjelaskan dan mengukur keberadaan dinamika perjanjian GBC Malindo

sebagai rezim internasional yang telah disepakati oleh kedua anggotanya.

Apakah sesungguhnya dalam rezim GBC Malindo memang terdapat

serangkaian prinsip, norma atau aturan yang mempengaruhi perilaku dua

anggotanya dalam menjalankan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Lebih

jauh konsep ini juga berfungsi untuk menunjukkan apakah tujuan dari

pelaksanaan kerjasama GBC Malindo yaitu untuk mengelola dan mengatasi

permasalahan yang ada diperbatasan, baik itu dibidang keamanan dan

kesejahteraan masyarakat yang berada baik di perbatasan Malaysia maupun

perbatasan Indonesia telah terwujud.

2. Teori Compliance

Dinamika politik internasional, kita selalu dihadapkan dengan dua gejala

yang bertentangan yaitu antara konflik dan kerjasama. Dalam kasus antara

Indonesia-Malaysia terkait penenganan permasalahan yang terjaidi di daerah

perbatasan darat kedua negara di Kalimantan, kedua negara lebih memilih

bekerjasama daripada konflik, walaupun sebelumnya hubungan kedua negara

mengalami pasang surut. Kerjasama maupun konflik keduanya sama-sama

11

memiliki keuntungan maupun kerugian, namun kerjasama kiranya lebih

menguntungkan dibanding harus berkonflik. Untuk itu guna menyelesaikan

permasalahan antara Indonesia dan Malaysia, keduanya sepakat untuk menjalin

kerjasama GBC yang notabene sebagai wadah untuk diplomasi kedua negara.

Kerjasama GBC yang dilakukan kedua negara tentunya lahir atau dilandasi dari

perjanjian internasional dalam hal ini perjanjian mengenai perbatasan (security

arrangement 1972 dan 1984).

Dalam hubungan internasional, bentuk-bentuk kerjasama internasional

bermacam-macam, ada yang dibuat dalam spektrum yang paling rendah (tidak

mengikat) sampai yang paling kuat (mengikat). Untuk mengetahui apakah

perjanjian itu mengikat atau tidak, salah satu caranya bisa dilakukan dengan

menganalisis teks perjanjanjian yang dihasilkan didalam kesepakatan yang ada

dengan tujuan untuk mengetahui derajat kerjasama suatu perjanjian

internasional yang disebut sebagai tingkat legalisasi.17

Menurut Judith Goldstein dkk menyatakan bahwa bentuk legalisasi

sebuah perjanjian merupakan salah satu bagian yang sangat vital untuk

mengukur efektifitas produk hukum yang dihasilkan oleh suatu organisasi

internasional.18

Jika semakin tinggi tingkat legalisasi (hard law) suatu

perjanjian kerjasama, maka perjanjian dalam kerjasama tersebut semakin

mengikat, namun sebaliknya jika tingkat legalisasinya rendah soft law maka

dapat dikatakan perjanjian itu kurang mengikat yang secara teoritis

17

Judith, Goldstein. Dkk. 2000. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam

International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000.,

hlm 387. 18

Ibid.

12

implementasinya akan cenderung kurang efektif.19

Dalam konsep legalisasi

menurut Abbot dkk ada tiga ukuran untuk menilai apakah perjanjian itu

berbentuk hard law atau soft law, yaitu : Kewajiban (obligation), ketepatan

(precision) dan delegasi (delegation).20

Kewajiban (obligation) dapat diartikan sebagai keterikatan suatu negara

untuk memenuhi kewajiban atau komitmen yang tertera dalam sebuah

perjanjian. Dengan demikian perilaku negara dibatasi oleh seperangkat aturan

atau komitmen yang telah disusun dan disepakatinya.21

Derajat kepatuhan

(obligasi) sebuah perjanjian internasional dapat diukur dari adanya 6 indikator

yang menunjukkan derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam

urutan sebagai berikut:22

Tabel 1 Indikator Obligasi

High

Low

Kewajiban tanpa syarat, terhadap indikator yang mengikat

Kewajiban bersyarat dalam perjanjian yang melibatkan isu yang

secara politik bersifat sensitive

Kewajiban bersyarat dengan klausul penarikan diri

Desakan

Rekomendasi atau garis panduan

Penolakan untuk terikat kewajiban secara eksplisit.

