32
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Trauma adalah penyebab utama kematian pada usia 1-35 tahun di USA. Hingga 1/3 kasus di seluruh rumah sakit di USA berkaitan langsung dengan trauma. 50 % kasus trauma berakhir kematian segera, dan 30% lainnya terjdi beberapa jam setelah kejadian (golden hour). Dikarenakan banyak korban trauma memerlukan operasi secepatnya, ahli anestesi mempengaruhi tingkat keselamatan korban. Pada faktanya, ahli anestesi yang memberikan resusitasi primer, dan memberikan tindakan anestesi sebagai tindakan selanjutnya. Adalah penting bagi ahli anestesi untuk selalu waspada terhadap pecandu obat, intoksikasi akut, hepatitis atau HIV. Bab ini menjelaskan kerangka berpikir tentang penilaian awal pasien trauma dan tindakan anestesi dalam terapi pasien cedera kepala leher, dada, perut, dan ekstemitas. Di akhir bab ada diskusi kasus tentang luka bakar. 1.2 Penilaian awal/Initial assessment Pemeriksaan awal pasien trauma terbagi menjadi primary survey, secondary survey, dan tertiary survey. Primary survey tidak boleh lebih dari 2-5 menit, dan harus meliputi rangkaian ABCDE : airway, breathing, circulation, disability Page 1 of 32

Anestesi Pada Pasien Trauma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anastesi pada pasien trauma

Citation preview

Page 1: Anestesi Pada Pasien Trauma

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Trauma adalah penyebab utama kematian pada usia 1-35 tahun di USA. Hingga 1/3

kasus di seluruh rumah sakit di USA berkaitan langsung dengan trauma. 50 % kasus trauma

berakhir kematian segera, dan 30% lainnya terjdi beberapa jam setelah kejadian (golden

hour). Dikarenakan banyak korban trauma memerlukan operasi secepatnya, ahli anestesi

mempengaruhi tingkat keselamatan korban. Pada faktanya, ahli anestesi yang memberikan

resusitasi primer, dan memberikan tindakan anestesi sebagai tindakan selanjutnya. Adalah

penting bagi ahli anestesi untuk selalu waspada terhadap pecandu obat, intoksikasi akut,

hepatitis atau HIV. Bab ini menjelaskan kerangka berpikir tentang penilaian awal pasien

trauma dan tindakan anestesi dalam terapi pasien cedera kepala leher, dada, perut, dan

ekstemitas. Di akhir bab ada diskusi kasus tentang luka bakar.

1.2 Penilaian awal/Initial assessment

Pemeriksaan awal pasien trauma terbagi menjadi primary survey, secondary survey,

dan tertiary survey. Primary survey tidak boleh lebih dari 2-5 menit, dan harus meliputi

rangkaian ABCDE : airway, breathing, circulation, disability neurologis, dan eksposure

(lingkungan). Apabila ABC terganggu resusitasi harus segera di lakukan. Pada pasien kritis

resusutasi dan penilaian awal dilakukan bersamaan oleh team trauma. Monitoring dasar

ECG, NIBP, Pulse oxymetry harus segera dipasang sampai pasien mendapat terapi. Prinsip

dari CPR dibahas pada bab 47. Resusitasi pasien trauma terdiri dari 2 fase yaitu : kontrol

pendarahan, dan terapi definitive untuk traumanya. Secondary survey dan tertiary survey

dilakukan setelah primary survey selesai.

Page 1 of 21

Page 2: Anestesi Pada Pasien Trauma

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 PRIMARY SURVEY

a. Airway

Membebaskan dan Menjaga jalan nafas selalu menjadi prioritas pertama. Bila

pasien dapat berbicara airway biasanya bagus (clear), namun bila pasien tidak sadar

biasanya membutuhkan bantuan airway dan ventilator. Tanda adanya obstruksi yaitu

Snoring (mengorok), gurgling, stridor, gerakan dada yang parodoksikal. Adanya benda

asing di jalan nafas harus selalu dipikirkan apabila menghadapi pasien tak sadar. Manjemen

airway lanjut (advance) (seperti ETT, krikotirotomi, trakeostomi) diindikasikan bila terjadi

apnea, obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma maksilofacial, cedera leher dengan

hematom, dan trauma dada berat.

Cedera leher sepertinya tidak pada orang sadar dengan tidak adanya gejala nyeri leher

dan nyeri tekan leher. 5 kriteria adanya kecurigaan cedera leher:

1 .nyeri leher

2. severe distracting pain/ nyeri yang sangat hebat

3. adanya defisit neurologis

4. intoksikasi

5. kehilangan kesadaran pada saat kejadian

fraktur cervical harus dicurigai bila ada minimal salah satu tanda tersebut, meski

tidak ditemukan jejas di atas klavukula. Meskipun telah menggunakan criteria ini, insidensi

cedera leher sebesar 2%. Insidensi cedera leher naik menjadi 10% dengan adanaya cedera

kepala. Untuk mencegah hiperekstensi leher, manuver jaw thrust terpilih untuk

membebaskan jalan nafas. Oropharing dan nasofaring tube bisa menjaga patensi jalan

Page 2 of 21

Page 3: Anestesi Pada Pasien Trauma

nafas. Dalam Pasien tak sadar dengan trauma berat selalu dipikirkan adanya aspirasi, jalan

nafas harus segera dijaga menggunakan ETT atau dilakukan trakeostomi.

Hiperekstensi leher dan traksi leher ke sumbu aksial (depan – belakang) harus di hindari

bila ada kecurigaan cedera leher. Imobilisasi manual kepala leher harus dilakukan pada saat

pengunaan laringoskop (Manuai In Line Stabilization atau MILS). Asisten diletakkan di

kedua sisi kepala pasien, memegang occiput dan menjaga jangan sampai kepala

bergerak/berotasi. Hasil Penelitian bahwa terjadi pergerakkan leher , terutama V. C1 dan

V.C2 pada saat pemasangan sungkup oksigen dan tindakan laringoskop meski telah

dilakukan stabilisasi leher (contoh : MILS, axial traction, kantung pasir, forehead tape, soft

collar, Philadelphia collar). Dari semua teknik yang dipakai MILS merupakan teknik yang

paling efektif, tetapi juga membuat tindakan laringoskop menjadi lebih sulit. Karena hal itu

ada sebagian ahli anestesi lebih memilih intubasi nasal (blind atau fiberoptik) pada pasien

dengan nafas spontan yang dicurigai cedera leher, dan teknik ini juga meningkatkan resiko

aspirasi. Dan penggunaan lainnya dari lightwand, bullard laryngoskop, Wuscope atau

intubating LMA. Keahlian dan pilihan teknik ahli anestesi sangat menentukan dalam

pemilihan teknik yang digunakan, sekaligus manfaat dan resiko yang diterima pasien.

