31
Pendahuluan Trauma adalah penyebab kematian utama di Amerika untuk usia 1 hingga 30 tahun. Sepertiga dari mereka yang masuk ke rumah sakit disebabkan oleh trauma. 50% menyebabkan kematian mendadak, dengan 30% kematian terjadi dalam golden hour disebabkan kebanyakan pasien trauma memerlukan pembedahan segera, anesthesiologist dapat membantu survival dari pasien ini. Penting bagi seorang anastesiologis untuk mencurigai pasien tersebut mungkin intoksikasi, drug abuser, carrier hepatitis dan HIV. Pasien trauma merupakan tantangan yang unik bagi tim kesehatan karena membutuhkan penanganan secara intensif, dikarenakan adanya cedera multipel pada sistem tubuh yang multipel, dan cedera mereka juga berada pada kondisi tubuh yang mungkin memiliki masalah kronis lainnya. Seorang anestesiolog dituntut untuk bisa menangani pasien trauma mulai dari masalah airway dan manajemen resusitasi hingga saat pasien masuk ke kamar operasi dan ICU. Initial Assesment Advanced trauma life support (ATLS) adalah merupakan program pelatihan yang paling populer dalam bidang penanganan trauma. Walaupun tidak sespesifik dalam beberapa bidang seperti manajemen jalur nafas dan radiografik namun ATLS memberikan tata cara yang tersusun teratur demi menangani pasien trauma. ATLS didasarkan pada primary survey yang termasuk pola diagnostik yang dilakukan bersamaan dengan aktivitas terapeutik demi mengidentifikasi dan mempertahankan keselamatan jiwa maupun organ tubuh pasien. Fokus dari masalah yang pertama adalah dengan meraih golden hour, dan menjadi hal yang paling penting dalam pelajaran ATLS. Initial assesment pada pasien trauma dapat dibagi menjadi primary, secondary, dan tertiary surveys. Primary survey harus dilakukan dalam waktu 2-5 menit dan terdiri dari ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disabiilty, Exposure). Jika salah satu fungsi dari ketiga hal pertama di atas maka dibutuhkan resusitasi secepatnya. Pada pasien dengan keadaan kritis, resusitasi dan penatalaksanaan dilaksanakan bersamaan oleh tim dari penanganan trauma. Pengawasan dasar termasuk electroencephalograph (EEG), noninvasive blood pressure, dan pulse oximetry dapat digunakan hingga saat terapi

Anestesi Trauma

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Anestesi Trauma

Pendahuluan

Trauma adalah penyebab kematian utama di Amerika untuk usia 1 hingga 30 tahun. Sepertiga dari mereka yang masuk ke rumah sakit disebabkan oleh trauma. 50% menyebabkan kematian mendadak, dengan 30% kematian terjadi dalam golden hour disebabkan kebanyakan pasien trauma memerlukan pembedahan segera, anesthesiologist dapat membantu survival dari pasien ini. Penting bagi seorang anastesiologis untuk mencurigai pasien tersebut mungkin intoksikasi, drug abuser, carrier hepatitis dan HIV.

Pasien trauma merupakan tantangan yang unik bagi tim kesehatan karena membutuhkan penanganan secara intensif, dikarenakan adanya cedera multipel pada sistem tubuh yang multipel, dan cedera mereka juga berada pada kondisi tubuh yang mungkin memiliki masalah kronis lainnya. Seorang anestesiolog dituntut untuk bisa menangani pasien trauma mulai dari masalah airway dan manajemen resusitasi hingga saat pasien masuk ke kamar operasi dan ICU.

Initial Assesment

Advanced trauma life support (ATLS) adalah merupakan program pelatihan yang paling populer dalam bidang penanganan trauma. Walaupun tidak sespesifik dalam beberapa bidang seperti manajemen jalur nafas dan radiografik namun ATLS memberikan tata cara yang tersusun teratur demi menangani pasien trauma. ATLS didasarkan pada primary survey yang termasuk pola diagnostik yang dilakukan bersamaan dengan aktivitas terapeutik demi mengidentifikasi dan mempertahankan keselamatan jiwa maupun organ tubuh pasien. Fokus dari masalah yang pertama adalah dengan meraih golden hour, dan menjadi hal yang paling penting dalam pelajaran ATLS. Initial assesment pada pasien trauma dapat dibagi menjadi primary, secondary, dan tertiary surveys. Primary survey harus dilakukan dalam waktu 2-5 menit dan terdiri dari ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disabiilty, Exposure). Jika salah satu fungsi dari ketiga hal pertama di atas maka dibutuhkan resusitasi secepatnya. Pada pasien dengan keadaan kritis, resusitasi dan penatalaksanaan dilaksanakan bersamaan oleh tim dari penanganan trauma. Pengawasan dasar termasuk electroencephalograph (EEG), noninvasive blood pressure, dan pulse oximetry dapat digunakan hingga saat terapi nantinya. Resusitasi trauma termasuk dalam dua fase tambahan: kontrol pendarahan dan perbaikan daerah cedera.

Page 2: Anestesi Trauma

Primary Survey

a. Airway

Memastikan dan mempertahankan airway adalah prioritas pertama dalam menanggulangi pasien trauma. Jika pasien bisa berbicara, itu menunjukkan jalan nafas clear tetapi jika pasien tidak sadarkan diri, pasien memerlukan bantuan untuk memastikan jalan nafasnya tidak terganggu. Tanda – tanda obstruksi adalah snoring, gurgling, stridor dan paradoxical chest movement. Keluarkan benda asing jika terdapat pada jalan nafas pasien dan harus dicurigai pada pasien yang tidak sadar. Tindakan lanjut untuk mempertahankan jalan nafas seperti endotracheal intubation, cricothyrotomy atau tracheostomy merupakan indikasi jika pasien apnea, persisten obstruction, cedera kepala beral, trauma maxillofacial, luka penetrasi leher dengan hematoma yang luas atau cedera dada major.

Cedera spinal cervical tidak dicurigai pada pasien tanpa nyeri leher atau kaku leher. Terdapat 5 kriteria yang dapat meningkatkan potensi isiko instabilitas cervical spine.

1) Nyeri leher 2) Severe distracting pain3) Tanda – tanda neurologis 4) Intoksikasi 5) Hilang kesadaran di tempat kejadian.

Jika terdapat satu atau beberapa tanda di atas, maka harus dicurigai fraktur cervical spine walaupun tidak terdapat cedera di daerah atas dari clavikula. Jika terdapat kriteria di atas, insidens trauma cervical adalah 2%. Cedera cervical spinalis meningkat 10% jika terdapat cedera kepala berat. Untuk mengurangi hiperekstensi, jaw thrust maneuver dilakukan untuk meluruskan jalan nafas. Pasien dengan penurunan kesadaran harus diwaspadai resiko aspirasi dan jalan nafas dipertahankan

Page 3: Anestesi Trauma

dengan endotracheal tube atau tracheostomy. Pada pasien ini, hiperekstensi leher dan excessice axial traction haruslah dihindari dan immobilisasi kepala dapat dibantu oleh asisten ketika laryngoscopy ( manual in line stabilization / MILS) untuk menghindari rotasi kepala yang tidak diinginkan. penelitian menunjukkan adanya pergerakan leher, terutama di C1 dan C2 ketika melakukan mask ventilation dan direct laryngoscopy dalam usaha menstabilisasikan pasien (contohnya MILS, axial traction, sandbags, forehead tape, soft collar, Philadelphia collar). Teknik yang paling efektif adalah MILS tetapi juga dapat menyulitkan tindakan direct laryngoscopy. Oleh sebab itu, klinisi lebih memilih intubasi nasal (blind fiberoptic) pada pasien dengan pernafasan spontan dan cedera cervical, walaupun cara ini bisa meningkatkan risiko aspirasi pulmonaris. Intubasi nasal dihindari pada pasien dengan midface atau basilar skull fractures.