Sumber: diolah dari Judith Goldstein. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam

International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3.

Summer 2000., hlm 387

Presisi didefinisikan sebagai kondisi dimana aturan-aturan yang tertera

dalam perjanjian tersebut harus jelas mengatur perilaku para peserta

19

Fuat Albayumi. Op.cit., hlm 1-2 20

Abbot, dkk, 2000. “The Concept of Legalization” dalam International Organization

Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., hlm 401 21

Fuat Albayumi. Op.cit., hlm 4 22

Abbot dkk, loc.cit

13

perjanjian23

. Presisi dapat diukur dengan adanya 5 indikator yang menunjukkan

derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam urutan sebagai

berikut:24

Tabel 2 Indikator Presisi

High

Low

Aturan ditentukan secara jelas dengan anggota sedikit kemungkinan

penafsiran

Terdapat hal-hal subtantif yang bisa ditafsirkan, meskipun terbatas

Terdapat masalah tertentu yang mendapat kelonggaran

Hanya menggunakan standar

Tidak bisa dioperasionalkan secara tepat

Sumber: diolah dari Judith Goldstein. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam

International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3.

Summer 2000., hlm 387

Delegasi ditafsirkan sebagai adanya pendelegasian otoritas kepada pihak

ketiga untuk menafsirkan aturan, menyelesaikan sengketa, atau bahkan

membuat ketentuan lebih lanjut atas instrumen tersebut.25

Delegasi dapat

diukur dari adanya indikator penyelesaian masalah (dispute resolution) dan

pembuatan serta penerapan aturan. Dari aspek penyelesaian masalah, ada 7

indikator. Sedangkan dari aspek pembuatan serta penerapan aturan (rule

making and implementation) terdapat 8 indikator yang menunjukkan derajat

dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam urutan sebagai berikut :26

23

Fuat Albayumi. Op.cit., hlm 5 24

Abbot dkk, Loc.cit. 25

Fuat Albayumi. Loc.cit 26

Ibid

14

Tabel 3 Indikator Delegasi

High

Low

a. Resolusi

Konflik

Melalui pengadilan internasional: keputusan pihak

ketiga bersifat mengikat, yurisdiksi yang berlaku untuk

semua masalah, memiliki otoritas untuk menafsirkan

dan menambah aturan

Melalui pengadilan, tetapi yuridiksi yang terbatas

Arbitrase yang mengikat

Arbitrase yang tidak mengikat

Konsiliasi, mediasi

Proses tawar menawar yang terlembagakan

Proses tawar-menawar politik.

High

Low

b. Pembuatan

dan

implementasi

aturan main

Aturan yang mengikat, penegakan yang terpusat

ditangan lembaga internasional

Aturan mengikat yang membutuhkan persetujuan

Negara anggota

Kebijakan yang mengikat, tetapi penegakan hokum

yang terdesentralisasikan ke Negara anggota

Standar koordinasi

Monitoring melalui publikasi

Rekomendasi atau monitoring yang bersifat rahasia,

Pernyataan yang bersifat normatif

Forum negosiasi.

Sumber: diolah dari Judith Goldstein. “Introduction: Legalization and World Politics” dalam

International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3.

Summer 2000., hlm 387

Dengan adanya ketiga ukuran dengan sejumlah indikator tersebut di atas,

maka sebuah perjanjian secara tepat dapat dinilai apakah sebagai hard law atau

soft law tidak hanya sekedar dari penamaannya saja tetapi juga dari standar

yang diukur berdasar beberapa indikator tersebut.

