37
BAB 35. ANESTESI UNTUK PASIEN DENGAN GANGGUAN NEUROMUSKULAR Konsep Kunci 1. Kelemahan yang berhubungan dengan myasthenia gravis terjadi karena adanya gangguan autoimun atau inaktivasi dari reseptor asetylcolin postsinap pada neuromuscular junction, sehingga menyebabkan penurunan jumlah reseptor dan fungsinya serta menyebabkan kerusakan yang dimediasi komplemen pada memban postsinap. 2. Pasien yang mengalami myasthenia gravis dengan keterlibatan otot pernafasan atau bulbar mengalami peningkatan resiko terjadinya aspirasi paru. 3. Banyak pasien dengan myasthenia gravis sangat peka terhadap neuromuscular blockers (NMBS) nondepolarisasi. 4. Pasien yang mengalami myasthenia gravis beresiko mengalami kegagalan pernafasan pasca operasi. Durasi penyakit lebih dari 6 tahun, yang bersamaan dengan adanya penyakit paru, tekanan inspirasi puncak kurang dari -25 cm H 2 O (yaitu, -20 cm H 2 O), kapasitas vital kurang dari 4 mL / kg, dan dosis pyridostigmine lebih besar dari 750 mg/d diprediksi membutuhkan ventilasi pasca operasi setelah thymectomy.

Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

  • Upload
    siska

  • View
    38

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anestesi pada gangguan neurovaskuler

Citation preview

Page 1: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

BAB 35. ANESTESI UNTUK PASIEN DENGAN GANGGUAN

NEUROMUSKULAR

Konsep Kunci

1. Kelemahan yang berhubungan dengan myasthenia gravis terjadi karena

adanya gangguan autoimun atau inaktivasi dari reseptor asetylcolin

postsinap pada neuromuscular junction, sehingga menyebabkan

penurunan jumlah reseptor dan fungsinya serta menyebabkan kerusakan

yang dimediasi komplemen pada memban postsinap.

2. Pasien yang mengalami myasthenia gravis dengan keterlibatan otot

pernafasan atau bulbar mengalami peningkatan resiko terjadinya aspirasi

paru.

3. Banyak pasien dengan myasthenia gravis sangat peka terhadap

neuromuscular blockers (NMBS) nondepolarisasi.

4. Pasien yang mengalami myasthenia gravis beresiko mengalami kegagalan

pernafasan pasca operasi. Durasi penyakit lebih dari 6 tahun, yang

bersamaan dengan adanya penyakit paru, tekanan inspirasi puncak kurang

dari -25 cm H2O (yaitu, -20 cm H2O), kapasitas vital kurang dari 4 mL /

kg, dan dosis pyridostigmine lebih besar dari 750 mg/d diprediksi

membutuhkan ventilasi pasca operasi setelah thymectomy.

5. Pasien dengan sindrom myasthenia Lambert-Eaton dan sindrom

neuromuscular paraneoplastik sangat sensitif baik terhadap NMBS

depolarisasi dan nondepolarisasi.

6. Degenerasi otot pernafasan pada pasien dengan distrofi otot mengganggu

mekanisme batuk yang efektif dan menyebabkan terjadinya retensi sekret

sehingga sering mengalami infeksi paru.

7. Degenerasi otot jantung pada pasien dengan distrofi otot sering terjadi,

namun terjadinya dilatasi maupun hipertrofik cardiomyopathy hanya 10%

dari pasien.

8. Suksinilkolin harus dihindari pada pasien dengan Duchenne’s atau

Becker’s muscular dystrophies karena respon yang tidak terduga dan

Page 2: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

berisiko menginduksi hiperkalemia berat atau memicu hipertermia

malignant.

9. Manajemen anestesi pada pasien dengan paralisis periodik ditujukan untuk

mencegah serangan. Manajemen intraoperatif harus mencakup penentuan

konsentrasi kalium plasma dan pemantauan elektrokardiografi secara hati

– hati untuk mendeteksi aritmia.

10. Pada pasien dengan paralisis periodik, respon terhadap NMBS tidak dapat

diprediksi, dan fungsi neuromuskular harus dimonitoring secara hati - hati

selama penggunaan NMBS non depolarisasi. Peningkatan kepekaan

terhadap NMBS sering dihadapi pada pasien dengan paralisis periodik

hipokalemia

Walaupun penyakit neuromuskular jarang ditemukan, pasien dengan

kondisi ini akan ditemui pada saat di ruang operasi dan non-operasi untuk studi

diagnostik, pengobatan komplikasi, atau manajemen bedah yang terkait atau tidak

terkait dengan gangguan neuromuskular. Secara keseluruhan, dengan kekuatan

otot pernapasan yang berkurang dan peningkatan kepekaan terhadap

neuromuskuler blocker (NMBS), pasien ini beresiko untuk mengalami kegagalan

ventilasi dan aspirasi paru pasca operasi, dan dapat memperlambat pemulihan

pasca-operasi karena mengalami kesulitan dalam ambulasi dan peningkatan

risiko jatuh. Sebuah pemahaman dasar tentang gangguan utama dan interaksi

potensial antara agen anestesi diperlukan untuk meminimalkan risiko morbiditas

perioperatif.

MYASTHENIA GRAVIS

Myasthenia gravis merupakan gangguan autoimun yang ditandai dengan

kelemahan dan otot skeletal yang mudah lelah. Myasthenia gravis diklasifikasikan

sesuai dengan distribusi dan tingkat keparahan penyakit (Tabel 35-1). Prevalensi

penyakit ini diperkirakan mencapai 50-200 per juta penduduk. Insidensi tertinggi

terjadi pada wanita selama dekade ketiga, dan pada laki-laki menunjukkan dua

puncak insidensi tertinggi, yaitu pada dekade ketiga dan dekade keenam.