Trauma pada laring dapat menyulitkan keadaan. Cedera terbuka bisa berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah di leher, obstruksi dari hematoma, atau edema, subcutaneous emphysema dan cedera cervical. Luka tertutup laring ditandai apabila ditemukan krepitasi, hematoma, dysphafia, hemoptysis atau phonasi suara yang buruk. Intubasi menggunakan tuba endotracheal yang kecil (6.0 in adults) dengan menggunakan laryngoscopy atau fiberoptic bronchoscopy dengan anastesi topical dapat dilakukan jika laring terlihat jelas. Jika terdapat cedera pada wajah atau leher akan dapat menyulitkan endotracheal intubation, tracheostomy menggunakan anastesi local dapat dilakukan. Jika terdapat obstruksi pada saluran nafas atas, tindakan cricothyrotomy, percutaneous atau surgical tracheostomy dapat dilakukan.

Page 4: Anestesi Trauma
Page 5: Anestesi Trauma

Intubasi endotrakeal biasanya dibutuhkan dan secara spesifik diindikasikan pada keadaan berikut:

Cardiac atau respiratory arrest Respiratory insufficiency Proteksi jalan nafas Kebutuhan akan sedasi dalam atau analgesia Transient hyperventilation pada pasien dengan space-occupying intracranial lesions dan

tanda-tanda dari peningkatan tekanan intrakranial Pemberian 100% FiO2 pada pasien keracunan CO Fasilitasi dari pemeriksaan diagnostik pada pasien yang intoksikasi atau tidak kooperatif

Pasien trauma biasanya sedang dalam keadaan perut yang penuh dan memiliki resiko aspirasi pada saat induksi anestesi. Alasan dari ini adalah konsumsi makanan atau minuman sebelum cedera, penelanan darah dari cedera oral atau nasal, terlambatnya pengosongan lambung dikarenakan stres dari trauma, dan pemberian kontras cair sebelum pemeriksaan CT abdomen. Jika keadaan pasien kooperatif dan memungkinkan maka dapat diberikan antasid sebelum induksi dan intubasi.

Penekanan cricoid (Sellick maneuver) harus diaplikasikan terus menerus selama manajemen jalur nafas darurat sejak pasien kehilangan refleks pernafasan sampai endotracheal tube terpasang dan inflasi cuff dilakukan. Peningkatan kebutuhan oksigen pada pasien trauma membuat pasien trauma membutuhkan preoksigenasi kapanpun dimungkinkan, dan karena preoksigenasi sulit dilakukan pada pasien dengan trauma fasial, penurunan usaha pernafasan atau agitasi maka desaturasi dapat terjadi dengan cepat. Ventilasi dengan tekanan positif selama seluruh fase dari induksi memberikan kemungkinan oksigen terbesar selama manajemen jalur nafas darurat dan akan membanu menghilangkan hipoksia yang dikarenakan usaha lama dalam pemasangan intubasi. Manuver Sellick terdiri dari pengangkatan dagu (tanpa perubahan posisi cervical spine) dan mendorong kartilago cricoid ke posterior mendekati esofagus. Teknik bimanual juga diterangkan oleh Crowley dan Giesecke dimana tangan kiri diletakan dibawah leher pasien untuk menstabilisasi. Cricoid distabilisasikan diantara jempol dan jari ketiga dimana jari index mendorong ke bawah.

Page 6: Anestesi Trauma

b. Breathing

Assesment ventilasi dapat dilakukan dengan look, listen dan feel. Look, lihat tanda – tanda cyanosis, pernafasan menggunakan otot tambahan, flail chest dan cedera penetrasi dada. Listen, dengar bunyi nafas pasien. Feel, palpasi adanya emphysema subcutan, tracheal shift dan patah tulang iga. Pasien dengan respiratory distress harus dicurigai pneumothorax dan hemathorax.

Pasien kritis memerlukan bantuan nafas. Alat bantu nafas bag-valve-devices (self inflating bag with norebreathing valve) biasanya memberikan ventilasi yang baik setelah intubasi dan sewaktu transportasi pasien. Oksigen 100% diberikan kepada pasien sampai arterial blood gas diperiksa.

c. Circulation

Sirkulasi yang adekuat dinilai berdasarkan pulse rate, pulse fullness, tekanan darah dan tanda – dan perfusi perifer.

Tanda – tanda sirkulasi tidak adekuat adalah :

1) Takikardia2) Lemah atau tidak teraba nadi perifer 3) Hipotensi4) Pucat5) Dingin6) Ekstremitas yang sianosis

Cara menanggulangi sirkulasi yang tidak adekuat adalah dengan menghentikan perdarahan, kemudian menggantikan cairan intravascular. Cardiac arrest sering terjadi pada pasien dengan trauma tumpul dada. Pasien ini, adalah indikasi untuk melakukan emergency room thoracotomy

Page 7: Anestesi Trauma

(ERT) atau resusitasi thoracotomy. Tindakan ini dapat mengontrol perdarahan yang jelas, membuka pericardium dan menjahit luka jantung, dan clamp pada aorta di atas diafragma.

d. Hemorrhage

Sumber perdarahan harus dicari dan dihentikan dengan memberikan tekanan pada luka tersebut. Perdarahan pada ekstremitas dapat dikontrol dengan balut tekan, torniquet dapat menyebabkan cedera reperfusi. Perdarahan yang diakibatkan trauma dada biasanya bersumber dari arteri intercostalis dan berhenti ketika paru mengembang melalui drainase dada.

Page 8: Anestesi Trauma

Perdarahan yang disebabkan cedera pada intrabdominal, bisa bertamponasi sendiri tergantung kepada derajat beratnya perdarahan tersebut, ini memberi waktu untuk melakukan evaluasi surgical. Pneumatic antishock garments dapat mengurangi pendarahan di abdomen dan ekstremitas bawah, meningkatkan resistant pembuluh darah perifer meningkatkan perfusi darah ke jantung dan otak. Luka yang berdarah di atas dari garments itu (thorax, atau dada) merupakan kontraindikasi dari penggunaan pakaian ini karena ia meningkatkan perdarahan.