Legalisasi dari suatu perjanjian kerjasama sangat penting, karena

semakin tinggi tingkat legalisasi suatu perjanjian maka akan mendorong negara

untuk patuh terhadap perjanjian tersebut, dan sebaliknya jika tingkat

legalisasinya rendah maka negara berhak untuk tidak mematuhi perjanjian

yang disepakati. Hal ini merupakan konseksuensi yang muncul dari dibuatnya

15

sebuah perjanjian internasional yaitu tentang perilaku para partisipan yang

menyepakatinya untuk konsisten dalam memenuhi semua kesepakatan yang

dibuat dalam perjanjian internasional tersebut. Perjanjian kerjasama yang

disepakati kedua negara harus memiliki bentuk yang dapat dipahami kedua

negara. Dalam situasi seperti ini, tentunya dibutuhkan upaya-upaya kooperatif

dari masing-masing negara anggota yang membuat perjanjian internasional.

Bentuk dari upaya kooperatif yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance)

terhadap kesepakatan.

Compliance dalam bahasa Indonesia berarti kepatuhan yang berasal dari

kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti

suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin.

Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan

aturan. Berdasarkan teori compliance yang dikemukakan oleh Chayes,

kepatuhan atau compliance dapat dilihat ketika negara mampu mengontrol

tindakannya untuk berusaha mematuhi kesepakatan yang telah disepakati

dalam rezim tersebut.27

Sedangkan menurut Simmons ketidakpatuhan atau

non-compliance diindikasikan ketika negara anggota tidak mencerminkan

tingkah laku yang sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian

internasional.28

Dengan terlibatnya suatu negara dalam sebuah perjanjian internasional,

negara tersebut cenderung akan mengubah sikapnya menyesuaikan atuan-

27

Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1993. On Compliance. International

Organization, 47 (2), hlm. 190, diakses secara online di .web.unair.ac.id 28

B. A. Simmons, 1998. 'Compliance with Intemational Agreements', Annual Review of

Political Science, vol. 1 Hhlm 74

16

aturan yang berlaku, juga hubungan dan pengharapannya terhadap satu sama

lain dari waktu ke waktu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Menurut

Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes telah menegaskan ada 3 (tiga)

alasan utama yang mendorong sebuah negara mengambil tindakan untuk

mematuhi perjanjian internasional, yaitu: efisiensi, kepentingan dan norma.29

Pertama faktor efisiensi. Efisiensi merupakan biaya yang harus

dikeluarkan oleh negara dalam upayanya untuk mematuhi sebuah perjanjian.

Negara menghitung biaya dan keuntungan sebuah perjanjian melalui proses

penghitungan dan analisis. Sehingga didapatlah sebuah hasil yang akan

menjadi pertimbangan. Karena pada dasarnya pembuatan suatu perjanjian akan

mengeluarkan transactional cost yang tidak sedikit30

.

Kedua faktor yang memengaruhi kepatuhan negara adalah kepentingan.

Negara akan diri ikut serta dalam sebuah perjanjian yang dinilai sesuai dengan

kepentingan nasionalnya. Apabila tidak sesuai dengan kepentingan

nasionalnya, negara tidak perlu mengikatkan diri pada sebuah perjanjian.

Karena pada dasarnya, sebuah perjanjian dinilai sebagai alat pemenuh national

interest dari negara. Didukung dengan pendapat kaum realis yang menganggap

jika kepentingan nasional adalah hal penting yang menyebabkan negara

mengikatkan diri dan mematuhi sebuah perjanjian. Asumsi tersebut berasal dari

fakta bahwa setiap negara mempunyai kepentingan nasionalnya masing-

masing31

.

29

Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1995, “The New Sovereignty: Compliance

with International Regulatory Agreements”, Cambridge; Harvard University Press,. hlm. 4 30

Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, Op.cit., hlm. 175-205 31

Ibid

17

Sedangkan faktor yang ketiga adalah norma. Dalam hukum, terdapat

istilah pacta sunt servanda yang memiliki arti perjanjian ada untuk dipatuhi.