Kebanyakan praktisi sangat akrab dengan intubasi oral, dan teknik ini sebaiknya dipakai

untuk pasien apne dan pasien yang membutuhkan intubasi segera. Intubasi nasal sebaiknya

dihindari unuk pasien dengan fraktur wajah atau basis kranii. Bila esophageal obturator

airway telah dipasang, maka alat ini tidak boleh di cabut sampai trakea telah iintubasi, untk

mencegah regurgitasi.

Adanya Trauma laring membuat situasi lebih buruk. Luka terbuka bisa terlihat

pendarahan pembuluh darah besar leher, obstruksi hematom atau edeme, emfisema

subkutaneus, dan cedera leher. Trauma laring tertutup kurang terlihat jelas, gejelanya yaitu

krepitasi di leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau suara serak. Intubasi sadar (awake

intubation) dengan ETT kecil (6 in) dengan laringoskop atau bronkoskopi fiberoptik dalam

anestesi topikal bisa dilakukan bila laring bisa terlihat jelas. Bila trauma wajah (facial) atau

trauma leher menghalangi tindakan intubasi, maka tindakan trakeostomi dalam anestesi

local harus dipikirkan. Obstruksi akut akibat trauma saluran nafas atas mugkin

membutuhkan tindakan krikotirotomi, perkutaneus atau operasi trakeostomi (lihat diskusi

bab 5)

Page 3 of 21

Page 4: Anestesi Pada Pasien Trauma

b. Breathing

Penilaian ventilasi nafas yang terbaik yaitu dengan cara look (dilihat), listen

(didengar), feel (dirasakan). Dilihat apakah ada cianosis, retraksi dinding dada, flail chest,

trauma tembus atau trauma tidak tembus (sucking) dada. Dengarkan apakah suara nafas ada

atau tidak, atau terdengar lemah. Rasakan apakah ada emfisema subkutan, pergeseran

trakea, dan iga yang patah. Klinisi harus selalu waspada akan tension pneumothorax dab

hematotorax, biasanya hal ini terjadi pada pasien dengan (gagal nafas) respiratory distress.

Drainase pleura mungkin diperlukan sebelum foto torax dilakukan.

c. Circulation

Adekuatnya atau tidaknya sirkulasi bisa dilihat dari frekuensi nadi, kuat atau

tidaknya nadi, tekanan darah dan perfusi perifer. Tanda tidak adekuatnya sirkulasi yaitu

takikardi, lemah atau tak terabanya arteri perifer, hipotensi, ekstremitas yang pucat, dingin

dan sianosis. Prioritas utama dalam menciptakan sirkulasi adekuat adalah menghentikan

perdarahan, prioritas selanjutnya yaitu mengganti cairan intravaskular. Henti jantung pada

saat di jalan atau segera sesudah sampai di rumah sakit, karena trauma tembus dada, segera

memerlukan emergency room thoracotomy (ERT). Resusitasi torakotomi, segera

menghentikan perdarahan yang jelas terlihat, membuka pericardium, menjahit luka di

jantung, menutup (cross clamping) aorta diatas diafragma. Beberapa ahli bedah trauma

menggunakan ERT untuk kasus henti jantung karena trauma tumpul abdomen. Pasien

hamil aterm yang mengalami henti jantung atau shock hanya dapat diresusitasi setelah

bayinya dilahirkan.

d. Perdarahan (hemorrhage)

Asal perdarahan harus segera dicari dan dihentikan dengan cara balut tekan.

Perdarahan ekstremitas mudah dihentikan dengan cara balut tekan, torniket bisa

menyebabkan reperfusion injury (trauma reperfusi). Perdarahan trauma dada biasanya

berasal dari arteri intercostal dan biasanya berkurang atau berhenti setelah paru-paru

mengembang (setelah dipasang CTT). Perdarahan trauma abdomen, tergantung tingkat

keparahannya, bisa berhenti sendiri, bisa diberikan resusitasi cairan dan tranfusi darah,

bersamaan dengan tindakan operasi. Pakaian antishok pneumatic (pneumatic antishock

garment) bisa mengurangi perdarahan di perut dan ekstemitas bawah, meningkatkan

Page 4 of 21

Page 5: Anestesi Pada Pasien Trauma

resistensi vascular, dan meningkatkan perfusi jantung dan otak. Perdarahan diatas pakaian

ini (dada dan kepala) dikontraindikasikan untuk menggunakan pakaian ini, karena resiko

bertambahnya perdarahan .

Shock merupakan kegagalan sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi

organ dan pemenuhan oksigen jaringan (oksigen delivery). Ada berbagai macam shock,

dan pada pasien trauma biasanya merupakan shok hipovolemik. Respon fisiologis

perdarahan yaitu hipotensi, takikardi, capillary refill buruk, penurunan tekanan nadi,

takipnea, dan delirium (table 41-2). Hematokit serum dan kadar hemoglobin tidak akurat

dalam menentukan banyaknya perdarahan akut. Stimulasi somatic tepi somatik dan

kerusakan hebat jaringan mengurangi cardiac output dan isi sekuncup (stroke volume) pada

pasien dengan shok hipovolemik. Ketidakstabilan hemodinamik ini membutuhkan tekanan

darah arterial invasif. Pada hipovolemik yang berat, nadi dapat menghilang pada saat

inspirasi. Tingkat hipotensi pada saat operasi berkaitan erat dengan tingkat kematian.