Shock merupakan kegagalan sirkulasi darah yang adekuat untuk perfusi organ vital dan memberikan oksigen. Ada banyak penyebab shock

Table 41–1. Classification of Shock by Mechanism and Common Causes.1

Hypovolemic shock

Loss of blood (hemorrhagic shock)

External hemorrhage

Trauma

Gastrointestinal tract bleeding

Internal hemorrhage

Hematoma

Hemothorax or hemoperitoneum

Loss of plasma

Burns

Exfoliative dermatitis

Loss of fluid and electrolytes

External

Vomiting

Diarrhea

Excessive sweating

Hyperosmolar states (diabetic ketoacidosis, hyperosmolar nonketotic coma)

Internal ("third-spacing")

Page 9: Anestesi Trauma

Pancreatitis

Ascites

Bowel obstruction

Cardiogenic shock

Dysrhythmia

Tachyarrhythmia

Bradyarrhythmia

Pump failure (secondary to myocardial infarction or other cardiomyopathy)

Acute valvular dysfunction (especially regurgitant lesions)

Rupture of ventricular septum or free ventricular wall

Obstructive shock

Tension pneumothorax

Pericardial disease (tamponade, constriction)

Disease of pulmonary vasculature (massive pulmonary emboli, pulmonary hypertension)

Cardiac tumor (atrial myxoma)

Left atrial mural thrombus

Obstructive valvular disease (aortic or mitral stenosis)

Distributive shock

Septic shock

Anaphylactic shock

Neurogenic shock

Vasodilator drugs

Acute adrenal insufficiency

Pada pasien dengan trauma, shock yang paling sering adalah shock hipovolemi. Respon fisiologis mulai dari takikardi, perfusi kapiler yang buruk, penurunan tekanan darah, takipnea, dan delirium.

Table 41–2. Clinical Classification of Shock.1,2

Pathophysiology Clinical Manifestations

Mild (< 20% of blood volume lost)

Decreased peripheral perfusion only of organs able to withstand prolonged ischemia (skin, fat, muscle, and bone). Arterial pH normal.

Patient complains of feeling cold. Postural hypotension and tachycardia. Cool pale moist skin; collapsed neck veins; concentrated urine.

Moderate (20–40% of blood volume lost)

Decreased central perfusion of organs able to tolerate only brief ischemia (liver, gut, kidneys). Metabolic acidosis present.

Thirst. Supine hypotension and tachycar-dia (variable). Oliguria and anuria.

Severe (> 40% of blood volume lost)

Decreased perfusion of heart and brain. Severe metabolic acidosis. Respiratory acidosis possibly present.

Agitation, confusion, or obtundation. Supine hypotension and tachycardia invariably present. Rapid, deep respiration.

Pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin sering tidak akurat pada kehilangan darah aku. Stimulasi saraf somatic dan cedera jaringan yang berat memperburuk penurunan cardiac output dan stroke volume pada pasien shock hypovolemic. Ini memberi indikasi untuk pengukuran tekanan darah secara invasive. Pada hypovolemia berat, denyut nadi hampir hilang pada ventilasi mekanikal.

Page 10: Anestesi Trauma

Terapi utama syok hemoragik adalah resusitasi cairan intravena dan transfusi.Multiple short (1,5-2 in), large-bore (14-16 gauge atau 7-8.5F) kateter ditempatkan di mana pembuluh darah mudah diakses. Pasien dengan kemungkinan cedera pada vena cava dan hati harus diakses secara intravena yang di lakukan pada dua system caval untuk vascular repair dimana kemungkinan dilakukan cross-clamping. Walaupun central line dapat memberi informasi yang berguna tentang status volumenya, tindakan ini memakan waktu yang lama dan mempunyai komplikasi yang life-threatening (eg pneumothorax). Resusitasi inisiasi biasanya dicukupi dengan peripheral line.

Perdarahan massive menurunkan cairan intravascular. Cairan keluar dari cairan interstisial untuk mempertahankan integritas cardiovascular, cairan interstitial juga masuk ke dalam cell. Proses metabolism anaerob menurunkan kadar ATP dan disfungsi daripada ATP-dependent Na+–K+ pump, dan edema selular yang progressive.

Ginjal dan kelenjar adrenal adalah responder primer dari perubahan neuroendokrin yang berhubungan dengan shock, organ ini memproduksi renin, angiotensin, aldosteron, kortisol, eritropoietin dan katekolamin. Ginjal sendiri mempertahankan filtrasi glomerular saat menghadapi hipotensi dengan vasokonstriksi selektif dan mengkonsentrasikan aliran darah di medula dan korteks dalam. Hipotensi berkepanjangan menghasilkan penurunan energi seluler dan ketidakmampuan mengkonsentrasikan urin, diikuti dengan kematian sel, nekrosis tubuler epitelial, dan kegagalan ginjal.

Jantung secara umum dapat bertahan dari iskemia pada shock dikarenakan pertahanan atau bahkan peningkatan aliran darah, dan fungsi jantung dapat bertahan hingga fase akhir. Laktat, radikal bebas dan faktor humoral lainnya dikeluarkan dari sel iskemik sebagai inotropin negatif dan pada pasien dengan decompensation akan terjadi disfungsi jantung sebagai fase akhir dari shock. Pasien dengan

Page 11: Anestesi Trauma

penyakit jantung atau trauma langsung ke jantung dalam resiko besar menjadi decompensated karena stroke volume menginhibisi kemampuan tubuh meningkatkan aliran darah dalam merespon hipovolemia dan anemia. Takikardi adalah satu-satunya pilihan pasien walaupun memiliki konsekuensi buruk pada keseimbangan supply-demand oksigen dari jantung itu sendiri. Syok pada orang tua dapat menjadi progresif dan mungkin tidak berespon baik pada pemberian cairan.

Paru adalah sasaran dari produk inflamasi dari tubuh yang iskemik. Akumulasi dari kompleks imun dan fakor seluler pada kapiler paru berakibat agregasi dari platelet dan neutrofil, peningkatan permeabilitas kapiler, penghancuran struktur paru, dan ARDS. Paru sendiri merupakan organ yang berpengaruh pada multiple organ system failure (MOSF) pada pasien dengan syok traumatik.

Usus adalah salah satu organ yang terpengaruhi saat awal terjadi hipoperfusi dan menjadi pemicu dari MOSF. Vasokonstriksi terjadi di awal dan menjurus ke fenomena ‘no-reflow’ bahkan saat makrosirkulasi diperbaiki. Sel intestinal akan mati menyebabkan kerusakan fungsi dari pertahanan usus yang menghasilkan peningkatan translokasi bakteri ke liver dan paru.

Liver memiliki mikrosirkulasi kompleks dan telah didemonstrasikan pada cedera reperfusi saat kembali dari syok. Sel hepar juga secara metabolis aktif dan berkontribusi pada respon inflamasi iskemik dan ketidakteraturan glukosa darah. Kegagalan dari fungsi sintetis liver setelah syok umumnya lethal.

Otot skeletal tidak secara aktif bermetabolis pada keadaan syok dan dapat bertoleransi dengan iskemia lebih baik dari organ tubuh. Massa yang besar dari otot skeletal berpengaruh pada produksi laktat dan radikal bebas dari sel iskemik. Iskemia terus menerus dari otot skeletal berpengaruh pada peningkatan intraseluler natrium dan air dengan deplesi carita di vaskuler.

d. Terapi cairan

Pilihan untuk terapi cairan ditentukan dengan ketersediaan cairan tersebut. Walaupun whole blood adalah terapi yang ideal tetapi cross-matching whole blood memakan waktu antara 45-60 menit. Darah O negative harus disimpan untuk kasus kehilangan darah yang mengancam nyawa dan tidak bisa dengan terapi cairan yang lain.