Maksud dari istilah tersebut adalah sebuah perjanjian memiliki kekuatan legal

untuk dipatuhi oleh negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut.

Secara normatif perjanjian internasional sering kali diakui sebagai sesuatu yang

mengikat (legally binding) bagi negara yang telah meratifikasinya. Sehingga

dengan begitu perjanjian internasional adalah norma hukum yang harus

dipatuhi. Sebagaimana halnya prinsip dasar dari hukum internasional yakni

pacta sunt servanda - hukum harus dipatuhi. Faktor-faktor inilah yang menjadi

asumsi dasar kecenderungan untuk mematuhi sebuah kesepakatan.

Sementara situasi yang memicu untuk tidak mematuhi kesepakatan,

antara lain: pertama, ambiguitas dan tidak tepatnya bahasa yang digunakan

dalam perjanjian. Kondisi ambigu menurut Young muncul ketika sebuah

perjanjian internasional tidak mampu menjelaskan isu area tertentu secara

spesifik dan jelas. Penggunaan bahasa yang terlalu luas akan meningkatnya

misinterpretasi dari perjanjian aturan tersebut. Sebagai contoh ialah kegagalan

The North Atlantic Treaty dalam menjelaskan tujuan dalam perjanjian itu

sendiri akibat terlalu ‘umum’nya bahasa yang digunakan32

. Selain penggunaan

bahasa, kompleksitas aturan dan perubahan kondisi menyebabkan berbagai

interpretasi mengenai peraturan tertentu muncul. Persoalan bahasa dalam

memformulasi kesepakatan dalam perjanjian sering kali menjadi kendala yang

tak dapat dihindarkan. Ketidakjelasan makna bahasa yang digunakan dalam

32

Reza Akbar. 2014. International Regimes: Decision Making and

Changes.web.unair.ac.id/artikel_ dikases pada 2 Juli 2014

18

kesepakatan dapat menciptakan interpretasi yang berbeda-beda sehingga dapat

menciptakan zone of ambiguity, akibatnya negara partisipan cenderung

mengambil tidakan untuk tidak memenuhi kesepakatan.33

Kedua, batasan kapasitas negara untuk bertindak. Kapasitas negara untuk

bertindak sesuai dengan peraturan juga mempengaruhi ketidakpatuhan sebuah

negara. Ketika sebuah negara tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan

peraturan yang telah disepakati, maka negara tersebut secara otomatis tidak

akan mematuhi peraturan tersebut. Sebagai contoh ialah ketidakpatuhan negara

akan kebijakan pengurangan emisi CO2 karena ketidakmampuan negara untuk

melakukannya.34

Itu artinya pelaksanaan kesepakatan sangat tergantung pada

kemampuan negara partisipan. Keterbatasan kapasitas partisipan tentu saja

sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan terhadap perjanjian.35

Ketiga, perjanjian internasional biasanya bersifat temporal. Perjanjian

internasional disusun untuk mengelola permasalahan global dari waktu ke

waktu, sedangkan perubahan di level domestik belum tentu dapat dicapai

dalam waktu singkat. Dimensi temporal akan mengakibatkan perubahan yang

signifikan dalam sistem ekonomi dan sosial. Ketika rezim tidak mampu

berkembang seiring dengan berubahnya keadaan, maka negara yang terlibat di

dalamnya cenderung akan menolak peraturan yang ada di dalam rezim tersebut

karena dianggap tidak mampu dipraktikkan lagi. Beberapa perjanjian

menyiasatinya dengan menyediakan jangka waktu hingga para anggotanya

mampu mematuhi isi perjanjian, salah satunya melalui strategi convention-

33

Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes. op.cit., hlm. 10-15 34

Reza Akbar. Loc.cit 35

Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes. Loc.cit

19

protocol. Strategi ini dimulai dengan merumuskan konvensi yang berisi

ketentuan-ketentuan low obligational, kemudian selang beberapa tahun, tingkat

regulasi ditingkatkan dengan menyusun protokol lanjutan.36

Terdapat dua aliran dalam studi tentang compliance yang saling

bertetangan satu sama lain, yaitu: enforcement school dan management school.