Page 3: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

Kelemahan yang terkait dengan myasthenia gravis disebabkan karena

kerusakan autoimun atau inaktivasi reseptor asetilkolin pascasinaps di

neuromuscular junction, yang menyebabkan penurunan jumlah reseptor dan

degradasi fungsi reseptor, dan kerusakan yang dimediasi komplemen pada

postsynaptic end plate. Antibodi IgG terhadap reseptor asetilkolin nicotinic pada

neuromuskuler junction ditemukan pada 85-90% pasien dengan generalized

myasthenia gravis dan sampai 50-70% pasien dengan myasthenia okular. Di

antara pasien dengan myasthenia, 10-15% persen mengalami perkembangan

thymoma, sedangkan sekitar 70% terbukti secara histologis mengalami

hiperplasia folikel limfoid pada thymus. Gangguan yang terkait dengan autoimun

lainnya (hipotiroidisme, hipertiroidisme, rheumatoid arthritis, dan sistemik lupus

erythematosus) juga ditemukan pada 10% pasien. Diagnosis banding dari

myasthenia gravis mencakup sejumlah kondisi klinis lainnya yang dapat mirip

tanda-tanda dan gejalanya (Tabel 35-2). Krisis Miastenia Gravis merupakan

kondisi eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanis dan harus dicurigai

pada setiap pasien dengan gagal napas yang etiologinya tidak jelas.

TABEL 35-1 Klasifikasi klinis Amerika untuk myasthenia gravis1

Kelas Definisi

I Kelemahan berbagai otot okular

Terdapat kelemahan saat menutup mata

Kekuatan otot yang lain normal

II Kelemahan ringan yang terjadi pada otot mata

Terdapat kelemahan pada otot mata dengan berbagai derajat

IIa Predominan mempengaruhi otot ekstrimitas, aksial, atau keduanya

Dapat melibatkan sedikit otot orofaringeal

IIb Predominan mempengaruhi otot orofaringeal atau respiratory atau

keduanya

Dapat juga melibatkan lebih sedikit atau sama pada otot ekstremitas,

aksial, atau keduanya

III Kelemahan sedang yang mempengaruhi selain otot mata

Page 4: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

Dapat juga kelemahan otot mata dangan berbagai derajat

IIIa Predominan yang mempengaruhi otot ekstrimitas, aksial atau keduannya

Dapat juga lebih sedikit melibatkan otot orofaringeal

IIIb Predominan yang mempengaruhi otot orofaringeal, otot ektremitas, otot

aksial, atau keduanya

Dapat juga melibatkan lebih sedikit atau sama otot-otot ektremitas,

aksial atau keduanya

IV Kelemahan berat pada otot yang melibatkan selain otot mata

Dapat lmelibatkan otot mata pada berbagai derajat

IVa Predominan mempengaruhi otot ektrimitas atau aksial

Dapat juga melibatkan otot orofaringeal

IVb Predominan mempengaruhi otot orofaringeal, otot pernafasan, atau

keduanya

Dapat melibatkan lebih sedikit atau sama dari otot ektremitas atau otot

aksial atau keduanya

V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik, kecuali

selama manajemen rutin postoperatif. Menggunakan selang makan

tanpa penggunaan intubasi pada pasien dengan kelas IVb

Tabel 35-2 Diagnosa banding untuk myastenhia gravis

Gangguan neuromuskular lainnya

Sindrom myasthenic kongenital

Botulism

Sindroma Lambert-Eaton

Kelemahan syaraf kranial

Diabetes

Aneurisme intrakranial

Trauma (cth : fraktur orbita)

Kongenital ( cth : Sindroma Dwayne

Infeksi (cth: meningitis basilar)

Page 5: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

Inflamasi (cth : sindroma sinus cavernosus)

Neoplasma (cth: meningioma basilar)

Sindroma Horner

Penyakit otot

Distrofi otot myotonik

Distrofi otot orofaringeal

Myopathi mitocondrial ( cth : ophtalmoplegi

eksternal progresif kronik)

Patologi sistem syaraf pusat

Stroke

Penyakit demyelinasi

Lainnya

Penyakit neuron motorik

Penyakit metabolik ( cth: penyakit tyroid)

Perjalanan penyakit miastenia gravis ditandai dengan adanya eksaserbasi

dan remisi, yang dapat secara parsial atau lengkap. Kelemahan dapat terjadi secara

asimetris, melibatkan satu kelompok otot, atau keseluruhan. Otot okular yang

paling sering mengalami gangguan, sehingga menyebabkan ptosis fluktuasi dan

diplopia. Selain keterlibatan bulbar, kelemahan otot laring dan faring dapat

menyebabkan disartria, kesulitan dalam mengunyah dan menelan, masalah

pengeluaran sekret, atau terjadinya aspirasi paru. Penyakit dengan derajat berat

biasanya juga terkait dengan kelemahan otot proksimal (terutama di leher dan

bahu) dan keterlibatan otot-otot pernapasan. Kekuatan otot secara khas membaik

dengan istirahat tetapi memburuk dengan cepat saat beraktivitas. Infeksi, stres,

operasi, dan kehamilan mempunyai efek yang tidak dapat diprediksi pada

penyakit ini namun sering menyebabkan eksaserbasi. Sejumlah obat dapat

mengakibatkan eksaserbasi tanda dan gejala dari myasthenia gravis.( Tabel 35-3).

Page 6: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

Tabel 35-3 Obat yang berpotensi menyebabkan kelemahan pada myasthenia

gravis

Agen kardiovaskuler

β-blockers

Lidocaine

Procainamide

Quinidine

Verapamil

Antibiotik

Ampicillin

Azithromycin

Ciprofl oxacin

Clarithromycin

Erythromycin

Gentamycin

Neomycin

Streptomycin

Sulfonamides

Tetracycline

Tobramycin

Obat sistem syaraf pusat

Chlorpromazine

Lithium

Phenytoin

Trihexyphenidyl

Immunomodulator

Corticosteroids

Interferon-α

Agen rheumatologikal

Chloroquine

Page 7: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

D -Penicillamine

Miscellanous

Agen radiokontras iodin

Magnesium

Neuromuscular blockers nondepolarisai

Obat-obat antikolinesterase paling sering digunakan untuk mengobati

kelemahan otot pada gangguan ini. Obat ini meningkatkan jumlah asetilkolin pada

neuromuskuler junction melalui penghambatan end plate acetylcholinesterase.