Cairan kristaloid merupakan cairan yang mudah ditemui dan tidak mahal. Resusitasi memerlukan kuantitas yang besar disebabkan kebanyakan cairan kristaloid tidak berada terus di dalam intravascular. Ringer laktat injeksi kurang menyebabkan hyperchloremic asidosis dibandingkan salin biasa walaupun calciumin kurang compatible dengan transfuse darah. Cairan dextrose bisa mengeksaserbasi kerusakan otak iskemik dan harus dihindari jika tidak terdapat hasil laboratorium hipoglikemia. Cairan ringer lactate merupakan cairan hypotonic dan cenderung menyebabkan cerebral edema. Hypertonic solution 3% dan 7.5% saline efektif untuk resusitasi volume dan mengurangi resiko edema otak berbanding Ringer lactate dan saline pada cedera kepala.

Cairan koloid lebih mahal dari cairan crystalloids tetapi lebih efektif dalam memperbaiki volume intravascular. Penurunan cairan interstitial sering disebabkan oleh shock hypovolemic dan lebih baik diterapi dengan cairan kristaloid atau combinasi antara keduanya. Albumin lebih dipilih dibanding dextran dan hetastarch karena keduanya bisa menyebabkan coagulopathy.

Page 12: Anestesi Trauma

Cairan apapun yang dipilih harus dipanaskan sebelum diberikan kepada pasien. Hypothermia memperburuk kelainan asam basa, coagulopathy dan disfungsi myocardial. juga dapat menggeser kurva –oxygen haemoglobin ke kiri yang menurunkan metabolism laktat, citrate dan beberapa obat anastesi. Jumlah pemberian cairan berdasarkan gejala klinis, yaitu tekanan darah, tekanan nadi, dan heart rate.

Tekanan vena central dan urinary output memberi gambaran indikasi restorasi perfusi organ vital. Perfusi organ yang tidak adekuat berkaitan dengan metabolism aerobic yang menghasilkan asam laktat dan asidosis metabolic. Natrium bikarbonat, yang berubah menjadi ion bicarbonate dan CO2 dapat memperburuk intracellular asidosis disebabkan bicarbonate kurang soluble berbanding CO2. Asam basa imbalance akan berkurang dengan adanya hidrasi dan perbaikan perfusi organ. Laktat and dimetabolisme dalam hati menjadi bicarbonate dan H+ akan diekskresi oleh ginjal.

Hipotensi pada pasien dengan syok hipovolemik harus diterapi agresif dengan cairan IV dan produk darah tidak dengan vasopressor, kecuali ditemukan hipotensi mendalam yang tidak responsif terhadap terapi cairan, ditemukannya syok kardiogenik, atau serangan jantung.

Late rescuscitation dilakukan saat pendarahan sudah terkontrol baik dengan pembedahan, angiografi, maupun waktu. Tujuan utama adalah mengembalikan segera perfusi normal ke seluruh sistem organ sekaligus mempertahankan fungsi vital.

Syok yang refrakter terhadap terapi cairan agresif mungkin disebabkan karena adanya pendarahan yang tidak terkendali yang melebihi tingkat transfusi atau syok kardiogenik (misal, tamponade perikardial, memar miokard, infark miokard) syok neurogenik (misal disfungsi batang otak, transeksi saraf tulang belakang), syok septik (komplikasi terlambat), kegagalan paru (misal pneumothoraks, hemothoraks) atau asidosis berat lainnya.

Page 13: Anestesi Trauma

f. Disability

evakuasi disabilitas terdiri dari pemeriksaan neurologi yang cepat karena biasanya tidak ada waktu untuk mengevaluasi glasgow coma scale, sistem yang biasa digunakan adalah AVPU (awake, verbal response, painful response, unresponsive)

g. Exposure

pasien harus ditanggalkan pakaiannya untuk pemeriksaan dan mencari cedera lain. Immobilisasi in-line harus digunakan jika cedera leher dan cedera spinal cord dicurigai.

Page 14: Anestesi Trauma
Page 15: Anestesi Trauma

Secondary Survey

Secondary survey dilakukan apabila ABC sudah stabil. Pada secondary survey, pasien dievaluasi dari ujung kepala ke kaki dan pemeriksaan penunjang dilakukan pada saat ini ( contohnya radiologi, pemeriksaan laboratorium, dan tindakan diagnostic yang invasive). Pemeriksaan kepala termasuk mencari cedera pada kepala, mata dan telinga. Pemeriksaan neurology termasuk pemeriksaan Glasgow Coma Scale, dan evaluasi fungsi motor, sensoris dan reflex. Dilatasi pupil tidak semestinya memberi gambaran kerusakan otak yang ireversibel. Dada diauskultasi dan di inspeksi lagi untuk mencari fraktur dan flail chest. Penurunan suara nafas, terlambat atau pembesaran pneumothorax yang memerlukan chest tube placement. Begitu juga dengan bunyi jantung yang jauh, tekanan nadi yang dangkal dan distensi dari vena di leher adalah merupakan tanda – tanda tamponade pericardial dimana akan dilakukan percardiocentesis. Pemeriksaan pada waktu ini tidak terlalu definitive untuk mengeliminasi posibilitas kepada masalah ini. Ekstremitas diperiksa untuk fraktur, dislokasi dan denyut nadi perifer. Cateter dan nasogastric catheter sering dipasang pada kasus ini.

Page 16: Anestesi Trauma

Laboratorium yang sering diperiksa adalah hematokrit dan hemoglobin, elektrolit, glucose, blood urea nitrogen, dan creatinin. Pemeriksaan analisa gas darah bsa membantu. Rontgen dada harus dilakukan pada semua pasien dengan trauma major. Cedera cervical selalu diperiksa dengan memeriksa ketujuh vertebra pada cross-table lateral radiograph dan swimmer’s view. Walaupun pemeriksaan ini mendeteksi 80-90% fraktur, hanya CT scan yang bisa menentukan trauma cervical. Pemeriksaan rontgen yang lain seperti skull, pelvic dan tulang dapat mencari kelainan atau fraktur pada bagian tulang tersebut. Focused Assessment with sonography for trauma (FAST) adalah pemeriksaan yang cepat, bedside, menggunakan USG untuk mendeteksi perdarahan intraperitoneal atau pericardial tamponade. FAST mengevaluasi cairan bebas/free fluid di daerah prehepatic space, perisplenic space, pelvis dan pericardium.