Menurut aliran enforcement bahwa tindakan non-compliance terhadap

perjanjian internasional dapat terjadi dalam berbagai motif. Compliance baru

bisa terjadi jika aturan ditegakkan dan disertai dengan adanya sanksi

(punishment). Strategi ini cukup efektif agar perjanjian dapat terlaksana, karena

setiap pihak mengetahui jika melanggar atau tidak mematuhi perjanjian maka

dia akan mendapatkan sanksi. Berbeda dengan aliran enforcement, aliran

management justru menegaskan bahwa kepatuhan (compliance) dapat terjadi

tanpa harus menyertakan strategi sanksi (punishment) dalam formulasi

perjanjian, karena dianggap tidak efektif.37

Permasalahan compliance

sebenarnya memang lebih tepat dianggap sebagai permasalahan pengelolaan

(management) daripada permasalahan pelaksanaan (enforcement). Munculnya

tindakan non-compliance terhadap rezim bukan tidak sengaja, akan tetapi lebih

disebabkan oleh kurangnya kapabilitas, kejelasan dan prioritas kesepakatan

dalam perjanjian. Untuk itu dibutuhkan strategi pengelolaan yang sophisticated

contohnya dengan menggunakan metode persuasi.

36

Anonim. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Indonesia Terhadap

Instrumen HAM internasional” dalam etd.ugm.ac.id di akses pada tanggal 2 Juli 2014 37

Christer Jonsson & Jonas Tallberg, 1998,”Compliance and Post Agreement Bargaining”

dalam European Journal of International Relations, London; SAGE Publications., hlm. 374

20

E. Kajian Pustaka

Guna melihat fenomena perbatasan yang berkaitan dengan penanganan dan

pengelolaan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, penulis meninjau

ulang beberapa tulisan terdahulu yang secara substansial memiliki relevansi

dengan penelitian ini dan dapat dijadikan bahan pertimbangan yang signifikan

dalam proses penulisan.

Isu penting dalam persoalan perbatasan Indonesia, mulai dari isu geografis-

teritorial (menyangkut masalah penentuan tapal batas (demarkasi dan delimitasi)

wilayah Indonesia dengan negara tetangga, isu keamanan (keamanan yang bersifat

tradisional maupun non-tradisional), dan isu mengenai pembangunan sosial

ekonomi (dimana kemiskinan dan keterbelakangan merupakan ciri umum

masyarakat di wilayah perbatasan) membutuhkan suatu institusi yang bisa

membantu untuk mengatasi permasalahan yang ada. Namun institusi yang seperti

apa yang harus dikembangkan?

Atas pertanyaan tersebut, kemudian Arya Nugraha melakukan riset yang

berjudul Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan di Indonesia.38

Ia

mengatakan bahwa setidaknya terdapat 23 peraturan perundangan tentang

penentuan dan pengembangan kawasan perbatasan, namun upaya dalam

penegakkan aturan perundangan yang ada belum menunjukkan hasil. Masalah

yang ditemukan penulis adalah terkait dengan adanya persoalan kelembagaan

yang menjadi faktor utama dalam mengimplementasikan peraturan perundangan

38

Arya Nugraha. 2010. “Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan di Indonesia”,

di dalam Ludiro Madu dkk, “Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu,

Permasalahan dan Pilihan Kebijakan”, Yogyakarta: Graha Ilmu,. hlm. 37

21

yang ada karena masih belum jelas otoritas siapa yang melaksanakan tugas

manajemen perbatasan tersebut, dan lembaga yang ada masih bersifat ad hoc,

koordinatif yang dilakukan masih secara sektoral dan belum terintegrasi secara

khusus dalam satu lembaga. Pembentukan lembaga pengelolaan kawasan

perbatasan harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya: harus memperhatikan

perubahan karakteristik dari persoalan perbatasan (menonjolnya masalah

keamanan tradisional, pengaruh diplomasi, dan integrasi ekonomi), lembaga harus

memperhatikan bentuk pelaksanaan kebijakan keamanan yang komprehensif,

lembaga harus memperhatihan 4 dimensi (diplomasi, democracy, development

dan defense), dan lembaga harus memperhatikan domain kewenangan pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