Pyridostigmine paling sering diresepkan; ketika diberikan secara oral, obat ini

memiliki durasi efektif selama 2-4 jam. Pemberian yang berlebihan dari

antikolinesterase dapat memicu krisis kolinergik, yang ditandai dengan

peningkatan kelemahan dan efek muscarinic berlebihan, termasuk produksi saliva

yang berlebihan, diare, miosis, dan bradikardia. Tes Edrophonium (Tensilon)

dapat membantu membedakan krisis kolinergik dan krisis miastenia. Peningkatan

kelemahan setelah pemberian hingga 10 mg dari edrophonium intravena

menunjukkan krisis kolinergik, sedangkan peningkatan kekuatan menunjukkan

krisis miastenia. Jika tes ini menghasilkan hasil yang samar-samar atau jika pasien

jelas memiliki manifestasi hiperaktivitas kolinergik, semua obat cholinesterase

harus dihentikan dan pasien harus dimonitoring di unit perawatan intensif atau

area observasi yang mudah dipantau. Obat-obat antikolinesterase sering sebagai

satu-satunya agen yang digunakan untuk mengobati pasien dengan penyakit

ringan. Untuk penyakit dengan derajat sedang atau berat diobati dengan

kombinasi obat antikolinesterase dan terapi imunomodulasi. Kortikosteroid

biasanya digunakan untuk pertama kali, diikuti oleh azathioprine, cyclosporine,

siklofosfamid, mycophenolate mofetil, dan imunoglobulin intravena.

Plasmaferesis merupakan alternatif lain untuk pasien dengan disfagia atau

kegagalan pernapasan, atau untuk menormalkan kekuatan otot sebelum operasi

pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan, termasuk thymectomy. Hingga

85% dari pasien yang lebih muda dari 55 tahun menunjukkan perbaikan klinis

Page 8: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

setelah thymectomy bahkan tanpa adanya tumor, namun perbaikan mungkin dapat

tertunda sampai beberapa tahun.

Pertimbangan dalam bidang Anestesi

Pasien dengan myasthenia gravis dapat melakukan thymectomy atau

prosedur bedah atau obstetrik, namun manajemen kondisi medis mereka harus

dioptimalkan sebelum melakukan prosedur yang dimaksudkan. Pasien miastenia

dengan kelemahan otot pernapasan dan orofaringeal harus ditangani sebelum

operasi dengan imunoglobulin intravena atau plasmaferesis. Jika kekuatan normal,

kejadian komplikasi pernapasan pasca operasi hampir sama dengan pasien

nonmyasthenic yang menjalani prosedur bedah yang sama. Pasien yang

dijadwalkan untuk thymectomy mungkin dapat mengalami perburukan kekuatan

otot, sehingga mereka yang menjalani prosedur elektif lainnya sebaiknya

dilakukan kontrol dengan baik atau selama masa remisi. Penyesuaian dalam

pengobatan antikolinesterase, imunosupresan, atau terapi steroid pada periode

perioperatif mungkin diperlukan. Pasien dengan penyakit stadium lanjut dapat

memburuk secara signifikan ketika agen antikolinesterase dihentikan. Pengobatan

ini harus diulang kembali ketika pasien mendapatkan kembali asupan oral pasca

operasi. Jika diperlukan, cholinesterase inhibitor juga dapat diberikan parenteral

pada 1/30 dosis oral. Potensi masalah yang terkait dengan manajemen terapi

antikolinesterase pada periode pasca operasi meliputi perubahan kebutuhan

pasien, peningkatan vagal reflek, dan kemungkinan gangguan anatomosis

sekunder hingga hyperperistalsis. Selain itu, karena agen ini juga menghambat

cholinesterase plasma, agen ini secara teoritis memperpanjang durasi anestesi

lokal type ester dan succinylcholine.

Evaluasi preoperasi harus fokus pada perjalanan penyakit terbaru,

kelompok otot yang terganggu, terapi obat, dan penyakit yang menyertai. Pasien

yang mengalami myasthenia gravis dengan keterlibatan otot pernafasan atau

bulbar beresiko terjadi aspirasi paru - paru. Premedikasi dengan metoclopramide

atau H2 blocker atau proton pump inhibitor dapat menurunkan risiko ini. Karena

pasien dengan myasthenia yang sering sangat sensitif terhadap efek depresi

Page 9: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

pernapasan dari opioid dan benzodiazepine, premedikasi dengan obat ini harus

dilakukan dengan hati-hati.

Kecuali pada penggunaan NMBS, agen anestesi standar dapat digunakan

pada pasien dengan myasthenia gravis. Namun, depresi pernapasan yang nyata

dapat ditemui pada pemberian dosis moderat propofol atau opioid. Saat anestesi

umum diperlukan, anestesi yang menggunakan agen volatil sering digunakan.

Anestesi dalam dengan menggunakan agen volatil saja pada pasien dengan

myasthenia cukup untuk relaksasi saat intubasi trakea dan prosedur bedah,

sehingga banyak dokter menghindari NMBS. Respon terhadap suksinilkolin tidak

dapat diprediksi, namun kita tidak menemukan dalam praktek. Pasien mungkin

menunjukkan resistensi yang relatif, atau menunjukkan efek yang lebih lama (lihat

Bab 11). Dosis suksinilkolin dapat ditingkatkan sampai 2 mg / kg untuk mengatasi

resistensi, diharapkan durasi kelumpuhan dapat ditingkatkan selama 5-10 menit.

Banyak pasien dengan myasthenia gravis sangat peka terhadap NMBS

nondepolarisasi. Bahkan dosis defasciculating pada beberapa pasien dapat

mengakibatkan kelumpuhan yang lengkap. Jika NMBS diperlukan, dosis kecil

agen nondepolarisasi short-acting lebih disukai. Kami tidak menemukan bahwa

NMBS nondepolarisasi diperlukan selama thymectomy dengan anestesi volatile.

Blokade neuromuskuler harus dipantau dengan ketat melalui perangsang saraf,

dan fungsi ventilasi harus dievaluasi secara hati-hati sebelum ekstubasi.

Pasien yang mengalami myasthenia gravis beresiko untuk kegagalan

pernafasan pasca operasi. Durasi penyakit lebih dari 6 tahun, yang bersamaan

dengan penyakit paru, tekanan inspirasi puncak kurang dari -25 Cm H2O (yaitu, -

20 cm H 2 O), kapasitas vital kurang dari 4 mL / kg, dan dosis pyridostigmine

lebih besar dari 750 mg/hari diprediksi membutuhkan ventilasi pasca operasi

thymectomy.

Wanita dengan myasthenia dapat mengalami kelemahan pada trimester

terakhir kehamilan dan pada periode postpartum awal. Anestesi epidural

umumnya lebih baik untuk pasien ini karena menghindari potensi masalah

depresi pernapasan dan dengan anestesi umum yang terkait NMBS. Blokade

motorik yang berlebihan, bagaimanapun, dapat mengakibatkan hipoventilasi. Bayi

Page 10: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

dari ibu miastenia mungkin menunjukkan myasthenia sementara selama 1-3

minggu setelah lahir, yang disebabkan oleh transfer transplacental dari antibodi

reseptor asetilkolin, yang mungkin memerlukan intubasi dan ventilator mekanik

SINDROMA NEUROMUSKULAR PARANEOPLASTIK

Sindrom paraneoplastik merupakan penyakit yang dimediasi sistem imun

yang berhubungan dengan penyakit kanker. Miastenia gravis sering dianggap

sebagai sebuah sindrom paraneoplastic karena miastenia gravis merupakan

gangguan autoimun yang terkait dengan hiperplasia timus, termasuk thymoma.