Tertiary Survey

Sebanyak 2-50% cedera trauma sering tidak dideteksi pada primary dan secondary survey, diikuti dengan trauma tumpul multiple (kecelakaan lalu lintas). Pemeriksaan tertiary adalah mengidentifikasi dan mendata semua cedera setelah resusitasi dan intervensi bedah. Dilakukan 24 jam setelah cededra. Pemeriksaan yang ditunda ini biasanya dapat dilakukan dengan baik karena pasien sudah sadar, bisa berkomunikasi dan mengeluh, informasi yang lebih jelas tentang mekanisme terjadinya cedera dan pemeriksaan yang lebih mendetail pada rekam medis sebelumnya bisa mendeteksi kelainan sebelum kejadian.

Tertiary survey biasanya dilakukan sebelum pasien dibolehkan pulang dan pemeriksaan ulang untuk memastikan luka yang sudah dirawat dan luka baru. termasuk pemeriksaan dari ujung kepala ke ujung kaki serta pemeriksaan penunjang yang lain.

Page 17: Anestesi Trauma

Anestesi pada Pasien Trauma

Jika pasien datang ke kamar operasi dalam keadaan sudah diintubasi, posisi endotracheal tube (ETT) harus dipastikan terfiksasi. Pasien dengan trauma kepala dihyperventilasi untuk mengurangi tekanan intracranial. Ventilasi bisa diperburuk dengan pneumothorax, flail chest, obstruksi ETT atau cedera langsung paru.

Jika pasien datang tetapi tidak terintubasi, pasien dilakukan seperti di atas. Jika waktu mengijinkan koreksi cairan seharusnya cairan dikoreksi sebelum diinduksi dengan anestesi umum. Resusitasi cairan dan transfuse harus diteruskan pada waktu induksi dan pada waktu maintenance. Induksi yang sering digunakan pada pasien trauma termasuk ketamin dan etomidate. Studi menunjukkan walaupun sudah diresusitasi cairan, dosis induksi propofol 80-90% kurang pada pasien dengan trauma major. Obat seperti ketamin dan nitrous oxide secara tidak langsung menstimulasi fungsi cardiac dapat menunjukkan tanda cardiodepressant pada pasien dengan syok dan pasien sudah ada stimulasi maksimal saraf simpatik. Hypotension bisa ditemukan pada induksi etomidate.

Ketamin terus digunakan dan menjadi populer dalam anestesi pada pasien trauma dikarenakan pengeluaran katekolamin, terutama aksi dasarnya pada CNS, bagaimanapun juga ketamin mendepresi otot jantung secara langsung. Pada pasien normal efek katekolamin dapat menutupi depresi jantung dengan menghasilkan hipertensi dan takikardia yang secara hemodinamis membebani pasien.

Anestesi maintenance pada pasien yang tidak stabil biasanya terdiri daripada penggunaan muscle relaxant, dengan general anestesi agent dititrasi untuk mengurangi amnesia. Dosis kecil intermittent ketamine sering ditolerasi dan bisa bantu mengurangkan insidens recall, terutama bila digunakan dengan konsentrasi agent volatile yang rendah. Obat yang sering diberikan salah untuk menghindari recall termasuk midazolam atau scopolamine. Banyak klinisi menghindari menggunakan nitrous oxide secara keseluruhan karena kemungkinan pneumothoraks dan membatasi konsentrasi oksigen pada inspirasi. Obat yang jelas bisa menurunkan tekanan darah adalah atracurium dan mivacurium. Obat ini harus dihindari pada pasien dengan syok hypovolemic. Peningkatan konsentrasi alveolar pada anestesi inhalasi lebih besar pada pasien dengan syok karena rendahnya cardiac output dan peningkatan ventilasi. Tekanan anastesi parsial cenderung meningkatkan tekanan parsial arteri dan myocardial depression. Serupa, efek anastesi intravena lebih tinggi jika ia diinjeksi pada vena dengan volume intravascular yang kecil. Jadi cara yang aman dalam menganastesi pasien shock adalah menaikkan perlahan – lahan dosis obat anastesi yang dipilih.

Pasien hipovolemik dapat menjadi hipotensi dengan pemberian induksi anestesi dikarenakan interupsi dari kompensasi simpatis. Seseorang yang masih muda dan sehat dapat kehilangan 40% darah sebelum mengalami penurunan tekanan darah yang akan berpotensial merusak sirkulasi bila diberikan induksi anestesi. Dosis anestesi harus diturunkan pada pasien dengan pendarahan, diturunkan hingga 0 pada pasien dengan hipovolemia yang mengancam nyawa. Intubasi cepat dapat dilakukan dengan hanya menggunakan muscle relaxant walaupun onset dapat menjadi lebih lama karena kerusakan sirkulasi. Pemberian 0.2 mg skopolamin dapat menginhibisi formasi memori dari absennya obat anestesi pada keadaan ini, tetapi dapat mengganggu pemeriksaan neurologis dikarenakan half life yang lama. Dosis kecil midazolam dapat menurunkan insidensi kesadaran pasien tetapi juga menyebabkan hipotensi.

Penggunaan suksinil kolin sebagai neuromuscular blocker dengan onset tercepat (kurang dari 1 menit) dan duration of action tersingkat (5-10 menit). Dalam hal ini dapat digunakan untuk intubasi

Page 18: Anestesi Trauma

segera. Namun penggunaan suksinil kolin dapat memberikan keadaan bernafas spontan dimana pasien berada dalam keadaan ‘can’t intubate can’t ventilate’. Dalam hal ini usaha lain seperti cricothyroidectomy harus dilakukan demi meraih jalur nafas. Keadaan hiperkalemia biasanya terjadi pada pasien dengan luka bakar atau pasien dengan kelainan muskuler akibat trauma langsung, denervasi atau imobilisasi. Hiperkalemia biasanya tidak terjadi dalam 24 jam pertama pasca cedera ini dan suksinilkolin masih aman digunakan untuk manajemen pernafasan akut.

Obat lain yang dapat digunakan selain suksinil kolin adalah rocuronium (1mg/kg ) dan vecuronium (0.1-0.2mg/kg). Obat ini tidak memiliki efek toksis pada jantung dan dapat diberikan dalam dosis besar namun pada keadaan pasien maka duration of action dapat menjadi 1 hingga 2 jam, yang mana berefek signifikan terhadap sedasi inadekuat yang dapat menyebabkan pasien sadar dari paralisis.

Ada keadaan khusus dimana pernafasan spontan dipertahankan selama intubasi dan dipilih karena merupakan cara yang paling aman untuk dilakukan. Jika pasien mampu mempertahankan jalur nafas tetapi memiliki indikasi yang jelas dari jalur nafas artifisial (trauma tembus trakea) maka induksi lambat dari ketamin atau inhalasi sevoflurane dengan penekanan cricoid dapat menggantikan endotracheal tube tanpa harus takut dengan keselamatan pasien. Intubasi dengan fiberoptik juga dapat digunakan pada keadaan ini.

Monitoring yang invasive seperti direct arterial, central venous, dan pulmonary artery pressure) Dapat membantu dalam resusitasi cairan dan tidak menganggu resusitasi itu sendiri. Pemeriksaan hematokrit atau hemoglobin, pengukuran arterial blood gas, serum electrolyte tidak bermakna dalam menilai hasil resusitasi cairan.