Table 41–1. Classification of Shock by Mechanism and Common Causes.1

Hypovolemic shock 

Loss of blood (hemorrhagic shock)

  External hemorrhage

    Trauma

    Gastrointestinal tract bleeding

  Internal hemorrhage

    Hematoma

    Hemothorax or hemoperitoneum

Loss of plasma

  Burns

  Exfoliative dermatitis

Loss of fluid and electrolytes

Page 5 of 21

Page 6: Anestesi Pada Pasien Trauma

  External

    Vomiting

    Diarrhea

    Excessive sweating

    Hyperosmolar states (diabetic ketoacidosis, hyperosmolar nonketotic coma)

  Internal ("third-spacing")

    Pancreatitis

    Ascites

    Bowel obstruction

Cardiogenic shock 

Dysrhythmia

  Tachyarrhythmia

  Bradyarrhythmia

Pump failure (secondary to myocardial infarction or other cardiomyopathy)

Acute valvular dysfunction (especially regurgitant lesions)

Rupture of ventricular septum or free ventricular wall

Obstructive shock 

Tension pneumothorax

Pericardial disease (tamponade, constriction)

Disease of pulmonary vasculature (massive pulmonary emboli, pulmonary hypertension)

Cardiac tumor (atrial myxoma)

Left atrial mural thrombus

Obstructive valvular disease (aortic or mitral stenosis)

Distributive shock 

Septic shock

Page 6 of 21

Page 7: Anestesi Pada Pasien Trauma

Anaphylactic shock

Neurogenic shock

Vasodilator drugs

Acute adrenal insufficiency

 1Reproduced, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current Emergency Diagnosis

& Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.

  

Table 41–2. Clinical Classification of Shock.1,2

  Pathophysiology Clinical Manifestations

Mild (< 20%

of blood

volume lost)

Decreased peripheral perfusion only

of organs able to withstand

prolonged ischemia (skin, fat,

muscle, and bone). Arterial pH

normal.

Patient complains of feeling cold.

Postural hypotension and

tachycardia. Cool pale moist skin;

collapsed neck veins; concentrated

urine.

Moderate (20–

40% of blood

volume lost)

Decreased central perfusion of

organs able to tolerate only brief

ischemia (liver, gut, kidneys).

Metabolic acidosis present.

Thirst. Supine hypotension and

tachycar-dia (variable). Oliguria

and anuria.

Severe (> 40%

of blood

volume lost)

Decreased perfusion of heart and

brain. Severe metabolic acidosis.

Respiratory acidosis possibly

present.

Agitation, confusion, or

obtundation. Supine hypotension

and tachycardia invariably present.

Rapid, deep respiration.

 1Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current Emergency

Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.

2These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock but apply to

other types of shock as well.

 

Page 7 of 21

Page 8: Anestesi Pada Pasien Trauma

Terapi utama dari shock hemoragik adalah resusitasi cairan dan transfusi darah. IV

kateter dengan diameter besar (no 14-16) dan pendek (1,5-2in) dipakai bila akses ke vena

mudah. Pasien dengan kemungkinan trauma vena cava atau hepar sebaiknya akses cairan

menggunakan ke dua sistem vena cava, apabila dibutuhkan penutupan (cross clamping)

pembuluh darah dalam tindakan operasi. Meski CVP bisa menentukan status volume tubuh,

tetapi tindakan ini menghabiskan banyak waktu dan kemungkinan terjadinya komplikasi

mengancam jiwa ( misal, pneumothorax). Akses intra vena perifer biasanya cukup untuk

resusitasi.

Perdarahan hebat mengurangi kompartemen intravaskular. Cairan akan berpindah

dari kompartemen interstitial ke kompartemen intravaskular untuk mempertahankan

hemodinamik tubuh, dan kompartemen interstitialpun akan bergerak memasuki sel.

Metabolisme anaerob akan menyebabkan penurunan ATP, disfungsi Na-K-ATP dependent,

dan menyebabkan edema sel.

e. Terapi cairan

Pemilihan terapi cairan ditentukan pertama kali oleh ketersediaan cairan itu sendiri.

Meskipun cross-match tranfusi darah (whole blood) sangat ideal, tetapi waktu untuk cross

match sekitar 45-60 menit. Golongan darah spesifik bisa menyebabkan reaksi antibodi,

tetapi merupakan terapi yang baik, dan diberikan segera setelah tersedia (5-10 menit).

Tranfusi golongan darah O-negatif sebaiknya diberikan kepada pasien perdarahan yang

mengancam jiwa dan tidak tercukupi dengan resusitasi cairan (contoh, exsanguination).

Komplikasi dari trnfusi pada perdarahan hebat dibhas di bab 29.

Cairan kristaloid selalu tersedia dan harganya murah. Resusitasi cairan

membutuhkan jumlah cairan banyak, dikarenakan cairan kristaloid tidak bertahan lama di

kompartemen intravaskular. Injeksi ringer laktat lebih sedikit menyebabkan asidosis

hiperkloremik dari pada NaCl fisiologis, meski kalsium sedikit lebih cocok untuk tranfusi

darah. Cairan dextrose bisa memperhebat kerusakan otak iskemik dan sebaiknya dihindari

bila tidak ditemukan hipoglikemi. Dan cairan ringer laktat pun sedikit hipotonik dan

apabila diberikan dalam jumlah besar bisa memperberat edema cerebral. Cairan hipertonik

seperti NaCl 3% atau 7% efektif untuk resusitasi cairan dan menyebabkan edema cerebral

Page 8 of 21

Page 9: Anestesi Pada Pasien Trauma

lebih sedikit dari pada RL dan NaCl fisiologis pada kasus cedera otak. Dan pemberian kecil

cairan NaCl hipertonis, akan cepat meningkatkan volume plasma, penggunaannya dibatasi

jangan sampai terjadi hipernatremi. Vasodilatasi dan hipotensi sementara sebaiknya di

observasi.

Cairan koloid lebih mahal daripada cairan kristaloid, tetapi lebih efektif dalam

meningkatkan volume intravaskular. Kekurangan cairan interstitial karene shok

hipovolemik, lebih baik diterapi dengan cairan kristaloid, atau kombinasi cairan kolod dan

kristaloid. Albumin terpilih digunakan daripada dextran atau hetastarch, karena

dikhawatirkan terjadi induksi koagulopati.

Apapun cairan yang diberikan sebaiknya dihangatkan terlebih dahulu sebelum

pemberian. Infus cepat dengan IV kateter besar dan cairan hangat sangat penting saat

tranfusi pada perdarahan hebat. Selimut hangat dan alat pemanas ruangan akan menjaga

kehangatan suhu tubuh. Hipotermi memperburuk ketidakseimbangan asam basa ,

koagulopati, dan disfungsi miokard. Hal itu juga menggeser kurva oksigen hemoglobin ke

kiri dan menurunkan metabolisme laktat, sitrat, dan beberapa obat anestesi. jumlah

pemberian cairan tergantung pada klinis pasien, tekanan darah, tekanan nadi, dan denyut

jantung (heart rate).