Sindrom paraneoplastic neurologis atau neuromuskuler lainnya antara lain

sindrom miastenia Lambert-Eaton, ensefalitis limbik, neuromyotonia, sindrom

kekakuan, distrofi myotonic, dan polymyositis.

Sindrom miastenic Lambert-Eaton

Sindrom miastenia Lambert-Eaton (LEMS) adalah sindrom paraneoplastik

yang ditandai dengan kelemahan otot proksimal yang biasanya dimulai dari

ekstremitas bawah tetapi dapat menyebar hingga melibatkan otot-otot ekstremitas

atas, bulbar, dan pernapasan. Mulut kering, impotensi pria, dan manifestasi

disfungsi otonom lainnya sering ditemukan. LEMS biasanya berhubungan dengan

karsinoma paru-paru small cell tetapi juga dapat dilihat dengan keganasan lain

atau sebagai penyakit autoimun idiopatik. Gangguan terjadi akibat dari defek

presinaptik dari transmisi neuromuskuler di mana antibodi untuk voltage-gated

calsium channel pada terminal saraf secara nyata mengurangi pelepasan quantal

asetilkolin pada motor end plate. Sel dari karsinoma paru small cell identik

dengan voltage-gated calsium channel, dimana sebagai sebagai pemicu respon

autoimun pasien dengan paraneoplastic LEMS.

Berbeda dengan myasthenia gravis, kelemahan otot terkait dengan LEMS

membaik dengan pengobatan berulang dan perbaikan dengan obat-obatan

antikolinesterase. Guanidin hidroklorida dan 3,4-Diaminopyridine (DAP), yang

meningkatkan pelepasan asetilkolin presynaptic, sering menghasilkan perbaikan

Page 11: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

yang signifikan pada LEMS. Kortikosteroid atau obat imunosupresif lain, atau

plasmapheresis, juga mungkin dapat memberikan manfaat.

Encephalitis Limbic

Ensefalitis limbik adalah gangguan degeneratif sistem saraf pusat ditandai

dengan perubahan kepribadian, halusinasi, kejang, disfungsi otonom, berbagai

tingkat demensia, dan hilangnya sensibilitas asimetris di ekstremitas. Ensefalitis

limbik melibatkan otak, batang otak, otak kecil, dan medula spinalis. Pada sekitar

60% kasus, ensefalitis limbik merupakan sindrom paraneoplastic. Terdapat

asosiasi yang kuat dengan karsinoma paru small cell, dan disfungsi neurologis

yang sering mendahului diagnosis kanker. Terapi meliputi pengobatan kanker

sebagai penyakit yang mendasari, jika ada, dan pemeberian terapi imunosupresif.

Neuromyotonia

Neuromyotonia merupakan kondisi dari hipereksitabilitas syaraf tepi

dimana sering berhubungan degan penyakit kanker tetapi dapat juga keturunan

atau berhubungan dengan diabetes, obat, atau dipicu toksin atau neuropati lainnya.

Gambarannya meliputi myokymia ( pergerakan undulasi yang berkelanjutan dari

otot yang gambarannya mirip seperti sekantong cacing ), kekakuan, gangguan

relaksasi otot, kram otot yang nyeri, hiperhidrosis, dan hipertrofi otot. Terapi

meliputi terapi imunoglobulin, plasma exchange, dan pemberian anticonvulsan.

Stiff Person Syndrome

Stiff person syndrome merupakan gangguan progresif yang ditandai

dengan kekakuan aksial dan rigiditas dimana pada akhirnya dapat mengakibatkan

keterlibatan otot anggota gerak proksimal. Pada kasus yang lanjut, rigiditas para

spinal dapat menyebabkan deformitas spinal yang nyata dan pasien dapat

mengalami kesulitan ambulasi dan riwayat sering jatuh. Walaupun stiff person

syndrome jarang ditemui, jika hal ini terjadi sering berkaitan dengan kanker. terapi

meliputi pengobatan pada penyakit kanker yang mendasari, jika ada, dan

pemberian imunoglobulin dan benzodiazepin.

Page 12: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

Myotonic Dystrophy

Lihat halaman selanjutnya

Polymyositis

Polymyositis merupakan myopathy inflamatory dari otot skelet, terutama

otot ektremitas proximal, yang ditandai dengan kelemahan dan mudah mengalami

kelelahan pada otot. Pasien cinderung mengalami aspirasi dan sering mengalami

pneumonia karena kelemahan otot dada dan difagia sekunder hingga keterlibatan

otot orofaringeal. Polymyositis juga menunjukkan disritmia cardiac karena defek

konduksi. Terapi meliputi pengobatan dari neoplasma, pemberian imunoglobulin,

kortikosteroid dan immunomodulator seperti methotrexate, cycloporine dan tumor

necrosis factor-α inhibitor.

Pertimbangan Anestesi untuk Pasien dengan Sindroma Paraneoplastic

Neuromuscular

Pasien dengan LEMS dan sindroma paraneoplastic lainnya sangat sensitif

baik terhadap NMBS depolarisasi maupun non depolarisasi. Agen volatil saja

sering tidak cukup untuk relaksasi otot, baik untuk intubasi maupun sebagian

besar prosedur. NMBS hanya diberikan pada pembedahan ringan dengan

monitoring neuromuskular yang ketat. Karena pada pasien ini sering

menunjukkan kelemahan, benzodiazepin, opioid dan pengobatan lainnya dengan

efek sedatif sebaiknya diberkan secara hati – hati.

MUSCULAR DYSTROPHIES

Pertimbangan preoperatif

Muscular systrophies merupakan kelompok heterogen dengan gangguan

hereditas yang ditandai dengan nekrosis dan regenerasi dari serat otot, yang

menyebabkan degenerasi otot dan kelemahan yang progresif. Resiko anestesi

yang meningkat pada keseluruhan pasien dengan kelemahan, dimana dapat

menghambat pengeluaran sekret dan ambulasi postoperatif, demikian pula

Page 13: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

peningkatan resiko kegagalan respirasi dan aspirasi paru. Duchenne’s muscular

dystrophy merupakan bentuk yang paling sering dan berat dari muscular

dysthrophy. Jenis muscular dysthrophy lainnya antara lain Becker’s muscular

dystrophy, myotonic, facioscapulohumeral, dan limb-girdle dystrophies.