Namun, kelemahan dalam tulisan Arya adalah dalam penelitiannya hanya

menguraikan berbagai problematika pengembangan lembaga mengenai

permasalahan perbatasan saja. Penelitian yang dilakukan tersebut tidak

menjelaskan lebih detail mengenai lembaga khusus dalam upaya penanganan

perbatasan. Selain itu juga, dalam penulisan ini tidak menjelaskan mengenai

forum kerjasama antara Indonesia dengan negara tetangga, dan sejauh mana

forum tersebut mengatasi permasalahan yang terjadi di perbatasan.

Penanganan dan mengelola wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia dapat

dilakukan melalui diplomasi untuk mencapai kepentingan kedua negara.

Diplomasi dilakukan mengingat kedua negara merupakan wilayah yang

bertetangga dan serumpun. Namun dalam prakteknya, diplomasi yang dilakukan

kedua negara dari awal kemerdekaan selalu mengalami kendala dan hingga saat

22

ini masih saja terdapat permasalahan di wilayah perbatasan, mulai dari masalah

kesejahteraan hingga masalah keamanan. Sejalan dengan hal tersebut Iva

Rachmawati dan Fauzan melakukan penelitian dengan mengangkat judul Problem

Diplomasi dalam Tata Kelola Perbatasan Indonesia-Malaysia.39

Diplomasi

perbatasan penting dilakukan karena berfungsi sebagai alat untuk mencapai

kepentingan nasional, yang dibangun dengan 3 pondasi (hukum, pembangunan

sosial ekonomi dan pembangunan institusi).40

Penulisannya hanya fokus pada

pembangunan institusi yaitu KK Sosek Malindo yag merupakan institusi

pengelolaan perbatasan yang bekerjasama dengan Malaysia. Institusi ini sering

melakukan pertemuan sejak tahun 1985, dan sejak itu kedua negara telah banyak

menghasilkan persetujuan kerja sama di berbagai bidang khususnya pada

pengelolaan perbatasan dan pengembangan wilayah perbatasan. Namun

persoalannya adalah pada saat mengimplementasikannya. Hal ini terjadi karena

adanya tumpang tindih dan tidak terkoordinasi secara baik. KK Sosek Malindo

dinilai sebagai forum border diplomacy yang tidak efektif. Penulis tidak

menjelaskan faktor-faktor lain yang menyebabkan kesulitan untuk

mengemplementasikan kesepakatan antara kedua negara selain karena adanya

tumpang tindih tugas dan peran institusi.

Sejalan dengan penelitian diatas, Ardita Velarasi41

juga melakukan

penelitian terkait dengan institusi General Border Committee (GBC) dalam

39

Iva Rachmawati dan Fauzan, 2012, “Problem Diplomasi Dalam Tata Kelola Perbatasan

Indonesia-Malaysia”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Universitas Gadjah Mada

Vol 16 No. 2 November, “Mengelola Perbatasan Negara”, Yogyakarta; FISIP UGM., hlm. 95 40

Ibid 41

Ardita Velarasi, 2013, “Kerjasama Indonesia dan Malaysia Mengenai GBC dalam

Perspektif Hukum Perjanjian Internasional” di dalam Opini hukum electronic journal, diperoleh