CVP dan output urin menunjukkan adekuatnya perfusi organ.

Tidak adekuatnya perfusi organ akan berpengaruh pada metablisme aerob,

meningkatnya asam laktat dan asidosis metabolik. Natrium bikarbonat akan berubah

menjadi ion bikarbonat dan CO2, untuk sementara waktu, dapat memperburuk asidosis

intrasel karena membran sel relatif tidak soluble untuk bikarbonat dibanding CO2.

ketidakseimbangan asam basa akan teratasi dengan resusitasi cairan dan baiknya perfusi

organ. Laktat akan dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat dan H+ diekskresikan oleh

ginjal.

Pasien shok hemoragik dengan hipotensi harus diterapi agresif dengan resusitasi

cairan dan tranfusi darah, bukan dengan obat vasopresor, kecuali bila hipotensinya tidak

berespon dengan pemberian cairan, atau mungkin adanya shock kardiogenik dan henti

jantung.

Page 9 of 21

Page 10: Anestesi Pada Pasien Trauma

Shok yang tidak berespon dengan resusitasi cairan, mungkin bisa disebabkan

perdarahan yang banyak yang melebihi jumlah cairan yang diberikan, atau adanya shok

kardiogenik ( missal, tamponade pericardial, kontusio miokard, miokard infark), shok

neurogenik ( kerusakan batang otak, spinal cord transection), shok septic (komplikasi

lambat), kerusakan paru (pneumothorax dan hematothorax) dan asidosis dan hipotermi

berat.

f. Disability

Evaluasi untuk mengetahui disabilitas neurology, dengan pemeriksaan cepat

neurologis. Dikarenakan untuk menilai GCS lama, maka digunakan system AVPU : awake,

verbal responsive, pain responsive, dan unresponsive.

g. Exposure

Pasien sebaiknya dibuka seluruh pakaiannya, untuk melihat apakah ada jejas. In-

line immobilization sebaiknya dipakai bila pasien dicurigai ada cedera tulang belakang.

2.2 SECONDARY SURVEY

Secondary survey dimulai bila ABC sudah stabil. Di Secondary survey pasien di

nilai dari kepala sampai ujung kaki (head to toe) dan tes lainnya ( foto Rontgen, tes

laboratorium, dan prosedur invasive dianostik) yang dibutuhkan. Pemeriksaan kepala

mencari jejas di scalp, mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis mencakup GCS dan

evaluasi system motorik sensorik dan reflek. Pupil dilatasi (fixed dilated pupils)tidak selalu

menunjukkan kerusakan otak ireversibel. Dada di inspeksi dan di auskultasi lagi, untuk

mencari apakah ada fraktur dan integritas fungsional (flail chest). Suara nafas yang

menurun menunjukkan adanya pneumothorax yang membuthkan CTT. Suara jantung

menghilang, perbedaan tekanan sistolik dan diastolik yang dekat, teregangnya vena leher

kemungkinan adanya tamponade pericardial, dan harus dilakukan pericardiocentesis. Meski

pada pemeriksaan awal (primary survey) normal, tetap tidak menyingkirkan hal ini.

Pemeriksaan abdomen terdiri dari inspeksi, auskultasi dan palpasi. Ekstremitas di periksa,

apakah ada fraktur, dislokasi dan terabanya nadi perifer. Kateter urin dan NGT biasanya

dipasang pada pasien trauma.

Page 10 of 21

Page 11: Anestesi Pada Pasien Trauma

Pemeriksaan laboratorium dasar meliputi pemeriksaan darah rutin (hematokrit atau

hemoglobin), elektrolit, glukosa, ureum dan kreatinin. Analisa gas darah pun sangat

membantu. Foto torax sebaiknya dilakukan pada semua pasien dengan trauma berat. Untuk

menyingkirkan cedera leher, maka ketujuh vertebra di foto posisi lateral dan posisi

swimmer’s. foto cervical hanya mendeteksi 80-90% terjadinya faktur, dan dengan CT-Scan

alat yang reliable (dapat dipercaya) untuk menentukan ada atau tidaknya cedera leher. Foto

tambahan lainnya yaitu foto kepala, pelvis dan foto tulang panjang. A focused assessment

with sonogaraphy for trauma (FAST) scan adalah alat yang cepat, portable, pemeriksaan

ultrasonografi untuk mengidentifikasi perdarahan intraperitoneum atau tamponade

pericardial. FAST dipakai untuk memeriksa cairan di 4 daerah yaitu: perihepatic,

perisplenic, pelvis dan pericardium. Tergantung dari trauma dan kondisi hemodinamik

pasien, pemeriksaan lain (seperti, CT-scan dada atau angiografi) atau tes diagnostik seperti

diagnostic Lavage (DPL) bisa dilakukan.

2.3 TERTIARY SURVEY

Banyak pusat trauma memakai tertiary survey untuk menghindari cedera yang

terlewat. Antara 2-50% trauma bisa terlewat dengan primary dan secondary survey,

biasanya pada trauma tumpul multiple (seperti, kecelakaan mobil). Tertiary survey adalah

evaluasi pasien yang mengidentifikasi semua cedera yang dialami pasien setelah indakan

resusitasi dan operasi. Dan biasanya dilakukan 24 jam setelah kejadian. Evaluasi ini pada

pasien lebih sadar, dan tentunya bisa lebih berkomunikasi, untuk mengetahui mekanisme

trauma lebih detail, dan rekam medik yang lebih detil untuk menentukan faktor

komorbidnya.

Tertiary survey berguna untuk menilai kembali trauma yang sudah diketahui atau

trauma yang terlewat pada primary dan secondary survey. Pemeriksaannya dengan

memeriksa kembali dari kepala sampai ujung kaki (head to toe) dan mereview semua hasil

laboratorium dan semua hasil foto. Trauma yang terlewat biasanya fraktur pelvis, trauma

kepala,trauma tulang belakang, trauma abdomen dan kerusakan saraf perifer.

Page 11 of 21

Page 12: Anestesi Pada Pasien Trauma

2.4 Pertimbangan umum anastesi

Anestesi regional tidak praktis dan tidak pada tempatnya untuk pasien yang

hemodinamiknya tak stabil dengan trauma mengancam jiwa.