Page 19: Anestesi Trauma

a. Trauma Kepala dan Spinal Cord

Setiap korban trauma dengan kesadaran berubah harus dianggap memiliki cedera otak . Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Score serial. Traumatic brain injury (TBI) ringan (GCS 13-15) adalah yang paling umum dan hanya membutuhkan CT cranial untuk memeriksa cedera anatomis dan menentukan operasi, diikuti observasi singkat. Deteriorasi dari pasien muda dengan mild TBI jarang terjadi dan biasanya dikarenakan compliance intrakranial yang terbatas dan menyebabkan depresi status mental. TBI sedang (GCS 9-12) akan bermanifestasi sebagai lesi intrakranial dan membutuhkan evakuasi secara bedah, dan CT kranial segera sangat dibutuhkan. Intubasi yang segera, ventilasi mekanis dan observasi tertutup mungkin membutuhkan manajemen dari pasien dengan TBI sedang dikarenakan agitasi yang berpotensial ke depresi pernafasan atau aspirasi pulmoner selama evaluasi diagnostik. Ekstubasi dapat dilakukan saat pasien benar-benar stabil secara hemodinamis dan responsif setelah pemeriksaan diagnostik. Terapi dari cedera kepala sekunder dilakukan dengan koreksi awal dan penghindaran hipoksia, resusitasi cairan, dan manajemen cedera. TBI berat (GCS 8 atau kurang) memiliki resiko tinggi kematian. Episode hipoksemia (paO2 <60mmHg) meningkatkan dua kali lipat resiko kematian. Intubasi segera harus dilakukan.

Luka yang sering membutuhkan intervensi bedah segera termasuk hematoma epidural, hematoma subdural akut, dan beberapa cedera otak tajam dan patah tulang tengkorak depresi. Luka lain yang dapat ditangani secara konservatif termasuk patah tulang tengkorak basilar dan hematoma intraserebral. Fraktur tengkorak basilar sering dikaitkan dengan memar pada kelopak mata ("mata rakun"), atau proses mastoid (Battle's sign), dan cairan cerebrospinal (CSF) kebocoran dari telinga atau hidung (CSF Rhinorrhea). Tanda-tanda lain dari kerusakan otak termasuk kegelisahan, kejang, dan disfungsi saraf kranial (misalnya, nonreactive pupil). Trias Cushing klasik (hipertensi, bradikardia, dan gangguan pernafasan) adalah tanda - tanda yang biasanya mendahului herniasi otak. Hipotensi jarang terjadi disebabkan cedera kepala sendiri. Pasien yang dicurigai trauma kepala seharusnya tidak menerima premedikasi apapun yang dapat mengubah status mental (misalnya, obat penenang, analgesik) atau pemeriksaan neurologis (misalnya, antikolinergik-induced dilatasi pupil).

Cedera otak sering disertai dengan tekanan intrakranial meningkat disebabkan oleh pendarahan otak atau edema. Hipertensi intrakranial dapat dikendalikan oleh kombinasi restriksi cairan (kecuali bila syok hipovolemik), diuretik (misalnya, manitol, 0,5 g / kg), barbiturat, dan hipokapnia (PaCO2 dari 28-32 mm Hg). Kenaikan tekanan intracranial membutuhkan intubasi endotrakeal, yang juga melindungi terhadap aspirasi yang disebabkan oleh refleks saluran napas. Hipertensi atau tachycardia selama intubasi bisa diatasi dengan lidokain intravena atau fentanyl. Awake intubation menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Bagian hidung suatu tabung endotrakeal atau pipa nasogastrik meningkatkan risiko perforasi plat cribiformis dan infeksi CSF. Elevasi sedikit kepala akan meningkatkan drainase vena dan menurunkan tekanan intrakranial. Peran kortikosteroid pada cedera kepala adalah kontroversial, kebanyakan studi menunjukkan kesan tidak bermanfaat. Agen anestesi yang meningkatkan tekanan intrakranial harus dihindari (misalnya, ketamin). Hiperglikemia juga harus dihindari dan diobati dengan insulin jika ada. hipotermia ringan mungkin terbukti bermanfaat pada pasien dengan cedera kepala karena nilai terbukti dalam mencegah iskemia-luka yang disebabkan.

Karena autoregulasi aliran darah serebral biasanya melibatkan gangguan di bidang cedera otak, hipertensi dari arteri dapat memperburuk edema serebral dan meningkatkan tekanan intrakranial. Selain itu, episode hipotensi arteri akan menyebabkan iskemia otak regional. Secara umum, tekanan perfusi serebral (perbedaan antara tekanan arteri rata-rata di tingkat otak dan yang

Page 20: Anestesi Trauma

lebih besar dari tekanan vena sentral atau tekanan intrakranial), harus dipertahankan diatas 60 mm Hg.

Pasien dengan cedera kepala berat lebih rentan terhadap hipoksemia arteri dari shunting paru dan ventilasi / perfusi mismatching. Perubahan ini mungkin disebabkan aspirasi, atelektasis, atau efek syaraf langsung pada pembuluh darah paru.Hipertensi intrakranial dapat menyebabkan edema paru karena peningkatan arus keluar simpatik.

Tingkat kekacauan fisiologis berikut cedera tulang belakang adalah sebanding dengan tingkat lesi. Perhatian harus diambil untuk mencegah cedera lebih lanjut selama transportasi dan intubasi. Lesi tulang belakang leher mungkin melibatkan saraf frenikus (C3-C5) dan menyebabkan apnea. Hilangnya fungsi interkosta dan kemampuan untuk batuk. Cedera dada tinggi akan menghilangkan persarafan simpatik dari jantung (T1-T4), yang menyebabkan bradikardi. Suatu kondisi yang ditandai dengan hilangnya nada simpatik di pembuluh kapasitan dan kontralateral bawah tingkat lesi, menyebabkan hipotensi, bradikardia, areflexia, dan atoni gastrointestinal. Bahkan, distensi vena pada kaki adalah tanda cedera tulang belakang. Hipotensi pada pasien ini membutuhkan terapi cairan agresif disebabkan oleh kemungkinan edema paru setelah fase akut .Succinylcholine dilaporkan aman selama 48 jam pertama setelah cedera, tetapi dikaitkan dengan hiperkalemia mengancam hidup setelahnya. Jangka pendek dosis tinggi kortikosteroid terapi dengan methylprednisolone (30 mg / kg diikuti dengan 5,4 mg / kg / jam selama 23 jam) meningkatkan hasil neurologis pasien dengan trauma sumsum tulang belakang. Otonom hyperreflexia dikaitkan dengan lesi di atas T5 tetapi bukan merupakan suatu masalah pada manajemen akut.