Duchenne’s Muscular Dystrophy

Gangguan X-linked resesif, Duchenne’s muscular dystrophy sebagian

besar terjadi pada laki – laki. Kejadian Duchenne’s muscular dystrophy sekitar 1-

3 kasus per 10.000 kelahiran laki-laki hidup dan paling umum antara 3 dan 5

tahun. Menyerang individu dan menyebabkan distrofin abnormal, protein yang

ditemukan pada sarcolemma dari serabut otot. Pasien ditandai dengan

perkembangan kelemahan otot proksimal yang simetris dimana bermanifestasi

sebagai gangguan cara berjalan. Infiltrasi lemak biasanya menyebabkan

pembesaran otot (pseudohipertrofi), terutama betis. Kelemahan dan kontraktur

progresif mengakibatkan kyphoscoliosis. Banyak pasien menggunakan kursi roda

pada usia 12 tahun. Perkembangan penyakit dapat ditunda hingga 2-3 tahun

dengan terapi glukokortikoid pada beberapa pasien. Gangguan intelektual sering

terjadi tetapi umumnya nonprogresif. Kadar plasma creatine kinase (CK) 10-100

kali normal bahkan pada awal penyakit dan dapat menunjukkan peningkatan

abnormal permeabilitas sel otot membran. Perempuan sebagai pembawa genetik

sering menunjukkan tingkat CK plasma tinggi, derajat kelemahan otot yang

bervariasi, dan, jarang terdapat keterlibatan jantung. Konsentrasi mioglobin

plasma juga dapat meningkat. Diagnosis dikonfirmasi dengan biopsi otot.

Degenerasi otot pernafasan pada pasien dengan distrofi otot mengganggu

mekanisme batuk yang efektif dan menyebabkan retensi sekret dan sering terjadi

infeksi paru. Kombinasi kyphoscoliosis dan muscle wasting dapat menyebabkan

defek restriksi ventilasi berat. Hipertensi pulmonal sering terjadi seriring dengan

perkembangan penyakit. Degenerasi otot jantung pada pasien dengan distrofi otot

sering terjadi, tetapi kejadian dilated cardiomyopathy atau cardiomyopathy

hipertrofik hanya 10% pasien. Regurgitasi mitral sekunder akibat dari disfungsi

otot papilaris juga ditemukan pada 25% pasien. Kelainan elektrokardiogram

meliputi perpanjangan interval P-R, QRS dan kelainan ST-segmen, dan

Page 14: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

gelombang R menonjol pada prekordium kanan dengan gelombang Q yang dalam

pada prekordium kiri. Aritmia atrium sering terjadi. Kematian pada usia yang

relatif muda biasanya karena infeksi paru berulang, gagal napas, atau gagal

jantung.

Becker’s Muscular Dystrophy

Becker’s muscular dystrophy, seperti Duchenne’s muscular dystrophy,

merupakan gangguan terkait-X resesif tapi jarang terjadi (1: 30.000 kelahiran laki-

laki). Manifestasi hampir identik dengan Duchenne’s muscular dystrophy kecuali

Becker’s muscular dystrophy biasanya terjadi masa remaja dan progresifitas yang

lebih lambat. Keterbelakangan mental jarang terjadi. Pasien sering mencapai usia

dekade keempat atau kelima, meskipun beberapa dapat bertahan hidup hingga 80-

an. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi pernapasan. Cardiomyopathy

dapat terjadi dalam beberapa kasus dan bisa mendahului kelemahan tulang yang

parah.

Myotonic Dystrophy

Distrofi miotonik adalah gangguan multisistem yang merupakan penyebab

paling umum dari myotonia, sebuah perlambatan relaksasi setelah kontraksi otot

dalam respon terhadap rangsangan listrik atau perkusif. Penyakit ini merupakan

autosomal dominan, dengan kejadian 1: 8000, dan biasanya secara klinis menjadi

jelas pada dekade kedua hingga ketiga, tetapi juga telah dilaporkan sebagai

gangguan paraneoplastic yang berkaitan dengan timoma. Myotonia merupakan

manifestasi awal utama; kelemahan otot dan atrofi menjadi lebih menonjol dalam

perkembangan penyakit. Kelemahan dan atrofi biasanya terjadi pada otot kranial

(orbicularis oculi dan oris, masseter, dan sternokleidomastoid), dan berbeda

dengan kebanyakan miopati, otot distal lebih banyak mengalami gangguan

daripada otot proksimal. Plasma CK normal atau sedikit meningkat.

Beberapa sistem organ terlibat dalam myotonic distrofi, sebagaimana

dibuktikan pada katarak presenil, kebotakan frontal prematur, hipersomnolen

dengan sleep apnea, dan disfungsi endokrin yang mengarah ke insufiensi

pankreas, adrenal, tiroid, dan gonad. Keterlibatan pernapasan menyebabkan

Page 15: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

penurunan kapasitas vital, dan hipoksemia kronis dapat menyebabkan cor

pulmonale. Hipomotilitas gastrointestinal dapat mempengaruhi pasien untuk

mengalami aspirasi paru. Atonia uterine dapat memperpanjang persalinan dan

meningkatkan kejadian dari retensi plasenta. Manifestasi jantung, dimana lebih

sering terjadi sebelum gejala klinis lainnya muncul, seperti termasuk

kardiomiopati, aritmia atrium, dan berbagai tingkat blok jantung.

Myotonia biasanya digambarkan oleh pasien sebagai "kekakuan" yang

dapat berkurang dengan aktivitas selanjutnya−yang disebut fenomena "warm-up".

Pasien sering melaporan bahwa adanya suhu dingin memperburuk kekakuan.

Pengobatan antimyotonic meliputi mexiletine, fenitoin, baclofen, dantrolen, atau

carbamazepine. Sebuah alat pacu jantung dapat ditempatkan pada pasien dengan

defek konduksi yang signifikan, bahkan jika tidak menunjukkan gejala.