Bila pasien sampai ke kamar operasi telah diintubasi, maka posisi ETT harus

diperiksa kembali. Pasien dengan suspek cedera kepala diberikan hiperventilasi untuk

menurunkan tekanan intra kranial. Ventilasi mungkin berkurang karena adanya

pneumothorax, flail chest, sumbatan ETT, atau cedera paru-paru.

Bila pasien tidak diintubasi maka prinsip manajemen airway seperti di atas harus

dilakukan di kamar operasi. Bila cukup waktu maka hipovolemia sebaiknya telah dikoreksi

meski sebagian ,sebelum dilakukan anestesi umum. Resusitasi cairan dan tranfusi darah

harus diteruskan selama induksi dan tindakan anestesi. Zat penginduksi yang biasa

digunakan untuk pasien trauma yaitu ketamin dan etomidate. Meski setelah resusitasi

cairan yang adekuat , dosis induksi propofol yang dibutuhkan 80-90% lebih rendah pada

pasien dengan trauma mayor. Meskipun obat seperti ketamin dan nitro oxide yang

normalnya menstimulasi secara tidak langsung fungsi jantung, bisa menimbulkan efek

depresi jantung (cardio depressan) pada pasien shok atau sudah mendapat stimulasi

simpatik maksimal. Hipotensi bisa juga dialami setelah pemberian etomidate.

Tindakan anestesi pada pasien tak stabil yang utama menggunakan muscle relaxant

(neuromuscular blocking agent), dengan anestesi umum dipakai tergantung respon pasien

(MABP >50-0 mmHg) untuk menciptakan sekurang-kurangnya amnesia pasien. Dosis

kecil intermiten ketamin (25mg setiap 15 menit) biasanya di toleransi dengan baik dan

menurunkan insidence of recall, khususnya bila dipakai dengan zat volatil konsentrasi

rendah (< 0,5 minimum alveolar concentration). Obat lain yang berguna untuk mencegah

recall yaitu midazolam (img intermiten) dan scopolamine (0,3mg). Banyak para klinisi

tidak menggunakan nitrous oxide, karena ada kemungkinan terjadinya pneumothorax dan

juga membatasi konsentrasi oksigen inspirasi. Obat yang cenderung untuk menurunkan

tekanan darah (contoh, pelepasan histamin pada pemberian atracurarium dan

mivacurarium) sebaiknya dihindari pada pasien dengan shok hipovolemik. Tingkat

konsentrasi alveolar zat anestesi inhalasi meningkat pada kondisi shok disebabkan kardiak

outputnya yang rendah dan meningkatnya ventilasi. Semakin tinggi tekanan parsial anestesi

Page 12 of 21

Page 13: Anestesi Pada Pasien Trauma

alveolar (alveolar anesthetic partial pressure) semakin tunggi pula tekanan parsial arteri

(arterial partial pressures) dan semakin tinggi pula beban miokard. Efek dari obat anestesi

akan meningkat sebab di masukkan ke dalam cairan intravaskular yang lebih kecil dari

normal. Kunci untuk manajemen anestesi yang aman dari pasien shok adalah untuk

memberikan dosis lebih kecil, apapun obatnya.

Monitor invasive (pengukuran Tekanan darah arteri langsung, CVP, mpnitor tekanan

arteri pulmonal) bisa sangat membantu dalam patokan pemberian cairan, tetapi monitoring

invasive ini jangan sampai mengganggu proses resusitasi. Pengukuran darah serial

hematokrit ( hemoglobin) analisa gas darah, elektrolit serum (K) sangat membantu dalam

resusitasi.

2.5 Trauma kepala dan tulang belakang

Semua pasien trauma dengan penurunan kesadaran harus selalu diduga adanya trauma otak.

Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS.

Cedera yang membutuhkan tindakan bedah segera yaitu epidural hematoma, acute

subdural hematome, trauma tembus otak, fraktur depressed tengkorak kepala. Trauma

lainnya yaitu fraktur basis kranii dan perdarahan intraserebral. Fraktur basis kranii

tandanya yaitu raccoon eye, battle sign, dan cairan cerebrospinal yang keluar melalui

telinga dan hidung. Tanda lain kerusakan otak yaitu gelisah, kejang, disfungsi nervus

kranialis (seperti, pupil nonreaktif). Trias cushing ( hipertensi, bradikardi, dan gangguan

nafas) merupakan tanda yang tak bisa dipercaya untuk mengetahui adanya herniasi otak.

Hipotensi jarang disebabkan hanya oleh trauma kepala. Pasien yang dicurigai trauma

kepala, tidak diperbolehkan untuk mendapatkan premedikasi obat yang dapat

mempengaruhi status mental pasien (seperti, sedatif, analgesik) atau pemeriksaan

neurologis (misal, dilatasi pupil yang diinduksi obat antokolinergik).

Trauma otak biasanya diikuti dengan peningkatan tekanan intrakranial karena

adanya hematom atau edema. Tekanan tinggi intrakranial dikontrol dengan restriksi cairan

(kecuali bila ada tanda shok hipovolemik), diuretic (misal, dengan manitol

0,5g/kg),barbiturat dan kondisi hipokapnia (PaCO2 28-32 mmHg). Intubasi Endotrakeal

sangat dibutuhkan , dan juga menjaga dari resiko aspirasi akibat reflek muntah. Hipertensi

atau takikardi pada saat intubasi dapat dikurangi dengan pemberian slidokain atau fentanyl

Page 13 of 21

Page 14: Anestesi Pada Pasien Trauma

intravena. Intubasi sadar (Awake intubation) bisa meningkatkan tekanan intrakranial.

Pemasangan endotrakeal tube atau nasogastrik tube pada pasien fraktur basis kranii bisa

menyebabkan perforasi cribriformis plate dan infeksi LCS. Sedikit peninggian kepala akan

memningkatkan drainase vena dan menurunkan tekanan intrakranial. Pengaruh

kortikosteroid pada pasien cedera kepala masih menjadi kontroversi, kebanyakan studi

tidak menunjukkan efek samping maupun manfaat kortikosteroid. Obat anestesi yang dapat

meningkatkan tekanan intrakranial sebaiknya tidak dipergunakan (contohnya, ketamin).

Hiperglikemia sebaiknya dihindari dan diobati dengan insulin bila terjadi. Hipotermi ringan

memberikan manfaat untuk mencegah iskemia-induced injury pada pasien cedera kepala.