Page 21: Anestesi Trauma

b. Trauma Dada

Trauma dada yang berat dapat mengganggu fungsi jantung atau paru-paru, dan dapat menyebabkan syok kardiogenik atau hipoksia. Pneumotoraks sederhana adalah akumulasi udara antara pleura parietal dan visceral. Jaring paru ipsilateral yang kolaps pada ventilasi / perfusi kelainan dan hipoksia.Dinding dada diatasnya hyperresonant pada perkusi, suara nafas mengalami penurunan atau tidak ada, dan foto dada menunjukkan kolaps paru. Nitrous oksida akan memperluas pneumotoraks dan merupakan kontraindikasi pada pasien ini. Perawatan termasuk menempatkan chest tube di ruang intercostal keempat atau kelima, anterior garis midaxillary. Udara yang keluar dari chest tube tersebut menunjukkan kemungkinan terjadinya cedera pada bronkus majorTension pneumothorax adalah masuknya udara ke dalam rongga pleura melalui katup satu arah di dinding paru-paru atau dada. Dalam kedua kasus, udara dipaksa masuk ke dada dengan inspirasi tapi tidak bisa dikeluarkan pada saat ekspirasi. Akibatnya, paru-paru ipsilateral benar-kolaps dan mediastinum dan trakea yang bergeser ke sisi kontralateral. Pneumotoraks sederhana mungkin berkembang menjadi pneumotoraks tension ketika ventilasi tekanan positif diadakan. Tanda-tanda klinis termasuk adanya suara nafas ipsilateral dan hyperresonance pada perkusi, pergeseran trakea kontralateral, dan distensi vena di leher. Penyisipan dari ukuran 14-over kateter-jarum-(3-6 cm) ke dalam ruang interkostal kedua di linea akan mengkonversi tension pneumothorax ke open pneumotoraks . Pengobatan definitif termasuk penempatan chest tube seperti dijelaskan di atas.

Patah tulang rusuk dapat membahayakan integritas fungsional thorax, yang dapat menunjukkan tanda flail chest. Hipoksia sering memburuk pasien dengan kontusio paru atau hemothorax. Kontusio paru mengakibatkan kegagalan pernafasan dan memburuk dari waktu ke waktu. Hemothorax dibedakan dari pneumotoraks oleh perkusi tumpul pada pekak paru. Hemomediastinum, seperti hemothorax, juga dapat mengakibatkan syok hemoragik. Hemoptysis Massive mungkin memerlukan isolasi paru-paru terpengaruh dengan tabung

Page 22: Anestesi Trauma

double-lumen (DLT) untuk mencegah darah dari memasuki paru-paru sehat. Penggunaan tabung endotrakeal single-lumen dengan pemblokir bronkial mungkin lebih aman bila laringoskopi sulit atau adanya penyulit DLT tersebut. Cedera bronkial besar juga memerlukan pemisahan paru-paru dan ventilasi dari sisi terpengaruh saja . High frekuensi jet ventilator bergantian dapat digunakan untuk ventilasi pada tekanan udara rendah dan membantu meminimalisir kebocoran udara bronkial ketika kebocoran bronkial bilateral atau bila pemisahan paru-paru tidak mungkin. Kebocoran udara dari saluran pernapasan trauma dapat menyebabkan vena pulmonary embolism. Sumber kebocoran harus cepat diidentifikasi dan dikendalikan. Sebagian besar dapat ruptur bronkial bila 2,5 cm dari carina tersebut.

Tamponade jantung adalah cedera dada yang mengancam jiwa yang harus dideteksi dini. Ketika FAST scan atau echocardiography samping tempat tidur tidak tersedia, kehadiran triad Beck (hipotensi, leher distensi vena, dan teredam nada jantung), pulsus paradoxus (penurunan> 10 mm Hg dalam tekanan darah selama inspirasi spontan) akan membantu membuat diagnosis. Pericardiocentesis dapat membantu secara sementara. Hal ini dilakukan dengan mengarahkan 16-gauge di kateter-jarum-(setidaknya 15 cm panjang) dari junction xiphochondral menuju ujung skapula kiri pada sudut 45 °, di bawah bimbingan ekokardiografi transthoracic atau elektrokardiogram. perubahan elektrokardiografi selama pericardiocentesis menunjukkan overadvancement dari jarum ke miokardium. Pengobatan definitif dari tamponade perikardial membutuhkan torakotomi. Manajemen anestesi pasien ini harus memaksimalkan inotropism chronotropism, jantung, dan preload . Untuk alasan ini, ketamin adalah agen induksi yang disukai. cedera Menembus ke jantung atau pembuluh darah besar membutuhkan eksplorasi segera tanpa penundaan. manipulasi jantung berulang sering menyebabkan episode intermittent dari bradycardia dan hipotensi mendalam.

Memar miokard biasanya didiagnosis oleh perubahan elektrokardiografi bersamaan dengan iskemia (ST-segment elevasi), peningkatan enzim jantung (creatine kinase MB atau troponin level), atau ekokardiogram abnormal. Kelainan gerak Wall dapat diamati dengan echocardiography transthoracic. Pasien berisiko tinggi untuk disritmia, seperti blok jantung dan fibrilasi ventrikel. Pilihan operasi harus ditunda sampai semua tanda-tanda cedera jantung teratasi.

Luka trauma lain yang mungkin pada dada termasuk transeksi aorta atau diseksi aorta, avulsion dari arteri subklavia kiri, aorta atau gangguan katup mitral, herniasi diafragma traumatik, dan pecah kerongkongan. Transeksi aorta biasanya terjadi hanya pada distal arteri subklavia kiri menyusul pada cedera parah , ia digambarkan secara klasik sebagai mediastinum lebar pada radiografi dada dan mungkin terkait dengan patah dari tulang rusuk pertama.

Sindrom pernafasan distress akut (ARDS) biasanya merupakan komplikasi paru tertunda trauma yang memiliki banyak penyebab: sepsis, cedera dada langsung, aspirasi, cedera kepala, emboli lemak, transfusi masif, dan toksisitas oksigen. Jelas, pasien trauma sering beresiko untuk beberapa faktor ini. Bahkan dengan kemajuan teknologi, angka kematian ARDS mendekati 50%. Dalam beberapa kasus, ARDS dapat hadir di awal ruang operasi. Ventilator mekanik pada mesin anestesi sering tidak mampu mempertahankan aliran gas yang cukup pada pasien dengan poor lung compliance ; penggunaan ventilator unit perawatan intensif untuk mempertahankan aliran gas yang cukup pada tekanan udara tinggi mungkin diperlukan.

Page 23: Anestesi Trauma

c. Trauma Abdominal

Pasien dengan trauma harus dipertimbangkan untuk memiliki cedera perut sampai terbukti sebaliknya. Sampai dengan 20% dari pasien dengan cedera intraabdominal tidak memiliki rasa sakit atau tanda-tanda iritasi peritoneum (muscle guarding, tenderness perkusi, atau ileus) pada pemeriksaan pertama. Jumlah besar darah (hemoperitoneum akut) dapat ditemukan di perut (misalnya, hati atau limpa cedera) dengan tanda-tanda yang minimal. Trauma perut biasanya dibagi dalam penetrasi (misalnya, tembakan atau menusuk) dan nonpenetrating (misalnya, deselerasi, ruptur, atau cedera kompresi).