Facioscapulohumeral Dystrophy

Distrofi facioscapulohumeral, merupakan gangguan autosomal dominan

dengan kejadian sekitar 1-3: 100.000, terjadi pada kedua jenis kelamin, meskipun

pada perempuan lebih asimptomatik daripada laki-laki. Pasien biasanya

mengalami pada dekade kedua atau ketiga dengan kelemahan yang terjadi

terutama pada otot-otot wajah dan bahu. Otot di ekstremitas bawah jarang

mengalami gangguan, dan biasanya jarang melibatkan otot-otot pernapasan.

Penyakit berkembang dengan lambat. Kadar plasma CK biasanya normal atau

hanya sedikit meningkat. Keterlibatan jantung jarang terjadi, tetapi kehilangan

semua aktivitas listrik jantung dengan ketidakmampuan listrik pada nodus atrial;

namun masih mungkin pada pasien ini adanya listrik pada nodus ventrikel. Umur

harapan hidup jarang terpengaruh.

Limb-Girdle Dystrophy

Limb-girdle muscular dystrophy merupakan kelompok heterogen dari

penyakit neuromuskular genetik. Limb-girdle syndromes melibatkan distrofi otot

autosomal resesif berat pada anak - anak dan sindrom autosomal resesif lainnya

yang tidak lengkap seperti Erb’s dystrophy (tipe scapulohumeral) dan distrofi

Page 16: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

Leyden-Mobius (tipe pelvifemoral). Sebagian besar pasien terjadi pada masa

kanak-kanak hingga dekade ke kedua atau ketiga kehidupan dengan progresifitas

yang lambat dari kelemahan otot yang mungkin melibatkan gelang bahu, gelang

pinggul, atau keduanya. Kadar plasma CK biasanya meningkat. Keterlibatan

jantung relatif jarang tapi mungkin terjadi sebagai aritmia atau gagal jantung

kongestif. Komplikasi pernapasan, seperti hipoventilasi dan infeksi saluran

pernapasan berulang, mungkin terjadi.

Pertimbangan Anestesi

A. Duchenne’s and Becker’s Muscular Dystrophies

Manajemen anestesi pasien ini rumit, tidak hanya oleh karena kelemahan

otot tetapi juga oleh karena manifestasi jantung dan paru. Terdapat dugaan

adanya kaitan dengan hyperthermia malignant tapi tidak terbukti. Premedikasi

pra operasi dengan obat sedatif atau opioid harus dihindari karena risiko

peningkatan aspirasi karena otot pernafasan akibat dari kelemahan,

hipomotilitas lambung, atau keduanya. Pengaturan posisi intraoperatif

mungkin sulir oleh karena adanya kyphoscoliosis atau kontraktur fleksi dari

ekstremitas atau leher. Suksinilkolin harus dihindari pada pasien dengan atau

Duchenne’s muscular distrophy atau Becker’s muscular distrophy karena

respon yang tak terduga dan risiko memicu hiperkalemia berat atau memicu

hipertermia malignansi. Meskipun beberapa pasien menunjukkan respon

normal terhadap NMBS nondepolarisasi, yang lain mungkin dapat menjadi

sangat sensitif. Depresi pernapasan dan sirkulasi dapat dilihat pada

penggunaan anestesi volatile pada pasien dengan penyakit lanjut sehingga

anestesi regional atau lokal mungkin lebih baik pada pasien ini. Morbiditas

perioperatif biasanya karena komplikasi pernapasan. Pasien dengan kapasitas

vital kurang dari 30% dari yang diprediksikan tampaknya paling berisiko dan

sering memerlukan ventilasi mekanis sementara pasca operasi.

Page 17: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

B. Myotonic Dystrophy

Pasien dengan myotonic distrofi mengalami peningkatan risiko komplikasi

pernapasan dan jantung perioperatif. Sebagian besar masalah perioperatif

muncul pada pasien dengan kelemahan yang berat dan dalam kasus-kasus

dimana ahli bedah dan ahli anestesi tidak menyadari adanya diagnosis

penyakit ini. Diagnosis myotonic distrofi dibuat pada beberapa pasien pada

investigasi apneu yang berkepanjangan setelah general anestesi.

Pasien dengan myotonic distrofi telah terjadi perubahan respon terhadap

sejumlah obat-obatan anestesi. Mereka sering sangat sensitif bahkan terhadap

dosis kecil opioid, sedatif, dan agen anestesi inhalasi dan intravena, yang

semuanya dapat menyebabkan apneu yang tiba-tiba dan berkepanjangan.

Oleh karena itu premedikasi harus harus dihindari. Suksinilkolin merupakan

kontraindikasi relatif karena dapat memicu kontraksi myotonic yang intens,

menyebabkan kesulitan intubasi orotrakeal. Kontraksi myotonic dari otot

pernapasan, dinding dada, atau laring dapat membuat kesulitan ventilasi. Obat

lain yang bekerja pada motor end plate, seperti decamethonium, neostigmin,

dan physostigmine, dapat memperburuk myotonia. Anestesi regional

mungkin bekerja lebih baik, tetapi tidak selalu mencegah kontraksi myotonic.

Respon yang normal dilaporkan terhadap NMBS nondepolarisasi; namun,

tidak konsisten dalam mencegah atau mengurangi kontraksi myotonic.

Reverse dari NMBS nondepolarisasi dapat menginduksi kontraksi myotonic,

penggunaan agen nondepolarisasi short-acting lebih dianjurkan. Menggigil

pascaoperasi umumnya terkait dengan agen volatil, terutama bila dikaitkan

dengan sehu badan yang menurun, dimana dapat menginduksi kontraksi

myotonic di ruang pemulihan. Dosis kecil meperidine sering dapat mencegah

menggigil dan mungkin mendahului kontraksi myotonic.

Induksi anestesi tanpa komplikasi telah dilaporkan pada sejumlah agen

termasuk agen inhalasi dan propofol. Neuromuskuler blokade, jika

diperlukan, harus menggunakan NMBS short-acting. Diduga terdapat

hubungan antara distrofi myotonic dan hipertermia malignansi namun tidak

Page 18: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

terbukti. Nitrous Oksida dan agen inhalasi dapat digunakan sebagai anestesi

maintenance. Reverse dengan antikolinesterase harus dihindari, jika mungkin.

Komplikasi pasca operasi yang utama terjadi akibat myotonic distrofi

adalah hipoventilasi berkepanjangan, atelektasis, aspirasi, dan pneumonia.