Autoregulasi aliran darah cerebral biasanya terganggu pada daerah yang cedera,

hipertensi arteri bisa memperburuk edema cerebral dan menyebabkan tekanan tinggi

intrakranial. Dan hipotensi arteri akan menyebabkan iskemik serebral regional. Umumnya

tekanan perfusi cerebral/cerebral perfusion pressure (selisih MABP di otak dengan CVP

atau tekanan intrakranial) harus dijaga > 60 mmHg.

Pasien dengan cedera kepala berat lebih rentan terjadinya hipoksemia arteri dari

sirkulasi pintas paru (pulmonary shunting) dan Ventilasi/perfusi mismatch. Perubahan ini

bisa disebabkan aspirasi, atelectasis, perubahan langsung saraf dan pembuluh darah paru-

paru. Tekanan tinggi intrakranial menjadi faktor predisposisi edema paru karena

meningkatnya system saraf simpatis.

Tingkat kerusakan fisiologis pasien dengan trauma tulang belakang, sesuai dngan

tinggi lesinya di medulla spinalis. Penanganan khususu harus dilakukan untuk mencegah

trauma lebih lanjut pada saat transportasi dan intubasi. Lesi di leher bisa mengenai nervus

phrenicus (C3-C5) dan menyebabkan apnea. Rusaknya fungsi interkosta, membatasi

cadangan udara paru (pulmonary reserve), dan kemampuan untuk batuk. Trauma tinggi

dada akan mengganggu persarafan simpatis jantung (T1-T4), menyebabkan bradikardi.

Trauma tinggi medulla spinalis akut bisa menyebabkan spinal shock, suatu kondisi ditandai

hilangnya fungsi simpatis, baik kapasitas maupun resistensi pembuluh darah yang berada di

bawah lesi, menyebabkan hipotensi, bradikardi, areflexia, atoni gastrointestinal. Distensi

vena di kedua kaki adalah tanda trauma medulla spinalis. Hipotensi pada pasien ini

membutuhkan terapi cairan yang agresif- waspada akan kemungkinan edema paru setelah

Page 14 of 21

Page 15: Anestesi Pada Pasien Trauma

keadaan akut telah teratasi. Suksinilkolin aman pada saat 48 jam setelah trauma, tetapi

setelahnya bisa menyebabkan hiperkalemia yang mengancam jiwa. Dosis tinggi dan

pemberian cepat kortikosteroid dengan metilprednisolon (30mg/kg diteruskan

5,4mg/kg/jam untuk 23 jam) meningkatkan kesembuhan neurologis (neurological outcome)

pasien dengan trauma medulla spinalis. Hiperreflexia otonom terjadi bila lesi di atas V. T5

tetapi bukan menjadi masalah pada menajemen akut.

2.6 Trauma Dada

Trauma dada bisa sangat menggangu fungsi jantung dan paru, menyebabkan shok

kardiogenik atau hipoxia. Pneumothorak sederhana (Simple Pneumothorak) adalah

terkumpulnya udara diantara pleura parietal dan visceral. Kolapnya paru-paru yang terkena

menyebabkan abnormalitas ventilasi/perfusi berat dan hipoxia. Pada pemeriksaan dinding

dada yang sakit ditemukan pada perkusi hiperresonan, suara nafas menurun atau hilang,

dan pada foto torax terlihat paru-paru kolap. Nitrous oxide akan memperluas pneumotorax

dan dikontraindikasikan pada kondisi tersebut. Penanganannya dengan pemasangan CTT di

ICS 4-5, di depan midaxilary line. Kebocoran udara persisten setelah pemasangan CTT

menunjukkan adanya trauma bronkus mayor.

Pada tension pneumothorak, udara dapat memasuki rongga pleura tetapi tidak dapat

keluar (one-way valve), dan udara berkumpul di paru-paru atau dinding dada. Udara

memasuki rongga dada pada saat inspirasi tetapi tidak dapat keluar pada saat ekspirasi.

Akibatnya, paru-paru sisi sakit akan kolap, mediastinum dan trakea akan terdorong ke sisi

yang sehat. Simple pneumotorax bisa berubah menjadi tension pneumothorax bila

terjadinya ventilasi tekanan positif di paru-paru (Positive pressure ventilation). Venous

return dan ekspansi paru sisi sehat akan terganggu. Tanda klinis yaitu pada sisi sakit suara

nafas akan hilang dan hiperresonan pada perkusi, trakea akan terdorong ke sisi sehat, dan

vena leher akan teregang. Masukkan IV kateter no 14 ke ICS 2 pada midclavicula line akan

merubah tension menjadi simple pneumotorax. Terapi definitive yaitu pemasangan CTT.

Fraktur kosta multiple menurunkan fungsi integritas dinding dada , menghasilkan

keadaan yang disebut flail chest. Hipoksia sering diperburuk dengan adanya penyakit paru

dan hemothorax. Kontusio paru disebabkan gagal nafas yang lama. Hemotorax dibedakan

dengan pneumotorax yaitu pada perkusi paru akan didapatkan perkusi dull.

Page 15 of 21

Page 16: Anestesi Pada Pasien Trauma

Hemomediastinum, seperti halnya hematothorax, bisa disebabkan oleh shok hemoragik.

Hemoptisis massif mungkin membutuhkan isolasi paru sakit dengan Double lumen tube

(DLT) untuk mencegah darah masuk ke paru yang sehat. Penggunaan ETT lumen tunggal

dengan bronchial blocker lebih aman bila sulit dalam penggunaan laringoskop atau

penggunaan DLT tidak berhasil. Trauma bronkus besar juga membutuhkan pemisahan paru

sakit dan paru sehat, ventilasi hanya menggunakan paru sehat. High frequency jet

ventilation bisa menjadi alternatif untuk bantuan ventilasi tekanan jalan nafas rendah

(lower airway pressure) dan meminimalisasi kebocoran udara bronkus bila terdapat

kebocoran bronkus bilateral atau pemisahan paru tidak bisa dilakukan. Kebocoran udara

bronkus yang terkena trauma bisa masuk ke vena pulmonary yang rusak menyebabkan

emboli paru dan sistemik. Sumber kebocoran harus segera dicari dan diperbaiki.

Kebanyakan ruptur bronkus bejarak 2,5 cm dari carina.