23

Kerjasama Indonesia-Malaysia, namun bukan dilihat dari pembangunan sosial

ekonomi dan pembangunan institusinya, tapi dilihat dari Perspektif Hukum

Perjanjian Internasionalnya. Penjelasannya dimulai dengan memaparkan dasar

hukum dan sistem penetapan dari perjanjian bilateral antara Indonesia-Malaysia

mengenai batas wialayah antar-negara. Hukum internasional dan hukum

perjanjian internasional memberikan kontribusi yang cukup penting bagi

perbatasan, terutama di dalam pelaksanaan perundingan antar negara dan

penandatanganan persetujuan atau perjanjian antar-negara. Kemudian ia

menjelaskan peran GBC dalam mengelola daerah perbatasan antara Indonesia dan

Malaysia dan menjelaskan kendala-kendala yang dihadapi GBC sebagai wadah

komunikasi yang efektif digunakan untuk mengahadapi persoalan-persoalan

dalam keamanan dan pertahanan di perbatasan kedua negara. Namun, dalam

penelitian ini tidak dijelaskan mengenai sejauh mana GBC mampu memberikan

kontribusi bagi penyelesaian permasalahan yang terjadi di kawasan perbatasan.

Berbeda dengan Prof. Dr. Ir Bambang B. Soejito dalam bukunya Strategi

dan Model Pengembangan Wilayah Perbatasan Kalimantan.42

Ia menyimpulkan

bahwa untuk dapat mengembangkan wilayah perbatasan perlu dilakukan dengan

menerapkan prinsip-prinsip kebijakan seperti, mewujudkan wilayah perbatasan

sebagai halaman depan suatu negara; melindungi sumber daya alam yang ada di

perbatasan melalui pengelolaan wilayah konservasi dan taman nasional;

dari http://issuu.com/e-jurnal-fh-unsri/docs/ej_hi__1_-_ardita_velarasi#, diakses pada 5 Oktober

2013 42

Bambang B. Soejito, 2003, “Strategi dan model pengembangan wilayah perbatasan

Kalimantan”, di publish oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Deputi

Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional, Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional (Bappenas) Jakarta.

24

melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan

pembangunan agar mendapat manfaat sebesar-besarnya dari upaya pengembangan

wilayah perbatasan; menyeimbangkan tujuan peningkatan kesejahteraan

masyarakat dengan tujuan pertahanan wilayah negara, membagi peran dan

kewenangan yang saling mendukung antara pemerintah pusat, provinsi dan

kabupaten serta antara pemerintah dan swasta, meningkatkan kerjasama dengan

pihak luar negeri untuk mengatasi permasalahan ekonomi, sosial, budaya, politik

dan pengelolaan sumberdaya alam di perbatasan.

Dari hasil penelitian di atas belum ada satupun penelitian yang melakukan

penilaian terhadap tingkat kepatuhan dalam perjanjian GBC. Padahal kepatuhan

dalam sebuah perjanjian sangat diperlukan guna melancarkan kesepakatan

kerjasama antar jedua negara. Atas dasar inilah maka mendorong penulis untuk

meneliti lebih lanjut mengenai derajad compliance dalam kerjasama GBC

Malindo di perbatasan darat Kalimantan. Dengan demian penelitian ini dapat

melengkapi hasil penelitian terdahulu di atas.

F. Argumen Utama

Rezim GBC dijadikan landasan kerjasama oleh pemerintah Republik

Indonesia maupun Kerajaan Malaysia baik dalam bidang operasi dan non operasi.

Akan tetapi, perjanjian kerjasama yang dilandasi atas motif saling menguntungkan

tersebut tidak selamanya berjalan dengan baik karena adanya compliance problem

yaitu terdapat prilaku non compliance yang dilakukan oleh salah satu pihak

partisipan. Sehingga membuat derajat kepatuhan kerjasama dalam rezim GBC

Malindo tergolong rendah. Rendahnya derajat kepatuhan rezim GBC Malindo,

25

disebabkan oleh rendahnya tingkat legalisasi dalam pengaturan perjanjian Security

Arrangement 1972 dan 1984, baik itu dari sisi obligasi, presisi maupun delegasi.