Monitoring pasca operasi tertutup harus disertai higiene paru yang agresif

dengan terapi fisik dan spirometri insentif. Profilaksis dari aspirasi dapat

sebagai indikasi. Pasien yang menjalani operasi perut bagian atas atau mereka

dengan kelemahan proksimal lebih berat dan lebih mungkin mengalami

komplikasi paru. Kelainan konduksi jantung perioperatif jarang terjadi tapi

masih perlu monitoring kardiovaskular.

C. Bentuk lain daru Muscular Dystrophy

Pasien dengan facioscapulohumeral dan limb-girdle muscular

dystrophy umumnya memiliki respon yang normal terhadap obat anestesi.

Namun demikian, karena variasi yang luas dan tumpang tindih di antara

berbagai bentuk distrofi otot, sedatif-hipnotik, opioid, dan NMBS

nondepolarisasi harus digunakan hati-hati, dan succinylcholine harus

dihindari.

MYOTONIA

Myotonia Kongenital dan Paramyotonia Kogenital

Myotonia kongenital adalah gangguan yang bermanifestasi di awal

kehidupan dengan generalized myotonia. Terdapat bentuk autosomal dominan

(Thomsen’s) dan resesif (Becker). Penyakit ini terbatas pada otot skeletal, dan

kelemahan yang ada minimal maupun tidak ada. Banyak pasien yang mengalami

perkembangan sangat baik karena otot-otot menggalami kontraksi otot yang

konstan. Terapi antimyotonic meliputi fenitoin, mexiletine, kina sulfat, atau

procainamide. Obat lain yang telah digunakan meliputi tocainide, dantrolen,

prednison, acetazolamide, dan taurin. Tidak terdapat keterlibatan jantung dalam

myotonia kongenital, dan mempunyai lama hidup yang normal.

Page 19: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

Paramyotonia congenital adalah gangguan autosomal yang sangat jarang

yang ditandai dengan kekakuan yang transien (myotonia) dan, kadang-kadang,

kelemahan terjadi setelah terpapar suhu dingin. Kekakuan memburuk dengan

aktivitas, berbeda dengan true myotonia, oleh sebab itu diberi istilah

paramyotonia. Konsentrasi serum kalium akan naik setelah serangan serupa

dengan paralisis periodik hyperkalemic (lihat di bawah). Obat-obatan yang telah

digunakan untuk memblok respon meliputi mexiletine dan tocainide.

Pengelolaan pasien dengan myotonia kongenital dan paramyotonia sulit

karena adanya respon abnormal terhadap suksinilkolin, kontraksi myotonic

intraoperatif, dan kebutuhan untuk menghindari hipotermia. Secara berlawanan,

NMBS menyebabkan kejang otot umum, termasuk trismus, yang menyebabkan

kesulitan saat intubasi dan ventilasi.

Infiltrasi dari otot pada lapangan operasi dengan anestesi lokal dapat

mengurangi kontraksi myotonic berulang. Di antara pasien dengan jenis myotonia

ini, tak ada satupun yang dilaporkan pada tes in vitro yang positif untuk

hipertermia malignansi. Otot yang dieksisi pada pasien ini, akan tetapi,

menunjukkan kontraksi myotonic berkepanjangan ketika terkena succinylcholine.

Kontraksi otot yang berlebihan selama anestesi, memperburuk myotonia namun

tidak menunjukkan hipertermia malignansi.

PARALISIS PERIODIK

Paralisis periodik adalah sekelompok gangguan yang ditandai dengan

episode spontan dari kelemahan atau kelumpuhan otot sementara. Gejala biasanya

dimulai pada masa kanak-kanak, dengan episode berlangsung beberapa jam dan

biasanya tidak banyak melibatkan otot pernafasan. Kelemahan biasanya

berlangsung kurang dari 1 jam tapi bisa berlangsung beberapa hari, dan serangan

yang sering dapat menyebabkan progresifitas, kelemahan jangka panjang pada

beberapa pasien. Hipotermia memperburuk frekuensi dan keparahan episode.

Kekuatan otot dan konsentrasi kalium serum biasanya normal diantara serangan.

Terdapat episode kelemahan karena hilangnya eksitabilitas serabut otot sekunder

Page 20: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

hingga depolarisasi parsial dari resting potential. Depolarisasi parsial ini

mencegah munculnya potensial aksi sehingga menyebabkan kelemahan.

Paralisis periodik diklasifikasikan menjadi kelainan channel genetik

primer dan kelainan yang didapat. Tipe genetik terjadi karena adanya mutasi yang

diturunkan secara dominan dalam chanel ion voltage-gated sodium, kalsium, atau

ion kalium. Klasifikasi didasarkan pada perbedaan-perbedaan klinis, tetapi ini

belum terbukti berhubungan dengan saluran ion yang spesifik. Defek yang

berbeda dalam chanel yang sama dapat menyebabkan gambar klinis yang berbeda,

sedangkan mutasi pada berbagai channel yang berbeda mungkin memiliki

gambaran klinis yang serupa. Namun, klasifikasi klinis tetap berguna sebagai

panduan untuk prognosis dan terapi.

Paralisis periodik hipokalemia biasanya terkait dengan kadar kalium yang

rendah, dan paralisis periodik hyperkalemic berkaitan dengan meningkatnya kadar

serum kalium, selama periode kelemahan. Dalam defek ini, membran otot tidak

eksitabel baik untuk stimulasi langsung dan tidak langsung karena terjadi baik

penurunan konduktansi kalium atau meningkatnya konduktansi natrium. Kedua

defek ini terkait dengan pergeseran cairan dan elektrolit.

Tyrotoksikosis terkait dengan bentuk sekunder dari paralisis periodik

hipokalemia. Tyrotoksikosis menyerupai bentuk utama tetapi jauh lebih umum

pada pria daripada wanita, terutama pada keturunan orang Asia dan pada dewasa

muda. Setelah kondisi tiroid diobati, episode biasanya berhenti. Gangguan dapat

berkembang pada 10-25% pada pria Asia yang mengalami hipertiroid. Sekuele

metabolisme dan pergeseran cairan dan elektrolit yang terlihat dalam bentuk

primer juga terlihat pada paralisis periodik hipokalemia sekunder. Pengobatan

melibatkan manajemen hipertiroidisme, menghindari karbohidrat tinggi dan

makanan rendah kalium, dan pemberian kalium chloride untuk serangan akut.