Tamponade jantung merupakan trauma dada mengnancam jiwa dan harus dikenali

secara dini. Bila tidak tersedia FAST atau Echocardiografi, trias Beck’s (distensi vena

leher, hipotensi, muffled heart tones), pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah > 10

mmHg pada saat inspirasi), dan kecurigaan pada penyakit tersebut akan membantu

menegakkan diagnosis. Pericardiocentsis merupakan terapi sementara. Dengan cara

menusukkan kateter no 16 (panjangnya sekitar 15cm) dari Xipohocondral junction ke ujung

kiri scapula dengan sudut 45o, dibantu transthoracic echocardiografi atau EKG. Perubahan

gambaran EKG menunjukkan kateter mengenai miokardium. Terapi definitive pericardial

tamponade dengan torakotomi. Menajemen anestesi untuk keadaan ini harus

memaksimalkan inotropik, kronotropik dan preload jantung. Oleh karenanya, ketamin

merupakan obat terpilih. Trauma tembus jantung atau pembuluh darah besar membutuhkan

tindakan operasi segera. Tindakan pada jantung berulang, menyebabkan episode bradikardi

intermiten dan hipotensi berat.

Kontusio miokard biasanya didiagnosa dengan perubahan konsisten EKG, yang

menunjukkan iskemik (ST-segmen elevation), peningkatan enzim jantung( CK-MB atau

kadar troponin) atau perubahan EKG. Pergerakan abnormal dinding jantung bisa terlihat

dengan transthoracic echocardiography. Pasien cenderung lebih mudah terserang disritmia,

seperti heart block dan fibrilasi ventrikel. Operasi elektif harus ditunda, sampai semua

tanda trauma jantung teratasi.

Page 16 of 21

Page 17: Anestesi Pada Pasien Trauma

Trauma lainnya pada dada yaitu transeksi atau diseksi aorta, avulsi (terobeknya)

arteri subclavia kiri, rusaknya katup mitral atau aorta, herniasi diafragmatika traumatika,

ruptur esophagus. Transeksi aorta biasanya terjadi di distal arteri subklavia kiri, karena

trauma deselerasi berat, secara klasik terlihat pada foto radiografi mediastinmnya lebar dan

biasanya diiringi dengan fraktur iga pertama.

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) komplikasi trauma paru lambat dan

biasanya disebabkan : sepsis, trauma langsung dada, aspirasi, cedera kepala, emboli paru,

transfusi berlebihan, dan keracunan oksigen. Pasien trauma sering terkena resiko seperti

siatas. Meski dengan teknologi modern, tingkat kematian ARDS sekitar 50%. Dalam

beberapa kasus ARDS terjadi cepat, pada saat di kamar operasi. Pneumonia aspirasi,

terjadinya sebelum pasien diintubasi, biasanya terjadi di kamar operasi dan bisa tertukar

dengan ARDS. Ventilator mekanik pada mesin anestesi, tidak bisa mancukupi kebutuhan

oksigen pasien dengan komplian paru yang buruk. Penggunaan ventilator ICU yang

memberikan tekanan udara tinggi mungkin diperlukan.

2.7 Trauma Abdomen

Pasien dengan rauma multiple harus selalu dicurigai trauma abdomen, sampai

terbukti tidak. Sampai 20% pasien dengan trauma abdomen tidak mengeluh sakit atau

menunjukkan tanda rangsang peritoneum (defans muscular, nyeri tekan, tanda ileus) pada

pemeriksaan pertama. Jumlah darah banyak (akut hemoperitoneum) mungkin terjadi pada

trauma abdomen (contoh, trauma hepar atau trauma limpa) dengan tanda minimal. Trauma

abdomen terbagi manjadi trauma tembus (luka tembak, luka tusuk) dan trauma tidak

tembus (deselerasi, tabrakan, trauma kompresi).

Trauma tembus abdomen biasanya terlihat jelas di perut atau di bagian bawah dada.

Organ yang paling sering terkena yaitu hati. Pasien terbagi menjadi : 1. tak ada denyut nadi

2. hemodinamik tak stabil 3. stabil. Pasien tak ada denyut nadi dan pasien dengan

hemodinamik tak stabil (dengan pemberian resusitasi cairan sebanyak 1-2 l, tetap tak bisa

menaikkan tekanan darah sistolik diantara 80-90 mmHg) harus segera dilakukan

laparotomi. Biasanya akibat sobek pembuluh darah besar atau cedera organ solid. Pasien

stabil dengan tanda peritonitis atau evicerasi sebaiknya harus segera dilakukan laparotomi.

Page 17 of 21

Page 18: Anestesi Pada Pasien Trauma

Dan pasien dengan hemodinamik stabil dengan trauma tembus abdomen dan tidak

menunjukkan tanda peritonitis, harus dievaluasi secara cermat, untuk menghindari

laparotomi yang tak perlu. Tanda penting adanya trauma abdomen yaitu udara bebas di

bawah diafragma pada foto torax, darah dari NGT, hematuria, dan darah dari rectum.

Evaluasi lebih lanjut untuk pasien dengan hemodinamik stabil yaitu pemeriksaan fisik

serial, eksplorasi luka, diagnostik peritoneal lavage (DPL), FAST, CT abdomen, atau

laparoskopi diagnostik. Dengan penggunaan FAST dan CT Scan, tindakan DPL dapat

dikurangi.

Trauma tumpul abdomen penyebab tertinggi kematian dan kesakitan karena trauma

dan merupakan kasus trauma intraabdominal paling banyak. tersobek atau ruptur lien

adalah kejadian yang paling sering. Pada trauma tumpul abdomen, Hasil FAST positive

dan hemodinamik buruk, memerlukan tindakan operasi segera. Bila FAST negatif atau

equivocal pada pasien hemodinamik tak stabil, khususnya tanpa tanda rangsang

peritoneum, maka harus dicari sumber perdarahan atau sebab lain yang menyebabkan shok

nonhemoragik. Pada pasien trauma tumpul abdomen hemodinamik stabil berdasar hasil

FAST. Bila FAST positif, keputusan untuk melakukan laparoskopi atau laparotomi

berdasar hasil CT abdomen. Bila hasil FAST negatif, pasien diobservasi dengan

pemeriksaan serial dan pemeriksaan FAST.