Cedera tembus perut biasanya jelas dengan tanda masuk pada perut atau dada bagian bawah. Organ yang paling sering terluka adalah hati. Pasien cenderung untuk jatuh ke dalam tiga subkelompok: (1) pulseless, (2) hemodinamik tidak stabil, dan (3) stabil. Pulseless dan hemodinamik pasien tidak stabil (orang-orang yang gagal untuk menjaga tekanan darah sistolik 80-90 mm Hg dengan 1-2 L resusitasi cairan harus segera dilakukan laparotomi. Mereka biasanya memiliki cedera organ utama pembuluh darah atau padat. Pasien Stabil dengan tanda-tanda klinis dari peritonitis atau pengeluaran isi juga harus menjalani laparotomi sesegera mungkin. Sebaliknya, pasien hemodinamik stabil dengan cedera penetrasi yang tidak memiliki peritonitis klinis memerlukan evaluasi dekat untuk menghindari laparotomi yang tidak perlu.

Tanda-tanda luka intraabdominal yang signifikan mungkin termasuk udara bebas di bawah diafragma pada rontgen dada, darah dari hematuria, tabung nasogastrik, dan darah dubur. Selanjutnya evaluasi hemodinamik pasien stabil dapat mencakup pemeriksaan fisik serial, eksplorasi luka lokal, peritoneal diagnostik lavage (DPL), scan CEPAT, CT scan perut, atau laparoskopi diagnostik. Penggunaan CT scan FAST dan perut telah mengurangi kebutuhan untuk DPL.

Trauma tumpul abdomen adalah penyebab utama morbiditas dan kematian di trauma, dan penyebab utama cedera intraabdominal. Ruptur limpa adalah yang paling umum ditemukan.FAST positif scan pada pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul abdomen merupakan indikasi untuk operasi segera. Jika FAST pemindaian negatif atau samar-samar pada pasien yang tidak stabil, terutama tanpa tanda-tanda peritoneal, pencarian diindikasikan untuk situs lain kehilangan darah atau penyebab shock nonhemorrhagic. Pengelolaan pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul abdomen didasarkan pada FAST scan. Jika FAST scan positif, keputusan untuk melanjutkan ke laparoskopi atau laparotomi biasanya didasarkan pada CT perut. Jika FAST scan negatif, observasi dilanjutkan dengan pemeriksaan serial dan scan ulangi FAST biasanya ditunjukkan.

Hipotensi yang sangat berat dapat mengikuti pembukaan perut akibat tamponad darah extravasated (dan distensi usus) hilang. Setiap kali waktu memungkinkan, persiapan untuk resusitasi cairan segera dan darah dengan perangkat infus cepat harus dilakukan dan teratasi sebelum laparotomi tersebut. Nitro oksida dihindari untuk mencegah memburuknya pembesaran usus. Sebuah tabung nasogastrik (jika belum ada) akan membantu mencegah pelebaran lambung tetapi harus

Page 24: Anestesi Trauma

ditempatkan secara lisan jika cibriform plate fracture diduga. Potensi untuk transfusi darah besar harus diantisipasi, terutama ketika trauma perut dikaitkan dengan cedera pembuluh darah, hati, limpa, atau ginjal, patah tulang panggul, atau perdarahan retroperitoneal. Transfusi-induced hiperkalemia adalah sama seperti mematikan sebagai exsanguination dan harus diperlakukan secara agresif .

Perdarahan perut masif mungkin memerlukan packing of bleeding areas dan / atau klem dari aorta perut sampai situs pendarahan diidentifikasi dan resusitasi untuk dapat mengejar ketinggalan dari kehilangan darah. Penjepitan aorta berkepanjangan menyebabkan cedera iskemik pada hati, ginjal, usus, dan, dalam beberapa hal, sindrom kompartemen dari bagian bawah kaki, yang dapat menghasilkan rhabdomyolysis dan gagal ginjal akut. Penggunaan infus manitol dan diuretik loop (sebelum aortic cross-penjepit), bersama dengan cairan resusitasi dapat mencegah gagal ginjal pada hal tersebut kontroversial. Resusitasi cepat dengan cairan dan produk darah melalui perangkat transfusi cepat, bersama dengan kontrol perdarahan, mengurangi waktu penjepit mungkin akan mengurangi insiden komplikasi tersebut.

Edema usus progresif dari cedera dan resusitasi cairan dapat menghalangi penutupan perut pada akhir prosedur. Penutupan ketat perut nyata meningkatkan tekanan intraabdominal, mengakibatkan sindrom kompartemen abdomen yang dapat menghasilkan iskemia ginjal dan splanknikus. Oksigenasi dan ventilasi sering terancam, bahkan dengan kelumpuhan otot lengkap. Oliguria dan shutdown ginjal ikuti. Dalam kasus tersebut, perut harus dibiarkan terbuka (tapi sterilely-sering ditutupi dengan tas plastik intravena) selama 48-72 jam sampai mereda edema dan penutupan sekunder dapat dilakukan.

d. Trauma Ekstremitas

Luka Ekstremitas bisa mengancam jiwa bila cedera pembuluh darah yang berhubungan dan komplikasi infeksi sekunder. Luka pada pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan besar-besaran dan mengancam kelangsungan hidup ekstremitas.Misalnya, fraktur femur dapat dikaitkan dengan 2-3 unit okultisme kehilangan darah, dan patah tulang tertutup panggul dapat menyebabkan okultisme bahkan lebih kehilangan darah yang mengakibatkan syok hipovolemik. Penundaan pengobatan atau posisi sembarangan dapat memperburuk dislokasi dan bundel kompromi lebih lanjut neurovaskular. Emboli lemak yang berhubungan dengan fraktur panggul dan tulang panjang dan dapat menyebabkan insufisiensi paru, disritmia, petekiae kulit, dan penurunan mental dalam waktu 1-3 hari setelah peristiwa traumatik . Diagnosis laboratorium emboli lemak tergantung pada ketinggian lipase serum, lemak dalam urin, dan trombositopenia.

Sindrom kompartemen juga bisa terjadi setelah hematoma intramuskular besar, cedera menghancurkan, patah tulang, dan luka amputasi. Peningkatan tekanan fasia internal bersama dengan hasil tekanan berkurang arteri di iskemia, hipoksia jaringan, dan pembengkakan progresif. Seperti dijelaskan sebelumnya, rhabdomyolysis dan gagal ginjal dapat terjadi. Reperfusi ketika tekanan darah dipulihkan dapat memperburuk cedera dan edema. Lengan bawah dan tungkai bawah adalah yang paling berisiko. Diagnosis dapat dibuat klinis atau berdasarkan pengukuran langsung dari tekanan kompartemen: lebih besar dari 45 mm Hg atau 10-30 mm Hg dalam tekanan darah diastolik. fasiotomi dini dianjurkan mempertahankan ekstremitas.

Teknik bedah modern memungkinkan reimplantation dari kaki terputus dan digit. Jika tungkai yang diamputasi didinginkan, bagian tungkai bisa disambung kembali hingga 20 jam setelah dan jika tidak didinginkan harus ditanamkan dalam 6 h. Jika cedera terisolasi, teknik regional (misalnya, atau blok pleksus brakialis interscalene) sering dianjurkan untuk meningkatkan aliran darah perifer karena

Page 25: Anestesi Trauma

mengganggu persarafan simpatik. Selama anestesi umum, pasien harus tetap hangat, dan munculnya menggigil harus dihindari untuk memaksimalkan perfusi.