Paralisis hipokalemia sekunder dapat juga terjadi jika terdapat tanda

kehilangan kalium melalui ginjal atau saluran pencernaan. Kelemahan yang

terkait berupa tingkat episodik dan kalium jauh lebih rendah daripada di varian

lain dari paralisis periodik hipokalemia. Manajemen utama penyakit ini dengan

Page 21: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

penggantian kalium, dan pengobatan asidosis atau alkalosis, dan penting dalam

mencegah serangan.

Pasien yang mengkonsumsi sejumlah besar garam barium, selain memblok

saluran kalium, dapat juga menyebabkan terjadinya paralisis periodik

hipokalemia. Kondisi ini diterapi dengan menghentikan garam barium dan

memberikan kalium oral.

Kadar kalium yang melebihi 7 mEq / L diantara episode kelemahan

menunjukkan bentuk sekunder paralisis periodik hyperkalemic. Pengobatan

ditargetkan terhadap penyakit primer dan melibatkan pembatasan kalium.

Pertimbangan Anestesiologi

Pengelolaan pasien dengan pralisis periodik ditujukan untuk mencegah

serangan. Manajemen intraoperatif harus mencakup penentuan konsentrasi kalium

plasma dan pemantauan elektrokardiografi secara ketat untuk mendeteksi adanya

aritmia. Karena potensi glukosa yang mengandung solusi intravena menyebabkan

konsentrasi kalium plasma yang lebih rendah, oleh sebab itu tidak dapat

digunakan pada pasien dengan paralisis hypokalemic, namun mungkin bermanfaat

untuk pasien dengan paralisis hyperkalemic. Respon terhadap NMBS tidak dapat

diprediksi, dan fungsi neuromuskular harus dimonitor selama penggunaannya.

Peningkatan kepekaan terhadap nondepolarisasi NMBS cenderung ditemui pada

pasien dengan paralisis periodik hipokalemia. Suksinilkolin merupakan

kontraindikasi pada paralisis hyperkalemic dan mungkin berbagai varian lainnya

karena juga berisiko terjdi hiperkalemia. Maintenance intraoperatif dari suhu

tubuh penting karena kondisi tubuh yang menggigil dan hipotermia dapat memicu

atau memperburuk episode paralisis periodik.

DISKUSI KASUS

Anestesi untuk Biopsi Otot

Seorang anak 16 tahun dengan kelemahan otot proksimal yang progresif dimana

diduga mengalami miopati primer dan dijadwalkan untuk biopsi otot quadriceps.

Apa kelainan potensial lainnya yang sebaiknya menjadi perhatian ahli anestesi?

Page 22: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

Diagnosis miopati sulit untuk ditegakkan dan diagnosis banding dapat

meliputi salah satu dari beberapa penyakit keturunan, inflamasi, endokrin,

metabolik, atau toksin. Biopsi otot mungkin diperlukan untuk melengkapi

gambaran klinis, laboratorium, konduksi saraf, dan gambaran elektromiografi dan

membantu menegakkan diagnosis. Meskipun penyebab miopati dalam kasus ini

belum jelas, dokter harus selalu mempertimbangkan potensi masalah yang dapat

dikaitkan dengan miopati primer.

Keterlibatan otot pernapasan harus selalu dicurigai pada pasien dengan

kelemahan otot. Cadangan paru-paru dapat dinilai secara klinis dengan anamnesis

tentang dyspnea dan tingkat aktivitas. Tes fungsi paru diindikasikan jika terdapat

adanya dyspnea saat aktivitas. Peningkatan risiko aspirasi paru dapat dilihat dari

riwayat disfagia, regurgitasi, infeksi paru berulang, atau distensi abdomen.

Kelainan jantung dapat dimanifestasikan sebagai aritmia, prolaps katup mitral,

atau kardiomiopati. Elektrokardiogram 12-lead juga membantu dalam mendeteksi

kelainan konduksi. Rontgen thorax dapat mengevaluasi usaha inspirasi, parenkim

paru, dan ukuran jantung; distensi lambung sekunder akibat dari disfungsi otot

polos atau disfungsi otonom yang dapat menjadi jelas. Evaluasi laboratorium pra

operasi harus mampu mengeksklusi penyebab metabolik dengan pengukuran

konsentrasi serum natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat. Demikian

pula, gangguan tiroid, adrenal, dan hipofisis seharusnya dieksklusi. Pengukuran

CK plasma mungkin tidak membantu, tetapi pada kadar yang sangat tinggi (10

kali normal) umumnya menunjukkan distrofi otot atau polymyositis.

Apa teknik anestesi yang harus digunakan?

Pilihan anestesi harus didasarkan pada pasien dan persyaratan

pembedahan. Sebagian besar biopsi otot dapat dilakukan di bawah anestesi lokal

atau regional dengan tambahan sedasi intravena, menggunakan dosis kecil

midazolam. Anestesi spinal atau epidural dapat digunakan. Blok saraf femoralis

dapat memberikan anestesi yang sangat baik untuk biopsi otot quadriceps; injeksi

yang terpisah mungkin diperlukan untuk saraf kutan femoralis lateralis untuk

melakukan anestesi pada anterolateral yang paha. Anestesi umum harus

Page 23: Bab 35 Anestesi Pada Gangguan Neuromusculer

dipersiapkan untuk pasien yang tidak kooperatif atau pada saat anestesi lokal atau

regional tidak memadai. Oleh karena itu, ahli anestesi harus selalu siap dengan

rencana anestesi umum.

Agen apa yang dapat digunakan dengan aman untuk anestesi umum?

Tujuan utama adalah untuk mencegah aspirasi paru, menghindari

pernafasan berlebihan atau depresi sirkulasi, menghindari NMBS jika mungkin,

dan mungkin menghindari agen yang dikenal memicu hipertermia malignansi.

Sebuah respon normal terhadap anestesi umum sebelumnya pada pasien atau

keluarga anggota mungkin meyakinkan namun tidak menjamin respon yang sama

pada anestesi berikutnya. Anestesi umum dapat dilakukan dan diajaga dengan

kombinasi dari benzodiazepin, propofol, atau opioid dengan atau tanpa nitrous

oxide. Pada pasien dengan peningkatan risiko aspirasi harus diintubasi. Ketika

NMBS diperlukan, agen nondepolarisasi dengan masa kerja pendek harus

digunakan. Suksinilkolin umumnya harus dihindari karena risiko yang tidak

diketahui dari respon yang tidak biasa (kontraksi myotonic, durasi

berkepanjangan, atau blok fase II), merangsang hiperkalemia berat, atau memicu

hipertermia malignansi.