Hipotensi berat biasanya terjadi setelah pembukaan dinding perut, karena hilangnya

efek tampon terhadap extravasasi darah di perut. Bila cukup waktu, pesiapan resusitasi

cairan dan tranfusi darah dengan alat infus (rapid infusion device) harus dilakukan sebelum

laparotomi. Nitrous oxide tidak dipakai untuk mencegah semakin teregangnya usus.

Pemasangan NGT dapat mengurangi regangan usus, tetapi harus dipasang melalui mulut

bila pasien tersangka fraktur cribriformis plate. Tranfusi darah banyak, harus dipersiapkan

bila trauma abdomen dengan trauma vascular, hepatic, lien, trauma ginjal, fraktur pelvis,

atau pedarahan retroperitoneal. Hiperkalemia yang diinduksi tranfusi darah (tranfusion-

induced hyperkalemia), sama berbahayanya dengan exsangunasi dan harus cepat diterapi.

Perdarahan perut masif mungkin membutuhkan penyekatan daeran perdarahan

dan/atau peng-kleman (clamping) aorta abdominal, sampai sumber perdarahan dapat

ditemukan, dan resusitasi sudah bisa mencukupi kehilangan darah. Peng-kleman

Page 18 of 21

Page 19: Anestesi Pada Pasien Trauma

(clamping) arteri yang lama bisa menyebabkan trauma iskemik pada liver, ginjal, usus,

sindroma kompartemen pada ekremitas bawah, dan lebih lanjut bisa menyebabkan gagal

ginjal akut dan rhabdomiolisis. Penggunaan manitol dan diuretik (sebelum clamping aorta)

bersamaan dengan terapi cairan bisa mencegah terjadinya gagal ginjal, tapi hal ini masih

kontroversi. Cepatnya terapi cairan dan tranfusi darah , cepatnya mengontrol perdarahan,

waktu clamping arteri yang pendek ,dapat mengurangi insidensi komplikasi.

Edema usus berkelanjutan (progressive) oleh trauma dan resusitasi cairan bisa

menghalangi penutupan pada saat akhir operasi. Penutupan perut terlalu ketat, bisa

meningkatkan tekanan intraabdomen, menyebabkan kompartemen sindrom di abdomen

akibatnya terjadi iskemik ginjal dan iskemik lien. Meski dengan penggunaan muscle

relaxant yang banyak, seringkali oksigenasi dan ventilasi sangat buruk. Oliguri dan

kerusakan ginjal (renal shutdown) terjadi setelahnya. Pada kasus ini, maka perut tetap

dibiarkan terbuka (menggunakan penutup steril- dengan plastik cairan intravena) 48-72

jam, sampai edema berkurang dan penutupan bisa dilakukan.

2.8 Trauma Ekstremitas

Trauma ekstremitas bisa mengancam jiwa, karena rusaknya pembuluh darah dan

karena infeksi sekunder. Trauma vascular bisa menyebabkan perdarahan massif dan

membahayakan viabiitas dari ekstremitas. Contohnya, Fraktur femur kehilangan darah 2-3

labu, dan fraktur pelvis tertutup bisa menyebabkan kehilangan darah lebih banyak lagi dan

menyebabkan shok hipovolemik. Penanganan yang terlambat atau salah memposisikan

pasien bisa memperparah dislokasi dan kerusakan saraf lebih lanjut. Emboli lemak karena

fraktur pelvis dan tulang panjang bisa menyebabkan insufficiency paru, disritmia, peteki

kulit, perubahan kesadaran 1-3 hari setelah kejadian. Diagnosis laboratorium emboli paru

berdasar pada kenaikan serum lipase, adanya lemak di urin dan trombositopenia.

Sindroma kompartemen bisa terjadi pada hematom intramuskular luas, luka remuk

(crush injury), fraktur dan luka amputasi. Peniningkatan tekanan fascia interna dan

penurunan tekanan arteri menyebabkan iskemik, hipoksia jaringan, dan pembengkakan

yang progresif. Seperti yang telah didiskusikan, rhabdomiolisis dan gagal ginjal bisa

terjadi. Trauma karena reperfusi darah bisa memperparah edema dan trauma. Lengan atas

dan tungkai bawah yang paling beresiko untuk terkena. Diagnosis ditegakkan secara klinik

Page 19 of 21

Page 20: Anestesi Pada Pasien Trauma

berdasar pengukuran langsung tekanan kompartemen : diatas 45 mmHg atau 10-30 mmHg

dari tekanan darah diastolik. Fasiotomi segera diperlukan, untuk menyelamatkan

ekstremitas.

Dengan teknik operasi modern sudah bisa memperbaiki (reimplanation) ekstremitas

dan jari yang terkena trauma. Bagian tubuh yang telah diamputasi, dan telah didinginkan,

masih bisa disambung kembali (reimplanasi) bahkan sampai 20 jam setelah amputasi,

sedangkan yang tidak didinginkan hanya sampai 6 jam. Bila trauma terisolasi, teknik

anestesi regional (blok plexus brachialis atau interscalene) direkomendasikan untuk

meningkatkan laju darah perifer (periferal blood flow) dengan cara menghambat persarafan

simpatis. Pada saat tindakan anestesi umum, pasien harus selalu hangat, dan keadaan

menggigil harus dicegah untuk memaksimalkan perfusi darah.

DAFTAR PUSTAKA

Boffard KD, Brooks AJ: Pancreatic trauma—injuries to the pancreas and pancreatic duct. Eur J Surg 2000;166:4. [PMID: 10688209]

Brooks AJ, Rowlands BJ: Blunt abdominal injuries. Br Med Bull 1999;55:844. [PMID:

Page 20 of 21

Page 21: Anestesi Pada Pasien Trauma

10746334]

Dabrowski GP, Steinberg SM, Ferrara JJ, Flint LM: A critical assessment of endpoints of shock resuscitation. Surg Clin North Am 2000;80:825. [PMID: 10897263]

Dutton RP, Sharrar SR: Trauma. Int Anesth Clin 2002:40:1.

Dykes EH: Paediatric trauma. Br J Anaesth 1999;83:130. [PMID: 10616340]

Ferrada R, Birolini D: New concepts in the management of patients with penetrating abdominal wounds. Surg Clin North Am 1999;79:1331. [PMID: 10625982]

Ho AM, Ling E: Systemic air embolism after lung trauma. Anesthesiology 1999;90:564. [PMID: 9952165

Page 21 of 21