Rendahnya tingkat obligasi akan berpengaruh pada kepentingan dan efisiensi

dalam kerjasama kedua negara. Sedangkat rendahnya tingkat presisi dalam

perjanjian menyebabkan aturan-aturan yang tertulis kurang jelas/tepat dan

ambigu. Dengan adanya compliance problem ini menjadikan derajat kepatuhan

Indonesia-Malaysia terhadap rezim kerjasama GBC dalam mengelola dan

mengatasi sejumlah permasalahan diperbatasan kedua negara di Kalimantan

masih tergolong rendah.

G. Metodologi Penelitian

1. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini mencakup bahasan tentang perilaku dari partisipan

perjanjian internasional yaitu pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam

memenuhi kesepakatan yang telah dibuat bersama, sehingga dapat diperoleh

penjelasan mengenai tingkat derajat kepatuhan (compliance) dalam

implementasi rezim perjanjian kerjasama GBC Malindo.

2. Tipe Penelitian

Secara khusus ekspektasi yang ingin dicapai oleh penulis dalam

penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih detail dan

mendalam mengenai hasil dari pelaksanaan kesepakatan dan perkembangan

terkini dari kondisi konkrit derajat kepatuhan kerjasama General Border

Committee Malindo. Guna mengetahui derajat kepatuhan kerjasama General

26

Border Committee Malindo ini penulis mengkajinnya berdasarkan buku-buku,

literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya

dengan masalah yang dipecahkan. Oleh karena itu, aktivitas keilmuan yang

dilakukan oleh penulis dalam proses penelitian ini termasuk dalam kerangka

penelitian kepustakaan (library research).43

Lebih lanjut berdasarkan

permasalahan yang ingin dianalisis, maka penelitian ini termasuk dalam

kategori explanatory research, yang dirancang untuk menjelaskan hubungan

kausalitas beberapa variabel dalam masalah penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Untuk data

primer akan diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara mendalam

(indepth interview) dengan sejumlah narasumber yang berkompeten dan

dokumen perjanjian kerjasama. Sedangkan data sekunder akan diperoleh

melalui metode telaah pustaka (library research) dari berbagai sumber, seperti:

buku, jurnal cetak, jurnal online, majalah, dan surat kabar.

4. Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah illustrative method

yakni dengan mengaplikasikan teori ke dalam situasi konkret, tatanan sosial

dan pengalaman nyata.44

Secara esensial melalui metode ini, teori berfungsi

sebagai panduan (guidelines) dalam penelitian. Peneliti berupaya untuk

43

M. Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, cet.ke-5. Hlm. 27. 44

Ibid,. hlm. 489

27

memberikan penilaian apakah observasi kualitatif yang dilakukan tersebut

mendukung atau justru menyangkal teori yang diadopsi dalam penelitian.

Proses analisis data seperti inilah yang akan dilakukan dalam penelitian rezim

GBC Malindo dengan mengukur derajat compliance.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian dalam tesis ini terdiri dari lima bab, diantaranya yaitu: Bab I

PENDAHULUAN. Pada bab ini mencakup latar belakang permasalahan yang

akan diteliti, rumusan masalah, kerangka pemikiran, literatur review, argumen

utama, metodologi penelitian.

Bab II DINAMIKA KERJASAMA GENERAL BORDER COMMITTEE

MALAYSIA-INDONESIA. Bab ini berisikan data penelitian yang menguraikan

bagaimana mekanisme kerjasama General Border Committee Malindo dan

berbagai kesepakatan yang telah dicapai dalam kerjasama General Border

Committee Malindo

Bab III DERAJAT COMPLIANCE DALAM KERJASAMA GENERAL

BORDER COMMITTEE MALINDO PERBATASAN DARAT DI

KALIMANTAN. Bab ini merupakan bagian analisis yang menjelaskan tentang

tinggi atau rendahnya perilaku compliance Indonesia dan Malaysia terhadap

pelaksanaan hasil kesepakatan rezim kerjasama GBC Malindo berdasarkan teori

compliance.

Bab IV PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang

telah disampaikan pada keempat bab sebelumnya sehingga dapat menjawab

rumusan masalah yang telah disebutkan di bagian awal penulisan.